Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perampasan
A.1 Pengertian Perampasan
Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari perampasan adalah
proses, cara, perbuatan merampas, perebutan, penyamunan, penyitaan.8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 368 ayat (1)
KUHP mengenai perampasan menyebutkan bahwa :
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum memaksa orang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan supaya orang itu memeberikan suatu barang yang
seeluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan
orang lain, atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan
piutang, dihukum karena memeras dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perampasan adalah
perbuatan melawan hukum untuk memaksa orang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan supaya orang itu memeberikan suatu barang yang
seeluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan
orang lain, atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan
piutang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri.
Perampasan merupakan suatu tindakan yang dianggap sebagai
suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum pidana yang
dimana dilakukan dengan upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan
8Alwi Hasan, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,hlm. 54
14
atau keuntungan yang telah diperoleh oleh orang lain, atau mungkin telah
diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya.9
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, perampasan menurut Pasal
368 KUHP adalah dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau
orang lain dengan melanggar hukum. Memaksa orang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan sesuatu barangnya
atau orang ketiga atau supaya dia mengutang atau menghapuskan piutang.
Tindakan ini disebut “afpersing”. Penjelasan tersebut adalah penjelasan
secara khusus dari pengertian pemerasan. Dalam Pasal 368 ayat (2) KUHP
memberikan pengertian secara luas tentang pemerasan. Pengertian secara
luas adalah tindakan melawan hukum memaksa seseorang dengan
kekerasan atau pencurian yang didahului disertai kekerasan atau ancaman
kekerasan, baik diambil sendiri oleh tersangka maupun penyerahan barang
oleh korban.
A.2 Unsur – Unsur Perampasan
Delik perampasan (afpersing) diatur dalam pasal 368 KUHP yang
berbunyi :10
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang
9 Ika Abriyani Rahim, Tinjauan Hukum terhadap Tindak Pidana Perampasan dengan Kekerasan
dan Pemerkosaan yang dilakukan secara Bersama – Sama, www. repository.unhas.ac.id, diakses
pada 12 November 2018 10 Moeljatno, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Edisi Baru,Jakarta, Bumi
Aksara, ,hal.131
15
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam,
karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan ini. Dari bunyi Pasal 368 KUHP tersebut, adapun unsur-unsur
yang terdapat dalam tindak pidana pemerasan dan pengancaman ini ada
dua yaitu:
1. Unsur subjektif, yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
2. Unsur objektif yaitu:
a. Barangsiapa;
b. Memaksa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan;
c. Seseorang;
d. Untuk menyerahkan sesuatu benda yang sebagian atau
seluruhnya kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan pihak
ketiga, dan untuk membuat orang tersebut berutang atau
meniadakan piutang. Unsur subjektif dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum di sini merupakan tujuan untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain. Jadi, pembuat harus mengetahui bahwa
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dilakukan secara
melawan hukum, berarti menguntungkan diri sendiri atau orang
lain sebagai tujuan terdekat, dengan memakai kekerasan atau
16
ancaman kekerasan itu. Jadi jika keuntungan itu akan diperoleh
secara tidak langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap
tertentu untuk mencapainya, maka bukanlah pemerasan. Dengan
adanya bagian inti untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, maka delik ini ada persamaannya dengan penipuan (Pasal
378 KUHP). Jadi, ada penyerahan sesuatu dari korban kepada
pembuat. Akan tetapi ada perbedaan mendasar, yaitu pada
pemerasan, untuk mendapatkan barang itu atau membuat utang
atau menghapuskan piutang, pembuat menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan, sedangkan pada penipuan, korban
tergerak untuk menyerahkan suatu barang karena rayuan
memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian
kata-kata bohong, dan seterusnya. Dengan demikian, pada delik
pemerasan ini ancaman pidananya lebih dua kali lipat.11
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas mengenai unsur – unsur
perampasan, unsur – unsur dari perampasan haruslah meliputi unsur
subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif yaitu dengan maksud atau
dengan tujuan tertentu. Untuk unsur objektif harus meliputi barangsiapa,
memaksa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan, seseorang,
untuk menyerahkan sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya
kepunyaan orang tersebut.
11 Andi Hamzah, 2015, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP Edisi Kedua,
Jakarta, Sinar Grafika, hal.76-77
17
Unsur objektif yang pertama dari tindak pidana pemerasan yang
diatur dalam Pasal 368 KUHP ialah barangsiapa. Kata barangsiapa itu
menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana
pemerasan seperti yang diatur dalam pasal 368 KUHP, maka ia akan
disebut sebagai dader atau pelaku dari tindak pidana pemerasan tersebut,
sehingga bagi orang tersebut dapat dijatuhkan pidana penjara selama-
lamanya sembilan tahun. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang harus
memenuhi semua unsur tindak pidana itu bukan hanya dader saja,
melainkan juga para mededader atau mereka yang turut melakukan suatu
tindak pidana tanpa mereka itu harus menjadi seorang dader.12
Dari uraian diatas, diatas dapat diketahui bahwa unsur objektif
dari perbuatan pemerasan adalah barang siapa. Disini, yang dimaksud
dengan barang siapa adalah menunjuk pada orng yang melakukan
perbuatan pemerasan tersebut. Apabila terbukti, maka dia dijadikan pelaku
tindak pidana pemerasan tersebut.
Unsur objektif kedua dari tindak pidana pemerasan yang diatur
dalam pasal 368 ayat (1) KUHP ialah memaksa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan agar menyerahkan sesuatu barang. Penyerahan barang
itu karena adanya kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga pemilik
barang itu tidak berdaya kecuali harus menuruti kehendak pelaku dan
menyerahkannya, apabila seseorang itu tidak mau menyerahkan barang
12 Lamintang, 1989, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Bandung, Sinar Baru, hal. 67
18
yang diminta, maka ia akan mengalami perlakuan yang membahayakan
keselamatan dirinya maupun nyawanya.13
Dari uraian diatas, kita ketahui bahwa unsur objektif dari tindak
pemerasan yang kedua adalah memaksa dengan kekerasan agar
menyerahkan suatu barang. Maksud dari kekerasan disini adalah untuk
menguasai barang yang bukan miliknya menggunakan cara kekerasan agar
diperoleh barang tersebut.
Unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana pemerasan yang
diatur dalam Pasal 368 KUHP itu adalah seseorang. Itu berarti bahwa
kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu harus ditujukan pada orang
yang dipaksa untuk menyerahkan sesuatu benda atau yang dipaksa untuk
mengadakan perjanjian utang atau untuk meniadakan piutang. 14
Dari uraian yang dijelaskan, unsur objektif ketiga dari tindak pidana
pemerasan adalah seseorang. Jadi, kekerasan dilakukan kepada seseorang
untuk menyerahkan barang atau benda untuk mengadakan atau meniadakan
perjanjian hutang piutang.
Unsur objektif keempat dari tindak pidana pemerasan yang diatur
dalam Pasal 368 KUHP itu masing-masing ialah untuk menyerahkan
sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang tersebut
13 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta,
Kencana, hal. 137 14 Lamintang, 1989, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Bandung, Sinar Baru, hal. 70
19
atau kepunyaan pihak ketiga, dan untuk membuat orang tersebut berutang
atau meniadakan piutang.15
Dari uraian yang dijelaskan, unsur objektif keempat dari tindak
pidana pemerasan adalah masing – masing untuk menyerahkan sesuatu
benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang tersebut.
Dimasukkannya tinjauan pustaka mengenai perampasan dalam
penulisan hukum yang disusun oleh penulis adalah untuk memberikan
gambaran umum mengenai perampasan sesuai dengan peraturan perundang
– undangan yang berlaku guna memudahkan penulis dalam melakukan
analisa hukum pada bab selanjutnya. Sehingga dalam melakukan analisa
hukum, penulis akan menggunakan tinjauan pustaka mengenai perampasan
sebagai acuan dalam melakukan analisa data yang akan disusun oleh
penulis.
B. Tinjauan Umum tentang Debt Collector
B.1 Definisi Debt Collector
Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris, yang jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang,
collector artinya pemungut, pemeriksa, penagih, pengumpul.16
15 Ibid. 16 Rudy Haryono dan Mahmud Mahyong MA., Kamus Lengkap INGGRIS-INDONESIA INDONESIA-INGGRIS, Surabaya: Cipta Media
20
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa debt
collector berasal dari bahasa inggris yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yang berarti pemungut, ataupun penagih hutang.
Jadi, debt collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang
yang menjual jasa untuk menagih hutang seseorang atau lembaga yang
menyewa jasa mereka. Debt collector adalah pihak ketiga yang
menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit.
Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP
Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 bahwa apabila dalam menyelenggarakan
kegiatan APMK Penerbit dan/atau Financial Acquirer melakukan
kerjasama dengan pihak lain di luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer
tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau
pengoperasian sistem, Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib
memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas
pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara,
mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh
Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu sendiri.17
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tercantum dalam Surat
Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2
kegiatan finansial harus memperhatikan mengenai tata cara, mekanisme,
17 Ibid.
21
prosedur, dan kualitas pelaksanaan harus sesuai dengan prosedur yang telah
berlaku.
B.2 Tata cara penagihan kredit oleh DC
a. Desk collector
Pada level bagian penagihan (desk collector), level ini
adalah level yang pertama dari dunia collector, dan cara kerja
yang dilakukan oleh collector-collector ini adalah hanya
mengingatkan tanggal jatuh tempo dari cicilan debitur dan
dilakukan dengan media telepon.Pada level ini collector hanya
berfungsi sebagai pengingat (reminder) bagi debitur atas
kewajiban membayar cicilan. Bahasa yang digunakan pun sangat
sopan dan halus, mengingat orientasinya sebagai pelayan
nasabah.
b. Debt collector
Level ini merupakan kelanjutan dari level sebelumnya,
apabila ternyata debitur yang telah dihubungi tersebut belum
melakukan pembayaran, sehingga terjadi keterlambatan
pembayaran. Cara yang dilakukan oleh penagih utang
(debtcollector) pada level ini adalah mengunjungi debitur
dengan harapan mengetahui kondisi debitur beserta kondisi
keuangannya. Pada level ini collector memberikan pengertian
secara persuasif mengenai kewajiban debitur dalam hal
melakukan pembayaran angsuran.
22
Hal-hal yang dijelaskan biasanya mengenai akibat yang
dapat ditimbulkan apabila keterlambatan pembayaran tersebut
tidak segera diselesaikan. Collector juga memberikan
kesempatan atau tenggang waktu bagi debitur untuk membayar
angsurannya, dan tidak lebih dari tujuh hari kerja. Meskipun
sebenarnya bank memberikan waktu hingga maksimal akhir
bulan dari bulan yang berjalan,karena hal tersebut berhubungan
dengan target collector. Collector diperbolehkan menerima
pembayaran langsung dari debitur,namun hal yang perlu
diperhatikan oleh debitur adalah memastikan bahwa
debiturtersebut menerima bukti pembayaran dari collector
tersebut,dan bukti tersebut merupakan bukti pembayaran dari
perusahaan dimana debitur tersebut memiliki kewajiban kredit
bukan bukti pembayaran berupa kwitansi yang dapat diperjual
belikan begitu saja
c. Collector Remedial
Apabila ternyata debitur masih belum melakukan
pembayaran, maka tunggakan tersebut akan diberikan kepada level
yang selanjutnya yaitu juru sita (collector remedial). Pada level ini
yang memberikan kesan negatif mengenai dunia collector, karena
pada level ini sistem kerja collector adalah dengan cara mengambil
barang jaminan (bila kredit yang disepakati memiliki jaminan)
debitur.
23
Cara yang dilakukan dan perilaku collector pada level ini
tergantung dari tanggapan debitur mengenai kewajibannya, dan
menyerahkan jaminannya dengan penuh kesadaran, maka dapat
dipastikan bahwa collector tersebut akan bersikap baik dan sopan.
Namun apabila debitur ternyata tidak memberikan itikad baik untuk
menyerahkan barang jaminannya, maka collector tersebut dengan
sangat terpaksa akan melakukan kewajibannya dan menghadapi
tantangan dari debitur tersebut. Yang dilakukannya pun bervariasi
mulai dari membentak, merampas dengan paksa dan lain
sebagainya, dalam menggertak debitur.
Namun apabila dilihat dari segi hukum, collector tersebut
tidak dibenarkan apabila sampai melakukan perkara pidana, seperti
memukul, merusak barang dan lain sebagaiannya, atau bahkan hal
yang terkecil yaitu mencemarkan nama baik debitur. Untuk
beberapa perusahaan perbankan, apabila kredit tidak memiliki
barang jaminan, maka tugas collector akan semakin berat karena
tidak ada yang bertindak sebagai juru sita, hal tersebut yang
memberikan kesan kurang baik terhadap debt collector.18
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tata cara penagihan
yang dilakukan oleh debt collector meliputi Desk collector, Debt
collector, dan Collector remedial. Bahwa didalam penagihan utang
18 Evi Tamala, Strategi Kolektor dalam Menghadapi Nasabah yang Bermasalah pada PT. Bank
Perkreditan Rakyat Pekanbaru, http://repository.uin-suska.ac.id, diakses pada 20 November 2018
24
terhadap kredit macet, tetap tidak dibolehkan dengan melakukan perkara
pidana seperti memukul, merusak, mengancam dan menakut – nakuti
debitur.
Tinjauan umum mengenai debt collector yang ditulis penulis
didalam tinjauan pustaka ditulis guna memudahkan penulis dalam
melakukan analisa data pada bab selanjutnya. Sebelum melakukan
analisa data, penulis harus mengetahui apa yang dimaksud dengan debt
collector, tata cara penagihan kredit yang dilakukan oleh debt collector.
Sehingga ketika melakukan analisa data pada bab selanjutnya, penulis
sudah mengetahui mengenai pengertian dan tata cara penagihan kredit
yang seharusnya dilakukan oleh debt collector apabila memiliki nasabah
yang terlambat melakukan pembayaran kredit.
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa Beli
C.1 Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Selain itu merupakan suatu peristiwa hukum di
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.19
Dari uraian yang telah penulis tulis , dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan perjanjian adalah hubungan hukum antara seseorang
19 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Jakarta , PT Inermasa, hlm 29
25
dengan orang lain untuk melaksanakan atau melakukan suatu hal yang
merupakan suatu perbuatan hukum.
Perjanjian ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha,
dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli
barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang,
pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga
kerja.20
Dari uraian diatas diketahui bahwa didalam dunia usaha, dasar dari
transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, asuransi, pemberian kredit
adalah menggunakan perjanjian. Dimana suatu perjanjian tersebut
mengatur mengenai hak dan kewajiban antara para pihak yang sepakat
untuk mengadakan suatu perjanjian.
Dari uraian diatas juga dapat kita ketahui bahwa berbagai hukum
perjanjian, apabila suatu perjanjian telah memenuhi semua syarat-syaratnya
dan menurut hukum perjanjian telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya
perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai
hukum, dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang
wajib dipenuhi oleh pihak-pihak terkait, sebagaimana tertuang dalam Pasal
1338 Ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat
20 Abdulkadir Muhammad, 1986 , Hukum Perjanjian, Jakarta ,Citra Aditya Bakti, hlm 93
26
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya ”
Pada asasnya perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang
membuatnya, seperti tampak dalam bunyi pasal 1338 Ayat (1) KUH
Perdata, hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1315 KUH Perdata.21
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, perjanjian itu merupakan
sumber perikatan yang terpenting, karena perikatan adalah suatu pengertian
abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu
peristiwa yang nyata mengikat para pihak yang membuat suatu perjanjian.
C.2 Syarat - syarat sah perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian adalah sah
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Kesepakatan
Kesepakatan ialah sepakatnya para pihak yang mengikatkan
diri, artinya kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harusm
mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan
kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas atau secara diam.
Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila dibuat
atau didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan.
21 Chairun Pasribu, 2011 Suharawardi Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta, hlm 263
27
b) Kecakapan
Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan
untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut
hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian
kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan
tidak cakap. Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang
dibawah pengampuan dan perempuan yang telah kawin.22
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
kecakapan menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah kemampuan untuk
melakukan atau membuat suatu perjanjian, kecuali yang dinyatakan oleh
Undang – Undang tidak cakap. Salah satu contoh orang – orang yang
tidak cakap menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah orang yang berada
dibawah pengampuan dan orang yang belum dewasa.
Ketentuan KUH Perdata mengenai tidak cakapnya perempuan yang
telah kawin melakukan suatu perjanjian kini telah dihapuskan, karena
menyalahi hak asasi manusia.
c) Suatu Hal Tertentu
Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :
22 R. Soeroso, 1999, Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum), Bandung , Alumni Bandung ,hlm 12
28
1) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam
suatu perjanjian adalah harus suatu hal atau
barang yang cukup jelas atau tertentu yakni
paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333
KUH Perdata);
2) Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH
Perdata); Contohnya seorang pedagang telur,
pedagang ayam ternak harus jelas barang
tersebut ada didalam gudang, jual beli tanah
harus jelas ukuran luas tanah dan letak dimana
tempatnya
d) Sebab suatu yang halal
Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja,
tetapi ada pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketentuan umum,
moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata).23
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa syarat sahnya
sutu perjanjian dikarenakan sebab yang halal. Apabila didalam
suatu perjanjian tidak karena sebab yang halal, maka perjanjian
yang dibuat akan tidak sah menurut hukum. Keempat syarat
23 Ibid. Hal.6
29
tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru
dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.
C.3 Akibat Suatu Perjanjian
Akibat dari suatu perjanjian yang dibuat secara sah adalah sebagai
berikut :
a. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata ), asas janji
itu mengikat.
b. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya (Pasal 1340 KUH Perdata) dan perjanjian dapat
mengikat pihak ketiga apabila telah diperjanjikan
sebelumnya (Pasal 1317 KUH Perdata).24
c. Konsekuensinya para pihak dalam perjanjian tidak dapat
secara sepihak menarik diri akibat-akibat perjanjian yang
dibuat oleh mereka (Pasal 1338 Ayat (2) KUH Perdata).
d. Perjanjian dapat diakhiri secara sepihak jika ada alasan-
alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu
(Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata), yaitu seperti yang
termuat dalam Pasal 1571, Pasal 1572, Pasal 1649, Pasal
1813 KUH Perdata.25
e. Janji untuk kepentingan pihak ketiga.
24 Ibid. Hal.19 25 Ibid. Hal. 20
30
f. Dalam pelaksanaan suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik(Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata), jadi
itikad baik harus ada sesudah perjanjian itu ada.
g. Suatu perjanjian selain mengikat untuk hal-hal yang
diperjanjikan juga mengikat segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau
undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-
diam dimasukkan ke dalam perjanjian (Pasal 1347 KUH
Perdata).
h. Konsekuensi jika undang-undang yang bersifat memaksa
disampingkan para pihak dalam membuat perjanjian, maka
seluruh atau bagian tertentu dari isi perjanjian yang
bertentangan dengan undang-undang yang memaksa
tersebut menjadi batal.26
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas diketahui bahwa suatu
perjanjian yang dibuat akan memiliki suatu akibat hukum
apabila perjanjian tersebut memenuhi unsur – unsur syarat
sahnya suatu perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Adapun akibat hukum dari suatu perjanjian meliputi
asas saling mengikat antara para pembuat perjanjian, dan
berlaku untuk ditaati oleh para pembuat perjanjian.
26 Ibid. Hal. 23
31
C.4 Hubungan Hukum dalam Perjanjian
Tanggungjawab merupakan realisasi kewajiban terhadap pihak lain,
untuk merealisasikan kewajiban tersebut perlu ada pelaksanaan (proses).
Hasilnya adalah terpenuhinya hak pihak lain secara sempurna atau secara
tidak sempurna. Dikatakan terpenuhinya secara sempurna apabila
kewajiban itu dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga pihak lain
memperoleh haknya sebagaimana mestinya pula. Hal ini tidak
menimbulkan masalah. Dikatakan tidak terpenuhinya secara sempurna
apabila kewajiban itu dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga
pihak lain memperoleh haknya sebagaimana mestinya pula (pihak lain
dirugikan), hal ini menimbulkan masalah, yaitu siapa yang
bertanggungjawab, artinya siapa yang wajib memikul beban tersebut, pihak
debitur atau kreditur, pihak penerima jasa atau pemberi jasa, dengan adanya
pertanggungjawaban ini hak pihak lain diperoleh sebagaimana mestinya
(haknya dipulihkan). Jika pihak yang mempunyai kewajiban tidak
melaksanakan kewajibannya, ia dikatakan wanprestasi atau ingkar janji.27
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa hubungan hukum dalam
suatu perjanjian adalah timbulnya suatu hak dan kewajiban yang
diakibatkan oleh perjanjian yang dibuat antara para pihak pembuat
perjanjian tersebut.
C.5 Perjanjian Sewa Beli
27 Tood D. Rakoff, 1983, Contract of Adhesion an Essay Inreccontruction , hlm 1189
32
Sewa beli adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi karena buku III kitab
Undang - Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka, maka para
pihak boleh membuat perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam
buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asalkan tidak bertentangan
dengan Undang –Undang kesusilaan dan ketertiban umum.
Menurut R. Subekti memberikan definisi mengenai sewa beli yaitu
bahwa :"sewa beli sebenarnya adalah suatu macam jual beli, setidak-
tidaknya ia lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun
ia merupakan suatu campuran dari kedua-duanya dan diberikan judul sewa
menyewa".28
Dari definisi yang telah dijelaskan oleh R. Subekti mengenai
pengertian sewa beli. Definisi sewa beli adalah suatu macam jual beli yang
lebih mendekati pada jual beli daripada diberikan judul sewa menyewa.
Namun didalam penjelasannya, R. Subekti juga mengemukakan mengenai
campuran dari keduanya dan diberi jual sewa menyewa.
Suharnoko memberikan definisi sewa beli adalah : "Suatu perjanian
campuran dimana terkadung unsur perjanjian jual-beli dan perjanjian sewa
menyewa. Dalam perjanjian beli sewa selama harga belum dibayar lunas
makan hak milik atas barang tetap berada pada si penjual, meskipun barang
sudah berada ditangan pembeli sewa. Hak milik baru beralih dari penjual
28 R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian. Cet ke XXII Intermasa, Jakarta, hal. 52
33
kepada pembeli sewa setelah pmbeli sewa membayar angsuran terakhir
untuk melunasi harga barang".29
Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa
beli adalah sebenarnya hampir sama dengan jual beli, karena barangnya
sudah berada dalam kekuasaan pembeli sewa, hanya saja hak milik baru
akan berpindah setelah pembeli sewa membayar cicilan hingga lunas.
Perjanjian sewa beli termasuk perjanjian jenis baru yang sering
digunakan oleh masyarakat. Namun pada prakteknya belum ada peraturan
yang mengatur tentang perjanjian sewa beli, padahal masyarakat banyak
yang menggunakan perjanjian sewa beli dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup seperti kebutuhan alat transportasi sepeda motor. Maka
sudah seharusnya pemerintah memberikan aturan yang ketat mengenai
perjanjian sewa beli, sehingga dapat dijadikan acuan dan dasar hukum bagi
kedua belah pihak sehingga para pihak tidak dapat berlaku sewenang-
wenang. Jika di perhatikan dengan seksama maka sebenarnya perjanjian
sewa beli hampir sama dengan perjanjian jualbeli hanya saja cara
pembayaranya yang berbeda yaitu dengan angsuran tetapi hak milik tetap
akan berpindah kepada pembeli sewa. Apabila dilihat dari kedudukan
pembeli sewa sebelum angsuran dibayar lunas adalah sama dengan sewa
menyewa karena pembeli sewa dianggap sebagai penyewa hingga angsuran
dibayar lunas. Dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa beli lebih
29 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisis Kasus. Cet, 4. Kencana, hal. 65
34
mengarah pada bentuk perjanjian jual beli dibanding sewa menyewa. Hal
ini disebabkan pada perjanjian sewa beli peralihan hak milik adalah
menjadi pokok utamanya.
Jadi, tujuan sewa beli adalah untuk menjual barang, bukan untuk
menyewakan atau menjadi penyewa barang. Perjanjian yang diatur secara
khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut perjanjian
nominat sedangkan perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut perjanjian Innominat.
Menurut ketentuan pasal 1319 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
setiap perjanjian nominat maupun perjanjian innominat tunduk kepada
ketentuan umum hukum perjanjian. Dengan demikian perjanjian sewa beli
sebagai suatu perjanjian innominat juga tunduk kepada ketentuan umum
tentang perjanjian seperti misalnya syarat sahnya perjanjian dan tentang
wanprestasi. 30
Dari uraian tersebut maka yang menjadi dasar hukum perjanjian sewa
beli adalah diatur dalam KUH Perdata pasal 1338 ayat 1 yaitu:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
30 Suharnoko, op.cit, h. 64
35
Pitlo memberikan definisi mengenai perikatan yaitu bahwa : "Perikatan
itu adalah suatu ikatan hukum harta kekayaan antara dua atau lebih orang
tertentu berdasarkan mana pihak yang satu berhak dan pihak lainya
mempunyai kewajiban terhadap sesuatu. Ikatan harta kekayaan ini
merupakan akibat hukum dari perjanjian atau peristiwa hukum".31
Dari pengertian tersebut maka perikatan menimbulkan hubungan
hukum antar kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu dan
sebaliknya. Disini pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut pihak yang
berpiutang (kreditur), sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
disebut pihak yang berutang (debitur) yaitu pembeli sewa.
C.6 Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Sewa Beli
Hak dan kewajiban perjanjian sewa beli ini hampir sama dengan hak
dan kewajiban dalam jual beli, yaitu memiliki tujuan untuk mengalihkan
hak milik atas suatu barang, hanya saja ada perbedaan mengenai cara
pembayaranya serta perolehan hak miliknya. Sedangkan yang dimaksud
dengan kewajiban adalah "beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum".32
31 Mariam Darus Badrulzaman,2015, Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata buku ketiga
Yurisprudensi, Doktrin Serta Penjelasan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal . 9 32 Daeng Naja, 2002, Segi Kererampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung, Citra Aditya
Bakti, hal.21
36
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa hak dan kewajiban dalam
perjanjian sewa beli memiliki tujuan untuk mengalihkan hak milik atas
suatu barang. Letak perbedaannya terdapat pada cara pembayaran dan
perolehan hak milik. Dalam uraian diatas, yang dimaksud dengan
kewajiban adalah beban hukum yang diberikan kepada subjek hukum untuk
melaksanakan suatu prestasi.
Setiap kewajiban yang telah dilaksanakan pasti akan menimbulkan hak,
yang dimaksud dengan hak adalah "Wewenang yang diberikan oleh hukum
objektif kepada subjek hukum untuk melakukan segala sesuatu yang
dikehendakinya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan". 33
Perjanjian sewa beli memiliki hak dan kewajiban yang dapat dikatakan
sama, dapat dilihat dalam pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa
"jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang dijanjikan".
Dari uraian dari pernyataan tersebut dalam suatu transaksi jual beli
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Pihak penjual berkewajiban
untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijual, sekaligus berhak
untuk menuntut pembayaran harga yang telah disepakati. Sedangkan pihak
pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang sebagaimana
33 Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja Grafindo,hal.68
37
yang telah disepakati kemudian hak bagi pembeli adalah menerima barang
atau menuntut penyerahan hak milik atas barang yang telah dibeli.
Dimasukkannya tinjauan pustaka mengenai perjanjian sewa beli
didalam penulisan hukum yang disusun oleh penulis adalah untuk
memudahkan penulis dalam melakukan analisa hukum pada bab
selanjutnya. Sehingga, tinjauan umum mengenai perjanjian sewa beli akan
dijadikan acuan penulis dalam menganalisa data pada bab selanjutnya.
D. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi
D.1 Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena
disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi
itu dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi
tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.
Wanprestasi dapat berupa:
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
c. Terlambat memenuhi prestasi.
d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk
dilakukan.34
34 Ahmadi Miru, Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan,Jakarta, Rajawali Pers, hal. 74
38
Dari uraian diatas, dapat diketahui jika yang dimaksud dengan sama
sekali tidak memenuhi prestasi adalah karena debitur memang tidak mau
berprestasi. Kedua, yang dimaksud dengan prestasi yang tidak sempurna
adalah terjadi kesalahan dalam berprestasi. Untuk yang ketiga, yang
dimaksud dengan terlambat memenuhi prestasi adalah objek berprestasinya
benar, akan tetapi terlambat melakukan prestasi, sehingga sering kita sebut
lalai. Untuk yang keempat adalah melakukan apa yang dilarang didalam
perjanjian misalnya, didalam suatu perjanjian, pembeli kendaraan bermotor
melakukan keterlambatan pembayaran angsuran.
Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa:
“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”35.
Dari uraian diatas mengenai Pasal 1243 KUH Perdata, dapat
disimpulkan bahwa penggantian biaya ganti rugi dikarenakan si
berpiutang dinyatakan lalai dalam melaksanakan perjanjian. Maksud
dari lalai adalah tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan
oleh si berpiutang. Misalnya, debitur terlambat membayar kredit
kendaraan bermotor kepada kreditur.
D.2 Macam – Macam Wanprestasi
35 Ahmadi Miru, Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan, Jakarta,Rajawali Pers, hlm. 12
39
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan
sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Tiga keadaan tersebut yaitu:
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau
terlambat.36
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa debitur wanprestasi
adalah dimana saat debitur lalai atau sengaja tidak memenuhi prestasi.
Adapun keadaan – keadaan tersebut adalah, debitur tidak memenuhi
prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau
keliru, dan debitur memenuhi prestasu tetapi terlambat atau waktunya
tidak tepat.
Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan debitur tidak
memenuhi prestasi sama sekali adalah dimana debitur tidak
melaksanakan sama sekali apa yang ada didalam prestasi.
Uraian selanjutnya mengenai debitur dinyatakan wanprestasi
terhadap suatu perjanjian adalah ketika debitur memenuhi prestasi,
akan tetapi tidak baik atau keliru dalam melakukan prestasi, maka
debitur dapat dinyatakan wanprestasi dalam suatu perjanjian.
36 J. Satrio, 1999, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung, PT Alumni, hlm 122
40
Dari uraian mengenai debitur dinyatakan wanprestasi terhadap
kreditur adalah ketika debitur memenuhi prestasi, akan tetapi tidak
tepat atau terlambat. Misalnya, seorang debitur yang terlambat
melakukan pembayaran angsuran kendaraan bermotor.
D.3 Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Beli
Menurut R. Subekti sanksi atau hukuman yang dapat diberikan bagi
pihak yang melakukan wanprestasi adalah :
1) Membayaran kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan
singkat dinamakan ganti-rugi.
2) Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan
perjanjian.
3) Peralihan resiko.
4) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan
hakim.37
Dari uraian yang telah dijelaskan oleh R. Subekti, sanksi atau
hukuman yang bisa diberikan bagi pihak yang melakukan wanprestasi
dalam suatu perjanjian, misalnya dapat dilakukan dengan cara membayar
kerugian pada kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi karena
terlambat melakukan pembayaran kredit kendaraan bermotor.
37 Subekti, Op.Cit halaman 45
41
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah
diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).
b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim
(Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Apabila perikatan itu untuk memberikan sesuatu, risiko
beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal
1237 ayat (2) KUHPerdata).
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat
dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti
kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata).
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkenankan
di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan
bersalah.38
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa akibat hukum yang
dilakukan oleh debitur apabila debitur melakukan wanprestasi terhadap
suatu perjanjian, maka akibat hukum yang akan ditimbulkan telah
diatur didalam Pasal 1243, 1266, 1237 ayat (2), dan 1267 KUH Perdata.
38 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya, hlm.203
- 205
42
Didalam penulisan hukum yang disusun oleh penulis, penulis
memasukkan tinjauan pustaka mengenai wanprestasi, dan dijelaskan
mengenai gambaran umum tentang wanprestasi yang bertujuan untuk
memudahkan penulis dalam melakukan analisa hukum pada bab
selanjutnya. Sehingga dalam melakukan analisa hukum, penulis akan
berlandaskan tinjauan pustaka yang telah penulis tulis.