Upload
phunglien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)
Kopi merupakan salah satu tumbuhan dalam famili Rubiaceae yang
banyak dibudidayakan di negara tropis. Kopi pertama kali ditemukan pada abad
ke-9 oleh bangsa Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai jenis makanan
penambah energi “energy bar”. Jenis kopi yang banyak dibudidayakan pertama
kali adalah kopi arabika (Coffea arabica L.). Kopi tersebut pertama kali
dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1696. Namun demikian, jenis kopi arabika
tidak tahan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastatrik) sehingga budidaya
kopi mengalami kemunduran. Sebagai penggantinya, petani di Indonesia mulai
membudidayakan kopi jenis liberika (C. liberica Bull ex. Hiern ) pada pada tahun
1875. Akan tetapi, kopi liberika juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun.
Pada awal abad ke-19, petani di Indonesia mulai mengenal kopi robusta (C.
canephora var. Robusta) dan membudidayakannya karena jeni kopi tersebut tahan
terhadap penyakit karat daun. Pada saat ini, kopi robusta banyak dibudidayakan di
daerah dataran rendah wilayah pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi (van
Steenis et al., 2008).
2.1.1 Morfologi Kopi
Kopi memiliki sistem perakaran tunggang dengan kedalaman akar utama
kurang dari 1 meter. Akar lateral tumbuh dan berkembang dengan panjang sekitar
3 – 4 meter. Akar pada kopi 90 % berada pada lapisan tanah dengan kedalaman
kurang dari 30 cm (Gambar 2.1.A; van der Vossen et al., 2000).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
9
Kopi merupakan tanaman perdu dengan batang berkayu yang memiliki
tinggi antara 2 - 4 meter. Batang kopi memiliki dua tipe percabangan yaitu
cabang orthotrop dan cabang plagiotrop. Cabang orthotrop adalah cabang yang
tumbuh tegak serta tidak menghasilkan bunga, sedangkan cabang plagiotrop
adalah cabang yang tumbuh mendatar dan berfungsi sebagai penghasil bunga
(Gambar 2.1.B; van Steenis et al., 2008).
Daun tanaman kopi bertangkai pendek sekitar 1 cm ( Gambar 2.1.C; van
Steenis et al., 2008) dan berbentuk memanjang (oblongus) dengan ukuran panjang
berkisar 20 – 30 cm dan lebar 10 – 16 cm, dengan ujung daun meruncing dan
pangkal daun membulat atau berbentuk baji (van Steenis et al., 2008). Daun kopi
bertepi rata dengan permukaan helaian daun mengkilap dan permukaan bagian
atas berwarna hijau gelap serta permukaan daun bagian bawah berwarna hijau
lebih terang (van der Vossen et al., 2000).
Pada umumnya, tanaman kopi mulai berbunga setelah berumur 1 sampai 2
tahun (Gambar 2.1.D). Bunga kopi tumbuh dari ketiak daun pada cabang
plagiotrop, memiliki tangkai bunga dengan susunan yang berkelompok, masing-
masing kelompok terdiri dari 4 – 6 kuntum bunga (van Seenis et al., 2008).
Tangkai bunga berukuran 1 mm dengan kelopak bunga berwarna hijau, serta
memiliki mahkota berjumlah 5 – 7 buah yang berwarna putih dan berbau harum,
sedangkan tabung mahkota memiliki panjang sekitar 15 – 18 mm dan lebar sekitar
2 – 3,5 mm. Bunga kopi memiliki tangkai putik yang berukuran kecil dengan
posisi menjulang jauh ke luar tabung dengan dua cabang yang panjangnya
berukuran 5 mm. Benang sari terdiri dari 5 – 7 helai, sedangkan kepala sari
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
10
memiliki panjang yang berukuran 5 mm dan memiliki tangkai sari dengan
panjang 3 – 4 mm (van Seenis et al., 2008).
Apabila bunga sudah dewasa, akan terjadi penyerbukan dengan
membukanya kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah.
Penyerbukan yang terjadi pada tanaman kopi robusta merupakan jenis
penyerbukan silang (Sudarka et al., 2009). Penyerbukan ini terjadi karena
kedudukan tangkai putik pada kopi robusta menjulang tinggi dari posisi benang
sari, sehingga kemungkinan benang sari dapat jatuh di tangkai putik sendiri sangat
kecil (Sudarka et al., 2009). Selain itu, kopi robusta memiliki sifat self-
incompatibility yaitu apabila terjadi penyerbukan sendiri, maka buluh sari tidak
terbentuk sehingga tidak terjadi pembuahan (van der Vossen et al., 2000).
Buah kopi bertipe batu dan berbentuk bulat telur dengan diameter sekitar
15 - 18 mm (van Steenis et al., 2008). Buah kopi muda berwarna hijau (Gambar
2.1.E) dan berwarna merah jika telah masak (van Steenis et al., 2008). Buah kopi
terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah kopi terdiri dari atas 3 lapisan yaitu
lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk
(endokarp), sedangkan biji kopi terdiri dari dua bagian, yaitu kulit biji ( kulit ari )
dan endosperma (putih lembaga; Gambar 2.1.F). Pada umumnya, di dalam buah
kopi terdapat biji sebanyak 2 butir biji yang berwarna coklat. Biji kopi tersebut
berbentuk elips dengan panjang antara 8 - 12 mm (van der Vossen et al., 2000).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
11
Gambar 2.1 (A) akar tunggang pada kopi, (B) batang kopi, (C) daun kopi, (D)
bunga kopi, (E) buah kopi), (F) buah kopi (Hulupi & Martini,
2013).
2.1.2 Varietas Kopi
Berdasarkan varietasnya ada sekitar 80 jenis kopi di dunia, namun ada dua
jenis kopi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diperdagangkan secara
komersil yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (C. canephora
Pierre var robusta; van Steenis et al., 2008).
Kopi Arabika (Gambar 2.2.A) merupakan jenis kopi yang pertama kali
masuk di Indonesia sekitar abad ke-17. Kopi arabika tumbuh baik pada daerah
tropis maupun sub tropis pada suhu sekitar 18 - 22 oC (van Steenis et al., 2008).
Pada daerah tropis (7o
LU - 7o
LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 1000 –
A
B
C
D
E
F
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
12
2100 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan pada daerah sub tropis (9o
LU
- 23o
LU dan 9o
LS - 23o
LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 300 – 1100 m
dpl (van der Vossen et al., 2000). Pada saat ini, kopi arabika banyak
dibudidayakan di Indonesia seperti Sumatra utara, Aceh, Lampung, dan beberapa
propinsi di pulau Sulawesi, Jawa dan Bali (Panggabean, 2011)
Secara morfologi, buah kopi arabika berwarna hijau dan berubah menjadi
merah apabila sudah masak. Buah kopi berbentuk lonjong (ovoid-ellpsoidal)
memiliki diameter sekitar 8 - 15 mm dengan panjang 12 - 18 mm. (van der
Vossen et al., 2000). Biji kopi arabika memiliki berat sekitar 0,45 - 0,5 gram per
biji dengan kandung kafein berkisar 0,6 - 1,7 %. (van der Vossen et al., 2000).
Selain itu, biji kopi arabika memiliki harga jual yang tinggi karena memiliki rasa
yang manis dan memiliki aroma yang kuat (Ibrahim et al., 2013).
Kopi Robusta (Gambar 2.2.B) merupakan jenis kopi yang mulai banyak
dibudidayakan di Indonesia pada abad ke-19. Kopi robusta tumbuh ideal di daerah
tropis pada ketinggian 100 – 800 m dpl dengan suhu sekitar 21 – 24 0C (van der
Vossen et al., 2000). Kopi robusta mampu beradaptasi dengan lingkungannya
lebih baik dibandingkan dengan kopi arabika. Kopi robusta juga lebih tahan
terhadap penyakit karat daun dibandingkan dengan kopi arabika (van Steenis et
al., 2008). Oleh karena itu, 90 % kopi yang dibudayakan di Indonesia adalah kopi
robusta (Prastowo et al., 2010). Pada saat ini, kopi robusta banyak dibudidayakan
di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Aceh (van der Vossen et al., 2000).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
13
Secara morfologi buah kopi robusta berbentuk bulat telur bola (ovoid-
globose) memiliki biji yang berukuran lebih pendek dibandingkan kopi arabika (8
- 16 mm). Selain itu, biji kopi robusta memiliki ukuran lebih ringan jika
dibandingkan dengan kopi arabika sekitar 0,4 g per biji kopi dengan kandungan
kafein berkisar 0,6 %. Dari segi rasa, kopi robusta memiliki rasa yang kurang
digemari dibandingkan dengan kopi arabika. Kandungan kafeina kopi robusta
juga lebih tinggi (1,5 - 3,3 %; van der Vossen et al., 2000) dibandingkan dengan
kopi arabika.
Gambar 2.2 (A) kopi arabika, (B) kopi robusta (Sumaryono, 2013).
A
B
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
14
2.1.3 Manfaat Kopi
Kopi merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk
dimanfaatkan bijinya. Hal ini dikarenakan biji kopi mempunyai nilai ekonomi
yang cukup tinggi dan memiliki banyak manfaat bagi tubuh dan kesehatan. Biji
kopi banyak mengandung kafein yang dapat memberi efek stimulan pada tubuh
dengan cara merangsang kerja otak sehingga menyebabkan tubuh akan terasa
lebih segar (Utami, 2011). Selain kafein, di dalam biji kopi juga mengandung
chlorogenic acid, yaitu suatu senyawa polyphenol yang berfungsi sebagai
antioksidan kuat sehingga dapat membantu tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang
rusak (Johnston et al., 2003). Selain itu, biji kopi juga kaya akan kalsium,
magnesium, tembaga, karbohidrat dan beberapa macam vitamin lainnya sehingga
banyak dimanfaatkan sebagai sunblock untuk mencegah sengatan matahari dan
mencegah kulit keriput (Gambar 2.3.A; Adikasari, 2012).
Bagian dari tanaman kopi selain biji juga banyak dimanfaatkan oleh
manusia. Batang kopi yang telah tua banyak digunakan sebagai bahan kayu bakar
atau arang bakar (Gambar 2.3.B). Daun kopi juga banyak digunakan sebagai
bahan minuman seperti daun teh (Gambar 2.3.C; Setiono, 2013). Kulit biji
sebagai limbah pengolahan buah juga banyak digunakan sebagai bahan alternatif
pakan ternak maupun kompos (Gambar 2.3.D; Usman et al.,2013).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
15
Gambar 2.3 (A) masker kopi, (B) arang kopi, (C) minuman dari kopi, (D) pakan
ternak.
D
C
B
A
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
16
2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya
2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia
Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak
diperdagangkan di dunia. Pada tahun 2013, produksi kopi di dunia mencapai 8,7
juta ton dari luas lahan sekitar 10 juta hektar (FAO, 2015). Negara-negara utama
penghasil kopi dunia di antaranya adalah Brazil dengan rata-rata produksi
mencapai 2,8 juta ton kopi per tahun (32,54 %), Vietnam dengan rata-rata
produksi mencapai 1,2 juta ton per tahun (14,98 %), maupun Indonesia dengan
rata-rata produksi mencapai 679 ribu ton per tahun (7,86 %) (Gambar 2.4; FAO,
2015).
Total produksi kopi di Indonesia yang tinggi tersebut sangat berkaitan erat
dengan luas lahan perkebunan kopi yang mencapai sekitar 1,3 juta Ha. Hal ini,
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas perkebunan kopi kedua
setelah negara Brazil dengan luas perkebunan sekitar 2 juta Ha (FAO, 2015). Oleh
karena itu, kopi merupakan salah satu komoditas utama yang banyak
dibudidayakan di Indonesia setelah kelapa sawit 6,1 juta Ha dan karet 5,2 juta Ha
(FAO, 2015)
Sebagai salah satu komiditas terbesar di Indonesia, kopi merupakan salah
satu komoditas ekspor utama Indonesia dari sektor perkebunan. Pada tahun 2013,
total ekspor dari komoditas perkebunan di Indonesia mencapai mencapai 27,6
milyard US$ (BPS, 2014). Dari angka tersebut, kelapa sawit memiliki konstribusi
sebesar 17,6 milyard US$ dan karet memiliki kontribusi sebesar 6,9 milyard US$.
Komoditas kopi berhasil menghasilkan devisa negara mencapai sekitar 1,1
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
17
milyard US$ pada tahun tersebut, sehingga menempatkan kopi sebagai komoditas
penyumbang devisa terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet (BPS, 2014).
Gambar 2.4 Nilai rata - rata produksi kopi di dunia pada tahun 2009 - 2013
(FAO, 2015).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia
Sebagai negara dengan lahan kopi terluas kedua di dunia, Indonesia hanya
mampu menempati urutan ketiga terbesar di dunia sebagai negara penghasil kopi
dunia. Hal tersebut terjadi karena produktivitas perkebunan kopi di Indonesia
tergolong rendah. Pada tahun 2013, total produksi biji kopi yang mampu
dihasilkan oleh setiap hektar lahan per tahunnya hanya berkisar 500 kg biji.
Angka tersebut masih jauh di bawah negara - negara penghasil kopi utama lainnya
seperti Malaysia, Vietnam, Siera Leone, ataupun China yang mampu
menghasilkan biji kopi sekitar 2,4 ton biji kopi untuk setiap hektar lahan setiap
tahunnya. Hal tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke-38 dari 78 negara
penghasil kopi di dunia (Gambar 2.5; FAO, 2015).
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
Brazil Vietnam Indonesia Colombia
Pro
du
ksi (
ton
)
Negara
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
18
Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan
empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO,
2015).
Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya
produktivitas lahan kopi di Indonesia, seperti teknik budidaya yang masih
sederhana, mayoritas perkebunan berusia tua, maupun penggunaan bibit unggul
yang masih rendah. Teknik budidaya kopi seperti penanaman, pemupukan,
pemangkasan dan pengendalian hama penyakit yang dilakukan oleh para petani
kopi masih secara tradisional, selain itu cara pengelolahan budidaya dan
penanganan pasca panen yang kuranag memadai (Arnawa et al., 2010).
Penanaman kopi mayoritas perkebunan kopi di Indonesia telah melebihi usia
produktif, yaitu sekitar 30 tahun, dengan usia produktif kopi rata-rata sekitar 5 -
20 tahun (Viva, 2013). Mayoritas perkebunan kopi di Indonesia juga
menggunakan bibit yang kurang unggul (Santoso & Raharjo, 2011). Oleh karena
itu peremajaan perkebunan kopi dengan menggunakan bibit yang unggul menjadi
prioritas utama perkebunan kopi di Indoensia.
0,
1000,
2000,
3000,
4000,
2009 2010 2011 2012 2013
Pro
du
kti
vit
as k
op
i (K
g
bij
i/ H
a l
ah
an
)
Tahun
Sierra Leone
China
Vietnam
Indonesia
Malaysia
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
19
2.2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia
Pada umumnya petani di Indonesia membudidayakan tanaman kopi
dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji atau secara generatif (Gambar
2.6; Ibrahim et al., 2013). Biji kopi yang akan dijadikan benih dipilih, dari
tanaman unggul dengan produktivitas tinggi. Biji kopi dikecambahkan selama 30
- 40 hari, kemudian dipelihara selama 8 bulan untuk menghasilkan benih kopi
yang siap tanam (Prastowo et al., 2010). Teknik ini mudah dilakukan oleh para
petani dan tidak membutuhkan biaya yang besar serta bibit dapat diproduksi
secara masal (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, bibit yang dihasilkan tidak
memiliki kualitas yang unggul seperti induknya. Kopi robusta dikenal sebagai
jenis kopi yang melakukan penyerbukan silang (Santoso & Raharjo, 2011). Salah
satu dampak penyerbukan silang adalah memunculkan alel-alel resesif yang
memungkinkan adanya sifat-sifat yang kurang baik dari salah satu pohon muncul
pada keturunannya sehingga pada biji-biji yang dihasilkan dari pohon indukan
yang unggul belum tentu menghasilkan keturunan yang unggul pula apabila
digunakan sebagai benih (Sunarti et al., 2012).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
20
Gambar 2.6 Pembibitan tanaman kopi secara generatif (Hulupi dan martini,
2013).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang
unggul seperti tanaman induknya adalah dengan melakukan pembibitan secara
vegetatif, melalui stek, okulasi dan sambung pucuk (Oktavia et al., 2003).
Perbanyakan kopi melalui stek (Gambar 2.7.A) dapat dilakukan dengan cara
memotong dua atau tiga ruas cabang yang memiliki 2 - 4 daun dari pucuk,
kemudian di tanam pada medium tanam. Hasil stek akan terlihat setelah umur 20
hari dan bibit stek tersebut siap ditanam ke lapang setelah berumur sekitar 7 bulan
(Prastowo et al., 2010). Teknik ini mampu menghasilkan bibit yang memiliki sifat
genetik yang sama dengan induknya, mudah dilakukan, dan lebih cepat
menghasilkan bibit. Namun, teknik ini tidak dapat menghasilkan bibit dalam skala
besar karena terbatasnya jumlah cabang yang dapat digunakan sebagai bibit.
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
21
Selain itu, teknik ini juga dapat merusak tanaman induknya, maupun bibit yang
dihasilkan akan memiliki akar serabut sehingga mudah roboh (Prastowo et al.,
2010).
Pembibitan kopi secara vegetatif yang mampu menghasilkan tanaman
dengan akar tunggang adalah dengan menggunakan teknik okulasi (Gambar
2.7.B). Teknik ini dilakukan dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil
dari pohon kopi unggul pada batang bawah yang diperoleh dari pembibitan
melalui biji. Kemudian, bibit hsil okulasi dipelihara lebih lanjut sekitar sekitar 15
bulan sebelum bibit siap ditanam di lahan (Prastowo et al., 2010). Namun
demikian, teknik tersebut masih memiliki keberhasilan yang relatif rendah , yaitu
sekitar 11 % (Prastowo et al., 2010; Basri, 2009). Di samping itu, teknik tersebut
masih menyebabkan kerusakan pada tanaman induknya.
Teknik pembibitan kopi lainnya melalui sambung pucuk (Gambar 2.7.C).
Memiliki teknik yang mirip seperti okulasi namun yang ditempelkan merupakan
cabang yang masih muda yang diambil dari pohon induk unggul. Bibit dapat
ditanam pada lahan setelah berumur 6 - 8 bulan (Prastowo et al., 2010). Seperti
halnya okulasi, teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang sama
dengan induknya (Prastowo et al., 2010), namun, Teknik sambung pucuk belum
mampu menghasilkan bibit secara masal serta dapat merusak tanaman induk yang
digunakan sebagai sumber batang atas (Oktavia et al., 2003).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
22
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
23
induksi kalus embriogenik dilakukan dengan cara menanam eksplan pada medium
tanam yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi atau dengan
menggunakan auksin serta sitokinin secara bersamaan (Gambar 2.8.A Ibrahim et
al., 2013). Tahap induksi kalus pada umunya dilakukan selama 4 minggu
(Sumaryono, 2014 ) dengan tingkat keberhasilan yang masih tinggi sekitar 100 %
(Murni, 2010).
Tahap selanjutnya yaitu tahap induksi embrio. Tahap induksi embrio
dilakukan dengan cara kalus embriogenik ditanam pada medium induksi yang
mengandung auksin dengan konsentrasi rendah yang dikombinasikan dengan
sitokinin dengan konsentrasi tinggi sehingga terinduksi pembentukan embrio
somatik (Purnamaningsih, 2002). Perkembangan embrio somatik dapat melalui
beberapa tahap, yaitu embrio globular (Gambar 2.8.C), embrio tahap hati
(Gambar 2.8.D), embrio tahap torpedo (Gambar 2.8.E), embrio tahap pra
kotiledon(Gambar 2.8.F), dan embrio tahap kotiledon (Gambar 2.8G)
(Purnamaningsih, 2002). Pada tahap ini waktu yang dibutuhkan sekitar 8 bulan
(Ibrahim, 2013) dengan tingknat keberhasilan yang masih tinggi sekitar 100 %
(Riyadi & Tirtoboma, 2004)
Setelah terbentuk embrio pada fase kotiledon, maka dilanjutnya pada tahap
perkecambahan (Gambar 2.8.H-I) yaitu tahapan embrio somatik membentuk
tunas dan akar. Pada tahap ini, embrio dikecambahkan pada media
perkecambahan dengan penambahan ZPT dengan konsentrasi yang sangat rendah
bahkan tidak ditambahkan ZPT (Purnamaningsih, 2002). Pada tahap ini, waktu
yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kecambah sekitar 3 bulan dengan tingkat
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
24
keberhasilan masih cukup tinggi sekitar 90 % (Arimarsetiowati & Ardiyani,
2012).
Tahapan terakhir dari pembibitan kopi melalui embriogenesis somatik
adalah aklimatisasi (Gambar 2.8. J-K). Aklimatisasi merupakan tahapan yang
menentukan berhasil tidaknya teknik embriogenesis somatik yang digunakan
dalam produksi bibit suatu tumbuhan (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini perlu
dilakukan secara hati - hati karena pemindahan bibit dilakukan dari kondisi antara
in vitro ke kondisi ex vitro dengan penurunan kelembaban dan peningkatan
intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002; Sandra, 2012). Pada tahap ini, waktu
sekitar 3 bulan (Yenitasari, 2015) dengan tingkat keberhasilannya sekitar 78 %
dengan (Priyono dan Zaenudin, 2002).
Gambar 2.8 Tahap embriogenesis somatik; Induksi kalus embrioneik ( A-B),
Induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap
torpedo (E), pra kotiledon (F), embrio tahap kotiledon (G),
perkecambahan (H-I) dan tanaman kopi yang siap di aklimatisasi
(J), tahap aklimatisasi (Gatica et al., 2008).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
25
Namun demikian, tahapan produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis
somatik masih memiliki banyak kendala seperti lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk memelihara kultur dalam kondisi in vitro. Sampai saat ini, produksi bibit
kopi melalui teknik embriogenesis somatik memerlukan waktu sekitar 12 bulan
untuk kondisi in vitro yang terdiri atas pada induksi kalus selama 1 bulan
(Sumaryono, 2014), induksi embrio somatik selama 8 bulan (Ibrahim et al.,
2013), dan perkecambahan selama 3 bulan (Murni, 2010). Disamping itu bibit
yang dihasilkan masih membutuhkan tahapan aklimatisasi selama 3 bulan
sebelum siap dibesarkan di screen house (Santoso et al, 2014). Dengan
panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk kondisi in vitro tersebut mengakibatkan
resiko kegagalan produksi cukup tinggi sebagai akibat adanya kontaminasi bakteri
dan jamur, tingginya medium yang digunakan, konsumsi listrik maupun tenaga
kerja yang banyak (Ahloowalia & Savangikar, 2002). Oleh karena itu perlu
inovasi teknik embriogenesis somatik untuk mempersingkat lamanya waktu oleh
embrio kopi dalam kondisi in vitro.
2.4 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mempersingkat waktu
kultur secara in vitro adalah dengan menggunakan teknik direct sowing. Teknik
direct sowing adalah teknik yang menggabungkan tahapan perkecambahan embrio
sekaligus bersamaan dengan tahapan aklimatisasi bibit terhadap kondisi eksternal
(Kubota, 2002). Embrio somatik dikecambahkan secara langsung pada kondisi ex
vitro sekaligus dilakukan aklimatisasi. Manfaat teknik direct sowing untuk
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
26
produksi bibit kopi adalah mempersingkat waktu kultur sehingga mampu
menghemat tenaga, biaya serta memperkecil resiko kontaminasi (Priyono &
Zaenudin, 2012).
Beberapa tanaman telah berhasil diperbanyak dengan mengaplikaasikan
teknik tersebut seperti tanaman Medicago sativa L (Fujii et al., 1989), Magnolia
pyramidata (Merkle et al., 1994) dan Theobroma cacao L. (Niemenak et al.,
2008). Pada tanaman M. sativa embrio somatik berhasil dikecambahkan sekaligus
diaklimatisasikan dengan menggunakan teknik direct sowing. Tingkat
keberhasilan teknik direct sowing pada embrio somatik tanaman tersebut
mencapai 60 % dan mampu mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 6 minggu
(Fuji et al., 1989). Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman M. pyramidata
dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 40 % dan mampu mempersingkat
waktu kultur in vitro sekitar 5 minggu (Merkle et al., 1994).
Pada T.cacao L, teknik direct sowing juga berhasil digunakan untuk
mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 8 minggu, namun demikian teknik
tersebut hanya memiliki tingkat keberhasilan rendah 10 % (Niemenak et al.,
2008)
Pada tanaman kopi arabika, teknik direct sowing juga telah dicobakan untuk
meningkatkan produksi bibit kopi unggul secara masal. Embrio somatik yang
berumur 4 bulan diaklimatisasikan pada medium campuran tanah : pasir : bubur
batang (plup) kopi dengan perbandingan 2 : 1 : 1 kemudian di pelihara selama 2
bulan. Teknik tersebut berhasil digunakan untuk produksi bibit kopi arabika
dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 %. Teknik tersebut juga mampu
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
27
mempersingkat lama kultur 13 % lebih cepat dibandingkan dengan teknik
embriogenesis somatik secara konvesional (Etienne-Barry et al., 1999).
Pada tanaman kopi robusta, teknik direct sowing juga telah dicobakan,
namun dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah, yaitu sekitar 50 %
(Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya keberhasilan
teknik embrio somatik selama proses aklimatiasai adalah derajat keasaman (pH)
substrat tanam
2.5 Derajat Keasaman Substrat Tanam
2.5.1 Pengertian dan Fungsi Derajat Keasaman pada Tumbuhan
Derajat Keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman atau kebasaan yang
dimiliki suatu larutan. Tingkat keasaman ditunjukan sebagai konsentrasi ion H+
pada suatu larutan berpelarut air. Nilai pH berjarak antara 0 (sangat asam) sampai
14 (sangat basa) dan titik netralnya pada pH 7 (Fitriani, 2001). Bila nilai pH suatu
larutan bernilai kurang dari 7 maka larutan disebut bersifat asam dan apabila nilai
pH lebih besar dari 7 maka larutan tersebut basa.
Derajat keasaman (pH) memiliki peranan penting pada proses
pertumbuhan suatu tanaman. Hal tersebut dikarenakan pH berperan penting dalam
keberadaan mikroorganisme tanah, ketersediaan nutrisi makro dan mikro maupun
daya serap tanaman terhadap nutrisi (Widiastoety et al., 2005 & Salisbury &
Ross, 1992).
Keberadaan mikroorganisme pada substrat tanam dipengaruhi oleh pH
substrat tersebut. Pada umumnya, pH optimum untuk pertumbuhan
mikroorganisme bervariasi di sekitar 6,8 – 7,8 (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013),
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
28
namun setiap organisme membutuhkan nilai pH tertentu. Jamur dapat tumbuh
secara optimum pada pH sekitar 4 – 6 (Budiman et al., 2009), sedangkan bakteri
membutuhkan pH sekitar 6 – 8 (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013), dan algae
membutuhkan pH berkisar 7 – 9 (Isnadina & Hermana, 2013).
Ketersediaan nutrisi pada substrat tanam juga dipengaruhi oleh pH substrat
tanam. Pada umumnya, ketersediaan nutrisi yang optimum terjadi pada kisaran
5,2 – 6,5 (Soemarno, 2010). Secara umum ketersediaan nutrisi pada suatu substrat
tanam sangat dipengaruhi oleh pH substrat tersebut (Gambar 2.9). Sebagai
contoh ketersediaan unsur fosfat yang optimum berada pada kisaran pH 4,5 – 7,6.
Pada pH rendah (< 4,5), fosfat akan bereaksi dengan ion besi dan alumunium
membentuk besi fosfat atau alumunium fosfat yang sukar larut dalam air,
sedangkan pada pH tinggi, fosfat akan bereaksi dengan ion kalium membentuk
kalium fosfat yang juga sukar larut dalam air sehingga senyawa tersebut tidak
dapat diserap oleh tanaman (Matson, 2010).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
29
Gambar 2.9. Keberadaan unsur nutrisi tumbuhan sangat dipengaruhi oleh pH
substrat tanam (Taiz & Zeiger, 2002, p.77).
Daya serap tumbuhan terhadap nutrisi yang tersedia pada substrat tanaman
juga dipengaruhi oleh pH substrat tersebut. Nilai pH yang tepat agar daya serap
tumbuhan terhadap nutrisi optimum sangat tergantung kepada jenis tumbuhan
maupun jenis nutrisi yang akan diserap. Pada anggrek, pH optimum untuk
penyerapan nutrisi terjadi pada kisaran pH 5,0 – 5,5 (Widiastoety et al., 2005),
sedangkan pada kedelai, pH optimum untuk penyerapan nutrisi adalah berkisar 6 -
6,8 (Sofia, 2007).
Pada umumnya, pH optimun yang dibutuhkan agar tumbuhan dapat
menyerap nutrisi secara optimum berada pada kisaran 5,0 – 7,0. Namun demikian,
pH optimum untuk setiap nutisi yang diserap oleh tanaman bervariasi tergantung
jenis nutrisi. Ion fosfat diserap oleh tumbuhan secara optimum pada pH di bawah
7. Pada pH tersebut, fosfat berada dalam bentuk anion bervalensi satu (H2PO4-),
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
30
sedangkan pada pH di atas 7 ion fosfat berada dalam bentuk anion valensi dua
(HPO42-
, Gambar 2.9 ; Salisbury & Ross, 1992). Hal yang sama juga terjadi pada
penyerapan nitrogen dalam bentuk anion (NO3-) paling optimum pada pH asam,
sedangkan penyerapan nitrogen dalam bentuk kation (NH4+) paling optimum pada
pH basa (George & de Klerk, 2008). Hal sebaliknya terjadi pada penyerapan ion
Cl- yang optimum pada pH di atas 7 (Schubert et al., 1990).
Gambar 2.10 Grafik penyerapan fosfat terhadap nutrisi pada substrat tanam yang
berpengaruh terhadap derajat keasaman (pH).
2.5.2 Fungsi Derajat Keasaman (pH) Substrat Tanam dalam Aklimatisasi
Bibit Hasil Kultur Jaringan
Pada kultur jaringan, pH suatu substrat tanam menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap keberhasilan aklimatisasi suatu tanaman. Perveen et al.
(2013) melaporkan bahwa pH medium berpengaruh secara nyata terhadap
regenerasi dan aklimatisasi Euphorbia cotinifolia L. pH 5,8 memberikan
persentase regenerasi paling tinggi (90 %) dibandingkan pH 5,0 (50 %) ataupun
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016
31
pH 6,6 (45%). pH 5,8 juga dilaporkan menjadi nilai pH paling optimum untuk
regenerasi dan aklimatisasi Polyscias balfauriana dibandingkan dengan pH 5,0
ataupun 6,6 (Ilyas et al., 2013). Hal yang sedikit berbeda dilaporkan pada tanaman
Hygrophila polysperma (Roxb.) T. Anderson yang menunjukkan bahwa
perlakuan pH yang bervariasi dari 4,0 sampai 10,0 tidak berpengaruh secara nyata
terhadap keberhasilan aklimatisasi karena seluruh plantlet berhasil
diaklimatisasikan. Namun demikian, pH berpengaruh secara nyata tinggi tanaman
dan jumlah internodus sesudah aklimatisasi dengan pH optimum sebesar 7,0
(Karatas et al., 2013).
Kemampuan pH berpengaruh erat terhadap keberhasilan aklimatisasi
tumbuhan hasil kultur jaringan diduga disamping berkaitan erat dengan
ketersediaan nutrisi bagi tumbuhan maupun penyerapan nutrisi bagi tumbuhan
juga berhubungan dengan peran pH terhadap aktivitas auksin dalam menginduksi
pembentukan akar (George & de Klerk, 2008). pH substrat yang bersifat asam
sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam proses induksi akar pada tanaman
Nicotiana tabacum (Thorpe et al., 2008).
Pengaruh Substrat Taman..., Yongky Abdurrahman Wachid, FKIP UMP 2016