Upload
lethu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Permukiman
Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun
2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di
sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah
dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah
perumahan.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan
dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya
dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada
hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia
dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya.
Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu
mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan
permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi
dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif.
Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan
barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan
ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka
permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan
fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan
dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk
merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
12
2.2. Kota Baru
Perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor
pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi
(Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini sesuai dengan
pendapat Richardson (1977) yang mengatakan bahwa kota merupakan wilayah
administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat
tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian
utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Menurut Gallion (1986) kota
adalah wilayah geografis tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia,
dan manusia-manusia tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.
Berdasarkan definisi tersebut, maka perkotaan bisa dikatakan sebagai suatu
ekosistem yang terbentuk oleh kegiatan manusia. Ekosistem kota sangat tergantung
pada ekosistem lain dalam hal pemenuhan kebutuhan materi dan energi. Menurut azas
lingkungan yang dikemukakan oleh Soeriaatmadja (1977) ekosistem yang kuat (mantap)
akan mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah (tidak mantap). Oleh karena itu
maka jika tidak ada aturan dan kebijakan yang baik, maka akan terjadi eksploitasi
berbagai sumberdaya alam dari ekosistem pedesaan oleh ekosistem kota.
Perkembangan wilayah perkotaan dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah
perkotaan menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk serta tingginya kebutuhan
lahan hunian. Tingginya lahan hunian ini menjadi faktor penggerak utama terjadinya
perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali, yaitu urban sprawl. Urban
sprawl ini terjadi karena lambatnya langkah antisipatif perencanaan dan terbatasnya
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana dan sarana serta dalam
pengendalian tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mendukung fungsi optimum
pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Terjadinya urban sprawl ini memunculkan
berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas
hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan
prasarana dan sarana dasar, munculnya masalah-masalah sosial ekonomi perkotaan
seperti kesenjangan sosial, kriminalitas dan pengangguran.
13
Dalam beberapa waktu belakangan ini di dalam kota atau di sekitar kota, atau
malah di lokasi hinterland perkotaan sering terbentuk kota baru baik yang sebelumnya
memang sudah direncanakan, maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Visi
pengembangan perkotaan ini juga terlihat dari definisi kota baru yaitu kota yang sama
sekali baru direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai
prasarana dan sarana pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi serta prasarana
penggerak dan sarana perhubungan (Golany, 1976). Definisi tersebut, memberi
beberapa pengertian kota baru, yaitu (i) Kota yang lengkap, yang ditentukan,
direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk,
(ii) Kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi
permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu
pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) Kota yang mandiri, mampu memenuhi
pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya
(self-contained new town), (iv) Lingkungan permukiman skala besar yang dimaksudkan
untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya
masih bergantung pada kota induknya (dependent town). Kota baru ini dapat disamakan
dengan “kota satelit” dari kota utama/kota inti.
Menurut Urban Land Institute (ULI) kota baru merupakan suatu proyek
pembangunan lahan yang luasnya mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang
mencakup perumahan, perdagangan, industri, yang secara keseluruhan dapat
memberikan kesempatan hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut. Pada kota
baru terdapat spektrum jenis dan harga rumah lengkap, ruang terbuka bagi kegiatan
pasif dan aktif yang permanen dan ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat
tinggal dan dampak kegiatan industri, pengendalian, dan estetika yang kuat. Oleh
karena itu maka untuk keperluan pembangunan awal, diperlukan biaya dan investasi
yang cukup besar (Sudjarto, 1993).
Menurut Advisory Commission on Intergovernmental Relation (Sudjarto, 1993),
kota baru adalah:
• Kota yang memungkinkan untuk menunjang berbagai jenis rumah tinggal dan
kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam lingkungan itu
sendiri.
14
• Daerahnya dikelilingi jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari
wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi
jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
• Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu
proporsi yang peruntukan lahannya sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,
fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka pada proses perencanaannya.
Tujuan pembangunan kotabaru antara lain adalah untuk menampung kelebihan
jumlah penduduk yang tinggal di suatu kota induk yang sudah berkembang dan untuk
menahan terjadinya perpindahan penduduk dari kota-kota sekitar kota induk yang telah
berkembang. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan wilayah sekitar kota induk,
karena pembangunan kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang ditujukan
untuk memantapkan fungsi kota serta keterkaitannya secara fungsional dan spasial agar
dapat berfungsi optimal dalam penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi, penyediaan
kebutuhan perumahan dan fasilitas sosial ekonomi.
2.2.1. Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru
Pada dasarnya berdasarkan masanya ada empat jenis kota baru yakni kota baru
masa pra revolusi industri, kota baru masa revolusi industri, kota baru pasca revolusi
industri dan kota baru masa kini. Ke-empat jenis kota baru ini mempunyai konsep
pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya, begitupun dengan tujuan
pembentukan kota baru tersebut. Untuk lebih jelasnya jenis kota baru, konsep
pengembangan dan tujuan pembentukan kota baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Soegijoko dan Tjahjati (1997), berdasarkan permasalahan kebutuhan dan
perkembanganya, maka kota baru modern yang dikembangkan pada umumnya ada tiga
jenis antara lain:
Kota baru yang dikembangkan sebagai suatu upaya penyelesaian masalah perkotaan
dan internal yang berupa program rehabilitasi, peningkatan kualitas lingkungan, atau
peremajaan bagian kota berskala besar yang sudah tumbuh dan berkembang.
Kedua suatu pembangunan skala besar dari suatu kota kecil sehingga memiliki
kelengkapan setara kota.
Ketiga pembangunan secara desentralisasi melalui pengembangan permukiman baru
setara kota baik yang khusus menyediakan perumahan yang umumnya berada di
15
wilayah pinggiran kota maupun pada lokasi yang berjarak dekat dengan kota induk
atau suatu permukiman baru yang mandiri pada suatu wilayah yang sama sekali baru
dibuka.
Tabel 1. Konsep kota baru
MasaPengembangan
Kota Baru
Konsep Perkembangan KotaBaru
Tujuan PembentukanKota Baru
Kota Baru masaPra revolusiIndustri
Invasi Migrasi
Penguasaan Kolonial
Eksploitasi Sumber daya alam
Prestise kekuasaanpemerintahan
Pertahanan tanah jajahn Kolonisasi Eksploitasi SDA Migrasi
Kota Baru masarevolusi Industri
Perkembangan teknologi
Industrialisasi besarbesaran
Urbanisasi
Ekonomi Kapitalistik
Peningkatan Produktivitas
Eksploitasi SDA dan Manusia
Industrialisasi Urbanisasi Kapitalisme Eksploitasi SDA dan
Manusia
Kota Baru pascarevolusi Industri Industrialisasi dan urbanisasi
Degradasi Kualitas kehidupan di KotaIndustri
Mengembalikan Kehidupan yang layak danmanusiawi
Meningkatkan kualitaskehidupan yangmanusiawi denganlandasan:
Pembatsan kepadatanpenduduk
Pembentukan lingkunganyang layak dan mandiri
Keserasian lingkungansosisal dan lingkunganfisik
Pengendalian penggunaanKota Baru masakini
Urbanisasi dan indutrialisasi
Perkembangan metropolis dan wilayahmetropolitan
Degradasi kualitas kehidupan kota besarPerkembangan kota secara sporadis dan
kontinu
Menghambat arus urbanisasi danmemperbaiki kualitas kehidupan
Keseimbangan kota desa Pemerataan
pembangunan Menghambat urbanisasi Pemecahan masalah
kebutuhan permukiman Pembangunan kota yang
berwawasan lingkungan
Sumber: Sudjarto, 1993a;1993b.
16
Selanjutnya secara fungsional Soegijoko dan Tjahjati (1997) membagi
berdasarkan ketiga jenis kotabaru dalam dua kategori berikut ini:
1. Kotabaru Penunjang, yakni kota baru yang tidak mempunyai kekuatan ekonominya
sendiri, sehingga:
secara ekonomis dan fisik tergantung pada kota induknya.
kotabaru sebagai tempat tinggal, kommuter ke induk
pelayanan dari kota induk
jarak dengan kota induk 20 - 40 km
kota yang masuk kota baru penunjang adalah kota baru satelit, kotabaru dalam
kota dan kawasan permukiman skala besar di kota induk
2. Kotabaru Mandiri, yakni kota baru yang secara ekonomis dan fisik memiliki
kemandirian, sehingga merupakan kota baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan berkembang secara mandiri
berperan sebagai pusat pengembangan di suatu wilayah
penduduk bermukim dan mencari kehidupan di kotabaru
penduduk bukan “kommuter”
jarak dari kota induk ≥ 40 - 60 km
Kota yang termasuk ke dalam kota baru mandiri adalah kotabaru umum, kotabaru
industri, kotabaru perusahaan (pertambangan, perkebunan), kota baru pusat
pemerintahan dan kota baru instalasi khusus (militer, riset, universitas),
2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan
Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks,
sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi.
Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang
menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).
Selain definisi operasional di atas, Fauzi (2004) melihat bahwa konsep kota
berkelanjutan dapat diidentikan dengan konsep keberlanjutan itu sendiri sehingga
diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:
17
1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidak seimbangan sektoral yang dapat
merusak produksi pertanian dan industri
2. Keberlanjutan lingkungan, sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang
tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi
3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang
mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan,
pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga
tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan
masalah konservasi sumberdaya alam. Tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Oleh karena itu, maka tujuan pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi,
tujuan ekologi, dan tujuan sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setidaknya pembangunan kota baru harus
mengikuti peraturan dan tatanan yang berlaku, sehingga kaidah pembangunan kota
berkelanjutan dapat dipenuhi untuk memperoleh model kebijakan dalam mewujudkan
kota mandiri berkelanjutan.
2.3. Kebijakan Pengembangan Perkotaan
Saat ini pembangunan perkotaan diupayakan untuk ditingkatkan dan
diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata
ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, serta
kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien,
dan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Sejalan dengan terjadinya
pembangunan kota dan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di
dalamnya, maka pembangunan perumahan dan permukiman di lokasi perkotaan pun
18
lebih ditingkatkan dan diperluas hingga dapat makin merata dan menjangkau
masyarakat berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan permukiman
tersebut, tetap memperhatikan rencana tata ruang dan keterkaitan serta keterpaduannya
dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Kaitan dengan terjadinya pembangunan kota secara pesat ini, maka air, tanah dan
lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur
dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk kepentingan
permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, dan kelistrikan serta
prasarana pembangunan lainnya.
2.4. Perkembangan Penduduk Perkotaan
Hingga saat ini kota masih merupakan tempat tujuan untuk memperjuangkan
harapan, oleh karena itu maka pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat
dibanding di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya:
a. Pertumbuhan penduduk alamiah, yang berasal dari selisih antara jumlah penduduk
yang dilahirkan dengan jumlah penduduk yang meninggal dunia.
b. Migrasi penduduk yang merupakan selisih jumlah penduduk yang masuk ke suatu
kota dengan jumlah penduduk yang pergi meninggalkan kota.
c. Reklasifikasi status kawasan yakni perbedaan dalam definisi perkotaan antara satu
sensus dengan sensus lain, selain itu juga terjadi karena adanya perluasan batas
wilayah kawasan perkotaan atau berubahnya status kawasan dari pedesaan menjadi
perkotaan.
Diantara ketiga hal yang penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan, yang
pengaruhnya paling kecil adalah pertumbuhan penduduk secara alami; sedangkan faktor
yang paling dominan dalam pertumbuhan penduduk perkotaan adalah migrasi dan
reklasifiksi status kawasan. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong dan faktor
penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan migrasi menuju perkotaan. Adapun
yang dimaksud dengan faktor pendorong di sini adalah kekuatan dari luar perkotaan
(kekuatan eksternal), sedangkan faktor penarik adalah kekuatan yang berasal dari dalam
perkotaan itu sendiri (kekuatan internal). Ada berbagai kekuatan eksternal yang
mempengaruhi perkembangan perkotaan, salah satu diantaranya adalah urbanisasi
berupa migrasi penduduk perdesaan ke kawasan perkotaan akibat sektor pertanian tidak
19
mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor
internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda
angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan
ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik
penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin
memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan
munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk
perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan
Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 (Badan Pusat Statistik)
Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah
perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk
hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada
kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih
19% (Djakapermana, 2004). Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian
tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi
lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan
kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70%. Kondisi ini pada akhirnya akan
memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir.
Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman (sebesar 4,99%) merupakan
1980 1990 2000 2010 2015
Penduduk Kota 32.85 54.06 85 117.5 150
Penduduk Nasional 147.09 182.1 207.32 228.66 250
0
50
100
150
200
250
300
JumlahPenduduk
Kota (Juta)
Tahun
20
lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar
terjadinya run off .
Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan
perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun
berskala besar (Hidayat, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan
permukiman skala besar (>500 ha) mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain
merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta.
Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan kawasan
perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang
dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang
membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di
Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3.
Aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan
dan lain-lain) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang
ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di
perkotaan (The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The
City of Jakarta, 1990) sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai
70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari
12.000m3 (Sutjahjo et al., 2005). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses
dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses
dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan
dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan
(Martin et al., 1985). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi
bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan
membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al., 2005). Selanjutnya dikatakan
bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk
memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di
beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan.
21
Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001
No.Jenis penggunaan
LahanTahun 1992 Tahun 2001 Perubahan
(Ha) (%) (Ha) (%) (%)1 Lahan terbuka 142.718,90 19,94 169.276,80 23,65 + 3,712 Lahan pertanian 104.186,40 14,55 104.108,90 14,54 - 0,01
3 Lahan bervegetasicampuran 179.614,70 24,67 183.534,80 25,64 + 0,97
4 Hutan 197.792,00 27,63 64.084,14 8,95 - 18,685 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,10 19,51 + 9,99
6 Lahan lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70 + 4,02
Jumlah 715.832,90 100,00 715.832,90 100,00Sumber: Djakapermana,2004
Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur
Keterangan : **= tidak ada data.Sumber : * Hidayat (2005)
No. Nama Luas (Ha) Lokasi1 Lipo Cikarang* 5000 Kab. Bekasi
2 Cikarang Baru* 2000 Kab. Bekasi
3 Kota Legenda (Bekasi 2000)* 2000 Kab & Kodya Bekasi
4 Harapan Indah* 800 Kab. Bekasi
5 Bukit Jonggol Asri* 30000 Kab. Bogor
6 Citra Indah* 1000 Kab. Bogor
7 Kota Taman Metropolitan* 600 Kab. Bogor
8 Kota Wisata* 1000 Kab. Bogor
9 Bukit Sentul* 2000 Kab. Bogor
10 Rancamaya* 550 Kab. Bogor
11 Kota Cileungsi* 2000 Kab.Bogor
12 Resort Danau Lido* 1700 Kab. Bogor
13 Taruma Resort* 1100 Kab. Bogor
14 Talaga Kahuripan* 750 Kab. Bogor
15 Maharani Citra Pertiwi * 1679 Kab. Bogor
16 Kotabaru Tigaraksa * 3000 Kab. Tangerang
18 Puri Jaya * 7145 Kab. Tangerang
19 Citra Raya * 3000 Kab. Tangerang
20 Lippo Karawaci* 2000 Kab. Tangerang
21 Gading serpong * 1500 Kab. Tangerang
22 Bintaro Jaya * 2321 Kab. Tangerang
23 Bumi Serpong Damai* 6000 Kab. Tangerang
24 Pantai Indah Kapuk* 800 DKI Jakarta
25 Bukit Harmoni ** Cianjur
26 Kota Bunga ** Cianjur
27 Green Apple Village ** Cianjur
28 Mutiara Depok ** Depok
29 Depok Asri ** Depok
22
Besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Kualitas
air dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum;
b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan;
c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar;
d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan.
Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai
menjadi beberapa kelas. Sebagai contoh klasifikasi di Sungai Ciliwung berkisar dari
kelas II hingga kelas IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 (Kompas, 18
November 2005).
Tabel 4. Kualitas air Sungai Ciliwung
Segmen Lokasi Kualitas air
1 Cisarua kabupaten Bogor Kelas II
2 Kota Bogor Kelas IV
3 Cibinong Kabupaten Bogor Kelas III
4. Kota Depok Kelas IV
5. DKI Jakarta Tidak masuk pada kelas manapunSumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kualitas air di wilayah perkotaan seperti Kota
Bogor dan Depok buruk (kulitas IV), dan hanya layak untuk dipakai mengairi
pertamanan, atau tidak layak untuk bahan baku air minum. Bahkan di DKI Jakarta
kualitas air Sungai Ciliwung sangat buruk, sehingga tidak layak untuk pertamanan
sekalipun. Kualitas air Sungai Ciliwung yang buruk di wilayah perkotaan diduga
berkaitan dengan besarnya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan
data dari Urban and Regional Development Institute (URDI), di wilayah Bodetabek,
sampah yang dapat dikelola hanya 20 -30 % dari total volume produksi sampah per hari,
sisanya dibuang ke sungai, selokan atau kanal (URDI, 2000 dalam Djakapermana,
2004).
2.5. Kebijakan
Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang
dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan
institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan
23
tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan perilaku dalam rangka memecahkan
persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones, 1984). Dengan
demikian, kebijakan bersifat dinamis, sebagai akibat adanya konsistensi dan
pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.
Menurut Davis et al. (1993) kebijakan tidak berdiri sendiri (single decision)
tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan. Kebijakan merupakan salah satu
alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Oleh karena itu maka pembuatan
kebijakan harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan tepat. Karena pembuatan
kebijakan yang dilakukan dengan sekedarnya akan menghasilkan kebijakan yang tidak
tepat. Menurut Caiden (1971) kesulitan membuat kebijakan yang tepat disebabkan oleh
sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, sehingga sulit disimpulkan. Selain itu
juga dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam kepentingan pada setiap sektor dan
instansi, adanya umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan pembuat kebijakan tidak
terlalu faham dengan perumusan kebijakan. Oleh karena itu untuk terciptanya
kebijakan yang tepat (appropriateness), pemerintah harus bekerja secara seksama mulai
dari membuat rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan,
pelaksanaan di lapangan, dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses
rancangan kebijakan. Dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode,
strategi dan teknik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak terkait.
Agar tercapai keinginan, tujuan dan sasaran. Kebijakan dapat berbentuk negatif seperti
larangan atau berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau
menganjurkan.
Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada
bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya
keputusan tersebut kepada masyarakat. Dalam implementasinya supaya kebijakan yang
dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi oleh
seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, bagaimana karakteristik
badan eksekutif, metode apa yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan
peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.
Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan (Rees,
1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan juga seringkali tampak irasional, karena
kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat
24
1Analisis
DeterminasiKebijakan
Monitoring danEvaluasi
Kebijakan
Informasi untukKebijakan
AnalisisIsi Kebijakan
AdvokasiKebijakan
AnalisisKebijakan
Analisis untukKebijakan
2 3 4 5
yang lain. Oleh karena itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai
dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan
dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.
Menurut Abidin (2002) pemilihan kebijakan yang baik dan tepat akan terjadi
apabila memenuhi kriteria:
1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah pemilihan sasaran dapat menghasilkan
tujuan akhir yang diinginkan. Oleh karena itu maka strategi kebijakan yang dipilih
idealnya dilihat dari kapasitasnya dalam memenuhi tujuan dalam rangka
memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang
harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;
3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan
sumberdaya yang ada;
4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan
ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;
5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab
permasalahan tertentu dalam masyarakat;
6. Tepat (appropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan
sebelumnya.
2.6. Analisis dan Proses Kebijakan
Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan.
Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan
dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang
proses kebijakan. Parsons (2005) secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang
sebuah kontinum seperti disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Variasi analisis kebijakanSumber: Parsons, 2005
25
Gambar 4 di atas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup
determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang
berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan
tersebut dibuat. Adapun isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang
kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan tersebut berkembang dalam hubungannya
dengan kebijakan sebelumnya. Analisis isi kebijakan ini bisa juga didasari oleh
informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik
terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan adalah analisis yang bertujuan
untuk mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan
kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Variasi
terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi
kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda
kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Informasi untuk kebijakan adalah
analisis yang bertujuan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan,
sehingga bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang
aspek kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.
Menurut Quade (1976) analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam
teknik untuk rneningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan misalnya,
mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah untuk membantu
pembuat keputusan dalam membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat
pihak lain. Dengan demikian maka analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif
dunia nyata. Ada tiga tahap yang harus dilalui oleh analisis ini yakni pertama,
penemuan, yaitu usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di
antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni mengupayakan agar
temuan itu bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga
implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu
banyak, namun dapat membuat alternatif tersebut menjadi tidak memuaskan.
Pada dasarnya ada tiga jenis analisis kebijakan yaitu analisis kebijakan yang
bersifat prospektif yang menganalisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi
kebijakan. Analisis ini meliputi tahap-tahap identifikasi masalah,
prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategis kebijakan, pilihan dan rekomendasi
kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yaitu analisis yang dilakukan sesudah
26
aksi kebijakan. Analisis ini digunakan untuk menilai sesudah dilakukan aksi kebijakan
atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya, contoh dari analisis ini adalah monitoring
dan evaluasi. Jenis analisis ketiga, adalah integrasi dan analisis prospektif dan
restrospektif. Analisis ini dapat dilakukan baik sebelum aksi kebijakan maupun
sesudah dilakukan aksi kebijakan (Dunn, 1998).
Menurut Abidin (2002) agar pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang
relevan, maka identifikasi masalah idealnya harus dapat menghasilkan informasi tentang
rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal, dan
masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang
strategi pemecahan masalah. Pilihan strategis akan menghasilkan informasi
rekomendasi untuk dimanfaatkan oleh yang berwenang, sehingga pada akhirnya
menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring akan menghasilkan informasi tentang proses
pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu, sedangkan evaluasi
kebijakan akan memberi informasi tentang dampak secara keseluruhan akibat
diterapkannya suatu kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa dari ketiga analisis
kebijakan di atas, jenis informasi dan bentuk kebijakan pada setiap jenis kebijakan dapat
dibeda-bedakan. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Menurut Dunn (1998) metoda analisis kebijakan menyediakan informasi yang
berguna untuk menjawab lima pertanyaan. Adapun pertanyaan tersebut adalah apa
hakekat permasalahannya, kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk
mengatasi masalah dan apa hasilnya dan seberapa bermakna hasil tersebut dalam
memecahkan masalah, alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan
hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi
kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan.
Tabel 5. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan
Sumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
No. Jenis kebijakan Jenis informasi
1. Prospektif Prediksi Evaluasi Preskripsi -
2. Retropspektif Deskripsi Evaluasi - -
3. Integratif Deskripsi Prediksi Evaluasi Preskripsi
27
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim
dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu definisi, prediksi, preskripsi,
deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi
mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi)
menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa
mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.
Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif
dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan. Pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya
alternatif kebijakan. Evaluasi akan menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah. Kelima prosedur
analisis tersebut disajikan pada Gambar 5.
2.7. Pelestarian dan Degradasi Lingkungan
Menurut Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung
lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan mahluk
hidup, dan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.
Daya tampung lingkungan juga disebut daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem
untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto, 1989). Semakin tinggi daya
tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya. Daya dukung dinyatakan
dalam jumlah maksimum mahluk yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau
daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan
populasi maksimumnya di masa datang (Odum, 2004). Degradasi sumber daya alam
dapat terjadi secara alami maupun oleh kegiatan manusia. Pencemaran oleh sampah dan
air limbah domestik maupun industri berhubungan dengan pengelolaan lahan perkotaan
dan industri yang tidak memadai (Barrow, 1991).
28
Gambar 5. Analisis
2.8. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang
Terjadinya pertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing.
yang subur, akan mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar
digunakan untuk perluasan f
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).
itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (
planning) merupakan hal penting dala
Perencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
hidup manusia mulai dari skala kecil sampai
sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif
Hal ini sejalan dengan pernyataan
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
(status), potensi dan pembatas
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
aspirasinya untuk masa
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
keputusan tentang penggunaan lahan
HasilKebijakan
Pemantauan
Evaluasi
Perumusan
Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalahSumber: Dunn, 1998
gelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang
ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing. Bahkan l
mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar
luasan fasilitas atau sarana dalam memenuhi ke
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).
itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (land resource development
) merupakan hal penting dalam pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.
erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
hidup manusia mulai dari skala kecil sampai skala besar. Tujuannya agar penggunaan
sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif dan efisien secara berkesinambungan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Soil Conservation Society of America
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
(status), potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya,
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
aspirasinya untuk masa yang akan datang. Adapun fungsi utama pe
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
keputusan tentang penggunaan lahan, sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan
MasalahKebijakan
KinerjaKebijakan
Masa DepanKebijakan
AksiKebijakan
Peramalan
Rekomendasi
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
ada masalah
ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
Bahkan lahan pertanian
mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar karena akan
kebutuhan umum
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004). Untuk
and resource development
m pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.
erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
agar penggunaan
dan efisien secara berkesinambungan.
ciety of America (1982) bahwa
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
aerah tertentu dan sumberdayanya,
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
ungsi utama perencanaan
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan
Masa DepanKebijakan
Peramalan
Rekomendasi
29
ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia, sekaligus
mengkonservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004).
Menurut Sitorus (2004) dalam operasionalnya perencanaan penggunaan lahan
bertujuan untuk (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat dalam
mengupayakan terciptanya penggunaan lahan yang optimal, (2) mencegah adanya salah
urus yang menyebabkan lahan rusak, sehingga penggunaan lahan tidak
berkesinambungan, (3) mencegah adanya tuna kendali dalam mengupayakan
penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh adanya kendali, (4) menyediakan
lahan untuk keperluan pembangunan yang terus meningkat, dan (5) memanfaatkan
lahan sebesar-besarnya untuk kemakmuran manusia.
Menurut Sitorus (2004) pengelolaan diartikan sebagai upaya sadar dan terpadu
untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks lingkungan,
pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk mengembangkan
strategi untuk menghadapi, menghindari dan menyelesaikan penurunan kualitas
lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang
lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara
berkelanjutan. Pada dasarnya terdapat dua fungsi dalam pengelolaan sumberdaya lahan
secara garis besar, yaitu (1) tujuan fisik yang dinyatakan atau diukur dalam satuan-
satuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain dan dinyatakan dalam satuan-
satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh, dan (2) tujuan ekonomis, yakni
diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum. Lebih lanjut
dikatakan bahwa sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yang dalam sistem
pengelolaan lahan harus dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling
mengisi, yaitu: (1) Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2)
Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) Menyiapkan tanah dalam
keadaan olah yang baik, (4) Menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun
baik, dan (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan
tanaman.
Lal dan Pierce (1991) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya lahan di masa
depan harus mampu: (1) mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan,
30
(2) memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan kualitas sumberdaya lahan, air
dan udara, serta (3) menyediakan kebutuhan makanan dan serat secara ekonomis dan
sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa prinsip manajemen di masa depan adalah
mengelola lahan dalam ruang (space) dan waktu (time). Dalam kerangka ini diusulkan
tiga prinsip manajemen spesifik yaitu: (1) berusaha tani dengan soilscape (tanah dan
landscape), (2) mengelola zona di lapangan, dan (3) mengelola periode bera/tidak
ditanami (non crop).
Masalah yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidaktaatan azas
(inconsistencies) antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan apa yang terjadi
dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya RTRW dimaksudkan sebagai alat koordinasi
pembangunan sektor, artinya pembangunan sektor-sektor harus mengacu kepada
RTRW. Menurut Djakapermana (2004) penataan ruang mencakup proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Pemanfaatan ruang merupakan wujud
operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. Pengendalian
pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap
pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW. Penataan ruang bertujuan
agar pemanfaatan ruang menjadi berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan
ruang pada kawasan lindung dan budidaya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang
yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataannya.
2.9. Pencemaran
Semakin meningkatnya kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula
tingkat pencemaran (Fardiaz, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran akan
terjadi baik di perairan, udara maupun tanah. Pada pencemaran perairan seperti pada
sungai, secara alamiah, sungai dapat tercemar pada daerah permukaan saja. Pada sungai
yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah bahan pencemar akan mengalami
pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah, namun pada sungai
yang arusnya lemah dan pergantian airnya tidak banyak, seringkali mengalami
31
pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi.
Selain itu arus yang lemah juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen
terlarut.
Menurut Odum (1971) pencemaran adalah perubahan sifat-sifat fisik, kimia
maupun biologi yang tidak dikehendaki yang dapat terjadi baik pada udara, tanah
maupun air. Menurut Sutamihardja (1982) berdasarkan sumbernya bahan pencemar
atau zat pencemar terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal
dari kegiatan manusia.
Ada berbagai parameter yang merupakan penanda bahwa suatu perairan telah
tercemar. Namun demikian indikator pencemaran air yang umum dilihat dapat
diketahui melalui: perubahan suhu, pH, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan,
koloidal, bahan terlarut, jumlah padatan, nilai BOD, COD, mikroorganisme, kandungan
minyak, logam berat dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan (Manahan, 2002).
Bahan buangan (limbah) dikelompokkan sebagai berikut: limbah padat, limbah organik,
limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat
kimia, dan limbah berupa panas.
Pada dasarnya perairan tidak memiliki batas-batas yang jelas, sehingga
pencemaran air dapat berakibat sangat luas (Sutamihardja 1982). Selanjutnya dikatakan
bahwa terjadinya pencemaran (perubahan-perubahan) tersebut sebagian besar berasal
dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di
pesisir. Keadaan demikian juga dipengaruhi pula oleh adanya pergerakan massa air,
angin dan arus yang terjadi di perairan atau di perairan laut terjadi di sepanjang pantai.
Aktivitas manusia merupakan sumber terbesar dari pencemaran, karena itu
pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri,
di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam
seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar dapat pula
berasal dari aktivitas alam (terjadi secara alami) seperti letusan gunung berapi dan angin
ribut. Khusus untuk terjadinya pencemaran alami, sangat sulit untuk menghindarinya.
Pada umumnya pencemaran di negara berkembang seperti halnya Indonesia
paling banyak beasal dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian El-
Fadel et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa industri-industri di negara berkembang
seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 ton/tahun, limbah cair
32
sebanyak 20.169.600 m3/tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 ton/tahun.
Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan
terhadap perkembangan sosial- ekonomi negara tersebut (17% dari produk domestik
kasar), tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka
keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang.
Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif
lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah
serta penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif
ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum
lingkungan, dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah
industri.
Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri
yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan, oleh
karenanya diperlukan perhatian yang sangat serius terhadap kerusakan lingkungan
tersebut. Menurut Najm et al. (2002) adanya perhatian yang terus meningkat terhadap
lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur telah relatif
dapat mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat. Selanjutnya
Najm et al. (2002) memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang
berkelanjutan dengan memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi,
pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai
teknik pengelolaan limbah padat. Khusus untuk limbah cair juga harus diperhatikan
secara seksama, untuk itu Al Yaqout (2003) memberikan solusi bagi pembuangan
limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering dengan membuat kolam
evaporasi. Namun demikian menurut Muthukumaran1and Ambujam (2003)
pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada
negara yang sedang berkembang seperti India.
Mengingat limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang
sedang berkembang, maka Nhapi (2004) menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan
pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama
bertahun-tahun (khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau) di Danau
Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi tiga tahapan untuk pengelolaan air
limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1) pencegahan/penurunan pencemaran pada
33
sumber, 2) treatment air penggunaan ulang, dan 3) pembuangan dengan stimulasi
kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus
dilakukan secara berurutan. Lebih lanjut Nhapi (2004) menjelaskan bahwa
pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air
danau secara desentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini
menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu,
hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat
juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari lima tahun, sehingga
meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi (2004) menyimpulkan bahwa
masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan
melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian
sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources.
2.10. Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan
mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang
berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu.
Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan
per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial
(Pearce dan Turner, 1990). Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan
yang dikemukakan oleh Serageldin (1994) yakni pembangunan yang memungkinkan
generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan
generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu
maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan tiga aspek
kehidupan (ekonomi, sosial dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis, sehingga
makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable
development) semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk
mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun
34
internasional. Keberlanjutan (sustainability) saat ini telah menjadi elemen inti (core
element) bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembaga-
lembaga strategis lainnya. Menurut Khanna et al. (1999) pembangunan keberlanjutan
berimplikasi pada keseimbangan dinamik antara fungsi maintenance (sustainability) dan
transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut Cornelissen et al. (2001) sustainability memiliki implikasi pada dinamika
pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang
berbagai kemungkinan di masa yang akan datang. Untuk memulai dan memantau
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja terstandardisasi
(standardized framework) yang terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Mendeskripsikan
permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan
context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial; 3. Menterjemahkan
permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi
indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
Menurut Khanna et al. (1999) perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu
mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi
dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying
capacity), peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan apabila pola dan level
produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan
sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung (carrying capacity-based
planning process) kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial
dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan
pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. (1999) menambahkan bahwa ekonomi
dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin
terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal
ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas daya
dukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan
sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya,
dimensi pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar
Gambar 6 memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
aspek ekologi (keutuhan eko
keanekaragaman hayati).
pembangunan harus diukur dari
2.11. Model Dinamik
Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
fisik yang dapat disentuh dengan ind
sebuah mobil). Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi
of minds dalam diri seseorang seperti:
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi
umpan balik (feedback mechanism).
SocialEquity
Social cohessionParticipation
Empowerment
Gambar 6. Dimensi pembangunan berkelanjutan
Sumber: Khanna et al., 1999
memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
aspek ekologi (keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,
keanekaragaman hayati). Oleh sebab itu maka keberhasilan dan kemajuan
pembangunan harus diukur dari kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.
Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem adalah kumpulan dari komponen
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
yang dapat disentuh dengan indra (misalnya berbagai spare parts
Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat intangible
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi
dalam diri seseorang seperti: feeling, values, dan beliefs.
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi
(feedback mechanism).
Economic:Sustainable Growth
Efficiency
Ecological:Ecosystem IntegrityNatural Resources
BiodiversityCarrying capacity
Social:Equity
Social cohessionParticipation
Empowerment
35
memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
sistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,
keberhasilan dan kemajuan
kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.
adalah kumpulan dari komponen-
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
yang menyusun
intangible seperti aliran
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state
beliefs. Anderson dan
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memiliki mekanisme
36
System dynamics digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai
permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur
internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan dalam system
dynamics untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara
sosial atau individual dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau
lingkungan di sekitar pengambil keputusan berada. Model-model sistem dinamik
dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagram) yang saling
berhubungan satu sama lain.
Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafik dari
pemahaman tentang struktur yang sistemik. Diagram ini sangat penting karena
memberi panduan tentang bagaimana sistem itu dibangun dan bagaimana sistem itu
berperilaku (Kim dan Anderson, 1998). Diagram ini pada dasarnya menggambarkan
sistem tertutup. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik
dan berupa variabel indigenous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya
mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut
dipertimbangkan sebagai variabel exogenous di dalam model. Diagram simpal kausal
memainkan peranan penting dalam studi tentang system dynamics. Selama
pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary
sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu diagram simpal kausal juga
dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980).
Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram) sangat penting untuk
memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem.
Diagram alir tersusun dari elemen rate, level, dan auxiliary yang diorganisasikan dalam
sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stok) material atau informasi.
Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan, atau perubahan di
dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari
level.
Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing
feedback loop) dan simpal negatif (balancing feedback loop). Simpal positif cenderung
untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan
eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem
pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal
37
kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna system dynamics
merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan
struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.
2.12. Rapid Apraissal Analysis
Analisis keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan atau keberlanjutan
pembangunan wilayah secara multidisipliner dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis rapid
apraissal analysis yang dikenal dengan istilah Rapfish. Dalam MDS ini pada umumnya
dilihat keberlanjutan dari beberapa dimensi yang menyangkut berbagai aspek. Setiap
dimensi ini akan memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan
pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status
masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap
keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang
spesifik. Dasar dari penentuan status ini pada akhirnya akan menjadi barometer dalam
penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan pengelolaan
suatu kawasan.
Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah
sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher,
1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek
keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Pada
pendekatan MDS, data yang diperoleh pada umumnya dianalisis dengan menggunakan
software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment
techniques for fisheries)
Rapid apraissal (RAP) sebenarnya merupakan teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisiplin yang
dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada (Pitcher, 1999 serta Fauzi
dan Anna, 2005). Saat ini RAP dimodifikasi untuk mengevaluasi keberlanjutan
berbagai pembangunan yang saat ini dilakukan, karena pada dasarnya RAP merupakan
teknik yang bersifat multidisiplin dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk
mengevaluasi comparative sustainability dari sejumlah atribut/indikator yang mudah
untuk dibuat skor-nya. Oleh karena itu maka aplikasi dari RAP ini juga dapat
38
digunakan untuk melihat keberlanjutan dari pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya. Adapun yang dimaksud dengan atribut/indikator di sini adalah
variabel atau komponen ekosistem serta variabel dan komponen pengelolaan yang
digunakan untuk menyimpulkan status kriteria.
Penggunaan analisis RAP ini bisa mencakup berbagai aspek seperti ekologi,
ekonomi, sosial, teknologi, hukum, kelembagaan, dan sebagainya, sehingga dari sini
akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi saat tersebut. Sebagai contoh
kaitannya dengan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya, hasil analisis RAP-
nya akan memperoleh gambaran situasi pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya yang ada saat ini sekaligus akan dapat dibuat kebijakannya yang tepat
dalam rangka menciptakan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan ini dapat
dilanjutkan dengan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dari
sini akan dapat ditentukan urutan prioritas kebijakannya, dan selanjutnya dari faktor-
faktor dominannya akan dibangun model pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2005) ada lima tahapan yang
harus dilalui dalam prosedur RAP indeks keberlanjutan sumberdaya, yakni:
1. Menganalisis data yang diteliti, baik data statistik maupun data yang berasal
dari studi literatur maupun data yang berasal dari hasil pengamatan di lapang
(kondisi eksisting)
2. Membuat skoring yang mengacu pada literatur yang sudah ada, untuk keperluan
ini biasanya menggunakan excel)
3. Melakukan analisis multi dimentional scalling (MDS) dengan menggunakan
software SPSS, sehingga dari sini akan dapat ditentukan ordinasi dan nilai
stress melalui ALSCAL algoritma
4. Melakukan rotasi, sehingga akan dapat ditentukan posisi sumberdayanya pada
ordinasi bad dan good. Untuk keperluan ini biasanya digunakan excell dan
visual basic
5. Melakukan analisis sensitifitas (analisis leverage) dan analisis montecarlo
sehingga dapat memperhitungkan aspek ketidak pastiannya.
39
2.13. Analisis Prospektif
Analisis prospektif adalah analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Hasil dari analisis prospektif ini akan
diperoleh informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam sistem berdasarkan
kebutuhan stakeholders yang terlibat dalam sistem tersebut. Untuk keperluan analisis
prospektif ini akan ditentukan faktor kunci dan tujuan strategis. Pada penentuan faktor
kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya didasarkan pada pendapat dari pihak
yang berkompeten sebagai stakeholders yang terkait dengan sistem yang akan dikaji
dengan cara melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) di wilayah
studi melalui bantuan kuesioner (Trayer, 2000).
Menurut Bourgeois dan Jesus (2004) tahapan analisis prospektif ada tiga yaitu:
(1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan
melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan
pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran
utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3)
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini
dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi
bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan
terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem.
Analisis prospektif juga akan menentukan faktor kunci keberlanjutan
pengelolaan suatu sistem. Pada tahap penentuan faktor kunci ini seluruh faktor penting
dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit yang sudah didapat dari hasil analisis
MDS. Pada analisis prospektif ini, digunakan data-data yang berasal dari pendapat
pakar dan stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan sistem tersebut. Adapun cara
yang dilakukan pada pengumpulan data tersebut adalah wawancara mendalam dengan
bantuan kuesioner dan melalui diskusi. Pada analisis prospektif ini akan dilihat
pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor serta akan melihat pengaruh timbal
baliknya yang digambarkan dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan
pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.