29
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun 2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah perumahan. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya. Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif. Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA · Berdasarkan definisi tersebut, ... berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas ... dan estetika yang kuat. Oleh

  • Upload
    lethu

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Permukiman

Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun

2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik

yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan

dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di

sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah

dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah

perumahan.

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan

dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya

dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada

hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia

dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya.

Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu

mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan

permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi

dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif.

Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan

barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan

ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka

permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan

fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan

dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk

merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,

yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana

dan sarana lingkungan.

12

2.2. Kota Baru

Perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor

pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan

dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi

(Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini sesuai dengan

pendapat Richardson (1977) yang mengatakan bahwa kota merupakan wilayah

administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat

tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi

dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian

utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Menurut Gallion (1986) kota

adalah wilayah geografis tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia,

dan manusia-manusia tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.

Berdasarkan definisi tersebut, maka perkotaan bisa dikatakan sebagai suatu

ekosistem yang terbentuk oleh kegiatan manusia. Ekosistem kota sangat tergantung

pada ekosistem lain dalam hal pemenuhan kebutuhan materi dan energi. Menurut azas

lingkungan yang dikemukakan oleh Soeriaatmadja (1977) ekosistem yang kuat (mantap)

akan mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah (tidak mantap). Oleh karena itu

maka jika tidak ada aturan dan kebijakan yang baik, maka akan terjadi eksploitasi

berbagai sumberdaya alam dari ekosistem pedesaan oleh ekosistem kota.

Perkembangan wilayah perkotaan dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah

perkotaan menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk serta tingginya kebutuhan

lahan hunian. Tingginya lahan hunian ini menjadi faktor penggerak utama terjadinya

perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali, yaitu urban sprawl. Urban

sprawl ini terjadi karena lambatnya langkah antisipatif perencanaan dan terbatasnya

kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana dan sarana serta dalam

pengendalian tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mendukung fungsi optimum

pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Terjadinya urban sprawl ini memunculkan

berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas

hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan

prasarana dan sarana dasar, munculnya masalah-masalah sosial ekonomi perkotaan

seperti kesenjangan sosial, kriminalitas dan pengangguran.

13

Dalam beberapa waktu belakangan ini di dalam kota atau di sekitar kota, atau

malah di lokasi hinterland perkotaan sering terbentuk kota baru baik yang sebelumnya

memang sudah direncanakan, maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Visi

pengembangan perkotaan ini juga terlihat dari definisi kota baru yaitu kota yang sama

sekali baru direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru

yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai

prasarana dan sarana pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi serta prasarana

penggerak dan sarana perhubungan (Golany, 1976). Definisi tersebut, memberi

beberapa pengertian kota baru, yaitu (i) Kota yang lengkap, yang ditentukan,

direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk,

(ii) Kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi

permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu

pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) Kota yang mandiri, mampu memenuhi

pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya

(self-contained new town), (iv) Lingkungan permukiman skala besar yang dimaksudkan

untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya

masih bergantung pada kota induknya (dependent town). Kota baru ini dapat disamakan

dengan “kota satelit” dari kota utama/kota inti.

Menurut Urban Land Institute (ULI) kota baru merupakan suatu proyek

pembangunan lahan yang luasnya mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang

mencakup perumahan, perdagangan, industri, yang secara keseluruhan dapat

memberikan kesempatan hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut. Pada kota

baru terdapat spektrum jenis dan harga rumah lengkap, ruang terbuka bagi kegiatan

pasif dan aktif yang permanen dan ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat

tinggal dan dampak kegiatan industri, pengendalian, dan estetika yang kuat. Oleh

karena itu maka untuk keperluan pembangunan awal, diperlukan biaya dan investasi

yang cukup besar (Sudjarto, 1993).

Menurut Advisory Commission on Intergovernmental Relation (Sudjarto, 1993),

kota baru adalah:

• Kota yang memungkinkan untuk menunjang berbagai jenis rumah tinggal dan

kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam lingkungan itu

sendiri.

14

• Daerahnya dikelilingi jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari

wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi

jumlah penduduk dan luas wilayahnya.

• Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu

proporsi yang peruntukan lahannya sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,

fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka pada proses perencanaannya.

Tujuan pembangunan kotabaru antara lain adalah untuk menampung kelebihan

jumlah penduduk yang tinggal di suatu kota induk yang sudah berkembang dan untuk

menahan terjadinya perpindahan penduduk dari kota-kota sekitar kota induk yang telah

berkembang. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan wilayah sekitar kota induk,

karena pembangunan kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang ditujukan

untuk memantapkan fungsi kota serta keterkaitannya secara fungsional dan spasial agar

dapat berfungsi optimal dalam penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi, penyediaan

kebutuhan perumahan dan fasilitas sosial ekonomi.

2.2.1. Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru

Pada dasarnya berdasarkan masanya ada empat jenis kota baru yakni kota baru

masa pra revolusi industri, kota baru masa revolusi industri, kota baru pasca revolusi

industri dan kota baru masa kini. Ke-empat jenis kota baru ini mempunyai konsep

pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya, begitupun dengan tujuan

pembentukan kota baru tersebut. Untuk lebih jelasnya jenis kota baru, konsep

pengembangan dan tujuan pembentukan kota baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Menurut Soegijoko dan Tjahjati (1997), berdasarkan permasalahan kebutuhan dan

perkembanganya, maka kota baru modern yang dikembangkan pada umumnya ada tiga

jenis antara lain:

Kota baru yang dikembangkan sebagai suatu upaya penyelesaian masalah perkotaan

dan internal yang berupa program rehabilitasi, peningkatan kualitas lingkungan, atau

peremajaan bagian kota berskala besar yang sudah tumbuh dan berkembang.

Kedua suatu pembangunan skala besar dari suatu kota kecil sehingga memiliki

kelengkapan setara kota.

Ketiga pembangunan secara desentralisasi melalui pengembangan permukiman baru

setara kota baik yang khusus menyediakan perumahan yang umumnya berada di

15

wilayah pinggiran kota maupun pada lokasi yang berjarak dekat dengan kota induk

atau suatu permukiman baru yang mandiri pada suatu wilayah yang sama sekali baru

dibuka.

Tabel 1. Konsep kota baru

MasaPengembangan

Kota Baru

Konsep Perkembangan KotaBaru

Tujuan PembentukanKota Baru

Kota Baru masaPra revolusiIndustri

Invasi Migrasi

Penguasaan Kolonial

Eksploitasi Sumber daya alam

Prestise kekuasaanpemerintahan

Pertahanan tanah jajahn Kolonisasi Eksploitasi SDA Migrasi

Kota Baru masarevolusi Industri

Perkembangan teknologi

Industrialisasi besarbesaran

Urbanisasi

Ekonomi Kapitalistik

Peningkatan Produktivitas

Eksploitasi SDA dan Manusia

Industrialisasi Urbanisasi Kapitalisme Eksploitasi SDA dan

Manusia

Kota Baru pascarevolusi Industri Industrialisasi dan urbanisasi

Degradasi Kualitas kehidupan di KotaIndustri

Mengembalikan Kehidupan yang layak danmanusiawi

Meningkatkan kualitaskehidupan yangmanusiawi denganlandasan:

Pembatsan kepadatanpenduduk

Pembentukan lingkunganyang layak dan mandiri

Keserasian lingkungansosisal dan lingkunganfisik

Pengendalian penggunaanKota Baru masakini

Urbanisasi dan indutrialisasi

Perkembangan metropolis dan wilayahmetropolitan

Degradasi kualitas kehidupan kota besarPerkembangan kota secara sporadis dan

kontinu

Menghambat arus urbanisasi danmemperbaiki kualitas kehidupan

Keseimbangan kota desa Pemerataan

pembangunan Menghambat urbanisasi Pemecahan masalah

kebutuhan permukiman Pembangunan kota yang

berwawasan lingkungan

Sumber: Sudjarto, 1993a;1993b.

16

Selanjutnya secara fungsional Soegijoko dan Tjahjati (1997) membagi

berdasarkan ketiga jenis kotabaru dalam dua kategori berikut ini:

1. Kotabaru Penunjang, yakni kota baru yang tidak mempunyai kekuatan ekonominya

sendiri, sehingga:

secara ekonomis dan fisik tergantung pada kota induknya.

kotabaru sebagai tempat tinggal, kommuter ke induk

pelayanan dari kota induk

jarak dengan kota induk 20 - 40 km

kota yang masuk kota baru penunjang adalah kota baru satelit, kotabaru dalam

kota dan kawasan permukiman skala besar di kota induk

2. Kotabaru Mandiri, yakni kota baru yang secara ekonomis dan fisik memiliki

kemandirian, sehingga merupakan kota baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan berkembang secara mandiri

berperan sebagai pusat pengembangan di suatu wilayah

penduduk bermukim dan mencari kehidupan di kotabaru

penduduk bukan “kommuter”

jarak dari kota induk ≥ 40 - 60 km

Kota yang termasuk ke dalam kota baru mandiri adalah kotabaru umum, kotabaru

industri, kotabaru perusahaan (pertambangan, perkebunan), kota baru pusat

pemerintahan dan kota baru instalasi khusus (militer, riset, universitas),

2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan

Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks,

sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi.

Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini para ahli sepakat untuk

sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang

menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi

kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk

memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).

Selain definisi operasional di atas, Fauzi (2004) melihat bahwa konsep kota

berkelanjutan dapat diidentikan dengan konsep keberlanjutan itu sendiri sehingga

diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:

17

1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu

menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan

pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidak seimbangan sektoral yang dapat

merusak produksi pertanian dan industri

2. Keberlanjutan lingkungan, sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus

mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya

alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan

keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang

tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi

3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang

mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan,

pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga

tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi

terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan

masalah konservasi sumberdaya alam. Tujuan sosial terkait dengan masalah

pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Oleh karena itu, maka tujuan pembangunan

berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi,

tujuan ekologi, dan tujuan sosial.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setidaknya pembangunan kota baru harus

mengikuti peraturan dan tatanan yang berlaku, sehingga kaidah pembangunan kota

berkelanjutan dapat dipenuhi untuk memperoleh model kebijakan dalam mewujudkan

kota mandiri berkelanjutan.

2.3. Kebijakan Pengembangan Perkotaan

Saat ini pembangunan perkotaan diupayakan untuk ditingkatkan dan

diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata

ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, serta

kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien,

dan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Sejalan dengan terjadinya

pembangunan kota dan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di

dalamnya, maka pembangunan perumahan dan permukiman di lokasi perkotaan pun

18

lebih ditingkatkan dan diperluas hingga dapat makin merata dan menjangkau

masyarakat berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan permukiman

tersebut, tetap memperhatikan rencana tata ruang dan keterkaitan serta keterpaduannya

dengan lingkungan sosial di sekitarnya.

Kaitan dengan terjadinya pembangunan kota secara pesat ini, maka air, tanah dan

lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur

dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya

kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk kepentingan

permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, dan kelistrikan serta

prasarana pembangunan lainnya.

2.4. Perkembangan Penduduk Perkotaan

Hingga saat ini kota masih merupakan tempat tujuan untuk memperjuangkan

harapan, oleh karena itu maka pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat

dibanding di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya:

a. Pertumbuhan penduduk alamiah, yang berasal dari selisih antara jumlah penduduk

yang dilahirkan dengan jumlah penduduk yang meninggal dunia.

b. Migrasi penduduk yang merupakan selisih jumlah penduduk yang masuk ke suatu

kota dengan jumlah penduduk yang pergi meninggalkan kota.

c. Reklasifikasi status kawasan yakni perbedaan dalam definisi perkotaan antara satu

sensus dengan sensus lain, selain itu juga terjadi karena adanya perluasan batas

wilayah kawasan perkotaan atau berubahnya status kawasan dari pedesaan menjadi

perkotaan.

Diantara ketiga hal yang penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan, yang

pengaruhnya paling kecil adalah pertumbuhan penduduk secara alami; sedangkan faktor

yang paling dominan dalam pertumbuhan penduduk perkotaan adalah migrasi dan

reklasifiksi status kawasan. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong dan faktor

penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan migrasi menuju perkotaan. Adapun

yang dimaksud dengan faktor pendorong di sini adalah kekuatan dari luar perkotaan

(kekuatan eksternal), sedangkan faktor penarik adalah kekuatan yang berasal dari dalam

perkotaan itu sendiri (kekuatan internal). Ada berbagai kekuatan eksternal yang

mempengaruhi perkembangan perkotaan, salah satu diantaranya adalah urbanisasi

berupa migrasi penduduk perdesaan ke kawasan perkotaan akibat sektor pertanian tidak

19

mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor

internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda

angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan

ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik

penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin

memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan

munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk

perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan

Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 (Badan Pusat Statistik)

Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah

perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk

hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada

kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih

19% (Djakapermana, 2004). Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian

tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi

lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan

kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70%. Kondisi ini pada akhirnya akan

memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir.

Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman (sebesar 4,99%) merupakan

1980 1990 2000 2010 2015

Penduduk Kota 32.85 54.06 85 117.5 150

Penduduk Nasional 147.09 182.1 207.32 228.66 250

0

50

100

150

200

250

300

JumlahPenduduk

Kota (Juta)

Tahun

20

lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar

terjadinya run off .

Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan

perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun

berskala besar (Hidayat, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan

permukiman skala besar (>500 ha) mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain

merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta.

Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan

terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan kawasan

perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang

dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang

membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di

Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3.

Aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan

dan lain-lain) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang

ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di

perkotaan (The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The

City of Jakarta, 1990) sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai

70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari

12.000m3 (Sutjahjo et al., 2005). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses

dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses

dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan

dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan

(Martin et al., 1985). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi

bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan

membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al., 2005). Selanjutnya dikatakan

bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk

memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di

beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan.

21

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001

No.Jenis penggunaan

LahanTahun 1992 Tahun 2001 Perubahan

(Ha) (%) (Ha) (%) (%)1 Lahan terbuka 142.718,90 19,94 169.276,80 23,65 + 3,712 Lahan pertanian 104.186,40 14,55 104.108,90 14,54 - 0,01

3 Lahan bervegetasicampuran 179.614,70 24,67 183.534,80 25,64 + 0,97

4 Hutan 197.792,00 27,63 64.084,14 8,95 - 18,685 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,10 19,51 + 9,99

6 Lahan lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70 + 4,02

Jumlah 715.832,90 100,00 715.832,90 100,00Sumber: Djakapermana,2004

Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur

Keterangan : **= tidak ada data.Sumber : * Hidayat (2005)

No. Nama Luas (Ha) Lokasi1 Lipo Cikarang* 5000 Kab. Bekasi

2 Cikarang Baru* 2000 Kab. Bekasi

3 Kota Legenda (Bekasi 2000)* 2000 Kab & Kodya Bekasi

4 Harapan Indah* 800 Kab. Bekasi

5 Bukit Jonggol Asri* 30000 Kab. Bogor

6 Citra Indah* 1000 Kab. Bogor

7 Kota Taman Metropolitan* 600 Kab. Bogor

8 Kota Wisata* 1000 Kab. Bogor

9 Bukit Sentul* 2000 Kab. Bogor

10 Rancamaya* 550 Kab. Bogor

11 Kota Cileungsi* 2000 Kab.Bogor

12 Resort Danau Lido* 1700 Kab. Bogor

13 Taruma Resort* 1100 Kab. Bogor

14 Talaga Kahuripan* 750 Kab. Bogor

15 Maharani Citra Pertiwi * 1679 Kab. Bogor

16 Kotabaru Tigaraksa * 3000 Kab. Tangerang

18 Puri Jaya * 7145 Kab. Tangerang

19 Citra Raya * 3000 Kab. Tangerang

20 Lippo Karawaci* 2000 Kab. Tangerang

21 Gading serpong * 1500 Kab. Tangerang

22 Bintaro Jaya * 2321 Kab. Tangerang

23 Bumi Serpong Damai* 6000 Kab. Tangerang

24 Pantai Indah Kapuk* 800 DKI Jakarta

25 Bukit Harmoni ** Cianjur

26 Kota Bunga ** Cianjur

27 Green Apple Village ** Cianjur

28 Mutiara Depok ** Depok

29 Depok Asri ** Depok

22

Besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Kualitas

air dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum;

b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan;

c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar;

d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan.

Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai

menjadi beberapa kelas. Sebagai contoh klasifikasi di Sungai Ciliwung berkisar dari

kelas II hingga kelas IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 (Kompas, 18

November 2005).

Tabel 4. Kualitas air Sungai Ciliwung

Segmen Lokasi Kualitas air

1 Cisarua kabupaten Bogor Kelas II

2 Kota Bogor Kelas IV

3 Cibinong Kabupaten Bogor Kelas III

4. Kota Depok Kelas IV

5. DKI Jakarta Tidak masuk pada kelas manapunSumber : KLH (Kompas 18 November 2005)

Tabel 4 memperlihatkan bahwa kualitas air di wilayah perkotaan seperti Kota

Bogor dan Depok buruk (kulitas IV), dan hanya layak untuk dipakai mengairi

pertamanan, atau tidak layak untuk bahan baku air minum. Bahkan di DKI Jakarta

kualitas air Sungai Ciliwung sangat buruk, sehingga tidak layak untuk pertamanan

sekalipun. Kualitas air Sungai Ciliwung yang buruk di wilayah perkotaan diduga

berkaitan dengan besarnya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan

data dari Urban and Regional Development Institute (URDI), di wilayah Bodetabek,

sampah yang dapat dikelola hanya 20 -30 % dari total volume produksi sampah per hari,

sisanya dibuang ke sungai, selokan atau kanal (URDI, 2000 dalam Djakapermana,

2004).

2.5. Kebijakan

Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang

dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan

institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan

23

tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan perilaku dalam rangka memecahkan

persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones, 1984). Dengan

demikian, kebijakan bersifat dinamis, sebagai akibat adanya konsistensi dan

pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.

Menurut Davis et al. (1993) kebijakan tidak berdiri sendiri (single decision)

tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan. Kebijakan merupakan salah satu

alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Oleh karena itu maka pembuatan

kebijakan harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan tepat. Karena pembuatan

kebijakan yang dilakukan dengan sekedarnya akan menghasilkan kebijakan yang tidak

tepat. Menurut Caiden (1971) kesulitan membuat kebijakan yang tepat disebabkan oleh

sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, sehingga sulit disimpulkan. Selain itu

juga dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam kepentingan pada setiap sektor dan

instansi, adanya umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan pembuat kebijakan tidak

terlalu faham dengan perumusan kebijakan. Oleh karena itu untuk terciptanya

kebijakan yang tepat (appropriateness), pemerintah harus bekerja secara seksama mulai

dari membuat rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan,

pelaksanaan di lapangan, dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses

rancangan kebijakan. Dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode,

strategi dan teknik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak terkait.

Agar tercapai keinginan, tujuan dan sasaran. Kebijakan dapat berbentuk negatif seperti

larangan atau berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau

menganjurkan.

Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada

bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya

keputusan tersebut kepada masyarakat. Dalam implementasinya supaya kebijakan yang

dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi oleh

seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, bagaimana karakteristik

badan eksekutif, metode apa yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan

peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.

Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan (Rees,

1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan juga seringkali tampak irasional, karena

kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat

24

1Analisis

DeterminasiKebijakan

Monitoring danEvaluasi

Kebijakan

Informasi untukKebijakan

AnalisisIsi Kebijakan

AdvokasiKebijakan

AnalisisKebijakan

Analisis untukKebijakan

2 3 4 5

yang lain. Oleh karena itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai

dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan

dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.

Menurut Abidin (2002) pemilihan kebijakan yang baik dan tepat akan terjadi

apabila memenuhi kriteria:

1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah pemilihan sasaran dapat menghasilkan

tujuan akhir yang diinginkan. Oleh karena itu maka strategi kebijakan yang dipilih

idealnya dilihat dari kapasitasnya dalam memenuhi tujuan dalam rangka

memecahkan masalah yang ada di masyarakat.

2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang

harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;

3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan

sumberdaya yang ada;

4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan

ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;

5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab

permasalahan tertentu dalam masyarakat;

6. Tepat (appropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan

sebelumnya.

2.6. Analisis dan Proses Kebijakan

Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan.

Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan

dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang

proses kebijakan. Parsons (2005) secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang

sebuah kontinum seperti disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Variasi analisis kebijakanSumber: Parsons, 2005

25

Gambar 4 di atas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup

determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang

berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan

tersebut dibuat. Adapun isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang

kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan tersebut berkembang dalam hubungannya

dengan kebijakan sebelumnya. Analisis isi kebijakan ini bisa juga didasari oleh

informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik

terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan adalah analisis yang bertujuan

untuk mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan

kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Variasi

terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi

kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda

kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Informasi untuk kebijakan adalah

analisis yang bertujuan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan,

sehingga bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang

aspek kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.

Menurut Quade (1976) analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam

teknik untuk rneningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan misalnya,

mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah untuk membantu

pembuat keputusan dalam membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat

pihak lain. Dengan demikian maka analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif

dunia nyata. Ada tiga tahap yang harus dilalui oleh analisis ini yakni pertama,

penemuan, yaitu usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di

antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni mengupayakan agar

temuan itu bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga

implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu

banyak, namun dapat membuat alternatif tersebut menjadi tidak memuaskan.

Pada dasarnya ada tiga jenis analisis kebijakan yaitu analisis kebijakan yang

bersifat prospektif yang menganalisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi

kebijakan. Analisis ini meliputi tahap-tahap identifikasi masalah,

prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategis kebijakan, pilihan dan rekomendasi

kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yaitu analisis yang dilakukan sesudah

26

aksi kebijakan. Analisis ini digunakan untuk menilai sesudah dilakukan aksi kebijakan

atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya, contoh dari analisis ini adalah monitoring

dan evaluasi. Jenis analisis ketiga, adalah integrasi dan analisis prospektif dan

restrospektif. Analisis ini dapat dilakukan baik sebelum aksi kebijakan maupun

sesudah dilakukan aksi kebijakan (Dunn, 1998).

Menurut Abidin (2002) agar pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang

relevan, maka identifikasi masalah idealnya harus dapat menghasilkan informasi tentang

rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal, dan

masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang

strategi pemecahan masalah. Pilihan strategis akan menghasilkan informasi

rekomendasi untuk dimanfaatkan oleh yang berwenang, sehingga pada akhirnya

menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring akan menghasilkan informasi tentang proses

pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu, sedangkan evaluasi

kebijakan akan memberi informasi tentang dampak secara keseluruhan akibat

diterapkannya suatu kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa dari ketiga analisis

kebijakan di atas, jenis informasi dan bentuk kebijakan pada setiap jenis kebijakan dapat

dibeda-bedakan. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Menurut Dunn (1998) metoda analisis kebijakan menyediakan informasi yang

berguna untuk menjawab lima pertanyaan. Adapun pertanyaan tersebut adalah apa

hakekat permasalahannya, kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk

mengatasi masalah dan apa hasilnya dan seberapa bermakna hasil tersebut dalam

memecahkan masalah, alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan

hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut

akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi

kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan.

Tabel 5. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan

Sumber : KLH (Kompas 18 November 2005)

No. Jenis kebijakan Jenis informasi

1. Prospektif Prediksi Evaluasi Preskripsi -

2. Retropspektif Deskripsi Evaluasi - -

3. Integratif Deskripsi Prediksi Evaluasi Preskripsi

27

Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim

dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu definisi, prediksi, preskripsi,

deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi

mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi)

menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah

kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa

mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.

Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif

dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan. Pemantauan (deskripsi)

menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya

alternatif kebijakan. Evaluasi akan menyediakan informasi mengenai nilai atau

kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah. Kelima prosedur

analisis tersebut disajikan pada Gambar 5.

2.7. Pelestarian dan Degradasi Lingkungan

Menurut Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara

kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung

lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan mahluk

hidup, dan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.

Daya tampung lingkungan juga disebut daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem

untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto, 1989). Semakin tinggi daya

tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya. Daya dukung dinyatakan

dalam jumlah maksimum mahluk yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau

daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan

populasi maksimumnya di masa datang (Odum, 2004). Degradasi sumber daya alam

dapat terjadi secara alami maupun oleh kegiatan manusia. Pencemaran oleh sampah dan

air limbah domestik maupun industri berhubungan dengan pengelolaan lahan perkotaan

dan industri yang tidak memadai (Barrow, 1991).

28

Gambar 5. Analisis

2.8. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang

Terjadinya pertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota

dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing.

yang subur, akan mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar

digunakan untuk perluasan f

seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).

itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (

planning) merupakan hal penting dala

Perencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan

hidup manusia mulai dari skala kecil sampai

sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif

Hal ini sejalan dengan pernyataan

perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan

(status), potensi dan pembatas

yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh

perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan

aspirasinya untuk masa

penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan

keputusan tentang penggunaan lahan

HasilKebijakan

Pemantauan

Evaluasi

Perumusan

Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalahSumber: Dunn, 1998

gelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang

ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota

dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing. Bahkan l

mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar

luasan fasilitas atau sarana dalam memenuhi ke

seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).

itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (land resource development

) merupakan hal penting dalam pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.

erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan

hidup manusia mulai dari skala kecil sampai skala besar. Tujuannya agar penggunaan

sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif dan efisien secara berkesinambungan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Soil Conservation Society of America

perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan

(status), potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya,

yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh

perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan

aspirasinya untuk masa yang akan datang. Adapun fungsi utama pe

penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan

keputusan tentang penggunaan lahan, sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan

MasalahKebijakan

KinerjaKebijakan

Masa DepanKebijakan

AksiKebijakan

Peramalan

Rekomendasi

Perumusanmasalah

Perumusanmasalah

Perumusanmasalah

Perumusanmasalah

ada masalah

ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota

Bahkan lahan pertanian

mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar karena akan

kebutuhan umum

seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004). Untuk

and resource development

m pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.

erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan

agar penggunaan

dan efisien secara berkesinambungan.

ciety of America (1982) bahwa

perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan

aerah tertentu dan sumberdayanya,

yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh

perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan

ungsi utama perencanaan

penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan

sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan

Masa DepanKebijakan

Peramalan

Rekomendasi

29

ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia, sekaligus

mengkonservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004).

Menurut Sitorus (2004) dalam operasionalnya perencanaan penggunaan lahan

bertujuan untuk (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat dalam

mengupayakan terciptanya penggunaan lahan yang optimal, (2) mencegah adanya salah

urus yang menyebabkan lahan rusak, sehingga penggunaan lahan tidak

berkesinambungan, (3) mencegah adanya tuna kendali dalam mengupayakan

penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh adanya kendali, (4) menyediakan

lahan untuk keperluan pembangunan yang terus meningkat, dan (5) memanfaatkan

lahan sebesar-besarnya untuk kemakmuran manusia.

Menurut Sitorus (2004) pengelolaan diartikan sebagai upaya sadar dan terpadu

untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks lingkungan,

pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk mengembangkan

strategi untuk menghadapi, menghindari dan menyelesaikan penurunan kualitas

lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan

pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan

sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang

lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara

berkelanjutan. Pada dasarnya terdapat dua fungsi dalam pengelolaan sumberdaya lahan

secara garis besar, yaitu (1) tujuan fisik yang dinyatakan atau diukur dalam satuan-

satuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain dan dinyatakan dalam satuan-

satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh, dan (2) tujuan ekonomis, yakni

diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum. Lebih lanjut

dikatakan bahwa sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yang dalam sistem

pengelolaan lahan harus dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling

mengisi, yaitu: (1) Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2)

Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) Menyiapkan tanah dalam

keadaan olah yang baik, (4) Menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun

baik, dan (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan

tanaman.

Lal dan Pierce (1991) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya lahan di masa

depan harus mampu: (1) mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan,

30

(2) memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan kualitas sumberdaya lahan, air

dan udara, serta (3) menyediakan kebutuhan makanan dan serat secara ekonomis dan

sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa prinsip manajemen di masa depan adalah

mengelola lahan dalam ruang (space) dan waktu (time). Dalam kerangka ini diusulkan

tiga prinsip manajemen spesifik yaitu: (1) berusaha tani dengan soilscape (tanah dan

landscape), (2) mengelola zona di lapangan, dan (3) mengelola periode bera/tidak

ditanami (non crop).

Masalah yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidaktaatan azas

(inconsistencies) antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan apa yang terjadi

dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya RTRW dimaksudkan sebagai alat koordinasi

pembangunan sektor, artinya pembangunan sektor-sektor harus mengacu kepada

RTRW. Menurut Djakapermana (2004) penataan ruang mencakup proses perencanaan

tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata

ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi rencana tata ruang wilayah (RTRW)

Nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Pemanfaatan ruang merupakan wujud

operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. Pengendalian

pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap

pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW. Penataan ruang bertujuan

agar pemanfaatan ruang menjadi berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan

ruang pada kawasan lindung dan budidaya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang

yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk

menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan

ekonomi dan pemerataannya.

2.9. Pencemaran

Semakin meningkatnya kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula

tingkat pencemaran (Fardiaz, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran akan

terjadi baik di perairan, udara maupun tanah. Pada pencemaran perairan seperti pada

sungai, secara alamiah, sungai dapat tercemar pada daerah permukaan saja. Pada sungai

yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah bahan pencemar akan mengalami

pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah, namun pada sungai

yang arusnya lemah dan pergantian airnya tidak banyak, seringkali mengalami

31

pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi.

Selain itu arus yang lemah juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen

terlarut.

Menurut Odum (1971) pencemaran adalah perubahan sifat-sifat fisik, kimia

maupun biologi yang tidak dikehendaki yang dapat terjadi baik pada udara, tanah

maupun air. Menurut Sutamihardja (1982) berdasarkan sumbernya bahan pencemar

atau zat pencemar terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal

dari kegiatan manusia.

Ada berbagai parameter yang merupakan penanda bahwa suatu perairan telah

tercemar. Namun demikian indikator pencemaran air yang umum dilihat dapat

diketahui melalui: perubahan suhu, pH, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan,

koloidal, bahan terlarut, jumlah padatan, nilai BOD, COD, mikroorganisme, kandungan

minyak, logam berat dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan (Manahan, 2002).

Bahan buangan (limbah) dikelompokkan sebagai berikut: limbah padat, limbah organik,

limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat

kimia, dan limbah berupa panas.

Pada dasarnya perairan tidak memiliki batas-batas yang jelas, sehingga

pencemaran air dapat berakibat sangat luas (Sutamihardja 1982). Selanjutnya dikatakan

bahwa terjadinya pencemaran (perubahan-perubahan) tersebut sebagian besar berasal

dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di

pesisir. Keadaan demikian juga dipengaruhi pula oleh adanya pergerakan massa air,

angin dan arus yang terjadi di perairan atau di perairan laut terjadi di sepanjang pantai.

Aktivitas manusia merupakan sumber terbesar dari pencemaran, karena itu

pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri,

di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam

seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar dapat pula

berasal dari aktivitas alam (terjadi secara alami) seperti letusan gunung berapi dan angin

ribut. Khusus untuk terjadinya pencemaran alami, sangat sulit untuk menghindarinya.

Pada umumnya pencemaran di negara berkembang seperti halnya Indonesia

paling banyak beasal dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian El-

Fadel et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa industri-industri di negara berkembang

seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 ton/tahun, limbah cair

32

sebanyak 20.169.600 m3/tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 ton/tahun.

Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan

terhadap perkembangan sosial- ekonomi negara tersebut (17% dari produk domestik

kasar), tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka

keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang.

Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif

lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah

serta penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif

ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum

lingkungan, dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah

industri.

Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri

yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan, oleh

karenanya diperlukan perhatian yang sangat serius terhadap kerusakan lingkungan

tersebut. Menurut Najm et al. (2002) adanya perhatian yang terus meningkat terhadap

lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur telah relatif

dapat mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat. Selanjutnya

Najm et al. (2002) memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang

berkelanjutan dengan memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi,

pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai

teknik pengelolaan limbah padat. Khusus untuk limbah cair juga harus diperhatikan

secara seksama, untuk itu Al Yaqout (2003) memberikan solusi bagi pembuangan

limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering dengan membuat kolam

evaporasi. Namun demikian menurut Muthukumaran1and Ambujam (2003)

pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada

negara yang sedang berkembang seperti India.

Mengingat limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang

sedang berkembang, maka Nhapi (2004) menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan

pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama

bertahun-tahun (khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau) di Danau

Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi tiga tahapan untuk pengelolaan air

limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1) pencegahan/penurunan pencemaran pada

33

sumber, 2) treatment air penggunaan ulang, dan 3) pembuangan dengan stimulasi

kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus

dilakukan secara berurutan. Lebih lanjut Nhapi (2004) menjelaskan bahwa

pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air

danau secara desentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini

menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu,

hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat

juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari lima tahun, sehingga

meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi (2004) menyimpulkan bahwa

masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan

melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian

sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources.

2.10. Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat

memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan

generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan

mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang

berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu.

Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan

per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial

(Pearce dan Turner, 1990). Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan

yang dikemukakan oleh Serageldin (1994) yakni pembangunan yang memungkinkan

generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan

generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu

maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan tiga aspek

kehidupan (ekonomi, sosial dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis, sehingga

makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan

ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable

development) semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk

mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun

34

internasional. Keberlanjutan (sustainability) saat ini telah menjadi elemen inti (core

element) bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembaga-

lembaga strategis lainnya. Menurut Khanna et al. (1999) pembangunan keberlanjutan

berimplikasi pada keseimbangan dinamik antara fungsi maintenance (sustainability) dan

transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.

Menurut Cornelissen et al. (2001) sustainability memiliki implikasi pada dinamika

pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang

berbagai kemungkinan di masa yang akan datang. Untuk memulai dan memantau

pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja terstandardisasi

(standardized framework) yang terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Mendeskripsikan

permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan

context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial; 3. Menterjemahkan

permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi

indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.

Menurut Khanna et al. (1999) perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu

mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi

dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying

capacity), peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan apabila pola dan level

produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan

sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung (carrying capacity-based

planning process) kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial

dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan

pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. (1999) menambahkan bahwa ekonomi

dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin

terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal

ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas daya

dukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan

sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya,

dimensi pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar

Gambar 6 memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan

meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial

(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan

aspek ekologi (keutuhan eko

keanekaragaman hayati).

pembangunan harus diukur dari

2.11. Model Dinamik

Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem

komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek

fisik yang dapat disentuh dengan ind

sebuah mobil). Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat

informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi

of minds dalam diri seseorang seperti:

Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;

bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu

memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi

umpan balik (feedback mechanism).

SocialEquity

Social cohessionParticipation

Empowerment

Gambar 6. Dimensi pembangunan berkelanjutan

Sumber: Khanna et al., 1999

memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan

meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial

(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan

aspek ekologi (keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,

keanekaragaman hayati). Oleh sebab itu maka keberhasilan dan kemajuan

pembangunan harus diukur dari kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.

Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem adalah kumpulan dari komponen

komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek

yang dapat disentuh dengan indra (misalnya berbagai spare parts

Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat intangible

informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi

dalam diri seseorang seperti: feeling, values, dan beliefs.

Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;

bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu

memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi

(feedback mechanism).

Economic:Sustainable Growth

Efficiency

Ecological:Ecosystem IntegrityNatural Resources

BiodiversityCarrying capacity

Social:Equity

Social cohessionParticipation

Empowerment

35

memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan

meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial

(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan

sistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,

keberhasilan dan kemajuan

kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.

adalah kumpulan dari komponen-

komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek

yang menyusun

intangible seperti aliran

informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state

beliefs. Anderson dan

Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;

bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu

memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memiliki mekanisme

36

System dynamics digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai

permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur

internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan dalam system

dynamics untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara

sosial atau individual dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau

lingkungan di sekitar pengambil keputusan berada. Model-model sistem dinamik

dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagram) yang saling

berhubungan satu sama lain.

Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafik dari

pemahaman tentang struktur yang sistemik. Diagram ini sangat penting karena

memberi panduan tentang bagaimana sistem itu dibangun dan bagaimana sistem itu

berperilaku (Kim dan Anderson, 1998). Diagram ini pada dasarnya menggambarkan

sistem tertutup. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik

dan berupa variabel indigenous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya

mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut

dipertimbangkan sebagai variabel exogenous di dalam model. Diagram simpal kausal

memainkan peranan penting dalam studi tentang system dynamics. Selama

pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary

sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu diagram simpal kausal juga

dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980).

Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram) sangat penting untuk

memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem.

Diagram alir tersusun dari elemen rate, level, dan auxiliary yang diorganisasikan dalam

sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stok) material atau informasi.

Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan, atau perubahan di

dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari

level.

Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing

feedback loop) dan simpal negatif (balancing feedback loop). Simpal positif cenderung

untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan

eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem

pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal

37

kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna system dynamics

merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan

struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.

2.12. Rapid Apraissal Analysis

Analisis keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan atau keberlanjutan

pembangunan wilayah secara multidisipliner dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis rapid

apraissal analysis yang dikenal dengan istilah Rapfish. Dalam MDS ini pada umumnya

dilihat keberlanjutan dari beberapa dimensi yang menyangkut berbagai aspek. Setiap

dimensi ini akan memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan

pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status

masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap

keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang

spesifik. Dasar dari penentuan status ini pada akhirnya akan menjadi barometer dalam

penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan pengelolaan

suatu kawasan.

Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah

sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher,

1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek

keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Pada

pendekatan MDS, data yang diperoleh pada umumnya dianalisis dengan menggunakan

software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment

techniques for fisheries)

Rapid apraissal (RAP) sebenarnya merupakan teknik yang digunakan untuk

mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisiplin yang

dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada (Pitcher, 1999 serta Fauzi

dan Anna, 2005). Saat ini RAP dimodifikasi untuk mengevaluasi keberlanjutan

berbagai pembangunan yang saat ini dilakukan, karena pada dasarnya RAP merupakan

teknik yang bersifat multidisiplin dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk

mengevaluasi comparative sustainability dari sejumlah atribut/indikator yang mudah

untuk dibuat skor-nya. Oleh karena itu maka aplikasi dari RAP ini juga dapat

38

digunakan untuk melihat keberlanjutan dari pembangunan kota baru beserta

infrastrukturnya. Adapun yang dimaksud dengan atribut/indikator di sini adalah

variabel atau komponen ekosistem serta variabel dan komponen pengelolaan yang

digunakan untuk menyimpulkan status kriteria.

Penggunaan analisis RAP ini bisa mencakup berbagai aspek seperti ekologi,

ekonomi, sosial, teknologi, hukum, kelembagaan, dan sebagainya, sehingga dari sini

akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi saat tersebut. Sebagai contoh

kaitannya dengan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya, hasil analisis RAP-

nya akan memperoleh gambaran situasi pembangunan kota baru beserta

infrastrukturnya yang ada saat ini sekaligus akan dapat dibuat kebijakannya yang tepat

dalam rangka menciptakan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya yang

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan ini dapat

dilanjutkan dengan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dari

sini akan dapat ditentukan urutan prioritas kebijakannya, dan selanjutnya dari faktor-

faktor dominannya akan dibangun model pembangunan kota baru beserta

infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Kavanagh, 2001).

Menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2005) ada lima tahapan yang

harus dilalui dalam prosedur RAP indeks keberlanjutan sumberdaya, yakni:

1. Menganalisis data yang diteliti, baik data statistik maupun data yang berasal

dari studi literatur maupun data yang berasal dari hasil pengamatan di lapang

(kondisi eksisting)

2. Membuat skoring yang mengacu pada literatur yang sudah ada, untuk keperluan

ini biasanya menggunakan excel)

3. Melakukan analisis multi dimentional scalling (MDS) dengan menggunakan

software SPSS, sehingga dari sini akan dapat ditentukan ordinasi dan nilai

stress melalui ALSCAL algoritma

4. Melakukan rotasi, sehingga akan dapat ditentukan posisi sumberdayanya pada

ordinasi bad dan good. Untuk keperluan ini biasanya digunakan excell dan

visual basic

5. Melakukan analisis sensitifitas (analisis leverage) dan analisis montecarlo

sehingga dapat memperhitungkan aspek ketidak pastiannya.

39

2.13. Analisis Prospektif

Analisis prospektif adalah analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi

kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Hasil dari analisis prospektif ini akan

diperoleh informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam sistem berdasarkan

kebutuhan stakeholders yang terlibat dalam sistem tersebut. Untuk keperluan analisis

prospektif ini akan ditentukan faktor kunci dan tujuan strategis. Pada penentuan faktor

kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya didasarkan pada pendapat dari pihak

yang berkompeten sebagai stakeholders yang terkait dengan sistem yang akan dikaji

dengan cara melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) di wilayah

studi melalui bantuan kuesioner (Trayer, 2000).

Menurut Bourgeois dan Jesus (2004) tahapan analisis prospektif ada tiga yaitu:

(1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji.

Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria

faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan

melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan

pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran

utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3)

Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini

dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan

keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi

bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan

terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem.

Analisis prospektif juga akan menentukan faktor kunci keberlanjutan

pengelolaan suatu sistem. Pada tahap penentuan faktor kunci ini seluruh faktor penting

dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit yang sudah didapat dari hasil analisis

MDS. Pada analisis prospektif ini, digunakan data-data yang berasal dari pendapat

pakar dan stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan sistem tersebut. Adapun cara

yang dilakukan pada pengumpulan data tersebut adalah wawancara mendalam dengan

bantuan kuesioner dan melalui diskusi. Pada analisis prospektif ini akan dilihat

pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor serta akan melihat pengaruh timbal

baliknya yang digambarkan dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan

pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.