34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan Pustaka 1. Dasar Hukum Pemberian Upah Proses Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hal terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.Bahwa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 155 ayat (2) menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”; 1 Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) di atas, maka para pihak dalam hubungan industrial (baik itu pengusaha maupun buruh) harus tetap melaksanakan kewajiban, sehingga di sisi lainnya para pihak juga masih harus tetap memperoleh hak-haknya selama masih berperkara dan menunggu turunnya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Sedangkan jenis-jenis perselisihan hubungan industrial itu sendiri berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial meliputi: Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan PemutusanHubungan Kerja dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Buruh Dalam SatuPerusahaan; 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 155 ayat (2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Dasar Hukum Pemberian Upah Proses

Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial

sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hal

terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.Bahwa salah satu pasal dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal

155 ayat (2) menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh

harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”;1

Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) di atas, maka para pihak dalam

hubungan industrial (baik itu pengusaha maupun buruh) harus tetap

melaksanakan kewajiban, sehingga di sisi lainnya para pihak juga masih harus

tetap memperoleh hak-haknya selama masih berperkara dan menunggu

turunnya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

Sedangkan jenis-jenis perselisihan hubungan industrial itu sendiri berdasarkan

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:Perselisihan Hak, Perselisihan

Kepentingan, Perselisihan PemutusanHubungan Kerja dan Perselisihan Antar

Serikat Pekerja/Buruh Dalam SatuPerusahaan;

1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 155 ayat (2)

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

2. Judicial Review No 37/ PUU-IX/2011 Pasal 155 ayat 2 dan 3 Undang-

Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

a. Alasan diajukannya judicial review

Masalah yang menjadi alasan diajukannya judicial review yakni terdapat

potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja dalam perolehan hak-haknya selama

proses penyelesaian perselihan hubungan industrial belum diputus (in kracht van

gewijsde). Hal ini terjadi dengan mengingat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

155 ayat (2) berupaya memberikan jaminan dan perlindungan bagi buruh untuk

tetap menerima upahnya selama proses penyelesaian perselisihan hubungan

industrial masih berlangsung,padahal putusan itu sendiri bersifat in kract van

gewijsde bisa terjadi di pengadilan hubungan industrial ataupun sampai dengan

putusan kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu diperoleh suatu

penafsiran yang pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusiterhadap

pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003,

sehingga para pekerja yang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap

perolehan hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial

dalam hal ini mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;

Buruh dan serikat buruh sering mengajukan protes atas putusan menyangkut

upah proses PHK. Protes itu berkaitan dengan putusan hakim yang tidak

menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara berkekuatan

hukum tetap. Kenyataan berkaitan dengan protes itu tampak jelas bila menelisik

pada putusan kasasi yang memiliki dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan

memutus upah proses sesuai putusan PHI tingkat pertama. Kedua, kecenderungan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

mengubah putusan PHI dengan cara mengurangi upah proses yang ditetapkan PHI

tingkat pertama menjadi enam bulan.

b. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011, pokok isinya

adalah sebagai berikut:

Pertimbangan Hukum:

a. Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian

frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4279) selanjutnya disebut UU 13/2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut

UUD 1945).

b. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili,

dan memutus permohonan a quo dan kedudukan hukum (legal standing)

para Pemohon.

Kewenangan Mahkamah

a. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD

1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

selanjutnya disebut UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-

UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,

Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5076),

Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap

UUD 1945.

b. Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji Pasal

155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan” terhadap

UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga

Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo.

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang

yangmempunyai kepentingan sama).

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap

UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51

ayat (1) UU MK.

b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya

Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta

putusanputusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK

harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945.

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar

dapat dipastikan akan terjadi.

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan selaku perorangan warga

negara Indonesia menganggap frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2)

UU 13/2003 merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:

a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

a. Bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa

”belum ditetapkan” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang

adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya penafsiran yang jelas dan

tegas mengenai klausula “belum ditetapkan”, yang dalam praktiknya,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

implementasi dari unsur kata “belum ditetapkan” menimbulkan

pertentangan apakah putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial tersebut hanya sebatas pada pengadilan tingkat

pertama ataukah juga meliputi putusan pada tingkat selanjutnya yaitu

kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

b. Bahwa menurut para Pemohon frasa ”belum ditetapkan” juga telah

menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja sesuai Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, karena berdasarkan Pasal 155

ayat (2) UU 13/2003 juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356,

selanjutnya disebut UU 2/2004), salah satu pihak yang dijamin haknya

dalam putusan sela itu, yaitu para buruh dan pekerja, menjadi terabaikan

hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan

imbalan yang sesuai dengan kerjanya.

c. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, para Pemohon memohon agar

Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan”

harus di tafsirkan, selama putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan

hukum tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan kewajiban pengusaha

untuk membayarkan upah adalah sampai suatu putusan berkekuatan

hukum tetap,dengan kata lain seandainya terhadap putusan pengadilan

hubungan Industrial, salah satu pihak mengajukan upaya hukum kasasi,

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

maka baik pekerja maupun pengusaha tetap harus menjalankan hak dan

kewajibannya.

Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK dan

putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta

dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut

Mahkamah:

a. Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945,khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan para Pemohon

menganggap hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya

Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

b. Kerugian konstitusional para Pemohon bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar

dapat dipastikan akan terjadi.

c. Terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian

dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,

serta ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, para

Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan a quo.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Pokok Permohonan

Pendapat Mahkamah

Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan

para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan ahli dari para Pemohon, serta

bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, sebagaimana termuat

pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

a. Para Pemohon memohon pengujian konstitusional frasa “belum

ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 bertentangan dengan

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan frasa “belum

ditetapkan” konstitusional bersyarat sepanjang frasa “belum ditetapkan”

ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap.

b. UU 13/2003 dan UU 2/2004 telah mengatur tentang mekanisme

pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK). Pasal 151 UU

13/2003 menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha

semaksimal mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat

dihindari, maka pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari

kesepakatan. Sekiranya pun perundingan tidak mencapai kesepakatan,

maka PHK hanya dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PHK yang dilakukan tanpa

persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

menjadi batal demi hukum [vide Pasal 155 ayat (1) UU 13/2003]. Selama

masa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih

memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal

155 ayat (2) UU 13/2003.

c. Lahirnya UU 2/2004 merupakan amanat dari Pasal 136 ayat (2) UU

13/2003 yang menyatakan, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah

untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka

pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan

undang-undang”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 2/2004, Perselisihan Hubungan

Industrial meliputi: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam

satu perusahaan. Mekanisme penyelesaian masing-masing perselisihan tersebut

dilakukan secara bertahap yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi,

konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian oleh Pengadilan Hubungan Industrial.

Ketika perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial

sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU 2/2004, maka perselisihan tersebut

dianggap belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh

kekuatan hukum tetap. Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat

(2) UU 13/2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan

industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak tentang

makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003. Apakah

frasa “belum ditetapkan” adalah diartikan pada saat putusan dijatuhkan oleh

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Pengadilan Hubungan Industrial ataukah pada saat putusan tersebut berkekuatan

hukum tetap? Pertanyaan ini muncul karena tidak semua putusan Pengadilan

Hubungan Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan

mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap

pada saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama

sedangkan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat

diajukan permohonan kasasi sehingga putusannya apabila dimohonkan kasasi

baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan Mahkamah

Agung.

Bahwa Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan:

a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut,

menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum

ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian

hukum yang adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo,

sehingga para pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap

perolehan hakhak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.

Menurut mMahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum

tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan

Hubungan Industrial,yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan

mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,

serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi.

Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi

harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah

berpendapat, permohonan para Pemohon tersebut terbukti dan beralasan menurut

hukum.

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

a. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan

a quo.

b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo.

c. Pokok permohonan para Pemohon terbukti dan beralasan menurut

hukum.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

Amar Putusan menyatakan:

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon.

b. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak

dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

c. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

d. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Eksistensi Putusan Mahakamah Konstitusi

Sesungguhnya, putusan Mahkamah Konstitusi di atas bukan pendapat

pertama yang menyatakan Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 sebagai

ketentuan yang mengharuskan pengusaha membayar upah proses sampai

berkekuatan hukum tetap. Sebelum putusan MK dibacakan,PHI pernah memutus

upah proses PHK sampai berkekuatan hukum tetap. Hal itu tampak dalam putusan

kasasi Nomor: 127 K/PHI/2006 tertanggal 22 Februari 2007 jo putusan Nomor:

01/PHI.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 Juli 2006. Bahkan, beberapa putusan PHI

menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan.2

Secara faktual, putusan MK di atas memastikan bahwa Kepmenaker No 150

Tahun 2000 bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU

No 13 Tahun 2003. Dengan demikian, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi

sebagai hukum positif sehingga putusan Mahkamah Konstitusi itu memberi

kepastian bahwa Kepmenaker No 150 Tahun 2000 bukan landasan yuridis yang

benar untuk menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.

Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah

satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi

atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung

telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI

2Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada

putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim

kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.

Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah

proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak

berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap.

Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas

waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat

pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan

hukum tetap’ itu sendiri. Sebab, bila salah satu pihak atau para pihak mengajukan

kasasi terhadap putusan PHI tingkat pertama maka berkekuatan hukum tetap itu

melekat pada putusan kasasi.

B. Hasil Penelitian

1. Posisi Kasus

Di dalam kasus/putusan Nomor 12/G/2013/PHI.Smg dan Nomor

40K/PDT.SUS-PHI/2014 yang akan penulis teliti ini, merupakan kasus PHK

yang dialami oleh seorang karyawan perusahaan swasta di bagian marketing yang

bernama Didik Teguh Waksito, dia di PHK oleh perusahaannya yaitu PT.Sinar

Mas Multi Finance yang berkedudukan di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Didik Teguh Waksito menggugat PT Sinar Mas Multifinance atas PHK

yang dialaminya. Penggugat di PHK dengan alasan tidak memenuhi target

pemasaran dan tergugat melakukan PHK secara sepihak tanpa melalui

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

musyawarah dengan Penggugat. Sementara itu Pasal 151 ayat 2 UU No.13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur

“Dalam hal segala upaya telah dilakukan , tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka

maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/Sb atau dengan

pekerja/buruh 3 dan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian terhadap PHK”

Bahwa Penggugat telah berusaha untuk merundingkan perkara PHK yang

dilakukan oleh Tergugat secara lisan melalui perundingan bipartit dengan pihak

Tergugat (PT. Sinar Mas Multifinance) agar dapat dipekerjakan kembali dan

atau kalau di PHK agar diberi pesangon sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003, akan tetapi pihak Tergugat (PT.Sinar Mas

Multifince) tidak mau memberikan pesangon sesuai aturan, dan selama bekerja

Penggugat tidak pernah ditegur ataupun diberi surat peringatan dari Tergugat

maka Penggugat beranggapan bahwa PHK secara lisan yang dilakukan oleh

Tergugat kepada Penggugat adalah PHK tanpa kesalahan, oleh karenanya

Penggugat menuntut mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156

ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),

uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun

2003;

Bahwa gaji Penggugat terakhir adalah sebesar Rp 2.850.000,00 maka

Penggugat berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan

uang penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat dengan

masa kerja hampir 9 tahun adalah sebagai berikut;

1 Uang pesangon 2 x 9 x Rp2.850.000,00 = Rp51.300.000,00

3UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ,pasal 151 ayat 2

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

2 Uang penghargaan mass kerja 3 x Rp2.850.000,00 = Rp 8.550.000,00

3 Uang penggantian hak 15% x Rp59.850.000,00 = Rp 8.977.500,00

Jadi jumlah pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat adalah Rp

68.827.500,00 ( enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu lima

ratus rupiah).

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

pada putusan tingkat I Nomor 12/G/2013/PHI.SMG

1. Bahwa Penggugat memang telah benar-benar tidak memenuhi target yang

dibebankan oleh Perusahaan (bukti T-1);

2. Menimbang, bahwa Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance (bukti

T-5) belum disosialisasikan kepada para Karyawan dan dalam Pasal 44 angka

(4) Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance dicantumkan bahwa

“PHK dilaksanakan sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 jo UU No.2 tahun

2004 jo Peraturan Perundangan yang berlaku.” Dan tidak ada dalam satu

Pasal pun dalam Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance yang

mencantumkan bahwa apabila tidak memenuhi target dan tidak disiplin

dalam waktu kerja maka Perusahaan dapat memPHK karyawan tanpa

pesangon. Oleh karena Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance

tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk memutus maka Majelis Hakim

akan mendasarkan perkara a quo pada UU No. 13 tahun 2003

3. Menimbang, bahwa oleh karena Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas

Multifinance tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan atas perkara ini, maka

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan demikian alasan PHK terhadap Penggugat oleh Tergugat dikarenakan

melanggar Peraturan Perusahaan pasal 11 tentang ketidak disiplinan dalam

waktu kerja adalah tidak tepat.

4. Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (1) UU No. 13

Tahun 2003, maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah

pekerja/buruh diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara

berturut-turut;

5. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis Hakim

berpendapat apabila Penggugat melakukan pelanggaran dan dianggap tidak

memenuhi target seharusnya Perusahan terlebih dahulu melakukan

pembinaan dengan cara diberikan Surat Peringatan terlebih dahulu dengan

tujuan bahwa Penggugat dapat memperbaiki kinerjanya. Akan tetapi yang

dilakukan Tergugat kepada Penggugat dalam perkara a quo justru malah

terhadap Penggugat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh

karena itu Majelis Hakim berpendapat Pemutusan Hubungan kerja yang

dilakukan Tergugat kepada Penggugat tidak dapat dibenarkan secara hukum

karena tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun 2003;

6. Menimbang, bahwa oleh karena baik Penggugat maupun Tergugat

mendalilkan:

a. adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka Majelis Hakim

berpendapat hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sudah

tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan sehingga oleh karenanya

Majelis Hakim dapat mengabulkan Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) dalam perkara a quo;

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

7. Menimbang, bahwa seperti telah dipertimbangkan di atas, Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat adalah mendasarkan pada

Pasal 161 UU.No.13 tahun 2003, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

karena adanya kesalahan dari Penggugat yang tidak memenuhi target dan

tidak disiplin dalam waktu kerja;

8. Majelis Hakim berpendapat bahwa telah dipertimbangkan di atas pemutusan

hubungan kerja Penggugat didasarkan pada pasal 161 UU No. 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.Oleh karena itu untuk memberikan kepastian hukum

mengenai waktu berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat,

Majelis Hakim berketetapan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat

berakhir terhitung sejak putusan ini berkekuatan hokum tetap dengan

demikian petitum gugatan Penggugat patut dan layak untuk dikabulkan.

9. Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka landasan atau

pijakan hukum, dalam Pemutusan Hubungan Kerja a quo adalah Pemutusan

Hubungan Kerja adanya kesalahan dari Penggugat, sehingga dalam hal

pembayaran uang pesangon Penggugat berhak mendapatkan uang pesangon

sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa

kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan dan uang

penggantian hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4).

10. Menimbang, bahwa oleh karena menurut kesimpulan Majelis Hakim bahwa

pemutusan hubungan kerja dalam perkara a quo adalah berdasarkan Pasal 161

UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka hak-hak pesangon

Penggugat dalam perkara ini, adalah berdasarkan Pasal 161 UU No.13 tahun

2003, yaitu :

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Uang Pesangon

1 x 9 x Rp. 2.850.000 =Rp. 25.650.000,-

Uang Penghargaan Masa Kerja

3 x Rp. 2.850.000 =Rp. 8.550.000,-

Uang Penggantian Hak

15% x (Rp. 25.650.000 + Rp. 8.550.000) =RP. 5.130.000,- +

=Rp.39.330.000,-

(Tiga Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Ribu Rupiah)

11. Menimbang, bahwa oleh karena belum adanya Surat Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) dari Tergugat maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa

hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung sampai

dengan Putusan ini sampai berkekuatan hokum tetap. Sehingga dengan

demikian Majelis Hakim berpendapat, Penggugat pun masih berhak atas upah

yang belum dibayarkan sampai Putusan ini berkekuatan hokum tetap

berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.

37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa upah proses pemutusan hubungan

kerja berlaku sejak diputus pemutusan hubungan kerja sampai perkara

berkekuatan hukum tetap.

12. Menimbang, bahwa oleh karena gaji terakhir Penggugat diterima pada bulan

Desember 2012, maka Penggugat berhak menerima upah proses mulai bulan

Januari 2013 sampai berkekuatan hokum tetap dengan demikian terhadap

petitum angka 4 patut dan layak untuk dikabulkan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

13. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas,

Penggugat dapat mempertahankan dalil gugatannya, sehingga gugatan

Penggugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim. Dan oleh karenaya

Tergugat dalam perkara a quo adalah pihak yang kalah sehingga harus

dihukum untuk membayar biaya perkara yang timbul.

3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi pada Putusan Nomor

40K/PDT.SUS-PHI/2014

Dari memori kasasi yang diajukan oleh pemohn kasasi yang semula adalah

Tergugat, Majelis Hakim tingkat Kasasi menolak memori kasasi, pokok,dari

memori kasasinya adalah sebagai berikut:

1. Pemohon Kasasi menganggap bahwa Pengadilan Hubngan Industrial

Semarang telah salah dalam menerapkan Hukum Pembuktian

2. Pengadilan Hubngan Industrial Semarang tidak mempertimbangkan bahwa

Peratura Perusahaan milik PT.Snarmas Multifinance yang telah disahkan

oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral

Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Sehingga berlaku azaz Lex specialist de rogat lex generalis.

3. Dalam pasal 44 ayat 1 Peraturan Perusahaan menyebutkan “Karyawan

yang melakukan pelanggaran pasal 11 ayat 2 Peraturan Perusahaan ini dan

masih melakukan pelanggaran lagi dapat dilakukan PHK dengan tidak

mendapat pesangon.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan alasan tidak cukup bukti Majelis Hakim mempertimbangkannya

sebagai berikut:

a. Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas,

Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex

Facti/Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Semarang

harus diperbaiki sepanjang mengenai upah proses yakni hanya untuk 6

(enam) bulan gaji, sebagaimana yang akan diuraikan dalam amar putusan

dibawah ini;

b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata

bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau

undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi: PT. Sinar Mas Multifinance tersebut harus ditolak.

c. Bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini di bawah

Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka biaya perkara

dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Negara.

C. Pembahasan

1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

tingkat 1 tentang Pemberian Upah Proses Pada Putusan Nomor

12/G/2013/PHI.Smg

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Semarang mengabulkan permohonan gugatan dari Penggugat untuk

sebagian.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Disini Penulis menemukan apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim

memutus upah proses sampai putusan berkekuatan hukum tetap yakni dalam

pertimbangan hakim nomor 11 menyebutkan:

”Menimbang, bahwa oleh karena belum adanya Surat Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) dari Tergugat maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa

hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung sampai

dengan Putusan ini sampai berkekuatan hokum tetap. Sehingga dengan

demikian Majelis Hakim berpendapat, Penggugat pun masih berhak atas upah

yang belum dibayarkan sampai Putusan ini berkekuatan hokum tetap

berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.

37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa upah proses pemutusan hubungan

kerja berlaku sejak diputus pemutusan hubungan kerja sampai perkara

berkekuatan hukum tetap.”

Dalam Putusan PHI tingkat I, majelis hakim menghukum pengusaha dengan

mewajibkan membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap.

Dimana Penggugat pun masih berhak atas upah yang belum dibayarkan sampai

Putusan ini berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13

tahun 2003 jo Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011, pertimbangan hakim ini

berdasar pada Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.

37/PUU-IX/2011.

Majelis Hakim menetapkan upah proses sampai dengan putusan

berkekuatan hukum tetap dikarenakan Tergugat (PT.Sinarmas Multifinance)

belum mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

(Didik Teguh Waksito). Karena gaji terahkir Penggugat diterima pada bulan

Desember 2012, maka penggugat berhak menerima upah proses mulai bulan

Januari 2013 sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.

Dalam memutus perkara antara Didik Teguh Waksito dan PT.Sinarmas

multifiance, Majelis Hakim memberikan pertimbangannya berdasarkan bukti-

bukti serta fakta-fakta hukum yang ada di persidangan, mulai dari bagaimana

hubungan kerja atara penggugat dan tergugat berahkir sampai dengan hak-hak apa

saja yang diperoleh oleh tergugat.

Lalu apakah pertimbangan Majelis Hakim tersebut sudah sesuai dengan

Undang-Undang yang berlaku, yakni Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 tentang

Pemberian Upah proses.

Di sini penulis berusaha menjelaskan kebersesuaian pertimbaangan Majelis

Hakim dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan

Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 tentang Pemberian Upah

proses.

Pertimbangan Majelis Hakim PHI Tingkat I Putusan Nomor

12/G/2013/PHI.Smg:

a. Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance tersebut tidak dapat

dijadikan dasar untuk memutus maka Majelis Hakim akan mendasarkan

perkara a quo pada UU No. 13 tahun 2003 karena Peraturan perusahaan

PT.Sinarmas Multifinance tidak ada satu Pasal pun yang mencantumkan

bahwa apabila tidak memenuhi target dan tidak disiplin dalam waktu

kerja maka Perusahaan dapat mem PHK karyawan tanpa pesangon.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

b. Majelis Hakim berpendapat Pemutusan Hubungan kerja yang dilakukan

Tergugat kepada Penggugat tidak dapat dibenarkan secara hukum karena

tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun 2003.

c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat adalah

mendasarkan pada Pasal 161 UU.No.13 tahun 2003, yaitu Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) karena adanya kesalahan dari Penggugat yang

tidak memenuhi target dan tidak disiplin dalam waktu kerja

d. Pemutusan Hubungan Kerja a quo adalah Pemutusan Hubungan Kerja

adanya kesalahan dari Penggugat, sehingga dalam hal pembayaran uang

pesangon Penggugat berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 1 (satu)

kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1

(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan dan uang penggantian hak

sesuai dengan pasal 156 ayat (4).

e. Dikarenakan Tergugat belum mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) kepada Penggugat sehingga Majelis Hakim berpendapat

hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung

sehingga Penggugat masih berhak atas upah sampai dengan putusan ini

berkekuatan hokum tetap.

f. Penggugat pun masih berhak atas upah yang belum dibayarkan sampai

Putusan ini berkekuatan hokum tetap berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU

No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011 yang berketetapan

bahwa upah proses pemutusan hubungan kerja berlaku sejak diputus

pemutusan hubungan kerja sampai perkara berkekuatan hokum tetap.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Dari pertimbangan Majelis Hakim diatas Analisis Penulis

berpendapat bahwa:

a. Benar bagaimana pendapat Majelis Hakim tentang keberlakuan Peraturan

Perusahaan (PP) yang berlaku di PT.Sinarmas Multifinance, Peraturan

Perusahaan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar Pemutusan

Hubungan Kerja, karena Peraturan Perusahaan tersebut tidak sesuai

dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

dimana PT.Sinarmas Multifinance melakukan PHK dengan dasar Didik

Teguh Waksito melanggar Peraturan Perusahaan pasal 11 tentang ketidak

disiplinan dalam waktu kerja seharusnya Perusahan terlebih dahulu

melakukan pembinaan dengan cara diberikan Surat Peringatan terlebih

dahulu dengan tujuan bahwa Penggugat dapat memperbaiki kinerjanya.

Akan tetapi yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat dalam perkara a

quo justru malah terhadap Penggugat dilakukan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK). Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat Pemutusan

Hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat tidak dapat

dibenarkan secara hukum karena tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun

2003.sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003,

maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah

pekerja/buruh diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara

berturut-turut.

b. Tentang pemberian upah proses, Majelis Hakim sudah tepat yaitu dengan

mendasarkan pada Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang No.13 tahun 2003 Jo

Puusan MK No.37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa Upah Proses

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

berlaku sejak diputus PHK sampai perkara berkekuatan hokum tetap.

Majelis Hakim menetapkan upah proses sampai dengan putusan

berkekuatan hokum tetap dikarenakan Tergugat (PT.Sinarmas

Multifinance) belum mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) kepada Penggugat (Didik Teguh Waksito). Karena gaji terahkir

Penggugat diterima pada bulan Desember 2012, maka penggugat berhak

menerima upah proses mulai bulan Januari 2013 sampai dengan putusan

berkekuatan hukum tetap.

c. Terkait dalam praktik di Pengadilan yang menetapakan Putusan upah

proses terbagi menjadi 4 jenis, yaitu 1. Putusan hakim menghukum

pengusaha membayar upah proses selama enam bulan. Putusan ini

berkiblat pada Kepmenaker Nomor 150 tahun 2000. 2. Putusan hakim

menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan

tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan ini lebih

didasarkan pada rasa keadilan menurut hakim. 3. Putusan hakim

menghukum pengusaha membayar upah proses hingga perkara

memperoleh kekuatan hukum tetap4. 4. Putusan Hakim yang menghukum

pengusaha membayar upah proses sampai dengan eksekusi putusan

dilaksanakan.5 Putusan ini murni didasarkan pada Pasal 155 ayat (2) UU

No.13 Tahun 2003. Putusan Majelis Hakim PHI Semarang tingkat 1 ini

sesuai dengan jenis yang ke 3 yaitu memutus upah proses sampai dengan

4 ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TINGKAT PERTAMA PADA PUTUSAN NOMOR

02/G/2011/PHI.Yk DAN TINGKAT KASASI PADA PUTUSAN NOMOR 418 K/Pdt.Sus/2011 TENTANG

KUALIFIKASI HUBUNGAN HUKUM ANTARA KAHONO DAN SUCIWANTA DENGAN KETUA

PRIMER KOPERASI ANGKATAN UDARA II (Primkopau) LANUD ADI SUCIPTO YOGYAKARTA;

Anisa LVR; halaman 15; 2012

5 Putusan Majelis Hakim Pengadilan hubungan industrial Semarang

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

putusan berkekuatan hukum tetap, namun penulis memiliki pendapat lain

terkait putusan ini, karena penulis lebih menyarankan untuk putusan upah

proses yang jenis ke 4, yakni menghukum pengusaha membayar upah

proses sampai dengan eksekusi dilakukan, mengapa demikian karena

penulis mempunyai pendapat bahwa putusan mengenai upah prosees jenis

ke 4 ini lebih efektif untuk membuat pengusaha merasa jera, karena dalam

praktik yang terjadi banyak pengusaha sudah dihukum untuk membayar

upah proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap tetapi

banyak pengusaha yang tetap tidak membayar upah proses yang menjadi

hak daripada Pekerja, sehingga dengan putusan jenis ke 4 yang

mewajibkan pengusaha membayar upah proses sampai eksekusi putusan

dilaksanakan, pengusaha akan mendapat efdek jera, karena apabila

eksekusi tidak segera dilakukan maka akan bertambah besar pula upah

proses yang akan dibayarkan kepada pekerja. Selain itu juga Negara tidak

dibebankan dengan eksekusi-eksekusi yang belum dilaksanakan oleh para

pengusaha. Jadi putusan jenis ke 4 ini dirasa lebih efektif daripada putusan

tentang upah proses yang lain.

2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi tentang Pemberian Upah

Proses pada Putusan Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014

Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari

pemohon kasasi yaitu PT.Sinar Mas Multifinance, dan Mahkamah Agung

berpendapat bahwa amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang

harus diperbaiki mengenai upah proses dari yang sampai berkekuatan hokum tetap

menjadi hanya 6 bulan saja.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Dari pertimbangan Majelis Hakim yang memutuskan upah proses selama 6

bulan, penulis berpendapat pertimbangan Majelis Hakim Agung tersebut tidak

mendasarkan penafsiran ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.

Majelis Hakim memberikan upah proses hanya sebesar enam bulan tersebut

berdasar pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang

Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan (Kepmenakertrans

No.KEP-150/Men/2000). Dengan berdasar pada ketentuan dalam

Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 besarnya upah proses yang layak

diberikan berdasarkan keadilan hanya sebesar enam bulan upah saja dan bukan

sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.6Kepmenakertrans No. KEP-

150/Men/2000 merupakan produk peraturan perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan yang diberlakukan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No.

2 Tahun 2004.

Meskipun Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000

tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon

sudah tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 namun

berdasarkan ketentuan Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa

semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan masih berlaku

sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru

berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 16 Kepmenakertrans

No. KEP-150/Men/2000 ditentukan bahwa “selama proses PHK pengusaha dapat

6MAKNA UPAH PROSES MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSIDIBANDINGKAN

DENGAN BEBERAPAPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG;Fakultas Humaniora Jurusan

Business Law Universitas Bina Nusantara

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

melakukan skorsing kepada pekerja dengan kewajiban untuk membayarkan upah

dan hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja. Besarnya upah dalam masa

skorsing yang wajib dibayarkan oleh pengusaha tersebut hanya selama enam

bulan saja.” Jika setelah jangka waktu enam bulan dan belum ada putusan dari

P4D atau P4P maka Panitia Daerah atau Panitia Pusat dapat menentukan besarnya

upah dan hak-hak yang bisa diterima oleh pekerja 7

Dalam tingkat Kasasi yakni semula tergugat mengajukan permohonan Kasasi,

beberapa memori kasasinya yakni:

a. Pemohon Kasasi menganggap bahwa Pengadilan Hubngan Industrial

Semarang telah salah dalam menerapkan Hukum Pembuktian

b. Pengadilan Hubngan Industrial Semarang tidak mempertimbangkan bahwa

Peratura Perusahaan milik PT.Snarmas Multifinance yang telah disahkan

oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral

Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Sehingga berlaku azaz Lex specialist de rogat lex generalis.

c. Dalam pasal 44 ayat 1 Peraturan Perusahaan menyebutkan “Karyawan

yang melakukan pelanggaran pasal 11 ayat 2 Peraturan Perusahaan ini dan

masih melakukan pelanggaran lagi dapat dilakukan PHK dengan tidak

mendapat pesangon.

Dari pengajuan memori keberatan tersebut, Majelis Hakim menimbang

bahwa:

7Ibid

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

a. Keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan dikarenakan tidak

cukup bukti, dan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang tidak salah

dala menerapkan hokum dan member pertimbangan yang cukup.

b. Terlepas dari pertimbangan Majelis Hakim diatas Mahkamah Agung

berpendapat bahwa amar putusan Pengadilam Hubungan Industrial

Semarang harusdiperbaiki sepanjang mengenai Upah Proses yakni hanya

untuk 6 bulan gaji. Jadi upah proses yang diterima Didik adalah 6 x

Rp.2.850.000 = Rp.17.100.000 (tuju belas juta seratus ribu rupiah)

Berdasar pertimbangan Majelis Hakim diatas Penulis berpendapat bahwa:

a. Mengenai penolakan memori Kasasi yang diajukan PT.Sinarmas

Multifinance adalah sudah benar yakni Peraturan Perusahaan yang ada di

PT.Sinarmas Multifinance adalah bertentangan dengan peraturan

perUndang-Undangan yang berlaku yaitu ndang-Undang No.13 tahun

2003 tentang Ketenaga kerjaan (Azaz Lex Superor derogate lex Inferior).

b. Namun dalam hal pemutusan tentang upah proses, penulis tidak

sependapat dengan Majelis Hakim dimana Majelis Hakim memutuskan

upah proses selama 6 bulan. Pendapat penulis, putuasan Majelis Hakm

tingkat Kasasi memutus 6 bulan upah proses adalah berdasar

padaketentuan dalam Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 besarnya

upah proses yang layak diberikan berdasarkan keadilan hanya sebesar

enam bulan upah saja dan bukan sampai dengan putusan berkekuatan

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

hukum tetap.8Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 merupakan

produk peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang

diberlakukan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004.

Meskipun proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut

sudah tidak berlaku lagi, ada Majelis Hakim yang menentukan putusan

berdasarkan ketentuanKepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 karena di

dalam Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa semua

peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan masih berlaku

sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan

baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 16

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon

ditentukan bahwa “selama proses PHK pengusaha dapat melakukan

skorsing kepada pekerja dengan kewajiban untuk membayarkan upah dan

hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja. Besarnya upah dalam masa

skorsing yang wajib dibayarkan oleh pengusaha tersebut hanya selama

enam bulan saja.”

Seharusnya Majelis Hakim Tingkat Kasasi tidak menetapkan upah

proses selama 6 bulan, karena putusan tersebut berdasar aturan

perUndang-Undangan yang sudah tidak lagi berlaku dan sudah ditegaskan

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 dimana

8MAKNA UPAH PROSES MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSIDIBANDINGKAN

DENGAN BEBERAPAPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG;Fakultas Humaniora Jurusan

Business Law Universitas Bina Nusantara

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

Putusan MK tersebut menegaskan pemberian upah proses adalah sampai

putusan berkekuatan hukum tetap.

Dan apabila dikaitkan dengan 4 pola putusan upah proses yang

terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial, maka yang diPutuskan Majelis

Hakim Tingkat Kasasi ini termasuk pola yang ke 1, yaitu menghukum

pengusaha membayar upah proses selama 6 bulan. Dan putusan ini sesuai

dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon.

Penulis juga kurang setuju apabila Putusan Majelis hakim tingkat

Kasasi memutuskan pengusaha membayar upah proses seusai dengan pola

yang ke 2, yakni: Putusan Hakim menghukum pengusaha membayar upah

proses lebih dari 6 bulan tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum

tetap.

Putusan tersebut adalah putusan yang didasarkan pada rasa keadilan

hakim, penulis kurang sependapat dengan putusan tersebut karena setiap

Hakim memiliki rasa keadilan masing-masing, sehingga yang di

khawatirkan adalah bermacam ragam rasa keadilan atau tolak ukur

keadilan sehingga kurang menjamin kepastian hukum bagi para pihak

yang bersengketa.

Penulis lebih setuju terhadap 2 pola putusan upah proses yang lain,

yaitu:

a. Putusan Hakim membayar upah proses hingga perkara berkekuatan hukum

tetap. Karena Pola ini didasarkan pada Undang-Undang yang saat ini berlaku

yaitu dengan mendasarkan pada Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang No.13

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14645/2/T1_312013001_BAB II... · 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

tahun 2003 Jo Puusan MK No.37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa

upah proses berlaku sejak diputus PHK sampai perkara berkekuatan hukum

tetap. Dan pola ini dinilai mampu memberikan keadilan bagi pekerja yang di

PHK.

b. Putusan Hakim yang menghukum membayar upah proses sampai dengan

eksekusi putusan dilaksanakan. Dari semua pola yang ada,penulis menilai pola

ini yang paling cocok diputuskan oleh Majelis Hakim, baik di Tingkat I

ataupun di Tingkat Kasasi karena membuat pengusaha merasa jera,dalam

praktik yang terjadi banyak pengusaha sudah dihukum untuk membayar upah

proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap tetapi banyak

pengusaha yang tetap tidak membayar upah proses yang menjadi hak daripada

Pekerja, sehingga dengan putusan pola ke 4 yang mewajibkan pengusaha

membayar upah proses sampai eksekusi putusan dilaksanakan, pengusaha

akan mendapat efek jera, karena apabila eksekusi secara sukarela tidak segera

dilakukan maka akan bertambah besar pula upah proses yang akan dibayarkan

kepada pekerja. Selain itu juga Negara tidak dibebankan dengan eksekusi-

eksekusi yang belum dilaksanakan oleh para pengusaha. Jadi putusan jenis ke

4 ini dirasa lebih mencerminkan keadilan daripada putusan tentang upah

proses yang lain.