48
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Penegakan Hukum 1.1 Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum bertujuan agar terjadinya ketertiban hukum yaitu dalam perwujudannya ada 2 aspek utama yaitu : 1 1. Adanya tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, haruslah memiliki ketentuan hukum yang jelas dan mengandung kepastian hukum. Maksudnya agar memperkokoh landasan keteraturan dan ketertiban, karena ia bertujuan untuk mencegah penggunaan kewenangan yang di luar batas. 2. Keseluruhan tindakan dalam hukum dan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, benar-benar di laksanakan atas dasar ketentuan hukum. Maksudnya adalah menumbuhkan sistem dan iklim kehidupan masyarakat yang serasi selaras dan seimbang. Banyak pengertian mengenai penegakan hukum, beberapa ahli mengartikan penegakan hukum sebagai berikut : Menurut kamus besar bahasa Indonesia Penegakan hukum secara umum mempunyai arti sebagai suatu proses atau perbuatan atau cara menegakkan peraturan yang diberlakukan oleh para petugas-petugas yang berhubungan dengan proses peradilan. 2 1 Sukarto Marmosudjono, Penegakan Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986, hal 3. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11633/2/T1_312012716_BAB II...2. Faktor Penegak Hukum . Di dalam proses penegakan hukum, bisanya

  • Upload
    vucong

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Penegakan Hukum

1.1 Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum bertujuan agar terjadinya ketertiban hukum yaitu dalam perwujudannya

ada 2 aspek utama yaitu :1

1. Adanya tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, haruslah

memiliki ketentuan hukum yang jelas dan mengandung kepastian hukum.

Maksudnya agar memperkokoh landasan keteraturan dan ketertiban, karena ia

bertujuan untuk mencegah penggunaan kewenangan yang di luar batas.

2. Keseluruhan tindakan dalam hukum dan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,

benar-benar di laksanakan atas dasar ketentuan hukum. Maksudnya adalah

menumbuhkan sistem dan iklim kehidupan masyarakat yang serasi selaras dan

seimbang.

Banyak pengertian mengenai penegakan hukum, beberapa ahli mengartikan penegakan

hukum sebagai berikut :

Menurut kamus besar bahasa Indonesia Penegakan hukum secara umum mempunyai

arti sebagai suatu proses atau perbuatan atau cara menegakkan peraturan yang

diberlakukan oleh para petugas-petugas yang berhubungan dengan proses peradilan.2

1 Sukarto Marmosudjono, Penegakan Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986, hal 3.

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia

16

Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan

dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap dan sikap tidak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian hidup.

Penegakan hukum secara umum adalah merupakan kepatuhan atau ketaatan terhadap

hukum itu sendiri yang merupakan salah satu unsur pokoknya. Hal ini disebabkan

karena derajat efektifitas hukum ditentukan antara lain taraf kepatuhan warga

masyarakat terhadap hukum, dengan kata lain penegakan hukum merupakan

penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia.3

Penegakan hukum merupakan suatu cara dalam rangka memenuhi rasa keadilan pada

masyarakat.4

Proses penegakan hukum itu sendiri merupakan suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan-keinginan

hukum adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan hukum.5

Penegakan hukum dapat dibicarakan dalam 2 kategori, yaitu (1) semata- mata dilihat dari

peraturan, yaitu sebagai kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum dan

(2) sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum6

1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor adalah suatu kondisi atau persyaratan untuk terjadinya sesuatu, jadi dalam kaitannya

dalam penegakan hukum, maka yang disebut faktor adalah satu atau beberapa kondisi atau syarat

yang boleh jadi dapat mengganggu kepengaruhan hukum terhadap perilaku-perilaku anggota

masyarakat ataupun yang boleh jadi dapat mengganggu jalannya penegakan hukum.

3 Soekanto,Soerjono, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1980, (selanjutnya disingkat Soekanto

Soerjono III) , hal 13. 4 Sukarton Marmosudjono, op.cit, hal 7.

5 Rahardjo,Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2004, hal 24.

6 Rahardjo,Satjipto, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah

Press, Surakarta, 2002 hal.173.

17

Adapun didalam proses penegakan hukum itu ada beberapa faktor yang mempengaruhinya,

faktor-faktor tersebut adalah :7

1. Faktor Hukum

Diartikan perundang-undangan dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku

umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian, maka

perundang-undangan dalam arti materiil mencakup :

Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau golongan tertentu

saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.

Peraturan setempat yang hanya berlaku umum di suatu tempat atau daerah saja.

2. Faktor Penegak Hukum

Di dalam proses penegakan hukum, bisanya terjadi bahwa kelemahan-kelemahan dan

kekurangan-kekurangan melekat pada hukum itu sendiri yang justru menjadi sumber

kegagalan proses penegakan hukum. Hal itu tidak mustahil sebab kadangkala terdapat

rumusan atau kaedah hukum yang tidak jelas dan memberikan penafsiran yang beragam,

atau antara kaedah hukum yang satu dengan yang lainnya mengenai hal yang sama

bertentangan. Sikap hukum yang demikian yang sering kali menimbulkan keraguan

terhadap subyek hukum.

Secara sosiologis, setiap penegak hukum tersebut memiliki kedudukan dan peranan.

Kedudukan dan peranan sosial merupakan posisi tertentu di dalam struktur

kemasyarakatan. Kedudukan tersebut sebenarnya suatu wadah, yang isinya hak dan

kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu merupakan peranan. Oleh karena itu,

7 Soekanto,Soerjono, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, CV.Rajawali, 1982, (selanjutnya

disingkat Soekanto Soerjono IV), hal 239.

18

seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan.

Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut :8

a) Peranan yang ideal (ideal role)

b) Peranan yang seharusnya (expected role)

c) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

d) Peranan yang seharusnya dilakukan (actual role)

Kesenjangan antara peran yang diharapkan dengan peran yang ditampilkan inilah yang

merupakan tantangan terbesar dalam penegakan hukum. Harapan atau “role expectation”

terhadap penegak hukum adalah bahwa mereka :

a. Memberikan dan menegakkan keadilan ;

b. Menindak dan menuntut mereka yang bersalah dan melanggar hukum ;

c. Menemukan kebenaran ;

d. Mendidik masyarakat agar mentaati hukum ;

e. Memberikan teladan dalam kepatuhan hukum ;

f. Selain itu mereka juga diharapkan memiliki pemahaman dan persepsi yang sama

terhadap suatu ketentuan hukum.

Halangan-halangan yang mungkin ditemui pada peranan yang seharusnya dari golongan

penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau lingkungan. Halangan-

halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah :9

Keterbatasan kemampuan untuk menenmpatkan diri dalam peranan pihak lain

dengan siapa dia berinteraksi

8 Soekanto,Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakata,

1993, (selanjutnya disingkat Soekanto Soerjono V) hal 13. 9 Ibid, hal 24.

19

Tingkat aspirasi yang relativ belum tinggi

Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat suatu proyeksi

Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan materiil.

Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatif.

3. Faktor Sarana dan Prasarana

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hokum akan

berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia

yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadahi,

sumber dana yang cukup. Masalahnya sampai sejauh mana fasilitas yang ada akan dapat

mendukung terlaksananya peraturan perundang-undangan tersebut, karena sering terjadi

bahwa suatu peraturan yang sudah diberlakukan tetapi fasilitasnya belum tersedia dengan

lengkap. Peraturan yang semula bertujuan memperlancar proses malah mengakibatkan

terjadinya kemacetan, atau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas

penegak baik, akan tetapi bila sarana atau fasilitas yang ada kurang memadahi, maka

penegak hukum tidak akan dapat berjalan dengan semestinya.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian

didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat

dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk

dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan kebudayaan-kebudayaan khususnya.

20

Jadi seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat

yang ada dilingkungan tersebut, beserta tatana status atau kedudukan dan peranan yang

ada. Dari pengetahuan dan pemahaman terhadap stratifikasi sosial tersebut, akan dapat

diketahui lambing-lambang kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya

pergaulannya.

Dengan mengetahui dan memahami terhadap stratifikasi sosial, maka akan dapat

mengidentifikasi nila-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku

dilingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terhadap nilai-nilai serta norma-

norama atau kaidah-kaidah sangat penting di dalam menyelesaikan perselisihan-

perselisihan yang terjadi.

1.3 Elemen – Elemen Penegakan Hukum

Agar ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi. Dalam hal

ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga seperti Kepolisian,

Kejaksaan, dan sebagainya. Walaupun lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi yang

berbeda, namun tugasnya sama yaitu menegakkan hukum dalam masyarakat. Tanpa lembaga-

lembaga tersebut, hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagaimana

mestinya.

Penegakan hukum didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa

disebut penegak hukum (aparatur) yang mempunyai aturan-aturan sendiri. Secara fungsional,

sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi, yang berarti ada sekian banyak

aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan Negara dalam penegakan hukum. Yang

dimaksud dengan “alat penegak hukum” hanyalah Kepolisian dan Kejaksaan. Sedangkan kalau

21

penegakan hukum itu diartikan secara luas seperti dikemukakan diatas, maka penegakan hukum

menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, dan instansi pemerintah10

Unsur-unsur yang melibatkan dalam penegakan hukum antara lain ; unsur-unsur yang

mempunyai keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat. Dengan mengambil badan-badan

pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil.

Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan

hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum tersebut merupakan pikiran-pikiran

badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.

Proses penegakan hukum menjangkau pula pada pembuatan hukum. Perumusan pikiran

pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan. Proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya

oleh pejabat penegak hukum. Kedisiplinan dan kaidah-kaidah yang merupakan rambu-rambu

yang mengikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarakat termasuk didalamnya

para pejabat penegak hukum.

Peranan peraturan hukum berhubung erat dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan

oleh penegak hukum. Sehingga keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya dimulai sejak peraturan hukum tersebut dibuat. Hal ini terjadi karena

badan pembuat undang-undang sebagai lembaga legislatif dalam membuat undang-undang tidak

didukung oleh sarana yang mencukupi, sehingga aturan itu gagal dijalankan. Bisa juga pembuat

aturan yang mengharuskan rakyat untuk melakukan sesuatu, seperti harus menanam jenis

tanamansesuatu, ternyata mendapat perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi semacam

10

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, cetakan pertama, 1986, hal 16.

22

itu maka penegak hukum dapat menggunakan kekuatan memaksa dan sebaliknya penegak

hukum dapat menyerah pada perlawanan rakyat.11

Pemahaman secara normatif terhadap organisasi penegak hukum cenderung menerima

bentuk-bentuk formal dari organisasi tersebut sebagai satu-satunya kemungkinan yang dapat

dilihat dan dipelajari. Bagaimana suatu lembaga penegak hukum itu akan bekerja sebagai respon

terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan yang ditujukan kepadanya

sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek dari kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya

yang bekerja atasnya dan umpan-umpan balik yang dating dari para pemegang peran.

1.4 Klasifikasi Penegakan Hukum

Menurut Sudarto, sistem penegakan hukum dibedakan menjadi 3 macam, yaitu sistem

penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum

administrasi. Masing-masing penegakan hukum ini didukung dan dilaksanakan oleh alat

perlengkapan negara atau bias disebut alat penegak (aparatur) yang mempunyai aturan-aturan

sendiri12

Menurut Sudarto, penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :13

1. Penegakan hukum preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum

terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain dilakukan untuk mencegah terjadinya

suatu pelanggaran, yang dapat merugikan masyarakat.

2. Penegakan hukum represif

11

Ibid,hal 25. 12

Ibid, hal 112. 13

Ibid, hal 113.

23

Penegakan hukum represif yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan

kegiatan menindak pelaku pelanggaran.

3. Penegakan hukum kuratif

Penegakan hukum kuratif merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya,

yaitu dalam usaha penanggulangan kejahatan. Tindakan kuratif ini merupakan segi lain

dari tindakan reprsif dan lebih di titik beratkan pada tindakan orang yang melakukan

kejahatan, misalnya melakukan pembinaan.

2. Peranan

2.1 Pengertian Peranan

Peranan adalah suatu sistem norma-norma yang berisi patokan-patokan tingkah laku

pada kedudukan atau posisi-posisi tertentu seseorang di dalam masyarakat. Kedudukan (sosial)

merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang saja

atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah , yang isinya adalah hak-

hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajibantadi merupakan peranan (role).

Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang

peran (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak

berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan

kedalam unsur-unsur sebagai berikut 14

:

a. Peranan yang ideal (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

d. Peranan yang seharusnya dilakukan (actual role)

14

Soekanto Soerjono & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1982, hal 10.

24

Peranan ideal ,sebagaimana di rumuskan atau yang diharapkan oleh masyarakat. Peranan

ideal itu merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait pada status-status

tertentu.15

Peranan yang seharusnya, atau peranan yang diharapkan menunjuk pada sikap tindak

seseorang yang mengandung kualitas logis,ethi.s dan estetis.16

Artinya di dalam menjalankan

peranannya, seseorang diharapkan bertindak secara benar (logis), baik (ethis), dan wajar (estetis)

sesuai norma-norma yang mengatur tindakan-tindakan sehubungan dengan jabatannya.Soerjono

Soekanto, secara gabungan mengatakan bahwa peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya,

dating dari fihak (atau fihak-fihak) lain, sedangkan peranan yang seharusnya dilakukan dan

peranan yang dianggap benar oleh diri sendiri berasal dari diri sendiri.17

Peranan yang dianggap oleh diri sendiri merupakan hal yang oleh individu harus

dilakukan pada situasi tertentu. Artinya, seorang individu menganggap bahwa, dalam situasi-

situasi tertentu (yang dirumuskan sendiri), dia harus melaksanakan peranan tertentu.18

Peranan yang dilaksanakan atau di kerjakan merupakan peranan yang sesungguhnya

dilaksanakan oleh individu di dalam kenyataannya, yang terwujud dalam perikelakuannya.19

Hal ini mengandung arti bahwa peranan yang sebenarnya dilakukan adalah tindakan nyata

dari pemegang peran. Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan “

role performance” atau “role playing”.20

Ini berarti, bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya,

seseorang bertindak atau berbuat secara kongkret sebagai jawaban atau tanggapan atas situasi

15

Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Rajawali, Jakarta, 1983, (selanjutnya disingkat Soekanto

Soerjono VI) hal 30-31. 16

Purbacaraka,Purnadi & Soekanto Soerjono, Masalah Penegakan Hukum Di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1983 :

40 17

Soekanto Soerjono, V, op.cit., hal 14

18Soekanto Soerjono & Otje Salman, Disiplin Hukum Dan Disiplin Sosial: Bahan Bacaan Awal, Rajawali, Jakarta,

Cetakan Kedua, 1988 : 97. 19

Ibid, hal 31. 20

Soekanto,Soerjono, loc.cit.

25

yang dihadapi. Jadi, peranan yang sesungguhnya adalah peranan yang di manifestasikan dalam

kenyataan, yang tidak jarang sikap tindak dalam kenyataan tersebut menyimpang dari sikap

tindakan yang ideal dan sikap tindakan yang di harapkan. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan

bahwa suatu kaedah hukum tertentu tidaklah efektif oleh karena tidak mencapai tujuannya dan

karena tidak di taati dalam kenyataannya.21

Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) merupakan sikap tindak yang

muncul sebagai akibat dari kreativitas dan penafsiran seseorang terhadap peranannya.22

Peranan

ini pun tidak jarang bertentangan atau menyimpang dari peranan yang ideal dan peranan

seharusnya. Itulah sebabnya, baik peranan yang sebenarnya dilakukan maupun peranan yang

dianggap oleh diri sendiri dikatakan sebagai bersumber atau di tentukan oleh orang itu sendiri.

2.2 Peranan Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Mengenai tugas dan fungsi dari Dinas Perhubungan Kota Salatiga telah diatur dalam

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian

Tugas Pejabat Struktural Pada Dinas Daerah :23

Pasal 166 ayat (1)

Bidang Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyususun rencana kegiatan, mengoordinaskan,

melaksanakan pembinaan dan pengembangan bidang lalu lintas dan angkutan jalan serta

melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas, pengendalian, penilaian, monitoring dan

evaluasi pelaksanaan tugas.

21

Soekanto Soerjono & Otje Salman, loc.cit. 22

Soekanto, Soerjono, VI, op.cit., hal 22. 23

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Pejabat

Struktural Pada Dinas Daerah

26

Pasal 166 ayat ( 2) sub. d

Pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban, patroli dan pengendalian

lalu lintas dan angkutan jalan.

Berkaitan dengan penelitian penulis, maka selaku pihak yang memiliki tugas dan fungsi

seperti yang tetulis diatas maka Dinas Perhubungan Kota Salatiga berkewajiban melakukan

penegakan hukum terhadap para sopir bus yang tidak memasuki terminal sesuai yang

diamanahkan dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) yang

berbunyi “Setiap otobis umum yang beroperasi dan/ atau melewati wilayah kotamadya Salatiga

diharuskan memasuki/ memulai/ mengakhiri perjalanannya diterminal bus dan diatur sesuai

dengan jadwal yang ditentukan”

B. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Dinas Perhubungan Kota Salatiga

1.1 Profil Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. 8 Tahun 1958, sejarah awal mula Dinas

Perhubungan Salatiga bernama Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Dimana

dinas ini merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Propinsi yang melaksanakan tugas dan

kewenangan DLLAJR Propinsi Jawa Tengah. DLLAJR ini masih bersifat vertikal, yaitu

pemerintahan masih berada pada pemerintah pusat, sehingga tanggung jawab juga diserahkan

kepada pusat dan begitu pula dengan pendapatan dari setiap daerah juga diserahkan pada

pemerintah pusat.

Di tahun 1999 dilakukan pembaruan dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 22

Tahun 1999, dimana nama DLLAJR berubah menjadi Dinas Transportasi dan Perpakiran.

27

Penjelasan dari UU No. 22 Tahun 1999 itu sendiri mencakup pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

UU No. 22 ini juga diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan

daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Infonesia. UU ini juga diperbarui dengan Perda No. 8 Tahun 1999, yang menetapkan

perubahan nama Dinas Transportasi dan Perpakiran menjadi Struktur Organisasi dan Tata Kerja.

Dalam Perda ini juga terdapat paham tentang pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 22

Tahun 1999.

Namun berdasarkan adanya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

serta Ketetapan dan Keputusan MPR maka UU No. 22 Tahun 1999 juga mengalami perunahan

karena UU ini dinilai kurang efektif dalam hal Pemerintahan Daerah yang tidak sesuai dengan

perkembangan keadaan, ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh

karena itu, UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 1999 yang meliputi

efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan

daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan

memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah yang disertai dengan pemberian

hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan penyelenggaraan

pemerintah Negara.

28

Perubahan undang-undang menjadi UU No. 32 Tahun 1999 menyebabkan adanya

pergantian Peraturan Daerah (Perda No. 8 Tahun 1999) dengan Perda No. 8 Tahun 2004, dimana

nama Dinas Transportasi dan Perpakiran berubah menjadi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

yang berlokasi di Jl. Magersari Tegalrejo Salatiga, Jawa Tengah.

1.2 Visi dan Misi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Visi

Visi dari Dinas Perhubungan Konunikasi Kebudayaan dan Pariwisata adalah

Terwujudnya Sisten Transportasi di Kota Salatiga yang menjamin Keamanan, Kenyamanan,

Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintasnya serta terjangkau oleh masyarakat.

Misi

a) Menciptakan sistem transportasi di Kota Salatiga yang menjamin keamanan, ketertiban,

kelancaran, kenyamanan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

b) Meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan Sumber Daya Aparatur Dinas

Perhubungan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata yang dilandasi dengan sikap

mental yang baik sebagai aparatur yang profesional dalam bidangnya.

c) Meningkatkan dan mendorong kesadaran masyarakat untuk disiplin, tertib dan taat dalam

berlalu lintas.

d) Menggali sumber-sumber pendapatan dalam bidang perhubungan guna

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

e) Memberikan Pendapatan Asli Daerah.

29

1.3 Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Susunan organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga Terdiri atas :

1. Kepala Dinas

2. Sekretariat, yang terdiri dari :

a. Subbagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan

b. Subbagian Keuangan; dan

c. Subbagian Umum dan Kepegawaian.

3. Bidang Lalu Lintas, terdiri dari :

a. Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan

b. Seksi Pengendalian dan Pengamanan

4. Bidang Angkutan, terdiri dari :

a. Seksi Angkutan Orang; dan

b. Seksi Angkutan Barang dan Khusus.

5. Bidang Kelaikan Kendaraan, terdiri dari :

a. Seksi Pengujian Kendaraan; dan

b. Seksi Pembengkelan Umum.

6. Bidang Telekomunikasi dan Informatika, terdiri dari :

a. Seksi Komunikasi; dan

b. Seksi Informatika.

7. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, terdiri dari :

a. Seksi Kebudayaan; dan

b. Seksi Pariwisataan.

30

8. Unit Pelaksana Teknis Dinas

9. Kelompok Jabatan Fungsional

31

Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Sumber : Dinas Perhubungan Kota Salatiga

KASUBAG

KEPALA

DINAS

SEKRETARIS JABATAN

FUNGIONAL

KASUBAG KASUBAG

Kepala

Bidang

Kepala

Bidang

Kepala

Bidang

Kepala

Bidang

Kepala

Bidang

UPTD

32

1.4 Tugas Pokok Dan Fungsi

Berkaitan dengan penelitian penulis, maka pihak yang memiliki kompetensi didalam

Dinas Perhubungan yang menyangkut penegakan hukum adalah Bidang Lalu Lintas yang dibagi

menjadi 2 seksi, yaitu seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan seksi Pengendalian dan

Pengamanan, serta bagian UPTD. Tugas Pokok dan Fungsi dari Bidang Lalu Lintas Dinas

Perhubungan adalah sebagai berikut :

Bidang Lalu Lintas

Bidang Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyusun rencana kegiatan,

mengoordinasikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan bidang lalu lintas dan angkutan

jalan serta melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas, pengendalian, penilaian, monitoring

dan evaluasi pelaksanaan tugas.

a. Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan

rencana dan melaksanakan kegiatan, pengadaan, penempatan dan pemeliharaan rambu-rambu

lalu lintas, marka jalan dan alat pemberian isyarat lalu lintas Jalan Kota, Jalan Nasional di

wilayah daerah serta menyajikan data sebagai bahan evaluasi.

b. Seksi Pengendalian dan Pengamanan

Seksi Pengendalian dan Pengamanan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan rencana

dan melaksanakan kegiatan perencanaan, pengaturan, pengawasan, pembinaan,

keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, serta menyajikan data sebagai bahan

evaluasi.

33

UPTD

Melaksanakan sebagian tugas Dinas dalam menyusun rencana, mengkoordinasikan,

melaksanakan, mengendalikan, mengawasi dan mengembangkan pengelolaan dan pengoperasian

unit terminal transportasi jalan.

2. Responden Penegak Hukum

Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara

eksplisit. Di dalam kaidah – kaidah atau peraturan - peraturan hukum terkandung tindakan yang

harus dilaksanakan. Dari sinilah faktor penegak hukum sangat berperan penting dalam hal

penegakan hukum, karena tanpa adanya penegak hukum, maka cita - cita hukum tidak akan

tercapai.

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai

kemampuan – kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat

berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu

membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Golongan panutan

juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma –

norma atau kaidah – kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.24

Dalam hal ini maka yang dimaksud dengan penegak hukum disini adalah mereka yang

langsung berkecimpung dalam hal penegakan hukum yaitu Dinas Perhubungan Kota Salatiga.

Adapun telah penulis uraikan di atas mengenai tugas dan fungsi masing – masing bidang di

dalam institusi Dinas Perhubungan, maka bidang yang langsung berkaitan dengan penegakan

adalah Bidang Lalu Lintas dan UPTD.

24

Soekanto, Soerjono & Mustafa Abdullah.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.CV

Rajawali.Jakarta.1983.hal 21.

34

Bidang Lalu Lintas

Dibidang Lalu Lintas ini terdapat 1 Kepala Bidang, 1 Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas, 1 Seksi Pengendalian dan Keamanan, dan staf yang terdiri dari 8 orang. Jadi total

keseluruhan personil yang terdapat dalam Bidang Lalu Lintas terdapat 11 personil. Dengan

Jumlah personil yang hanya terdiri dari 11 orang. Berikut data personil yang bertugas di Bidang

Lalu Lintas:25

1) M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT : Kepala Bidang Lalu Lintas

2) Ari Harsodi, BA : Kepala Seksi Pengendalian dan Keamanan

3) Dwi Nopi Awatiy, S.SiT, MT : Kepala Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas

4) Subkhan Ahmadi : Staf

5) Rahardian Pradipta, S.SiT : Staf

6) Yuli Arif Adrianto : Staf

7) Slamet Jarwanto : Staf

8) Hari Purwanto : Staf

9) Koko Edarmoko : Staf

10) Didik Sarwiadi : Staf

11) Priyo Utomo : Staf

Untuk fasilitas yang didapat oleh Bidang Lalu Lintas, 2 unit mobil,1 mobil jenis pick up dan 1

mobil jenis mini bus, 4 unit motor, dan 11 HT yang masing masing personil mendapatkan

fasilitas HT guna memperlancar dalam hal komunikasi.

25

Hasil wawancara penulis dengan Kepala Bidang Lalu Lintas, tanggal 11 September 2015

35

UPTD ( Unit Pelaksana Teknis Dinas )

Pada bidang UPTD ini terdiri dari 1 Kepala UPTD, dan 6 staf , dan 10 pegawai lapangan

jadi total secara keseluruhan terdapat 17 personil.

1) Slamet Muzamil : Kepala UPTD

2) Sularto : Staf

3) Gunarito : Staf

4) Chaeruddin : Staf

5) Zainudin : Staf

6) Sumarini : Staf

7) Riky : Staf

8) Tugiyanto : Pegawai Lapangan

9) Winarno : Pegawai Lapangan

10) Sularno : Pegawai Lapangan

11) Damsiri : Pegawai Lapangan

12) Sujiono : Pegawai Lapangan

13) Suparmo : Pegawai Lapangan

14) Janadi : Pegawai Lapangan

15) Harjianto : Pegawai Lapangan

16) Dwi Susatyo : Pegawai Lapangan

17) Djuardi : Pegawai Lapangan

Dengan memiliki jumlah personil yang berjumlah 17 orang, ini tentunya sudah cukup

untuk melaksanakan tugas dan fungsi dari UPTD, akan tetapi dengan minimnya fasilitas

36

kendaraan yang diterima oleh UPTD, ini tentunya sangat berpengaruh bagi pelaksanaan tugas

dan fungsi dari UPTD.

Dengan hanya memiliki 3 motor dengan rincian 1 motor untuk operasional staf, dan 2

motor untuk operasional pegawai lapangan ini tentunya menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi dari UPTD menjadi kurang maksimal. Adapun

dalam pelaksanaan tugas dalam keseharian, pegawai lapangan ini dibagi menjadi 2 bagian atau

sif. Sif pertama atau pagi dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB, dan sif kedua

dimulai dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB.26

2.1 Pelaksanaan Penegakan Hukum

Dalam rangka penegakan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1981,Dinas Perhubungan

telah melakukan upaya. Upaya – upaya tersebut berupa penegakan hukum preventif dan

penegakan hukum represif.

Penegakan Hukum Preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum

terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran,

yang dapat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan penegakan hukum preventif tersebut,

petugas Dinas Perhubungan selama tahun 2014 telah melakukan beberapa upaya yaitu :

1. Penyuluhan terhadap paguyuban – paguyuban bus yang beroperasi di Salatiga.

2. Kegiatan pemilihan pelopor keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan dan sosialisasi

kebijakan Lalu Lintas Angkutan Jalan guru dan pelajar.

3. Pendidikan keselamatan jalan bagi pelajar dan pramuka.

26

Hasil wawancara penulis dengan Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil , tanggal 11 September 2015

37

Upaya – upaya yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan tersebut diharapkan dapat

menumbuhkan kesadaran hukum dikalangan masyarakat, sehingga dapat meminimalisir

pelanggaran yang terjadi.

Penegakan Hukum Represif

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi dari Dinas Perhubungan dalam proses penegakan

hukum, yang disini berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh para supir bus dengan

tidak memasuki terminal sesuai aturan yang berlaku,maka aparat/petugas melaksanakan operasi.

Operasi/pemeriksaan ini dibedakan menjadi 2 kategori yaitu :

a. Pemeriksaan tanpa pendampingan pihak Kepolisian

Dalam melakukan operasi ini biasanya petugas melakukan operasi di dalam terminal atau

pada jembatan timbang.Meskipun tanpa pendampingan pihak Kepolisian dalam tahap

penyerahan berita acara, harus diserahkan kepada pihak Kepolisian, yang nantinya akan

teruskan ke pihak Pengadilan untuk kemudian di sidangkan.

b. Pemeriksaan dengan pendampingan pihak Kepolisian

Dalam melakukan operasi ini petugas bekerja sama dengan pihak Kepolisian untuk

melakukan operasi gabungan. Operasi ini dilakukan biasanya di lakukan di jalan atau dengan

kata lain di lakukan diluar area terminal dan jembatan timbang. Operasi ini juga tidak selalu

rutin dilakukan seperti yang terjadi pada tahun 2014, penulis mendapatkan data sebagai

berikut :

38

Tabel 2.1 Operasi Gabungan Selama Tahun 2014

No Bulan Jumlah Operasi

1 Januari -

2 Februari -

3 Maret -

4 April 2 kali operasi

5 Mei -

6 Juni -

7 Juli 2 kali operasi

8 Agustus -

9 September -

10 Oktober 2 kali operasi

11 November -

12 Desember -

Total 6 kali operasi

Sumber : Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan

Selama tahun 2014 petugas melakukan operasi selama 6 kali dalam setahun,yaitu pada

bulan April dilakukan sebanyak 2 kali pada tanggal 15 April dan 16 April, bulan Juli dilakukan

sebanyak 2 kali yaitu pada tanggal 3 Juli dan 17 Juli, bulan Oktober dilakukan sebanyak 2 kali

yaitu pada tanggal 21 Oktober dan 22 Oktober.

39

Mekanisme Operasi Gabungan

Sumber : Data Sekunder diolah dari Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan

Kendaraan Bermotor Dijalan DanPenindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Surat Perintah

Operasi

alasan dan pola pemeriksaan Kendaraan Bermotor

waktu pemeriksaan Kendaraan Bermotor

tempat pemeriksaan Kendaraan Bermotor

penanggung jawab dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor

daftar Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di

bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditugaskan

melakukan pemeriksaan Kendaraan

Bermotor.

Pelaksanaan Pemeriksaan

Kendaraan Bermotor di Jalan

Secara Berkala

Petugas Dinas Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Raya dengan di

dampingi Kepolisian

Tindak Pidana Ringan

Penindakan

Pelanggaran

Tindak Pidana

Pelanggaran Tertentu

Penerbitan

Surat Tilang

Pelaporan Hasil

Pemeriksaan

Penanggung jawab Pemeriksaan Kendaraan

Bermotor di Jalan secara berkala

wajib melaporkan hasil pemeriksaan kepada atasan

Petugas Pemeriksa dengan

ditembuskan kepada instansi terkait pemeriksaan.

40

2.2 Kendala-Kendala Aparat Dalam Melaksanakan Penegakan Hukum

Dalam proses penegakan hukum Dinas Perhubungan tentunya memiliki kendala-kendala

yang dihadapi. Kendala-kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan dalam melaksanakan proses

penegakan hukum yaitu :

a. Birokrasi Penegakan Hukum

Penulis disini juga akan membandingkan antara peraturan perundang - undangan yang lama

dan peraturan perundang – undangan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992

dan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009. Penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan

dalam hal penegakan hukum oleh petugas,khususnya disini Dinas Perhubungan. Dalam Undang

– Undang Nomor 14 Tahun 1992 secara umum masih memberikan “ruang gerak” yang luas

kepada Dinas Perhubungan sebagai Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) untuk melakukan

pemeriksaan kendaraan dijalan, ini terlihat pada Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 16 ayat (2)

Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan

pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.

Sedangkan Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 Dinas Perhubungan selaku Pegawai

Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) membatasi “ruang gerak” pemeriksaan kendaraan bermotor

hanya di tempat – tempat tertentu yaitu Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang

dipasang secara tetap, dan apabila pemeriksaan terjadi dijalan selain tempat – tempat yang sudah

ditentukan tersebut Dinas Perhubungan wajib berkoordinasi dengan pihak Kepolisian. Hal ini

dapat dilihat pada pasal 262 ayat ( 2 ) dan ( 3 ) yang menyebutkan bahwa :

41

Pasal 262 ayat (2)

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

Pasal 262 ayat (3)

Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik

Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Melihat perbandingan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 dengan Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 2009 diatas, penulis berpendapat bahwa ini merupakan suatu

hambatan tersendiri dari Dinas Perhubungan untuk melakukan penegakan hukum khususnya

dalam hal pemeriksaan dijalan. Ini juga diakui oleh Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon

Effendi, S.SiT,MT , beliau berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Dinas

Perhubungan semakin “dipersempit” dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22

tahun 2009 ini. Beliau juga menyatakan bahwa dengan diberlakukannya Undang – Undang ini,

petugas yang berada dilapangan tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya, hal ini

dikarenakan apabila terjadi pelanggaran dijalan, petugas tidak dapat secara langsung menindak,

akan tetapi harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak Kepolisian. Hal ini tentunya

menjadi suatu hambatan tersendiri bagi Dinas Perhubungan dalam hal melakukan penegakan

hukum karena harus melalui birokrasi yang bertele-tele.27

b. Fasilitas Dinas Perhubungan

Dengan fasilitas yang baik,maka petugas dapat menjalankan tugasnya dengan baik pula.

Oleh karena itu fasilitas juga berpengaruh dalam hal penegakan hukum. Seperti yang penulis

27

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , tanggal 18 Oktober

2015.

42

juga telah paparkan diatas, fasilitas yang dimiliki oleh masing – masing bidang terutama Bidang

Lalu Lintas dan UPTD adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Fasilitas Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan

No Jenis Barang Jumlah

1 Mobil 2 unit

2 Motor 4 unit

3 HT 11 unit

Sumber : Bidang Lalu Lintas

Tabel diatas merupakan fasilitas yang dimiliki oleh Bidang Lalu Lintas Dinas

Perhubungan. Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT mengaku untuk

fasilitas yang dimiliki oleh Bidang Lalu Lintas saat ini masih kekurangan untuk

kendaraan,terutama sepeda motor yang hanya berjumlah 4 unit. Dalam hal alat komunikasi,

beliau juga mengungkapkan bahwa server untuk berkomunikasi sekarang, Bidang Lalu Lintas

masih menyewa pada salah satu provider swasta, hal ini tentunya menurut beliau masih menjadi

suatu hambatan tersendiri. Ini di karenakan pihak Dinas Perhubungan tentunya masih harus

membayar uang sewa kepada provider tersebut, berbeda apabila Dinas Perhubungan memiliki

server sendiri, sehingga akan menghemat dalam hal anggaran.28

28

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT tanggal 8 Oktober

2015 pukul 10.00 WIB.

43

Tabel 2.3 Fasilitas UPTD Terminal

No Nama Barang Jumlah

1 Motor 3 unit

2 HT 12 unit

3 Lampu Senter 10 unit

4 Peluit 17 unit

Sumber : UPTD Terminal

Tabel diatas merupakan fasilitas yang dimiliki oleh UPTD, dari tabel diatas tentunya dapat

terlihat masih kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh UPTD terutama jumlah sepeda motor yang

dimiliki oleh UPTD. Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil juga menyatakan bahwa hambatan

yang dialami oleh UPTD saat ini adalah jumlah sepeda motor. Dengan hanya memiliki fasilitas

sepeda motor yang berjumlah 3 unit ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal penegakan

hukum oleh petugas dilapangan.29

c. Anggaran Operasi Gabungan Dinas Perhubungan

Faktor anggaran ini berpengaruh pada setiap agenda yang telah dijadwalkan oleh pihak

Dinas Perhubungan, khususnya dalam hal melakukan operasi. Semakin besarnya anggaran yang

dimiliki, maka akan semakin banyak/maksimal pula agenda operasi yang ditentukan. Menurut

hasil wawancara penulis dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT,

beliau mengungkapkan bahwa anggaran untuk operasi per tahun dinilai masih minim. Beliau

juga memaparkan bahwa setiap kali melakukan operasi , jumlah personil yang dikerahkan

berjumlah 20 personil dari pihak Dinas Perhubungan, dan 2 personil dari pihak Kepolisian.

Untuk tiap kali melakukan operasi tiap – tiap personil mendapatkan anggaran Rp. 50.000,00 (

Lima puluh ribu rupiah ). Jadi untuk anggaran setiap kali melakukan operasi paling tidak Dinas

29

Hasil Wawancara dengan Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil tanggal 22 September 2015 pukul 08.00 WIB.

44

Perhubungan mengeluarkan anggaran sebesar Rp. 1.100.000,00 ( Satu juta seratus ribu rupiah ).

Beliau juga mengakui bahwa anggaran untuk agenda operasi per tahun dari pemerintah masih

sangat kurang, jadi dengan kurang lebih mengeluarkan anggaran Rp. 1.100.000,00 per operasi,

maka Dinas Perhubungan belum bisa melaksanakan operasi secara maksimal dalam tiap

tahunnya.Hal ini dapat dilihat pada tahun 2014, petugas hanya melakukan operasi 6 kali dalam

satu tahun.30

d. Sumber Daya Manusia Dinas Perhubungan

Seperti yang telah penulis kemukakan diatas, berkaitan dengan jumlah personil yang

dimiliki oleh Dinas perhubungan adalah sebagai berikut, Di bidang Lalu Lintas terdapat 1 Kepala

Bidang, 1 Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, 1 Seksi Pengendalian dan Keamanan,

dan staf yang terdiri dari 8 orang. Jadi total keseluruhan personil yang terdapat dalam Bidang

Lalu Lintas terdapat 11 personil. Dengan Jumlah personil yang hanya terdiri dari 11. Sedangkan

personil yang dimiliki oleh UPTD ( Unit Pelaksana Teknis Dinas ) terdiri dari 1 Kepala UPTD,

dan 6 staf , dan 10 pegawai lapangan jadi total secara keseluruhan terdapat 17 personil.

Berbicara mengenai Sumber Daya Manusia, penulis juga akan melihat tentang tingkat

pendidikan personil. Tingkat pendidikan ini menurut penulis sangat berpengaruh dalam hal

penegakan hukum, karena bagaimana mungkin suatu penegakan hukum dapat terjadi apabila

pengetahuan akan hukum oleh para penegaknya masih rendah. Disisni penulis menemukan

bahwa pada Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan seluruh personil memiliki tingkat

pendidikan akademisi / perguruan tinggi , sedangkan pada UPTD hanya meliputi Kepala UPTD

dan Staf yang memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi, sedangkan untuk pegawai lapangan

hanya menempuh sampai SMA.

30

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT 8 Oktober 2015 pukul

10.00 WIB.

45

3. Responden Masyarakat ( Sopir Bus )

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di

dalam masyarakat. Oleh karena itu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

tersebut. Dalam hal ini masyarakat yang di maksud penulis adalah masyarakat pengemudi bus

trayek Salatiga – Kopeng – Magelang - PP dan trayek Salatiga – Ambarawa – PP yang menjadi

objek dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981 tentang Terminal dan

Retribusi Terminal.

Melihat fenomena yang terjadi, banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh sopir

bus, yaitu dengan tidak singgah/memasuki terminal sesuai dengan peraturan yang ada.

Gambar 2.1 : lokasi tempat bus-bus mangkal di jalan Hassanudin Salatiga.

Penulis juga mencoba untuk memberikan gambaran mengenai sopir bus/responden yang

memiliki trayek Salatiga – Kopeng – Magelang – PP dan trayek Salatiga – Ambarawa – PP.

Dalam pengambilan data, penulis menggunakan sampel yang merupakan sebagian dari populasi

yang akan penulis teliti. Sampel digunakan karena tidak memungkinkan untuk meneliti seluruh

populasi yang ada. Untuk mendapatkan presisi yang mendekati kebenaran, maka penulis

melakukan teknik purposive sampling yaitu dengan mengadakan penelitian berdasarkan

46

pertimbangan / penelitian subyektif dari penelitian, jadi dalam hal ini penulis menentukan sendiri

responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Dari jumlah keseluruhan populasi yang

berjumlah 41 responden, penulis membaginya kedalam jumlah 10 responden untuk sampel

pengemudi bus trayek Salatiga – Kopeng – Magelang dan 10 sampel untuk pengemudi bus

trayek Salatiga – Ambarawa . Jadi jumlah keseluruhan sampel adalah 20 sampel.

Tabel 2.4 Jumlah Responden

No Trayek Jumlah %

1 Salatiga - Kopeng – Magelang 10 50%

2 Salatiga – Ambarawa 10 50%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Penulis juga menanyakan tingkat pendidikan masing – masing responden.

Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Responden

No Tingkat Pendidikan Jumlah %

1 SD 9 45%

2 SMP 4 20%

3 SMA 7 35%

4 Perguruan Tinggi - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan terbesar responden adalah Sekolah

Dasar ( SD ) yang berjumlah 9 responden ( 45% ) yang di ikuti oleh tingkat pendidikan SMA

berjumlah 7 responden ( 35% ) dan SMP 4 responden ( 20% ).

47

Tabel 2.6 Usia Responden

No Usia (dalam tahun) Jumlah %

1 25 – 30 2 10%

2 30 – 35 6 30%

3 35 – 40 4 20%

4 40 – 45 7 35%

5 45 – 60 1 5%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Menurut hasil dari data diatas usia responden paling banyak berkisar antara 40 tahun – 45

tahun yang berjumlah 7 responden ( 35%) yang kemudian di ikuti pada usia 30 tahun – 35 tahun

yang berjumlah 6 responden ( 30% ) , usia 35 tahun – 40 tahun 4 responden ( 20% ) , usia 25

tahun – 30 tahun 2 responden ( 10 % ) , dan yang terakhir pada usia 45 tahun – 60 tahun terdapat

1 responden ( 5% )

Tabel 2.7 Status Perkawinan Responden

No Status Jumlah %

1 Kawin 16 80%

2 Tidak Kawin 4 20%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah berkeluarga / sudah

menikah, ini di tunjukkan bahwa responden yang telah kawin atau menikah berjumlah 16

responden ( 80% ) dan yang belum kawin atau menikah berjumlah 4 responden ( 20% ). Hal ini

48

menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan sehari – hari bisa

diasumsikan tinggi, karena 80% responden telah berkeluarga.

Tabel 2.8 Lama Responden Berprofesi

No Lama Berprofesi (dalam tahun) Jumlah %

1 1 – 5 4 20%

2 5 – 10 6 30%

3 10 Keatas 10 50%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar atau setengah dari jumlah responden

telah berprofesi sebagai pengemudi bus selama lebih dari 10 tahun yang berjumlah 10 responden

( 50% ) , yang kedua adalah antara 5 tahun – 10 tahun yang berjumlah 6 responden ( 30% ) , dan

yang terakhir antara 1 tahun – 5 tahun yang berjumlah 4 responden ( 20% ).

Tabel 2.9 Rata – Rata Pendapatan Responden Per Hari

No Pendapatan Jumlah %

1 < Rp.50.000 6 30%

2 Rp.50.000 < Rp.100.000 14 70 %

3 >Rp.100.000 - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas pendapatan responden terbesar terdapat pada nominal Rp.50.000,00 sampai

Rp.100.000,00 berjumlah 14 reponden ( 70% ) , dan yang memiliki pendapatan dibawah

Rp.50.000,00 terdapat 6 responden ( 30% ). Nominal tersebut merupakan pendapatan bersih

perhari pengemudi bus sesudah di potong untuk biaya setor untuk pemilik kendaraan yang

berkisar antara Rp.125.000,00 sampai Rp.150.000,00 dan untuk pengeluaran lainnya seperti

49

makan dan biaya bahan bakar minyak. Ketika penulis melakukan wawancara terhadap

responden, apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tiap hari,

responden mengaku pendapatan yang di peroleh tiap harinya belum mencukupi untuk kehidupan

sehari – hari. Responden juga mengakui bahwa dengan semakin banyaknya angkutan – angkutan

umum, mobil atau motor pribadi berdampak besar pada pendapatan tiap hari. Penulis juga

menanyakan mengapa responden masih mau berprofesi sebagai pengemudi bus. Responden

mengakui bahwa sekarang lapangan pekerjaan semakin sulit dicari, responden juga

menambahkan bahwa apabila ada pekerjaan yang lebih baik ( pendapatan lebih ) maka

responden akan beralih profesi, karena responden juga mengakui bahwa berprofesi sebagai

pengemudi bus merupakan pekerjaan yang berat dengan pendapatan yang minim.31

Tabel 2.10 Pengetahuan Responden Wajib Memasuki Terminal

No Pengetahuan Jumlah %

1 Mengetahui 20 100%

2 Tidak Mengetahui - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa keseluruhan responden ( 100% ) mengetahui

kewajiban untuk memasuki / memulai / mengakhiri perjalanan di terminal bus dalam hal ini

terminal Tingkir Salatiga sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981

Pasal 3 ayat (1).

31

Hasil wawancara penulis dengan pengemudi bus jurusan Salatiga – Kopeng – Magelang Bapak Kamto, Kamis 8

Oktober 2015 pukul 10.00 WIB.

50

Tabel 2.11 Alasan Responden Tidak Memasuki Terminal Tingkir

No Alasan Jumlah %

1 Sepi Penumpang 7 35%

2 Pemborosan BBM ( Solar ) 12 60%

3 Permintaan Penumpang 1 5%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa faktor pemborosan bahan bakar minyak menjadi

alasan terbanyak dengan jumlah 12 responden ( 60 % ) , faktor sepi penumpang 7 responden ( 35

% ) dan faktor permintaan penumpang 1 responden ( 5 % ). Penulis berpendapat bahwa ketiga

faktor diatas saling berkaitan erat mengapa para sopir bus/responden tidak memasuki terminal.

Hal ini juga dikuatkan dengan hasil wawancara penulis dengan sopir bus/responden dengan

mengakui bahwa untuk sampai ke terminal Tingkir jaraknya sangat jauh, apalagi dengan jarak

yang jauh tersebut mengakui sulit mendapatkan penumpang sepanjang perjalanan menuju

terminal, tentunya hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi sopir bus karena dengan

penumpang yang sedikit atau bahkan dengan kecenderungan yang tidak ada , maka hal ini hanya

akan menjadi pemborosan bahan bakar. Mengenai faktor penumpang, sopir bus juga mengatakan

bahwa penumpang cenderung memiliki tujuan ke pusat keramaian atau pasar daripada ke

terminal. Hal ini terlihat pada pangkalan – pangkalan bus yang terjadi di Pasar Sapi ataupun

Pasar Jetis.32

32

Ibid.

51

Tabel 2.12 Operasi Oleh Petugas Kepada Responden

No Keterangan Jumlah %

1 Pernah 20 100%

2 Tidak Pernah - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Melihat data diatas bahwa semua atau 20 responden ( 100% ) mengakui bahwa pernah

dilakukan operasi oleh petugas. Hal ini menunjukkan bahwa petugas telah berupaya untuk

menertibkan pengemudi bus yang tidak memasuki/singgah di Terminal.

Tabel 2.13 Tingkat Frekuensi Operasi Yang Dilakukan Oleh Petugas

No Tingkat

Frekuensi

Jumlah %

1 Sering - -

2 Jarang 7 35%

3 Sangat Jarang 13 65%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan petugas masih sangat

minim, yaitu dengan responden yang mengakui bahwa operasi yang dilakukan petugas sangat

jarang yaitu 13 responden ( 65% ) dan responden yang mengakui bahwa operasi yang dilakukan

petugas jarang 7 responden ( 35% ).

Tabel 2.14 Pengenaan Sanksi Terhadap Responden

No Keterangan Jumlah %

1 Pernah - -

2 Tidak Pernah 20 100%

Total 20 100%

Sumber : data primer

52

Data diatas menunjukkan bahwa 20 responden ( 100% ) menyatakan tidak pernah dikenai

sanksi sesuai Pasal 12 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981. Responden

menyatakan bahwa tindakan petugas hanyalah sebatas himbauan kepada para responden/sopir

bus.

C. Analisis

1. Analisis Pelaksanaan Penegakan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun

1981 di Kota Salatiga.

Ditengah perkembangan jaman seperti sekarang ini, sarana transportasi menjadi

kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat. Begitu juga yang terjadi di Salatiga, masyarakat

di Salatiga menyadari arti penting akan sarana transportasi guna pemenuhan kebutuhan sehari –

hari. Mengingat kebutuhan masyarakat yang besar akan transportasi tersebut, maka semakin

banyaklah sarana transportasi, salah satunya adalah bus. Dengan semakin banyaknya bus di

Salatiga, maka dibutuhkan pengaturan agar bus dapat menjadi sarana transportasi yang aman,

nyaman, dan tertib. Pemerintah Kota Salatiga sendiri telah mengeluarkan aturan yang dituangkan

dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 tentang Terminal dan Retribusi

Terminal. Khususnya dalam Pasal 3 ayat ( 1 ) menyebutkan bahwa “Setiap otobis umum yang

beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan

memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya di Terminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal

yang ditentukan”. Apabila melihat sekarang ini, telah banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan

para sopir bus terutama yang dilakukan para sopir bus yang memiliki trayek Salatiga – Kopeng –

Magelang – PP dan trayek Salatiga – Ambarawa – PP dengan tidak mengakhiri perjalanannya

dengan memasuki terminal, sesuai aturan yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga

53

Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) diatas. Padahal untuk rute trayek sendiri telah ditetapkan

dalam Keputusan Walikota Salatiga Nomor 551.2/2/114/2002 Tentang Penutupan Terminal

Pembantu Rejosari dan Perubahan Rute Angkutan Bus dan Non Bus.

Dinas Perhubungan khususnya Bidang Lalu Lintas sebagai pihak yang memiliki tugas

dan fungsi dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban, patroli

dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan yang terdapat dalam Peraturan

Walikota Nomor 54 Tahun 2011 Pasal 166 ayat (2) sub.d. berkewajiban untuk melakukan

penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan para sopir tersebut.

Dalam rangka penegakan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1981, Dinas Perhubungan

telah melakukan upaya. Upaya – upaya tersebut berupa penegakan hukum preventif dan

penegakan hukum represif.

Penegakan Hukum Preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum

terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran,

yang dapat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan penegakan hukum preventif tersebut,

petugas Dinas Perhubungan selama tahun 2014 telah melakukan beberapa upaya yaitu :

a) Penyuluhan terhadap paguyuban – paguyuban bus yang beroperasi di Salatiga.

b) Kegiatan pemilihan pelopor keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan dan sosialisasi

kebijakan Lalu Lintas Angkutan Jalan guru dan pelajar.

c) Pendidikan keselamatan jalan bagi pelajar dan pramuka.

Upaya – upaya yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan tersebut diharapkan dapat

menumbuhkan kesadaran hukum dikalangan masyarakat, sehingga dapat meminimalisir

pelanggaran yang akan terjadi. Dengan adanya penyuluhan kepada paguyuban – paguyuban bus

54

tersebut, maka para sopir bus dapat langsung menyampaikan alasan-alasan kenapa para sopir

tersebut tidak masuk ke terminal kepada Dinas Perhubungan.

Penegakan Hukum Represif

Penegakan hukum represif yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan

kegiatan menindak pelaku pelanggaran. Hal ini dapat terlihat pada serangkaian operasi yang

yang dilakukan oleh petugas sesuai dengan tabel 2.1 tentang operasi gabungan yang dilakukan

selama tahun 2014. Dari data tersebut penulis melihat masih banyaknya kekurangan, diantaranya

agenda operasi yang dilakukan dalam periode tahun 2014 yang hanya dilakukan sebanyak 6 kali

operasi.

Dari serangkaian operasi gabungan yang dilakukan petugas, penulis melihat bahwa

petugas tidak memiliki ketegasan menerapkan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah

Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12 yang menyatakan bahwa “Pelanggaran terhadap

ketentuan Pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, dan 11 Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan

selama-lamanya 3 ( tiga ) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 25.000,- ( Dua puluh lima ribu

rupiah ).” Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.12 tentang operasi oleh petugas kepada responden

dari data tersebut diketahui bahwa keseluruhan responden/sopir bus pernah terkena operasi, akan

tetapi para sopir tersebut tidak dikenakan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah tersebut.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.14 tentang pengenaan sanksi kepada responden, keseluruhan

responden tidak pernah dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga

Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12.

Berkaitan dengan tindakan pengenaan sanksi, penulis melakukan wawancara dengan

Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , beliau menyampaikan bahwa petugas merasa kasihan

apabila harus mengenakan sanksi yang terdapat dalam Pasal 12 Peraturan Daerah Kota Salatiga

55

Nomor 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal, karena para petugas

mengetahui berapa pendapatan para sopir ini. Untuk mencukupi kebutuhan harian saja susah,

apalagi dikenai sanksi.33

Hal ini dapat dilihat dari tabel 2.9 rata – rata pendapatan responden per

hari sebagian besar responden berpendapatan antara Rp.50.000,00 sampai Rp.100.000,00

2. Analisis Mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Peraturan Daerah

Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Di Kota Salatiga.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan para sopir bus dengan tidak memulai/mengakhiri

perjalanannya di terminal sesuai dengan amanat Peraturan Daerah Kota Salatiga No 16 Tahun

1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Setiap otobis

umum yang beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan

memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya di Terminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal

yang ditentukan”, maka Dinas Perhubungan selaku pihak yang memiliki peran atau tugas dan

fungsi seperti yang tercantum dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2011 Pasal 166 ayat

(2) sub.d. yaitu melakukan pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban,

patroli dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan diwajibkan melakukan penegakan hukum

terhadap pelanggaran yang dilakukan para sopir tersebut. Akan tetapi apabila melihat kenyataan

yang ada, dalam proses penegakan hukum yang dilakukan pihak Dinas Perhubungan tersebut

memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi dalam prosesnya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

33

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , tanggal 18 Oktober

2015.

56

a) Proses Penegakan Hukum Yang Bertele-tele

Konsekuensi dengan diterapkannya suatu peraturan didalam masyarakat adalah bahwa

masyarakat tersebut mau atau tidak mau harus mematuhi peraturan tersebut, sebab peraturan

tersebut adalah bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Penulis disini akan

membandingkan antara peraturan perundang - undangan yang lama dan peraturan perundang –

undangan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 dan Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 2009. Penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan dalam hal penegakan

hukum oleh petugas,khususnya disini Dinas Perhubungan. Dalam Undang – Undang Nomor 14

Tahun 1992 secara umum masih memberikan “ruang gerak” yang luas kepada Dinas

Perhubungan sebagai Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) untuk melakukan pemeriksaan

kendaraan dijalan, ini terlihat pada Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 16 ayat (2)

Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan

pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.

Sedangkan Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 Dinas Perhubungan selaku Pegawai

Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) membatasi “ruang gerak” pemeriksaan kendaraan bermotor

hanya di tempat – tempat tertentu yaitu Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang

dipasang secara tetap, dan apabila pemeriksaan terjadi dijalan selain tempat – tempat yang sudah

ditentukan tersebut Dinas Perhubungan wajib berkoordinasi dengan pihak Kepolisian. Hal ini

dapat dilihat pada pasal 262 ayat ( 2 ) dan ( 3 ) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 262 ayat (2)

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

57

Pasal 262 ayat (3)

Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik

Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Setelah melihat perbandingan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu

Lintas dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas diatas, penulis

berpendapat bahwa ini merupakan suatu hambatan tersendiri dari Dinas Perhubungan untuk

melakukan penegakan hukum khususnya dalam hal pemeriksaan dijalan. Ini juga diakui oleh

Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , beliau berpendapat bahwa

kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan semakin “dipersempit” dengan

diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 ini. Beliau juga menyatakan bahwa

dengan diberlakukannya Undang – Undang ini, petugas yang berada dilapangan tidak bisa

maksimal dalam menjalankan tugasnya, hal ini dikarenakan apabila terjadi pelanggaran dijalan,

petugas tidak dapat secara langsung menindak, akan tetapi harus berkoordinasi terlebih dahulu

dengan pihak Kepolisian. Hal ini tentunya menjadi suatu hambatan tersendiri bagi Dinas

Perhubungan dalam hal melakukan penegakan hukum karena harus melalui birokrasi yang

bertele-tele.34

Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan

peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Dengan kata lain, bahwa keberhasilan atau

kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak

peraturan yang harus dijalankan tersebut dibuat. Apabila melihat kenyataannya diatas, maka

penulis berpendapat bahwa dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009

34

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , tanggal 18 Oktober

2015.

58

tersebut yang “mempersempit” kewenangan dari Dinas Perhubungan menjadi hambatan tesendiri

bagi petugas Dinas Perhubungan dalam penegakan hukum.

b) Ketidaktegasan Petugas

Ketidaktegasan petugas dalam hal ini adalah penerapan sanksi yang terdapat dalam

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12 yang menyebutkan bahwa

“Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, dan 11 Peraturan Daerah ini diancam

dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 ( tiga ) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.

25.000,- ( Dua puluh lima ribu rupiah ).” Hal ini dapat dilihat selama melakukan operasi petugas

tidak pernah melakukan penerapan sanksi seperti yang terdapat dalam tabel 2.14 tentang

pengenaan sanksi oleh responden. Dalam tabel tersebut keseluruhan responden/sopir bus ini

tidak pernah dikenai sanksi seperti yang terdapat dalam pasal 12 Peraturan Daerah Kota Salatiga

Nomor 16 Tahun 1981, mereka hanya mendapat himbauan saja untuk memasuki terminal.

Penulis menilai bahwa sebenarnya tindakan penerapan sanksi kepada para sopir bus yang tidak

memasuki terminal dapat menjadikan efek jera kepada para pelanggar.

Tindakan petugas yang tidak menerapkan sanksi inilah yang menurut penulis juga

menjadi suatu faktor yang mempengaruhi/menghambat proses penegakan hukum, karena

penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi kenyataan. Dalam hal ini keinginan hukum yang dimaksud adalah Peraturan Daerah

Kota Salatiga No 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Setiap otobis umum yang

beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan

memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya diterminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal

yang ditentukan”. Maka dapat disimpulkan bahwa ketidaktegasan petugas dengan tidak

menerapkan sanksi merupakan salah satu faktor penghambat proses penegakan hukum.

59

c) Sarana dan Prasarana Yang Kurang Memadahi

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan

berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia

yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadahi, keuangan

yang cukup, dan seterusnya. Penulis melihat masih adanya faktor sarana dan prasarana ini yang

masih belum memadahi, diantaranya adalah sebagai berikut :

Fasilitas jumlah unit motor

Dengan jumlah motor yang dimiliki oleh petugas Dinas Perhubungan khususnya UPTD

selaku pelaksana unit yang berada dilapangan, terlihat masih kurangnya fasilitas yang dimiliki

oleh UPTD terutama jumlah sepeda motor yang dimiliki oleh UPTD. Kepala UPTD Bapak

Slamet Muzamil juga menyatakan bahwa hambatan yang dialami oleh UPTD saat ini adalah

jumlah sepeda motor. Dengan hanya memiliki fasilitas sepeda motor yang berjumlah 3 unit ini

tentunya sangat berpengaruh dalam hal penegakan hukum oleh petugas dilapangan.35

Penulis

melihat dengan rincian 1 unit sepeda motor untuk bagian staf dan 2 unit sepeda motor untuk

pegawai lapangan tentunya ini menjadi kendala tersendiri bagi pegawai lapangan yang berjumlah

10 personil. Bapak Slamet Muzamil juga menambahkan, bahwa bawahannya sering kewalahan

dalam menangani pelanggaran yang terjadi dilapangan akibat kurangnya fasilitas motor.

Anggaran Operasi Gabungan

Mengenai faktor anggaran, penulis melihat bahwa minimnya anggaran yang diterima

Dinas Perhubungan menjadi faktor sedikit banyaknya agenda operasi yang selama ini telah

terjadi, apabila kita melihat dalam tabel 2.1 tentang Operasi gabungan yang terjadi selama 2014

hanya terlaksana 6 kali operasi saja. Seperti telah dijelaskan penulis, jika dalam 1 kali operasi

gabungan, Dinas Perhubungan menganggarkan kurang lebih Rp 1.100.000,- ( Satu juta seratus

35

Hasil Wawancara dengan Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil tanggal 22 September 2015 pukul 08.00 WIB.

60

ribu rupiah ) nominal tersebut didapati penulis,dengan mengakumulasi seluruh petugas yang

melakukan operasi yang berjumlah 20 personil dari pihak Dinas Perhubungan dan 2 personil dari

pihak Kepolisian dengan masing-masing personil mendapatkan anggaran Rp. 50.000,- per orang.

Dengan jumlah anggaran kurang lebih Rp. 1.100.000,- tiap kali melakukan operasi, maka Dinas

Perhubungan belum bisa melakukan operasi secara rutin dan berkala, akibat minimnya anggaran

operasi yang didapatkan Dinas Perhubungan selama setahun. Untuk besaran nominal ideal untuk

penyelenggaraan operasi gabungan dalam satu tahun, penulis tidak mendapatkan besaran

nominal yang spesifik, akan tetapi menurut salah satu petugas Bidang Lalu Lintas menyatakan

untuk anggaran operasi sekarang ini dinilai masih kurang jika harus mengadakan operasi rutin

untuk tiap bulannya. Sehingga menurut penulis, anggaran ini berpengaruh besar terhadap

pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan petugas.

Tingkat Pendidikan Penegak Hukum

Agar suatu peraturan dipatuhi oleh masyarakat atau berfungsi dengan baik, ini

dipengaruhi juga oleh para penegak hukum. Penegak hukum haruslah baik, dalam arti

mempunyai kecakapan dan kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya. Berbicara

mengenai kecakapan dan kemampuan aparat penegak hukum ini tentunya tidak dapat dilepaskan

dari tingkat pendidikan para aparat penegak hukum itu sendiri. Apabila melihat kenyataan yang

ada, penulis menemukan bahwa masih banyak aparat penegak hukum/ petugas yang memiliki

jenjang pendidikan hanya sampai tingkat SMA saja. Kebanyakan dari petugas yang hanya

memiliki jenjang pendidikan sampai tingkat SMA ini adalah petugas lapangan, sehingga menurut

pendapat penulis ini akan sangat mempengaruhi dalam hal penegakan hukum karena petugas

lapangan ini secara pengetahuan akan hukum masih minim sehingga dalam menjalankan

tugasnya sebagai penegak hukum, yaitu seorang yang merepresentasikan hukum tidak akan dapat

61

maksimal karena pengetahuan akan hukum yang minim tersebut. Tentunya ini juga yang menjadi

salah satu faktor yang menghambat dalam proses penegakan hukum, karena dalam

kesehariannya petugas lapangan inilah yang secara langsung berhadapan oleh para supir bus

yang melanggar aturan yang mengharuskan setiap bus yang beroperasi diwilayah Salatiga harus

memasuki terminal.

d) Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat

Tingkat pendidikan pengemudi bus yang sebagian besar hanya tamat SD (Sekolah Dasar)

sebanyak 9 orang atau 45% sesuai tabel 2.5 tentang Tingkat Pendidikan Responden ternyata

tidak berpengaruh besar terhadap pengetahuan akan hukum. Ini dibuktikan dengan seluruh

responden/supir bus mengetahui bahwa tindakannya dengan tidak memasuki/singgah di terminal

merupakan tindakan yang melanggar hukum sesuai dengan tabel 2.10 tentang pengetahuan

responden wajib memasuki terminal sesuai Pasal 3 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Salatiga

Nomor 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal. Akan tetapi pengetahuan

hukum para supir bus ini tidak serta merta menunjukkan kesadaran akan hukum oleh para supir

bus. Adapun indikator - indikator untuk mengukur tingkat kesadaran hukum adalah sebagai

berikut :36

1. Pengetahuan hukum, artinya seorang mengetahui bahwa perilaku – perilaku tertentu

diatur oleh hukum. Hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum yang

tidak tertulis, pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum

ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2. Pemahan hukum, artinya seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan

pemahaman mengenai aturan – aturan tertentu, terutama dari segi isinya.

3. Sikap hukum, artinya seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian

tertentu terhadap hukum.

4. Perilaku hukum, artinya dimana seseorang berperilaku sesuai dengan hukum yang

berlaku.

36

Soekanto Soerjono & Mustafa Abdullah, op.cit., hal 14-15.

62

Apabila melihat indikator – indikator tentang tingkat kesadaran hukum diatas, maka

penulis berpendapat bahwa para supir bus masih dalam tahap pengetahuan hukum, dimana para

supir tersebut hanya sebatas mengetahui bahwa aturan dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga

Nomor 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal mewajibkan setiap otobis yang

beroperasi di wilayah Salatiga untuk singgah/ memasuki/ memulai/ mengakhiri perjalanannya di

terminal, akan tetapi melihat kenyataan yang terjadi para supir tidak melaksanakan aturan yang

berlaku tersebut. Sehingga ini menjadi faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum.