Upload
hoangkiet
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab II dijelaskan tentang Kajian Pustaka yang
berisi sub bahasan Erupsi Merapi, Strategi Manajemen
Sekolah, Bencana, Kerangka Pikir dan Produk yang
akan di hasilkan.
2.1. Erupsi Merapi
2.1.1. Risiko Tinggi Erupsi Merapi
Erupsi atau bahasa lokal masyarakat
menyebutnya meletus (Sukandarrumidi, 2010) adalah
merupakan proses aktivitas vulkanik (Nurjanah, et.al,
2012) gunung api aktif yang ditandai dengan
perubahan fisik, geologi dan kimia yang menyertai
naiknya magma ke permukaan bumi (Affeltranger, et al.
2006). Gunung Merapi (2.968 mdpl) merupakan salah
satu gunung api teraktif di dunia. Tingkat risiko
bencana tinggi karena Merapi dikelilingi oleh
pemukiman padat penduduk yang tersebar di
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta serta Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali dan Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah.
Saat ini beberapa pemukiman penduduk ada yang
berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi.
Secara keseluruhan, setidaknya ada setengah
juta jiwa penduduk yang tinggal di kawasan dengan
paparan risiko tinggi bencana erupsi Merapi yang rata-
rata terjadi 2- 5 tahun sekali. Situasi tersebut,
membawa Merapi sebagai salah satu proyek penting
dunia dengan sebutan Decade Volcanoes/Gunung Api
18
Dekade selain lima belas gunung api dunia lainnya
(United State Geological Survey, 1998).
2.1.2. Sejarah Erupsi Merapi
Sejarah erupsi besar Merapi adalah tahun 1006,
1786, 1822, 1872,1930, 1994, 2006 dan 2010 (Badan
Geologi, 2009). Masing-masing letusan Merapi
menyimpan cerita luar biasa. Beberapa letusan besar
telah mengubah secara langsung kehidupan sosial,
politik, budaya dan ekonomi masyarakat Jawa yang
tinggal di sekitar kawasan ini. Oleh karena itu, letusan
Merapi dalam mitologi Jawa dikaitkan dengan berbagai
tanda perubahan jaman, situasi politik atau pertanda
munculnya bencana lain yang lebih besar. Letusan
Merapi memicu perubahan peradaban karena letak
Merapi tepat di jantung peradaban pulau Jawa yang
padat penduduk. Rangkuman pendek tentang situasi
letusan Merapi adalah sebagaimana dicatat oleh
Profesor dari Utrecht University Belanda Reinout Willem
van Bemmelen yang menduga letusan besar Merapi
tahun 1006 mengakibatkan Kerajaan Medang atau
Mataram Kuno harus pindah ke Jawa Timur
(Bemmelen, 1949). Letusan 15-20 April 1872 dianggap
sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern.
Menurut catatan Kemmerling (1921) dan
Hartmann (1934) yang menjadi rujukan penelitian B
Voight dkk (2000) dalam Historical Eruptions of Merapi
Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998 yang
dikutip oleh Kompas.com (2012).
Letusan mendadak dengan lava kental, tekanan gassedang dan dapur magma yang dangkal digambarkanmirip dengan letusan Gunung St Vincent di
19
Kepulauan Antilles Kecil, Karibia. Meski letusanhanya berlangsung lima hari, suara letusan terdengarsampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awan panasmengalir melalui hampir semua hulu sungai yang adadi puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo,Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol.
Meski tidak tercatat jumlah pasti korban jiwa
akibat letusan tersebut, tetapi dampak dari awan panas
dan material letusan menghancurkan desa-desa di atas
elevasi 1000 mdpl. Letusan besar lainnya tercatat
tahun 1930, menghancurkan 13 desa, merusak 23
desa lainnya dan menewaskan setidaknya 1.369 jiwa
penduduk di kawasan ini (Badan Geologi, 2009). Secara
khusus, dalam catatan hasil wawancara dengan
sesepuh Desa Keningar, letusan Merapi tahun 1930
mengakibatkan hilangnya tiga dusun, yaitu Dusun
Sisir I, Sisir II dan Dusun Terus, keseluruhan warga
tiga dusun tersebut dipindah ke Desa Sumber
Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Sementara
akibat letusan Merapi tahun 1960-an, sebagian
penduduk Keningar diberangkatkan transmigrasi ke
Sumatra Selatan (wawancara dengan Tarmuji, Kepala
Desa Keningar). Letusan November 1994
mengakibatkan 60 orang meninggal dan puluhan ribu
mengungsi. Sementara letusan Merapi tahun 2006
mengakibatkan dua sukarelawan meninggal dunia
karena awan panas.
Letusan besar terakhir terjadi selama bulan
Oktober dan November 2010 (Scottiati, 2010). Menurut
para geolog, tercatat sebagai letusan terbesar sejak
1872. Meski telah merujuk pada sistem peringatan dini
yang baik, setidaknya 273 jiwa meninggal (Pratama,
20
2010) dan puluhan ribu penduduk harus mengungsi di
atas radius 20 kilometer dari puncak Merapi sampai
setidaknya 48 hari (wawancara dengan Giya dan
Tarmuji Kepala Desa Keningar). Tanda-tanda letusan
Merapi tahun 2010, telah muncul sejak 21 Oktober
2010, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menetapkan status
“Siaga Merapi”. Pukul 06.00 WIB di tanggal 25 Oktober
2013 status dinaikan menjadi "Awas Merapi" dan
Merapi meletus sehari kemudian di tanggal 26 Oktober
2013 (BPPTK, 2010). Itu artinya semua penghuni di
radius 10 km dari puncak Merapi harus dievakuasi.
Letusan tahun 2010 memuntahkan material hujan
kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian
utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda
hingga mencapai Purwokerto dan Cilacap atau lima
puluh kilometer dari pusat letusan. Beberapa hari
kemudian debu vulkanik juga mencapai Tasikmalaya,
Bandung dan Bogor Jawa Barat (Ismail, 2010).
Selain ancaman erupsi, pada saat hujan deras di
puncak Merapi, terjadi ancaman bahaya banjir (lahar
dingin) di DAS (Daerah Aliran Sungai) Apu, Trising,
Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol di
daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang,
Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Pada
musim penghujan ancaman risiko bencana banjir lahar
dingin di kawasan Merapi meningkat. Terutama setelah
sungai-sungai utama di lereng Merapi penuh dengan
material muntahan erupsi, maka air lahar dingin
meluap ke area persawahan, jalan dan perkampungan
warga. Belum ada data pasti dampak dari ancaman
21
lahar dingin ini, tetapi merunut luas area paparan
banjir, kerugian yang ditimbulkan pasti cukup tinggi.
2.1.3. Membangun Mekanisme Adaptasi MelaluiAnalisis Risiko Bencana
Sejarah letusan Merapi dari tahun ke tahun
mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan tidak
terhitung kerugian material lainnya. Situasi bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat
dikawasan Merapi secara umum dari gambaran korban
dan intensitas paparan risiko bencana, dapat
dikategorikan cukup tinggi. Sementara kapasitas
(capacity) masyarakat tentang bahaya dan paparan
risiko, termasuk ketersediaan alat-alat (tools) mitigasi
dan kesiapsiagaan bencana erupsi Merapi sebagai
kunci mengurangi tingkat risiko bencana bagi korban
perlu selalu diekplorasi dan dikembangkan.
Merapi memiliki karakter letusan yang dapat
prediksi gejala-gejala dan scup paparan area
bahayanya. Karakter ini membedakan penanganan
korban erupsi Merapi dengan ancaman bencana alam
seperti gempa bumi, typhoon, kekeringan dan tsunami
maupun ancaman bencana karena faktor kombinasi
alam dan manusia seperti kebakaran, land slide
maupun konflik sosial (Heijmans, 2012). Kejelasan scup
paparan ini menjadi peluang membangun kinerja
system peringatan dini (early warning system/EWS)
bekerja maksimal. Upaya mengembangkan kinerja EWS
dapat di mulai dari pembelajaran dari berbagai
perspektif pengalaman penanganan bencana. Didalam
kontek penelitian ini merumuskan peta bentuk-bentuk
risiko bencana erupsi Merapi dalam perspektif institusi
22
sekolah menjadi kebutuhan mendasar. Peta risiko
bencana akan menuntun pada kebutuhan manajemen
yang diperlukan seluruh civitas akademik dilingkungan
pendidikan di wilayah rentan didalam merespon
bencana Merapi.
2.2. Strategi Manajemen Sekolah2.2.1. Mengembalikan Makna Strategi Manajemen
Sekolah
Menurut pengertiannya, strategi adalah suatu
tindakan penyesuaian untuk mengadakan reaksi
terhadap situasi lingkungan tertentu (baru dan khas)
yang dapat dianggap penting, di mana tindakan
penyesuaian tersebut dilakukan secara sadar
berdasarkan pertimbangan wajar (Triyana, 1987).
Sementara menurut Jauch dan Glueck (1989)
menyatakan bahwa strategi merupakan perencanaan
mengikat, komprehensif dan terpadu yang
menghubungkan keuntungan strategis organisasi
terhadap tantangan lingkungan. Strategi di desain
untuk memastikan bahwa tujuan organisasi dapat
dicapai melalui tindakan yang tepat. Dalam kontek
pendidikan Stanley J Spanbauer dalam Sallis (2009),
para pendidik harus belajar dalam menggunakan dan
menafsirkan strategi dasar yang sering digunakan
untuk peningkatan mutu.
Pengertian manajemen menurut Haiman adalah
fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang
lain (Manulang, 2005). Sementara menurut Goerge R.
Terry dalam Manulang, manajemen adalah pencapaian
tujuan yang ditetapkan lebih dahulu dengan
23
menggunakan kegiatan orang lain (2005). Menurut
tokoh-tokoh besar manajemen, seperti Chester I.
Bernard, Henry Fayol dan Alvin Brown, manajemen
merupakan seni dan ilmu (Manulang, 2005). Dalam
perspektif pendidikan, penulis sependapat dengan
Gaffar dalam Mulyasa (2012), manajemen pendidikan
mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang
sistematik, sistemik, dan komprehesif dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Atau segala
sesuatu berkenaan dengan proses pengelolaan
pendidikan untuk mencapai tujuan (2012: 20).
Sementara jika ditinjau dari fungsi manajemen,
menurut Louis A. Allen sebagaimana dikutip oleh
Suryasubrata (2004), manajemen berfungsi untuk:
leading, planning, organizing, controling. Sementara
menurut Prajudi Atmodirdjo, manajemen berfungsi:
Planning, organizing, directing atau actuating,
controlling.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
strategi manajemen sekolah adalah suatu tindakan
kegiatan mengikat, komprehensif dan terpadu
organisasi sekolah terhadap tantangan lingkungan
sekolah yang prosesnya merupakan gabungan antara
ilmu dan seni untuk mencapai tujuan tertentu bersama
orang lain melalui kegiatan perencanaan (planning),
pelaksanaan (implementing, directing & actuating),
pengawasan (controlling), dan pembinaan (leading).
2.2.2. Praktek Manajemen Sekolah di Indonesia
Pada kontek Indonesia, problem utama yang
dihadapi dalam pendekatan manajemen sekolah adalah
24
pertama, kegiatan penyelenggaraan pendidikan
nasional menggunakan pendekatan education function
atau input-output analysis yang dilaksanakan secara
tidak konsisten (Rivai et.al, 2009). Pusat pendidikan
sebagai pusat produksi apabila di dipenuhi input, maka
lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki.
Mutu pendidikan tetap tidak naik karena terlalu focus
kepada input bukan proses pendidikan. Sementara
relevansi pendidikan dan tuntutan masyarakat juga
dipertanyakan (Mulyasa, 2012).
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional
dilakukan secara birokratik-sentralistik dan sub-
ordinasi birokrasi diatasnya (Rivai et.al, 2009).
Menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan
pendidikan yang sangat tergantung pada keputusan
birokrasi yang memiliki jalur yang panjang. Terkadang-
kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai
dengan kondisi sekolah setempat. Menutur Tilaar,
sekolah kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi,
kreativitas, inisiatif untuk mengembangkan dan
memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu.
Pengaturan birokratik hanya akan memasung
kreatifitas guru dan sekolah (Tilaar, 2006) (Rivai et.al,
2009).
Ketiga, peran serta warga sekolah khususnya
guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua
murid dalam pengambilan keputusan, akuntabilitas
pendidikan sangat minim (Rivai et.al, 2009). Padahal
guru dan orang tua merupakan tulang punggung
utama sekolah, sehingga keputusan sudah seharusnya
dibuat oleh mereka yang paling memiliki akses yang
25
lebih baik terhadap informasi setempat (Mulyasa, 2012)
(Rivai et.al, 2009).
Ketiga tantangan tersebut diatas pada kontek
pengembangan model sekolah di wilayah tertentu atau
pada situasi khusus (bencana) menjadi penghambat
utama (Badawi, 2013). Orientasi pada output,
kehilangan keluwesan, partisipasi dan suara dari
kebutuhan civitas sekolah bukan sesuatu yang penting
untuk di kembangkan. Dalam perspektif manajemen
pendidikan, profil pendidikan Indonesia menurut Tilaar
(2006:78-81) terdiri dari tiga komponen besar dalam
menentukan standar pendidikan, pertama, komponen
standar kurikulum atau standar isi. Meliputi
pengaturan mata pelajaran, jenjang pendidikan dan
alokasi jam. Kurikulum disusun berorientasi kepada
mata pelajaran (subject matter curriculum), berorientasi
kepada kebutuhan anak (child centered curriculum) dan
berorientasi kepada kehidupan nyata (life-skill
curriculum). Focus utamanya adalah pengembangan
kemampuan intelegensi anak tidaklah satu arah tetapi
multi intelegence seperti yang di sampaikan oleh
Howard Gardner dalam Multiple Intelegence (Gardner,
2011). Kedua, standarisasi performance (unjuk kerja).
Tingkat penguasaan anak didik menentukan standar
proses pendidikan. Kemampuan siswa tidak hanya
tampak dari proses di kelas dan sekolah. Performance
siswa dipengaruhi juga oleh faktor ekternal seperti
situasi lingkungan, budaya sekolah, keluarga, sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Ketiga, kesempatan
belajar (opportunity to learn) meliputi infrastruktur,
tugas rutin, inovasi dan biaya.
26
2.2.3. Ruang lingkup dan Prinsip ManajemenSekolah
Ruang lingkup manajemen sekolah semua ahli
sepakat bahwa ruang lingkup manajemen sekolah
adalah pada planning, organizing, directing,
coordinating, controlling dan evalution (Pidarta,2011)
(Mulyasa,2012), (Zaenuddin, 2008) (Danim & Suparno,
2009) (Amtu, 2011). Keseluruhan proses tersebut
meliputi (1). Input kesiswaan (2). Kurikulum (3). Tenaga
Kependidikan (4). Sarana dan Prasarana (5). Dana (6)
Lingkungan (hubungan Sekolah dengan masyarakat)
dan (7) Kegiatan Belajar Mengajar (Danim & Suparno,
2009) (Mulyasa, 2012).
Didalam proses manajemen sekolah, dikenal
beberapa prinsip umum dalam manajemen sekolah.
Pertama, manajemen sekolah bersifat praktis dan
fleksibel dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan
situasi nyata di sekolah. Kedua, Manajemen Sekolah
berfungsi sebagai sumber informasi bagi peningkatan
pengelolaan pendidikan dan keigatan belajar mengajar.
Ketiga, Manajemen sekolah dilaksanakan dengan suatu
sistem mekanisme kerja yang menunjang realisasi
pelaksanaan kurikulum. (Pidarta, 2011). (Zaenuddin,
2008) (Tilaar, 2012)
2.2.4. Posisi Kepala Sekolah dalam ManajemenSekolah
Dalam pelaksanaan ruang lingkup dan prinsip
manajemen sekolah, menurut Made Pidarta (2011),
Mulyasa (2012) dan Danim dan Suparno (2008) posisi
kepala sekolah menduduki peran sentral. Yaitu
27
pertama, Kepala sekolah sebagai Manager dalam proses
planning, organizing, directing, coordinating, controlling
dan evalution sekolah. Kedua, Kepala Sekolah sebagai
administrator, yaitu administrator pendidikan dan
pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan,
hubungan dengan masyarakat dan prasarana dan
sarana. Ketiga, kepala sekolah sebagai motor hubungan
sekolah dengan masyarakat. Kepala sekolah harus
tampil didepan dalam memajukan kerjasama sekolah
dengan masyarakat. Mulai dari belajar budaya
masyarakat setempat, kondisi sosial ekonomi,
keyakinan dan kepercayaan masyarakat dan kesemua
itu dijadikan media integrasi sekolah dan masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam manajemen sekolah ada
kriteria-kriteria tertentu yang harus dimiliki oleh
seorang manajer pendidikan (Kepala Sekolah). Yaitu
Pertama, memiliki pengetahuan dasar tentang
pendidikan dan sekolah yang meliputi ruang lingkup
manajemen sekolah. Kedua, memilili ketrampilan
dalam siklus manajemen sekolah (Pidarta, 2011)
(Tilaar, 2012) serta ketiga, Memiliki sikap memahami,
melaksanakan, menghargai, berfikir rasional,
demokratis, kreatif, terbuka dan mempercayai atas
kebijakan, aturan dan relasi dengan atasan serta
bawahan.
2.3. Integrasi Manajemen Sekolah dalamPengurangan Risiko Bencana
Secara khusus pada kontek kebencanaan,
Sekolah dapat mengintegrasikan manajemen sekolah
dan risiko bencana dengan mempertimbangkan
28
pertama, Kepala Sekolah adalah tokoh kunci untuk
menjamin berjalannya model manajemen sekolah yang
terintegrasi dengan kebutuhan lingkungan,
masyarakat, guru, siswa dan orang tua siswa. Keahlian
kepala sekolah dalam kontek ini dapat merupakan re-
organizing, kebutuhan dan pengalaman manajemen
bencana yang telah mereka miliki menjadi kebijakan
sekolah (Badawi, 2013).
Kedua, Kepala Sekolah menggunakan kekuatan
otonomi pengelolaan sekolah sebagai basis utama
(Amtu, 2011). Kebijakan Manajemen Sekolah Membuka
otonomi luas sekolah untuk mengembangan model-
model sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi lingkungan (Tilaar, 2011) (Mulyasa, 2012),
(Zaenuddin, 2008). Ketiga, memfokuskan pada
kebutuhan pembelajaran dan psikologi siswa, guru dan
tenaga kependidikan yang merupakan korban dalam
kontek bencana. Pemahaman secara psikologis atas
korban (Powell, 2005) menjadi krusial bagi sekolah dan
pengajaran (Santrock, 2008).
Keempat, Pembelajaran yang terintegrasi dengan
lingkungan dan kebencanaan serta berbasis
pengalaman dan kebutuhan lokal adalah inti dari
pembelajaran seutuhnya (Kolb, 1984) dimana proses
membangun pengetahuan bermuara dan bergulir di
wilayah pendidikan. Kelima, mengembangkan
kebijakan-kebijakan yang terukur bagi monitoring,
evaluasi dan pengembangan sekolah secara
berkelanjutan. Dalam kontek ini kelemahan dan
kerentanan sekolah merupakan kekuatan untuk
membangun model manajeman sekolah dan ilmu
29
pengetahuan bagi semua fihak. Karakteristik inilah
yang perlu ditonjolkan sebagai sekolah diwilayah risiko
tinggi bencan erupsi Merapi.
2.4. Bencana2.4.1. Pengertian dan Jenis Bencana
Pengertian umum yang dipakai oleh komunitas
internasional adalah merujuk pengertian bencana
dalam dokumen United Nation - International Strategy
for Disaster Reduction (UN-ISDR) (Nurjanah, 2012),
Bencana adalah:
A serious disruption of the functioning of a communityor a society causing widespread human, material,economic or environmental losses which exeed theability of the affected community/society to cope usingits own resources
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana (UU 24, 2007)
disebutkan pengertian bencana adalah
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancamdan mengganggu kehidupan dan penghidupanmasyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alamdan/atau non-alam maupun faktor manusia sehinggamengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dandampak psikologis.
Secara spesifik Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyusun
pengertian dan batasan khusus pada tiga jenis
bencana, pertama, Bencana Alam: Bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Kedua, Bencana non-
Alam: Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
30
rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa
gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Ketiga, Bencana Sosial: Bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antar kelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror.
Dalam kontek pengertian dan jenis bencana
tersebut dapat di simpulkan bagian-bagian penting
yang membentuk pengertian batasan bencana yaitu (1).
ada Peristiwa (2). Terjadi karena faktor alam, faktor
manusia maupun faktor kombinasi alam dan manusia
(3). Terjadi tiba-tiba (sudden) maupun secara perlahan
(slow) (4). Menimbulkan korban jiwa, harta benda,
kerugian sosial-ekonomi-budaya dan kerusakan
lingkungan. (5). Berada diluar kemampuan masyarakat
untuk menanggulanginya.
Ruang lingkup paparan bencana dapat
dibedakan berdasarkan level scup perhatian bencana.
Menurut Dwyer (Dwyer et. al, 2004) dapat diuraikan
sebagai berikut: pertama, Individual yang meliputi
pendapatan, gender, status kerja, jenis tempat tinggal,
rumah tinggal sendiri dan kelompok keluarga besar,
beban kerusakan bangunan rumah terkait rumah milik
pribadi, sewa atau kredit, asuransi kesehatan, asuransi
rumah, kepemilikan kendaraan, kecacatan/dissabilitas
dan status tabungan para korban. Kedua, kewilayahan.
Kewilayahan dapat di ukur dari potensi wilayah
mengalami kerusakan dan kapasitas coping yang
diukur dengan GDP nasional/perkapita. Indikator
untuk mengukur kerusakan potensial terdiri dari GP
31
regional, densitas populasi, dan bagian wilayah alam.
Sementara berdasarkan ruang lingkup pengurangan
dan kesiapsiagaan dapat di analisis dalam level
organisasi terkecil meliputi (1). Rumah tangga
(household) (2). Organisasi/institusi (3). Komunitas (4).
Pemerintah (5). Antar organisasi lintas sektoral
(Susanto, et. al, 2011).
2.2.3. Analisis Risiko Bencana
Didalam memahami dan menganalisis bencana,
faktor utama yang harus dikaji dalam dua aras, yaitu
pemahaman bencana dan konsep pengurangan risiko
bencana. Pertama, Pemahaman Komprehensif Risiko
Bencana (disaster risk). Pemahaman risiko bencana
akan membantu semua fihak mengenali dan menyusun
strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk
reduction). Pengertian risiko bencana secara sederhana
difahami sebagai the probability of meeting danger or
suffering/harm atau berbagai kemungkinan pertemuan
bahaya atau penderitaan dan kerugian.
Menurut Krishna S. Vatsa, tingkat risiko bencana
(disaster risk) dapat diukur melalui dua hal, yaitu
kerentanan dan ketahanan (Vatza, 2004). Secara
fundamental Risiko Bencana merupakan proses
mengidentifikasi secara teliti ancaman bahaya,
kerentanan, kapasitas dan ketahanan baik secara
individu, wilayah maupun institusi. Keluaran langsung
dari kegiatan Analisis Risiko bencana adalah Peta
Risiko Bencana (disaster risk map). Rumusan analisis
risiko bencana bagi korban adalah paparan bahaya
(hazard) dikalikan Kerentanan (vulnerability) dan dibagi
Kapasitas (capacity) (Heijmens, 2012. Nurjanah, 2012.
32
IIDR, 2007, Affeltranger, 2008). Secara matematis dapat
digambarkan sebagai berikut:
Kedua, Konsep Pengurangan Risiko Bencana
(disaster risk reduction). Adalah a frame work and tool
that determines the degree of risk and describes
measures to increase capacities and reduce hazard
impact on the elements at risk so that disaster will be
avoided. (IIRR, 2007). Formula komprehensif tentang
pengurangan risiko bencana adalah dengan mengelola
hazard, menurunkan kerentanan (vulnerability) dan
meningkatkan kapasitas & ketahanan korban (capacity
& resilience). (Heijmens, 2012. Nurjanah, 2012. IIDR,
2007, Affeltranger, 2008).
a. Ancaman Bahaya, Kerentanan, Kapasitas danKetahanan
Pengertian ancaman bahaya (hazard) adalah a
potential event that could couse loss of life or damage to
property or the environment (IIRR, 2007) atau adalah
keadaan atau fenomena alam yang dapat berpotensi
menyebabkan korban jiwa, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan (Nurjanah, 2012). Sementara
secara lugas UU 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menyebutkan pengertian
ancaman bencana adalah sesuatu kejadian atau
peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Bentuk
Risiko Bencana Bahaya (Hazard) X Kerentanan (Vulnerability)(Disaster Risk): ------------------------------------------------------------
Kapasitas (Capacity)
33
nyata dari ancaman (hazard) adalah erupsi, banjir,
tanah longsor, kekeringan, angin Topan, gempa bumi
maupun tsunami.
Sementara kerentanan adalah sekumpulan
kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik,
sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh
buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana. Kerentanan masyarakat
merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat
menyesuaiakan dengan perubahan ekosistem yang
disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Fussel,
2007). Yaitu suatu kondisi yang dipengaruhi oleh
proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat
meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya
(Herawaty dan Santosa, 2007). Pengertian yang
bervariatif tentang kerentanan memang menjadi salah
satu kekayaan dalam analisis kerentanan itu sendiri.
Kerentanan merupakan terminologi yang komplek dan
tidak pasti sehingga masih terdapat pengertian tentang
kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Olmos,
2001, Fussel, 2007).
Ruang lingkup kerentanan begitu luas, meliputi
kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan
dan ekonomi (Nurjanah, 2012). Dalam kontek sosial
merupakan fungsi dan paparan (exposure), daya
adaptasi dan sensivitas sosial atas ancaman (Herawaty
dan Santosa 2007). Sementara kerentanan dalam
kontek ekonomi menggambarkan tingkat kerapuhan
ekonomi menghadapi ancaman bahaya. Meliputi
prosentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
dan rumah tangga miskin (Nurjanah, 2012). Sementara
34
menurut Cutter (2003) para ahli sosial mensepakati
beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap
kerentanan sosial, diantaranya kurang akses terhadap
sumber daya (informasi, pengetahuan dan teknologi)
terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan
politik, modal sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat
kebiasaan dan nilai budaya (Cutter et al 2003).
Secara garis besar kerentanan merupakan
kondisi dimana system tidak dapat menyesuaikan
dengan dampak dari suatu perubahan (Olmos, 2001)
(Fussle, 2007). Kerentanan individu, organisasi, wilayah
maupun komunitas akan berbeda-beda secara temporal
dan spasial (Olmos, 2001. IPCC, 2001). Kerentanan
merupakan tiga komponen yaitu: exposure (paparan),
sensitivity (kepekaan) dan adaptive capacity
(kemampuan adaptasi) (IPCC, 2001), (Olmos, 2001)
(Fussel, 2007). Analisis kerentanan digunakan sebagai
(1). Alat diagnostik untuk memahami masalah-masalah
dan faktor-faktor penyebab kerentanan (2). Alat
perencanaan sebagai dasar penetapan prioritas
kegiatan serta urutan kegiatan yang direncanakan (3).
Alat pengukur risiko untuk menilai risiko secara
spesifik (4) alat untuk pemberdayaan dan mobilisasi
kelompok masyarakat yang rentan (Benson et al,
20017) (Djuraidah, 2009).
Kapasitas menurut International Institute for
Rural Recontruction (IIRR, 2007) adalah:
Refers to individual and collective strength andresources that can be enhanced, mobilized andaccessed, to allow individuals and communities toshape their future by reducing disaster risk. This
35
includes prevention, mitigation surviviality of theindividual and readiness of the community.
Kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh
perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat
mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga,
menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu
kedaruratan dan bencana. Secara operasional,
pengertian kapasitas adalah penguasaan sumber daya,
cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang
memungkinkan mereka mempersiapkan diri,
mencegah, menjinakkan, menanggulangi,
mempertahankan diri serta dengan cepat memulihkan
diri dari akibat bencana (Paripurno, 2011) (Heijmans,
2012).
b. Analisis Gender dalam Pengurangan RisikoBencana
Pemahaman kerentanan masyarakat korban,
selalu jamak dipahami sebagai deskripsi besaran
secara umum tentang situasi jiwa, harta benda dan
infrastruktur sosial ekonomi dan budaya tanpa terpilah
secara gender dan seolah-olah semua korban adalah
normal. Analisis kerentanan secara lebih “mendalam”
belum dipakai sebagai analisis dan respon bencana.
Padahal dengan data terpilah gender, dapat menuntun
kita pada deskripsi situasi kerentanan korban secara
tepat. Situasi kerentanan korban memiliki tingkat yang
berbeda-beda tergantung pada lokasi hazard (ancaman
bahaya) dan kapasitas yang dimiliki oleh korban.
Kerentanan korban termasuk di dalamnya adalah
faktor jenis kelamin (gender), kelompok umur dan
different ability (kelompok kebutuhan khusus).
36
Setiap identitas gender –dalam konteks ini
termasuk kelompok umur (anak-anak, manula),
different ability—merujuk pada problem situasi yang
berbeda, kebutuhan yang berbeda, akses yang berbeda
serta partisipasi yang berbeda pula meski pada kondisi
paparan risiko bencana yang sama. Terpilah secara
gender maknanya adalah memisahkan jenis kelamin,
umur dan different ability (diffable) dalam analisis risiko
bencana. Pemahaman dan data terpilah akan merujuk
pada ketepatan cara dan kebutuhan merespon korban
baik pada tingkatan emergency, mitigasi ataupun
kesiapsiagaan (preparedness).
Lemahnya kesadaran gender telah
mengakibatkan kemiskinan bagi kelompok perempuan
dan anak-anak perempuan. Hampir tidak ditemukan
sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum berbasis
bencana dengan memasukkan perspektif gender ke
dalamnya. Akar penyebabnya adalah kerentanan
kelompok perempuan yang diasosiasikan dengan
kemiskinan struktural, kerugian politik dan ekonomi,
eksploitasi lingkungan dan kesadaran yang kurang
akan penanganan bencana dalam pembelajaran di
sekolah-sekolah yang rentan terhadap bencana alam
(Basher, 2008). Apa yang hilang dari pendidikan adalah
perspektif yang memandang bahwa bencana alam
dilihat secara berbeda dan dirasakan secara berbeda
pula, baik anak laki-laki dan anak perempuan.
Paradigma, pengetahuan, alat dan kebijakan dalam
pendidikan belum memadai untuk menyediakannya
karena tidak menjadi salah satu fokus dalam
pembangunan.
37
Dalam penelitian Elaina Enarson et.al. bahkan
dijelaskan bagaimana hilangnya perspektif gender
dalam penanganan dan tanggap bencana telah
mengubah hidup anak-anak perempuan (2007). Hak
Asasi Manusia (HAM) perempuan dan anak-anak
perempuan sering diabaikan dalam krisis lingkungan
dan krisis pasca bencana. Menurut Enarson, di
beberapa negara, kawasan dan daerah, mereka justru
menjadi korban perkosaan di barak-barak
pengungsian. Bantuan-bantuan yang bersifat khusus
untuk perempuan bahkan tidak ada, misalnya
pembalut, alat bantuan melahirkan, dan bantuan gizi
untuk ibu hamil dan menyusui.
Di beberapa daerah pasca tsunami, misalnya di
Aceh, perempuan dan anak-anak perempuan empat
kali lipat lebih banyak menjadi korban karena mereka
tidak bisa berenang dan karena mereka memilih untuk
menyelamatkan anak-anak dan rumahnya. Ketika
terjadi bencana, perempuan tidak menjadi prioritas.
Dan perempuan tidak menjadikan dirinya sebagai
prioritas yang diselamatkan. Pasca bencana,
perempuan tidak mendapatkan bantuan sesuai yang
“perempuan” butuhkan. Perspektif gender mau tidak
mau harus masuk dalam kebijakan penanganan
manajemen risiko bencana, jika tidak ingin
mengabaikan separuh penduduk dunia, yaitu
perempuan (Enarson et.al, 2007). Analisis gender
merupakan bagian dari pengalaman kemanusiaan yang
tidak bisa diabaikan. Dan dia adalah penjamin dan
garansi bagi perikehidupan anak-anak di sekolah yang
rentan terhadap risiko bencana.
38
Dalam International Journal of Sociology and
Social Policy Vatsa menulis bagaimana risiko
kebencanaan tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
perempuan rentan terhadap bencana dan bagaimana
perempuan mengatasi risiko kebencanaan (2004:7).
Rumah tangga dan sekolah merupakan rumah pertama
bagi perempuan dan anak-anak perempuan, dimana,
mereka mendapatkan bencana kali pertama. Risiko
kebencanaan yang mereka alami adalah longsoran
tanah, banjir (Heijmans, 2012) dan air pasang laut,
gempa bumi, erupsi gunung berapi dan hujan abu.
Masing-masing perempuan mengalaminya di rumah.
Dan anak-anak perempuan mengalaminya di
sekolahan. Maka ketahanan rumah dan sekolah dalam
menangani kebencanaan dengan mengintegrasikan
perspektif gender merupakan alat penting untuk
mengurangi risiko kebencanaan yang selama ini lebih
banyak merenggut korban perempuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada konteks
penyelenggaraan sekolah, kesadaran gender bagi kepala
sekolah dan guru dalam situasi emergency/darurat
menjadi sangat penting. Partisipasi gender harus
terjamin di dalam proses pratisipasi perserta didik di
dalam dunianya (Tilaar, 2012).
2.5. Kerangka Pikir
Pertama, Pemahaman akan peta risiko bencana
oleh civitas sekolah merupakan kebutuhan mendasar
khususnya bagi sekolah yang berada di wilayah risiko
tinggi bencana. Dokumen peta risiko bencana yang
akan disusun dalam penelitian ini menguraikan dengan
39
jelas paparan risiko bencana bagi sekolah SD Negeri
Keningar 1 dan 2, meliputi analisis bahaya,
kerentanan, kapasitas/ketahanan sekolah secara
terpilah dalam perspektif gender. Dokumen-dokumen
penelitian tentang peta risiko bencana yang dapat
digunakan untuk mendorong perubahan pendekatan
sekolah yang terintegrasi dengan kebutuhan
masyarakat, menjadi krusial. Apalagi dalam catatan
peneliti, ketersediaan dokumen peta risiko bencana di
sekolah di kawasan Merapi belum memadai.
Khususnya untuk mengembangkan konsep integrasi
peta risiko bencana erupsi Merapi dalam manajemen
sekolah.
Kedua, Pemahaman dan ketersedian peta risiko
bencana akan menjadi rujukan yang tepat bagi sekolah
untuk menyusun konsep, strategi dan program
manajemen sekolah. Strategi utama di dalam
manajemen risiko bencana adalah dengan mengelola
hazard, menurunkan kerentanan (vulnerability) dan
meningkatkan kapasitas & ketahanan korban (capacity
& resilience). Strategi pengurangan risiko bencana
tersebut diintegrasikan dalam berbagai ruang lingkup
manajemen sekolah, meliputi kurikulum dan materi
belajar, pengelolaan sumber daya manusia, metode
kegiatan belajar mengajar, administrasi sekolah dan
kebijakan keuangan.
Ketiga, integrasi strategi manajemen sekolah
berbasis bencana meliputi tiga hal utama dalam
manajemen sekolah, yaitu menyangkut identitas
(statuta) sekolah, prioritas strategi sekolah, dan strategi
operasionalisasi mitigasi dan kesiapsiagaan sekolah
40
dalam pengurangan risiko bencana. Khususnya di
dalam menjamin rasa aman, nyaman dan pencapaian
tujuan sekolah sesuai dengan kontek kebutuhan lokal.
2.6. Produk Yang Akan dihasilkan
Dalam penelitian ini produk yang dihasilkan
adalah pertama, Peta Risiko Bencana Erupsi Merapi di
SD Negeri Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun
Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Produk ini meliputi
paparan (1). Latar belakang (2) Landasan teoritis dan
kebijakan (3). Profil SD Negeri Keningar 1 dan Keningar
2. (4). Peta dan Analisis Risiko Bencana SD Keningar 1
dan 2 yang terdiri dari (a). Peta Hazards Sekolah, (b).
Peta Kerentanan Sekolah (c). Peta Kapasitas/Ketahanan
Sekolah. (5). Analisis Kebutuhan program dan Prioritas
Strategi Manajemen SD Negeri Keningar 1 dan 2. (6).
Penutup. Penyajian produk dikemas secara menarik
gabungan antara matrik, gambar, peta, narasi pendek
yang mudah difahami oleh civitas sekolah.
Produk yang dihasilkan Kedua Strategi
Manajemen Sekolah Berbasis Bencana bagi SD Negeri
Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun Kabupaten
Magelang Jawa Tengah. Meliputi (1). Pendahuluan (2).
Landasan Kebijakan (3). Tujuan (4). Sasaran (5). Ruang
Lingkup (6). Konsep Strategi Manajemen Sekolah
Berbasis Bencana Erupsi (SMSBBE) Merapi (7). Materi
MSBBE Merapi (8). Strategi SMSBBE Merapi (9).
Pelaksanaan SMSBBE Merapi (10). Kekuatan dan
Kelemahan SMSBBE Merapi (11). Monitoring dan
evaluasi. (12). Catatan-catatan pelaksanaan dan (13).
Penutup dan Saran pengembangan model ke depan.