Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada
di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi
menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat
terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian
menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.
Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum
(Sherwood, 2001).
Mediastinum merupakan dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua
bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua bagian dari struktur
toraks kecuali paru-paru terletak diantara kedua lapisan pleura (selaput paru).
Bagian terluar paru-paru dilindungi oleh suatu membran halus dan licin yang
disebut pleura yang berfungsi untuk membungkus dinding interior toraks dan
permukaan superior diafragma, sedangkan pleura viseralis melapisi paru-paru.
Antara kedua jenis pleura ini terdapat ruang yang disebut spasium pleura yang
mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan yang
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi (pertukaran)
(Smeltzer & Bare, 2002).
Lobus pada organ paru dibagi lagi menjadi segmen yang dipisahkan oleh
fisurel yang merupakan perluasan dari pleura. Dalam setiap lobus paru terdapat
beberapa divisi-divisi bronkus. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru
kanan dan pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental
(sepuluh pada paru kanan dan delapan pada paru kiri). Bronkus segmental
kemudian dibagi lagi menjadi bronkus sub segmental. Bronkus ini dikelilingi oleh
jaringan ikat yang memiliki arteri, limfotik dan syaraf. Bronkus subsegmental
membantu percabangan menjadi bronkiolus (Smeltzer & Bare, 2002).
7
Bronkiolus berfungsi untuk membantu kelenjar submukosa yang
memproduksi lendir yang membentuk selimut agar tidak terputus dari lapisan
bagian dalam jalan nafas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang
permukaannya dilapisi oleh silia dan berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan
benda asing agar menjauhi paru-paru menuju laring. Bronkiolus kemudian akan
membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai
kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis menjadi saluran transisional antara
kalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Bronkiolus respiratori
kemudian mengarah ke dalam duktus alveolus dan jakus alveolar kemudian alveoli.
Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di dalam alveoli (Smeltzer & Bare,
2002).
Alveoli merupakan unit penyusun struktur paru-paru yang berjumlah sekitar
300 juta alveoli. Sel-sel alveolar dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I ialah sel yang
membentuk dinding alveolar. tipe II ialah sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi sufraktan, suatu fostolipid yang melapisi permukaan dalam dan
mencegah alveoli agar tidak kolaps (mengempis). Sel alveoli tipe III adalah
makrofag yang merupakan sel-sel fagosit besar yang memakan benda asing dalam
tubuh seperti lendir dan bakteri sehingga bekerja sebagai mekanisme pertahanan
yang penting (Smeltzer & Bare, 2002).
Anatomi Sistem Pernafasan (Tortora, 2012)
8
2.2 Tuberkulosis Paru
2.2.1 Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular paru yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman ini menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DepKes RI, 2008).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi, akibat kuman
mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru – paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer (Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran
pernafasan yang disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer dkk, 2002).
2.2.2 Bakteri Tuberkulosis Paru
2.2.2.1 Mycobacterium tuberculosis (MTB)
Mycobacterium tuberculosis (MTB) yaitu bakteri berbentuk batang aerob
yang tidak membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis merupakan bakteri
berbentuk batang tipis lurus berukuran 0.3 x 2 sampai 4 μm. Micobakterium
tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram-negatif.
Basil tuberculosis ditandai dengan “ basil tahan asam (BTA)”. Sifat tahan asam ini
tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin (Jawetz, 2008).
Mycobacterium tuberculosis (MTB) kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfat. Sel lipid didalam
banyak terikat dengan protein dan polisakarida. Muramil dipeptida (dari
peptidoglikan) yang membentuk struktur kompleks dengan asam mikolat dapat
menyebabkan pembentukan granuloma fosfolipid penginduksi nekrosis kaseosa.
Penghilangan/pelepasan lipid dengan menggunakan asam yang panas dapat
menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini dan tergantung dari integritas dinding
sel dan adanya lipid-lipid tertentu (Jawetz, 2008). Polisakarida selanjutnya akan
9
menginduksi hipersensitivitas menjadi lebih cepat dan dapat berperan sebagai
antigen dalam reaksi dengan serum pasien yang terinfeksi (Jawetz, 2008).
Kingdom : Plant
Phylum : Scizophyta
Klas : Scizomycetes
Ordo : Actinomycetales
Family : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : Mycobacterium tuberculosis
\
Kuman Mycobacterium Tuberculosis (Meena, 2010)
2.2.2.2 Penyebaran Mycobacterium Tuberculosis
Mikobakterium Tuberkulosis (MTB) ditularkan melalui udara bukan melalui
kontak permukaan. Ketika penderita Tuberkulosis paru aktif (BTA positif dengan
foto rontgen positif) batuk, bersin, berteriak atau bernyanyi, bakteri MTB akan
terbawa keluar dari paru-paru menuju udara. Bakteri ini akan berada di dalam
gelembung cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil tersebut dapat bertahan di
udara hanya selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat oleh mata karena memiliki
diameter sebesar 1-5 µm (WHO, 2004; CDC, 2016).
Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei, yang
kemudian akan melewati mulut atau saluran hidung, saluran pernafasan atas,
bronkus kemudian menuju alveolus (CDC, 2016). Setelah tubercle bacillus sampai
di jaringan paru-paru, mereka akan mulai memperbanyak diri dan menyebar ke
10
kelenjar limfe. Proses ini disebut sebagai primary Tuberculosis infection. Ketika
seseorang dikatakan penderita primary TB infection, tubercle bacillus berada di
tubuh seseorang.. Seseorang dengan primary TB infection tidak dapat menyebarkan
penyakit ke orang lain dan juga tidak akan menunjukkan gejala penyakit (WHO,
2004).
Penyebaran Tuberkulosis dari satu orang ke orang lain melalui udara (CDC, 2016)
2.2.3 Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat
yang penting di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
menetapkan TB sebagai “Global Public Health Emergency”.
Menurut data WHO Global Tuberculosis Report 2016, angka kematian akibat
TB di Indonesia mencapai 100 ribu jiwa dalam setahun ditambah 26 ribu penderita
Tuberkulosis yang terindikasi HIV positif. Angka kematian dunia yang diakibatkan
oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis ini mencapai 1,4 juta jiwa ditambah 390
ribu jiwa penderita yang positif terkena HIV. Sedangkan prevalensi penderita TB
di Indonesia pada 2015 sebesar 330.910 kasus per 100 ribu populasi dengan angka
kematian sebesar 40 per 100 ribu populasi, hal ini menunjukkan bahwa terjadinya
peningkatan angka kasus Tuberkulosis yaitu sekitar seperempat juta kasus baru
setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2016).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Adapun penularannya adalah pasien
terjangkit TB Bakteri Tahan Asam (BTA) positif melalui percik dahak yang
dikeluarkan. Meskipun penyakit menular ini cukup berbahaya, tapi prioritas
11
penemuan pasien Tuberkulosis yang menular di antara seluruh pasien masih rendah.
Pada tahun 2017, proporsi pasien Tuberkulosis (TB) paru terkonfirmasi
bakteriologis di antara semua pasien yang tercatat atau diobati hanya 57,1%, masih
jauh dari target minimal sebesar 70% (WHO Global Report TB, 2017).
Di negara berkembang kematian penderita TB Paru sebanyak 25% dari
seluruh kematian dan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif
(Simbolon, 2007). Indonesia sebagai negara berkembang yang termasuk kedalam
negara dengan beban TB yang relatif tinggi sebanyak 1,02 juta kasus. Meskipun
memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia adalah negara pertama yang
mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2006 khususnya untuk wilayah WHO Asia Tenggara
(WHO, 2014; Aditama & Subuh, 2011).
Prevalensi kasus Tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2009 – 2015
(WHO Global Tuberculosis Report, 2016)
2.2.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi Tuberkulosis (TB) dibagi menjadi dua yaitu TB paru dan TB
ekstra paru.
2.2.4.1 Tuberkulosis (TB) Paru
Tuberkulosis Paru adalah Tuberkulosis yang menyerang jaringan Paru, tidak
termasuk Pleura (Selaput Paru) dan kelenjar pada hillus.
12
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak Tuberkulosis (TB) Paru dibagi menjadi:
a) Tuberkulosis Paru BTA positif (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS menunjukan hasil
BTA+
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA+ dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran Tuberkulosis (TB) aktif.
1 spesimen dahak SPS menghasilkan BTA+ dan biakan kuman
Tuberkulosis (TB) aktif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Depkes RI, 2014).
b) Tuberkulosis Paru BTA negatif (-)
Tuberkulosis paru BTA- ialah Kasus yang tidak memenuhi definisi
pada penyakit Tuberkulosis paru BTA+. Kriteria diagnostik TB paru BTA-
harus mencakup :
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif
Foto toraks dada abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
Tidak adanya perbaikan setelah diberikan antibiotika non OAT
Dipertimbangkan oleh dokter untuk diberikan pengobatan (penanganan)
(DepKes RI, 2014).
2. Berdasarkan riwayat kasus pengobatan pasien, Tuberkulosis (TB) Paru dibagi
menjadi enam diantaranya :
1) Kasus Baru
Pasien Tuberkulosis yang digolongkan menjadi kasus baru ialah
pasien yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
atau sudah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu) (Depkes RI,
2011).
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Pasien dikatakan kasus kambuh (relaps) ialah apabila pasien
Tuberkulosis (TB) yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan
13
Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian didiagnosis kembali dengan BTA+ (apusan atau kultur) (Depkes
RI, 2011).
3) Kasus Setelah Putus Berobat (Default)
Pasien kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif
(Depkes RI, 2011).
4) Kasus Setelah Gagal (Failure)
Pasien kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi 15 positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan (Depkes RI, 2011).
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Pasien kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan dari
UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang memiliki register Tuberkulosis lain
untuk melanjutkan pengobatan (Depkes RI, 2011).
6) Kasus Lain
Kasus lain yaitu kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas dalam
hal ini termasuk juga kasus kronik yang pada pemeriksaan BTA masih
positif setelah menjalani pengobatan ulangan (Depkes RI, 2011).
2.2.4.2 Tuberkulosis (TB) Ekstra Paru
Tuberkulosis Ekstra Paru adalah Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain Paru misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
1. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2. TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).
14
2.2.5 Patofisiologi Tuberkulosis Paru
Infeksi Tuberkulosis diawali karena seseorang menghirup basil
Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri akan menyebar melalui jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area organ dari
paru (lobus atas). Basil akan menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang serta korteks serebri dan area lain dari paru
(lobus atas). Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit
spesifik tuberkulosis menghancurkan basil-basil dan jaringan normal sehingga
mengakibatkan peumpukan eksudat dalam alveoli menyebabkan bronkopneumonia
(Smeltzer & Bare, 2002).
Bronkopneumonia ini dapat sumbuh dengan sendirinya, sehingga tidak
meninggalkan sisa atau proses dapat berjalan terus, jika respons sistem imun tidak
adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat
timbul akibat infeksi yang berulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif akan
kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga
menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus (Widagdo, 2011).
Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan
baru yaitu jaringan parut.Paru-paru yang terinfeksi kemudian mengalami inflamasi,
mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan secara
terus menerus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-
20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Widagdo, 2011).
15
Pathway Patofisiologi infeksi penyakit Tuberkulosis (Somantri, 2008)
2.2.6 Manifestasi Klinik Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) dijuluki dengan sebutan “the great imitator” yaitu suatu
penyakit yang memiliki banyak kesamaan dengan penyakit lain karena memberikan
gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala TB yang
timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan juga kadang-kadang bersifat
asimtopatik (gejala tidak nampak) (Amin, 2009).
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah:
a. Demam
b. Malaise
c. Anoreksia
d. Penurunan berat badan
e. Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan selama berminggu – minggu
sampai berbulan – bulan)
f. Peningkatan frekuensi pernapasan
g. Ekspansi buruk pada tempat yang sakit
h. Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi.
2.2.7 Komplikasi Tuberkulosis Paru
Penanganan Tuberkulosis (TB) Paru yang tidak benar akan menimbulkan
komplikasi diantaranya :
16
1. Komplikasi Dini
Komplikasi dini yang terjadi ialah empisema, efusi pleura, laringitis, usus,
pleuritis, dan Poncet’s arthropathy.
2. Komplikasi Lanjut
Komplikasi lanjut yang terjadi ialah Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis
(SPOT), obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim berat, kor pulmonal,
karsinoma paru, fibrosis paru, amiloidosis, sindrom gagal nafas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB (Sudoyo, 2007).
2.2.8 Faktor Risiko kejadian Tuberkulosis Paru
Faktor risiko Tuberkulosis adalah semua variabel yang berperan dalam
munculnya kejadian penyakit. Pada dasarnya faktor risiko Tuberkulosis (TB) saling
berkaitan (Narasimhan dkk, 2013).
Skema faktor risiko infeksi dan penyakit (Narasimhan dkk, 2013).
2.2.8.1 Faktor Gejala Klinis
Faktor gejala klinis penyakit Tuberkulosis paru meliputi :
1. Bakteri Basil (BTA positif)
Studi epidemiologis dilakukan selama pertengahan abad ke-20 telah
menunjukkan bahwa BTA kasus positif lebih berbahaya daripada yang lain.
17
Sputum (dahak) yang tidak diobati pada pasien BTA positif dapat menginfeksi
sekitar 10 individu per tahun dan setiap kasus BTA positif dapat menyebabkan
dua kasus baru terkena Tuberkulosis (Maher, 2009).
Jumlah basil yang terkandung dalam kasus TB memiliki korelasi yang
positif terhadap penularan pasien TB. Sebuah Studi penelitian yang dilakukan
di Amerika Serikat, Inggris, dan India (prevalensi dan kejadian studi)
membandingkan tingkat infeksi dan penyakit dengan jelas menunjukkan bahwa
prevalensi infeksi dan penyakit lebih tinggi di antara kontak kasus indeks BTA
positif dari BTA negatif, tetapi tingkatnya lebih tinggi di antara BTA negatif
dibandingkan dengan populasi kejadian umum (Radhakrishna dkk, 2011).
2. Kontak infeksi
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
Tuberkulosis yang baik. Atap, dinding serta tembok dapat menjadi tempat
bertumbuh dan berkembang biaknya bakteri. Lantai dan dinding yang jarang
dibersihkan memiliki potensi tempat penumpukan bakteri, sehingga akan
dijadikan sebagai media perkembangbiakan kuman TBC (Achmadi, 2005).
2.2.8.2 Faktor Kejadian Individu
Hiswani (2009) mengatakan bahwa Faktor kejadian individu merupakan
faktor/gejala yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit dari dirinya sendiri,
keterpaparan penyakit TB pada seorang di pengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Immunosuppressive Conditions
Infeksi HIV adalah faktor risiko imunosupresif paling ampuh untuk
mengembangkan penularan penyakit Tuberkulosis (TB). Afrika Selatan
memiliki prevalensi tinggi infeksi HIV dan memiliki insiden tertinggi TB
sebelum era HIV/AIDS. Di Afrika Selatan enam negara-negara dengan
prevalensi HIV dewasa lebih dari 20% yaitu sekitar 719 per 100.000 per tahun,
sedasngkan di Amerika Serikat adalah 5 kasus per 100.000 per tahun. Infeksi
HIV sangat meningkatkan kemungkinan Reaktivasi laten infeksi TB dan
meningkatkan risiko penularan TB (Narasimhan dkk, 2013).
Studi di berbagai negara dengan prevalensi HIV telah menunjukkan
bahwa variasi antara ruang dan waktu infeksi TB memiliki hubungan kuat
dengan prevalensi infeksi HIV. Koinfeksi HIV yang terjadi akan memperparah
18
keparahan penyakit TB sementara kejadian koinfeksi TB mempercepat
replikasi HIV di organ yang terkena termasuk paru-paru dan pleura serta
menyebabkan penurunkn imunitas. Imunitas merupakan komponen penting
dalam mempertahankan tubuh terhadap kuman Mycobacterium Tuberculosis
(Sharma dkk, 2005).
2. Status Gizi (malnutrition)
Status gizi (malnutrition) merupakan variabel yang sangat berperan
dalam munculnya kejadian penyakit Tuberkulosis Paru. Penelitian
menunjukkan bahwa status gizi meningkatkan angka risiko TB dikarenakan
terganggunya respon imunologik terhadap penyakit. Penyakit Tuberkulosis
(TB) dapat menyebabkan kurang gizi karena menurunkan nafsu makan dalam
proses metabolisme (Lonnort dkk, 2010)
Hubungan antara kekurangan gizi dan penyakit TB telah terbukti dengan
Uji vaksin BCG, yang dilakukan di Amerika Serikat selama akhir tahun 1960-
an dan memperkirakan bahwa anak-anak kekurangan gizi dua kali lebih
mungkin untuk terpapar penyakit TB (Comstock, 2001).
3. Faktor Umur
Beberapa faktor risiko penularan penyakit Tuberkulosis di Amerika
yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara, serta infeksi penularan AIDS.
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit Tuberkulosis. Umur Anak-
anak berada pada risiko tinggi tertular infeksi dan penyakit Tuberkulosis (TB) .
Penelitian telah menunjukkan bahwa 60-80% terkena percikan dahak positif
akan menyebabkan kejadian infeksi, jika dibandingkan dengan hanya 30-40%
yang terpapar percikan dahak negatif (Daniel, 2009).
Mayoritas anak-anak berusia kurang dari 2 tahun terpapar infeksi dari
rumah tangga (keluarga), sedangkan usia anak-anak lebih dari 2 tahun
mayoritas dari mereka menjadi terinfeksi akibat lingkungan sekitar. Dahak
rumah tangga positif merupakan satu kasus risiko yang paling penting terhadap
penularan infeksi selama 5 – 10 tahun. Manifestasi berkembangnya penyakit
terjadi dalam tahun pertama setelah infeksi primer dan merupakan paparan
sebagai jangka waktu risiko terbesar. Anak-anak dengan infeksi primer sebelum
19
2 tahun atau setelah 10 tahun berada pada peningkatan risiko untuk
perkembangan penyakit. Resiko tertinggi untuk kematian terkait TB berikut
infeksi primer terjadi selama masa kanak-kanak. Risiko menurun 1% antara 1
dan 4 tahun, sebelum naik ke lebih dari 2% dari 15 sampai 25 tahun (Marais,
2009).
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling
penting dalam terjadinya gejala Tuberkulosis. Awal abad ke 20, para klinisi
telah mengamati adanya hubungan antara penyakit DM dengan TB, meskipun
masih sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang
menimbulkan manifestasi klinis DM. Istilah DM menggambarkan suatu
kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia
kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai
akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Gustaviani,
2010).
Diabetes mellitus dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat
keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan karena adanya abnormalitas
dalam imunitas tubuh yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan
dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. Frekuensi DM
pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini
2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol non-
diabetes (Cahyadi, 2011).
Peningkatan kasus Tuberkulosis pada pasien DM juga terjadi di
Indonesia, cukup banyak pasien DM yang mengalami TB dan hal tersebut
meningkatkan morbiditas maupun mortalitas. Risiko infeksi TB pada pasien
DM masih sulit untuk dinilai dikarenakan kurangnya penelitian prospektif
mengenai hal tersebut, selain itu faktor predisposisi pasien DM terinfeksi TB
belum banyak terpublikasikan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya TB
pada pasien DM dapat menjadi hal yang penting untuk diketahui. Menurut
penelitian terdapat beberapa faktor yang secara umum menyebabkan
peningkatan kejadian infeksi TB paru pada pasien DM yang meliputi usia, jenis
20
kelamin, pengetahuan, pekerjaan, sosial ekonomi, malnutrisi, durasi penyakit
DM dan kontak erat dengan penderita TB paru (Lakshmi, 1999).
5. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan yang bertugas dalam memberikan pelayanan dalam
proses penyembuhan memiliki potensi tinggi dalam penularan kuman
Mycobacterium tuberculosis dan menyebabkan berkembangnya kuman
menjadi lebih aktif. Peningkatan insiden TB menimbulkan perhatian terhadap
risiko penularan kuman TB di pelayanan kesehatan yang merupakan infeksi
nosokomial, yang berhubungan dengan pekerjaan karena sumber infeksi TB
didapatkan lebih tinggi dibandingkan tempat umum (Ministry of Health
Malaysia, 2012).
Tenaga kesehatan Puskesmas yang melayani pasien menular harus
mengembangkan rencana pengendalian infeksi TB yang memadai sesuai
dengan standar internasional yaitu memastikan semua orang yang kontak erat
dengan penderita Tuberkulosis yang aktif harus dievaluasi dan di tata laksana
sesuai dengan rekomendasi. Puskesmas harus memfasilitasi dilakukannya
pelatihan yang sesuai dengan materi penularan TB, gejala dan tanda TB
(International Standards for Tuberculosis Care/ISTC, 2013).
2.2.8.3 Faktor Sosial Ekonomi dan Perilaku
Menurut Darmanto (2007) Faktor sosial ekonomi sangat erat kaitannya
dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses ke pelayanan
kesehatan. Sedangkan Faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis
paru yaitu :
1. Kebiasaan Merokok
Merokok memiliki hubungan dengan kejadian penyakit Tuberkulosis
paru, kebiasaan merokok menyebabkan meningkatnya risiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 2000 , dilakukan di 24 studi tentang efek
merokok pada pasien Tuberkulosis menunjukkan bahwa risiko relatif penyakit
21
Tuberkulosis (TB) cukup tinggi dibandingkan dengan bukan perokok. Hasil
yang jelas menunjukkan bahwa penyebab merokok tetap menjadi faktor risiko
untuk terpapar infeksi dan penyakit Tuberkulosis, dengan tambahan resiko
kematian pada orang dengan Tuberkulosis aktif (Lin dkk, 2007).
Hubungan merokok dengan kejadian Tuberkulosis menyebabkan
dampak utama yang dapat meningkatkan risiko infeksi. Faktor risiko merokok
akan menyebabkan gangguan biologis seperti terganggunya pembersihan
sekresi mukosa, mengurangi kemampuan vagositik alveolar makrofag dan
berkurangnya respont imun dan/atau CD4+ limfopenia karena kandungan
nikotin di dalam rokok (Ochani dkk, 2003).
2. Alkohol
Alkohol merupakan salah satu faktor resiko kejadian Tuberkulosis yang
tinggi. Konsumsi alkohol akan meningkatkan risiko kejadian termasuk
perubahan dalam sistem kekebalan tubuh, khususnya dalam mengubah sinyal
molekul yang bertanggung jawab untuk produksi sitokin. peningkatan risiko
termasuk perubahan dalam sistem kekebalan tubuh, khususnya dalam
mengubah sinyal molekul bertanggung jawab untuk produksi sitokin
(Narasimhan dkk, 2013).
Di Indonesia, total konsumsi alkohol perkapita pada orang dewasa ialah
0.6 liter dalam liter alkohol murni. Angka kejadian ini memang lebih rendah
dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya, meskipun demikian, penelitian
yang dilakukan oleh Lonnorth (2008) dan Jurgen (2009) menyatakan bahwa
“heavy alcohol use (AUD) yang merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian Tuberkulosis, terutama TB aktif.
3. Polusi Udara dalam Ruangan
Di negara berkembang, presentase penggunaan bahan bakar padat untuk
memasak lebih dari 80%. Asap kayu bakar atau biomassa sebelumnya diakui
sebagai faktor risiko independen untuk penyakit TB di Indonesia yang dapat
menyebabkan penyakit paru kronis (Narasimhan, 2013). Studi penelitian yang
22
dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa asap kayu dapat menyebabkan
terganggunya fungsi fagositosis makrofag, pembersihan bakteri serta dapat
pembakaran biomassa melepaskan partikel besar seperti karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida, formaldehida, dan hidrokarbon polyaromatik yang dapat
menyimpan jauh ke dalam alveoli dan dapat menyebabkan kerusakan yang
cukup besar (Boman, 2003).
Tabel 2.1 Faktor Resiko, prevalensi dan populasi angka kejadian Tuberkulosis
(Narasimhan dkk, 2013)
Risk Factor
(Reference)
Relative risk for
active TB disease
(range)
Weighted
prevalence, total
population, 22 TB
high burden
countries
Population
attributable
fraction (range)
HIV infection
Malnutrition
Diabetes
Alcohol use
>40g/day
Active smoking
Indoor pollution
8.3 (6.1-10.8)
4.0 (2.0-6.0)
3.0 (1.5-7.8)
2.9 (1.9-4.6)
2.6 (1.6-4.3)
1.5 (1.2-3.2)
1.1%
17.2%
3.4%
7.9%
18.2%
71.1%
7.3% (5.2-6.9)
34.1% (14.7-46.3)
6.3% (1.6-18.6)
13.1% (6.7-22.2)
22.7% (9.9-37.4)
26.2% (12.4-61.0)
2.2.9 Diagnosa dan Pemeriksaan Tuberkulosis Paru
Pertimbangan diagnosa penyakit tuberkulosis (TB) sebagai langkah pertama
yang harus dilakukan sebelum evaluasi lebih lanjut, diagnosis, dan manajemen
dilakukan. Diagnosis penyakit TB sering diabaikan karena banyaknya kegagalan
dalam mendiagnosa, sementara diagnosis definitif mungkin melibatkan
penambahan laboratorium dan temuan radiografi, tingkat tinggi kecurigaan
kejadian Tuberkulosis dapat didasarkan pada epidemiologi, riwayat
medis/Gambaran Klinis dan pemeriksaan fisik. Dalam mempertimbangkan
penyakit TB, hal ini juga penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi presentasi khas TB, seperti usia pasien, status nutrisi dan
penyakit bersamaan (Chandra, 2012).
2.2.9.1 Gambaran Klinik
Diagnosa penyakit Tuberkulosis (TB) dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya (PDPI, 2006).
23
1. Gejala Klinik
Gejala klinik penyakit tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik (PDPI,
2011).
a) Gejala respiratorik
• batuk ≥ 3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
• Malaise (PDPI, 2011)
Gejala respiratorik yang timbul sangat bermacam-macam, dari mulai tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi, terkadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak akan mengalami gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk
diperlukan agar dahak yang muncul terbuang keluar. Gejala tuberkulosis ekstra
paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak merasakan nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (Kemenkes RI,
2011).
b) Gejala Sistemik
Gejala sistemik meliputi (PDPI, 2011) :
1) Demam
Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya
dirasakan pada sore dan malam hari mirip demam gejala influenza,
24
hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa
bebas serangan makin pendek.
2) Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain seperti berkeringat saat malam hari,
anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi gejala akut
yang muncul disertai batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat
juga timbul menyerupai gejala pneumonia (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011).
2.2.9.2 Pemeriksaan Jasmani
Diagnosa pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak
ditemukan suatu kelainan. Gejala penyakit paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Diagnosa pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak, pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (DepKes RI, 2008).
2.2.9.3 Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menentukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan yang
digunakan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
25
pengambilan dahak dilakukan selama 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau
dengan cara:
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu/spot (saat mengeluarkan dahak pagi) (KemenKes RI, 2014)
2.2.9.4 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik bila digunakan dengan tepat, foto thorax memegang
peranan penting sebagai pendeteksi TB paru. Tuberkulosis sering kali didapatkan
pada foto thorax yang awalnya diperiksa untuk kepentingan medical check-up dan
pemeriksaan untuk operasi. Pada pasien dengan sputum (dahak) BTA positif, foto
thorax berperan penting dalam menilai luas lesi serta komplikasi yang terjadi. Pada
akhir pengobatan TB, foto thorax berperan dalam penilaian sekuele di paru serta di
pleura (selaput paru) ( KemenKes RI, 2011).
2.2.9.5 Uji Kepekaan Obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi kuman
Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk
menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam
menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan
pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien
TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu
GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi
(Aditama, 2006).
26
Skema alur diagnosis Tuberkulosis paru (Aditama, 2006)
2.2.10 Penatalaksaan Terapi Tuberkulosis Paru
Terapi TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki kualitas
hidup, meningkatkan produktivitas pasien, mencegah kematian, kekambuhan dan
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (WHO, 2009).
2.2.10.1 Terapi Farmakologi
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan untuk pasien
TB paru dibagi menjadi 2 tahapan yaitu tahap awal (tahap intensif) dan tahap
lanjutan (DepKes RI, 2008).
Pengobatan tahap awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Selain itu, apabila
pengobatan tahap ini dilakukan dengan tepat biasanya pasien yang menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Lebih jauh lagi, sebagian besar pasien
27
TB dengan BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap
lanjutan pasien akan memperoleh jenis obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahapan ini berguna untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (DepKes RI, 2008).
1) Tahap awal (intensif) :
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (DepKes, 2014)
2) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2014).
2.2.10.2 Panduan OAT di Indonesia Jenis dan Obat Anti Tuberkulosis
Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket
kombinasi berupa Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Tablet OAT KDT terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat yang dikemas dalam satu tablet. Dosis obat
disesuaikan dengan berat badan penderita TB. Sediaan seperti ini dibuat dengan
tujuan untuk memudahkan dalam pemberian obat dan menjamin kelangsungan
pengobatan sampai pengobatan tersebut selesai dilakukan (Depkes, 2014).
1) Kategori 1 (2HRZE/4(HR)3)
Obat kategori 1 diberikan selama 2 bulan (2HRZE) kemudian diteruskan
dengan pengobatan lanjutan obat isoniazid dan rifampisin (R), dikonsumsi 3
kali seminggu dalam kurun waktu 4 bulan (4HR3). Kategori 1 diberikan untuk
pasien baru: TB paru BTA+ , TB Paru foto toraks dada positife BTA- dan TB
ekstra paru (KemenKes RI, 2015).
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 (Kemenkes
RI, 2015)
28
Berat Badan
(Kg)
Tahap intensif setiap hari selama
56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap lanjutan setiap 3
minggu selama 16 hari
HR ( 150/150)
30-37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
≥ 71 kg
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
2 tablet 2 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 2 KDT
2) Kategori 2 (Tahap Intensif) : 2 (HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Pengobatan tahap intensif diberikan selama kurun waktu 3 bulan terdiri
dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin dilanjutkan dengan 1
bulan HRZE setiap hari. Kemudian diberikan HRE selama 5 bulan 3 kali
seminggu. Pengobatan kategori 2 diberikan bagi pasien kambuh (relaps), pasien
gagal (failure) dan pasien dengan riwayat putus berobat (default) (KemenKes
RI, 2015).
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
(KemenKes RI, 2015)
Berat
Badan (kg)
Tahap Intensif tiap hari RHZE
(150/75/400/275)mg + Streptomisin
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu RH
(150/150)mg +
etambutol (400)mg
Kurun waktu 56 Hari Kurun waktu 28 hari Kurun waktu 20
minggu
30 – 37 kg 2tab 4 KDT+ 500mg
S
2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT
+ 2 tab Ethambutol
38 – 54 kg 3tab 4KDT + 750mg
S
3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT
+ 3 tab Ethambutol
55 – 70 kg 4tab 4KDT + 1g S 4 tab 4 KDT tab 2 KDT
+ 4 tab Ethambutol
≥ 71 kg 5tab 4KDT + 1g S 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT+5 tab
EEthambutol
3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Pengobatan kategori 3 terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) diberikan selama 2 bulan diteruskan dengan tahapan lanjutan
29
terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) diberikan selama 4 bulan 3 kali
seminggu. Kategori 3 diberikan bagi pasien baru BTA negatif rontgen positif
sakit ringan dan pasien Tuberkulosis ektra paru ringan (KemenKes RI, 2015).
2.2.10.3 Jenis dan Obat Anti Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis harus diobati dengan beberapa obat kombinasi untuk
mencegah timbulnya resistensi, jenis obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai,
antara lain:
1) Isoniazid (INH)
Isoniazid dikenal dengan singkatan INH. Nama lain isoniazid adalah
Asam nicotinathidrazida yang bersifat bakterisid. Isoniazid (INH) dapat
membunuh kuman 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu
kuman yang sedang berkembang. Dosis yang digunakan untuk pencegahan
yaitu dewasa 300 mg satu kali sehari, anak anak 10 mg/berat badan sampai 300
mg diminum satu kali sehari. Bagi orang dewasa pengobatan TB diberikan
sesuai dengan petunjuk dokter/petugas kesehatan lainnya. Penggunaan obat
umumnya dipakai bersamaan dengan OAT lainnya. Dalam kombinasi biasa
dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan
900 mg, kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu (KemenKes, 2011).
2) Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid dapat membunuh kuman persister yang
tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Pengobatan untuk dewasa dan anak yang
beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari, atau 600 mg 2 – 3 kali semingg
(KemenKes, 2011).
3) Pirasinamid (Z)
Pirasinamid (z) bersifat bakterisid mampu membunuh kuman yang
berada dalam sel dengan suasana asam. Dewasa dan anak sebanyak 15 – 30 mg
per kg berat badan, satu kali sehari. Atau 50 – 70 mg per kg berat badan 2 – 3
kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti tuberkulosis
lainnya (KemenKes, 2011).
4) Streptomisin (S)
30
Streptomisin bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang sedang
membelah diri. Streptomisin hanya digunakan melalui suntikan intra muskular
(IM), setelah dilakukan uji sensitifitas.Dosis yang direkomendasikan untuk
dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25
– 30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5 gram 2 – 3 kali seminggu
(KemenKes, 2011).
5) Ethambutol (E)
Ethambutol bersifat sebagai anti bakteriostatik yaitu menekan
pertumbuhan kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) yang telah resisten
terhadap Isoniazid (INH) dan streptomisin. Pengobatan untuk dewasa dan anak
berumur diatas 13 tahun, dengan dosis 15 -25 mg per kg berat badan, satu kali
sehari. Pengobatan awal diberikan 15 mg / kg berat badan, dan pengobatan
lanjutan 25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan 50
mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali se minggu. Obat ini harus
diberikan bersama dengan obat anti tuberculosis (OAT) lainnya. Ethambutol
tidak diberikan untuk anak dibawah 13 tahun dan bayi (KemenKes, 2011).
2.2.10.4 Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita Tuberkulosis (TB) paru dapat menyelesaikan terapi
pengobatan tanpa efek samping, namun ada juga yang mengalami efek samping
dari obat. Pemantauan efek samping sangatlah penting untuk dilakukan agar
mengurangi kesalahan dalam terapi dengan cara pemberian informasi dan edukasi
kepada penderita terkait tanda-tanda efek samping obat yang kemungkinan terjadi
(DepKes, 2008).
31
Tabel 2.4. Efek samping OAT dan cara penangganannya (DepKes RI, 2008)
Efek Samping Kemungkinan Penyebab Cara Penanganan
Ringan :
Tidak ada nafsu
makan, mual, sakit
perut
Nyeri Sendi
Kesemutan sampai
rasa terbakar dikaki
Urine berwarna mrah
Rifampisin
Pirasinamid
Isoniazid
Rifampisin
Semua OAT diminum
malam sebelum tidur
dan diberi obat Aspirin
Diberi Vitamin B6
(piridoksin) 100 mg
perhari
Tidak perlu diberi apa-
apa , tapi perlu
diinformasikan
kepasien
Tidak perlu diberi apa-
apa , tapi perlu
diinformasikan
kepasien
Berat:
Gatal dan kemerahan
pada kulit
Tuli
Gangguan
Keseimbangan
Ikterus tanpa
penyebab lain
Bingung dan muntah-
muntah
Gangguan
penglihatan
Syok
Semua Jenis Oat
Streptomisin
Streptomisin
Hampir semua OAT
Hampir semua OAT
Ethambutol
Rifampisin
Ikuti petunjuk
pelaksaan yang
diberikan
Streptomisin
dihentikan
Streptomisin
dihentikan diganti
etambhutol
Semua OAT
dihentikan sampai
ikterus menghilang
Semua OAT
dihentikan, kemudian
lakukan tes fungsi hati
Ethambutol dihentikan
Rifampisin dihentikan
2.3 Konsep Dasar Pengetahuan (Knowledge)
2.3.1 Defini Pengetahuan
Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera
yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek tertentu untuk dapat menghasilkan
32
pengetahuan dan ketrampilan. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba, sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan (knowledge)
atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behavior) (Notoadmodjo, 2012). Pengetahuan tentang
pengobatan Tuberkulosis Paru adalah pengertian dari responden tentang
pengobatan TB Paru dengan menggunakan paduan OAT paru secara tepat, teratur
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan (Ariani, 2015).
2.3.2 Kategori Pengetahuan
Pengetahuan dibagi dalam 3 kategori (Arikunto, 2010) :
A. Baik : Bila subyek mampu menjawab 76% - 100% dengan benar
dari sepuluh pertanyaan.
B. Cukup : Bila subyek mampu menjawab 56% - 75% dengan benar
dari sepuluh pertanyaan.
C. Kurang : Bila subyek mampu menjawab 40% - 55% dengan benar
dari sepuluh pertanyaan.
2.3.3 Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan,
yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu berarti seseorang tersebut dapat mengingat kembali materi yang
pernah dipelajari sebelumnya dengan cara menyebutkan, menguraikan,dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
2. Memahami (comprehension)
Memahami yaitu mampu untuk dapat menjelaskan sesuatu yang telah
dipelajari sebelumnya dengan jelas serta dapat membuat suatu kesimpulan dari
suatu materi (Notoatmodjo, 2010).
3. Aplikasi (application)
Aplikasi berarti seseorang mampu untuk menerapkan materi yang telah
dipelajari ke dalam sebuah tindakan yang nyata (Notoatmodjo, 2010).
4. Analisis (analysis)
33
Analisis merupakan tahap dimana seseorang telah dapat menjabarkan
masing-masing materi, tetapi masih memiliki kaitan satu sama lain. Dalam
menganalisis, seseorang bisa membedakan atau mengelompokkan materi
berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan (Notoatmodjo, 2010).
5. Sintesis (synthetis)
Sintesis adalah kemampuan seseorang dalam membuat temuan ilmu yang
baru berdasarkan ilmu lama yang sudah dipelajari sebelumnya (Notoatmodjo,
2010).
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ialah ingkatan pengetahuan yang paling tinggi. Dari hasil
pembelajaran yang sudah dilakukan, seseorang dapat mengevaluasi seberapa
efektifnya pembelajaran yang sudah ia lakukan. Dari hasil evaluasi ini dapat
dinilai dan dijadikan acuan untuk meningkatkan strategi pembelajaran baru
yang lebih efektif lagi (Notoatmodjo, 2010).
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
2.3.4.1 Faktor pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan yang
berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2010). Semakin tinggi pengetahuan
seseorang, maka akan semakin mudah kemampuan untuk menerima informasi
tentang obyek atau yang berkaitan dengan pengetahuan. Pengetahuan umumnya
diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh orang tua, guru, dan media masa.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan seseorang, maka akan
semakin mudah untuk menerima, serta mengembangkan pengetahuan dan
teknologi (Fitriani, 2015).
2.3.4.2 Faktor pekerjaan
Pekerjaan seseorang sangat berpengaruh terhadap proses
mengakses/menerima informasi yang dibutuhkan terhadap suatu obyek
(Notoatmodjo, 2010).
34
2.3.4.3 Faktor pengalaman
Pengalaman seseorang sangat mempengaruhi pengetahuan, semakin banyak
pengalaman seseorang tentang suatu hal, maka akan semakin bertambah pula
pengetahuan seseorang akan hal tersebut. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
melalui wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2010).
2.3.4.4 Keyakinan
Keyakinan yang diperoleh oleh seseorang biasanya mampu didapat secara
turun-temurun dan tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu, keyakinan positif dan
keyakinan negatif dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo,
2010).
2.3.4.5 Sosial budaya
Budaya atau adat istiadat seseorang yang dilakukan tanpa penalaran apakah
yang dilakukan baik atau buruk akan menambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Kebudayaan berserta kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, presepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu (Notoatmodjo, 2010).
2.3.5 Cara Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan
tingkatan-tingkatan pengetahuan yang ada (Notoatmodjo, 2007). Penilaian hasil
jawaban benar dari masing-masing pertanyaan diberi angka 1 dan jika salah diberi
angka 0. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban
dengan skor yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya
prosentase dengan rumus yang digunakan sebagai berikut:
𝑁 =𝑆𝑃
𝑆𝑀 𝑥 100%
Keterangan :
N = nilai pengetahuan
SP = skor yang didapat
SM = skor maksimum
35
Selanjutnya prosentase hasil jawaban yang di interpretasikan dalam kalimat
kualitatif dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu :
1) Baik : bila subyek mendapatkan nilai benar 76% - 100% dari pertanyaan
yang diberikan.
2) Cukup : bila subyek mendapatkan nilai benar 56% - 75% dari pertanyaan
yang diberikan.
3) Kurang : bila subyek mendapatkan nilai benar ≤55% dari pertanyaan yang
diberikan (Arikunto, 2010).
2.4 Kepatuhan (Adherence)
Kepatuhan menurut WHO adalah sejauh mana perilaku seseorang minum
obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan
yang telah disepakati dan direkomendasikan oleh penyedia layanan kesehatan
(Gebremariam, dkk., 2010). Tingkat kepatuhan (adherence) pasien biasanya
dilaporkan sebagai suatu persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil
oleh pasien selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke dalam Nurina,
2012).
2.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
2.4.1.1 Pengetahuan
pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan seseorang terhadap proses menuju kesembuhan dalam pengobatannya.
Tingginya tingkat pengetahuan akan menunjukkan bahwa seseorang telah
mengetahui (tahu), mengerti dan memahami (paham) maksud dari pengobatan yang
mereka jalani. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
penyakitnya akan terdorong untuk patuh dengan pengobatan yang dijalani
(Notoatmodjo, 2011).
2.4.1.2 Motivasi Diri Sendiri
Motivasi merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan
seorang individu untuk mencapai tujuannya, dalam hal ini adalah kesembuhan dari
Tuberkulosis. Tingginya motivasi seseorang menunjukkan tingginya kebutuhan
36
maupun dorongan responden untuk mencapai sebuah kesembuhan (Hardiyati,
2013).
Motivasi atau keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri, menjadi faktor
utama pada tingginya tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani terapi obat TB
paru. Motivasi untuk tetap mempertahankan kesehatannya sangat mempengaruhi
terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien dalam mengontrol
penyakitnya (Pameswari dkk , 2015).
2.4.1.3 Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan suatu sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan. Ada beberapa jenis dukungan yang dapat diberikan oleh keluarga
diantaranya berupa; dukungan informasional (pemberian informasi), dukungan
penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional (Syasra PA, 2011).
Peran Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat diperlukan
untuk menjamin kepatuhan dan ketaatan pasien dalam mengonsumsi obat. PMO
sangat diperlukan pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan (resistensi) terhadap semua
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terutama Rifampisin. Jika pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA+ menjadi BTA+
(konversi) dalam kurun 2 bulan (pada akhir pengobatan intensif). Pada tahap
lanjutan pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit dari tahap awal, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (DepKES RI, 2008).
2.4.1.4 Peran Petugas (Sistem Pelayanan) Kesehatan
Peran petugas kesehatan sangat diperlukan oleh penderita penyakit
Tuberkulosis (TB) karena dari petugas kesehatanlah sebagian besar informasi
mengenai penyakit dan pengobatan diperoleh. Dukungan petugas kesehatan selain
berupa pemberian informasi dan edukasi, juga berupa pelayanan yang baik dan
sikap selama proses pelayanan. faktor pelayanan kesehatan mempengaruhi terhadap
37
kepatuhan berobat penderita TB paru. Faktor pelayanan kesehatan ini meliputi
penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, ketersediaan obat TB (OAT), mutu obat
TB (OAT), ketersediaan sarana transportasi dan jarak (Snewe, 2003).
2.4.1.5 Jumlah Obat yang Dikonsumsi
Jumlah obat yang dikonsumsi sering menjadi alasan munculnya
ketidakpatuhan pengobatan pada penyakit kronik terutama penyakit-penyakit yang
pengobatannya dalam jangka panjang, misalnya Tuberkulosis. Semakin banyaknya
obat yang harus dikonsumsi, semakin besar pula kemungkinan pasien untuk tidak
patuh dengan pengobatan yang dijalaninya (Olusegun et all, 2010).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan adalah sebagai berikut
(Kozier, 2010) :
1) Motivasi klien untuk sembuh
2) Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan
3) Persepsi keparahan masalah kesehatan
4) Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit
5) Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus
6) Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi
7) Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu atau tidak
membantu
8) Kerumitan efek samping yang diajukan
9) Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi sulit dilakukan
10) Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan dengan penyediaan
layanan kesehatan.
2.4.2 Mengukur Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis (TB) dapat diukur dengan
metode MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale). Secara khusus MMAS-
8 ini memuat skala untuk mengukur tingkat kepatuhan minum obat dengan 8 item
yang berisi pernyataan-pernyataan mengenai frekuensi kelupaan dalam minum
obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter, dan
kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat (Morisky dkk,
2011).
38
2.5 Teori Perilaku
Perilaku merupakan suatu respont atau reaksi seseorang terhadap rangsangan
dari luar terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respont (Notoatmodjo,
2010). Perilaku seseorang dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert
behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup yaitu respon
seseorang yang belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, sedangkan
perilaku terbuka yaitu respon dari seseorang dalam bentuk tindakan yang nyata
sehingga dapat diamati lebih jelas dan mudah (Fitriani, 2011).
Lawrence Green (1993) dalam Notoatmodjo (2014), menjelaskan bahwa
kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni
faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan
atau dibentuk dari 3 faktor :
1) Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor Predisposisi meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai-nilai dan sebagainya.
2) Faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor pendukung meliputi lingkungan fisik, tersedianya atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.
3) Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)
Faktor pendorong meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.