38
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian di bidang promosi pariwisata, terutama yang melibatkan pemanfaatan film masih sangat kurang dilakukan di Indonesia. Penelitian- penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai pemasaran dan promosi pariwisata banyak mengulas pada strategi pemasaran secara umum (Dewi, 2012; Nugraha, 2012). Hal ini mungkin disebabkan oleh masih kurang disadarinya peran publikasi melalui karya fiksi seperti film serta pemanfaatan film tourism bagi promosi destinasi pariwisata. Promosi produk melalui dunia hiburan juga memiliki kelebihan dibandingkan iklan karena proses penerimaan penonton yang berbeda (Hackely dkk, 2006). Namun, penelitian-penelitian mengenai narasi dan film untuk promosi pariwisata masih lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti dari luar negeri (Busby dkk, 2001; Amir dkk, 2009; Green dkk, 2010; Hudson dkk, 2011; Vagionis dan Loumioti, 2011; Araujo, 2013; Connel, 2012; Skinner, 2014). Dewi (2012), mengevaluasi strategi promosi yang digunakan dalam usaha meningkatkan kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata istana Pagaruyungan Sumatera Barat. Data penelitian tersebut didapatkan dengan menyebar kuisioner seratus kuisioner masing-masing kepada masyarakat Pagaruyungan dan wisatawan nusantara, sedangkan wawancara dengan wisatawan asing dilakukan terhadap empat puluh tujuh wisatawan. Hasil dari penelitian tersebut didapati bahwa hanya 9% dari masayrakat Pagaruyungan dan 41% wisatawan nusantara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL

PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian di bidang promosi pariwisata, terutama yang melibatkan

pemanfaatan film masih sangat kurang dilakukan di Indonesia. Penelitian-

penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai pemasaran dan promosi

pariwisata banyak mengulas pada strategi pemasaran secara umum (Dewi, 2012;

Nugraha, 2012). Hal ini mungkin disebabkan oleh masih kurang disadarinya peran

publikasi melalui karya fiksi seperti film serta pemanfaatan film tourism bagi

promosi destinasi pariwisata. Promosi produk melalui dunia hiburan juga

memiliki kelebihan dibandingkan iklan karena proses penerimaan penonton yang

berbeda (Hackely dkk, 2006). Namun, penelitian-penelitian mengenai narasi dan

film untuk promosi pariwisata masih lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti

dari luar negeri (Busby dkk, 2001; Amir dkk, 2009; Green dkk, 2010; Hudson dkk,

2011; Vagionis dan Loumioti, 2011; Araujo, 2013; Connel, 2012; Skinner, 2014).

Dewi (2012), mengevaluasi strategi promosi yang digunakan dalam usaha

meningkatkan kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata istana Pagaruyungan

– Sumatera Barat. Data penelitian tersebut didapatkan dengan menyebar kuisioner

seratus kuisioner masing-masing kepada masyarakat Pagaruyungan dan

wisatawan nusantara, sedangkan wawancara dengan wisatawan asing dilakukan

terhadap empat puluh tujuh wisatawan. Hasil dari penelitian tersebut didapati

bahwa hanya 9% dari masayrakat Pagaruyungan dan 41% wisatawan nusantara

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

21

yang mendapat informasi tentang istana Pagaruyungan melalui media. Pada

wawancara terhadap wisatawan mancanegara, 17% di antaranya antusias dengan

destinasi pariwisata istana Pagaruyungan, namun hanya 1% yang mendapatkan

informasi melalui internet. Simpulan yang didapatkan oleh peneliti adalah bahwa

pemerintah dirasakan masih kurang melakukan kegiatan promosi untuk istana

Pagaruyungan. Peneliti juga menyinggung mengenai pentingnya partisipasi

masyarakat dalam mempromosikan destinasi tersebut. Rekomendasi yang

diberikan dari penelitian tersebut adalah dengan meningkatkan promosi pariwisata

melalui media lokal dan nasional, baik cetak maupun elektronik, pembuatan

brosur wisata, serta promosi melalui media internet.

Nugraha (2012), mengkaji mengenai pengimplementasian program

Sightseeing Denpasar sebagai bagian dari program promosi pariwisata yang

mendukung Visit Indonesia Year. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk

mengetahui bagaimana program Sightseeing Denpasar tersebut dicanangkan,

bagaimana pengimplementasiannya, serta bagaimana dampak yang dihasilkan dari

program tersebut. Nugraha melakukan kajian kualitatif dengan menggunakan teori

pemasaran dan promosi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, pertama,

program Sightseeing Denpasar yang mulanya dicanangkan untuk mendukung

program Visit Indonesia Year telah berkembang menjadi lebih dominan sebagai

suatu program promosi pariwisata bagi Denpasar itu sendiri. Kedua, implementasi

program Sightseeing Denpasar dilakukan dalam tiga tahapan yaitu pengadaan

program pariwisata unggulan, melaksanakan program promosi pariwisata kota

Denpasar, dan penyuluhan kepariwisataan di kota Denpasar. Program promosi

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

22

yang dilakukan meliputi promosi langsung dan tidak langsung. Program promosi

langsung dilakukan dengan mengikuti pameran nasional dan internasional serta

mengadakan table top di daerah-daerah lain. Program promosi tidak langsung

dilakukan dengan memanfaatkan website dan iklan media cetak maupun

elektronik. Hasil ketiga yang didapatkan adalah bahwa program Sightseeing

Denpasar memberikan pengaruh positif kepada jumlah kunjungan wisatawan ke

kota Denpasar.

Kedua contoh penelitian di atas merupakan kajian mengenai strategi

promosi yang perlu dilakukan maupun sudah dilakukan suatu destinasi. Ulasan

mengenai masing-masing jenis media promosi yang biasa direkomendasikan

masih belum banyak dilakukan. Sebagai contoh, rekomendasi yang diberikan

adalah dengan membuat iklan pariwisata untuk mempromosikan destinasi yang

dimaksud, namun kajian mengenai bagaimana suatu iklan pariwisata idealnya

dibuat, maupun bagaimana evaluasi mengenai iklan pariwisata yang sudah ada

masih belum banyak dilakukan. Untuk mendapatkan suatu rumusan bentuk

promosi yang dapat diadopsi oleh suatu destinasi juga dapat dilakukan dengan

meneliti media-media promosi yang diadopsi destinasi lainnya. Kelebihan dan

kekurangan dari praktek yang sudah dilakukan oleh destinasi lain dapat dijadikan

masukkan untuk membuat bentuk-bentuk promosi yang lebih baik.

Pada penelitian ini, dibahas mengenai bagaimana suatu narasi yang dibuat

dengan baik dapat memberikan dampak promotif bagi destinasi yang

bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan fenomena kisah naratif yang dapat

mempengaruhi perilaku manusia Green dkk (2010), berpendapat bahwa pembaca

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

23

yang mengetahui bahwa mereka sedang membaca narasi karya sastra akan

memiliki keterlibatan yang lebih mengikat dibandingkan pembaca yang

menyadari bahwa mereka sedang membaca berita. Pembaca narasi dapat

mengalami proses yang disebut Green dan Brock (2000, dalam Green dkk, 2010)

sebagai “transportasi ke dalam dunia naratif”. Pembaca yang tertransportasi akan

merasa bahwa mereka bisa melihat adegan-adegan naratif tersebut di hadapan

mereka. Respon positif terhadap tokoh-tokoh simpatik di dalamnya juga

meningkat seiring meningkatnya kadar ter-„transportasi‟ yang dialami pembaca.

Keadaan terpesona dengan narasi membuat pembaca tidak mampu maupun tidak

ingin untuk meragukan cerita yang dibacanya (Gilbert, 1991; Gilbert dkk, 1993

dalam Green dkk. 2010).

Pemanfaatan narasi karya sastra dalam pemasaran destinasi salah satunya

diteliti oleh Busby dkk (2001). Analisis terhadap „L'Impromptu de Madrid‟ karya

Marc Lambron and „Mysteries of Madrid‟ oleh Antonio Munoz Molina

menunjukkan bahwa narasi mampu memberikan gambaran mengenai kota Madrid

dan juga berperan dalam menarik kunjungan pariwisata ke kota Madrid. Pada dua

novel tersebut, wisatawan bukan hanya mampu membaca gambaran fisik kota

Madrid namun juga beserta segala kondisi sosial masyarakat yang terpapar pada

penulis saat penulisan. Dalam kajiannya, Busby dkk, juga menggunakan

argumentasi Marc Auge (1998) bahwa wisatawan melihat pengalaman

berwisatanya berdasarkan gambaran melalui narasi yang sudah diterima

sebelumnya.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

24

Connell (2012) menjelaskan bahwa perkembangan pariwisata sastra,

seperti yang menjadi tema penelitian Busby dkk (2001), merupakan cikal bakal

berkembangnya film tourism. Persepsi calon wisatawan terhadap suatu destinasi

dapat dibentuk dari penampilan suatu narasi film. Iwashita (2008, dalam Connell,

2012) menemukan dalam risetnya bahwa karakter yang ditampilkan dalam suatu

narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap

destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang dibentuk juga dapat terdistorsi

dengan adanya kendala misintepretasi antara sineas, destinasi itu sendiri, target

penonton yang disasar, budaya, orang, dan tempat yang difilmkan (Connel, 2012).

Connell (2012), memberikan evaluasi berdasarkan studi pustaka terhadap

perkembangan penelitian di bidang film tourism. Melalui tulisannya, Connell

menjelaskan pentingnya penelitian yang mengunakan pendekatan antar disiplin

ilmu untuk memahami film tourism secara lebih komprehensif. Hasil studi

tersebut membagi ranah penelitian film tourism ke dalam dua ranah besar, yaitu

dari ranah praktik dan ranah konseptual. Ranah praktis meneliti hal-hal yang

berkaitan dengan implikasi film tourism terhadap pengelolaan dan pemasaran

suatu destinai serta kesempatan dan tantangan yang ditimbulkan. Penelitian-

penelitian di ranah ini umumnya dilakukan secara empiris terhadap lokasi maupun

film tertentu. Ranah konseptual yang mengekplorasi hal-hal yang berkontribusi

dalam membentuk aktifitas, makna, dan respon yang timbul dari film sehubungan

dengan kegiatan film tourism. Kajian terhadap makna dan simbol dilihat dari

sudut pandang sinema dan pariwisata sebagai sebuah praktek sosial serta

hubungan antara keduanya.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

25

Pada tulisannya, Connell (2012) juga menyampaikan pentingnya kajian di

bidang film tourism dikarenakan beberapa hal, yaitu perkembangan penelitian di

bidang ini telah berkembang sangat pesat selama lebih dari sepuluh tahun terakhir,

kemudian semakin berkembangnya tema-tema pemelitian di bidang ini, serta

pentingnya membuat penelitian film tourism dari sudut pandang beberapa sub

disiplin. Tema-tema penelitian yang banyak berkembang meliputi konsumerisme

yang ditimbulkan oleh film tourism, bisnis film tourism, dan juga mengenai

pengidentifikasian suatu lokasi dikarenakan keberadaan film. Penggabungan

beberapa sub disiplin ilmu dalam mengkaji film tourism diharapkan mampu

membantu memahami film tourism dari segi konsep dan stimulasi-stimulasi yang

membuat wisatawan terkoneksi dengan gambar, tema, dan lokasi film. Sub

disiplin ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu geografi kebudayaan, sosial, dan film.

Connel (2012: 1013) menuliskan bahwa film tourism dianggap sebagai

“cultural and spatial application in a world dominated by image and iconography”

(aplikasi kultural dan spasial dalam dunia yang didominasi oleh citra dan

ikonografi). Oleh karenanya, pendekatan geografi kebudayaan menjadi salah satu

sub disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengkaji film tourism. Dalam

kaitannya dengan ilmu sosial, film tourism dapat dilihat dari proses pembuatan

dan proses konsumsi yang meliputi penggunaan, pemaknaan dan reaksi terhadap

film tourism. Terdapat suatu fenomena yang dijelaskan Connell (2012: 1013)

bahwa penawaran untuk mengunjungi suatu lokasi yang berkaitan dengan suatu

film dapat menjadi lebih menarik daripada kualitas-kualitas utama yang dimiliki

oleh lokasi tersebut. Ilmu perfilman menawarkan sudut pandang sosial psikologi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

26

dan semiotika dalam melihat film tourism. Connell (2012: 1014) menjelaskan

bahwa muatan makna dan simbol yang memenuhi suatu film memungkinkan

untuk menimbulkan kemampuan untuk mempengaruhi respon penonton dalam

suatu kerangka sistem sosial dan budaya tertentu sehingga dapat berpotensi

menimbulkan kesadaran dan ketertarikan terhadap lokasi pembuatan film.

Penempatan fitur-fitur pariwisata dapat juga disejajarkan dengan praktek

Product Placement. Penempatan suatu produk pada media hiburan dapat

memberikan efek yang lebih dalam dibandingkan iklan. Hackley dan Tiwsakul

(2006), menjelaskan mengenai penempatan merk produk pada media hiburan.

Merk tidak boleh terlihat berdiri sendiri di luar konteks hiburan maupun terlihat

seperti suatu promosi berlebihan. Iklan dan media hiburan memiliki jalinan

hubungan yang berbeda dengan penonton. Pada media hiburan, penonton tidak

menyadari adanya anjuran untuk melakukan transaksi ekonomi, karena simbol-

simbol emosional di antara keduanya berbeda. Hal ini menjadikan pengkajian

pelekatan produk pada dunia hiburan tidak dapat disamakan dengan pengkajian

iklan pada umumnya (Hackley dan Tiwsakul, 2006).

Merk-merk produk yang dihadirkan dalam media hiburan, termasuk film,

disisipkan secara halus ke dalam narasi dan menjadi bagian dari plot. Keberadaan

merk-merk tersebut dikuatkan dengan adanya interaksi dengan tokoh. Penyisipan

merk ke dalam narasi juga memberikan kelebihan dalam hal segmentasi dan target

pasar, sebab narasi yang berbeda membawa pada kesan yang berbeda tergantung

dari segmen yang didramatisasikan. Penonton membawa cerminan tokoh ke

dalam dirinya, termasuk pada perilaku ekonominya (Hackley dan Tiwsakul, 2006)

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

27

Hackley dan Tiwsakul (2006) menambahkan bahwa penempatan merk

harus ditangani hati-hati. Pada kasus-kasus dimana merk secara jelas terlihat

seperti iklan, terdapat umpan balik yang negatif. Efek positif terhadap citra merk

hanya akan timbul jika merk tersebut mengambil peran dalam narasi, bukan hanya

sekedar hadir pada salah satu frame. Penempatan merk yang memiliki relefansi

dan digunakan secara proporsional oleh tokoh ataupun selebritis yang

bersangkutan akan memberikan efek anjuran untuk menggunakan.

Pengidentifikasian diri penonton dengan tokoh dalam film menjadikan Product

Placement memiliki gaung yang lebih kuat.

Karakter pemasaran melalui dunia hiburan yang berbeda dengan iklan

konvensional ini membutuhkan pendekatan-pendekatan penelitian yang berbeda.

Hackley dan Tiwsakul (2006) mengajukan tiga topik untuk mengkaji

Entertainment Marketing ini, yaitu Representasi Merk, Pengalaman Konsumen,

dan Identifikasi Konsumen. Representasi merk memiliki kaitan dengan konteks

sosial dimana merk ditempatkan. Pada kasus film, simbolisasi yang disajikan

secara sinematografis memberikan pengaruh pada citra merk. Konteks emosional

budaya pada film akan melekat pada merk. Pengalaman-pengalaman yang dialami

oleh setiap konsumen ketika menonton suatu film juga berbeda-beda antara satu

dengan lainnya, sehingga dapat menghasilkan berbagai interpretasi. Narasi-narasi

dramatis memungkinkan ekspos yang lebih besar kepada merk, namun apakah

identifikasi konsumen terhadap suatu merk sesuai dengan yang diharapkan? Oleh

karenanya, merk yang dilekatkan pada Entertainment Marketing harus dapat

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

28

memberikan pengalaman kultural yang dapat dipahami oleh merk dan konsumen

secara linear.

Vagionis dan Loumioti (2011) menerangkan bahwa secara Internasional,

film telah menjadi bagian penting dari pemasaran suatu destinasi wisata. Efek

yang ditimbulkan dari promosi jenis ini diperkuat oleh kehadiran perilaku tokoh

pada latar belakang lokasi tertentu. Identifikasi penonton terhadap tokoh, baik

secara sadar maupun tidak, telah mempengaruhi motivasi untuk mengunjungi

suatu destinasi yang ditampilkan.

Proses membuat pilihan wisata cenderung dipengaruhi oleh hal-hal yang

dilihat pada hasil-hasil produk hiburan, seperti film (Butler, 1990, Gartner, 1993,

Hyounggon dan Richardson, 2003, dalam Vagionis dan Loumioti, 2011). Prinsip

penyisipan pesan-pesan promosional untuk mengunjungi destinasi pariwisata

berlaku seperti halnya peletakan produk (Product Placement). Ketidaksadaran

akan adanya pesan promosional dalam film menjadikannya alat komunikasi yang

efektif. Pembentukan citra yang ditimbulkan oleh tokoh dan cerita menjadikan

efek film tetap efektif menarik wisatawan bahkan setelah beberapa tahun setelah

penayangan awal (Vagionis dan Loumioti, 2011).

Vagionis dan Loumioti (2011) mengemukakan harapan agar badan

promosi pariwisata mampu mengelola film induced tourism dengan efisien tanpa

bias, dan terus mengikuti implilkasinya terhadap citra dan pemasaran destinasi

yang bersangkutan. Banyak destinasi yang mengkhawatirkan besarnya investasi

yang harus diletakkan pada produksi film tourism tidak akan berbanding lurus

dengan hasil yang didapatkan. Pada beberapa destinasi yang telah menerapkan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

29

promosi pariwisata melalui Film Tourism, mereka menggunakan jasa professional

dalam hal komunikasi atau hubungan masyarakat, agar konten film dapat

menyampaikan pesan yang maksimal. Vagionis juga memberikan contoh

beberapa destinasi yang mengelola film tourism dengan serius, seperti Chicago,

Kansas, Australia, dan New Zealand. Destinasi-destinasi ini menggunakan jasa

pihak ketiga sebagai konsultan untuk merancang komunikasi pemasaran melalui

film.

Pada artikel ini, Vagionis dan Loumioti (2011) menyimpulkan bahwa

wisatawan membentuk citra sentimental dari suatu destinasi melalui informasi

naratif yang telah dimiliki sebelumnya. Informasi naratif ini banyak diberikan

oleh film yang mengambil suatu destinasi sebagai latarnya. Paris selalu

diasosiasikan dengan romantisme karena sering kali digunakan sebagai lokasi

film-film romantis. Melalui proses identifikasi dengan tokoh dalam film, penonton

ingin mengalami hal yang sama dengan yang ditampilkan dalam film dengan cara

mengunjungi lokasi yang bersangkutan. Eksplorasi terhadap pemanfaatan aspek

sinematografi harus dilakukan untuk memperkuat keunikan lokal, merk destinasi,

dan daya tarik wisata. Sebagai suatu media yang memiliki efek besar, film tourism

harus dikelola dengan lebih seksama. Penyediaan infrastruktur yang baik di

destinasi juga menjadi bagian di dalamnya.

Kecenderungan wisatawan film untuk memberikan nilai sentimental pada

suatu destinasi tercermin pada penelitian Zeng dkk (2015) mengenai persepsi

wisatawan Cina terhadap citra pariwisata di Korea Selatan. Pada penelitian

tersebut ditemukan adanya perbedaan antara persepsi wisatawan film dan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

30

wisatawan non film. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 311 responden

wisatawan Cina yang ditemui di kawasan pariwisata Myeongdong, Seoul Tower,

dan Dongdaemun. Tempat-tempat ini dipilih karena sering ditampilkan dalam

drama-drama Korea. Persepsi wisatawan disurvey berdasarkan citra kognitif

destinasi dan citra afektif destinasi. Hasilnya, secara kognitif, persepsi wisatawan

film terhadap atribut keamanan, kemudahan dalam bepergian, variasi makanan,

keramahtamahan, dan atraksi sejarah memiliki skor yang lebih tinggi secara

signifikan dibandingkan skor wisatawan non film. Pada atribut afektif, penilaian

wisatawan film terhadap Korea Selatan sebagai tempat yang nyaman dan menarik

adalah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian wisatawan non film

terhadap atribut yang sama.

Plot film juga dapat mempengaruhi kesan penonton terhadap suatu

destinasi. Seperti telah disinggung pada bagian latar belakang, salah satu kendala

dalam memanfaatkan film sebagai iklan pariwisata adalah bahwa film-film yang

mengetengahkan suatu destinasi sebagai latarnya belum tentu diproduksi untuk

mendukung promosi pariwisata. Plot yang ditampilkan di dalam film bisa saja

menampilkan karakter-karakter yang tidak sesuai dengan tujuan promosi

pariwisata. Salah satu penelitian mengenai efek film dengan plot yang memuat

adegan-adegan negatif terhadap citra destinasi serta keinginan mengunjungi suatu

destinasi dilakukan oleh Amir dkk (2009), Hudson dkk (2011), serta Araujo

(2013). Pada penelitian-penelitian tersebut ditemukan bahwa plot yang negatif

dapat menggeser pendapat penonton terhadap lokasi yang ditampilkan dalam film,

walaupun tidak memberikan perubahan drastis terhadap citra umum destinasi.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

31

Amir dkk (2009), meneliti mengenai pengaruh film yang berlatar belakang

sejarah terhadap citra Amerika Selatan sebagai sebuah destinasi pariwisata. Film

yang dipilih dalam penelitian adalah „Motorcycle Diaries‟ yang mengisahkan

petualangan Che Guavara melintasi beberapa negara di Amerika Selatan. Film ini

dipilih karena film ini banyak memperlihatkan adegan-adegan yang menunjukkan

adanya kemiskinan, eksploitasi manusia, penindasan dan pencabutan hak memilih

di Argentina, Chile, dan Peru. Selain itu terdapat pula adegan yang berlatar koloni

lepra dan menunjukkan cuaca yang beresiko. Faktor Che Guavara sebagai seorang

tokoh kontroversial juga menjadi salah satu alasan dipilihnya film ini.

Penelitian dilakukan terhadap 215 mahasiswa S1 dari sebuah universitas

ternama di Amerika Serikat bagian Selatan yang belum pernah menonton film

„Motorcycle Diaries‟ sebelumnya. Penayangan film dilakukan dalam suasana

kelas dan responden diminta untuk mengisi survey sebelum dan sesudah

menonton film. Responden diminta untuk melakukan penilaian dengan skala

Likert 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Survey terbagi ke dalam

tiga bagian. Bagian pertama berisi tigapuluhempat atribut kognitif yang berkaitan

dengan citra Amerika Selatan sebagai sebuah destinasi wisata. Bagian kedua dari

survey memuat empat sifat-sifat afektif yang dapat mewakili opini responden

terhadap Amerika Selatan. Sedangkan survey bagian ketiga digunakan untuk

mengetahui intensi perilaku responden berkaitan dengan kemungkinan kunjungan

ke Amerika Selatan.

Hasil studi menunjukkan bahwa pada survey bagian pertama, perubahan

negatif yang signifikan muncul pada atribut-atribut yang berkaitan dengan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

32

kemampuan warga lokal dalam berbahasa Inggris, kualitas infrastuktur pariwisata,

kualitas akomodasi wisata. Sedangkan, atribut-atribut yang mendapatkan

perubahan positif yang signifikan adalah atribut yang berkaitan dengan

keramahtamahan warga lokal, perbedaan budaya yang menarik, dan keindahan

pemandangan. Atribut-atribut yang tidak mengalami perubahan signifikan adalah

atribut yang berkaitan dengan keamanan dan stabilitas politik.

Pada survey bagian kedua, keempat dimensi afektif terhadap citra Amerika

Selatan sebagai destinasi pariwisata semuanya mengalami perubahan negatif.

Setelah menonton film, responden mengganggap Amerika Selatan sebagai

destinasi yang kurang menyenangkan, kurang ceria, menyedihkan, dan suram.

Walaupun kedua survey mengenai atribut kognitif dan afektif menunjukkan

perubahan negatif, namun respon partisipan terhadap keinginan untuk

mengunjungi Amerika Selatan tetap baik. Di antara responden yang menyatakan

keinginan untuk tetap mengunjungi Amerika Selatan, faktor yang paling

berpengaruh dalam memotivasi adalah faktor alam, pemandangan, dan atraksi

budaya. Sedangkan, faktor yang paling sedikit berpengaruh adalah faktor romansa,

petualangan yang ditampilkan oleh film, tokoh-tokoh yang digambarkan, serta

keberadaan aktor yang memainkan tokoh-tokoh tersebut.

Penelitian lain kemudian juga dilakukan dengan menggunakan film yang

sama. Penelitian tersebut dilakukan oleh Hudson dkk (2011). Kali ini penelitian

dilakukan terhadap mahasiswa dari tiga negara berbeda terhadap film „Motorcycle

Diaries‟ sehubungan dengan keinginan untuk mengunjungi destinasi yang

bersangkutan setelah menonton film tersebut. Penelitian tersebut bertujuan untuk

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

33

mengetahui apakah perbedaan budaya juga mempengaruhi respon terhadap daya

tarik emosional yang disajikan oleh film yang mengetengahkan cerita travelogue

yang juga memuat kisah romansa ini. Penelitian tersebut menggunakan

metodologi eksperimental, dimana survey dilakukan sebelum dan sesudah

kegiatan menonton film.

Responden adalah 74 pelajar dari Kanada, 141 pelajar dari Amerika

Serikat, dan 67 pelajar dari Spanyol. Dari total sampel, sebanyak 32% adalah pria

dan 68% adalah wanita. Survey tersebut menerapkan penilaian dalam skala Likert

dengan kisaran 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Survey dilakukan

dalam dua bagian. Bagian pertama menampilkan tigapuluhempat atribut kognitif

yang menjadi perwakilan citra Amerika Selatan sebagai destinasi pariwisata.

Ketigapuluhempat atribut tersebut dikelompokkan ke dalam delapan kelompok

besar yang meliputi kenyamanan/keamanan, minat/petualangan, kondisi alam,

fasilitas pariwisata, atmosfer pada lokasi/iklim, kesamaan budaya, faktor biaya

rendah, dan rendahnya kendala bahasa. Bagian kedua dilakukan untuk

mengetahui dampak penempatan produk dalam film melalui model AIDA

(Attention, Interest, Desire, Action).

Hasil dari penelitian dengan melihat perbedaan persepsi antara sebelum

dan sesudah menonton film, menunjukkan bahwa untuk faktor minat/petualangan,

kondisi alam, dan faktor biaya rendah terdapat dampak yang positif. Sedangkan

untuk faktor kenyamanan/keamanan, fasilitas pariwisata, atmosfer di lokasi/iklim,

kesamaan budaya, dan rendahnya kendala bahasa, perubahan persepsi terhadap

citra destinasi bergerak negatif. Perubahan persepsi tersebut, baik yang positif

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

34

maupun negatif, sebagian besar tidak memberikan dampak signifikan terhadap

citra Amerika Selatan sebagai destinasi pariwisata.

Pada pengukuran terhadap dampak film dilihat dari hierarchy of effect

model AIDA, hasil pertama dibandingkan pada responden dari masing-masing

negara. Hasilnya, untuk pelajar dari Kanada film tersebut memberikan dampak

yang secara signifikan positif pada tahap awareness, desire to visit, dan attention

to book. Pola yang sama juga ditemukan pada pelajar dari Florida. Namun, pada

responden dari Spanyol, dampaknya tidak signifikan pada keempat tahapan AIDA.

Hasil perbandingan antara satu negara dengan negara lainnya menunjukkan bahwa

selisih skor pada responden dari Kanada dan Florida secara signifikan lebih tinggi

daripada responden dari Spanyol.

Responden yang menyatakan bahwa film tersebut menginspirasi untuk

mengunjungi Amerika Selatan disurvey lebih lanjut untuk mengetahui faktor

dalam film yang paling mempengaruhi pendapat mereka berdasarkan tiga pull

factor, yaitu place, performance, dan personality. Dari hasil survey tersebut

diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi persepsi partisipan adalah

faktor place yang meliputi pemandangan, suasana, atraksi budaya, dan

pengalaman orang-orang dalam film. Faktor yang paling sedikit mempengaruhi

adalah faktor aktor yang memainkan film. Grup responden yang paling sedikit

terpengaruh oleh faktor performance dan personality adalah responden dari

Spanyol. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hudson dkk (2011) juga mengambil

kesimpulan akan adanya kesan bahwa Amerika Selatan merupakan destinasi yang

menarik bagi wisatawan dari Amerika Utara. Oleh karena itu, badan promosi

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

35

pariwisata dapat melakukan usaha-usaha untuk mengkontrol pemanfaatan film

untuk mentargetkan kepada wisatawan yang potensial.

Kasus yang digunakan Araujo (2013) adalah film „City of God‟ yang

menjadikan Brazil sebagai latarnya. Film tersebut merupakan salah satu film

Brazil yang cukup dikenal secara internasional. Cerita dalam film „City of God‟

didasarkan pada fakta-fakta aktual yang terjadi di kota Favela “Cidade de Deus”

(City of God). Film tersebut bertemakan jaringan trafficking yang menampilkan

plot-plot penuh kekerasan, perkosaan, kekejaman, dan pembunuhan. Penelitian

dilakukan pada September 2012, terhadap 150 mahasiswa di Lisbon. Para

responden tersebut mengisi kuisioner sebelum dan setelah menonton penayangan

film. Kuisioner bagian pertama ditujukan untuk menentukan profil responden.

Kuisioner kedua terdiri dari tiga set pertanyaan yang menyasar pada impresi

responden terhadap Brazil. Set pertama mengenai citra kognitif Brazil, set kedua

mengenai citra afektif, dan set ketiga mengenai kecenderungan perilaku untuk

mengunjungi destinasi yang digambarkan. Hasil dari tes menunjukkan bahwa

mayoritas atribut mengalami pergerakan negatif dan lainnya menetap. Citra

negatif tidak hanya mengenai obyek-obyek yang ada di dalam film namun juga

terhadap obyek-obyek yang tidak berhubungan dengan film. Keinginan responden

untuk mengunjungi Brazil menurun karena pemampilan narasi yang menunjukkan

situasi yang tidak aman.

Melihat pada penelitian-penelitian terdahulu, topik film tourism adalah

suatu hal yang menarik. Beberapa peneliti telah melakukan pemetaan penelitian

yang dilakukan di bidang ini, serta memberikan saran-saran topik yang dapat

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

36

diambil sebagai topik penelitian, baik secara empirik maupun konseptual.

Beberapa contoh penelitian yang menunjukkan bukti empirik telah disajikan di

atas. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa penampilan suatu lokasi

pada suatu film dapat mempengaruhi citra lokasi tersebut sebagai suatu destinasi

pariwisata. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa perbedaan budaya

juga mempengaruhi respon penonton terhadap citra destinasi dalam suatu film

maupun keinginan penonton untuk mengunjungi destinasi tersebut.

Penelitian mengenai film sebagai sebuah media promosi yang potensial

sehubungan juga dengan praktek film tourism merupakan topik yang masih

kurang mendapat perhatian pada ranah penelitian pariwisata di Indonesia.

Penelitian dengan judul “Promosi Pariwisata Melalui Film: Studi Kasus Film „Eat

Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟” ini merupakan salah satu usaha untuk mengisi

celah penelitian yang masih terbuka lebar di Indonesia. Penelitian ini ingin

melihat fenomena film tourism dari sudut pandang yang lebih konseptual, dengan

cara melihat bagaimana representasi yang dilakukan kedua film ini terhadap

lokasi yang digunakan sebagai latar dapat memuat pesan-pesan simbolik yang

bersifat promotif terhadap kedua destinasi yang bersangkutan. Penelitian ini

ditujukan untuk mengidentifikasi simbol-simbol konten yang disajikan oleh sineas

dan mengintepretasikan simbol-simbol yang ditampilkan oleh konten dari sudut

pandang promosi pariwisata. Kedua film ini tidak dimaksudkan untuk dibuat

sebagai media promosi namun secara kebetulan membawa efek promosional, oleh

karenanya menjadi menarik untuk melihat bagaimana efek promotif ini terbentuk

dari konten yang disajikan. Meskipun kedua film tidak hanya menujukkan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

37

gambaran-gambaran yang ideal saja, namun tetap memberikan publikasi positif

bagi dunia pariwisata di masing-masing destinasi. Kajian ini akan

mengkomparasikan dua film, sehingga dapat dilihat kelebihan dan kekurangan

masing-masing film dalam hal promosi pariwisata.

2.2 Konsep

Di bawah ini akan dibahas beberapa konsep yang berkaitan dengan judul

tesis “Promosi Pariwisata melaui Film: Studi Kasus Film „Laskar Pelangi‟ dan

„Eat, Pray, Love‟”. Konsep-konsep tersebut adalah mengenai konsep film - yang

meliputi struktur dan unsur film - kemudian konsep promosi, konsep publisitas,

dan juga konsep film tourism.

2.2.1 Struktur Film

Struktur fisik film disusun oleh shot, adegan, dan sekuen. Shot merupakan

bagian terkecil dari film. Shot diartikan sebagai rangkaian gambar yang tidak

terpotong. Sekelompok shot yang saling berhubungan dan memiliki

kesinambungan aksi dijadikan satu menjadi sebuah adegan. Berikutnya, kelompok

adegan-adegan yang memiliki satu periode waktu, lokasi, atau suatu rangkaian

aksi panjang disebut sebagai sekuen. Sekuen dapat disejajarkan dengan babak

pada drama teater atau bab pada novel. Satu film umumnya terdiri dari delapan

sampai limabelas sekuen (Pratista, 2008).

2.2.2 Unsur Film

Film harus dilihat dalam satu kesatuan bentuk sistem dimana elemen-

elemen yang ada di dalamnya saling berhubungan antara satu dengan lainnya.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

38

Pesan narasi film disampaikan melalui penggabungan visual dan audio yang

pengaplikasiannya harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh narasi.

Suatu film dapat terbentuk dengan adanya kerjasama antara unsur naratif dan

unsur sinematik. Unsur naratif adalah cerita yang menjadi bahan dari suatu film

sedangkan unsur sinematik merupakan alat untuk membentuk cerita tersebut.

Unsur sinematik dibagi ke dalam mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara

(Bordwell dan Thompson, 2001, Pratista, 2008).

a. Narasi

Narasi merupakan hasil strukturisasi terhadap serangkaian kejadian

yang membentuk cerita. Narasi mengandung serangkaian kejadian yang

dipilih, kemudian disusun agar bermakna untuk disajikan kepada

penerimanya. Narasi merupakan serangkaian peristiwa yang memiliki

hubungan kausalitas dan dapat mengacu kepada keseluruhan cerita hidup

ataupun hanya berkutat pada suatu kisah tertentu yang tersusun atas plot,

karakter, dan setting. (Polkinghorne, 1991, Bordwell dan Thompson, 2001,

Reisman, 2003).

b. Mise-en-scene

Mise-en-scene adalah segala sesuatu yang terlihat di depan layar

meliputi setting (latar), kostum dan tata rias, pencahayaan, dan akting

(Pratista, 2008).

c. Sinematografi

Sinematografi meliputi aspek kamera dan film, framing, serta

durasi gambar. Framing merupakan pembingkaian gambar mise-en-scene

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

39

yang disesuaikan dengan kebutuhan narasi. Shot-shot yang sudah tersedia

kemudian diolah dan digabungkan melalui Editing (Pratista, 2008).

d. Suara

Unsur suara merupakan segala suara yang muncul dalam film, baik

yang merupakan bagian dari cerita maupun dan berada di luar cerita. Jenis-

jenis suara yang digunakan dalam film dapat dibagi ke dalam dialog,

musik, efek suara, dan suara sekitar (noise). Musik dapat berupa musik

diagetic yang merupakan bagian dari cerita, maupun nondiagetic yang

berada di luar adegan cerita (Bordwell dan Thompson, 2001, Pratista,

2008).

2.2.3 Promosi

Suatu usaha untuk mengkomunikasikan pesan dari perusahaan kepada

calon pembeli potensial dan pihak-pihak lain yang berhubungan disebut dengan

promosi. Informasi yang berupa nilai-nilai dari suatu produk ini bukan hanya

sekedar disampaikan kepada konsumen, namun juga harus dikomunikasikan

secara persuasif. Kegiatan promosi tidak hanya terdiri dari satu jenis kegiatan saja,

namun merupakan suatu perpaduan dari berbagai kegiatan yang dimasukkan ke

dalam konsep integrated marketing communication. Kegiatan yang digunakan

untuk mengkomunikasikan alat-alat promosi ini disebut dengan promotion mix

atau integrated marketing communication. Alat-alat yang digunakan dalam

integrated marketing communication ini secara sederhana dengan Personal

Selling, Mass Selling, dan Sales Promotion, dimana publisitas dan iklan berada di

bawah ranah penjualan massal. Pembagian lain dapat berupa advertising, sales

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

40

promotion, personal selling, public relations (termasuk di dalamnya publikasi),

dan direct marketing, (Perreault dan McCarthy, 2002; Kotler dan Armstrong,

2012)

2.2.4 Publisitas

Publisitas adalah suatu bentuk kegiatan mempromosikan gagasan, barang,

atau jasa dimana perusahaan tidak membayar kepada saluran yang digunakan

untuk menyampaikan publitas tersebut. Publisitas berbeda dengan iklan yang

harus membayar harga tertentu untuk ditampilkan di media cetak atau elektronik.

Public relations, termasuk di dalamnya publisitas melakukan tugas promosinya

dengan membentuk citra positif perusahaan, atau pada kasus pariwisata adalah

citra positif destinasi. Publisitas dapat dilakukan di antaranya dengan mengolah

informasi yang sedang menarik untuk dijadikan berita yang dapat diliput oleh

media, mengeluarkan informasi resmi dari perusahaan dalam bentuk press release,

menjadi sponsor dari suatu kegiatan, mengatur agar seorang pemain film diundang

ke acara talk show untuk mempromosikan film yang dimainkannya, atau justru

merahasiakan informasi produk yang sangat ditunggu-tunggu oleh konsumen

potensial untuk membangkitkan rasa penasaran (Perreault dan McCarthy, 2002;

Yoeti, 2006).

2.2.5 Film Tourism

Film Tourism adalah suatu kegiatan wisata yang distimulasi oleh adanya

suatu film yang mengambil latar suatu destinasi tertentu. Istilah Film Tourism ini,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

41

dalam kalangan akademisi, juga umum digunakan sebagai ekuivalen dari istilah

Film-Induced Tourism. Kegiatan wisata yang timbul memang seringkali

merupakan akibat dari ketidaksengajaan dari ketenanaran suatu film tanpa ada

tujuan awal untuk mempromosikan destinasi tersebut, namun film juga dapat

dibuat secara sadar dan dimanfaatkan secara simultan untuk mempromosikan

destinasi yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan wisata yang ditimbulkan oleh

adanya Film Tourism dapat berupa kunjungan pada lokasi syuting film yang

bersangkutan (baik lokasi nyata maupun dalam set studio), kunjungan pada

sebuah taman hiburan yang berkaitan dengan film (Disneyland, Universal Studio,

Dae Jang Geum Theme Park, dll), kunjungan pada sebuah lokasi buatan yang

dikemas dengan tema film tertentu, kegiatan partisipasi pada suatu lokasi film

tertentu sehingga wisatawan dapat merasakan berperan seperti tokoh dalam film

(tur Lord of the Ring), kegiatan tur mengunjungi rumah selebritis dan lokasi film

yang bersangkutan, kunjungan ke festival film, dan kunjungan pada destinasi-

destinasi tempat premier suatu film diadakan (Roesch, 2009; Connell, 2012;

Beeton, 2015).

2.3 Landasan Teori

Teori-teori yang digunakan dalam menganalisis film „Laskar Pelangi‟ dan

„Eat, Pray, Love‟ dalam hubungannya dengan simbol-simbol promosi pariwisata

adalah teori semiotika, teori resepsi, dan teori promosi. Teori utama yang

digunakan adalah teori promosi dengan didukung oleh teori semiotika dan teori

resepsi. Pertama, bagaimana simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang

ditampilkan diidentifikasi dan diintepretasikan dengan menggabungkan teori

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

42

semiotika dan teori resepsi. Kedua, sejauh mana tingkat kontribusi kedua film

dalam memenuhi tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kegiatan promosi

dianalisis dengan teori promosi kemudian dikomparasikan.

2.3.1 Teori Semiotika

Tradisi Saussurean menggunakan ilmu semiotika untuk menjelaskan

mengenai sistem penandaan dalam bahasa, namun bahasa hanyalah satu bagian

dari ilmu semiotika (Eco, 1986: 9). Piliang (2010: 19) dalam glosariumnya

memberikan batasan semiotika sebagai “Ilmu tentang tanda dan kode-kodenya

serta penggunaannya dalam masyarakat”. Tanda yang dimaksud di sini adalah

segala sesuatu yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal (Chandler,

2007: 2). Pierce (Chandler, 2007: 13) menjelaskan bahwa tanda-tanda ini menjadi

bermakna dalam merepresentasikan sesuatu di luar dirinya ketika terjadi proses

interpretasi, Pierce juga menyebutkan bahwa manusia berpikir melalui sarana

tanda-tanda (Sobur, 2013: xxii), sehingga dapat dikatakan proses interpretasi

terhadap tanda-tanda tersebut yang memungkinkan manusia berkomunikasi.

Chandler (2007) menjelaskan dua model yang berkembang dalam

semiotika, yaitu berdasarkan tradisi Saussure dan tradisi Pierce. Tradisi Sausurre

menjelaskan proses pemaknaan tanda yang melibatkan signifier (penanda) dan

signified (petanda). Penanda adalah hal yang material yang dapat ditangkap panca

indera, sedangkan petanda adalah konsep yang direpresentasikan oleh obyek

material tersebut. Model triadik Pierce meliputi representamen, interpretan, dan

obyek. Representamen merupakan materi yang mewakili sesuatu di luar dirinya,

dan interpretan adalah kesan yang timbul dari representanmen. Obyek, dalam

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

43

model Pierce, adalah hal yang diwakili oleh representamen (Chandler, 2007).

Pierce membagi obyek tanda menjadi tiga (Atkin, 2013), yaitu ikon, index, dan

simbol. Ikon diwakili oleh representanmen dengan cara menghadirkan ciri-ciri

kualitatifnya. Index memiliki keterkaitan secara fisik dengan representamennya

dimana sebagian dari ciri fisik yang ditampilkan representamen dapat menjadi

penanda kehadiran obyek tanda. Simbol adalah obyek tanda yang membutuhkan

interpretasi atas konvensi-konvensi sosial.

Piliang menyebutkan semiotika sebagai suatu metode yang bersifat

kualitatif-interpretatif (2010: 313). Proses interpretasi atau pemaknaan terhadap

tanda-tanda yang disampaikan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan

mengandalkan seperangkat konvensi yang disebut Jakobson, seorang penganut

Saussure, sebagai kode (Chandler, 2007: 147). Pemaknaan tanda terkait dengan

suatu sistem kode dan konteks tertentu yang dipahami oleh masyarakat

penggunanya. Kode-kode tersebut juga dapat menjadi suatu “kode dominan”

karena telah dipelajari sejak usia dini, dikenal secara hampir universal, dan telah

menjadi suatu “makna yang dipilih” sehingga nampak alamiah (Hall, 1999: 511).

Chandler mengklasifikasikan kode-kode tersebut ke dalam tiga kerangka, yaitu

kode sosial, kode textual, dan kode interpretatif. Kode sosial meliputi bahasa

verbal, kode badaniah, kode komoditi, dan kode perilaku. Kode textual berkenaan

dengan kode ilmiah (termasuk matematika); kode estetik dalam berbagai macam

ekspresi seni; kode genre, retorika dan style; dan kode media massa. Kode

interpretatif membawahi kode perseptual dan kode ideologi. Proses pemaknaan

dalam kerangka kode-kode tersebut membutuhkan pengetahuan yang cukup

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

44

mengenai keadaan sosial, medium dan genre pesan, serta hubungan antara

keduanya (Chandler, 2007: 147-150).

Pada tesis ini, proses interpretasi tanda dilakukan menurut teori Barthes

dimana proses interpretasai tersebut dilakukan secara bertingkat. Tingkatan ini

terdiri dari denotasi sebagai makna tingkat pertama dan konotasi sebagai makna

tingkat kedua. Makna denotasi merujuk pada kode-kode yang memperlihatkan

hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) yang eksplisit.

Sedangkan, makna konotatif sebagai makna tingkat kedua menghadirkan sistem

kode yang maknanya implisit dimana pemaknaannya berkaitan dengan aspek-

aspek psikologis. Makna konotatif ini berada pada kawasan ideologi atau mitologi

yang mendapatkan maknanya dari hasil serangkaian kode yang berlaku dan

disepakati bersama. Ideologi yang dimaksud adalah sistem gagasan, ide, atau

kepercayaan yang sudah menjadi konvensi pada suatu masyarakat. Jika suatu hal

yang bersifat konotatif dikodekan secara berlebihan sehingga tampak natural

maka makna tersebut menjadi mitos (Piliang, 2012: Thwaites, dkk, 2011: 108,

119).

Antara penanda dan petanda terdapat suatu interaksi dalam proses

pereprentasian. Dua interaksi utama yang dikenal adalah metafora dan metonimi.

Metafora menjelaskan dengan menggunakan perbandingan. Metafora bekerja

dengan menggunakan kualitas dari suatu tanda untuk menjelaskan tanda lainnya.

Metonimi adalah penandaan yang menggunakan asosiasi sebagai intrumennya,

dimana sebagian dari sesuatu (fungsi, atribut, konsep) digunakan untuk mewakili

keseluruhan bagian (Piliang 2012: 305; Thwaites, dkk, 2011: 69-78).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

45

2.3.2 Teori Resepsi

Resepsi merupakan pandangan dalam semiotika yang berpendapat bahwa

suatu pesan hanya akan bermakna jika terdapat peran penerima pesan. Menurut

Williamson (Piliang, 2012:164), suatu tanda hanya akan mendapatkan maknanya

jika ada kehadiran penerima pesan yang mampu mengenali makna suatu penanda.

Dalam hal memaknai sebuah karya, reaksi pembaca, atau penonton, terhadap

suatu karya dianggap sebagai suatu hal yang sentral (Ratna, 2005: 208).

Interpretasi yang terjadi ditentukan bukan hanya dari historis pribadi pembaca

yang menginterpretasikan, tetapi juga situasi keadaan dalam kesejarahannya.

Keadaan kondisi di masa suatu karya diciptakan dan masa kini pembaca berbaur

menjadi pemahaman. (Teeuw, 2015: 134).

Teeuw (2015: 135) Menjelaskan pendapat Gadamer yang memberikan

batasan pembeda antara arti dan makna. Arti merupakan maksud dari pembuat

karya yang diwujudkan dalam karyanya, sedangkan makna menghubungkan

antara arti dengan pembaca yang merupakan bagian dari situasi pada suatu masa

tertentu. Situasi yang dimaksud di sini (Teeuw, 2015: 159) dapat berupa kondisi

sosial, politik, dan budaya yang sedang terjadi pada masa tersebut. Pengaruh dari

situasi tersebut terhadap proses pemaknaan dapat menjadi sesuatu yang disadari

maupun tidak disadari.

Ratna menjelaskan pendekatan teori resepsi dibedakan menjadi dua (2005:

209), yaitu resepsi secara sinkronis dan diakronis. Pada resepsi secara sinkronis,

penelitian dilakukan terhadap pembaca yang sejaman dengan karya yang sedang

dibahas. Resepsi diakronis mencakup penelitian di masa yang berbeda dengan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

46

karya yang dibahas untuk melihat adanya perubahan tanggapan terhadap suatu

karya sebagai akibat dari perubahan sudut pandang, horizon, dan paradigma yang

berkembang dalam masyarakat. Teori ini menyoroti perubahan tanggapan atau

respon pembaca disepanjang jaman. Nilai dan dampak kultural suatu karya

terhadap pembaca tidaklah tetap, namun dapat berubah sesuai dengan kondisi

sosial budaya pembacanya (Ratna 2005: 213). Pada tesis ini, resepsi pembaca atau

penonton yang diteliti adalah resepsi sinkronis atau sejaman.

Stuart Hall (1999) memberikan pandangan bahwa suatu pesan yang

disampaikan antara pengirim pesan kepada penerima pesan mengalami proses

encoding (penyusunan kode) dan decoding (penyingkapan kode). Baik proses

encoding maupun decoding, keduanya dipengaruhi oleh kode-kode yang sudah

dipahami oleh masing-masing partisipan. Namun, pada proses decoding makna

yang diinginkan untuk disampaikan oleh pemberi pesan dalam tahap encoding

tidak selalu dimaknai seperti yang diinginkan. Hal ini, menurut Hall (1999): 515-

517) dikarenakan penerima pesan dapat berada pada salah satu dari tiga posisi

dalam menjalani proses decoding, yaitu posisi dominan-hegemonik, posisi

negosiasi, dan posisi oposisi.

Pada posisi dominan-hegemonik, Hall (1999) menjelaskan, penerima

pesan mengintepretasikan pesan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengirim

pesan karena baik pengirim pesan maupun penerima pesan berada pada satu

kelompok konvensi yang sama dan memiliki pemahaman yang sama terhadap

kode dominan yang digunakan. Ketika penerima pesan memiliki cukup

pengetahuan mengenai kode dominan dalam pesan namun penerima pesan

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

47

memilih untuk bereaksi dengan pemahamannya sendiri sesuai dengan kode yang

berlaku di lingkungannya atau situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, maka

posisi ini disebut posisi negosiasi. Posisi negosiasi berada di antara dominan-

hegemonik dan oposisi. Pada posisi oposisi, reaksi penerima pesan sama sekali

bertolak belakang dengan yang diharapkan oleh pemberi pesan. Reaksi

berseberangan ini tidak selalu karena adanya ketidakpahaman mengenai kode

yang sedang disampaikan, namun karena penerima pesan memiliki kerangka

berpikir alternatif yang didasari oleh situasi tertentu yang memberikan dasar

dalam membuat interpretasi makna yang bertolak belakang dengan yang disusun

oleh pemberi pesan (Hall, 1999: 515-517).

2.3.3 Teori Promosi

Secara umum, tujuan promosi adalah untuk memberikan informasi

mengenai suatu produk (informing), memberikan bujukan untuk menggunakan

produk (persuading), dan mengingatkan konsumen mengenai kepuasaan-kepuasan

yang pernah dirasakan konsumen ketika menggunakan produk yang bersangkutan

(reminding). Promosi yang bersifat informatif banyak dipergunakan untuk

memperkenalkan produk-produk baru dan mengedukasi masyarakat mengenai

produk tersebut, umumnya digunakan untuk menimbulkan adanya permintaan

pertama terhadap produk tersebut. Informasi yang disampaikan dapat berupa

pemberitahuan mengenai manfaat produk serta kegunaan-kegunaan lainnya yang

berkaitan dengan produk. Promosi persuasif merupakan tindakan penting saat

suatu produk memiliki pesaing-pesaing. Persuasi atau bujukan untuk memilih dan

menggunakan produk yang bersangkutan, dalam media promosi dapat diterapkan

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

48

dengan memunculkan daya tarik rasional, emosional, maupun moral. Salah satu

cara yang banyak digunakan adalah dengan menampilkan keunggulan suatu

produk dibandingkan produk kompetitor. Penjelasan mengenai daya tarik ini akan

dibahas lebih lanjut pada pembahasan mengenai kualitas promosi berdasarkan isi.

Promosi pengingat (reminding), diterapkan pada keadaan dimana suatu produk

telah mendapatkan respon positif dari pasar. Promosi jenis ini dilakukan agar

preferensi konsumen tidak beralih kepada produk kompetitor dan untuk

meyakinkan konsumen bahwa pilihan mereka terhadap produk yang bersangkutan

sudah benar (Kotler, 2000; Perreault dan McCarthy, 2002: 398; Kotler dkk, 2010:

379-380; Morissan, 2010:342).

Promosi dapat dikatakan sebagai usaha dari perusahaan untuk menjaga

jalinan komunikasi dengan konsumen potensialnya (Kotler, Bowen, dan Makens,

2010: 358). Komunikasi ini tidak hanya menjadi kebutuhan dari pihak penyedia

produk untuk menyampaikan pesan-pesan kepada konsumen, namun juga

bermanfaat bagi pihak konsumen untuk mendapatkan informasi yang

dibutuhkannya sebelum melakukan pembelian (Morissan, 2010: 1). Jika

perusahaan ingin mendapatkan respon positif, maka proses komunikasi yang

dilakukan harus dapat mempengaruhi segala hal yang dialami oleh calon

konsumen sebagai penerima pesan (Blair dkk, 2003: 7).

Calon konsumen melalui beberapa tahapan sebelum akhirnya membuat

keputusan atau melakukan pembelian. Pesan komunikasi yang disampaikan harus

mempertimbangkan tahapan-tahapan yang sedang dialami oleh calon konsumen

tersebut, agar pesan menjadi efektif dan mengenai target sasaran. Tujuan dari

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

49

komunikasi akan menyesuaikan dengan tahapan proses pembelian yang sedang

dialami calon konsumen (Mill, 2000: 320). Pemahaman terhadap posisi calon

konsumen terhadap merk produk akan memudahkan dalam memilih pesan yang

tepat untuk mendorong konsumen bergerak ke tahapan berikutnya hingga

mencapai tahap pembelian (Kotler dkk, 2010). Konsep yang banyak digunakan

dalam menjelaskan tahapan proses pengambilan keputusan pembelian oleh calon

konsumen adalah buyer readiness states, dan hierarchy of effects.

Pada buyer readiness states, Kotler, dkk (2010) menjelaskan bahwa calon

konsumen melalui enam tahapan dalam mengambil keputusan pembelian.

Tahapan-tahapan tersebut adalah, awareness, knowledge, liking, preference,

conviction dan purchase. Tugas pemasar adalah menggiring calon konsumen

untuk melalui tahapan-tahapan tersebut hingga calon konsumen teryakinkan untuk

melakukan pembelian. Pada kondisi dimana suatu merk produk belum dikenal

luas, pemasar diharuskan membuat bentuk-bentuk promosi yang dapat

meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap keberadaan merk yang

bersangkutan. Selanjutnya, terdapat suatu kondisi dimana telah tercipta kesadaran

terhadap keberadaan suatu merk, namun pengetahuan mengenai kualifikasi

produk dari merk tersebut masih kurang. Kondisi ini dapat menjadi acuan bagi

pemasar untuk membuat pesan promosi yang menitikberatkan kepada pemberian

pengetahuan (knowledge) mengenai produk. Setelah pengetahuan terhadap

kualifikasi produk yang bersangkutan telah terbentuk, maka pertanyaan yang

timbul adalah level minat terhadap merek produk. Jika minat calon konsumen

masih rendah, maka pesan promosi harus menggiring kepada peningkatan minat

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

50

(Liking) terhadap produk. Suatu produk yang diminati juga memiliki kompetitor,

sehingga pada tahapan berikutnya dirancang untuk meningkatkan preferensi

(Preference) calon konsumen untuk memilih merk yang dimaksud dibandingkan

merk lainnya. Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah mendorong keyakinan

(Conviction) calon konsumen mengenai pilihannya dan melakukan pembelian

(Purchase).

Konsep berikutnya yang juga berorientasi pada perilaku konsumen dalam

membuat keputusan pembelian adalah hierarchy of effects. Model yang dapat

dengan mudah menjelaskan konsep ini adalah AIDA yang merupakan singkatan

dari Attention, Interest, Desire, Action. Tahapan pertama dari model ini ada

menarik perhatian (attention) konsumen kepada produk yang sedang ditawarkan.

Tahapan kedua merupakan proses mempertahankan minat (interest) konsumen

untuk tetap tertarik dengan produk. Tahapan ketiga adalah membangkitkan

keinginan (desire) untuk memilih produk. Tahapan keempat mengacu kepada

kemampuan memperoleh tindakan (action) untuk membeli produk (Perreault dan

McCarthy, 2002).

Kotler, dkk (2010) menjelaskan bahwa konsep buyer readiness states

dapat memberikan panduan kepada pesan apa yang harus disampaikan dalam

promosi sesuai dengan tahapan yang sedang dialami calon konsumen terhadap

merek produk yang sedang dipromosikan, sedangkan AIDA dapat memberikan

panduan tentang bagaimana pesan promosi harus disampaikan agar promosi yang

dilakukan dapat mendapatkan respon yang diinginkan (Kotler dkk, 2010: 356).

Promosi yang berhasil adalah yang mampu mencuri perhatian masyarakat (Kotler,

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

51

2004: 22), sehingga pada tahapan mendapatkan perhatian (attention) dan

mempertahankan minat (interest), tidak hanya dapat dilihat kepada perhatian dan

minat terhadap produk tetapi juga kepada promosi itu sendiri. Masyarakat kini

terpapar oleh begitu banyaknya promosi-promosi, sehingga seringkali promosi

tersebut, terutama iklan, tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk

dilihat atau didengarkan. Untuk menarik perhatian kepada produk, maka bentuk-

bentuk promosi yang disampaikan harus terlebih dahulu menarik perhatian untuk

dilihat atau didengarkan. Setelah timbul ketertarikan untuk melihat atau

mendengarkan promosi yang disampaikan, maka berikutnya merupakan proses

mempertahankan minat (interest) masyarakat untuk tetap memperhatikan promosi

yang disampaikan. Hal ini dapat dicapai jika pesan yang disampaikan sesuai

dengan pengalaman dan perilaku masyarakat yang menjadi target konsumen

dengan memanfaatkan elemen-elemen emosional yang didukung dengan bukti.

Pada pemasaran jasa, maka bukti menjadi sangat penting untuk memperlihatkan

wujud jasa yang ditawarkan. Bukti-bukti ini juga dapat memberikan keyakinan

kepada calon konsumen bahwa produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya,

sehingga munculah keinginan (desire) untuk memilih produk. Bukti-bukti yang

disajikan juga tidak hanya memuat bujukan-bujukan emosional namun juga harus

memberikan alasan-alasan logis mengapa merk tersebut dapat memenuhi

kebutuhan calon konsumen. Tahapan keempat mengacu kepada kemampuan

memperoleh tindakan (action) untuk membeli produk (Perreault dan McCarthy,

2002; Armstrong dkk, 2005; Kotler dkk, 2010).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

52

Setiap alat promosi (advertising, sales promotion, public relations, dan

personal selling), memiliki keunggulannya masing-masing dalam mencapai hasil

promosi yang diinginkan. Advertising dan public relations sangat sesuai untuk

membangkitkan kesadaran dan minat terhadap produk, sedangkan personal selling

dan sales promotion yang bersifat langsung dapat memiliki efek yang lebih kuat

dalam menciptakan keinginan untuk membeli hingga sampai pada tindakan

pembelian. Oleh karenanya, pemilihan bentuk-bentuk komunikasi yang efektif

dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan promosi.

Kualitas suatu pesan yang dikomunikasikan dapat dilihat dari tiga

kelompok indikator yaitu isi pesan, stuktur pesan, dan format pesan. Isi pesan

yang disampaikan dapat memuat satu atau keseluruhan daya tarik rasional,

emosional, dan moral. Daya tarik rasional mengetengahkan manfaat yang dimiliki

oleh produk berkenaan dengan minat calon konsumen. Provokasi emosional dapat

dilakukan dengan menampilkan pesan yang menyentuh emosi seperti ketakutan,

rasa bersalah, dan rasa malu, cinta, kasih sayang, maupun hal-hal yang

berhubungan dengan minat, status, dan pengakuan umum, yang dapat memotivasi

seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan. Sedangkan,

Daya tarik moral menganjurkan kepada hal-hal yang benar dan pantas untuk

dilakukan. Daya tarik moral ini banyak digunakan untuk mempromosikan

kegiatan-kegiatan lingkungan hidup (Kotler dkk, 2010: 365-367).

Morissan (2010) menjelaskan bentuk informasi-informasi yang dapat

digunakan sebagai daya tarik rasional antara lain berkenaan dengan kualitas, daya

guna, kenyamanan, ekonomi, kesehatan, relaksasi, dan manfaat-manfaat sensorik.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

53

Belch (dalam Morissan, 2010) menyebutkan lima bentuk pengaplikasian daya

tarik rasional pada media promosi. Pertama, dengan mengetengahkan daya tarik

atribut yang menunjukkan informasi kualitas produk. Kedua, dengan

menunjukkan keunggulan kompetitif suatu produk dibandingkan dengan produk

lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketiga, dengan

menggunakan daya tarik harga. Keempat, dengan menunjukkan pengumuman di

media massa pada media promosinya untuk menginformasikan manfaat suatu

produk yang diakui oleh lembaga lain. Kelima, dengan menekankan kepopuleran

suatu produk yang dapat menunjukkan bahwa produk tersebut dipakai secara luas

karena berkualitas (Morissan, 2010: 342-345).

Daya tarik emosional dapat diaplikasikan berupa bentuk promosi yang

menghibur, menarik, menimbulkan gairah, membangkitkan semangat dan bentuk-

bentuk lain yang mempengaruhi emosi konsumen dan mendorong mereka untuk

memiliki pandangan positif terhadap suatu produk. Daya tarik emosional juga

digunakan untuk mentranformasikan seperangkat sifat psikologis ke dalam

pemahaman konsumen mengenai suatu produk sehingga konsumen akan

mengalihkan emosi yang ditunjukkan pada media promosi ke dalam pengalaman

mereka ketika menggunakan produk (Morissan, 2010: 345-348).

Indikator isi pesan ini mirip dengan penjelasan Hackley (2005) mengenai

model think-feel-do hierarchy dalam proses pembelian. Hackley menjelaskan

model ini ke dalam tiga tahapan, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Tahapan

kognitif melibatkan pemberian pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai

manfaat produk. Tahapan afektif dijalankan dengan memberikan gambaran-

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

54

gambaran yang menarik dan menyenangkan mengenai produk yang bersangkutan.

Pada tahapan ini suatu kegiatan promosi diharapkan mampu mempengaruhi calon

konsumen secara emosional. Terakhir, tahapan konatif merupakan penggabungan

dari tahapan kognitif dan afektif yang bekerja secara simultan dalam satu media

untuk menimbulkan terjadinya tindakan pembelian (Hackley, 2005: 29).

Kotler dkk (2010) juga membahas mengenai struktur pesan. Struktur pesan

yang berbeda dapat menghasilkan respon yang berbeda. Pesan yang disampaikan

dapat secara langsung menyajikan kesimpulan atau membiarkan penonton

menarik kesimpulannya sendiri. Argumen-argumen yang diberikan juga dapat

berupa argumen sepihak yang diberikan oleh pihak perusahaan atau menampilkan

argumen dua pihak antara perusahaan dan konsumen. Pesan promosi juga dapat

memilih antara memunculkan argumen yang paling kuat terlebih dahulu, atau

menyimpannya untuk ditampilkan di akhir pesan. Promosi juga membutuhkan

format pesan yang kuat agar mampu menarik perhatian. Pemilihan media, tulisan,

kata-kata yang difokuskan, warna, bentuk, ukuran, posisi, gerakan, suara, tekstur,

aroma harus dibuat agar memiliki efek yang dapat memikat dan mendorong

preferensi calon konsumen. (Kotler dkk, 2010: 367).

Tesis ini bertujuan untuk mengkaji kontribusi film „Eat Pray Love‟ dan

„Laskar Pelangi‟ dalam memenuhi tujuan promosi pariwisata. Tujuan promosi

yang dimaksudkan di sini adalah dalam hal tujuan untuk menginformasikan

(informing), membujuk (persuading), dan mengingatkan (reminding), sesuai

dengan yang dijelaskan oleh Perreault dan McCarthy (2002), Kotler (2000), dan

Kotler dkk (2010). Karena rancangan pesan promosi pariwisata yang

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

55

menunjukkan pemenuhan terhadap tujuan promosi berkaitan dengan tahapan

proses pengambilan keputusan oleh konsumen dan kualitas suatu pesan, maka

kajian tehadap dua hal tersebut juga dilakukan dalam tesis ini sebagai bagian

untuk menentukan seberapa besar kontribusi masing-masing film dalam

memenuhi tujuan promosi pariwisata bagi masing-masing destinasi secara khusus

dan Indonesia secara umum. Tahapan proses pengambilan keputusan oleh

konsumen yang digunakan pada tesis ini adalah Buyer Readiness States oleh

Kotler dkk (2010) untuk mengkaji mengenai pesan promosi apa yang disampaikan

oleh film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dan Hierarchy of Effects (model

AIDA) sesuai yang dijelaskan oleh Perreault dan McCarthy (2002), Armstrong

dkk (2005), dan Kotler dkk (2010) untuk mengkaji bagaimana pesan promosi

disampaikan oleh masing-masing film. Kualitas pesan promosi mengacu pada

indikator kualitas pesan oleh Kotler dkk (2010) yang memuat tiga kelompok

indikator yaitu berdasarkan isi, struktur, dan format pesan.

2.4 Model Penelitian

Model untuk penelitian tesis berjudul “Promosi Pariwisata melalui Film:

Studi Kasus Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi” terlihat pada Gambar 2.1.

Penelitian ini merupakan penelitian dalam ranah promosi pariwisata dimana salah

satu bentuk alternatif yang dapat digunakan adalah melalui film. Pada dunia

pariwisata praktek ini juga dimanfaatkan dalam bentuk Film Tourism.

Terdapat dua film yang pernah menjadi pembicaraan umum karena

dianggap mampu menjadi promosi bagi pariwisata Indonesia. Kedua film tersebut

adalah „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟. Dua film ini tidak secara langsung

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

56

dimaksudkan untuk menjadi iklan pariwisata, namun ternyata cara kedua film ini

merepresentasikan hubungan antara tokoh dengan lingkungannya membawa pada

efek publisitas terhadap destinasi-destinasi yang ditampilkan. Dengan melihat

pada konsep-konsep film, promosi, publisitas, dan film tourism, serta

mendasarkan pada teori semiotika, teori resepsi dan teori promosi, maka timbul

beberapa masalah yang menarik untuk diteliti. Pertama, mengenai bagaimana

masing-masing film, „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟, dalam menampilkan

simbol pesan promosi pariwisata beserta makna yang timbul dari penampilan

tersebut. Kedua, mengenai bagaimana perbandingan kontribusi antara film „Eat

Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dalam memenuhi tujuan yang ingin dicapai oleh

promosi pariwisata.

Melalui analisis pada penelitian ini didapatkan kelebihan dan kekurangan

dari masing-masing film serta perbandingan di antara kedua film mengenai

kontribusinya terhadap promosi pariwisata. Hal ini kemudian dijadikan referensi

untuk memberikan saran dan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait sebagai

sumbangsih untuk peningkatan kualitas promosi pariwisata Indonesia.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL ... · narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang

57

Gambar 2.1

Model Penelitian

PARIWISATA INDONESIA

Bagaimanakah

simbol dan makna

pesan promosi

pariwisata yang

ditampilkan dalam

film „Laskar

Pelangi‟ untuk

Belitung?

LASKAR PELANGI

EAT,PRAY,LOVE

PROMOSI PARIWISATA MELALUI FILM

Simpulan dan

Saran

Bagaimanakah

kontribusi film „Eat

Pray Love‟

dibandingkan

dengan „Laskar

Pelangi‟ dalam

mencapai tujuan

promosi pariwisata

untuk Indonesia?

Bagaimanakah

simbol dan makna

pesan promosi

pariwisata yang

ditampilkan dalam

film „Eat Pray Love‟

untuk Bali?

TEORI SEMIOTIKA

TEORI RESEPSI

TEORI PROMOSI

KONSEP FILM

KONSEP PROMOSI

KONSEP PUBLISITAS

KONSEP FILM TOURISM