Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Job burnout sebagai suatu respon yang berasal dari keadaan kerja
yang menekan yang tidak dapat dikendalikan dan merupakan suatu
keadaan yang serius. Terdapat beberapa aspek dan faktor yang menjadi
prediktor bagi Job burnout seseorang. Dalam bab ini akan dijelaskan
mengenai Job burnout dan teori yang mendasari, serta bagaiman pengaruh
locus of control eksternal dan work-life balance yang menjadi
prediktornya.
2.1 Job Burnout
2.1.1 Pengertian Job Burnout
Leiter & Maslach (1988) mengemukakan bahwa burnout
didefinisikan sebagai sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan
rasa penurunan personal, prestasi, yang dapat terjadi pada individu yang
bekerja dengan orang-orang dalam kapasitas yang sama.
Maslach & Jackson (1986) mendefinisikan Burnout sebagai
sindrom psikologis yang meliputi 3 dimensi yaitu emotional exhaustion
(kelelahan emosional), depersonalization / cynicism (sikap negatif /
sinisme)dan inefficacy / reduce personal accomplishment (kecenderungan
memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri), yang timbul akibat
paparan stressor yang berlangsung secara terus menerus dalam pekerjaan.
Menurut Kreitner & Kinicki (1992) job burnout adalah akibat dari
stress yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang mulai
mempertanyakan nilai-nilai pribadinya.
Dari beberapa pengertian Job Burnout oleh para ahli di atas dapat
di simpulkan bahwa Job Burnout merupakan suatu sindrom kelelahan
18
emosional, sikap negatif dan sinisme, evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan penurunan personal termasuk prestasi pada pekerja, hal tersebut
timbul akibat paparan stressor yang berkepanjangan di dalam pekerjaan.
2.1.2 Job Burnout
Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger
pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada
lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja
bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku pada sukarelawan setelah
bertahun-tahun bekerja. Hasil pengematannya ia laporkan dalam sebuah
jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai
sindrom burnout. Menurutnya para relawa tersebut mengalami kelelahan
mental, keilangan komitmen dan penurunan motivasi seiring tentang apa
yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti
gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang mulanya
berdiri megah dengan bergabai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar
yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula seseorang
yang terkena burnout, dari luar segalanya masih tampak utuh, namun di
dalamnya kosong dan penuh masalah, seperti gedung yang terbakar tadi
(Sutjipto dalam Mutiasari, 2010).
2.1.3 Dimensi Job Burnout
Maslach et al. (2001) menyebutkan ada tiga dimensi dari job
burnout, yaitu;
a. Emotional Exhaustion
Merupakan perasaan lelah yang teramat sangat dalam hal emosi dan
fisik. Kelelahan emosional ditandai dengan adanya kelelahan yang
tidak adekuat yang disebabkan karena adanya keterlibatan emosional
19
yang terus menerus dengan orang lain atau objek kerja, sehingga
pekerja merasa energi dan sumber-sumber emosionalnya, seperti rasa
kasih, empati, perhatian terkuras yang pada akhirnya tidak mampu
lagi mengatasi tuntutan-tuntutan dari orang lain.
b. Depersonalization/Cynicism
Merupakan perasaan negatif, sensitif, dan menarik diri dari segala
aspek pekerjaan. Depersonalisasi/cynicism membuat seseorang akan
menganggap orang lain adalah objek, bukan subjek yang harus
dimanusiakan. Depersonalisasi/cynicism terbentuk dari mekanisme
self protective terhadap kelelahan (exhaustion) yang dialami pekerja,
yaitu berupa penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan
orang lain. Efek selanjutnya adalah hilangnya perasaan sensitif
kepada orang lain sehingga dapat menimbulkan reaksi-reaksi negatif.
c. Inefficacy / reduce personal accomplishment
Merupakan kecenderungan memberi evaluasi negatif terhadap diri
sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan, merasa tidak kompeten,
tidak bisa meraih prestasi dan tidak produktif dalam bekerja. Setiap
pekerjaan terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya diri
berkurang. Pekerja menjadi tidak percaya dengan dirinya sendiri dan
orang lain tidak percaya dengannya.
2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Job Burnout
Sullivan (1989) menjelaskan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan burnout sebagai berikut :
a. Environmental Factor
Faktor lingkungan merupakan faktor yang berkaitan dengan konflik
peran, beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial,
keterlibatan terhadap pekerjaan, tingkat fleksibilitas waktu kerja.
20
Dalam keluarga, faktor lingkungan termasuk dalam jumlah anak,
keterlibatan dalam keluarga serta, kualitas hubungan dengan anggota
keluarga.
b. Individual Factor
Faktor individu meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin,
etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan; faktor
kepribadian seperti tipe keperibadian introvert atau extrovert, konsep
diri, kebutuhan, motivasi, kemampuan dalam mengendalikan emosi,
locus of control.
c. Social Cultural Factor
Faktor social cultural berkaitan dengan nilai, norma, kepercayaan
yang dianut dalam masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan
sosial.
Mc. Carty & Skogan (2012) menyebutkan bahwa job burnout
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: Kesulitan dalam menyeimbangkan
pekerjaan dan tanggungjawab dalam kehidupan (work-life balance),
kurangnya dukungan dari pimpinan dan rekan kerja, kewajaran kebijakan
dari organisasi dan beberapa faktor pribadi berkontribusi kepada tingkat
job burnout seseorang.
2.1.5 Teknik Mengatasi Job Burnout
Murpi (2013) menyebutkan bahwa sindrom burnout pada profesi
guru dapat di atasi dengan meingkatkan efikasi diri dan dukungan sosial.
Efikasi diri yang tinggi dapat membantu guru dalam mengatasi berbagai
tekanan dan hambatan yang di temui di sekolah sehingga dapat
memperkecil stres bahkan akan mencegah timbulnya teacher burnout
(Bandura, 1995). Menurut Farkati (1996) Dukungan tersebut terdiri dari
21
lima jenis, antara lain dukungan emosi dari pasangan, keluarga, rekan
kerja dapat mengurangi burnout yang dialami guru tersebut. Dukungan
penghargaan akan mengurangi perasaan ketidakberhargaan atau red used
personal accomplisment. Dukungan informasi dukungan instrumental atau
konkrit, dan dukungan jaringan sosial.
Menurut Roshadi (2014) Kelelahan dapat dikurangi dengan
berbagai cara yang ditujukan kepada keadaan umum dan lingkungan fisik
di tempat kerja. Misalnya, banyak hal yang dapat dicapai dengan jam
kerja, pemberian kesempatan istirahat yang tepat, kamar-kamar istirahat,
masa-masa libur atau rekreasi, dan lain-lain.
2.2 Locus of Control
2.2.1 Pengertian Locus of Control Eksternal
Rotter (1990) mendefinisikan locus of control sebagai keyakinan
umum tentang kontingensi antara perilaku individu dan hasil darai
perilaku, yang ditimbulkan melalui mekanisme pembelajaran sosial.
Konseptualisasi locus of control menurut pendekatan Rotter dilihat secara
undimensional, yang dibagi menjadi dua sumber kendali yang terpisah
yaitu locus of control internal versus locus of control eksternal. Individu
diklasifikasikan dalam dua dimensi bipolar berdasarkan keyakinan
mengenai hal-hal yang mempengaruhi perilakunya. Locus of control
internal menggambarkan keyakinan bahwa perilaku berada pada kontrol
diri. Indivdu dengan locus of control internal percaya bahwa pengalaman
yang mereka miliki dikontrol oleh kemampuan dan usaha sendiri
sedangkan individu dengan locus of control eksternal cenderung
mengartikulasikan pengalaman pada nasib, kesempatan, atau
keberuntungan.
22
Konsep locus of control eksternal pertama kali dikembangkan oleh
Julian Rotter yang didasarkan pada teori belajar sosial. Rotter (1966)
mendefinisikan locus of control eksternal sebagai keyakinan individu
bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh kekuatan yang berada
di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau kekuatan lain. Locus of
control eksternal mengacu pada sejauh mana seseorang mengharapkan
bahwa penguatan atau hasil merupakan fungsi dari kesempatan,
keberuntungan, atau nasib, adalah berada di bawah kendali kekuatan orang
lain, atau tidak terduga (Rotter, 1990), dengan kata lain kontrol perilaku
berada di luar diri.
Anastasi & Urbina (2007) menjelaskan bahwa External locus of
control, di pihak lain, mengindikasikan bahwa penguatan positif atau
negatif mengikuti tindakan tertentu individu yang dianggap sebagai
sesuatu yang tidak seluruhnya bergantung pada tindakannya sendiri,
melainkan sebagai hasil peluang, nasib, atau keberuntungan; atau bisa
dianggap sebagai sesuatu yang ada di bawah kontrol orang lain yang
berkuasa dan tidak terduga karena kerumitan kekuatan-kekuatan yang
mengitari inidividu.
Menurut Kreitner & Kinicki (2009) individu yang memiliki
kecendrungan locus of control eksternal adalah individu yang memiliki
keyakinan bahwa kinerja adalah hasil dari peristiwa di luar kendali
langsung mereka. Contohnya seorang pekerja mampu melewati tes tertulis
dikarenakan keyakinannya akan hal yang bersifat eksternal misalnya soal
tes yang mudah atau sedang bernasib baik.
Dalam ruang lingkup pekerjaan dan organisasi, orientasi locus of
control tercemin sebagai cara individu meyakini hal-hal yan terjadi dalam
organisasi disebkan oleh kendali diri, orang-orang penting, ataupun karena
23
keberuntungan (Pareek, 2002). Karyawan ber locus of control eksternal
merasa bahwa kekuatan eksternal seperti keberuntungan atau kesulitan
tugas mengontrol hasil (Luthans, 2006).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control
eksternal merupakan keyakinan individu bahwa kinerja, keberhasilan dan
kegagalan adalah hasil kekuatan dari peristiwa di luar kendali dirinya
seperti nasib dan keberuntungan.
2.2.2 Locus of Control Eksternal
Hider (1958) (dalam Sarwono & Meinarno, 2009) merumuskan
native theory of action yang merupakan kerangka kerja konseptual yang
digunakan individu untuk menafsirkan, menjelaskan, dan memprediksikan
tingkah laku orang lain. Dalam kerangka kerja ini, konsep internasional
seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba, dan tujuan
berperan penting. Teori tersebut juga membuat perbedaan antara penyebab
pribadi dan situasi, serta menyatakan bahwa individu menggunakan
perbedaan ini dalam menjelaskan tingkah laku (atribusi).
Atribusi mengacu pada upaya individu untuk memahami dan
menjelaskan penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa
kasus, juga penyebab di balik perilaku dirinya sendiri (Baron & Byrne,
2004). Menurut Heider (1958) (dalam Luthans, 2006), terdapat dua
sumber atribusi terhadap tingkah laku yaitu atribusi internal
(disposisional) dan atribusi eksternal (situasional). Atribusi internal
menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat
personal atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku,
seperti ciri kepribadian, motivasi, usaha atau kemampuan). Atribusi
eksternal menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh
situasi dan lingkungan tempat individu berada seperti aturan, pengaruh
24
sosial dari orang lain, atau peralatan. Dari teori atribusi inilah konsep
locus of control diperkenalkan karena locus of control mengacu pada satu
tipe atribusi (Akinsola, 2008 dalam Hidayat dkk., 2015).
Konsep locus of control pertama kali dirumuskan oleh Rotter
(1990) dengan istilah “Locus of Control of Reinforcement”, yang mengacu
pada teori pembelajaran sosial. Komponen utama model teori
pembelajaran sosial dalam memprediksi perilaku adalah behavior
potential (potensi perilaku), expectancy (harapan), reinforcement value
(nilai penguatan), dan psychological situation (situasi psikologis). Rotter
menyatakan bahwa konsepnya mengenai harapan-harapan umum akan
kontrol reinforcement lebih dikenal sebagai locus of control (dalam
Hidayat dkk., 2015).
2.2.3 Dimensi Locus of Control Eksternal
Dimensi yang digunakan untuk mengukur locus of control
eksternal yaitu:
a. Internality
Pengaruh dari dalam diri.
b. Externality (others)
Pengaruh dari orang lain misalnya: orang tua, keluarga, teman, rekan
kerja, atasan, bawahan, tekanan dalam grup, dll.
c. Externality (luck)
Pengaruh dari keberuntungan, kesempatan, situasi, peluang.
Merupakan konsep dasar instrumen Locus of Control in
Organisations (LOCO) Inventory yang dikembangkan Pareek (2002).
LOCO Inventory menentukan keterkaitan locus of control dengan
25
komponen pekerjan, yaitu general, success or effectiveness, influence,
acceptability, career, advancement, dan rewards.
2.2.4 Karakteristik Locus of Control Eksternal
Menurut Crider (1983 dalam Ayudiati, 2010) perbedaan
karakteristik antara locus of control internal dan eksternal adalah sebagai
berikut:
1) kurang memiliki inisiatif
2) mudah menyerah, kurang suka berusaha karena mereka percaya
bahwa faktor luarlah yang mengontrol
3) kurang mencari informasi
4) mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan
kesuksesan
5) lebih mudah dipengaruhi dan tergantung pada petunjuk orang lain
Ada beberapa karakter individu yang memiliki locus of control
eksternal menurut Andre (2008), yaitu:
1) Memiliki kontrol terhadap perilaku diri yang buruk
2) Kurang aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan yang
berhubungan dengan situasi yang dihadapi
3) Memiliki self-esteem yang lebih rendah
4) Memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah
5) Tidak mampu untuk mengatasi stress dan kesulitan dalam pekerjaan
dengan cara yang tepat
6) Meyakini rewarddan punishmentyang mereka terima sebagai
kekuatan yang berubah-ubah dan tidak tentu
Samaei et al. (2012) menjelaskan bahwa individu dengan locus of
control eksternal memiliki kontrol yang kurang terhadap kehidupan
mereka dan mereka percaya bahwa apa yang terjadi bagi mereka adalah
hasil dari faktor eksternal.
26
2.3 Work-Life Balance
2.3.1 Pengertian Work-Life Balance
Menurut Greenhaus et al. (2002), balance pada umumnya
dipandang sebagai tidak adanya konflik. Tetapi apabila dihubungkan dan
dimasukkan kedalam pengertian work-life balance, keseimbangan atau
balance disini berasal dari efektivitas (berfungsi baik, produktif, sukses)
dan dampak positif (memuaskan, bahagia) baik untuk pekerjaan ataupun
peran keluarga (Direnzo, 2010). Greenhaus et al. (2002) mendefinisikan
work-life balance sebagai sejauh mana seorang individu mensejajarkan
keterlibatan dan kepuasannya dalam peran di pekerjaan (work role) dan
peran di keluarga (family role).
Work-life balance yang baik didefinisikan sebagai situasi dimana
pekerja merasa mampu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi
atau komitmen lain (Moore, 2007). Keseimbangan kerja dalam arti luas
didefinisikan sebagai tingkat kepuasan dari keterlibatan atau kecocokan
antara peran ganda dalam kehidupan seseorang (Hudson, 2005).
Schermerhorn, Hunt & Osborn (2005) mendefinisikan pula work-life
balance sebagai kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara
tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Work-life balance menurut Hill, Hawkins, Ferris & Weitzman
(2001) merujuk pada sejauh mana individu secara simultan dapat
menyeimbangkan emosi, tuntutan perilaku dan waktu dari pekerjaan yang
dibayar, keluarga, dan tugas pribadi.
Dari beberapa definisi work-life balance di atas dapat di simpulkan
bahwa kemampuan individu untuk menyeimbangkan setiap peran dan
tanggung jawabnya yang berkaitan dengan kehidupan pekerjaan dan
kehidupan diluar pekerjaannya.
27
2.3.2 Work-life Balance
Asal mula tentang work-life balance dapat ditelusuri kembali
dalam penelitian mengenai wanita yang memiliki peran ganda. Banyak
studi menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak kecil
(dibawah usia 18 tahun), mengalami stress karena tidak memiliki cukup
waktu untuk melakukan peran di rumah sehubungan dengan perannya
sebagai karyawan (Descarries & Corbeil, 1995; Conference of Canada,
1994; Tremblay & Vaillancourt-Laflamme, 2000 dalam Tremblay, 2004),
sehingga sulit bagi mereka untuk menyeimbangkan pelaksanaan tanggung
jawab dirumah dan pekerjaan.
kajian mengenai work-family yang sebelumnya lebih
mengedepankan sisi negatif dari interaksi peran di pekerjaan dan peran di
keluarga (work-family conflict), selanjutnya bergeser kearah investigasi
mengenai interaksi positif antara peran pekerjaan dan peran keluarga serta
peran diluar kehidupan pekerjaan dan keluarga (work-family enrichment),
dan para ahli telah mulai mendiskusikan mengenai esensi dari work-life
balance (Jones et al., 2006).
Konferensi Nasional (2015) menjelaskan bahwa istilah work-
family balance selanjutnya akan menggunakan work-life balance, atas
alasan bahwa ketika membicarakan work-family balance, maka sepertinya
individu diisolir dari facet kehidupan lain selain bekerja dan keluarga.
Sementara menajalankan peran di keluarga masih memiliki kandungan
multiple roles, yaitu peran sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak (jika
bersamanya terdapat orang tua yang harus di rawat dan diperhatikan). Para
ahli berargumen bahwa menggunakan istilah work-life balance menjadi
lebih komprehensif, meskipun fokus kajian tetap pada konteks work-
family balance.
28
Pendekatan komponen dalam work-life balance menekankan
keseimbangan konstruk pembagun yang secara langsung berhubungan
(Edwards & Bogozzi, 2000), artinya bahwa work-family balance terdiri
dari beberapa facet yang mendahului dan bermakna terhadap
keseimbangan (Grzywacz & Carlson, 2007). Misalnya menurut Greenhaus
et al. (2003), work-family balance terdiri dari time balance, involvment
balance dan satisfaction balance. Dalam hal ini, maka komponen dari
work-life balance menurut Greenhaus adalah balance dalam hal
penggunaan waktu di kedua domain, intensitas pelibatan di kedua domain,
dan penghayatan kepuasan pada kedua domain.
2.3.3 Aspek-aspek Work-life Balance
Greenhaus et al. (2002) mengungkapkan work-life balance ke
dalam tiga aspek yaitu:
a. Keseimbangan waktu
Aspek ini menyangkut jumlah yang diberikan untuk bekerja dan peran
non-kerja. Keseimbangan waktu ang dimiliki oleh pekerja
menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh pekerja tersebut
pada pekerjaan maupun kehidupan pribadi di luar pekerjaan. Setiap
kegiatan baik itu bekerja, bermasyarakat, maupun kegiatan bersama
keluarga akan dapat dilakukan apabila seseorang memiliki
ketersediaan waktu dan mampu untuk menyeimbangkan.
b. Keseimbangan keterlibatan
Hal ini merujuk pada tingkat keterlibatan psikologis, atau komitmen
untuk peran kerja dan non-kerja. Aspek ini merupakan aspek penting
dalam work-life balance. Setiap individu tidak hanya menyediakan
waktunya saja untuk seluruh kegiatan dalam peran yang berbeda,
29
namun individu tersebut juga harus melibatkan dirinya pada setiap
peran agar terjadi keseimbangan pada berbagai peran yang dijalankan.
c. Keseimbangan kepuasan
Aspek ini menunjukkan tingkat kepuasa seseorang dengan peran
pekerjaan dan hal-hal di luar pekerjaannya. Kepuasan dari diri sendiri
akan timbul apabila karyawan menganggap sesuatu yang
dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat mengakomodasi
kebutuhan pekerjaan maupun kebutuhan lain di luar pekerjaan, baik
kebutuhan keluarga, bermasyarakat, maupun kebutuhan pribadi.
2.3.4 Efek Work-life Balance
Menurut Greenhaus, Collins & Shaw (2003) Keseimbangan kerja-
keluarga dikaitkan dengan kualitas hidup, tetapi hanya dengan kondisi
tertentu ketika mereka seimbang diantara keluarga dan pekerjaan, berarti
mereka mengalami kualitas hidup. Greenhaus & Allen (2011)
mengidentifikasi yang umum digunakan dalam konseptualisasi
keseimbangan kerja-keluarga yaitu tidak adanya konflik kerja-keluarga,
keterlibatan di beberapa peran, efektifitas yang tinggi dan kepuasan di
beberapa peran.
Work-life balance dapat membantu karyawannya menyeimbangkan
tanggung jawab pekerjaan dan keluarga, meningkatkan kesejahteraan dan
memberikan keuntungan organisasional (Lazar et al., 2010).
2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai job burnout sebenarnya sudah sangat banyak
di Indonesia, namun penelitian yang sudah ada kebanyakan menggunakan
subjek karyawan, guru, dan perawat. Belum banyak penelitian yang di
30
publikasi mengenai job burnout pada polisi. Berikut beberapa hasil
penelitian terdahulu mengenai job burnout:
2.4.1 Locus of Control Eksternal dengan Job Burnout
Penelitian kepada 421 komandan dengan level yang berbeda dan
minimal memiliki pengalaman pre-war military, hasilnya menunjukkan
(r=0,322) bahwa secara statistik signifikan (p=0,000) berkorelasi positif
antara Locus of Control Eksternal dan Burnout, artinya indivdu-individu
yang lebih memiliki Locus of Control Eksternal akan lebih rentan juga
terhadap Burnout (Stefan & Simic, 2004).
Jaya & Rahmat (2005) dalam penelitiannya mengenai Burnout
ditinjau dari Locus of Control Internal dan Eksternal menunjukkan adanya
perbedaan kecenderungan Burnout ditinjau dari tipe Pusat Kendali Internal
dan Eksternal (t Pusat Kendali Internal= 11,062 dan t Pusat Kendali
Eksternal= 27,618; p<0,01). Dari hasil penelitian terlihat bahwa subjek
dengan Locus of Control Eksternal lebih tinggi burnoutnya daripada
subjek dengan Locus of Control Internal. Hal ini tampak dari skor olahan
data dimana rata-rata yang diperoleh subjek locus of control eksternal
yakni 161,77 dengan simpangan baku 21,12 sedangkan subjek locus of
control internal yakni 140,27 dengan simpangan baku 42,05. Hal ini
sesuai dengan teori Solomon & Oberlander (1974, dalam Jaya dkk. 2005)
dimana individu yang beranggapan bahwa kegagalan dalam bekerja adalah
berasal dari faktor lain di luar dirinya sendiri maka individu inilah yang
memiliki burnout yang tinggi dengan kepribadian Locus of Control
Eksternal.
Triwijayanti (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan
Locus of Control dengan Burnout Perawat di Ruang Inap Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang menunjukkan ada hubungan antara Locus of
31
Control dengan Burnout, dan terdapat faktor paling dominan berhubungan
dengan Burnout yaitu Locus of Control eksternal (β = 0,276).
Bevis (2008) dengan judul Teacher Burnout: Locus of Control and
its Correlation to Teacher Burnout and Job Satisfaction , ketika menguji
Skala burnout pada Guru, ditetapkan bahwa ada korelasi (r = 0,450) yang
dianggap sebagai hubungan moderat. Korelasi ini signifikan (p <0,05)
sebab frekuensi yang lebih tinggi dari burnout guru berkorelasi dengan
Locus of Control Eksternal. Sebagai antisipasi, ditetapkan bahwa burnout
guru cukup berkorelasi dengan Locus of Control Eksternal. Ketika guru
merasa situasi tidak berada di bawah kendali mereka, mereka tampil lebih
mungkin menderita kelelahan.
Namun peneliti menemukan satu penelitian yang tidak sejalan
dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini oleh Restiningrum dkk.
(2015) dengan judul Pengaruh Locus of Control dan Job Insecurity
Terhadap Burnout Tenaga Perawatdi Rumah Sakit Paru Jember yang
hasilnya menunjukan bahwa Locus of Control pengaruh positif yaitu 0,160
dan mempunyai nilai signifikasi 0,111 lebih besar dari taraf signifikasi
sebesar 0,05. Dengan demikian Locus of Control tidak berpengaruh
signifikan terhadap burnout yang dialami oleh tenaga kerja perawat di
Rumah Sakit Paru Jember. Hal ini berati juga bahwa, apabila tenaga kerja
perawat memiliki kontrol perilaku yang buruk, tidak memiliki inisiatif,
tidak memiliki rasa kompetitif dalam pekerjaananya serta pasrah
menerima dan menjalankan tugasnya tidak mempengaruhi burnout yang
dialami oleh tenaga kerja perawat di Rumah Sakit Paru Jember.
Di Indonesia, belum lama ini telah dilakukan penelitian oleh Sari
(2015) dengan judul “Hubungan Beban Kerja, Faktor Demografi, Locus of
Control dan Harga Diri terhadap Burnout Syndrome pada Perawat
32
Pelaksana IRD RSUP Sanglah”, hasilnya menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara locus of control (p value=0,000, r=0,475) dengan
burnout syndrome. Hal ini disebabkan karena adanya kesinambungan
antara kecendrungan burnout syndrome dengan jenis locus of control.
Responden dengan locus of control internal cenderung mengalami burnout
syndrome ringan dibandingkan responden dengan locus of control
eksternal lebih cenderung mengalami burnout syndrome sedang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Chakraborty (2012) dengan judul
“Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian study”
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara locus of control dengan
burnout syndrome (p value =0,005, p value<0,05). Responden dengan
locus of control ekternal dalam penelitian ini didapatkan lebih banyak
mengalami burnout syndrome. Penelitian pendukung lainnya yang
dilakukan oleh McIntyre (2011) berjudul “The Relationship Between
Locus of Control and Teacher Burnout”, hasilnya menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara locus of control eksternal dan
burnout syndrome. Berdasarkan dua hasil penelitian tersebut, burnout
syndrome cenderung berkorelasi positif dengan locus of control eksternal.
2.4.2 Work-Life Balance dengan Job Burnout
Darmawan dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul
Hubungan antara Burnout dan Work-life Balance pada dosen wanita
menunjukkan nilai koefisien korelasinya adalah (r) -0,563 dengan p=0,000
menunjukkan terdapat hubungan antara kedua variabel bersifat negatif dan
berada pada rentang sedang. Hal ini berarti semakin tinggi nilai burnout
maka semakin rendah nilai work-life balance. Begitu pula sebaliknya
semakin rendah nilai burnout maka semakin tinggi nilai work-life balance.
33
Sebuah pustaka terkait berjudul “Work-Family Interference,
Emotional Labor and Burnout” menunjukkan bahwa ketidakseimbangan
kehidupan-kerja “Work-Life Imbalance” berkorelasi positif dengan
burnout (Montgomery et al., 2006; Peeters et al., 2005) yang artinya
seseorang yang tidak memiliki work-life balance akan cenderung lebih
mudah terkena burnout dibanding dengan orang yang memiliki work-life
balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan non-kerja.
2.4.3 Locus of Control Eksternal dan Work-Life Balance dengan Job
Burnout
Sejauh penelusuran penulis, belum menemukan penelitian yang
membahas mengenai pengaruh dan atau hubungan secara simultan pada
ketiga peubah tersebut.
2.4.4 Usia dan Job Burnout
Pada fase dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi dapat berbeda
bagi setiap orang. Masing-masing memiliki kesulitan pada satu masa
tertentu, beberapa orang mengalami kesulitan dalam kurun waktu lebih
lama dan beberapa dapat mengatasinya dengan lebih cepat sehingga
proses perubahan yang dialaminya tidak terlalu terlihat. Menurut Levinson
(2007) ada enam tahapan perkembangan pada masa dewasa. Pertama
Dewasa Awal antara 23-28 tahun, dimana seseorang melakukan
pengenalan dengan dunia orang dewasa dan berusaha membentuk struktur
kehidupan seperti memasuki dunia kerja, menjalin hubungan, eksplorasi,
mengembagkan identitas dirinya. Kedua Transisi Usia 30 antara 29-33
tahun, banyak terjadi perubahan, ketidakstabilan, kekusutan dan mungkin
kepuasan kerja memburuk sehingga kecenderungan untuk meninggalkan
tempat kerja meningkat. Perubahan yang terjadi pada tahap ini adalah
34
pengakuan terhadap kompleksitas kehidupan antara kenyataan di dalam
diri dan dunia di luar dirinya. Ketiga fase Settling down antara 34-39
tahun, di mana orang menciptakan sebuah posisi dalam sosialnya dan
menunjukkan kemajuan dalam keluarga dan karir. Mereka menunjukkan
komitmen organisasi, keterlibatan dan produktivitas. Fase ini disebut
dengan BOOM (Become One’s Own Man), di mana kontak sosial dan
persahabatan mungkin terkurangi untuk dapat meraih keberhasilan
professional. Keempat Transisi tengah baya antara 40-45 tahun, seseorang
mulai bertanya mengenai kepuasan jabatan, bisa mengalami kemunduran-
pada performancenya, lebih berhati-hati pada pekerjaannya, pada income
dan promosi. Kelima Dewasa Tengah antara 45-50 tahun, merupakan
masa yang relatif stabil dan penuh ketenangan, lebih rasional daripada
skedar bergerak, tujuan menjadi lebih matang dan mulai memberikan
perhatian yang lebih untuk keluarga. Tahap terakhir Transisi 50 antara 51-
55 tahun, di mana memikirkan sikap hidup dan prospek masa depan
menyadari batas kemampuan dan impian, dan kemampuan profesional
mulai berhenti. Setelahnya di tahun 56-60, tujuan profesional dapat
terselesaikan, stabilitas kembali, dan perilaku menunjukkan kelelahan.
Namun beberapa orang dapat mengembangkan imajinasi yang baru untuk
meraih keberhasilan karir, sedangkan yang lain mengalami penurunan.
Tahap perkembangan Levinson di atas didukung oleh Triwijayanti
(2016) dalam penelitiannya terhadap 85 perawat yang berjudul Analisis
Karakteristik Individu terhadap Kejenuhan Perawat menunjukkan bahwa
korelasi antara usia dengan burnout perawat memiliki hubungan yang
sedang dengan arah berlawanan atau negatif dengan nilai koefisien
korelasi r = -0,536 dengan p = 0,000, artinya jika usia meningkat maka
kecenderungan burnout akan lebih rendah. Hal ini dapat terlihat pada
35
tahap perkembangan Levinson di mana semakin menigkatnya usia
menunjukkan stabilitas, sikap rasional dan penuh ketenangan.
2.4.5 Lama Bekerja dan Job Burnout
Triwijayanti (2016) dalam penelitiannya terhadap 85 perawat
berjudul Analisis Karakteristik Individu terhadap Kejenuhan Perawat
menunjukkan bahwa korelasi antara masa kerja dengan burnout perawat
rendah dengan arah berlawanan dengan nilai r = -0,425 dan p = 0,000,
artinya jika masa kerja meningkat kecenderungan mengalami burnout
lebih rendah
2.5 Dinamika Peubah
Salah satu faktor individu yang berpengaruh terhadap job burnout
adalah locus of control. Kecenderungan locus of control pada individu
akan mempengaruhi karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan dirinya
(Sukarti, 2007). Locus of control internal cenderung lebih sukses dalam
karir dibandingkan dengan locus of control eksternal. Seseorang dengan
locus of control internal cenderung mempunyai level kerja yang lebih
tinggi, promosi yang lebih cepat dan mendapatkan penghasilan yang lebih.
Selain itu, locus of control internal cenderung memiliki kepuasan kerja
yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu
menahan stres dibandingkan dengan locus of control eksternal (Menezes,
2009).
Beberapa penelitian terdahulu yang ada dapat menjelaskan bahwa
locus of control eksternal dapat memicu timbulnya job burnout pada
karyawan. Berarti karyawan dengan locus of control eksternal dengan
jelas lebih mudah mengalami kelelahan kerja karena mereka lebih
menganggap kegagalan dan keberhasilan yang mereka dapatkan
36
bergantung dengan hal-hal yang bersal dari luar dirinya. Namun pengaruh
locus of control eksternal terhadap job burnout belum terlihat pada profesi
polisi fungsi reserse dan lalu lintas, hal ini dikarenakan belum
ditemukannya penelitian-penelitian yang terkait sehingga hal ini menjadi
penting dan menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian pada subjek
yang berbeda yaitu anggota polri fungsi reserse dan lalu lintas.
Sari (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara locus of control dengan burnout
syndrome. Sebagian besar responden memiliki locus of control internal
yaitu 41 orang (77,4%) dan hanya 12 orang (22,6%) yang memiliki locus
of control eksternal. Adanya hubungan antara kedua variabel ini
disebabkan karena adanya kesinambungan antara kecendrungan burnout
syndrome dengan jenis locus of control. Responden dengan locus of
control internal cenderung mengalami burnout syndrome ringan yaitu
sebanyak 32 orang (60,3%) sedangkan responden dengan locus of control
eksternal lebih cenderung mengalami burnout syndrome sedang yaitu
sebanyak 7 orang (13,2%).Hasil penelitiannya sejalan dengan penelitian
Chakaborty (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
locus of control dengan burnout. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
McIntyre (2011) didapatkan hubungan yang signifikan antara eksternal
locus of control dan burnout syndrome. Locus of Control internal
cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dengan pekerjaan
mereka dan terlihat lebih mampu menahan stres dibandingkan dengan
locus of control eksternal (Menezes, 2009).
Bevis (2008) dengan judul Teacher Burnout: Locus of Control and
its Correlation to Teacher Burnout and Job Satisfaction , ketika menguji
Skala Burnout pada Guru, ditetapkan bahwa ada korelasi yang
37
signifikansebab frekuensi yang lebih tinggi dari burnout guru berkorelasi
dengan locus of control eksternal. Sebagai antisipasi, ditetapkan bahwa
burnout guru cukup berkorelasi dengan locus of control eksternal. Ketika
guru merasa situasi tidak berada di bawah kendali mereka, mereka tampil
mungkin lebih menderita kelelahan.
Tidak hanya Locus of Control eksternal yang dapat memengaruhi
job burnout anggota Sat.Gatur. Seseorang yang tidak memiliki work-life
balance akan cenderung lebih mudah terkena burnout dibanding dengan
orang yang memiliki work-life balance atau keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan non-kerja. Nitzsche et al. (2013) menemukan
bahwa semakin banyak orang menganggap kehidupan di rumah mereka
menjadi negatif karena dipengaruhi oleh pekerjaan mereka, dan mereka
beresiko untuk kelelahan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa membawa
urusan pekerjaan ke dalam kehidupan di rumah atau tidak memiliki
keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan non-kerja dapat
memicu timbulnya job burnout.
Darmawan, dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul
Hubungan antara Burnout dan Work-life balance pada dosen wanita
mengatakan semakin tinggi nilai burnout maka semakin rendah nilai
work-life balance. Begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai burnout
maka semakin tinggi nilai work-life balance. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian dari Shanafelt et al. (2012) berjudul Burnout and Satisfaction
With Work-Life Balance Among US Physicians Relative to the General US
Population menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian (dokter)
yang diketahui memiliki gejala-gejala burnout digambarkan memiliki
tingkat work-life balance yang rendah, karena jam kerja mereka tidak
38
memberikan cukup waktu untuk kehidupan pribadi maupun waktu untuk
keluarga mereka.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa secara terpisah locus of
control eksternal dan work-life balance sebagai prediktor job burnout.
Sedangkan penelitian-penelitian yang sudah ada memiliki perbedaan
lingkungan dan situasi dengan sampel yang digunakan peneliti saat ini. Di
samping itu, penelitian ini juga akan melihat locus of control eksternal dan
work-life balance sebagai prediktor job burnout secara simultan pada
polisi. Maka job burnout dapat terjadi bila seorang polisi memiliki locus of
control eksternal yang tinggi dan work-life balance yang rendah.
Hunsakers, Chen, Maughan & Heaston (2015) menyatakan
penemuan menarik mengenai perbedaan usia dan job burnout bahwa usia
memengaruhi terjadinya burnout, perawat yang lebih tua memiliki tingkat
burnout yang lebih rendah dibandingkan perawat muda yang belum
berpengalaman dan harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang
penuh tantangan. Tidak hanya usia, karakteristik demografis lama bekerja
juga mempeunyai hubungan. Patrick & Lavery (2007) menyatakan bahwa
perawat yang terlatih mampu menurunkan emosional kelelahan dan
depersonalisasi dibandingkan dengan perawat yang tidak terlatih karena
kurangnya pengalaman.
39
2.6 Model Penelitian
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Model Penelitian
2.7 Hipotesis Penelitian
Adapun beberapa hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini
adalah :
1. Ada pengaruh simultan atau parsial antara Locus of Control Eksternal
dan Work-life balance terhadap Job Burnout pada Anggota Polri
Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.
2. Ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari Usia Anggota Polri Fungsi
Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.
3. Ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari Lama Bekerja Anggota Polri
Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.
Locus of Control
Eksternal
(X1)
Job Burnout
(Y) Work-life
Balance
(X2)
Usia (Moderator)
Lama Bekerja (Moderator)