64
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Kerja Pembuatan Trompong Proses pembuatan instrumen gamelan tergantung pada jenis instrumen yang akan dibuat. Instrumen gamelan gong pada umumnya terbagi dalam dua jenis yaitu instrumen gamelan berbentuk bilah dan instrumen gamelan berbentuk pencon (moncol). Proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon seperti reong, trompong, kempul dan lainnya sedikit berbeda dengan proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk bilah. Pada proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon sedikit lebih rumit dimana pada proses nguwad biasanya dikerjakan oleh lima orang perajin. Sedangkan untuk proses nguwad instrumen gamelan yang berbentuk bilah dapat dikerjakan oleh satu orang perajin. Proses pembuatan trompong terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) Proses peleburan bahan baku berupa campuran timah dan tembaga dengan perbandingan satu bagian timah dicampur dengan tiga bagian tembaga. Proses ini biasanya disebut dengan nglebur (bahasa Bali). Campuran timah dan tembaga dimasukkan ke dalam priuk peleburan yang disebut musa (bahasa Bali) atau kowi (bahasa Jawa), kemudian dipanaskan dengan cara dibakar dalam tungku selama sekitar dua jam sampai bahan tersebut mencair. Selanjutnya bahan yang sudah cair tersebut dicetak ke dalam cetakan yang terbuat dari batu padas dan didinginkan pada ruang terbuka selama kurang lebih dua jam. Hasil cetakan bahan baku pada proses peleburan disebut dengan laklakan (bahasa Bali) atau lakaran (bahasa Jawa) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1; (2) Proses penempaan yaitu proses pembentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...Pengendalian kualitas terhadap produk jadi yaitu pengendalian yang dilakukan terhadap barang hasil produksi untuk menjamin supaya produk jadi tidak mengalami

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Kerja Pembuatan Trompong

Proses pembuatan instrumen gamelan tergantung pada jenis instrumen yang

akan dibuat. Instrumen gamelan gong pada umumnya terbagi dalam dua jenis yaitu

instrumen gamelan berbentuk bilah dan instrumen gamelan berbentuk pencon

(moncol). Proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon seperti

reong, trompong, kempul dan lainnya sedikit berbeda dengan proses pembuatan

instrumen gamelan yang berbentuk bilah. Pada proses pembuatan instrumen

gamelan yang berbentuk pencon sedikit lebih rumit dimana pada proses nguwad

biasanya dikerjakan oleh lima orang perajin. Sedangkan untuk proses nguwad

instrumen gamelan yang berbentuk bilah dapat dikerjakan oleh satu orang perajin.

Proses pembuatan trompong terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) Proses

peleburan bahan baku berupa campuran timah dan tembaga dengan perbandingan

satu bagian timah dicampur dengan tiga bagian tembaga. Proses ini biasanya

disebut dengan nglebur (bahasa Bali). Campuran timah dan tembaga dimasukkan

ke dalam priuk peleburan yang disebut musa (bahasa Bali) atau kowi (bahasa Jawa),

kemudian dipanaskan dengan cara dibakar dalam tungku selama sekitar dua jam

sampai bahan tersebut mencair. Selanjutnya bahan yang sudah cair tersebut dicetak

ke dalam cetakan yang terbuat dari batu padas dan didinginkan pada ruang terbuka

selama kurang lebih dua jam. Hasil cetakan bahan baku pada proses peleburan

disebut dengan laklakan (bahasa Bali) atau lakaran (bahasa Jawa) seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.1; (2) Proses penempaan yaitu proses pembentukan

20

laklakan untuk dapat menjadi trompong setengah jadi yang disebut cobekan

(bahasa Bali) atau ricikan gamelan (bahasa Jawa) seperti Gambar 2.2; (3) Proses

pembentukan sudut tepi antara muka dengan pencon. Proses ini dilakukan dengan

cara memanaskan dan memukul bagian kaki trompong atau lambe (bahasa Bali)

hingga terbentuk sudut antara tepi dengan muka trompong atau pejungut (bahasa

Bali); (4) Proses akhir yaitu proses penghalusan bagian permukaan trompong

hingga mengkilap dan penyelarasan suara atau metuding (bahasa Bali) hingga

terbentuk trompong secara sempurna seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3; (5)

Proses terakhir yaitu membuat lubang pada bagian kaki agar trompong bisa disusun

sesuai dengan urutan trompong dalam satu set instrumen trompong mulai dari nada

terendah (ukuran trompong paling besar) hingga nada tertinggi (ukuran trompong

paling kecil).

Gambar 2.1 Salah Satu Bahan Baku ( Laklakan) Beserta Ukuran

Gambar 2.2 Salah Satu Bentuk Hasil Nguwad (Cobekan) Beserta Ukuran

120 mm

25 mm

O 200 mm

O 180 mm

80 mm

21

Keterangan:

a: Pencon

b: Muka Trompong

c: Pejungut

d: Lambe

Gambar 2.3 Bentuk Trompong dan Bagian Utama

Proses nguwad dimulai dari memanaskan laklakan oleh tukang perapen

selama 20 hingga 35 detik dengan cara membakar laklakan dan membolak-balikan

agar panas secara merata dengan bantuan alat kerja yang disebut culik (bahasa Bali),

seperti Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Proses Memanaskan Laklakan

d

c

a

b

22

Selanjutnya laklakan yang telah panas dipindahkan ke tukang jepit untuk

dipegang seperti Gambar 2.5. Tukang jepit bertugas memegang, memutar dan

mengarahkan secara berlahan bidang yang akan ditempa oleh tukang nguwad.

Selanjutnya tukang nguwad menempa laklakan dengan cara memukul

menggunakan palu besi secara bergantian dan berurutan hingga dianggap cukup

oleh tukang jepit. Sikap kerja tukang jepit dan tukang nguwad ditunjukkan pada

Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Proses Penempaan (Nguwad)

Lama waktu tempa untuk sekali proses penempaan berlangsung sekitar 25

hingga 30 detik. Proses penempaan dan pemanasan dilakukan berulang-ulang

antara 41 hingga 46 kali (tergantung ukuran laklakan). Pada akhir proses nguwad,

cobekan yang telah terbentuk dicelup ke dalam air agar tidak retak pada proses

pengerjaan berikutnya.

23

Alat kerja yang digunakan pada proses ini merupakan perkakas tangan

(hand tool) yang terdiri dari: (1) culik (sejenis pengait panjang) digunakan oleh

tukang perapen untuk memegang, memutar dan membolak-balik bahan baku saat

dipanaskan; (2) alat jepit (sejenis tang panjang) digunakan oleh tukang jepit untuk

memegang dan memutar bahan baku saat ditempa oleh tukang nguwad ; dan (3)

palu besi bulat dan palu besi segi empat digunakan oleh tukang nguwad untuk

menempa/memukul bahan baku.

Gambar 2.6 Alat Kerja Perkakas Tangan (Hand Tool) Pada Proses Nguwad

Setelah terbentuk cobekan, proses berikutnya adalah proses ngicep (bahasa

Bali) yaitu pembentukan sudut atau pejungut (bahasa Bali) antara bagian kaki

dengan bagian muka trompong. Bentuk pejungut trompong sangat penting

diperhatikan agar proporsional antara lebar permukaan trompong bagian atas dan

tinggi kaki sehingga bentuk fisik trompong terlihat baik. Proses berikutnya adalah

membuat pencon atau moncol (bahasa Bali) yaitu proses membentuk bagian pencon

dengan cara menempa bagian tengah permukaan pada suatu lubang cetak yang

Palu besi

Culik

Jepit

24

sesuai dengan diameter dan tinggi pencon. Proses penempaan ini dilakukan

berulang-ulang hingga terbentuk pencon secara sempurna. Proses berikutnya

adalah menyempurnakan bagian sudut muka trompong agar terbentuk muka

trompong yang sempurna. Proses ini dilakukan dengan menempa bagian tertentu

yang dianggap belum terbentuk dengan sempurna.

Proses berikutnya adalah proses di luar perapen yaitu proses penghalusan

dengan cara menggerinda atau mengikir bagian yang dianggap belum rata. Proses

ini disebut manggur (bahasa Bali) yaitu proses penghalusan bagian permukaan

trompong hingga permukaan menjadi rata dan halus. Selanjutnya bagian kaki

trompong dilubangi sebanyak empat lubang yaitu pada kiri, kanan, depan dan

belakang agar trompong bisa disuluh (dimasukkan tali pengikat untuk bisa

ditempatkan pada dudukan trompong). Proses terakhir adalah metuding yaitu

menyelaraskan suara trompong menurut ukuran dan letak trompong dalam satu set

gamelan. Pada proses ini suara trompong disesuaikan dengan patokan suara yang

menggunakan tiga bilah bambu dengan nada suara yang berbeda dan trompong

disusun sesuai dengan ukuran mulai trompong paling besar dengan nada paling

rendah hingga trompong paling kecil dengan nada paling tinggi.

2.2 Kualitas Produk

Pengertian kualitas sangat beraneka ragam. Menurut Boetsh dan Denis

dalam Tjiptono (2000), kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang

berhubungan dengan produk barang maupun jasa serta proses dan lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan. Pendapat di atas dapat dimaksudkan bahwa

seberapa besar kualitas yang diberikan yang berhubungan dengan produk barang

beserta faktor pendukungnya memenuhi harapan penggunanya. Dapat diartikan

25

bahwa semakin memenuhi harapan konsumen, produk tersebut semakin

berkualitas. Clark (2000), juga mendefinisikan kualitas sebagai seberapa konsisten

produk atau jasa yang dihasilkan dapat memenuhi pengharapan dan kebutuhan

internal dan eksternal pelanggan. Sedangkan Stevenson (2005), mendefinisikan

kualitas sebagai kemampuan dari suatu produk atau jasa untuk memenuhi atau

melebihi harapan pelanggan. Dengan demikian, meskipun menurut produsennya,

barang yang dihasilkannya sudah melalui prosedur kerja yang cukup baik, namun

jika tetap belum mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen,

maka kualitas barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen tersebut tetap dinilai

sebagai suatu yang memiliki kualitas yang rendah. Disamping harus mampu

memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen, baik buruknya kualitas

barang yang dihasilkan juga dapat dilihat dari konsistensi keterpenuhan harapan

dan kebutuhan masyarakat. Menurut Stevenson (2005), dimensi kualitas produk

meliputi :

1. Performance, hal ini berkaitan dengan aspek fungsional suatu barang dan

merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam

membeli barang tersebut.

2. Aesthetics, merupakan karakteristik yang bersifat subjektif mengenai nilai-nilai

estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi

individual.

3. Special features, yaitu aspek performansi yang berguna untuk menambah fungsi

dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya.

4. Conformance, hal ini berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap spesifikasi

yang ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.

26

5. Reliability, hal ini yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu

barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode

waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu pula.

6. Durability, yaitu suatu refleksi umur ekonomis berupa ukuran daya tahan atau

masa pakai barang.

7. Perceived Quality, berkaitan dengan perasaan pelanggan mengenai keberadaan

produk tersebut sebagai produk yang berkualitas.

8. Service ability, berkaitan dengan penanganan pelayanan purna jual, seperti

penanganan keluhan yang ditujukan oleh pelanggan.

Menurut Tjiptono (2000), kualitas suatu produk baik berupa barang atau

jasa ditentukan melalui dimensi-dimensinya antara lain: (1). Performance

(kinerja), berhubungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk; (2).

Durability (daya tahan), yang berarti berapa lama atau umur produk yang

bersangkutan bertahan sebelum produk tersebut harus diganti. Semakin besar

frekuensi pemakaian konsumen terhadap produk maka semakin besar pula daya

produk; (3). Conformance to specifications (kesesuaian dengan spesifikasi), yaitu

sejauh mana karakteristik operasi dasar dari sebuah produk memenuhi spesifikasi

tertentu dari konsumen atau tidak ditemukannya cacat pada produk; (4). Features

(fitur), adalah karakteristik produk yang dirancang untuk menyempurnakan fungsi

produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk; (5). Reliability

(reliabilitas), adalah probabilitas bahwa produk akan bekerja dengan memuaskan

atau tidak dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya

kerusakan maka produk tersebut dapat diandalkan; (6). Aesthetics (estetika),

berhubungan dengan bagaimana penampilan produk; (7). Perceived quality (kesan

kualitas), sering dibilang merupakan hasil dari penggunaan pengukuran yang

27

dilakukan secara tidak langsung karena terdapat kemungkinan bahwa konsumen

tidak mengerti atau kekurangan informasi atas produk yang bersangkutan; dan (8).

Serviceability, meliputi kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta

kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.

Gamelan merupakan salah satu produk kerajinan yang digunakan sebagai

sarana alat musik tradisional, kualitas produksinya sangat tergantung kepada

campuran bahan baku, proses pembuatan dan proses finishingnya, sehingga mampu

menghasilkan bunyi-bunyian seperti yang diinginkan. Menurut hasil wawancara

dengan perajin gamelan di Desa Tihingan (Bapak Dendi), dalam pembuatan

gamelan khusunya trompong, kualitas ini sangat berkaitan dengan keutuhan

produk, kesesuaian ukuran, ketebalan, campuran bahan baku, dan proses

pembuatannya.

Bahan baku yang baik adalah campuran tiga bagian tembaga dan satu bagian

timah yang berasal dari logam bermutu baik yang dilebur secara sempurna dan tidak

tercampur kotoran saat proses peleburan. Proses penempaan yang tepat sehingga

ketebalan produk merata, dimensi fisik sesuai dengan ukuran yang diminta, tidak

ada cacat apalagi retak. Dengan demikian kualitas hasil nguwad trompong adalah

kesesuaian dimensi fisik trompong meliputi diameter permukaan, diameter bagian

kaki, ketebalan, dan lebar/tinggi lambe sesuai dengan yang disyaratkan dan tidak

ada keretakan baik skala kecil maupun besar. Jika terjadi keretakan maka produk

dinyatakan gagal dan harus dilebur kembali.

2.3 Pengendalian Kualitas Produk

Kualitas produk gamelan yang dihasilkan oleh perajin di Desa Tihingan

sangat berpengaruh terhadap pemasaran produknya mengingat saat ini industri

28

kerajinan gamelan Bali sudah tersebar hampir di setiap kabupaten/kota di Bali.

Persaingan yang semakin ketat menyebabkan perajin harus benar-benar mampu

mempertahankan kualitas produknya agar tetap dapat bersaing dengan produk luar

Desa Tihingan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperhatikan

pengendalian kualitas.

Usaha pengendalian kualitas merupakan usaha preverentive (pencegahan)

dan dilaksanakan sebelum kesalahan kualitas produk atau jasa tersebut terjadi,

melainkan mengarahkan agar kesalahan kualitas tersebut tidak terjadi di dalam

industri yang bersangkutan. Persoalan pengendalian kualitas pada kerajinan

gamelan di Desa Tihingan adalah bagaimana menjaga dan mengarahkan agar

produk gamelan dari perajin yang bersangkutan tersebut dapat memenuhi kualitas

sebagaimana yang telah disyaratkan oleh pemesan atau sesuai dengan standar

umum gamelan Desa Tihingan. Pengendalian kualitas produk sangat penting dan

berguna bagi industri agar produknya tetap terjamin dan memenuhi keinginan

pasar. Pengendalian kualitas kerajinan gamelan biasanya dilakukan oleh pimpinan

kelompok perajin. Pimpinan kelompok dapat mengambil tindakan dan kebijakan,

menyusun rencana yang baik untuk masa yang akan datang, serta memperbaiki

sistem pengendalian atau pengawasan terhadap produk yang sudah dilakukan

dengan baik.

Pengendalian kualitas adalah suatu aktivitas (manajemen perusahaaan)

untuk menjaga dan mengarahkan agar kualitas produk dan jasa perusahaan dapat

dipertahankan sebagaimana yang telah direncanakan. Menurut Ahyari (1985),

pengendalian kualitas merupakan usaha preventive dan dilaksanakan sebelum

kualitas produk mengalami kerusakan. Pengendalian berhubungan dengan

29

beberapa unsur yang mempengaruhi kualitas itu sendiri. Secara garis besar

pengendalian kualitas produk gamelan di Desa Tihingan dikelompokkan menjadi:

a. Pengendalian kualitas sebelum pengolahan atau proses yaitu pengendalian

kualitas yang berkenaan dengan proses yang berurutan dan teratur termasuk

bahan-bahan yang akan diproses. Dalam hal ini bahan baku yang dapat

digunakan untuk trompong dipilih yang tidak adanya cacat retak pada laklakan.

b. Pengendalian kualitas terhadap produk jadi yaitu pengendalian yang dilakukan

terhadap barang hasil produksi untuk menjamin supaya produk jadi tidak

mengalami kerusakan atau tingkat kerusakan produk sedikit (Assauri, 2004).

Pengendalian kualitas terhadap produk jadi ini meliputi pengendalian kualitas

pada proses produksi dan pengendalian kualitas pada pasca produksi. Pada

proses nguwad, pengendalian kualitas dilakukan pada ketelitian pada proses

penempaan agar tidak retak dan pengendalian kualitas produk hasil nguwad.

Produk cobekan yang dapat diterima adalah cobekan yang sesuai dengan

ukuran meliputi diameter muka dan kaki, ketebalan, tinggi lambe dan tidak

adanya cacat.

2.4 Cara Pengendalian Kualitas Produk

Salah satu teknik yang digunakan dalam pengendalian kualitas diantaranya

dengan metode control chart. Metode ini digunakan untuk mengetahui rata rata

kerusakan produk dan besarnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Tujuan

pengendalian kualitas menurut Ahyari (1985), adalah:

a. Untuk meningkatkan kepuasan konsumen.

b. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin.

c. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya.

30

Metode control chart menurut Reksohadiprojo (1984), meliputi: rata-rata

kerusakan, standar deviasi/penyimpangan, dan batas atas dan batas bawah

pengawasan kualitas produk.

1) Mencari rata-rata kerusakan

Dimana:

P= rata-rata kerusakan produk

X = jumlah rusak

n = jumlah diobservasi

2) Menentukan standar deviasi/penyimpangan:

Dimana:

P = rata-rata kerusakan

Sp = standar deviasi/penyimpangan

n = jumlah diobservasi

3) Menentukan batasan pengawasan.

- Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)

UCL= P+ 3 Sp

- Batasan pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)

LCL = P – 3 Sp

................................... (2)

................................... (1)

................................... (3)

................................... (4)

31

Hubungan pengendalian kualits dengan nilai UCL dan LCL

1. Pengendalian kualitas akan berjalan baik jika kerusakan produk

masih dalam batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan

atas (UCL) dan batasan pengawasan bawah (LCL).

2. Apabila kerusakan produk di atas garis UCL maka perusahaan akan

mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk

tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah LCL maka

perusahaan akan memperoleh keuntungan/laba besar yang

dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit.

2.5 Perpindahan Panas Pada Manusia

Menurut Silverthorn (2010), perpindahan panas pada manusia dari kulit ke

lingkungan atau sebaliknya dapat terjadi melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Radiasi

Radiasi menyebabkan perpindahan panas dalam bentuk berkas inframerah.

Perpindahan panas ini disebabkan karena semua benda bersuhu diatas nol

mutlak akan mengeluarkan gelombang inframerah ke segala arah. Sekitar

60% panas tubuh keluar melalui radiasi.

b. Konduksi

Pengeluaran panas secara konduksi terjadi melalui kontak langsung antara

kulit dengan suatu benda. Besarnya perpindahan panas mencapai 3% akibat

kontak dengan benda lain dan 15% akibat kontak dengan udara.

32

c. Konveksi

d. Pengeluaran panas secara konveksi terjadi karena gerakan udara. Udara

yang telah dipanaskan secara konduksi oleh kulit akan naik ke atas dan

digantikan oleh lapisan udara baru yang belum dihangatkan.

e. Penguapan atau evaporasi

Perpindahan panas secara penguapan terjadi dengan menguapnya air akibat

panas yang berasal dari suhu tubuh. Sekitar 0,58 kalori panas tubuh hilang

untuk setiap gram air yang menguap (Guyton dan Hall, 2007). Pengeluaran

panas secara evaporasi dapat terjadi secara pasif (insensible perspiration)

dan aktif yaitu dalam bentuk berkeringat yang dirangsang oleh sistem saraf

simpatis. Pengeluaran panas melalui penguapan sangat penting bila suhu

lingkungan mendekati atau sama dengan suhu tubuh karena saat itu

pengeluaran melalui radiasi jauh berkurang.

Perpindahan panas yang terjadi pada perapen perajin gamelan pada proses

kerja nguwad adalah adanya perpindahan panas radiasi dari tungku pembakaran

yang memapar perajin. Selain itu juga terjadi perpindahan panas secara konduksi

dengan adanya kontak langsung antara perkakas tangan dengan logam panas

(laklakan) dan secara konveksi karena adanya gerakan udara.

2.6 Beban Kerja

Beban kerja pada menurut Adiputra (1998), secara umum dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu:

1) Beban kerja eksternal (stressor) adalah beban kerja yang berasal dari

pekerjaan yang sedang dilakukan. Beban eksternal meliputi task,

organisasi dan lingkungan.

33

2) Beban kerja internal adalah beban kerja yang ditimbulkan oleh faktor

individual pekerja yang bersifat somatis (jenis kelamin, umur, ukuran

tubuh, kondisi kesehatan dan status gizi) dan yang bersifat psikis

(motivasi, persepsi, keinginan dan lainnya).

Semakin tinggi aktivitas tubuh menyebabkan metabolisme tubuh semakin

meningkat berdampak pada kebutuhan O2 yang semakin besar pula dan frekuensi

denyut nadi akan meningkat (Adiputra, 2002). Keluhan fisiologis merupakan

mekanisme adaptasi tubuh untuk tetap berada pada kondisi homeostasis (Pinel,

2009 dalam Handari, 2013). Otot yang berkontraksi tanpa mengangkat beban akan

berkontraksi sangat cepat, dalam waktu 1/20 detik telah tercapai keadaan kontraksi

yang maksimal pada kebanyakan otot, tetapi jika diberikan beban terhadap otot ini,

kecepatan kontraksinya bertambah lama dan sebanding dengan penambahan beban

yang diterima.

3)

Gambar 2.7 Hubungan Antara Beban Dengan Kecepatan Kontraksi Otot

(Sumber: Guyton dan Hall, 2007)

Beban kerja dapat berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasal dari

faktor internal. Untuk itu dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai

yaitu:

34

a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang

meliputi: reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan prilaku.

b. Kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai

pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai

kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang

dirasakan.

Beban kerja utama pada proses nguwad trompong berasal dari aktivitas

kerja memanaskan bahan baku oleh tukang perapen, aktivitas memegang dan

memutar benda kerja oleh tukang jepit dan aktivitas menempa oleh tukang nguwad.

Beban kerja tambahan yang dialami oleh perajin pada proses kerja nguwad dapat

berasal dari: (1) kondisi lingkungan kerja paparan suhu panas hasil pembakaran

bahan bakar dalam tungku dan paparan debu sisa pembakaran; (2) kondisi tuntutan

tugas (task) yaitu adanya sikap kerja belum alamiah akibat stasiun kerja yang

belum ergonomis; (3) kondisi organisasi kerja yaitu tidak adanya rotasi kerja, tidak

tersedia air minum di tempat kerja dan tidak adanya istirahat pendek.

Penilaian beban kerja pada proses kerja nguwad trompong dapat dilakukan

secara objektif dan subjektif. Metode penilaian beban kerja yang paling mudah dan

murah, secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya adalah pengukuran frekuensi

denyut nadi. Frekuensi nadi kerja dari seluruh jam kerja, selanjutnya dipakai dasar

penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier

dengan pengambilan oksigen (Rodahl, 2005). Hal ini merupakan refleksi dari

proses reaksi (strain) terhadap stressor yang diberikan oleh tubuh, dimana biasanya

besar strain berbanding lurus dengan stress.

Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan denyut nadi

dilaksanakan saat bekerja atau segera setelah selesai bekerja. Oleh karena itu, yang

35

paling baik diukur dengan menggunakan alat pencatat yang ditempelkan di dada

atau di lengan saat bekerja, kemudian hasilnya dicatat setelah selesai bekerja. Akan

tetapi, juga bisa dengan mengukur denyut nadi selama bekerja, untuk menilai

cardiovasculair strain dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992), dimana dengan

metode ini dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut:

Denyut Nadi (Denyut

Menit) =

10 Denyut

Waktu Perhitungan (Detik) x 60…….……(5)

Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode sepuluh denyut adalah

mengukur denyut nadi secara palpasi dengan menghitung waktu dalam detik untuk

sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop

pada denyutan kesebelas).

Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan

menggunakan kuesioner, dengan kuesioner tersebut akan terlihat tanda-tanda yang

menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang

membebaninya, oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaan, tempat kerja,

organisasi/cara kerja, peralatan kerja dan lingkungannya (Bridger, 2005). Penilaian

beban kerja pada proses kerja penggunaan stasiun kerja perapen yang ergonomis

dengan sistem nyala api tertutup dapat juga dilihat dari beberapa variabel seperti

pemakaian O2 dan denyut nadi. Salah satu cara untuk mengetahui derajat beban

kerja adalah dengan penghitungan denyut nadi kerja, yaitu rerata denyut nadi

selama bekerja. Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, dan denyut nadi,

tingkat beban kerja dibedakan dalam beberapa kategori sebagaimana disajikan pada

Tabel 2.1 (Kroemer dan Grandjean, 2000).

36

Tabel 2.1

Tingkat Beban Kerja Menurut Keluaran Energi

Tingkat beban kerja Keluaran

energi

(kcal/min)

Keluaran

energi/ 8 jam

(kcal)

Denyut

nadi (dpm)

Konsumsi

oxygen

(l/menit)

Istirahat 1.5 < 720 60 – 70 0.3

Beban kerja sangat ringan 1.6 – 2.5 768 – 1200 65 – 75 0.32 – 0.5

Beban kerja ringan 2.5 – 5 1200 – 2400 75 – 100 0.5 – 1.0

Beban kerja sedang 5.0 – 7.5 2400 – 3600 100 – 125 1.0 – 1.5

Beban kerja berat 7.5 – 10.0 3600 – 4800 125 – 150 1.5 – 2.0

Beban kerja sangat berat 10.0– 12.5 4800 – 6000 150 – 180 2.0 – 2.5

Beban kerja luar biasa berat > 12.5 > 6000 > 180 > 2.5

Sumber: Kroemer dan Grandjean, 2000.

Cara lain untuk menentukan penilaian klasifikasi beban kerja fisik pada

proses kerja nguwad adalah klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan beban

kardiovaskuler yang dihitung berdasarkan data denyut nadi istirahat, denyut nadi

kerja dan denyut nadi maksimum 8 jam (Intaranot dan Vanwonterghem, 1993

dalam Suyasning, 1998), dengan rumus-rumus sebagai berikut:

a. Denyut nadi maksimum 8 jam = 220 – umur (untuk pria) atau

= 200 – umur (untuk wanita)

100 x (denyut nadi kerja – denyut nadi istirahat)

b. % CVL = -------------------------------------------------------------- ..(6)

Denyut nadi max. 8 jam – denyut nadi istirahat

Berdasarkan beban kardiovaskuler, beban kerja fisik diklasifikasikan seperti

dalam Tabel 2.2.

37

Tabel 2.2

Klasifikasi Beban Kerja Berdasarkan Beban Kardiovaskuler

CVL Klasifikasi

Beban Kerja

Keterangan

< 30 % Ringan Tidak terjadi kelelahan (no particular

fatigue, no action required)

30 % < CVL 60 % Sedang Perlu perbaikan (attention level,

improvement measurement advised)

60 % < CVL 80 % Berat Kerja dalam waktu singkat (action

required on short term)

80 %< CVL 100 % Sangat berat Perlu segera tindakan (immediate

action required)

Sumber: Suyasning, 1998

Untuk memonitor external load yang bersumber dari suhu lingkungan dapat

pula dihitung dengan mempergunakan WBGT index (Wet Bulb Globe

Temperature). Kemudian ISO 7243-1982 merekomendasikan bahwa pengukuran

pengaruh lingkungan terhadap pekerja berdasarkan pada WBGT Index dengan

rumus sebagai berikut (Intaranont dan Vanwonterghem, 1993):

WBGT = 0,7 Tnwb + 0,3 Tg (indoor activity) ………………(7)

Tnwb = natural wet bulb temperature

Tg = black globe temperature

Dari hasil perhitungan di atas, dengan berpedoman pada indek WBGT dapat

diketahui upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk tercapainya suatu kerja yang

berkesinambungan selama delapan jam. Gambar 2.8 memperlihatkan grafik dari

indek WBGT.

38

Gambar 2.8 Indek WBGT dan Periode Waktu Kerja-Istirahat (Sumber: Intaranont dan Vanwonterghem, 1993)

Untuk mengevaluasi apakah beban kerja yang dilakukan akibat aktivitas

kerja atau akibat dari lingkungan kerja (iklim mikro setempat) maka dilakukan

perhitungan ECPT (extra cardiac pulse due to temperature) dan ECPM (extra

cardiac pulse due to metabolism) (Intaranont dan Vanwonterghem, 1993; Adiputra,

2002). ECPT dan ECPM ditentukan melalui pengukuran denyut nadi pemulihan

yang dilakukan pada lima menit terakhir setelah bekerja dan dihitung dengan

menggunakan rumus:

𝐸𝐶𝑃𝑇 =𝑃3 + 𝑃4 + 𝑃5

3− 𝑃0 … … … … … … … … … … … . … . … … . . (8)

𝐸𝐶𝑃𝑀 = (𝑃1 + 𝑃2 − 𝑃3) −𝑃3 + 𝑃4 + 𝑃5

3… … … … … … … … . . (9)

dimana:

P0 = denyut nadi istirahat adalah denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai

dan P1, P2, P3, P4, P5 = denyut nadi pemulihan adalah denyut nadi yang dihitung

pada akhir 30 detik setelah pekerjaan berhenti selama 30 detik untuk P1, dan

39

dilanjutkan untuk P2 dihitung pada akhir 30 detik setelah P1, selama 30 detik.

Demikian seterusnya sampai P5, seperti terlihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Denyut Nadi Pemulihan

Berdasarkan nilai ECPT dan ECPM (Intaranont dan Vanwonterghem, 1993;

Adiputra, 2002), maka:

1. bila nilai ECPT > ECPM, berarti bahwa faktor lingkungan lebih dominan

sehingga memberikan beban kerja tambahan kepada subjek. Dalam upaya

perbaikan maka aspek lingkungan itu harus ditekan sekecil mungkin;

2. bila nilai ECPM > ECPT, itu berarti bahwa kerja fisik tugas yang dilakukan

memang berat. Upaya intervensinya ditujukan untuk menurunkan beban kerja

utama; dan

3. bila nilai ECPT = ECPM, itu berarti bahwa beban fisik pekerjaan dan aspek

lingkungan sama-sama memberikan beban kepada tubuh, dengan demikian

upaya intervensi ditujukan keduanya.

140

130

120

110

100

90

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 detik

1

2

3 4

5

Pekerjaan berhenti

P1 P2 P3 P4 P5

Den

yu

t n

ad

i/m

enit

Nadi pemulihan

40

2.7 Kelelahan

Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh

agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm tubuh

yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur

oleh sistem saraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem

aktivasi oleh sistem saraf simpatis dan memperlambat impuls yang terjadi di sistem

inhibisi oleh saraf parasimpatis. Kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-

beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasistas kerja dan

ketahanan tubuh (Suma’mur, 2009). Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh

akan mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Seandainya kondisi

seperti ini dibiarkan berlanjut tentunya akan mempengaruhi produktivitas

seseorang. Sedarmayanti (1996), menyatakan kelelahan yang berlanjut dapat

menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala seperti (1) terjadinya penurunan

stabilitas fisik, (2) kebugaran berkurang, (3) gerakan lamban dan cenderung diam,

(4) malas bekerja atau beraktivitas, dan (5) adanya rasa sakit yang semakin

meningkat. Secara fisiologi terdapat dua macam kelelahan yaitu:

1) Kelelahan otot adalah suatu keadaan dimana otot mengalami kelelahan

akibat ketegangan yang berlebihan, terlihat dari beberapa gejala tremor

pada otot atau perasan nyeri yang terdapat pada otot, penurunan tenaga,

gerakan otot yang lebih lambat dan juga koordinasi otot menurun

(Suma’mur, 2009). Penyebab terjadinya kelelahan otot dimungkinkan

karena sikap kerja pada proses kerja nguwad cenderung statis tanpa

adanya kesempatan untuk pemulihan yang cukup, sehingga aliran darah

menuju ke otot terhambat, suplai oksigen dan glukose menurun, terjadi

41

penumpukan sisa metabolisme dan akhirnya timbul nyeri/sakit pada otot-

tubuh (Grandjean, 1998; Guyton dan Hall, 2007).

2) Kelelahan umum adalah suatu keadaan yang terlihat dari gejala

perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motoris, respirasi,

perasaan sakit dan berat pada bola mata, sehingga akan mempengaruhi

kerja fisik maupun kerja mental (Grandjean, 1998; Sedarmayanti, 1996).

Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek psikologi yang ditandai

dengan gejala-gejala berikut: (1) meningkatnya kejengkelan (tidak toleran, bersikap

anti sosial), (2) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak bermotif),

dan (kelemahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan). Di samping

efek fisiologi dan psikologi, kelelahan juga menyebabkan gangguan psikomatik

yang ditandai dengan sering sakit kepala, terengah-engah, tidak ada nafsu makan,

mual, berdebar-debar, insomnia (sukar tidur) dan sebagainya. Faktor penyebab

terjadinya kelelahan sangat bervariasi dan sangat kompleks. Beberapa faktor yang

perlu diperhatikan untuk menghindari atau mengurangi kelelahan di antaranya

faktor aktivitas kerja fisik, aktivitas kerja manual, stasiun kerja tidak ergonomis,

sikap paksa, kerja statis, lingkungan kerja ekstrim, beban psikologis, kebutuhan

kalori kurang, waktu kerja-istirahat tidak tepat.

Kelelahan yang terjadi pada proses kerja nguwad trompong diakibatkan

oleh proses kerja berulang-ulang dalam jangka waktu cukup lama dengan aktivitas

kerja statis. Pada umumnya kelelahan yang diakibatkan oleh aktivitas kerja statis

dipandang mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas

kerja dinamis. Pada kondisi yang hampir sama, kerja otot statis mempunyai

konsumsi energi yang lebih tinggi, denyut nadi meningkat dan diperlukan waktu

istirahat yang lebih lama. Dalam suasana kerja dengan otot statis kontraksi otot

42

bersifat isometrik yaitu sementara, tegangan otot bertambah, ukuran panjangnya

praktis tidak berubah. Pada kerja otot statis tidak terjadi perpindahan beban akibat

bekerjanya suatu gaya sehingga aliran darah agak menurun sehingga asam laktat

terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal. Suma’mur (2009),

menyatakan bahwa kerja otot statis merupakan kerja berat (strenous). Pada kerja

otot statis, dengan pengerahan tenaga 50% dari kekuatan maksimum otot hanya

dapat bekerja selama satu menit, sedangkan pada pengerahan tenaga < 20% kerja

fisik dapat berlangsung cukup lama. Akan tetapi, pengerahan otot statis sebesar

15−20% akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika pembenahan berlangsung

sepanjang hari.

Pada kerja dinamis, kontraksi otot bersifat isotonik yaitu ukuran panjang

otot berubah, sementara tegangan tetap. Kontraksi otot yang menghasilkan

perpindahan gerak badan dinamis biasanya bersifat ritmik, sehingga waktu kerja

dapat berlangsung lama. Kontraksi dan relaksasi otot yang bergantian maka aliran

darah tidak cepat terganggu, sehingga rasa sakit pada otot yang bersangkutan tidak

cepat timbul.

Pembebanan otot secara statis (static muscular loading) dalam jangka waktu

cukup lama dan dilakukan berulang-ulang akan mengakibatkan RSI (Repetitif

Strain Injuries) yaitu nyeri otot, tulang, tendon dan lain-lain. Namun, jenis

pekerjaan yang mengandung pembebanan otot statis ini sulit dihindarkan terutama

dalam kondisi jika otot yang bersesuaian merupakan otot pokok untuk menjaga

suatu postur. Upaya untuk mengurangi kelelahan dapat dilakukan dengan cara

melakukan perubahan dari sikap kerja statis menjadi sikap kerja yang dinamis atau

lebih bervariasi, agar sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal ke anggota

tubuh

43

Ketika manusia melakukan kerja fisik yang memerlukan energi sebagai

sumber tenaganya maka akan mengakibatkan adanya perubahan fungsi pada alat-

alat tubuhnya. Gejala-gejala perubahan menurut Wignjosoebroto (1995), dapat

dideteksi melalui: (1) laju denyut jantung (heart rate), (2) tekanan darah (blood

pressure), (3) temperatur badan (body temperature), (4) laju pengeluaran keringat

(swatting rate), (5) konsumsi oksigen yang dihirup (oxygen consumption), dan (6)

kandungan kimiawi dalam darah (lactic acid content).

Pada waktu manusia melakukan aktivitas akan mengakibatkan pengeluaran

energi sangat erat terkait dengan konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu

kerja biasanya ditentukan dengan cara tidak langsung yaitu dengan pengukuran (a)

kecepatan denyut jantung dan (b) konsumsi oksigen (Pulat, 1992). Menurut Pulat

(1992), konsumsi energi diukur secara tidak langsung melalui konsumsi oksigen.

Namun pengukuran sendiri memerlukan suatu alat khusus yang dipasang pada

punggung subjek yang diamati. Banyaknya oksigen yang dikonsumsi dapat

diketahui dengan memakai cara perbandingan konsumsi oksigen itu dengan

menghitung denyut nadi lalu memadankan denyut nadi itu dengan konsumsi

oksigen. Jadi, proses untuk mengetahui pengeluaran energi tersebut dapat dilakukan

dengan: (1) menghitung denyut nadi atau denyut jantung, (2) memadankan

(ekivalen) angka denyut dengan konsumsi oksigen, (3) dan memadankan konsumsi

oksigen dengan perubahan energi.

Menurut Stanton (1996), pemadanan konsumsi oksigen dengan denyut

jantung dalam suatu aktivitas kerja antara lain adalah sebagai berikut.

1. Operator pria bekerja dengan denyut nadi 75 denyut/menit sepadan dengan

konsumsi oksigen 0,5 liter/menit atau sepadan dengan pengeluaran energi 2,5

kkal/menit.

44

2. Orang istirahat dengan denyut nadi 62 denyut/menit, sepadan dengan konsumsi

oksigen 250 ml/menit dan sepadan dengan pengeluaran energi 1,25 kkal/menit.

Denyut jantung wanita pada umumnya lebih cepat daripada pria, dalam

keadaan yang sama denyut jantung wanita akan 10 denyut/menit lebih tinggi dari

denyut jantung pria. Pada waktu istirahat orang akan mengeluarkan energi secara

konstan, yang besarnya ditentukan oleh berat badan, tinggi badan, dan jenis

kelamin. Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat berkurangnnya

cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya

efesiensi otot. Setiap hari manusia selalu terlibat dengan kegiatan-kegiatan, baik itu

bekerja bergerak yang memerlukan energi. Tubuh manusia dianggap sebagai

sebuah mesin yang dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh hukum-hukum

alam. Kemampuan manusia untuk melakukan berbagai macam kegiatan tersebut

tergantung pada struktur fisik tubuh yang terdiri dari stuktur tulang manusia dan

sistem otot. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut diperlukan energi yang

diperoleh dari proses metabolisme dalam otot, yaitu proses-proses kimia yang

mengubah sari-sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja mekanis dan panas.

Metabolisme merupakan salah satu proses penting dalam tubuh manusia.

Salah satu proses yang paling penting di dalam tubuh adalah berubahnya energi

kimia dari makanan menjadi tenaga mekanik dan panas. Jadi, sumber kalori adalah

pembakaran zat makanan dalam jaringan tubuh yang berubah menjadi panas dan

kerja mekanik yang disebut metabolisme. Lewat proses metabolisme akan

dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja fisik (mekanis) lewat

sistem otot manusia. Di sini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oksigen (O2)

yang dihirup, terbakar dan menghasilkan panas serta energi mekanik.

45

Dalam sistem pernapasan (respiration) oksigen diserap oleh pembuluh

darah paru-paru dan menghasilkan panas, tenaga, dan asam laktat. Bila jumlah

oksigen yang masuk melalui pernapasan lebih kecil daripada tingkat kebutuhan,

berarti oksigen dalam tubuh akan mengurangi asam laktat untuk diubah menjadi air

(H2O) dan karbondioksida (CO2) yang bisa dikeluarkan dari tubuh dan menjadi

tidak seimbang dengan pembentukan asam laktat sendiri. Dengan demikian, terjadi

penimbunan asam laktat dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot

selanjutnya mengakibatkan adanya kelelahan. Gas CO2 sebagai hasil pembakaran

di dalam sel-sel tubuh ini mencerminkan jumlah oksigen yang digunakan untuk

proses metabolisme di dalam sel tubuh.

Karbohidrat yang diperoleh dari makanan diubah menjadi glukosa dan

disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Dalam otot terjadi kontraksi otot yang

diikuti dengan terjadinya reaksi kimia (oksidasi glukosa) yang mengubah glikogen

tersebut menjadi tenaga, panas, dan asam laktat. Dalam tubuh dikenal fase

pemulihan yaitu suatu proses untuk mengubah asam laktat menjadi glikogen

kembali dengan adanya oksigen dari pernafasan, sehingga memungkinkan otot

bergerak secara kontinyu.

Pada teori syaraf pusat dijelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan

penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan diantarkannya

rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan

otot. Selanjutnya aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan

gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel syaraf menjadi berkurang.

Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan dan kecepatan

kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat (Stanton, 1996).

46

2.8 Keluhan Muskuloskeletal

Aktivitas perajin gamelan pada proses kerja nguwad lebih banyak

melibatkan otot statis, sehingga terjadi pembebanan yang berlebih pada otot dengan

durasi pembebanan yang panjang dan berulang-ulang sehingga sirkulasi darah ke

otot berkurang, suplai oksigen menurun, proses metabolisme terhambat dan terjadi

penimbunan asam laktat sehingga menimbulkan nyeri/sakit pada muskuloskeletal

(Grandjean, 1998; Suma’mur, 2009). Keluhan yang sering dirasakan perajin setelah

kerja umumnya sakit pada punggung, lengan atas, tangan, pinggang, lutut dan betis.

Maka metode subjektif untuk menilai keluhan muskuloskeletal ini adalah keluhan

pada sistem muskuloskeletal. Corlett (1992), menggunakan penilaian keluhan

muskuloskeletal dengan menggunakan nordic body map baik rating maupun

rangking. Prosedur menggunakan mapping untuk menilai keluhan muskuloskeletal

tersebut dapat dilakukan pada interval selama keseluruhan jam kerja. Subjek

ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami kenyerian maupun sakit

atau ketidaknyamanan pada 4 skala Likert.

Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh tertentu dapat ditelusuri dengan

menggunakan beberapa alat ukur ergonomi mulai dari alat yang sederhana hingga

menggunakan peralatan komputer. Beberapa alat ukur ergonomi yang sering

digunakan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Electromyography (EMG). Alat ini digunakan untuk mengevaluasi dan mencatat

aktivasi otot. Analisis ergonomi sering menggunakan EMG untuk

membandingkan tegangan muskuloskeletal dengan berbagai variasi posisi kerja,

posture, atau kegiatan untuk validasi prinsip ergonomi (Marras, 1992). EMG

adalah alat yang sangat penting dalam ergonomi, dan telah digunakan secara luas

dalam penelitian kelelahan otot (Kumashiro, 2005; Kumar dan Mital, 1996);

47

2. Pendekatan biomekanik otot menerapkan hukum mekanika dan konsep teknik

untuk menggambarkan gerakan berbagai segmen tubuh dan gaya yang bekerja

padanya (Ayoub dan Mital, 1989). Chaffin et al. (1999), mengembangkan model

biomekanik yang menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk

mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja. Dari model

biomekanik ini dikembangkan software Three Dimensional Static Strength

Prediction Program (3DSSPP) yang dapat mengestimasi beban pada sendi

tertentu akibat gaya pada tangan terutama saat mengangkat. Pedoman NIOSH

berdasarkan penelitian biomekanik dan epidemiologi industri menetapkan Back

Compression Design Limit (BCDL) sama dengan 770 lbs atau setara dengan

3400 Newtons.

3. Metode observasional termasuk OWAS, RULA, REBA, dan lain-lain. OWAS

(Ovako Working Posture Analysis System) adalah sebuah teknik untuk

mengevaluasi postur selama bekerja. Metode ini dapat diterapkan untuk

perbaikan tempat kerja, merancang tempat kerja baru, dan survei ergonomi

(Corlett, 2005). Rapid Upper Limb Assessment (RULA), dipergunakan untuk

menilai posture, gaya/beban, dan aktivitas otot, yang diketahui berkontribusi

terhadap upper limb disorders (Corlett, 2005). Analisis lebih detail

menggunakan Rapid Entire Body Assessment (REBA). Untuk mendapatkan data

yang akurat perlu menggunakan video recording, lalu dicocokkan dengan

diagram yang ada pada RULA dan REBA untuk mendapatkan skor akhir. Teknik

OWAS, RULA, dan REBA digunakan secara luas dalam bidang pertanian,

kontruksi, industri logam, pemeliharaan kapal, dan lain-lain (Kee dan

Karwowski, 2007; Gilkey et al., 2007; Kumashiro et al., 2007).

4. Tabel psikofisik merupakan penilaian berdasarkan pada ilmu psikologi yang

digunakan untuk mengevaluasi pemindahan material secara manual tentang

48

berapa banyak kapasitas pekerja dalam mengangkat, menurunkan, mendorong,

menarik dan membawa beban (Snook, 2005).

5. Model fisik merupakan suatu metode mengetahui sumber keluhan otot dapat

dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur tingkat beban kerja. Tingkat

beban kerja dapat diketahui melalui indikator denyut nadi, konsumsi oksigen,

dan kapasitas paru. Melalui indikator tingkat beban kerja dapat diketahui tingkat

resiko terjadinya keluhan muskuloskeletal (Christensen, 1991).

6. Pengukuran subjektif yaitu cara pengumpulan data menggunakan catatan

harian, wawancara, dan kuesioner (David, 2005). Untuk menilai keluhan

muskuloskeletal pada pekerja digunakan kuesioner Nordic Body Map.

Kuesioner ini sudah biasa dipergunakan dalam penelitian ergonomi karena biaya

rendah, ada keterlibatan pekerja, dan mudah dalam pengumpulan data (Ercan

dan Erdinc, 2006; David, 2005).

2.9 Produktivitas Kerja

Produktivitas kerja seringkali dikaitkan dengan efektivitas dan efisiensi dari

kerja atau dikaitkan dengan masalah rasio hasil kerja (keluaran) dan berbagai

sumber yang diperlukan untuk tercapainya hasil kerja tersebut (masukan). Rasio

keluaran dan masukan ini dapat juga dipakai untuk mengetahui usaha yang

dilakukan oleh manusia. Produktivitas secara umum dapat diformulasikan sebagai

berikut (Manuaba, 2000):

Output

Produktivitas = --------------------- .......................... (10)

Input x Waktu

Produktivitas kerja pada proses kerja nguwad trompong dapat diukur dari

perbandingan output yaitu jumlah produk (cobekan) dengan kualitas baik yang

49

dihasilkan oleh perajin dalam jangka waktu tertentu dengan input yaitu beban kerja

perajin. Produktivitas kerja dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah

produk yang dihasilkan dan menurunkan beban kerja perajin serta mengurangi

waktu kerja untuk menyelesaikan produk cobekan. Untuk dapat meningkatkan

produktivitas kerja maka diperlukan usaha-usaha menserasikan berbagai faktor

antara lain: alat, cara dan lingkungan kerja dengan kemampuan, kebolehan dan

keterbatasan manusia pekerja (Manuaba, 2000). Shinde dan Jadhav (2012),

menyatakan bahwa produktivitas pekerja sangat tergantung pada desain ergonomis

dan dengan ergonomi dalam mendesain stasiun kerja menunjukkan interaksi yang

lebih baik antara sistem manusia mesin. Usaha peningkatan produktivitas kerja

menurut Manuaba (1998), dapat dilakukan melalui pendekatan ergonomi yaitu:

a. Status nutrisi, dimana ada nutrisi yang memadai sebagai sumber

energi seseorang untuk mampu menyelesaikan pekerjaannya.

b. Aplikasi tenaga otot secara optimal dan efisien melalui desain

pekerjaan yang efisien dan latihan yang memenuhi persyaratan

untuk menekan stress pada seseorang sebagai batas minimum.

c. Menghindari sikap tubuh yng salah/tidak alamiah sewaktu kerja.

d. Kondisi lingkungan yang sesuai agar pekerja dapat bekerja dengan

nyaman dan aman dan tidak memberikan beban tambahan bagi

pekerja.

e. Kondisi waktu yang berkaitan dengan waktu istirahat, kerja bergilir,

kerja malam harus mampu menekan kelelahan dan pengaruh

kesehatan terhadap pekerja.

50

f. Kondisi sosial, yaitu perlu adanya penghargaan, kualitas interaksi

sosial antar pekerja perlu sering dikaji akibat perubahan teknologi.

g. Kondisi informasi berupa jumlah dan kualitas informasi yang

diperlukan pekerja dapat menunjukkan penampilan secara puas

perlu dievaluasi.

h. Interaksi manusia – mesin berkaitan dengan analisis yang tepat apa

yang harus dikerjakan oleh manusia dan mesin.

2.10 Lingkungan Kerja

2.10.1 Mikroklimat

Mikroklimat merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam lingkungan

kerja pada proses nguwad karena dapat bertindak sebagai stressor yang dapat

menyebabkan strain pada pekerja apabila tidak dikendalikan dengan baik.

Mikroklimat dalam lingkungan kerja terdiri dari unsur; a) suhu udara, b) panas

radiasi, c) kelembaban, dan d) gerakan udara (Grandjean, 1998; Manuaba, 2000).

Untuk negara dengan empat musim, rekomendasi untuk comfort zone pada musim

dingin adalah suhu ideal berkisar antara 19-23 oC dengan kecepatan udara antara

0,1- 0,2 m/det dan pada musim panas suhu ideal antara 22-24 oC dengan kecepatan

udara antara 0,15 - 0,4 m/det serta kelembaban antara 40-60% sepanjang tahun

(Grandjean, 1998; Manuaba 2000). Sedangkan untuk negara dengan dua musim

seperti Indonesia, rekomendasi tersebut perlu mendapat koreksi. Kaitannya dengan

suhu panas lingkungan kerja, Grandjean (1998), memberikan batas toleransi suhu

tinggi sebesar 35 - 40 oC; kecepatan udara 0,2 m/det; kelembaban udara 40 - 50%;

perbedaan suhu permukaan < 4 oC.

51

Kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman juga dapat disebabkan oleh

paparan suhu panas di lingkungan kerja. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan

regulasi mengenai nilai ambang batas lingkungan kerja dengan beban kerja

seseorang di tempat kerja melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang

Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

Tabel 2.3

Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISSB)

No. Pengaturan Waktu

Kerja Setiap Jam

ISSB (oC)

Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

1 75 % - 100 % 31,0 28,0 -

2 50 % - 75 % 31,0 29,0 27,5

3 25 % - 50 % 32,0 30,0 29,0

4 0 % - 25 % 32,2 31,1 30,0

Sumber: Menakertrans, 2011

2.10.2 Kebisingan

Terjadinya kebisingan di tempat kerja umumnya bersumber dari adanya

bunyi-bunyian akibat proses produksi atau sumber lain. Terdapat dua hal yang

menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekwensi dan intensitasnya (Suma’mur,

2009). Kebisingan di tempat kerja nguwad dapat menggangu aktivitas kerja

sehingga pekerja tidak dapat bekerja dengan nyaman. Kebisingan juga dapat

mempengaruhi fisiologis tubuh seperti: denyut jantung meningkat, kontraksi

pembuluh darah di kulit, tensi otot bertambah, tekanan darah meningkat,

metabolisme meningkat dan menurunnya aktivitas alat pencernaan (Manuaba,

2000).

52

2.11 Organisasi Kerja

Organisasi kerja menurut Suma’mur (2009), terutama menyangkut waktu

kerja; saat-saat istirahat; dan waktu makan. Ketiga-tiganya menentukan tingkat

kesehatan dan effisiensi tenaga kerja. Waktu kerja menyangkut aspek-aspek: 1)

lamanya waktu kerja; 2) istirahat; dan 3) aspek periode waktu. Menurut Manuaba

(2000), bahwa jam kerja berlebihan, jam kerja lembur diluar batas kemampuan akan

dapat mempercepat munculnya kelelahan, menurunkan ketepatan, kecepatan dan

ketelitian kerja. Oleh karena setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang

ritmis antara asupan energi dan penggantian energi (kerja-istirahat), maka

diperlukan adanya waktu istirahat pendek dengan sedikit kudapan untuk

mempertahankan performasi dan efisiensi kerja.

2.11.1 Istirahat

Menurut Suma’mur (2009), terdapat empat jenis istirahat yaitu: istirahat

secara spontan, istirahat curian, istirahat karena ada pertalian dengan proses kerja,

dan istirahat yang ditetapkan. Istirahat spontan adalah istirahat pendek yang segera

setelah pembebanan. Istirahat curian terjadi karena beban kerja tidak seimbang

dengan kemampuan kerja. Istirahat oleh karena proses kerja tergantung dari beban

mesin, peralatan, atau prosedur-prosedur kerja. Istirahat yang ditetapkan adalah

istirahat yang diatur misalnya istirahat paling sedikit 45 s.d 60 menit setelah empat

jam kerja berturut-turut (Grandjean, 1998).

2.11.2 Gizi kerja

Gizi kerja berarti nutrisi yang diperlukan oleh pekerja untuk memenuhi

kebutuhan kalori sesuai dengan beban kerjanya. Gizi kerja ditujukan untuk

meningkatkan daya kerja dan kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya.

Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan

53

kerusakan-kerusakan dari sel dan jaringan dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan

kalori seseorang ditentukan oleh jenis kelamin, umur, berat badan dan jenis

kegiatan (Suma’mur, 2009; Roedjito, 1998; Almatsier, 2001). Penetapan kebutuhan

kalori dapat dilakukan dengan perhitungan perkiraan rerata kalori yang diperlukan

dalam sehari (24 jam) yang terdiri dari jumlah jam kerja sehari, jumlah jam istirahat,

jumlah jam tidur dan jumlah jam kegiatan rumah dalam sehari. Sementara

penetapan input kalori dapat dilakukan melalui food model berdasarkan konsumsi

makanan dalam sehari (Suma’mur, 2009). Kebutuhan kalori seorang sehari ditaksir

dari kebutuhan energi/kalori untuk komponen-komponen sebagai berikut

(Suma’mur, 2009; Muhilal, et al., 1998; Almatsier, 2001): (a). Metabolisme basal;

(b). Pengaruh makanan atas kegiatan tubuh dan (c).Kerja otot/aktivitas kerja.

Kebutuhan energi untuk metabolisme basal sering disebut dengan Angka

Metabolisme Basal (AMB) atau Basal Metabolic Rate (BMR). Menurut

FAO/WHO/UNU/1985 (Almatsier, 2001) rumus untuk menaksir AMB disajikan

pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4

Rumus Untuk Menaksir Nilai AMB dari Berat Badan

Kelompok Umur

(tahun)

AMB (kkal/hari)

Laki-Laki Perempuan

0 - 3 (60,9 x BB) - 54 kkal (61,0 x BB) + 51 kkal

3 - 10 (22,7 x BB) + 495 kkal (22,5 x BB) + 499 kkal

10 - 15 (17,5 x BB) + 651 kkal (12,2 x BB) + 746 kkal

18 - 30 (15,3 x BB) + 679 kkal (14,7 x BB) + 496 kkal

30 - 60 (11,6 x BB) + 879 kkal ( 8,7 x BB) + 829 kkal

> 60 (13,5 x BB) + 487 kkal (10,5 x BB) + 596 kkal

Sumber: Almatsier, 2001.

Keterangan: BB = berat badan dalam satuan kg.

Haris dan Benedict pada tahun 1909 (Almatsier, 2001) menentukan rumus sebagai

berikut:

54

AMB = 66,5 + [13,5 x BB (kg)] +[5,0 x TB(cm)] +[6,75 x umur(th)]

Keterangan:

BB: Berat Badan; TB: Tinggi Badan

2.12 Penerapan Ergonomi Total

Tantangan pengembangan industri termasuk industri kecil dan menengah

saat ini adalah mulai masuknya era golabisasi baik dalam pemasaran produk

maupun dalam penyediaan bahan baku dan tenaga kerja, sehingga setiap industri

saat ini harus mampu bersaing dalam produksi dengan produk yang semakin

berkualitas dan dengan harga yang lebih murah serta pemanfaatan bahan baku yang

ramah lingkungan. Dengan demikian industri harus mampu meningkatkan

produktivitas kerjanya guna menghasilkan produk yang mampu berdaya saing

dipasar global. Menurut Manuaba (2000), tantangan di era globalisasi ini meliputi

3 C yaitu: Complexity, Competition, dan Change. Dalam upaya menghadapi

tantangan tersebut, penerapan ergonomi secara total mempunyai peranan yang

sangat penting mulai dari tingkat perencanaan sampai pada tingkat pelaksanaan di

perusahaan atau di industri.

Menurut Manuaba (2006), beberapa masalah sebagai tantangan ergonomi

dan keselamatan dan kesehatan kerja yang harus dipertimbangkan dan perlu

perhatian serius jika kita ingin mengatasi masalah pasar global dan isu-isu global

saat ini meliputi: (1). Masih terjadinya kecelakaan kerja, bahkan juga terjadi di

tempat kerja yang sudah dilengkapi dengan undang-undang dan peraturan serta

langkah-langkah keamanan seperti perangkat pelindung diri; (2). Adanya gap

antara pengetahuan sistem manajemen dan ergonomi dengan penerapan dalam

sistem kerja dan gap antara reseacrh dengan aplikasi di lapangan; (3). Upaya

55

penyelesaian masalah seringkali tidak bersifat berkelanjutan; (4). adanya

keterbatasan horison pemahaman pemilik usaha terhadap pengembangan usaha

maupun dalam penerapan sistem manajemen; dan (5). Adanya tuntutan di era

global, industri harus mampu bersaing dengan adanya sistem kerja yang

berkelanjutan.

Penerapan ergonomi total menurut, Fam et al. (2007), merupakan model

penerapan ergonomi yang menggabungkan antara faktor-faktor ergonomi yang

konvensional dengan faktor-faktor manajemen dan faktor-faktor organisasi. Hal ini

membutuhkan adanya team work antara operator dan manajemen pada semua

tingkatan. Penerapan ergonomi total dalam sistem kerja dimulai dengan

mempertimbangkan desain yang berpusat pada manusia (Human Center Design)

yang menserasikan pemahaman tentang karakteristik pekerja dan tuntutan tugas-

tugasnya. Faktor manusia desain biasanya melibatkan total sistem, yang terdiri dari

bagimana pekerja berinteraksi dengan perangkatnya untuk melakukan tugas-

tugasnya pada stasiun kerja di bawah lingkungan tertentu. Tujuannya adalah untuk

memastikan seluruh sistem: pekerjaan, produk, interaksi antar pekerja dan

lingkungan yang dirancang sesuai dengan kemampuan fisik dan mental pengguna,

dan juga sesuai dengan keterbatasan pekerjanya (Lim dan Chui, 2001).

Beberapa tahapan dalam penerapan ergonomi total pada industri menurut

Azadeh, (2002), terdiri dari tujuh langkah antara lain:

1. Mendefinisikan sasaran dari penerapan ergonomi total yang diharapkan,

hal ini dapat dimulai dengan melakukan kaji ulang terhadap sistem

operasi, proses kerja dan prosedur yang diterapkan selama ini.

2. Melakukan wawancara dan mempersiapkan cek list.

56

3. Merancang desain survei ergonomi total yang meliputi sistem

manajemen, team work, dan berbagai informasi lainnya.

4. Melakukan analisis informasi pada setiap departemen.

5. Melakukan survey pengukuran data antropometri.

6. Melakukan kesesuaian data antropometri dengan standar kerja

ergonomi.

7. Finalisasi terhadap data kualitatif dan kuantitatif audit dan membuat

rekomendasi untuk perbaikan desain dan rancangan penerapannya.

Pendekatan ergonomi dapat dilakukan dalam upaya penyelesaian

problematik kerja yang sering dialami manusia seperti kelelahan mata, sakit kepala,

dan keluhan muskuloskeletal (Wignjosoebroto, 2011). Pendekatan ergonomi yang

bertujuan untuk merealisasikan konsep tentang efektivitas, efisiensi, kenyamanan,

keselamatan, dan kesehatan bagi pekerja serta produktivitas kerja adalah

merupakan solusi yang sangat relevan dan signifikan untuk merespon setiap

tantangan dan tuntutan globalisasi yang sedang terjadi (Tarwaka, 2011).

Qutubuddin, et al., (2012), juga menyatakan bahwa dengan ergonomi dapat

mengurangi potensi kesehatan yang buruk di tempat kerja yaitu MSDs seperti rasa

sakit dan nyeri pergelangan tangan, siku, bahu, dan punggung. Pendekatan

ergonomi total dalam intervensi ergonomi menekankan cara berpikir dan bertindak

dalam melakukan perbaikan dengan menggunakan pendekatan sistemik, holistik,

interdisiplin dan partisipasi serta memilih teknologi tepat guna (TTG). Menurut

Manuaba (2003, 2006), pendekatan ergonomi total terdiri dari: (1) penerapan

Teknologi Tepat Guna (TTG); dan (2) pendekatan SHIP yaitu Systemics, Holistics,

Interdisiplinary, Partisipatory. Penerapan teknologi tepat guna perlu dikaji secara

57

komprehensif melalui enam kriteria yaitu: (1) teknis; (2) ekonomis; (3) sosial

budaya; (4) ergonomis; (5) hemat energi; dan (6) ramah lingkungan serta berbasis

kearifan lokal yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan karakteristik pengguna

teknologi tersebut (Manuaba, 2004), dan ditambah satu kriteria lagi yaitu (7) trend

(Sutjana, 2011). Para ahli telah menerapkan konsep pendekatan ergonomi total di

berbagai bidang kegiatan dengan hasil yang bermakna. Model pendekatan

ergonomi total mendorong adanya peran serta dan partisipasi aktif semua pihak

mulai dari perajin, pengusaha, konsumen, pakar, masyarakat dan pihak lainnya

dalam setiap pengambilan keputusan. Keputusan diperoleh melalui suatu

pertemuan atau diskusi kelompok yang terarah dengan dipandu seorang fasilitator.

Kepada karyawan dan pengusaha serta pihak lain diberikan ceramah singkat

mengenai peranan ergonomi untuk memperbaiki kondisi kerja industri kecil.

Teknologi yang akan diterapkan harus dikaji dan didiskusikan melalui pendekatan

SHIP (Manuaba, 2006). Dalam hal ini diperlukan adanya berbagai pengalaman,

urun pendapat, langkah sistematis dan partisipasi semua pihak dalam merumuskan

teknologi yang akan dipilih. Langkah langkah yang harus dilaksanakan adalah

penyuluhan ergonomi dan dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Selama diskusi

dipandu seorang fasilitator untuk melakukan identifikasi masalah, analisis SWOT,

membuat rencana aksi, penerapan dan evaluasi. Penerapan model pendekatan

ergonomi total selalu berdasarkan pada delapan masalah ergonomi yang sering

dihadapi yaitu penggunaan otot, pengaturan gizi, sikap kerja, kondisi waktu,

kondisi lingkungan, kondisi informasi, kondisi sosial budaya dan interaksi

manusia-mesin. Perbaikan yang dilakukan selalu berdasarkan teori yang ada yaitu:

58

data antropometri karyawan, kondisi lingkungan kerja karyawan, kondisi stasiun

kerja dan lain sebagainya.

Pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan konseptual dalam upaya

memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kerja atau aktivitas lainnya yang

dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang menekankan

penggunaan pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi dalam

analisis masalah ergonomi dan merumuskan rencana kerja serta memilih intervensi

melalui penerapan teknologi tepat guna (Manuaba, 2006). Fam et al.(2007), dengan

menerapkan integrated ergonomics pada pembangkit listrik berhasil

mengoptimalkan kinerja karyawan dan meningkatkan model pendekatan ergonomi

total jauh lebih menguntungkan dari pendekatan konvensional.

Para ahli juga telah menerapkan ergonomi partisipatori yang merupakan

salah satu komponen dari konsep ergonomi total berbagai bidang kegiatan dengan

hasil yang memuaskan. Kumashiro (2005), menyatakan hasil yang sangat penting

dari penerapan ergonomi partisipasi pada usaha kecil dan menengah dalam bidang

industri otomotif dimana pekerja dapat meyakinkan pemilik mampu berkontribusi

pada peningkatan produktivitas perusahaan. Kogi, et al. (1988), menyatakan

metode partisipasi sangat efektif untuk memperbaiki tempat kerja (workplace),

walaupun sering dimodifikasi sesuai dengan situasi lokal, namun tetap berfokus

pada low-costimprovement. Selanjutnya Limerick, et al. (2007),

mengimplementasikan ergonomi partisipasi untuk pekerjaan manual (manual task)

pada pekerja tambang bawah tanah, hasilnya dapat meningkatkan kemampuan

untuk mengatasi masalah dan menurunnya beban kerja fisik pekerja di dapur.

59

Penerapan ergonomi total pada proses nguwad trompong adalah meliputi

penerapan teknologi tepat guna berupa penerapan sistem pembuangan debu dan

udara panas ke luar perapen dan debu ditampung dalam wadah bak air sehingga

menjadi lumpur. Demikian juga berupa pemanfaatan data antropometri perajin

dalam perancangan lubang kaki tukang jepit, tukang perapen, dan tukang nguwad

sehingga sikap kerjanya menjadi lebih alamiah. Penerapan perbaikan perapen

dilakukan dengan pendekatan SHIP.

2.12.1 Kajian SHIP

Pendekatan SHIP atau SHIP approach adalah pendekatan terpadu yang

terdiri dari empat unsur yaitu: sistemik, holistik, interdisipliner, dan partisipatori.

Kajian SHIP pada perbaikan kondisi dan lingkungan kerja perajin gamelan adalah

sebagai berikut.

1. Sistemik

Konsep pendekatan sistem mulanya digunakan dalam bidang teknik untuk

mendesain sistem elektronik, mekanik dan militer. Dalam hal ini pendekatan sistem

melibatkan sistem manusia dan mesin dan selanjutnya dilaksanakan dalam bidang

keorganisasian dan manajemen. Pada akhir tahun 1950 dan awal 1960-an

pendekatan sistem mulai digunakan dalam bidang latihan dan pendidikan

(merumuskan masalah), analisis kebutuhan dengan maksud

mentransformasikannya menjadi tujuan-tujuan (analisis masalah), desain metode

dan materi intruksional (pengembangan suatu pemecahan masalah), pelaksanaan

secara eksperimental, dan akhirnya menilai dan merevisi (Oemar, 2003).

Pendekatan sistemik dalam upaya penyelesaian suatu masalah dapat

dimodelkan dalam suatu pemikiran sistemik ke dalam input, system, dan output.

60

Input di sini adalah masalah sedangkan output -nya adalah penyelesaian masalah.

Di dalam system informasi dari input akan diproses, untuk kemudian disesuaikan

agar diperoleh output yang diinginkan. Artinya sebelum memulai penyelesaian

masalah harus didefinisikan terlebih dahulu input dan output-nya. Dengan demikian

akan diperoleh gambaran jelas tentang permasalahannya dan bisa membayangkan

hasil akhirnya. Barulah kemudian mendesain sebuah sistem untuk mencapai hasil

akhir yang diinginkan.

Sistemik dalam pendekatan SHIP diartikan sebagai semua faktor yang

diasumsikan mempengaruhi proses perancangan sistem kerja dan diperkirakan

dapat menimbulkan masalah harus diperhitungkan dengan cara memasukkan

kaidah ergonomi dalam setiap tahap perancangan. Kondisi kesehatan dan

keselamatan kerja perajin gamelan dilihat dari beban kerja, keluhan

muskuloskeletal, kelelahan, dan produktivitas kerja, beserta faktor lain yang

mempengaruhinya merupakan suatu sistem. Oleh karena itu, semua unsur yang

mempengaruhi kesehatan dan keselamatan perajin harus dipahami sebagai suatu

sistem. Adapun sistem kerja pada proses nguwad dapat diuraikan berikut ini.

a. Dalam perancangan stasiun kerja perajin gamelan pada proses nguwad

yang perlu dipertimbangkan adalah layout kerja, ketinggian bidang

tempa, alat tempa yang digunakan, dan sikap kerja perajin.

b. Dengan menggunakan stasiun kerja perapen yang ergonomis akan

mengubah sistem kerja, cara kerja, waktu kerja dan terutama terhadap

sikap kerja yang lebih baik/ergonomis dan pengurangan paparan panas

dan debu.

61

c. Sistem kerja dengan kerja monoton ke sistem rotasi akan meningkatkan

gairah kerja dimana tukang nguwad dirotasi posisinya secara bergilir.

d. Tempat kerja dari perapen nyala api terbuka diganti dengan perapen

yang dilengkapi dinding api dan sistem pembuangan debu dan gas

panas hasil pembakaran bahan bakar, sehingga paparan panas dan debu

yang memapar perajin dapat dikurangi.

e. Sikap kerja, dari sikap yang membungkuk saat nempa menjadi sikap

kerja alamiah saat menempa dan dapat duduk dengan alamih saat tidak

sedang menempa.

f. Waktu kerja lebih cepat, produktivitas meningkat, kualitas produk lebih

baik dan penghasilan bertambah.

g. Kesehatan perajin terjaga dengan penyediaan air minum yang

terjangkau di tempat kerja.

2. Holistik

Istilah holistik merupakan sebuah peristilahan yang berasal dari bahasa

Inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan (Noah, 1980). Konsep

berpikir holistik dapat diartikan berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam

kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit.

Model berpikir yang menggunakan model holistik adalah berpikir secara

divergen dan konvergen secara bertahap ditambah kemampuan “melihat” hubungan

antara ide-ide atau informasi-informasi yang sebelumnya tidak terhubung. Dalam

pelaksanaannya, menurut Latifah (2008), berpikir holistik berpijak pada tiga

prinsip, yaitu:

62

a. Connectedness adalah konsep interkoneksi yang berasal dari filosofi

holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi, fisika

kuantum dan teori sistem.

b. Wholeness. Keseluruhan (wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari

setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bisa

dideduksi hanya dengan mempelajari setiap komponennya.

c. Being. Menjadi (being) adalah tentang merasakan sepenuhnya kekinian.

Hal ini berkaitan dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom),

wawasan (insight), kejujuran, dan keotentikan.

Pemecahan masalah dilakukan secara holistik yang menekankan bahwa

semua faktor yang terkait atau diperkirakan terkait dengan masalah yang ada harus

dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh. Holistik diartikan bahwa sistem terdiri

dari subsistem yang saling terkait dan harus dipertimbangkan. Subsistem yang

terkait dalam kajian kesehatan, keselamatan, dan produktivitas pekerja ada

beberapa faktor berikut ini.

a. Faktor lingkungan kerja yang perlu dipertimbangkan dalam aktivitas

kerja perajin gamelan pada proses nguwad adalah: suhu, kelembaban,

dan gerakan udara, serta debu.

b. Faktor internal adalah usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,

pengalaman kerja, dan keterampilan.

c. Faktor eksternal, hal yang perlu dipertimbangkan adalah sistem

pemberian penghargaan dan sanksi, kepemimpinan, dan hubungan

kerja baik horizontal maupun vertikal.

63

Pada proses kerja nguwad pemecahan permasalahan dengan pendekatan holistik

dilakukan melalui upaya perbaikan sikap kerja dengan perbaikan stasiun kerja,

perbaikan lingkungan kerja dengan menggunakan perapen yang dilengkapi dengan

sistem pembuangan debu dan udara panas sisa pembakaran ke luar ruangan serta

perbaikan organisasi kerja meliputi pemberian istirahat pendek setelah nguwad dan

menyediakan air minum.

3. Interdisipliner

Pendekatan interdisipliner menekankan bahwa proses pemecahan masalah

dalam suatu sistem dibutuhkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Disiplin ilmu

yang terkait dalam perbaikan kondisi dan lingkungan kerja perapen antara lain: (a)

ahli ergonomi akan melihat permasalahan dari keterkaitan antara manusia dengan

pekerjaannya, (b) ahli teknik berperan dalam tahap proses seleksi untuk

menentukan teknologi yang layak secara teknis yang akan dipakai, (c) ahli kualitas

meyakinkan setiap proses yang lebih baik dalam rangka menghasilkan barang atau

jasa, (d) ahli ekonomi dibutuhkan untuk menganalisis pembiayaan, dan dalam

menunjang keberhasilan secara komersial, (e) ahli fisiologi mempelajari peranan

dan fungsi organ-organ tubuh manusia saat sedang bekerja.

Para ahli membentuk suatu tim guna merumuskan perbaikan kondisi dan

lingkungan kerja baru dengan pertimbangan berbagai segi. Peran para ahli untuk

meyakinkan bahwa perbaikan kondisi dan lingkungan kerja baru merupakan hal

yang realistis.

4. Partisipatori

Partisipatori diartikan sebagai keterlibatan semua pihak yang

berkepentingan. Pihak yang terkait dan perlu dilibatkan adalah perajin, pengusaha,

64

peneliti, tukang, masyarakat dan instansi terkait. Dalam perancangan stasiun kerja

perapen yang ergonomis, keterlibatan perajin gamelan diperlukan untuk diminta

masukannya tentang kesesuaian peralatan yang akan digunakan. Perajin diminta

memberikan masukan terhadap perancangan stasiun kerja dan perancangan sistem

pembuangan debu agar nyaman digunakan oleh perajin. Proses partisipasi

dilakukan mulai dari perencanaan dengan mengukur data antropometri perajin dan

meminta perajin untuk mencoba dan memberikan masukan hal hal yang harus

diperhatikan dalam perancangan stasiun kerja tersebut. Nagamachi (1995),

menyatakan bahwa ergonomi partisipasi adalah pekerja aktif terlibat dalam

mengimplementasikan pengetahuan dan prosedur ergonomi di tempat kerja. Pada

bagian lain Wilson dan Haines (1998), mengatakan ergonomi partisipatori adalah

proses perencanaan dan pengendalian dari sejumlah aktivitas yang melibatkan

operator dengan pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam

mempengaruhi proses dan hasil untuk mencapai tujuan tertentu. Manuaba (2006),

menyatakan bahwa ergonomi partisipasi adalah semua yang akan terlibat terhadap

pemecahan masalah atau terlaksananya satu gagasan harus dilibatkan sedini

mungkin.

2.12.2 Kajian teknologi tepat guna

Teknologi tepat guna adalah teknologi yang cocok dengan kebutuhan

masyarakat sehingga bisa dimanfaatkan. Biasanya dipakai sebagai istilah untuk

teknologi yang sederhana, tidak perlu perawatan yang rumit, terkait dengan budaya

lokal, memanfaatkan sumber daya alam dan manusia setempat, untuk mengatasi

permasalahan, serta berdayaguna tinggi bagi masyarakat setempat (Nala, 1990,

Munaf, et al., 2008). Menurut Manuaba (2006), teknologi tepat guna harus

memenuhi enam kriteria berikut ini.

65

1. Teknis

Perancangan stasiun kerja perapen yang ergonomis dapat menghasilkan

perapen yang lebih baik, dengan sistem nyala api tertutup bertujuan untuk

mempertahankan suhu pembakaran sehingga pembakaran lebih sempurna,

mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Perapen dibuat sederhana dengan

komponennya mudah didapat dan handal, kualitas terjamin serta perawatannya

sangat murah dan mudah, aman dipakai.

2. Ekonomi

Perancangan stasiun kerja perapen yang ergonomis seoptimal mungkin

memanfaatkan bahan yang umum ada di pasaran, mudah didapat dengan harga

relatif murah agar terjangkau dari segi biaya. Pembuatannya relatif mudah, dan

umur pakai relatif lama sampai 5 tahun, sehingga akan memberikan keuntungan

lebih yang cukup besar.

3. Ergonomis

Perancangan stasiun kerja perapen yang ergonomis bertujuan untuk

meningkatkan kesehatan secara fisik dan mental, untuk kehidupan yang lebih baik.

Stasiun kerja perapen yang ergonomis dengan sistem nyala api tertutup harus

memenuhi syarat-syarat kenyamanan saat digunakan, seperti tinggi alat, panjang

jangkauan, kapasitas dan kekuatan konstruksi. Sikap kerja yang fisiologis, sedikit

memanfaatkan otot, sehingga perajin merasa sehat, aman, nyaman dan produktif.

4. Sosial budaya

Perancangan stasiun kerja perapen yang ergonomis dengan sistem nyala api

tertutup memperhatikan sikap perajin terhadap organisasi kerja, dinamika

kelompok, kebiasaan kerja, norma, tata nilai, keinginan, dan kepercayaan dari

66

perajin dan masyarakat sekitarnya. Semua unsur diselaraskan dengan kemampuan

dan keterbatasan manusia baik secara fisik maupun mental. Dengan demikian

perbaikan dapat diterima, tidak menimbulkan masalah baru, dan tidak

menimbulkan dampak sosial lainnya.

5. Hemat energi

Teknologi yang digunakan adalah teknologi sederhana. Sisa pembakaran

pada proses pembakaran bahan trompong berupa udara panas yang mengandung

karbon monoksida dan debu dibuang dengan bantuan exhaust fan ke luar tempat

kerja dan ditampung dalam kantong. Exhaust fan dirancang menggunakan

penggerak motor listrik dengan kapasitas yang memadai dan menggunakan daya

listrik yang rendah (120 watt) sehingga hemat akan energi.

6. Ramah lingkungan

Teknologi yang digunakan tidak menimbulkan polusi/pencemaran,

kebisingan atau polutan lainnya yang berdampak negatif bagi lingkungan. Dalam

perancangan suatu alat harus mengacu dan selalu menjaga keserasian dan

keseimbangan dengan lingkungan. Dalam perancangan sistem pembuangan debu

ini, debu ditampung dalam bak air sehingga debu menjadi lumpur dan tidak

mencemari lingkungan.

2.13 Prosedur Penerapan Ergonomi Total

Dalam penelitian ini, penerapan ergonomi total dilakukan dengan cara: (1)

mengidentifikasi masalah yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ergonomi

(delapan masalah ergonomi); (2) dari indentifikasi masalah yang ada, tingkat

penyelesaian masalah akan diselesaikan sesuai skala prioritas; (3) memperbaiki

67

kondisi dan lingkungan kerja dengan prioritas utama yaitu memperbaiki stasiun

kerja dengan merancang alat baru, memperbaiki organisasi dan lingkungan kerja

yang dipecahkan dengan pendekatan ergonomi total melalui kajian SHIP (Sistemik,

Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) dan penerapan teknologi tepat guna; (4)

melakukan evaluasi terhadap perbaikan yang telah dilakukan; (5) bila hasilnya

kurang baik, indentifikasi masalah akan diulangi, bila hasilnya sudah baik

dilanjutkan dengan proses penyempurnaan /finishing. Prosedur penerapan

ergonomi total diharapkan menghasilkan suatu produk yang ergonomis, diterima

oleh user, mempunyai manfaat yang tinggi dan berkelanjutan. Adapun penerapan

prosedur tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Prosedur Penerapan Ergonomi Total

ya

Delapan Masalah

Ergonomi

1. Gizi dan kalori

2. Sikap tubuh

3. Pemanfaatan tenaga

otot

4. Kondisi lingkungan

5. Kondisi waktu

6. Kondisi sosial

7. Kondisi informasi

8. Interaksi manusia

dan mesin

Skala prioritas

penyelesaian masalah

Evaluasi

Teknologi Tepat Guna

1. Teknis

2. Ekonomis

3. Ergonomis

4. Sosial budaya

5. Hemat energi

6. Tidak merusak

lingkungan

Identifikasi masalah

tidak

Stasiun Kerja Perapen dan

Lingkungan kerja lama

Pendekatan SHIP

1. Sistemik

2. Holistik

3. Interdisipliner

4. Partisipatori

Perancangan perapen,

perbaikan lingkungan dan

organisasi kerja

Penyempurnaan/finishing

68

2.14 Perancangan Stasiun Kerja

Perancangan tempat kerja sangat penting diperhatikan dalam proses

produksi agar semua faktor yang terlibat dalam proses produksi berada dalam satu

garis koordinasi sesuai dengan karakter manusia, kapasitas dan keterbatasan

terhadap desain pekerjaan, mesin, sistem dan ruangan serta lingkungan kerja.

Dengan demikian diharapkan pekerja dapat bekerja dengan aman, nyaman, sehat

dan efisien (Manuaba, 2000). Dalam kaiatan dengan faktor ergonomi yang perlu

diperhatikan dalam desain stasiun kerja sehingga tercapai efisiensi, kenyamanan

dan keselamatan kerja maka desain stasiun kerja harus mempertimbangkan faktor-

faktor reliabilitas, kenyamanan, lama kerja, kemudahan pemakai, efisiensi pemakai

sehingga stasiun kerja tidak menyebabkan beban tambahan terhadap pekerja (Pulat,

1992; Sutalaksana,1999). Untuk hal tersebut maka aspek yang perlu diperhatikan

dalam desain stasiun kerja adalah aplikasi data antropometri dari pekerjanya.

Menurut Nurmianto (2008), beberapa aspek yang penting perlu diperhatikan dalam

desain stasiun kerja adalah: (a) Daerah kerja horizontal/ vertikal; (b) Layout dalam

daerah kerja; dan (c) Ketinggian bidang kerja.

Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses perancangan stasiun kerja adalah

merupakan suatu faktor penting dalam menunjang peningkatan pelayanan jasa

produksi (Nurmianto, 2008). Stasiun kerja yang dirancang tidak ergonomis akan

menimbulkan dampak negatif bagi pekerja yang menggunakannya baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang seperti nyeri dan kelelahan. Prinsip

ergonomi secara umum yang diterapkan pada stasiun kerja mengarah kepada

pekerjaan dinamis maupun statis, mengoptimalkan tinggi permukaan lantai

terhadap pekerjaan, menghindari pembebanan pada otot yang berlebih,

menghindari postur kerja yang tidak alami, dan melatih operator yang

69

menggunakan stasiun kerja dan peralatan dengan tepat (Fernandez, 1998).

Berdasarkan penelitian Shikdar (2004), kemampuan operator pada fasilitas kerja

yang dirancang secara ergonomis 27% lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas

kerja yang dirancang tidak secara ergonomis. Nilai kepuasan kerja juga meningkat

menjadi 41% pada kondisi yang demikian. Fasilitas kerja yang sudah dirancang

secara ergonomis untuk pekerjaan yang bersifat repetitif memiliki dampak positif

yang signifikan pada kemampuan dan kepuasan pekerja. Fasilitas kerja usulan yang

dirancang secara ergonomis tersebut terdiri atas meja kerja dan kursi kerja yang

adjustable, peralatan manual yang dirancang secara ergonomis dan tata letak

sistematis dari komponen-komponen fasilitas kerja.

Stasiun kerja yang dirancang secara benar akan mampu memberikan

keselamatan dan kenyamanan kerja bagi operator yang selanjutnya akan

berpengaruh secara signifikan didalam menentukan kinerjanya. Dalam hal ini ada

hubungan yang erat antara kenyamanan dan produktivitas kerja yang mampu

dicapai oleh seorang pekerja; meskipun masih banyak orang yang berasumsi bahwa

produktivitas dan kualitas kerja (quality of work life) merupakan fungsi linier dari

tingkatan upah maupun insentif yang bisa diberikan pada pekerja. Ketidak-

nyamanan kerja yang dirasakan oleh pekerja dapat diakibatkan kesalahan-

kesalahan dalam perancangan fasilitas kerja yang harus dioperasikan maupun

stasiun kerja dimana operator akan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam

area kerja (work envelope) yang sempit dan terbatas. Ketidak-nyamanan kerja bisa

juga disebabkan oleh posisi kerja yang tidak benar (misalkan terlalu lama berdiri)

dan mengakibatkan diperlukannya energi tambahan yang akhirnya mempercepat

datangnya kelelahan, penurunan kinerja dan produktivitas.

70

Stasiun kerja perapen perajin gamelan di Desa Tihingan, merupakan stasiun

kerja yang diwariskan secara turun temurun dan digunakan secara terus menerus

tanpa adanya penyesuaian dengan perajinnya. Stasiun kerja perapen ini merupakan

stasiun kerja yang masih tradisional dengan perapen nyala api terbuka tanpa adanya

sistem pembuangan udara panas dan debu sisa pembakaran. Demikian juga lantai

produksi belum disesuaikan dengan data antropometri perajin, sehingga sikap

kerjanya belum alamiah. Adapun layout stasiun kerja perapen perajin gamelan

sebelum perbaikan disajikan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Layout Stasiun Kerja Perajin Gamelan Sebelum Perbaikan

1

2 3

4

5

6

7

Keterangan: 1. Perapen

2. Posisi duduk tukang perapen

3. Landasan pukul

4. Lubang tempat berdiri tukang

nguwad

5. Posisi tukang jepit.

6. Bak air

7. Asbes penahan api

71

Perapen yang digunakan saat ini adalah perapen dengan nyala api yang

terbuka, sehingga panas sisa pembakaran dan debu panas memapar perajin dan

menyebabkan kondisi lingkungan kerja kurang sehat akibat adanya polusi debu.

Untuk mengurangi paparan panas pada tukang jepit, digunakan dinding asbes

(Gambar 2.11). Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran debu pada kesehatan

manusia sangat tergantung pada komposisi kandungan kimianya, contohnya adalah

debu asbes yang terjadi pada penggunakan asbes untuk penahan dinding api akan

dapat menyebabkan asbestosis yang berdampak pada penyakit kanker (Sudarmo,

1992).

Gambar 2.12 Perapen Nyala Api Terbuka Sebelum Perbaikan

Upaya untuk mengatasi paparan panas dan debu sisa hasil pembakaran

bahan bakar pada proses kerja nguwad dapat diupayakan dengan merancang ulang

stasiun kerja yang lebih ergonomis sehingga perajin dapat bekerja dengan sikap

kerja yang lebih alamiah dan paparan panas akibat panas radiasi yang dihasilkan

pada proses pembakaran dapat dikurangi. Menurut Mehta dan Agnew (2013, bahwa

tugas kerja yang membutuhkan pekerjaan fisik harus dirancang ulang untuk

72

mengurangi beban statis dengan mengubah fostur, karena kerja statis

mempengaruhi aktivitas otot dan merupakan faktor resiko pekerjaan yang dapat

menimbulkan cedera serta menghambat kinerja pekerja.

Untuk itu dilakukan perbaikan secara ergonomi pada layout stasiun kerja

dengan memberi dinding pada tungku (perapen) dan membuang asap dan debu sisa

pembakaran melalui sistem pembuangan asap dan debu serta perbaikan sikap kerja

perajin dengan membuat lubang pijakan kaki pada tukang perapen dan tukang jepit

serta memperbaiki lubang kaki tukang nguwad agar sesuai dengan data

antropometrinya. Perbaikan organisasi kerjanya dengan memberi istirahat pendek

dan pengaturan rotasi kerja tukang nguwad.

2.15 Data Antropometri dalam Perancangan Stasiun Kerja

Data antropometri banyak terkait dengan teknik pengukuran dan data

ukuran tentang dimensi tubuh manusia (tinggi badan, panjang lengan/kaki, lebar

bahu, dan lainnya) serta karakteristik fisik lain dari tubuh manusia seperti berat,

massa, volume, pusat gravitasi, kekuatan otot, dan sebagainya. Pengukuran

antropometri merupakan satu hal yang penting dan merupakan elemen kritis dalam

proses perancangan produk, fasilitas kerja maupun area stasiun kerja. Data

antropometri dapat diklasifikasikan menurut besaran persentil 5, 10, 50, 90, dan 95.

Dalam pemakaian data antropometri, satu hal yang penting dan harus selalu diingat

adalah segmen populasi (group of people) yang mana yang ingin untuk

direkomendasikan dalam penetapan dimensi ukuran dari produk rancangan.

Untuk penentuan dimensi ukuran yang akan menggunakan data

antropometri, maka harga rata-rata (mean) dari ukuran bagian anggota tubuh (tinggi

badan, panjang lengan, dan lainnya) merupakan data terpenting yang harus

73

diketahui dan diukur. Pengukuran akan ekivalen dengan ukuran persentil 50.

Dengan demikian variabilitas dari ukuran fisik manusia yang ada dalam populasi

akan bisa dijelaskan melalui perhitungan statistik dengan memakai parameter harga

rata-rata, standar deviasi atau koefisien variasi yang ada. Variabilitas absolut dari

populasi akan ditentukan melalui perhitungan standard deviasi, sedangkan untuk

variabilitas relatif dari populasi akan diberikan melalui koefisien variasi. Nilai

persentil ini akan menunjukkan seberapa besar persentase populasi yang memiliki

ukuran tubuh (antropometri) di atas atau di bawah sebuah ukuran tertentu.

Dimensi jarak ruangan (clearance dimensions), yaitu dimensi yang

diperlukan untuk menentukan minimum ruang (space) yang diperlukan orang untuk

dengan leluasa melaksanakan aktivitas dalam sebuah stasiun kerja baik pada saat

mengoperasikan maupun harus melakukan perawatan dari fasilitas kerja (mesin dan

peralatan) yang ada. Jarak ruangan (clearance) dalam hal ini dirancang dengan

menetapkan dimensi ukuran tubuh yang terbesar (upper persentil) dari populasi

pemakai yang diharapkan. Sebagai contoh pada saat kita merancang ukuran lebar

jalan keluar-masuk (personal aisle) ke sebuah areal kerja, maka disini dimensi

ukuran lebar jalan akan ditentukan berdasarkan data antropometri (lebar badan)

dengan persentil terbesar 95 atau persentil 97,5 dari populasi.

Dimensi jarak jangkauan (reach dimension), yaitu dimensi yang diperlukan

untuk menentukan maksimum ukuran yang harus ditetapkan agar mayoritas

populasi akan mampu menjangkau dan mengoperasikan peralatan kerja (tombol

kendali, keyboard, dan sebagainya) secara mudah dan tidak memerlukan usaha

(effort) yang terlalu memaksa. Disini jarak jangkauan akan ditetapkan berdasarkan

ukuran tubuh terkecil dari populasi pemakai yang diharapkan dan biasanya

memakai ukuran persentil 2,5 atau 5.

74

Berdasarkan dua dimensi rancangan tersebut di atas dan untuk

mengaplikasikan data antropometri agar bisa menghasilkan rancangan produk,

fasilitas maupun stasiun kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh dari populasi

pemakai terbesarnya (fitting the task to the man); maka ada tiga filosofi dasar

perancangan yang bisa dipilih sesuai dengan tuntutan kebutuhannya (Tayari dan

Smith, 1997), yaitu (a) Rancangan untuk ukuran rata-rata (design for average),

yang banyak dijumpai dalam perancangan produk/fasilitas yang dipakai untuk

umum (public facilities) seperti kursi kereta api, bus dan fasilitas umum lainnya

yang akan dipakai oleh orang banyak; (b) Rancangan untuk ukuran ekstrim (design

for extreem), yang ditujukan untuk mengakomodasikan mereka yang memiliki

ukuran yang terkecil atau yang terbesar (dipilih salah satu) dengan oritentasi

mayoritas populasi akan bisa terakomodasi oleh rancangan yang dibuat; dan (c)

Rancangan untuk ukuran yang bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim ukuran yang

lain (design for range), yang diaplikasikan untuk memberikan fleksibilitas ukuran

(karena ukuran mampu diubah-ubah) sehingga mampu digunakan oleh mereka

yang memiliki ukuran tubuh terkecil maupun yang terbesar (biasanya akan

memakai ukuran persentil 5 dan 95). Sander dan Mc. Cormick (1987); Pheasant

(1991); Pulat (1992) dan Dul dan Weerdmeeter (1993), menjelaskan bahwa

antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh dan karakteristik fisik tubuh lainnya

yang digunakan untuk mendesain sesuatu produk atau alat. Dalam menentukan

ukuran stasiun kerja maka data antropometri yang dapat dipakai agar 95 % populasi

dapat menggunakan maka batas rengtang data yang dipakai adalah persentil 2,5

sampai 97,5 (Nurmianto, 2008).

Penerapan data antropometri dalam perancangan stasiun kerja perapen ada

beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: (a) mayoritas dari perajin yang

75

diharapkan akan memakai/mengoperasikan fasilitas rancangan stasiun kerja

perapen yang akan dibuat, (b) proporsi dari populasi (persentil) yang untuk sikap

kerja duduk alamiah digunakan persentil 50, (c) bagian-bagian tubuh dan

dimensinya yang akan terkait dengan rancangan sikap kerja meliputi tinggi poplitea

posisi duduk untuk tukang perapen dan tukang jepit dan tinggi poplitea posisi untuk

tukang nguwad, dan (d) prinsip ukuran rancangan tersebut untuk ukuran

menggunakan ukuran rata-rata.

2.16 Sikap Kerja

Sikap kerja seseorang menurut Bridger (2005), dipengaruhi oleh empat

faktor yaitu: (1) karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran

antropometri, berat badan, kesegaran jasmani, kemampuan gerakan sendi, sistem

muskuloskeletal, tajam penglihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit, dan

lain-lain; (2) jenis keperluan tugas, seperti pekerjaan yang memerlukan ketelitian,

memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu istirahat, dan lain-lain; (3) desain

stasiun kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja, kondisi

permukaan atau bidang kerja, dan faktor-faktor lingkungan kerja; dan (4)

lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,

kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu dan vibrasi.

Sikap kerja atau kondisi kerja yang tidak ergonomis pada akhirnya dapat

menimbulkan keluhan-keluhan seperti gangguan pada sistem muskuloskeletal

(Manuaba, 1998). Sikap kerja tersebut jelas akan menyebabkan beban postural yang

berat. Jika beban postural ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka akan

menimbulkan postural strain yang merupakan beban mekanik statis bagi otot.

Kondisi ini akan mengurangi aliran darah ke otot sehingga terjadi gangguan

76

keseimbangan kimia di otot yang bermuara kepada terjadinya kelelahan otot

(Pheasant, 1991). Sikap kerja yang salah merupakan penyebab terjadinya kelelahan

dan keluhan nyeri otot yang sering tidak disadari oleh penderitanya. Terutama sikap

kerja yang telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan seseorang seperti duduk, berdiri,

membungkuk dapat menyebabkan terjadinya kelelahan, ketegangan otot, dan

akhirnya rasa sakit selain itu tulang tidak jadi lurus, otot-otot, ruas serta ligamen

pun akan tertarik lebih keras (Widyastoeti, 2009).

Sikap kerja duduk merupakan sikap kerja yang kaki tidak terbebani dengan

berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Duduk memerlukan lebih sedikit

energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis

pada kaki. Kegiatan bekerja sambil duduk harus dilakukan secara ergonomi

sehingga dapat memberikan kenyamanan dalam bekerja. Sikap duduk yang keliru

merupakan penyebab adanya masalah – masalah punggung. Hal ini dapat terjadi

karena tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk

dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan

tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat

menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan

dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%

(Nurmianto, 2008). Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk

terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit

lardosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung (Suma’mur,

2009). Sikap duduk yang benar yaitu sebaiknya duduk dengan punggung lurus dan

bahu berada dibelakang serta bokong menyentuh belakang kursi. Selain itu,

duduklah dengan lutut tetap setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan

penyangga kaki) dan sebaiknya kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar

77

kedua kaki tidak menggantung dan hindari duduk dengan posisi yang sama lebih

dari 20-30 menit. Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi, jaga bahu

tetap rileks (Wasisto, 2005). Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai

berikut (Pheasant, 1991) antara lain: (1) menghilangkan tumpuan berat badan pada

kaki; (2) memungkinkan tubuh menghindari sikap yang tidak alamiah;

(3) kurangnya penggunaan energi sehingga bisa mengurangi atau memperlambat

terjadinya kelelahan; (4) kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah;

(5) memberikan kestabilan lebih besar pada pekerjaan-pekerjaan yang

membutuhkan ketepatan dan ketelitian; dan (6) memungkinkan pengoperasian alat

kendali kaki dengan lebih mudah, tepat dan aman dalam posisi tubuh yang tetap

baik. Selain sikap kerja duduk, sikap kerja berdiri juga banyak dilakukan terkait

dengan tuntutan tugasnya. Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi

tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus dapat mengakibatkan penumpukan

darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan bertambah bila berbagai

bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai.

Sikap kerja perajin pada kerja nguwad belum alamiah seperti yang telah

ditunjukkan pada Gambar 2.4 dan sikap kerja tukang jepit duduk pada landasan

duduk yang terbuat dari kayu dengan tinggi sekitar 10 cm, sehingga perajin duduk

dengan sikap lutut tertekuk seperti sikap kerja jongkok di lantai seperti yang telah

ditunjukkan pada Gambar 2.5. Demikian juga sikap kerja tukang nguwad yang

berdiri membungkuk saat memukul seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar

2.6 sehingga dapat menimbulkan keluhan pada muskuloskeletal dan meningkatkan

kelelahan. Sikap kerja diakibatkan lantai lubang tempat berdiri belum disesuaikan

dengan tinggi badan perajin sehingga sikap kerja saat menempa menjadi

78

membungkuk. Adapun perbaikan kedalaman lubang lantai posisi tukang nguwad

ini direncanakan sekitar 55 cm sesuai data antropometri perajin.

2.17 Sistem Pembuangan Asap/ Udara Panas

Area stasiun kerja perajin gamelan banyak terdapat asap, debu dan udara

panas sisa hasil pembakaran bahan bakar, oleh karena itu diperlukan sebuah sistem

pembuangan yang sering disebut dengan instalasi exhaust. Sistem pembuangan ini

dilengkapai dengan exhaust hood berbahan dasar stainless yang dipasang di atas

tungku pembakaran untuk menangkap asap dan dilengkapi dengan filter untuk

memisahkan asap/udara panas sisa pembakaran dengan partikel debu. Posisi lubang

hood harus berada tepat di atas tungku dan disalurkan ke luar ruangan. Exhaust

hood dihubungkan ke exhaust fan melalui instalasi saluran pembuangan yang

disebut ducting berbahan plat yang dilapisi galvanis sehingga tahan karat dan tahan

perubahan suhu. Aliran udara panas dan debu sisa pembakaran maupun asap di

dalam instalasi ducting harus bergerak dengan cepat agar tidak terjadi pengendapan

atau hambatan angin di dalam instalasi ducting, memilih jalur pembuangan yang

tidak terdapat banyak tikungan dapat membantu udara bergerak dengan lebih cepat.

Instalasi ducting sering juga disebut sistim cerobong asap atau cerobong

pembuangan udara kotor, berfungsi sebagai pembuangan udara kotor untuk

menghindari deposit CO2 atau udara kotor lainnya yang bila dibiarkan akan sangat

berbahaya pada lingkungan disekitar. Udara kotor bisa dihasilkan dari hasil

pembakaran, reactor, proses biokimia, ruang pengecatan, ruang produksi, tempat

lainnya. Sistem pembuangan asap/udara dirancang sesuai dengan kondisi

kebutuhan dan tata letak ruang yang akan di kondisikan agar ruangan terhindar dari

79

tumpukan gas CO2, zat kimia beracun, berkembang biaknya bakteri dan lain lain,

yang dapat mengganggu kesehatan.

Menurut lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

20 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang

Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, menyebutkan pencegahan

pencemaran udara dapat dilakukan dengan mengurangi atau mencegah terjadinya

pencemaran udara. Upaya yang dilakukan oleh pihak industri untuk mengendalikan

pencemaran udara dengan cara tiga tahap dalam industri itu sendiri, yang meliputi:

(1). Tahap pertama, pada input dengan cara menggunakan bahan bakar yang ramah

lingkungan seperti bahan bakar gas, batubara yang mengandung kadar sulfur

rendah, atau baggase yang telah dikeringkan (bila industri tersebut menggunakan

bahan bakar bio mass); (2). Tahap kedua, menggunakan proses produksi yang

ramah lingkungan seperti proses gasifikasi, pirolisis atau exhaustgas recirculation;

(3). Tahap ketiga, merupakan teknologi tahap akhir berupa pemasangan peralatan

penyaring polutan debu dan gas-gas seperti bag house, EP (Elektrostatik

Precipitator), Cyclon untuk polutan debu dan De-Nox untuk mengurangi kadar

NOx dan FGD (Flue Gas Desulfurisasi) untuk mengurangi kadar SO2.

Sistem pembuangan asap/udara panas dan debu sisa pembakaran pada

perapen dirancang dengan memberi dinding pada sisi samping dan belakang guna

mengurangi nyala api terbuka dan debu sisa pembakaran ke luar dari perapen. Pada

bagian atas dari perapen dilengkapi kanopi (exhaust hood) dan saluran pembuangan

asap/udara panas dan debu sisa pembakaran sehingga tidak memapar perajin saat

proses kerja. Asap/udara panas dan debu sisa pembakaran ini dibuang dengan cara

paksa menggunakan exhaust fan yang digerakkan oleh motor listrik. Sistem

pembuangan debu dilengkapi dengan saringan, sehingga debu akan turun dan

80

ditampung pada wadah, sedangkan udara panas dialirkan pada cerobong asap

selanjutnya dibuang ke lingkungan.

Adapun dimensi dinding tungku pembakaran direncanakan berukuran 120

x 120 cm dengan tinggi 160 cm. Pada bagian sisi tukang perapen dan tukang jepit

dibuatkan lubang pembakaran dengan ukuran lebar 60 dan tinggi 65 cm yang

disesuaikan dengan kebutuhan sehingga tidak mengganggu proses kerja saat

membakar benda kerja. Bahan utama dinding dibuat dari pasangan bata merah

dengan perekat semen. Pemilihan bata merah ini sesuai dengan kepercayaan perajin

gamelan di Desa Tihingan, bahwa unsur bata merah mewakili sifat-sifat api sebagai

pelebur. Selain itu keuntungan dari penggunaan batu bata ini adalah batu bata lebih

tahan bakar, oleh sebab itu lebih baik dipakai pasangan batu bata jika membuat

struktur tahan api, tembok batu bata lebih mudah dibuat tinggi, karena bata lebih

ringan, bahan batu bata mudah didapat, sehingga ongkosnya lebih murah (Dian R,

2010).

Pada bagian atas dari perapen dipasang kanopi dan saluran pembuangan

debu sisa pembakaran sehingga debu tidak memapar perajin saat proses kerja. Debu

ini dibuang dengan cara paksa menggunakan blower penyedot debu yang

digerakkan oleh motor listrik dengan kekuatan 120 watt sehingga hemat energi.

Adapun perhitungan dimensi kanopi dari saluran buang pada ruang produksi

gamelan mengacu pada rekomendasi dari HVCA (2005):

1. Menentukan laju aliran udara buang

Laju aliran udara yang dibutuhkan (Vu) untuk mampu membuang asap dan

debu dari perapian ditentukan dengan menggunakan metode konveksi

termal (Thermal Convection Method). Metode ini memperhitungkan

beberapa paramater yaitu:

81

a. Koefisien konveksi termal (Thermal convection coefficient) (hV) yang

merupakan laju volume udara yang harus dibuang per luas perapian

(m3/s per m2).

b. Luas penampang perapian (A) (appliance surface area) (m2)

c. Faktor kanopi (canopy factor) (cf)

Laju aliran udara(Vu) dapat dihitung dengan rumus (HVCA, 2005.):

Vu = cf. A . hV (m3/s) ………………………(11)

Asumsi yang diperlukan:

a) Perapian diasumsikan sebagai chargrill, sebuah peralatan dapur

dengan temperatur permukaan 350oC dan dengan koefisien

konveksi termal (hV) = 0.95 (m3/s per m2).

b) Tipe kanopi yang digunakan adalah jenis overhead single island

canopy dengan canopy factor (cf) = 1.5.

c) Luas permukaan perapian, A = 0.6 m x 0.6 m = 0.36 (m2).

2. Pemilihan fan

Pertimbangan yang digunakan untuk menentukan dan memilih jenis fan

yang digunakan antara lain:

a. Fan harus cukup kuat dengan range kerja yang cukup lebar.

b. Mudah dilepas dan dipasang kembali untuk perawatan dan

pembersihan.

c. Harganya relatif lebih ekonomis.

d. Cukup mampu menahan temperatur yang relatif tinggi.

Jenis fan yang cocok untuk kebutuhan ini adalah axial fan dengan impeller

logam.

82

3. Konstruksi kanopi dan saluran udara

Kanopi dibuat dengan konstruksi sederhana karena fungsi utama adalah

untuk menyalurkan udara pada kecepatan yang dianggap cukup untuk dapat

membuang asap dan debu perapian. Kanopi tidak dilengkapi dengan filter,

tetapi filter untuk menyaring debu agar udara yang dibuang relatif bersih

dari debu dipasang pada saluran buang (ducting) lengkap dengan saluran

pembuangan debu. Karena asap tidak akan mengandung minyak maka

kanopi tidak dilengkapi dengan filter minyak. Bahan kanopi adalah pelat

baja yang dilapisi galvanis sehingga punya kemampuan untuk menahan

karat. Ketebalan pelat mimimum 0,4 mm. Saluran udara buang yang

menghubungkan kanopi dengan ruang tempat membuang asap merupakan

saluran udara (ducting) dengan tekanan rendah (maksimum static pressure

500 Pa). Sehingga saluran udara ini cukup kuat dibuat dari pelat galvanis

dengan ketebalan minimum 0,4 mm. Untuk mempermudah proses produksi

dipilih saluran dengan penampang segi empat.

4. Dimensi saluran buang (ducting):

Menurut HVCA (2005), kecepatan udara pada ducting utama saluran buang

dianjurkan berada dalam rentang 6-9 m/s. Bentuk saluran ducting dapat

dibuat segi empat (bujur sangkar) dengan luas penampang ducting (Ad)

dapat ditentukan:

Ad = Vu/vu (m2) ................................(12)