Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Pelumas
Minyak pelumas adalah salah satu produk minyak bumi yang masih
mengandung senyawa-senyawa aromatik dengan indek viskositas yang rendah.
Hampir semua mesin-mesin dipastikan menggunakan minyak pelumas. Fungsi
minyak pelumas adalah mencegah kontak langsung antara dua permukaan yang
saling bergesekan. Minyak pelumas yang digunakan mempunyai jangka waktu
pemakaian tertentu, tergantung dari kerja mesin, minyak pelumas merupakan
sarana pokok dari suatu mesin untuk dapat beroperasi secara optimal. Dengan
demikian pelumas mempunyai peranan yang besar terhadap operasi mesin, untuk
dapat menentukan jenis pelumas yang tepat digunakan pada suatu sistem mesin,
perlu diketahui beberapa parameter mesin yang antara lain: kondisi kerja, suhu,
dan tekanan di daerah yang memerlukan pelumasan. Daerah yang bersuhu rendah
tentu akan menggunakan pelumas yang lain dengan daerah yang bersuhu tinggi,
demikian pula dengan daerah yang berkondisi kerja berat akan menggunakan
pelumas yang lain pula dengan daerah yang berkondisi kerja ringan (Anton. L,
1985).
Karena minyak pelumas merupakan campuran hidrokarbon maka untuk
mengetahui sifatnya kita dapat melihat dari sifat parafin, naften, dan aromatik.
Adapun sifat-sifat minyak pelumas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Parafin
Mempunyai viskositas paling rendah dari ketiganya untuk boiling range
yang sama, tetapi viscositas indeksnya paling tinggi. Normal parafin dan parafin
dengan sedikit cabang, mempunyai titik beku tinggi ditinjau dari kestabilannya
terhadap panas dan oksidasi tinggi.
2. Naften
Mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari parafin untuk boiling range,
tetapi viskositas indeksnya lebih rendah dari parafin. Naften rantai panjang
II-2
mempunyai viskositas medium sedangkan rantai pendek viskositas indeksnya
rendah. Senyawa naften mempunyai titik beku rendah dan daya oksidasi baik.
3. Aromatik
Mempunyai viskositas paling tinggi, tetapi viskositas indeksnya rendah
terutama senyawa aromatik dengan rantai alkali pendek, sehingga dalam
pengolahannya harus dihilangkan. Senyawa aromatik umumnya mempunyai titik
beku yang rendah tetapi daya tahan terhadap oksidasi kurang baik. Untuk
memperbaiki kualitas minyak pelumas tidak saja dengan pemurnian dan proses
pengolahan, melainkan juga karena penambahan bahan kimia yang disebut aditif,
yang biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil (Hardjono, 1985).
2.2 Bensin
Bensin merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari pengolahan minyak
bumi yang digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin. Bensin merupakan
cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan. Bensin merupakan hidrokarbon
yang berarti molekul-molekulnya hanya terbuat dari molekul hidrogen dan karbon
yang terikat satu sama lain sehingga membentuk rantai hidrokarbon, sebagian
besar bensin tersusun dari heptana sampai dengan undekana. Bensin juga dapat
dicampur dengan etanol untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Saat ini
bensin sudah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat karena alat
transportasi yang biasa digunakan secara umum menggunakan bensin sebagai
bahan bakar. Di Indonesia sendiri, bensin dibagi menjadi beberapa kelompok
yang saling berbeda angka oktananya atau kadar oktana yang ada dalam bensin
tersebut, seperti premium, pertalite dan pertamax.
Senyawa Pb/timbal seperti TEL (Tetra Ethyl Lead) dan MTBE (Methyl
Tertiary Butyl Eter) dapat digunakan sebagai zat aditif dalam bensin karena dapat
menaikan angka oktana dari bensin. Namun karena timbal bersifat racun, maka
sudah tidak boleh digunakan lagi sehingga diganti dengan senyawa organik
seperti etanol. Zat aditif lainnya yang ditambahkan kedalam bensin adalah zat
yang bersifat antioksidan seperti alkil fenol karena dapat menghambat munculnya
kerak yang dapat membuat saringan dan saluran bensin tersumbat. Pada bensin
II-3
juga diperlukan zat aditif yang bersifat antikorosi seperti asam karboksilat untuk
mencegah korosi yang terjadi pada mesin dan logam-logam lainnya yang terdapat
dalam mesin, seperti logam tangki (Collins, 2007).
2.3 Katalis
Menurut Sukarjo (1997) dan Wilkinson (1989), katalis merupakan zat
yang akan mempercepat laju reaksi tetapi zat tersebut tidak akan mengalami
perubahan kimia. Sedangkan menurut Gates (1992), katalis merupakan substansi
atau zat yang dapat meningkatkan tercapainya kesetimbangan suatu reaksi kimia
namun substansi tersebut tidak ikut bereaksi.
Berdasarkan fase-fasenya, katalis dibedakan menjadi katalis homogen dan
katalis heterogen. Pada katalis homogen, fasa dari katalis sama dengan fasa
campuran reaksinya, sedangkan pada katalis homogen, fasa dari katalis berbeda
dengan fasa campuran reaksinya. Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan
aktivitas dari katalis yaitu sisi aktif katalis itu sendiri. Pada umumnya katalis
bekerja dengan membentuk ikatan kimia dengan reaktan yang ada dalam
campuran reaksi.
Luas permukaan katalis yang berfungsi sebagai pusat adsorpsi sangat
berhubungan dengan proses katalisis, semakin besar luas permukaan dari katalis
maka proses katalisis akan semakin maksimal. Secara umum katalis heterogen
lebih banyak digunakan daripada katalis homogen karena pada katalis heterogen
dapat dilakukan pemisahan dan penggunaan kembali katalis dengan cukup mudah
(Triyono, 1994).
2.4 Bentonit
Berdasarkan kandungan mineralnya, tanah lempung dibedakan menjadi
bentonit, kaolinit, haloisit, klorit dan ilit. Bentonit merupakan nama dagang dari
tanah lempung yang mengandung lebih dari 80 % mineral montmorillonit.
Bentonit merupakan tanah lempung yang banyak digunakan dan penyebarannya
luas karena memliki sifat dengan kemampuan mengembang dan daya tukar kation
yang tinggi sehingga cocok digunakan sebagai katalis. Dengan sifatnya yang
II-4
memiliki daya tukar kation yang tinggi membuat bentonit dapat dimodifikasi
untuk memperoleh produk yang lebih baik dari sebelumnya (Widihati, 2012).
Komposisi utama bentonit adalah mineral montmorillonit dan sedikit
mineral-mineral lainnya seperti orthoklas, oligoklas biotit, pyroxen, tirkon dan
kwarsa. Rumus empiris molekul bentonit dinyatakan dengan rumus
Si8(AlMg)4O20(OH)4 (Karimah, 2006).
Meskipun bentonit memiliki kemampuan mengembang dan daya tukar kation
yang baik, tetapi bentonit memiliki kemampuan adsorpsi yang terbatas sehingga
kelemahan tersebut dapat diatasi dengan proses aktivasi menggunakan asam
seperti HCl dan H2SO4 yang membuat sisi aktif dari bentonit menjadi lebih besar
sehingga akan dihasilkan bentonit yang memiliki daya adsorpsi yang lebih baik
dibandingkan dengan bentonit yang belum diaktivasi secara asam (Bath dkk,
2012).
Perlakuan asam juga dapat melarutkan pengotor dan menggantikan kation yang
dapat ditukar dengan ion H+. Perlakuan asam juga dapat membuka ujung layer,
sehingga luas permukaan dan diameter pori-pori meningkat. Biasanya 80% atau
lebih, permukaan pori berdiameter antara 2,0-6,0 nm dan luas permukaan tersebut
dapat ditingkatkan dengan perlakuan asam sampai 200-400 m2/g (Karimah, 2006).
2.5 Perekahan Katalitik (Catalytic Cracking)
Reaksi perekahan adalah proses pemutusan ikatan hidrokarbon rantai
panjang menjadi rantai pendek yang lebih berguna (Olah dkk, 1995). Berbeda
dengan perekahan termal yang hanya memanfaatkan suhu untuk memutus ikatan
hidrokarbon, pada perekahan katalitik pemutusan ikatan hidrokarbon terjadi
karena adanya ion karbonium yang dihasilkan dari interaksi antara asam kuat
yang ada dalam katalis dengan alkana/olefin (Gates, 1979). Persamaan reaksi
sebagai berikut:
II-5
Kestabilan karbonium akan meningkat seiring dengan urutan karbonium tersier >
sekunder > primer > metil, yang menyebabkan karbonium primer memiliki
kecenderungan untuk berisomerisasi menjadi karbonium sekunder atau tersier
melalui penataan ulang yang melibatkan pergeseran hidrogen maupun pergeseran
metil (Gates, 1992).
Pada metode ini biasanya digunakan katalis heterogen seperti zeolit dan bentonit
yang telah diaktivasi secara asam. Selama reaksi antara reaktan dengan katalis
berlangsung, kemampuan katalisis dari katalis akan berkurang dikarenakan
dengan terbentuknya karbon yang terakumulasi pada sisi aktif katalis atau yang
biasa disebut dengan kokas, sehingga regenerasi katalis perlu dilakukan.
2.6 Kromatografi Gas β Spektrometer Massa (GC-MS)
Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) adalah metode yang
mengombinasikan 2 alat yaitu kromatografi gas dan spektrometri massa untuk
mengidentifikasi keberadaan berbagai senyawa yang mungkin ada dalam sampel.
Alat ini dapat memberikan informasi produk secara kualitatif yang berupa
spektrum massa dari masing-masing senyawa yang terkandung dalam produk
sehingga dapat mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam produk, bobot
molekul senyawa-senyawa yang terdapat dalam produk dan juga dapat memberi
informasi produk secara kuantitatif yang dapat dilihat dari % Area puncak pada
kromatogram yang berbanding lurus dengan kadar masing-masing
senyawa/komponen dalam produk. Kromatografi gas juga akan memberikan
informasi waktu retensi dari masing-masing komponen yang terdapat dalam
sampel.
Prinsip pengukuran menggunakan alat GC-MS adalah terjadinya
pemisahan dalam alat kromatografi gas yang disebabkan oleh daya
afinitas/ketertarikan suatu sampel terhadap fasa diam yang terdapat dalam kolom
yang ditunjukkan dengan waktu retensi dari masing-masing komponen, setelah
komponen tersebut terpisah didalam kromatografi gas, komponen tersebut akan
diteruskan kedalam alat spektrometer massa. Selanjutnya, didalam spektrometer
massa akan terjadi pengionan senyawa-senyawa kimia untuk menghasilkan
II-6
molekul berumuatan atau fragmen molekul. Molekul yang terionisasi tersebut
akan menghasilkan ion dengan muatan positif, kemudian ion tersebut diarahkan
menuju medan magnet atau medan listrik agar dapat menentukan bobot molekul
semua fragmen yang dihasilkan (David, 2015).
Gambar II.1 Rangkaian Alat Kromatografi Gas Spektrometri Massa
(Sumber : LC GCβS CHROMacademy)
Adapun komponen-komponen dalam kromatografi gas adalah sebagai berikut:
1. Gas Pembawa
Syarat utama dari gas pembawa adalah harus bersifat inert sehingga gas
pembawa tidak akan bereaksi dengan sampel maupun dengan fasa diamnya. Gas
pembawa harus dapat mengalir dengan cepat agar proses pemisahan akan
berlangsung dnegan cepat sehingga gas ini harus disimpan dalam silinder baja
bertekanan tinggi. Jenis-jenis gas pembawa yang biasa digunakan adalah gas
argon, helium, hidrogen dan nitrogen. Gas pembawa harus memiliki kemurnian
yang tinggi atau pengotor yang sangat sedikit karena apabila terdapat pengotor
dalam gas pembawa akan menyebabkan fasa diam/kolom menjadi mudah rusak
karena tersumbat dengan pengotor yang terakumulasi dari gas pembawa.
2. Sistem Injeksi Sampel
Sampel yang diuji dapat berupa gas atau cair dengan syarat sampel harus
memiliki volatilitas yang tinggi dan dapat stabil pada suhu operasional. Injektor
berada dalam oven yang suhunya dapat diatur, sebaiknya suhu injektor diatur
II-7
50oC diatas titik didih sampel. Jumlah cuplikan yang diinjeksikan biasanya sekitar
5 Β΅L.
3. Oven
Oven berfungsi untuk memanaskan kolom dan injektor pada suhu tertentu
sehingga semua komponen dalam sampel dapat menguap pada suhu yang
ditentukan.
4. Kolom
Kolom merupakan tempat mengalirnya sampel yang akan dibantu oleh gas
pembawa. Didalam kolom berisi fasa diam seperti polysiloxanes untuk sampel
yang bersifat non polar dan polyethylene glycol untuk sampel yang bersifat polar
(Skoog dkk, 1991). Kolom terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
A. Packed column
Kolom yang secara umum terbuat dari glass atau stainless steel coil yang
memiliki panjang 1 β 5 m dan diameter sekitar 5 mm.
B. Capillary column
Kolom yang secara umum terbuat dari purified silicate glass yang
memiliki panjang 10-100 m dan diameter sekitar 250 mm.
5. Detektor
Detektor berfungsi untuk mendeteksi adanya komponen yang keluar dari
kolom. Ada beberapa jenis detector, yaitu:
1. Atomic-Emission Spectroscopy (AES)
Cara kerjanya adalah campuran sampel gas yang keluar dari kolom diberi
tambahan energi sehingga atom-atomnya bereksitasi, sumber energi tambahan ini
terdiri dari beberapa jenis yaitu direct-current-plasma (DCP), inductively-coupled
plasma (ICP) dan laser-induced breakdown (LIBS). Sinar eksitasi dari berbagai
atom ini kemudian diukur secara simultan oleh polikromator dan multiple
detector; polikromator disini berfungsi sebagai wavelength selector.
2. Electron Capture Detector (ECD)
Menggunakan radioaktif beta emitter (elektron) untuk mengionisasi
sebagian gas (carrier gas) dan menghasilkan arus antara biased pair of electron;
ketika molekul organik yang mengandung elektronegatif gugus fungsi seperti
II-8
halogen, phosphorous dan nitro melewati detektor, mereka akan menangkap
sebagian elektron sehingga mengurangi arus yang diukur antara elektroda.
3. Flame Ionization Detector (FID)
Terdiri dari hydrogen/air flame dan collector plate. Sample yang keluar
dari kolom dilewatkan ke flame yang akan menguraikan molekul organik dan
menghasilkan ion-ion. Ion-ion tersebut dihimpun pada biased electrode (collector
plate) dan menghasilkan sinyal elektrik.
4. Mass Spectrometry (MS)
Mengukur perbedaan mass-to-charge ratio (m/e) dari ionisasi atom atau
molekul untuk menentukan kuantitas atom atau molekul tersebut.
5. Thermal Conductivity Detector (TCD)
Detektor ini bekerja dengan cara membandingkan konduktivitas panas dua
aliran gas-gas pembawa murni (rujukan) dan sampel. Perubahan suhu pada kabel
yang dipanaskan oleh listrik di dalam detektor dipengaruhi oleh konduktivitas
panas gas yang mengalir di sekelilingnya. Perubahan dalam konduktivitas panas
ini dideteksi sebagai perubahan resistansi listrik dan diukur (Nancy, 2000).
2.7 Viskositas
Viskositas dapat diartikan sebagai besarnya tahanan suatu zat cair pada
saat dia mengalir. Rheologi, istilah ini berasal dari bahasa Yunani rheo (mengalir)
dan logos (ilmu pengetahuan), digunakan oleh Bingham dan Crawford untuk
memberikan aliran zat cair dan deformasi zat padat. Rheologi erat kaitannya
dengan viskositas. Viskositas adalah suatu ungkapan untuk menyatakan tahanan
yang mencegah zat cair untuk mengalir; semakin tinggi viskositas, semakin besar
tahanannya untuk mengalir. Zat cair sederhana dapat diberikan dengan viskositas
absolut, sedangkan untuk zat yang terdispersi heterogen tidak dapat langsung
dinyatakan dengan satuan tunggal (Ginting, 2011).
Metode Ostwald
Menghitung viskositas dengan metode ostwald dilakukan dengan cara
mengukur waktu yang dibutuhkan pada saat sampel mengalir dari batas atas
sampai batas bawah dan membandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh
II-9
larutan pembanding (dalam penelitian ini adalah air) dan berat jenis dari masing-
masing larutan sehingga sebelum dilakukan pengukuran viskositas, terlebih
dahulu dilakukan pengukuran dari berat jenis sampel dan pembanding..
Gambar II.2 Viscometer Ostwald
(Sumber : Chavez, 2014)
Seperti dilihat pada persamaan poisseulle, dengan cara membandingkan
waktu alir cairan sampel dan cairan pembanding menggunakan alat yang sama
(Sarojo, 2006). Persamaan poisseulle dapat dilihat dibawah ini:
Θ = Ζo π‘ . π
π‘π . ππ
Keterangan : Ζ = viskositas cairan sampel
Θ o = viskositas cairan pembanding
T = waktu aliran cairan sampel
To = waktu aliran cairan pembanding
π = massa jenis cairan sampel
πo = massa jenis cairan sampel
Viskositas suatu fluida dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan.
Viskositas zat cair sangat dipengaruhi oleh temperatur, semakin tinggi temperatur
maka semakin rendah koefisien viskositas.
Selain itu viskositas juga dipengaruhi oleh zat β zat yang terlarut dalam
cairan tersebut. Penambahan koloid pada cairan dapat mengubah viskositas.
Penambahan polimer juga dapat meningkatkan viskositas karena bentuk
molekulnya yang berupa batang atau benang β benang yang cukup panjang.
II-10
Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas antara lain:
1. Suhu
Viskositas akan berkurang seiring dengan bertambahnya suhu, begitupula
sebaliknya, hal ini terjadi karena pada suhu yang tinggi pergerakan partikel dalam
zat cair akan semakin cepat sehingga menyebabkan viskositas akan menurun.
2. Konsentrasi larutan
Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi
larutan, hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi konsentrasi larutan akan
menunjukan semakin banyaknya partikel zat yang terlarut dalam larutan sehingga
gesekan antara partikel semakin tinggi yang menyebabkan viskositas menjadi
tinggi.
3. Berat molekul zat terlarut
Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya berat molekul zat
terlarut, hal ini dapat terjadi karena dengan adanya zat terlarut dengan berat
molekul yang tinggi akan memberi beban yang tinggi juga pada cairan sehingga
akan menyebabkan viskositas menjadi tinggi.
4. Tekanan
Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya tekanan, hal ini
dapat terjadi karena semakin tinggi tekanan, cairan akan semakin sulit untuk
mengalir karena adanya beban yang dikenakan cairan tersebut (Kanginan, 2006).
2.8 Indek bias
Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam ruang
hampa dengan kecepatan cahaya pada suatu medium (Huygens, TT). Pengukuran
indeks bias dalam industri dapat digunakan untuk menemukan parameter fisik
berupa konsentrasi, suhu, tekanan dan lain-lain. Indeks bias larutan adalah
parameter karakteristik yang sangat penting dan beberapa parameter terkait seperti
suhu, konsentrasi, dan lain-lain. Indeks bias dan viskositas memiliki banyak
manfaat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai parameter kualitas minyak
goreng dimana minyak yang memiliki kualitas paling baik yaitu minyak yang
memiliki indeks bias dan viskositas yang tinggi (Raymond, 2003).
II-11
Cepat rambat gelombang cahaya di ruang hampa sebesar c. Jika melalui
suatu medium maka cahaya tersebut akan mengalami perubahan kecepatan
menjadi v. Perubahan kecepatan tersebut ditentukan oleh karakteristik suatu bahan
yang dinamakan indeks bias (n). Pernyataan tersebut dapat dituliskan dalam
persamaan berikut:
n = ππ£
Keterangan : n = indeks bias (nD)
c = Laju cahaya dalam ruang hampa (3x m/s)
v = Laju cahaya dalam zat
Nilai indeks bias suatu bahan/zat selalu β₯ 1 (Tuti, 2011). Di bawah ini adalah nilai
indeks bias beberapa medium:
Tabel II.1 Literatur Nilai Indeks Bias
Medium Indeks Bias (nD)
Udara hampa 1,000
Udara pada STP 1,0003
Karbondioksida 1,00045
Helium 1,000036
Hidrogen 1,000132
Air 1,333
Es 1,31
Alkohol 1,36
Etil 1,48
Gliserol 1,50
Benzena 1,46
Kaca 1,52 (Sumber : Jurnal Fisika Vol. 3 No. 2, Nopember 2013)
Prinsip Pengukuran dari indeks bias yaitu ketika seberkas cahaya
monokromatik datang dari ruang hampa udara (medium A) dan mengenai
II-12
permukaan batas suatu cairan atau zat padat (medium B), maka cahaya ini akan
dibelokkan, sudut datang a akan lebih besar dari sudut b.
Gambar II.3 Prinsip Indeks Bias (Sumber : Dharmawangsa, 1986)
Alat yang digunakan untuk mengukur indeks bias suatu zat yaitu
refraktometer yang metode kerjanya memanfaatkan teori refraksi cahaya
(Dharmawangsa, 1986).
2.9 Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan ukuran berat suatu zat per satuan volume.
Secara umum terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk menentukan
bobot jenis sebagai berikut:
1. Aerometer
Prinsip penentuan bobot jenis dengan aerometer adalah dengan hukum
Archimedes yang berbunyi: βSetiap benda yang dicelupkan ke dalam suatu cairan
akan mengalami gaya angkat yang besarnya sama dengan berat zat cair yang
dipindahkanβ.
Aerometer berbentuk sebuah silinder yang memiliki ukuran masing-
masing yang disesuaikan dengan bobot jenis sampel yang akan diuji. Pada alat
aerometer terdapat skala yang menunjukan bobot jenis cairan, semakin kecil berat
jenis cairan maka aerometer akan semakin tercelup sehingga skala pada aerometer
dimulai dari angka yang kecil sampai yang besar dari atas ke bawah (Voigt,
1994).
II-13
2. Piknometer
Prinsip dari pengukuran bobot jenis menggunakan piknometer adalah
dengan cara mengukur berat zat cair secara langsung yang dibandingkan dengan
volume dari piknometer tersebut. Volume piknometer ditentukan dengan cara
mengukur berat air (pembanding) yang berada dalam piknometer yang terisi
penuh, kemudian menetapkan suhu air sehingga didapatkan bobot jenis air pada
suhu 25 oC dan melakukan perhitungan volume piknometer yang sesungguhnya.
Kemudian mengukur bobot jenis masing-masing produk dengan menggunakan
volume piknometer yang telah diketahui sebelumnya. Rumusnya sebagai berikut:
Bobot jenis zat cair = πππππ‘ π§ππ‘ ππππ πππππ ππππππππ‘ππ
π£πππ’ππ π§ππ‘ ππππ πππππ ππππππππ‘ππ
2.10 Kepolaran
Setiap unsur mempunyai bermacam- macam muatan inti dan konfigurasi
elektron yang berlainan sehingga atom-atom dari unsur yang berbeda mempunyai
kemampuan yang berbeda pula untuk menarik elektron apabila atom-atom ini
membentuk ikatan kimia. Dua buah atom atau lebih yang terikat secara kovalen
namun kedua atom tersebut memiliki perbedaan keelektronegatifan yang cukup
besar, maka pasangan elektron yang berikatan akan berada lebih dekat dengan
atom yang lebih elektronegatif.
Ikatan yang terbentuk dari pemakaian bersama sepasang elektron (atau
lebih dari satu pasang) antara dua atom disebut ikatan kovalen (David, 2003).
Senyawa kovalen merupakan senyawa yang terjadi antara unsur-unsur nonlogam
dengan unsur-unsur nonlogam melalui penggunaan elektron bersama.
Perbedaan keelektronegatifan dan bentuk molekul yang tidak simetri pada
senyawa kovalen mengakibatkan senyawa tersebut memiliki sifat polar. Pada
senyawa kovaken polar tejadi pengkutuban, artinya ada bagian yang bersifat lebih
negatif dan ada bagian yang bersifat lebih positif (Golberg, 2003).
Elektronegativitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya
tarik β menarik atom pada elektron dalam suatu ikatan (James, 1994). Sedangkan
menurut David E. Golberg (2003), elektronegativitas adalah ukuran
semikuantitatif terhadap kemampuan sebuah atom untuk menarik elektron yang
terlibat dalam ikatan kovalen.
II-14
2.11 Limbah B3
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001
bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun yang karena sifatnya dan atau konsentrasinya dan atau
jumlah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusak lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Menurut peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2001 tentang karakteristik
bahan berbahaya dan beracun pasal 5 ayat 1 adalah sebagai berikut:
1. Mudah meledak (explosive)
Bahan dapat dikatakan mudah meledak (explosive) apabila pada suhu dan
tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak.
2. Pengoksidasi (oxidizing)
Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi
dapat dilakukan dengan metode uji pembakaran menggunakan ammonium
persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cair senyawa
standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat.
3. Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)
Baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala di bawah
0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 350C.
4. Sangat mudah menyala (highly flammable)
Baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 0-210C.
5. Mudah menyala (flammable)
Mempunyai salah satu dari sifat berikut:
A. Berupa cairan
Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume
dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600C (1400F) akan menyala
apabila tidak terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada
tekanan udara 760 mmHg.
B. Berupa padatan
B3 yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C,
760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan,
II-15
penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar
dapat menyebabkan kebakaran yang terus-menerus dalam 10 detik.
6. Amat sangat beracun (extremely toxic)
Apabila memiliki LD50 kurang atau sama dengan 1 mg/kg. Yang dimaksud
dengan LD50 adalah perhitungan dosis (gram pencemar per kilogram) yang dapat
menyebabkan kematian 50% populasi mahluk hidup yang dijadikan percobaan.
Apabila LD50 lebih besar dari 15 gram per kilogram berat badan maka limbah
tersebut bukan limbah B3.
7. Sangat beracun (highly toxic)
Bahan yang dapat menyebabkan kerusakan kesehatan akut dan kronis dan
bahkan kematian pada konsentrasi sangat rendah jika masuk ke tubuh melalui
inhalasi atau kontak dengan kulit.
8. Beracun (Moderate toxic)
B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau
sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit.
9. Berbahaya (Harmful)
Bahan baik padatan, cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau
melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan
sampai ke tingkat tertentu.
10. Korosif (corrosive)
B3 yang memiliki sifat korosif memiliki sifat antara lain:
A. Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit.
B. Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020
dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur
pengujian 550C.
C. Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan
sama atau lebih besar dari 11, 25 untuk yang bersifat basa.
11. Bersifat iritan (Iritant)
Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara
langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput
lendir dapat menyebabkan peradangan.
II-16
12. Berbahaya bagi lingkungan (Dangerous to the Environment)
Bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan dapat merusak lapisan ozon
(misalnya CFC) dan sulit diurai di lingkungan.