Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA,
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER & RUMAH
SAKIT,INFORMED CONSENT DAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK
2.1 Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu sistem hukum
pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-daderstrafs recht (hukum pidana
pada perbuatan atau tindak pidana). KUHP Indonesia sendiri tidak memberikan
pengertian maupun pengaturan secara khusus terhadap pertanggungjawaban
pidana, namun hanya mengatur mengenai keadaaan-keadaaan yang dapat
meniadakan pertanggungjawaban pidana. Adapun masalah pertanggungjawaban
pidana, pada hakikatnya membahas masalah dapat atau tidak dapat dipidananya
pelaku tindak pidana dan berpegang pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen
straf zonder schuld).
Menurut Idema membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana,
berarti mengenai jantungnya hukum pidana itu sendiri.1 Menurut Sudarto soal
kesalahan ada hubungannya dengan kebebasan kehendak. Kehendak merupakan
aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban
manusia atas perbuatannya. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak
dengan adanya kesalahan ada tiga pendapat :
1. Pendapat kaum Indeterminis; manusia mempunyai kebebasan
kehendak dan apa yang dilakukan adalah merupakan keputusan
1Ida Bagus Surya Dharma Jaya et. al., op. cit., h. 219.
kehendak. Tanpa adanya kehendak maka tidak ada kesalahan, tidak ada
kesalahan berarti tidak ada pencelaan, dan akhirnya tidak ada
pemidanaan.
2. Pendapat kaum determinis, manusia tidak memiliki kebebasan
kehendak, keputusan kehendak sepenuhnya diputuskan oleh watak dan
motif-motif (rangsangan-rangsangan yang datang dari dalam maupun
luar diri yang mengaktifkan watak tersebut). Meskipun tidak menganut
kehendak bebas, tidak berarti orang yang melakukan tindak pidana
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena
tidak adanya kehendak bebas tersebut maka ada pertanggungjawaban
pelaku atas perbuatannya. Namun pertanggungjawabannya bukan
berupa pemidanaan tetapi berupa tindakan (maatregel) sebagai upaya
untuk memperbaiki.
3. Ada tidaknya kebebasan kehendak, tidak jadi soal dalam menentukan
pemidanaan.2
Menurut Van Hemel, kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psikologis, berhubungan antara keadaaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-
unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam
hukum. Sudarto mengatakan kesalahan tersebut mengandung pencelaan terhadap
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan disini bukan merupakan
kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Patut
diperhatikan bahwa orang yang melakukan perbuatan yang tidak terhormat atau
2Sudarto, op.cit, h. 3-4.
tidak susila dapat dikatakan bersalah dan patut dicela secara hukum. Secara
normatif kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batinnya atau
hubungan batin antara perbuatan dengan perbuatannya, tetapi harus ada unsur
penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya mengenai hubungan antara si
pembuat dan perbuatannya. Penilaian ini melihat sikap batin si pembuat, keadaaan
jiwa si pembuat, dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan bila ada kesalahan dalam arti materiil/verwijbaarheid,
yaitu meliputi tiga unsur :3
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab
2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya (dolus atau
culpa)
3. Tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld
uitsluitingsground)
Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur kesalahan
yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lainnya. Istilah
kemampuan bertanggung jawab dalam bahasa Belanda adalah
“toerekeningsvatbaar”. Sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggung jawab
atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok
permasalahan hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan
pidana. Mampu bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu,
kesalahan adalah unsur adalah unsur pertanggungjawaban pidana. Mampu
bertanggung jawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental
3 Ida Bagus Surya Dharma Jaya, et. al., h. 219-220.
pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.4 Sebagai dasar
dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu bertanggung jawab, ia
mampu menilai dengan pikiran dan perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang,
artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang, dan ia seharusnya berbuat seperti
pikiran dan perasaannya itu.
Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggung jawab,
kecuali dinyatakan sebaliknya. Oleh karena itulah, maka perumusan dalam Pasal
44 ayat (1) KUHP dinyatakan secara negatif.5 Perumusan pertanggungjawaban
pidana secara negatif juga dapat terlihat dari ketentuan Pasal 48, 49, 50 dan 51
KUHP.KUHP sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai kemampuan
bertanggung jawab, namun dalam KUHP diatur mengenai “tidak mampu
bertanggung jawab” yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP. Pasal 44 ayat (1)
KUHP menyatakan, “Barangsiapa melakukan perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Untuk menentukan apakah seseorang
tidak mampu bertanggung jawab seperti rumusan Pasal 44 ayat (1) KUHP diatas,
dapat dilakukan dengan cara deskriptif normatif. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :6
1. Menentukan bagaimana keadaaan jiwa si pelaku; hal ini selayaknya
ditetapkan oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi
ditetapkan secara deskriptif.
4Chairul Huda, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana, Jakarta, h. 94. 5Teguh Prasetyo, op. cit., h. 87. 6Teguh Prasetyo, op. cit., h. 89.
2. Menentukan hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara keadaan jiwa
tersebut dengan perbuatannya, penentuan ini oleh seorang hakim, jadi
secara normatif.
Namun, terdapat pula beberapa penyakit kejiwaan yang hanya gangguannya
hanya sebagian saja, sehingga menyebabkan seseorang yang menderita penyakit
tersebut dianggap tidak mampu bertanggung jawab sebagian atau hanya dapat
dipertanggungjawabkan sebagian saja. Penyakit tersebut antara lain :
1. Kleptomania, orang yang dihinggapi penyakit jiwa ini tidak dapat
menahan dorongan mengambil barang orang lain, dan tidak menyadari
bahwa perbuatanya itu dilarang. Biasanya yang diambil adalah barang-
barang yang tidak berharga. Di bidang lain orang ini adalah orang
normal.
2. Nymphomania, orang yang berpenyakit jiwa demikian ini bila
berjumpa dengan wanita suka berbuat yang tidak senonoh.
3. Pyromania, penyakit jiwa ini berkecenderungan untuk membakar
benda tanpa alasan dan menimbulkan perasaan lega bagi pengidapnya.
4. Claustrophobia, penyakit jiwa yang berupa ketakutan berada di tempat
sempit atau gelap. Penderita ini dapat berbuat yang bukan-bukan yang
terlarang dalam keadaaan demikian.7
Terdapat juga dalam beberapa kasus ditemukan seseorang yang dianggap
kurang mampu bertanggung jawab. Kekurangmampuan bertanggung jawab
menunjukkan adanya persoalan dengan kejiwaan pelaku. Walaupun demikian
pelaku masih dapat dipertanggung jawabkan, sehingga dapat dipidana. Keadaan
jiwanya hanya dipakai untuk meringankan pemidanaan.
Kemampuan bertanggung jawab seseorang dinilai selain karena faktor
diatas, namun juga berdasarkan faktor umur seseorang tersebut. KUHP tidak
mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak atau orang yang
belum dewasa maupun pemidanaan terhadapnya. Hanya terdapat Pasal 45, 46 dan
7 Teguh Prasetyo, op. cit, h. 90-91.
47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum
berumur 16 tahun. Pasal 45 hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh
hakim dalam mengambil keputusan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
orang yang belum berumur 16 tahun, antara lain :
1. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana
2. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk
kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada
orang atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (Pasal 46
KUHP)
3. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi
dengan sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara
untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati; juga ada
dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana
tambahan perampasan barang-barang tertentu.
Terdapat pula undang-undang khusus yang mengatur mengenai anak atau
orang yang belum dewasa yang melakukan tindak pidana, yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 angka 3
menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Pasal 20
menyebutkan “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak
yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua pulub satu) tahun, Anak tetapi diajukan ke sidang Anak.”
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, juga diatur mengenai tindak
pidana yang dilakukan oleh anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yaitu
pada Pasal 21 ayat (1) :
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk :
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPSK di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 bulan (enam) bulan.
2.2 Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit
2.2.1 Hak dan Kewajiban Pasien
Pada dasarnya pasien adalah seorang konsumen yang memakai jasa dari
dokter, rumah sakit maupun tenaga kesehatan lainnya untuk mendapat pelayanan
kesehatan. Pengertian pasien terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyebutkan, “Pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”, dikarenakan pasien juga merupakan
konsumen, sehingga secara umum pasien juga mendapatkan perlindungan sesuai
dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
antara lain :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan konsisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabilan barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana semestinya.
Hak pasien juga diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, hak pasien tersebut antara lain :
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap dan jujur tentang tindakan
medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Selain dalam Undang-Undang Praktik Kedokteraan, hak pasien juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hak pasien
tersebut lebih bersifat pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Pasal 32 menyatakan
:
Setiap pasien mempunyai hak :
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar operasional;
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun
di luar Rumah Sakit;
i. Mendapatkan privasi dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q. Menggugat dan/atau menintut Rumah Sakit apabilan Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengn
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juga mengatur mengenai
perlindungan terhadap pasien walaupun tidak secara jelas diatur mengenai hak-hak
pasien. Perlindungan pasien tersebut diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 58,
yang mengatur mengenai bahwa pasien memiliki hak untuk menerima atau
menolak sebagaian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindaka tersebut
secara lengkap (Pasal 56 ayat 1), pasien berhak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadinya (Pasal 57) dan pasien berhak menuntut ganti rugi apabila mengalami
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya (Pasal 58 ayat 1).
Pasien tidak hanya memiliki haknya saja namun juga memiliki kewajiban
yang harus dipenuhi pula. Dalam beberapa undang-undang terkait kesehatan, diatur
secara jelas mengenai kewajiban dari pasien. Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur kewajiban pasien dalam Pasal 53, yang
menyatakan :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Selain memiliki kewajiban kepada dokter, pasien juga memiliki kewajiban
terhadap rumah sakit, apabila pasien tersebut mendapatkan pelayanan di rumah
sakit. Adapun kewajiban tersebut diatur pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan setiap pasien
mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.
2.2.2 Hak dan Kewajiban Dokter
Dokter merupakan salah satu dari bagian tenaga kesehatan yang memiliki
peranan yang sangat vital dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien.
Pengertian dokter dan dokter gigi berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah dokter, dokter spesialis,
dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
dokter atau dokter gigi mempunyai kewajiban antara lain :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasikan segala sesutau yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteraan gigi.
Hubungan antara dokter dan pasien yang dituangkan dalam suatu perjanjian
baik tertulis maupun lisan, menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara kedua
belah pihak, perjanjian tersebut sering disebut dengan perjanjian terapeutik. Dalam
perjanjian terapeutik, hubungan antara dokter dan pasien tersebut telah membentuk
hubungan medis berupa tindakan medis yang otomatis juga membuat terbentuknya
suatu hubungan hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum
terdapat objek, subjek dan causa.8 Berdasarkan pendapat tersebut, hubungan
hukum antara dokter dan pasien (perjanjian terapeutik) memuat antara lain :
1. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus
dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima
tindakan medis.
2. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana
kesehatan.
3. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang
dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
8Wirjono Prodjodikoro, 1979, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, h.
40.
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.9
Akibat dari adanya hubungan dokter dan pasien berdasarkan perjanjian
terapeutik, maka timbulah hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter sebagai para
pihak di dalam perjanjian tersebut. Adapun kewajiban dokter yang timbul akibat
adanya perjanjian terapeutik antara lain :
1. Kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu
kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada
ilmu medis dan pengalaman.
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia
atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.
3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau
keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko
yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut.
4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang
mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan.
5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat
sebagai tugas perikemanusiaan.
6. Kewajiban untuk membuat rekam medis yang baik dan secara
berkesinambungan.
7. Kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteraan,
termasuk kewajiban untuk secara terus menerus menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan di bidang ilmu
kedokteran.
8. Kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan.10
Sedangkan hak yang dimiliki oleh dokter akibat timbulnya perjanjian
terapeutik antara lain :
1. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
2. Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan peraturan
perundangn-undangan, profesi, dan etika.
9 Y.A. Triana Ohoiwutun, 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia, Malang,
h. 40. 10 Ibid, h. 17-18.
3. Hak atas informasi yang lengkap dan jujur dari pasien tentang keluhan
yang diderita.
4. Hak atas imbalan jasa dari pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
5. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mau
menuruti nasihat yang diberikannya atau berkembangnya hubungan
yang tidak baik dengan pasien.
6. Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan perjanjian
terapeutik.
7. Hak untuk diperlakukan adil dan jujur.
8. Hak atas privacy dokter.11
Hak dokter atau dokter gigi juga diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyebutkan :
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Dalam perjanjian terapeutik pada umumnya hak pasien merupakan
kewajiban dokter, begitupula sebaliknya. Pelaksanaan hak dan kewajiban antara
dokter dan pasien dalam praktiknya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan
yang ada agar tidak terjadi kesalahan dalam praktik pelayanan kesehatan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi pasien.
2.2.3 Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Selain pasien dan dokter salah satu pemain yang memiliki peranan penting
dalam pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan “Rumah Sakit adalah
11 Ibid, h. 17.
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.” Rumah sakit pun juga memiliki hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu sendiri. Undang-Undang No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit mengatur mengenai kewajiban rumah sakit pada Pasal
29 ayat (1), antara lain :
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat;
b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,
sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu
atau miskin;
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. Menyelenggarakan rekam medis;
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain saran
ibadah, parker, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. Menyelenggarakan sistem rujukan;
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. Melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. Memiliki system pencegahan kecelakaan dan penganggulangan
bencana;
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit
(hospital by laws);
s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi petugas Rumah
Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan
tanpa rokok.
Pada undang-undang yang sama diatur pula mengenai hak dari rumah sakit
yaitu pada Pasal 30 ayat (1), yang menyebutkan :
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia
sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,
insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam ragka
mengembangkan pelayanan;
d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan;
g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah
Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
2.3 Pengertian Informed Consent
Menurut Hanafiah, informed artinya telah diberitahukan/telah disampaikan
atau telah diinformasikan.12 Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada
seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah informed consent, dapat diartikan
sebagai persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah pasien menerima
penjelasan. Pengertian tentang informed consent juga disampaikan oleh
Komalawati, sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan informed consent adalah suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh
12 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi
3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 68.
dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya,
disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.13
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Medik, memberi batasan tentang informed consent, yang
menyatakan : “persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien”. Kemampuan atau kompetensi pasien untuk mengambil keputusan
merupakan salah satu komponen terpenting dalam informed consent, yang akan
mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Oleh karena itu, dalam
mengambil keputusan pasien harus memiliki 3 unsur kemampuan tersebut yang
terdiri dari :
1. Kemapuan untuk mengerti pilihan-pilihan tersebut;
2. Kemampuan untuk mengerti segala akibat yang mungkin terjadi
bagi pilihannya;
3. Kemampuan untuk mengadakan evaluasi untung ruginya dari setiap
akibat dan menghubungkannya dengan nilai-nilai dan prioritas yang
dianutnya.14
Hal-hal yang terlebih dulu harus dijelaskan dokter pada pasien sebelum
pasien memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis terhadapnya,
menurut Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 sekurang-
kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
13 Veronica D. Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Kedokteran Dalam Praktik
Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 86. 14 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 130-131.
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Hariyani menganjurkan agar tindakan medik tidak dianggap melawan
hukum, maka ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yaitu ada indikasi medis,
dilakukan sesuai prosedur baku di dalam ilmu kedokteran da nada informed
consent.15 Terdapat 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur
informed consent di Indonesia yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik
Undang-undang menentukan persetujuan pasien dapat diberikan secara
tertulis atau lisan (Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juncto
Pasal 68 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014), namun pada praktiknya,
informed consent pasien bisa dilakukan secara diam dengan sikap pasrah. Namun,
apabila tindakan medis yang akan dilakukan mengandung risiko tinggi, seperti
15 Safitri Hariyani, 2005, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter dan Pasien, Penerbit Diadit Media, Jakarta, h. 150.
pembedahan, maka menjadi wajib dibuat dalam bentuk tertulis (Pasal 45 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juncto Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014).
Tindakan medis yang akan dilakukan dokter harus mendapat persetujuan
dari pasien (informed consent), baik secara lisan maupun tertulis. Namun, tidak
hanya sema ta-mata pasien itu sendiri yang dapat memberikan persetujuan, pada
waktu tertentu terdapat beberapa pihak yang berhak memberikan persetujuan.
Mengenai pihak yang berhak memberikan persetujuan, diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) dan ayat (2) Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008 yaitu diberikan
langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak
diminta dan apabila pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Perkecualian,
persetujuan tindakan medis tidak diperlukan apabila dalam keadaaan gawat darurat,
untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mecegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran (Pasal 4 ayat (1).
Komalawati mengemukakan adanya kondisi-kondisi yang secara yuridis
dapat dijadikan dasar penting untuk menentukan adanya persetujuan pasien yang
diberikan kepada dokter yang merawatnya yaitu sikap tindak pasien yang harus
dicermati dokter yang dari sikap tindak pasien tersebut dapat diartikan bahwa
pasien “setuju”.16 Ada 2 (dua) kondisi yang pada umumnya dapat dijadikan dasar
bahwa persetujuan pasien dianggap telah ada, yang terdiri dari :
16Veronica D. Komalawati, op.cit, h. 88-89.
1. Secara faktual pasien bersedia menjalani suatu prosedur kesehatan
dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya.
2. Dengan atau tanpa persetujuan yan nyata, bedasar sikap tindak
pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan persetujuannya.
Dari kondisi tersebut, maka Komalawati mengemukakan bentuk-bentuk
utama persetujuan pasien sebagai berikut :
1) Persetujuan efektif, meliputi :
a. Persetujuan ekspresif, yaitu apabila secara faktual pasien mau
menjalani suatu prosedur upaya medis dalam rangka
penanganan terhadap penyakitnya.
b. Persetujuan non ekspresif, apabila berdasarkan sikap dan
tindakan pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien termasuk
telah memberikan persetujuannya.
2) Persetujuan implikatif, khusus dalam keadaan gawat darurat,
dimana kalau pasien tidak ditolong akan dapat membahayakan
jiwanya. Dalam hal demikian, disimpulkan (implikatif) dokter
berkewajiban penuh untuk melaksanakannya upaya penyelamatan
nyawa, tanpa mempermasalahkan persetujuan dari pasien yang
bersangkutan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum pasien memberikan
persetujuan terhadap tindakan medis yang akan diambil, dokter harus memberikan
informasi mengenai tindakan medis itu secara lengkap, salah satunya adalah risiko
dari tindakan medis tersebut. Mengenai risiko tindakan medis, sebaiknya dapat
dirinci dari sifat risiko tersebut, apakah dapat mengakibatkan cacatnya satu organ
tubuh tertentu (misalnya kelumpuhan atau kebutaan), presentase kemungkinan
timbulnya risiko tersebut (seiring atau jarang), taraf keseriusan risiko yang terjadi,
waktu timbulnya apakah segera setelah dilakukannya tindakan atau beberapa waktu
setelah dilakukannya tindakan.
Pada tindakan pembedahan, baik dokter ahli yang melakukan pembedahan
maupun dokter ahli anesthesia, dapat terkena sanksi pidana dengan tidak
dilakukannya informed consent :
a. Bagi dokter yang melakukan pembedahan/operasi dapat dituntut
berdasar Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan.
b. Bagi dokter ahli anesthesia bisa dikenakan Pasal 89 KUHP yaitu
membuat orang pingsan atau tidak berdaya yang dapat diidentikkan
dengan menggunakan kekerasan.17
Informed consent juga berfungsi ganda. Bagi dokter, informed consent
dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, yang
sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya
tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat buruk yang
tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap
hak-haknya oleh dokter, dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap
dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya
persetujuan pelayanan kesehatan.
17 Anny Isfandyarie, op. cit, h. 149.
Agar pasien dapat membuat keputusannya, maka diperlukan informasi yang
dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tersebut.
Fuady berpendapat bahwa suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien
jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan
persetujuan.18
Beberapa landasan teori yang dikemukakan oleh Fuady dapat dijadikan
acuan bagi kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan dari pasien antara lain
:
1. Teori Manfaat kepada Pergaulan Hidup
Dalam teori ini, keharusan berlakunya informed consent selain
bermanfaat bagi pasien, juga berguna bagi pergaulan hidup secara
keseluruhan. Sebagai contohnya misalnya dokter melakukan
amputasi kaki above knee (kaki dipotong sampai atas lutut) pada
pasien, tanpa informed consent. Apakah pasien tidak akan menuntut
dokter tersebut seandainya setelah operasi pasien mengetahui
kakinya hilang sebelah (menjadi cacat) yang akan menentap seumur
hidup ? Dokter pun juga tidak mungkin berani “membuat cacat”
pasien tanpa persetujuan pasiennya. Dalam hal demikian informed
consent sangat bermanfaat bagi ketenangan dan keamanan dokter
dalam bekerja dan kesiapan pasien dalam menghadapi pengobatan
yang hasilnya menimbulkan kecacatan pada dirinya.
2. Teori Manfaat kepada Pasien
Pasien berobat untuk mencari kesembuhan. Oleh karena itu,
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus selalu berpedoman
pada upaya penyembuhan pasien secara maksimal. Sedapat
mungkin dokter tidak melakukan tindakan yang bias merugikan
pasiennya. Dengan adanya informed consent, pasien dapat ikut
berpartisipasi dalam menentukan tindakan dokter yang bermanfaat
bagi dirinya, karena dia telah mengerti hal ihwal pengobatan yang
akan dilakukan oleh dokter.
3. Teori Penentuan Nasib Sendiri
18 Ibid, h. 151-152.
Hanya pasienlah yang berhak untuk menentukan dirinya sendiri (self
determination), sehingga setiap tindakan medis/pengobatan yang
dilakukan oleh dokter terhadap tubuh pasien, haruslah mendapatkan
persetujuan (consent) pasien termaksud. Melakukan suatu perbuatan
atas tubuh seseorang tanpa persetujuan pemiliknya merupakan
tindakan yang tidak saja melanggar etika, tetapi juga dapat terkena
sanksi perdata maupun pidana.19
2.4 Pengertian Malpraktik
Malpraktik berasal dari terjemahan Bahasa Inggris malpractice yang
diartikan sebagai praktik yang tidak benar atau adanya kesalahan dalam berpraktik.
Belum adanya keseragaman untuk menejermahkan istilah malpractice ke dalam
Bahasa Indonesia. Ada beberapa istilah yang digunakan, antara lain malapraktek,
malpraktek, malpraktik, malapraktik dan sebagainya. Akan tetapi, istilah yang
benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah “malapraktik” sedangkan dunia
kedokteran menggunakan istilah “malpraktik”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan istilah “malpraktik”.
Dalam Kamus Kedokteran, malpractice adalah praktik yang tidak benar
atau mencelakakan; tindakan medis atau pembedahan yang tidak terampil atau
keliru.20 Dengan demikian, dalam malpraktik medis selalu berhubungan dengan
pelaksanaan profesi medis oleh tenaga medis, yaitu dokter/dokter gigi, dokter
spesialis/dokter gigi spesialis.
Dalam arti umum, malpractice adalah praktik jahat atau buruk, yang tidak
memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah
19 Ibid, h. 152-153. 20Difa Danis, tanpa tahun, Kamus Istilah Kedokteran, Gitamedia Press, Jakarta, h. 393.
dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian diagnose, selama tindakan, dan
sesudah perawatan. Malpractice dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan
tindakan, tetapi dapatn terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai
dengan sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.
Malpraktik kedokteran dapat diartikan sebagai bencana yang timbul sebagai
akibat dari suatu praktik kedokteran, bencana mana yang timbul tidak karena
disengaja diduga sebelumnya, melainkan ada unsur lalai yang seharusnya tidak
layak untuk dilakukan oleh seorang dokter, sehingga berakibat cacat, atau matinya
pasien.
Malapraktik kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana, apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu dalam tiga aspek, antara lain syarat dalam
perlakuan medis, syarat dalam sikap batin dokter dan syarat mengenai hal akibat.
a. Syarat Perlakuan Medis
Banyak alat ukur dalam hal menentukan perlakuan medis salah atau
menyimpang yang dapat berujung pada malpraktik kedokteran. Beberapa
diantaranya adalah hukum, Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional,
kebutuhan medis pasien, kewajiban dokter dalam hubungan dokter-pasien, prinsip-
prinsip professional kedokteran, informed consent, Surat Izin Praktik (SIP), Surat
Tanda Registrasi (STR) sampai pada Kode Etik Kedokteran. Dalam hal ini ukuran
hukum yang paling luas, sedangkan ukuran lain acapkali sudah termasuk dalam
ukuran hukum.
Semua perbuatan dalam pelayanan medis tersebut dapat mengalami
kesalahan yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik kedokteran, apabila
dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan
dan kematian pasien. Dapat diartikan bahwa perlakuan salah yang menimbulkan
akibat yang merugikan pasien tidak selalu berujung malpraktik kedokteran. Timbul
malpraktik kedokteran menurut hukum, di samping perbuatan-perbuatan dalam
perlakuan medis tersebut menyimpang dan menimbulkan akibat yang merugikan
masih ada syarat sikap batin terhadap akibat, yang tidak mudah dipahami dan
diterapkan. Bahkan kadangkala dalam kasus konkret tertentu perbuatan salah bias
dibenarkan dengan alasan tertentu pula.
Perlakuan medis tidak selalu bersifat aktif (wujud perbuatan tertentu), tetapi
juga termasuk tidak berbuat sebagaimana seharusnya berbuat, dan karena tidak
berbuat apapun dokter melanggar suatu kewajiban hukum. Karena jabatan dan
adanya hubungan hukum dengan pasien, dalam keadaan tertentu dokter harus
berbuat menurut standar profesi dan standar prosedur. Tidak berbuat sebagaimana
dituntut untuk berbuat seperti itu adalah juga bagian dari perlakuan medis yang
dapat menjadi objek lapangan malpraktik kedokteran.
b. Syarat Sikap Batin Dokter
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang berbuat.
Sesuatu yang ada dalam alam batin ini, bisa berupa kehendak, pengetahuan, pikiran,
perasaan dan apapun namanya yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum
berbuat. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam
perbuatan-perbuatan tertentu disadarinya dilarang, hal itu disebut dengan
kesengajaan. Adapun apabila kemampuan berpikir, kemampuan berperasaan dan
berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu
perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin yang demikian
dinamakan kelalaian (culpa). Sebelum perlakuan medis diwujudkan oleh dokter
terdapat empat arah sikap batin dokter, yaitu :
1. Sikap batin pada wujud perbuatan
Sikap batin malpraktik kedokteran yang diarahkan pada perbuatan pada
umumnya berupa kesengajaan, artinya mewujudkan perbuatan atau menjalankan
perlakuan medis memang dikehendaki. Tetapi bisa juga sikap batin pada perbuatan
(aktif atau pasif) adalah sikap batin kelalaian.
2. Sikap batin pada sifat melawan hukum perbuatan
Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan yang akan dijalankan
bisa berupa kesengajaan dan bisa juga culpa. Ukuran salah atau benar perlakuan
medis yang dijalankan terutama pada standar profesi kedokteran dan Standar
Prosedur Operasional dan atau kebiasaan umum yang wajar di dunia kedokteran.
Pasal 51 huruf a UU No. 29 Tahun 2004 juncto Pasal 58 ayat (1) huruf a UU
No. 36 Tahun 2014 menyebut 3 (tiga) ukuran, ialah Standar Profesi, Standar
Prosedur Operasional, dan kebutuhan medis pasien. Apabila terhadap perlakuan
hendak dijalankan pada pasien disadari melanggar Standar Profesi atau Standar
Prosedur Operasional atau bertentangan dengan kebutuhan medis pasien namun
dijalankan juga, maka sikap batin yang demikian disebut dengan
kesengajaan.Sebaliknya sikap batin yang tidak menyadari atas apa yang hendak
diperbuat dokter sebagai menyalahi Standar Profesi atau prosedur operasional, dan
dijalankan juga maka sikap batin yang demikian disebut dengan kelalaian.
3. Sikap batin pada objek perbuatan
Sikap batin dokter pada objek perbuatan adalah pengetahuan mengenai
berbagai keadaaan diri pasiennya. Dalam batas-batas kewajaran sebagai dokter
perlu mengetahui tentang berbagai hal mengenai diri pasien, mengenai keluhan
sebab penyakitnya, riwayat penyakitnya, jenis dan tingkat penyakit yang diderita,
penyebabnya dan sebagainya, yang semuanya merupakan fakta-fakta medis yang
didapatkan dari hasil pemeriksaan. Dengan menggunakan akal dan ilmunya fakta-
fakta medis dianalisis untuk menetapkann diagnosis, dan selanjutnya terapi
dijalankan. Dalam menggunakan ukuran kewajaran tersebut acapkali menimbulkan
ketidakpuasan pasien yang berujung pada laporan atau gugatan dugaan malpraktik
kedokteran.
Sikap batin pada objek perbuatan (pasien) bisa berupa kelalaian maupun
kesengajaan. Kelalaian bisa terjadi sejak pemeriksaan (pilihan cara dan alatnya),
menganalisis fakta-fakta medis yang didapat, menetapkan diagnosis (dari beberapa
kemungkinan) misalnya jenis dan tingkat penyakit, bentuk terapi termasuk jenis
dan dosis obat, alat dan cara terapi sampai pada nasihat. Sementara dalam hal
melakukan bentuk terapi yang telah ditetapkan (dari beberapa kemungkinan) selalu
dikehendaki (sengaja) dokter.
Kelalaian tersebut disebabkan tidak atau kurangnya menggunakan akal,
kurang pengetahuan, kurang kehati-hatian atau kecermatan, kurang pertimbangan,
kurang kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip professional, kurang pemikiran yang
seharusnya diperlukan sebelum dan pada saat pemeriksaan, menganalisis fakta-
fakta medis, memutuskan diagnosis dan bentuk terapi dari sekian pilihan.
4. Sikap batin pada akibat perbuatan
Sikap batin pada akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien
malpraktik kedokteran pada umumnya kelalaian. Tidak mungkin dokter
menginginkan rusaknya kesehatan atau matinya pasien. Akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan dalam kasus tertentu, kehendak dokter ditujukan pada akibat bentuk
bagi kesehatan atau nyawa pasien, misalnya pada euthanasia (Pasal 344 KUHP)
atau aborsi di luar indikasi medis (Pasal 347-348 KUHP).
Akibat yang boleh masuk pada malpraktik kedokteran haruslah akibat yang
merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan dokter. Dari sudut Hukum
Pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan hukum pidana, apabila
macam/bentuk kerugian disebut dalam rumusan kejahatan dan menjadi unsur
tindak pidana tertentu. Akibat kematian atau luka tubuh merupakan unsur kejahatan
Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis
terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka seperti ditentukan dalam pasal
tersebut, maka perlakuan medis masuk kategori malpraktik pidana.
Antara perlakuan medis dengan akibat haruslah ada hubungan kausal
(causal verband). Akibat terlarang yang tidak dikehendaki haruslah merupakan
akibat langsung oleh adanya perbuatan. Penyebab langsung menimbulkan akibat
adalah berupa penyebab secara layak dan masuk akal paling kuat pengaruhnya
terhadap timbulnya akibat. Timbulnya akibat terlarang tidak harus seketika atau
tidak lama setelah perbuatan diwujudkan. Boleh jadi akibat itu timbul setelah
berbulan atau bertahun-tahun kemudian. Namun akibat itu harus terbukti adalah
akibat langsung atau pengaruh yang kuat dari adanya perlakuan medis semula.21
21 Adami Chazawi, 2016, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, h. 68-72.