28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA, HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER & RUMAH SAKIT,INFORMED CONSENT DAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK 2.1 Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu sistem hukum pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-daderstrafs recht (hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana). KUHP Indonesia sendiri tidak memberikan pengertian maupun pengaturan secara khusus terhadap pertanggungjawaban pidana, namun hanya mengatur mengenai keadaaan-keadaaan yang dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana. Adapun masalah pertanggungjawaban pidana, pada hakikatnya membahas masalah dapat atau tidak dapat dipidananya pelaku tindak pidana dan berpegang pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Menurut Idema membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana, berarti mengenai jantungnya hukum pidana itu sendiri. 1 Menurut Sudarto soal kesalahan ada hubungannya dengan kebebasan kehendak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan adanya kesalahan ada tiga pendapat : 1. Pendapat kaum Indeterminis; manusia mempunyai kebebasan kehendak dan apa yang dilakukan adalah merupakan keputusan 1 Ida Bagus Surya Dharma Jaya et. al., op. cit., h. 219.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA,

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER & RUMAH

SAKIT,INFORMED CONSENT DAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK

2.1 Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu sistem hukum

pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-daderstrafs recht (hukum pidana

pada perbuatan atau tindak pidana). KUHP Indonesia sendiri tidak memberikan

pengertian maupun pengaturan secara khusus terhadap pertanggungjawaban

pidana, namun hanya mengatur mengenai keadaaan-keadaaan yang dapat

meniadakan pertanggungjawaban pidana. Adapun masalah pertanggungjawaban

pidana, pada hakikatnya membahas masalah dapat atau tidak dapat dipidananya

pelaku tindak pidana dan berpegang pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen

straf zonder schuld).

Menurut Idema membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana,

berarti mengenai jantungnya hukum pidana itu sendiri.1 Menurut Sudarto soal

kesalahan ada hubungannya dengan kebebasan kehendak. Kehendak merupakan

aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban

manusia atas perbuatannya. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak

dengan adanya kesalahan ada tiga pendapat :

1. Pendapat kaum Indeterminis; manusia mempunyai kebebasan

kehendak dan apa yang dilakukan adalah merupakan keputusan

1Ida Bagus Surya Dharma Jaya et. al., op. cit., h. 219.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

kehendak. Tanpa adanya kehendak maka tidak ada kesalahan, tidak ada

kesalahan berarti tidak ada pencelaan, dan akhirnya tidak ada

pemidanaan.

2. Pendapat kaum determinis, manusia tidak memiliki kebebasan

kehendak, keputusan kehendak sepenuhnya diputuskan oleh watak dan

motif-motif (rangsangan-rangsangan yang datang dari dalam maupun

luar diri yang mengaktifkan watak tersebut). Meskipun tidak menganut

kehendak bebas, tidak berarti orang yang melakukan tindak pidana

tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena

tidak adanya kehendak bebas tersebut maka ada pertanggungjawaban

pelaku atas perbuatannya. Namun pertanggungjawabannya bukan

berupa pemidanaan tetapi berupa tindakan (maatregel) sebagai upaya

untuk memperbaiki.

3. Ada tidaknya kebebasan kehendak, tidak jadi soal dalam menentukan

pemidanaan.2

Menurut Van Hemel, kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian

psikologis, berhubungan antara keadaaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-

unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam

hukum. Sudarto mengatakan kesalahan tersebut mengandung pencelaan terhadap

seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan disini bukan merupakan

kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Patut

diperhatikan bahwa orang yang melakukan perbuatan yang tidak terhormat atau

2Sudarto, op.cit, h. 3-4.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

tidak susila dapat dikatakan bersalah dan patut dicela secara hukum. Secara

normatif kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batinnya atau

hubungan batin antara perbuatan dengan perbuatannya, tetapi harus ada unsur

penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya mengenai hubungan antara si

pembuat dan perbuatannya. Penilaian ini melihat sikap batin si pembuat, keadaaan

jiwa si pembuat, dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan bila ada kesalahan dalam arti materiil/verwijbaarheid,

yaitu meliputi tiga unsur :3

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab

2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya (dolus atau

culpa)

3. Tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld

uitsluitingsground)

Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur kesalahan

yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lainnya. Istilah

kemampuan bertanggung jawab dalam bahasa Belanda adalah

“toerekeningsvatbaar”. Sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggung jawab

atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok

permasalahan hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan

pidana. Mampu bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu,

kesalahan adalah unsur adalah unsur pertanggungjawaban pidana. Mampu

bertanggung jawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental

3 Ida Bagus Surya Dharma Jaya, et. al., h. 219-220.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.4 Sebagai dasar

dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu bertanggung jawab, ia

mampu menilai dengan pikiran dan perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang,

artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang, dan ia seharusnya berbuat seperti

pikiran dan perasaannya itu.

Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggung jawab,

kecuali dinyatakan sebaliknya. Oleh karena itulah, maka perumusan dalam Pasal

44 ayat (1) KUHP dinyatakan secara negatif.5 Perumusan pertanggungjawaban

pidana secara negatif juga dapat terlihat dari ketentuan Pasal 48, 49, 50 dan 51

KUHP.KUHP sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai kemampuan

bertanggung jawab, namun dalam KUHP diatur mengenai “tidak mampu

bertanggung jawab” yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP. Pasal 44 ayat (1)

KUHP menyatakan, “Barangsiapa melakukan perbuatan, yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Untuk menentukan apakah seseorang

tidak mampu bertanggung jawab seperti rumusan Pasal 44 ayat (1) KUHP diatas,

dapat dilakukan dengan cara deskriptif normatif. Ada dua hal yang perlu

diperhatikan, yaitu :6

1. Menentukan bagaimana keadaaan jiwa si pelaku; hal ini selayaknya

ditetapkan oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi

ditetapkan secara deskriptif.

4Chairul Huda, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana, Jakarta, h. 94. 5Teguh Prasetyo, op. cit., h. 87. 6Teguh Prasetyo, op. cit., h. 89.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

2. Menentukan hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara keadaan jiwa

tersebut dengan perbuatannya, penentuan ini oleh seorang hakim, jadi

secara normatif.

Namun, terdapat pula beberapa penyakit kejiwaan yang hanya gangguannya

hanya sebagian saja, sehingga menyebabkan seseorang yang menderita penyakit

tersebut dianggap tidak mampu bertanggung jawab sebagian atau hanya dapat

dipertanggungjawabkan sebagian saja. Penyakit tersebut antara lain :

1. Kleptomania, orang yang dihinggapi penyakit jiwa ini tidak dapat

menahan dorongan mengambil barang orang lain, dan tidak menyadari

bahwa perbuatanya itu dilarang. Biasanya yang diambil adalah barang-

barang yang tidak berharga. Di bidang lain orang ini adalah orang

normal.

2. Nymphomania, orang yang berpenyakit jiwa demikian ini bila

berjumpa dengan wanita suka berbuat yang tidak senonoh.

3. Pyromania, penyakit jiwa ini berkecenderungan untuk membakar

benda tanpa alasan dan menimbulkan perasaan lega bagi pengidapnya.

4. Claustrophobia, penyakit jiwa yang berupa ketakutan berada di tempat

sempit atau gelap. Penderita ini dapat berbuat yang bukan-bukan yang

terlarang dalam keadaaan demikian.7

Terdapat juga dalam beberapa kasus ditemukan seseorang yang dianggap

kurang mampu bertanggung jawab. Kekurangmampuan bertanggung jawab

menunjukkan adanya persoalan dengan kejiwaan pelaku. Walaupun demikian

pelaku masih dapat dipertanggung jawabkan, sehingga dapat dipidana. Keadaan

jiwanya hanya dipakai untuk meringankan pemidanaan.

Kemampuan bertanggung jawab seseorang dinilai selain karena faktor

diatas, namun juga berdasarkan faktor umur seseorang tersebut. KUHP tidak

mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak atau orang yang

belum dewasa maupun pemidanaan terhadapnya. Hanya terdapat Pasal 45, 46 dan

7 Teguh Prasetyo, op. cit, h. 90-91.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum

berumur 16 tahun. Pasal 45 hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh

hakim dalam mengambil keputusan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

orang yang belum berumur 16 tahun, antara lain :

1. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana

2. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk

kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada

orang atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (Pasal 46

KUHP)

3. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi

dengan sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara

untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati; juga ada

dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana

tambahan perampasan barang-barang tertentu.

Terdapat pula undang-undang khusus yang mengatur mengenai anak atau

orang yang belum dewasa yang melakukan tindak pidana, yaitu Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 angka 3

menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut

Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur

18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Pasal 20

menyebutkan “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap

berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum

mencapai umur 21 (dua pulub satu) tahun, Anak tetapi diajukan ke sidang Anak.”

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, juga diatur mengenai tindak

pidana yang dilakukan oleh anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yaitu

pada Pasal 21 ayat (1) :

(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau

diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,

dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk :

a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan

pembimbingan di instansi pemerintah atau LPSK di instansi yang

menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun

daerah, paling lama 6 bulan (enam) bulan.

2.2 Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit

2.2.1 Hak dan Kewajiban Pasien

Pada dasarnya pasien adalah seorang konsumen yang memakai jasa dari

dokter, rumah sakit maupun tenaga kesehatan lainnya untuk mendapat pelayanan

kesehatan. Pengertian pasien terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyebutkan, “Pasien

adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun

tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”, dikarenakan pasien juga merupakan

konsumen, sehingga secara umum pasien juga mendapatkan perlindungan sesuai

dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

antara lain :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan konsisi serta jaminan yang

dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabilan barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana semestinya.

Hak pasien juga diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, hak pasien tersebut antara lain :

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap dan jujur tentang tindakan

medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis; dan

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Selain dalam Undang-Undang Praktik Kedokteraan, hak pasien juga diatur

dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hak pasien

tersebut lebih bersifat pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Pasal 32 menyatakan

:

Setiap pasien mempunyai hak :

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit;

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar operasional;

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi;

f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter

lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun

di luar Rumah Sakit;

i. Mendapatkan privasi dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya;

j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan

komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan

yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit;

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya;

p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan

agama dan kepercayaan yang dianutnya;

q. Menggugat dan/atau menintut Rumah Sakit apabilan Rumah Sakit

diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik

secara perdata ataupun pidana; dan

r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengn

standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juga mengatur mengenai

perlindungan terhadap pasien walaupun tidak secara jelas diatur mengenai hak-hak

pasien. Perlindungan pasien tersebut diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 58,

yang mengatur mengenai bahwa pasien memiliki hak untuk menerima atau

menolak sebagaian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindaka tersebut

secara lengkap (Pasal 56 ayat 1), pasien berhak atas rahasia kondisi kesehatan

pribadinya (Pasal 57) dan pasien berhak menuntut ganti rugi apabila mengalami

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang

diterimanya (Pasal 58 ayat 1).

Pasien tidak hanya memiliki haknya saja namun juga memiliki kewajiban

yang harus dipenuhi pula. Dalam beberapa undang-undang terkait kesehatan, diatur

secara jelas mengenai kewajiban dari pasien. Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur kewajiban pasien dalam Pasal 53, yang

menyatakan :

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

kewajiban :

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Selain memiliki kewajiban kepada dokter, pasien juga memiliki kewajiban

terhadap rumah sakit, apabila pasien tersebut mendapatkan pelayanan di rumah

sakit. Adapun kewajiban tersebut diatur pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan setiap pasien

mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Dokter

Dokter merupakan salah satu dari bagian tenaga kesehatan yang memiliki

peranan yang sangat vital dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien.

Pengertian dokter dan dokter gigi berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah dokter, dokter spesialis,

dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

dokter atau dokter gigi mempunyai kewajiban antara lain :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasikan segala sesutau yang diketahuinya tentang pasien, bahkan

juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteraan gigi.

Hubungan antara dokter dan pasien yang dituangkan dalam suatu perjanjian

baik tertulis maupun lisan, menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara kedua

belah pihak, perjanjian tersebut sering disebut dengan perjanjian terapeutik. Dalam

perjanjian terapeutik, hubungan antara dokter dan pasien tersebut telah membentuk

hubungan medis berupa tindakan medis yang otomatis juga membuat terbentuknya

suatu hubungan hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum

terdapat objek, subjek dan causa.8 Berdasarkan pendapat tersebut, hubungan

hukum antara dokter dan pasien (perjanjian terapeutik) memuat antara lain :

1. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus

dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima

tindakan medis.

2. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana

kesehatan.

3. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang

dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan

8Wirjono Prodjodikoro, 1979, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, h.

40.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit

(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan

secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.9

Akibat dari adanya hubungan dokter dan pasien berdasarkan perjanjian

terapeutik, maka timbulah hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter sebagai para

pihak di dalam perjanjian tersebut. Adapun kewajiban dokter yang timbul akibat

adanya perjanjian terapeutik antara lain :

1. Kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu

kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada

ilmu medis dan pengalaman.

2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia

atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.

3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau

keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko

yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut.

4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang

mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila tidak

mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan.

5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat

sebagai tugas perikemanusiaan.

6. Kewajiban untuk membuat rekam medis yang baik dan secara

berkesinambungan.

7. Kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteraan,

termasuk kewajiban untuk secara terus menerus menambah ilmu

pengetahuan dan mengikuti perkembangan di bidang ilmu

kedokteran.

8. Kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan.10

Sedangkan hak yang dimiliki oleh dokter akibat timbulnya perjanjian

terapeutik antara lain :

1. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan

tugas sesuai dengan profesinya.

2. Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan peraturan

perundangn-undangan, profesi, dan etika.

9 Y.A. Triana Ohoiwutun, 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia, Malang,

h. 40. 10 Ibid, h. 17-18.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

3. Hak atas informasi yang lengkap dan jujur dari pasien tentang keluhan

yang diderita.

4. Hak atas imbalan jasa dari pelayanan kesehatan yang telah diberikan.

5. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mau

menuruti nasihat yang diberikannya atau berkembangnya hubungan

yang tidak baik dengan pasien.

6. Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan perjanjian

terapeutik.

7. Hak untuk diperlakukan adil dan jujur.

8. Hak atas privacy dokter.11

Hak dokter atau dokter gigi juga diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyebutkan :

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

hak :

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya; dan

d. Menerima imbalan jasa.

Dalam perjanjian terapeutik pada umumnya hak pasien merupakan

kewajiban dokter, begitupula sebaliknya. Pelaksanaan hak dan kewajiban antara

dokter dan pasien dalam praktiknya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan

yang ada agar tidak terjadi kesalahan dalam praktik pelayanan kesehatan yang dapat

menimbulkan kerugian bagi pasien.

2.2.3 Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Selain pasien dan dokter salah satu pemain yang memiliki peranan penting

dalam pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan “Rumah Sakit adalah

11 Ibid, h. 17.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

dan gawat darurat.” Rumah sakit pun juga memiliki hak dan kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu sendiri. Undang-Undang No. 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit mengatur mengenai kewajiban rumah sakit pada Pasal

29 ayat (1), antara lain :

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit

kepada masyarakat;

b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,

dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan

standar pelayanan Rumah Sakit;

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan

kemampuan pelayanannya;

d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,

sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu

atau miskin;

f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas

pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa

uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian

luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;

g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;

h. Menyelenggarakan rekam medis;

i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain saran

ibadah, parker, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita

menyusui, anak-anak, lanjut usia;

j. Menyelenggarakan sistem rujukan;

k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi

dan etika serta peraturan perundang-undangan;

l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan

kewajiban pasien;

m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;

n. Melaksanakan etika Rumah Sakit;

o. Memiliki system pencegahan kecelakaan dan penganggulangan

bencana;

p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara

regional maupun nasional;

q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran

atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit

(hospital by laws);

s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi petugas Rumah

Sakit dalam melaksanakan tugas; dan

t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan

tanpa rokok.

Pada undang-undang yang sama diatur pula mengenai hak dari rumah sakit

yaitu pada Pasal 30 ayat (1), yang menyebutkan :

a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia

sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;

b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,

insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam ragka

mengembangkan pelayanan;

d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;

f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan

kesehatan;

g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah

Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.

2.3 Pengertian Informed Consent

Menurut Hanafiah, informed artinya telah diberitahukan/telah disampaikan

atau telah diinformasikan.12 Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada

seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah informed consent, dapat diartikan

sebagai persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah pasien menerima

penjelasan. Pengertian tentang informed consent juga disampaikan oleh

Komalawati, sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan informed consent adalah suatu

kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh

12 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi

3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 68.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter

mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya,

disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.13

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Medik, memberi batasan tentang informed consent, yang

menyatakan : “persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan

oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap

mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap

pasien”. Kemampuan atau kompetensi pasien untuk mengambil keputusan

merupakan salah satu komponen terpenting dalam informed consent, yang akan

mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Oleh karena itu, dalam

mengambil keputusan pasien harus memiliki 3 unsur kemampuan tersebut yang

terdiri dari :

1. Kemapuan untuk mengerti pilihan-pilihan tersebut;

2. Kemampuan untuk mengerti segala akibat yang mungkin terjadi

bagi pilihannya;

3. Kemampuan untuk mengadakan evaluasi untung ruginya dari setiap

akibat dan menghubungkannya dengan nilai-nilai dan prioritas yang

dianutnya.14

Hal-hal yang terlebih dulu harus dijelaskan dokter pada pasien sebelum

pasien memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis terhadapnya,

menurut Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 sekurang-

kurangnya mencakup :

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

13 Veronica D. Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Kedokteran Dalam Praktik

Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 86. 14 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 130-131.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Hariyani menganjurkan agar tindakan medik tidak dianggap melawan

hukum, maka ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yaitu ada indikasi medis,

dilakukan sesuai prosedur baku di dalam ilmu kedokteran da nada informed

consent.15 Terdapat 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur

informed consent di Indonesia yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik

Kedokteran

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik

Undang-undang menentukan persetujuan pasien dapat diberikan secara

tertulis atau lisan (Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juncto

Pasal 68 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014), namun pada praktiknya,

informed consent pasien bisa dilakukan secara diam dengan sikap pasrah. Namun,

apabila tindakan medis yang akan dilakukan mengandung risiko tinggi, seperti

15 Safitri Hariyani, 2005, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara

Dokter dan Pasien, Penerbit Diadit Media, Jakarta, h. 150.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

pembedahan, maka menjadi wajib dibuat dalam bentuk tertulis (Pasal 45 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juncto Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014).

Tindakan medis yang akan dilakukan dokter harus mendapat persetujuan

dari pasien (informed consent), baik secara lisan maupun tertulis. Namun, tidak

hanya sema ta-mata pasien itu sendiri yang dapat memberikan persetujuan, pada

waktu tertentu terdapat beberapa pihak yang berhak memberikan persetujuan.

Mengenai pihak yang berhak memberikan persetujuan, diatur dalam Pasal 7 ayat

(1) dan ayat (2) Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008 yaitu diberikan

langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak

diminta dan apabila pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,

penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Perkecualian,

persetujuan tindakan medis tidak diperlukan apabila dalam keadaaan gawat darurat,

untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mecegah kecacatan tidak diperlukan

persetujuan tindakan kedokteran (Pasal 4 ayat (1).

Komalawati mengemukakan adanya kondisi-kondisi yang secara yuridis

dapat dijadikan dasar penting untuk menentukan adanya persetujuan pasien yang

diberikan kepada dokter yang merawatnya yaitu sikap tindak pasien yang harus

dicermati dokter yang dari sikap tindak pasien tersebut dapat diartikan bahwa

pasien “setuju”.16 Ada 2 (dua) kondisi yang pada umumnya dapat dijadikan dasar

bahwa persetujuan pasien dianggap telah ada, yang terdiri dari :

16Veronica D. Komalawati, op.cit, h. 88-89.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

1. Secara faktual pasien bersedia menjalani suatu prosedur kesehatan

dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya.

2. Dengan atau tanpa persetujuan yan nyata, bedasar sikap tindak

pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa yang bersangkutan telah

memberikan persetujuannya.

Dari kondisi tersebut, maka Komalawati mengemukakan bentuk-bentuk

utama persetujuan pasien sebagai berikut :

1) Persetujuan efektif, meliputi :

a. Persetujuan ekspresif, yaitu apabila secara faktual pasien mau

menjalani suatu prosedur upaya medis dalam rangka

penanganan terhadap penyakitnya.

b. Persetujuan non ekspresif, apabila berdasarkan sikap dan

tindakan pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien termasuk

telah memberikan persetujuannya.

2) Persetujuan implikatif, khusus dalam keadaan gawat darurat,

dimana kalau pasien tidak ditolong akan dapat membahayakan

jiwanya. Dalam hal demikian, disimpulkan (implikatif) dokter

berkewajiban penuh untuk melaksanakannya upaya penyelamatan

nyawa, tanpa mempermasalahkan persetujuan dari pasien yang

bersangkutan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum pasien memberikan

persetujuan terhadap tindakan medis yang akan diambil, dokter harus memberikan

informasi mengenai tindakan medis itu secara lengkap, salah satunya adalah risiko

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

dari tindakan medis tersebut. Mengenai risiko tindakan medis, sebaiknya dapat

dirinci dari sifat risiko tersebut, apakah dapat mengakibatkan cacatnya satu organ

tubuh tertentu (misalnya kelumpuhan atau kebutaan), presentase kemungkinan

timbulnya risiko tersebut (seiring atau jarang), taraf keseriusan risiko yang terjadi,

waktu timbulnya apakah segera setelah dilakukannya tindakan atau beberapa waktu

setelah dilakukannya tindakan.

Pada tindakan pembedahan, baik dokter ahli yang melakukan pembedahan

maupun dokter ahli anesthesia, dapat terkena sanksi pidana dengan tidak

dilakukannya informed consent :

a. Bagi dokter yang melakukan pembedahan/operasi dapat dituntut

berdasar Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan.

b. Bagi dokter ahli anesthesia bisa dikenakan Pasal 89 KUHP yaitu

membuat orang pingsan atau tidak berdaya yang dapat diidentikkan

dengan menggunakan kekerasan.17

Informed consent juga berfungsi ganda. Bagi dokter, informed consent

dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, yang

sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya

tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat buruk yang

tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap

hak-haknya oleh dokter, dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap

dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya

persetujuan pelayanan kesehatan.

17 Anny Isfandyarie, op. cit, h. 149.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

Agar pasien dapat membuat keputusannya, maka diperlukan informasi yang

dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tersebut.

Fuady berpendapat bahwa suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien

jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :

1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.

2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.

3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan

persetujuan.18

Beberapa landasan teori yang dikemukakan oleh Fuady dapat dijadikan

acuan bagi kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan dari pasien antara lain

:

1. Teori Manfaat kepada Pergaulan Hidup

Dalam teori ini, keharusan berlakunya informed consent selain

bermanfaat bagi pasien, juga berguna bagi pergaulan hidup secara

keseluruhan. Sebagai contohnya misalnya dokter melakukan

amputasi kaki above knee (kaki dipotong sampai atas lutut) pada

pasien, tanpa informed consent. Apakah pasien tidak akan menuntut

dokter tersebut seandainya setelah operasi pasien mengetahui

kakinya hilang sebelah (menjadi cacat) yang akan menentap seumur

hidup ? Dokter pun juga tidak mungkin berani “membuat cacat”

pasien tanpa persetujuan pasiennya. Dalam hal demikian informed

consent sangat bermanfaat bagi ketenangan dan keamanan dokter

dalam bekerja dan kesiapan pasien dalam menghadapi pengobatan

yang hasilnya menimbulkan kecacatan pada dirinya.

2. Teori Manfaat kepada Pasien

Pasien berobat untuk mencari kesembuhan. Oleh karena itu,

tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus selalu berpedoman

pada upaya penyembuhan pasien secara maksimal. Sedapat

mungkin dokter tidak melakukan tindakan yang bias merugikan

pasiennya. Dengan adanya informed consent, pasien dapat ikut

berpartisipasi dalam menentukan tindakan dokter yang bermanfaat

bagi dirinya, karena dia telah mengerti hal ihwal pengobatan yang

akan dilakukan oleh dokter.

3. Teori Penentuan Nasib Sendiri

18 Ibid, h. 151-152.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

Hanya pasienlah yang berhak untuk menentukan dirinya sendiri (self

determination), sehingga setiap tindakan medis/pengobatan yang

dilakukan oleh dokter terhadap tubuh pasien, haruslah mendapatkan

persetujuan (consent) pasien termaksud. Melakukan suatu perbuatan

atas tubuh seseorang tanpa persetujuan pemiliknya merupakan

tindakan yang tidak saja melanggar etika, tetapi juga dapat terkena

sanksi perdata maupun pidana.19

2.4 Pengertian Malpraktik

Malpraktik berasal dari terjemahan Bahasa Inggris malpractice yang

diartikan sebagai praktik yang tidak benar atau adanya kesalahan dalam berpraktik.

Belum adanya keseragaman untuk menejermahkan istilah malpractice ke dalam

Bahasa Indonesia. Ada beberapa istilah yang digunakan, antara lain malapraktek,

malpraktek, malpraktik, malapraktik dan sebagainya. Akan tetapi, istilah yang

benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional

yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah “malapraktik” sedangkan dunia

kedokteran menggunakan istilah “malpraktik”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan istilah “malpraktik”.

Dalam Kamus Kedokteran, malpractice adalah praktik yang tidak benar

atau mencelakakan; tindakan medis atau pembedahan yang tidak terampil atau

keliru.20 Dengan demikian, dalam malpraktik medis selalu berhubungan dengan

pelaksanaan profesi medis oleh tenaga medis, yaitu dokter/dokter gigi, dokter

spesialis/dokter gigi spesialis.

Dalam arti umum, malpractice adalah praktik jahat atau buruk, yang tidak

memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah

19 Ibid, h. 152-153. 20Difa Danis, tanpa tahun, Kamus Istilah Kedokteran, Gitamedia Press, Jakarta, h. 393.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian diagnose, selama tindakan, dan

sesudah perawatan. Malpractice dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan

tindakan, tetapi dapatn terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai

dengan sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.

Malpraktik kedokteran dapat diartikan sebagai bencana yang timbul sebagai

akibat dari suatu praktik kedokteran, bencana mana yang timbul tidak karena

disengaja diduga sebelumnya, melainkan ada unsur lalai yang seharusnya tidak

layak untuk dilakukan oleh seorang dokter, sehingga berakibat cacat, atau matinya

pasien.

Malapraktik kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana, apabila

memenuhi syarat-syarat tertentu dalam tiga aspek, antara lain syarat dalam

perlakuan medis, syarat dalam sikap batin dokter dan syarat mengenai hal akibat.

a. Syarat Perlakuan Medis

Banyak alat ukur dalam hal menentukan perlakuan medis salah atau

menyimpang yang dapat berujung pada malpraktik kedokteran. Beberapa

diantaranya adalah hukum, Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional,

kebutuhan medis pasien, kewajiban dokter dalam hubungan dokter-pasien, prinsip-

prinsip professional kedokteran, informed consent, Surat Izin Praktik (SIP), Surat

Tanda Registrasi (STR) sampai pada Kode Etik Kedokteran. Dalam hal ini ukuran

hukum yang paling luas, sedangkan ukuran lain acapkali sudah termasuk dalam

ukuran hukum.

Semua perbuatan dalam pelayanan medis tersebut dapat mengalami

kesalahan yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik kedokteran, apabila

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan

dan kematian pasien. Dapat diartikan bahwa perlakuan salah yang menimbulkan

akibat yang merugikan pasien tidak selalu berujung malpraktik kedokteran. Timbul

malpraktik kedokteran menurut hukum, di samping perbuatan-perbuatan dalam

perlakuan medis tersebut menyimpang dan menimbulkan akibat yang merugikan

masih ada syarat sikap batin terhadap akibat, yang tidak mudah dipahami dan

diterapkan. Bahkan kadangkala dalam kasus konkret tertentu perbuatan salah bias

dibenarkan dengan alasan tertentu pula.

Perlakuan medis tidak selalu bersifat aktif (wujud perbuatan tertentu), tetapi

juga termasuk tidak berbuat sebagaimana seharusnya berbuat, dan karena tidak

berbuat apapun dokter melanggar suatu kewajiban hukum. Karena jabatan dan

adanya hubungan hukum dengan pasien, dalam keadaan tertentu dokter harus

berbuat menurut standar profesi dan standar prosedur. Tidak berbuat sebagaimana

dituntut untuk berbuat seperti itu adalah juga bagian dari perlakuan medis yang

dapat menjadi objek lapangan malpraktik kedokteran.

b. Syarat Sikap Batin Dokter

Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang berbuat.

Sesuatu yang ada dalam alam batin ini, bisa berupa kehendak, pengetahuan, pikiran,

perasaan dan apapun namanya yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum

berbuat. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam

perbuatan-perbuatan tertentu disadarinya dilarang, hal itu disebut dengan

kesengajaan. Adapun apabila kemampuan berpikir, kemampuan berperasaan dan

berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin yang demikian

dinamakan kelalaian (culpa). Sebelum perlakuan medis diwujudkan oleh dokter

terdapat empat arah sikap batin dokter, yaitu :

1. Sikap batin pada wujud perbuatan

Sikap batin malpraktik kedokteran yang diarahkan pada perbuatan pada

umumnya berupa kesengajaan, artinya mewujudkan perbuatan atau menjalankan

perlakuan medis memang dikehendaki. Tetapi bisa juga sikap batin pada perbuatan

(aktif atau pasif) adalah sikap batin kelalaian.

2. Sikap batin pada sifat melawan hukum perbuatan

Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan yang akan dijalankan

bisa berupa kesengajaan dan bisa juga culpa. Ukuran salah atau benar perlakuan

medis yang dijalankan terutama pada standar profesi kedokteran dan Standar

Prosedur Operasional dan atau kebiasaan umum yang wajar di dunia kedokteran.

Pasal 51 huruf a UU No. 29 Tahun 2004 juncto Pasal 58 ayat (1) huruf a UU

No. 36 Tahun 2014 menyebut 3 (tiga) ukuran, ialah Standar Profesi, Standar

Prosedur Operasional, dan kebutuhan medis pasien. Apabila terhadap perlakuan

hendak dijalankan pada pasien disadari melanggar Standar Profesi atau Standar

Prosedur Operasional atau bertentangan dengan kebutuhan medis pasien namun

dijalankan juga, maka sikap batin yang demikian disebut dengan

kesengajaan.Sebaliknya sikap batin yang tidak menyadari atas apa yang hendak

diperbuat dokter sebagai menyalahi Standar Profesi atau prosedur operasional, dan

dijalankan juga maka sikap batin yang demikian disebut dengan kelalaian.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

3. Sikap batin pada objek perbuatan

Sikap batin dokter pada objek perbuatan adalah pengetahuan mengenai

berbagai keadaaan diri pasiennya. Dalam batas-batas kewajaran sebagai dokter

perlu mengetahui tentang berbagai hal mengenai diri pasien, mengenai keluhan

sebab penyakitnya, riwayat penyakitnya, jenis dan tingkat penyakit yang diderita,

penyebabnya dan sebagainya, yang semuanya merupakan fakta-fakta medis yang

didapatkan dari hasil pemeriksaan. Dengan menggunakan akal dan ilmunya fakta-

fakta medis dianalisis untuk menetapkann diagnosis, dan selanjutnya terapi

dijalankan. Dalam menggunakan ukuran kewajaran tersebut acapkali menimbulkan

ketidakpuasan pasien yang berujung pada laporan atau gugatan dugaan malpraktik

kedokteran.

Sikap batin pada objek perbuatan (pasien) bisa berupa kelalaian maupun

kesengajaan. Kelalaian bisa terjadi sejak pemeriksaan (pilihan cara dan alatnya),

menganalisis fakta-fakta medis yang didapat, menetapkan diagnosis (dari beberapa

kemungkinan) misalnya jenis dan tingkat penyakit, bentuk terapi termasuk jenis

dan dosis obat, alat dan cara terapi sampai pada nasihat. Sementara dalam hal

melakukan bentuk terapi yang telah ditetapkan (dari beberapa kemungkinan) selalu

dikehendaki (sengaja) dokter.

Kelalaian tersebut disebabkan tidak atau kurangnya menggunakan akal,

kurang pengetahuan, kurang kehati-hatian atau kecermatan, kurang pertimbangan,

kurang kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip professional, kurang pemikiran yang

seharusnya diperlukan sebelum dan pada saat pemeriksaan, menganalisis fakta-

fakta medis, memutuskan diagnosis dan bentuk terapi dari sekian pilihan.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

4. Sikap batin pada akibat perbuatan

Sikap batin pada akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien

malpraktik kedokteran pada umumnya kelalaian. Tidak mungkin dokter

menginginkan rusaknya kesehatan atau matinya pasien. Akan tetapi tidak tertutup

kemungkinan dalam kasus tertentu, kehendak dokter ditujukan pada akibat bentuk

bagi kesehatan atau nyawa pasien, misalnya pada euthanasia (Pasal 344 KUHP)

atau aborsi di luar indikasi medis (Pasal 347-348 KUHP).

Akibat yang boleh masuk pada malpraktik kedokteran haruslah akibat yang

merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan dokter. Dari sudut Hukum

Pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan hukum pidana, apabila

macam/bentuk kerugian disebut dalam rumusan kejahatan dan menjadi unsur

tindak pidana tertentu. Akibat kematian atau luka tubuh merupakan unsur kejahatan

Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis

terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka seperti ditentukan dalam pasal

tersebut, maka perlakuan medis masuk kategori malpraktik pidana.

Antara perlakuan medis dengan akibat haruslah ada hubungan kausal

(causal verband). Akibat terlarang yang tidak dikehendaki haruslah merupakan

akibat langsung oleh adanya perbuatan. Penyebab langsung menimbulkan akibat

adalah berupa penyebab secara layak dan masuk akal paling kuat pengaruhnya

terhadap timbulnya akibat. Timbulnya akibat terlarang tidak harus seketika atau

tidak lama setelah perbuatan diwujudkan. Boleh jadi akibat itu timbul setelah

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG …

berbulan atau bertahun-tahun kemudian. Namun akibat itu harus terbukti adalah

akibat langsung atau pengaruh yang kuat dari adanya perlakuan medis semula.21

21 Adami Chazawi, 2016, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, h. 68-72.