Upload
doanhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PERKARA PIDANA
A.1. KONSEP TENTANG PERKARA PIDANA
Perkara pidana sangat dekat dengan keseharian. Berkenaan dengan
kedekatannya yang tidak menutup kemungkinan akan timbul setiap saat, baik
karena adanya unsur niat juga adanya kesempatan atau peluang. Sering kita
temukan peristiwa pidana yang terjadi dalam masyarakat, sebut saja perkara
pidana yang berkaitan dengan pencurian, pembunuhan dan kesusilaan yang secara
jelas dikategorikan sebagai perkara pidana, baik oleh undang-undang maupun
oleh hukum tidak tertulis dimasyarakat.
Berkaitan perkara pidana, terlebih dahulu dapat diperhatikan penjelasan para
pakar tentang pengertian hukum pidana, diantaranya sebagai berikut :
a) Prof. Moeljatno, S.H.. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku dari suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk :1
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
1 Moeljatno. 2008. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 1
14
b) Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum pidana adalah peraturan hukum
mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu yang
oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal
yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan2.
c) Ketentuan pidana (strafbepaling) ialah aturan yang berisi larangan , atau
keharusan yang disertai sanksinya3.
d) Mr. Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana matetiil dan hukum pidana formi
sebagai berikut4.
Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan
pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana
untuk dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan
menetapkan hukum atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah
kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum
pidana materiil terhdap pelanggaran yangdilakukan oleh orang-orang
tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana
materiil diwujudkan sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur
cara melaksanakan keputusan hakim.
Uraian mengenai pengertian hukum pidana oleh para ahli di atas dapat
ditarik benang merahnya, bahwa hukum pidana merupakan serangkaian aturan
yang memuat dan mengatur tentang larangan dan perintah disertai sanksi yang
tegas bagi yang melanggar. Sementara Mr. Tirtaamidjaja, beliau membagi hukum
pidana dalam dua bagian. Pertama, hukum pidana materiil yaitu hukum pidana itu
sendiri (KUHP) dan hukum pidana formil berkaitan dengan aturan pelaksana dari
hukum pidana materiil (KUHAP).
2 Wirjono Prodjodikoro. 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung. PT. Eresco.
Hal. 1.
3 Jur. Andi Hamzah. 2008. Terminologi hukum pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Ha. 158.
4 Leden Marpaung. 2012. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 2.
15
A.2. SANKSI PIDANA
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana membedakannya dengan
hukum yang lainnya. Hukuman dalam hukum pidana dititik beratkan pada
pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Sanksi dalam hukum pidana telah diatur di dalam pasal 10 KUHP yang
menerangkan pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati,
2. Pidana penjara,
3. Kurungan,
4. Denda.
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
Merujuk pada pasal 10 KUHP, maka secara langsung dapat dipastikan
hakim dilarang memutuskan hukuman di luar dari yang telah ditetapkan. Dalam
tulisan ini, penulis akan fokus menjelaskan pidana pokok saja.
Berikut penjelasannya :
a.1. Pidana Mati
Penerapan pidana mati dalam praktik sering menimbulkan perdebatan
antara yang pro dan yang kontra. Bagaimanapun berlangsungnya diskursus terkait
16
penjatuhan pidana mati, namun kenyataan yuridis pidana mati memang
dibenarkan dan sudah beberapa kasus yang dijatuhi pidana mati.
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana. Ada beberapa pasal
dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, antara lain:
a. Makar membunuh kepala negara (pasal 104)
b. Pembunuhan berencana (pasal 340)
c. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)
d. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang
(pasal 124 ayat 3)
e. Membunuh kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1)
f. Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)
g. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada
waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang
menjadikan ada orang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4) di luar
KUHP, pidana mati sering dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
subversi (Undang-undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak
pidana narkotika (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976).
Dasar pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu menurut Penetapan
Presiden (PENPRES) tanggal 27 April 1964 LN Tahun 1964 bahwan pelaksanaan
pidana mati di Indonesia dilakukan oleh regu tembak dengan menembak terpidana
sampai mati.
Indonesia mewarisi KUHP Belanda, dengan kata lain bahwa hukuman mati
merupakan warisan Belanda. Sebagai negara yang memiliki kekhasan seperti
17
Indonesia tentu berbeda dengan Belanda, sehingga sangat perlu dikaji kembali
untuk disesuaikan dengan kultur bangsa Indonesia. Leden Marpaung (2012: 108)
mengemukakan, “kiranya tidak berlebihan jika mesti diamati adat istiadat di
Indonesia sehingga diharapkan suatu ketentuan dapat membawa kemaslahatan dan
tidak sebaliknya”5.
a.2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa
hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan
karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan
karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena
kelalaian6.
Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini
diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:
a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan
paling lama lima belas tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih
antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama
waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu
juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena
5 Ibid. Hal. 108.
6 Ibid.
18
pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang telah
ditentukan dalam pasal 52 KUHP.
d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari
dua puluh tahun.
Pelaksanaan hukuman penjara dikenal adanya pembebasan bersyarat. Hal
ini diatur di dalam pasal 15 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan
bulan, maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika
terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu
dianggap sebagai satu pidana”.
Pelepasan bersyarat ditentukan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau
setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah
mendapat keterangan dari Jaksa tempat asal terpidana (pasal 16 KUHP ayat 1).
a.3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain,
dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut,
dan lain-lain
Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang
berbunyi :
(1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling
lama satu tahun.
19
(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat
bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan
kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.
(3) Hukuman kurungan itu sekali-kali tidak boleh melebihi waktu satu
tahun empat bulan.
Hukuman kurungan dijalani dalam penjara. Umumnya, terpidana penjara
dipisahkan dengan orang yang menjalani kurungan7.
a.4. Pidana Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga
diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau
kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan
minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan8.
Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi:
(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
(4) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka
diganti dengan hukuman kurungan.
(5) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
(6) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga
setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih
tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari,
akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
7 Ibid. Hal. 109
8 Ibid.
20
(7) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan
dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan
kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52
dan 52a.
(8) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.
Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau
kenalan dapat melunasinya.
A.3. TUJUAN PIDANA
Hukum pidana sebagai refleksi kepanjangan tangan dari tanggungjawab
suatu negara untuk melaksanakan ketertiban umum. Sebagaimana kehidupantentu
memerlukan orientasi, begitu pula hukum pidana.
Hukum pidana memiliki tujuan sebagi berikut9 :
1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabi’atnya
sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Kehidupan yang tertib merupakan dambaan bagi setiap masyarakat,
sebagaimana termaktub di dalam amanat tujuan nasional yang memberi
perlindungan kepada warga negaranya.
Barda Nawawi yang dikutip dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Kitab Hukum Pidana yang di Terbitkan Oleh Badan Pembinaan
9 Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung. Refika
Aditama. Hal. 19-20.
21
Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia merumuskan tujuan
penegakkan hukum pidana adalah:10
1. Perlindungan masyarakat dari perbuatan anti sosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat, maka tujuan pemidanaan adalah mencegah
dan menanggulangi kejahatan.
2. Perlindungan masyarakat dari sifat berbahayanya seseorang, maka
pidana/pemidanaan dalam hukum pidana bertujuan memperbaiki pelaku
kejahatan atau berusaha merubah dan mempengaruhi tingkah lakunya
agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang
baik dan berguna.
3. Perlindungn masyarakat dari penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari
penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya, maka
tujuan pidana dirumuskan untuk mencegah terjadinya perlakuan atau
tindakan sewenang-wenang di luar hukum.
4. Perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan atau keselarasan
berbagai kepentingan dan nilai akibat dari adanya kejahatan, maka
penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Upaya pencegahan merupakan tujuan pokok dari hukum pidana, selain
sebagai proses pendidikan hukum maupun terhadap pembangunan tata kehidupan
masyarakat yang sadar hukum, tidak hanya dalam kerangka toritis namun dalam
kehidupan praktis.
Pemberian batasan oleh hukum pidana tentu berimplikasi terhadap
merosotnya keinginan maupun efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek
pendidikan hukumnya, hukum pidana merepresentasikan ungkapan bahwa tidak
ada suatu pelanggaran yang tidak mendapatkan sanksi. Adapun tujuannya semata-
mata untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana.
A.4. TEORI PEMIDANAAN
Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum
pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam
10 Tim Naskah Akademik di Bawah Pimpinan Nyoman Serikat. Editor Suradji. 2012. Naskah
Akademik Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta
Timur. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Hal.
3.
22
menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan
dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum
pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi
manusia yang justru dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya penjahat dijatuhi
pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan
bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya
dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat
disebut hukum sanksi istimewa.
Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu
apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia
yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana
subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara
merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan
mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban
itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai
pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar
putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa
yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi
terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum
pidana dapat menjadi landasan pengambilan keputusan oleh hakim dan dasar
penuntutan bagi jaksa yang melakukan penuntutan terhadap kasus pidana. Ketika
23
jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali
bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana
yaitu:11
1. Teori Absolut atau teori pembalasan
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana terhadap penjahat. Negara melalui alat-alat
negara berhak menjatuhkan pidana kepada pelanggar yang telah melakukan
penyerangan dan pemerkosaan terhadap hak dan kepentingan hukum yang
dilindungi. Pembalasan yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang
dilakukannya, tidak sekedar berorientasi pada perbaikan diri penjahat, akan tetapi
penjatuhan pidana terhadap penjahat merupakan kemutlakan. Memang sudah
seharusnya kejahatan harus diikuti oleh penjatuhan pidana dengan maksud supaya
memberikan penderitaan bagi penjahat. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat
primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern12
.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua orientasi,
yaitu:
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
11 Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakatra Timur. Sinar Grafika. Hal. 187.
12
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008. Jakarta. Rineka Cipta.
Hal. 31.
24
“Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan
menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam
arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan”13
.
Penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan tidak hanya memberikan
rasa kepuasan dan keadilan terhadap korban kejahatannya, namun disisi lain
manfaatnya bagi pelaku supaya sadar bahwa melakukan kejahatan hanya akan
melahirkan nestapa.
Berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana pidana perlu diberikan kepada
pelaku kejahatan, teori retributif atau teori absolut menjelaskan sebagai berikut: 14
(1) Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam
si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya.
Perasaan dimaksud tidak dapat dihindari dan adanya perasaan dimaksud
tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
Tipe retributif ini disebut vindicative.
(2) Pidana dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa, setiap ancaman
yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan diri orang lain
secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini
disebut fairness.
(3) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara
apa yang disebut dengan “the gravity of the offence”dengan pidana
yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan proportionality.
Termasuk kedalam kategori “the gravity” tersebut adalah, kekejaman
dari kejahatannya atau dapat juga termasuk, sifat aniaya yang ada dalam
kejahatannya, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena
kelalaiannya.
Hukuman yang setimpal dengan kejahatan sangat fair diberikan kepada
pelaku atas perbuatannya, karena ganjaran yang adil (just desert), merupakan
perwujudan dari implementasi tujuan hukum pidana.
13 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung.
Penerbit Alumni. Hal. 15.
14 Romli Atmasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung.
Mandar Maju. Hal. 83-84.
25
Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukuman pidana pada dewasa ini,
maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap
merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni
memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbeh
oefte).15
2. Teori Tujuan/Relatif
Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan,
sebaliknya teori relatif ataupun teori tujuan berusaha untuk
mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkataan lain
pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu
juga sering disebut teori prevensi, yang dapat kita tinjau dari dua
segi, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan
dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial
mengurungkan niatnya, karena ada perasaan takut akan akibat yang
dilihatnya, jadi ditujukan kepada masyarakat pada umumnya.
Sedangkan prevensi khusus ditujukan kepada pelaku agar ia tidak
mengulangi perbuatan jahatnya16
.
Teori ini, mengajarkan bahwa penjatuhan pidana terhadap seseorang
merupakan pengajaran supaya pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya,
dengan kata lain tiada seseorang yang dapat lari dari setelah melakukan kejahatan,
sehingga penjahat yang merencanakan untuk melakukan kejahatan segera
membatalkan niatnya, inilah kenyataan pencegahan terhadap terjadinya tindak
pidana yang berimplikasi pada ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”
(karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya
orang jangan melakukan kejahatan). Inilah makna ucapan yang
terkenal dari Seneka soerang filosof Rumawi: “nemo prudens punit
quia peccatum est, sed ne peccetur ”. (artinya: no reasonable man
15 Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op. Cit.
16
Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. Hal. 15.
26
punishes because there should be no wrong-doing = tidak seorang
normalpun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat,
tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat)17
.
Terlihat jelas jaminan kemanusiaan yang diberikan oleh negara kepada
warga negaranya, dari segi penghukuman terhadap pelaku kejahatan, tujuan
pemidanaan lebih di arahkan kepada penyadaran terhadap pelaku kejahatan serta
menutup ruang bagi timbul dan berkembngnya kuantitas pelaku kejahatan, ini
akan memudahkan pemenuhan keinginan dalam menciptakan kehidupan yang
bermartabat dan tertib sosial.
Tujuan pemidanaan dikenal dua aliran yaitu; pertama, Aliran klasik
berpandangan, tujuan hukum pidana/pemidanaan yaitu untuk
menakut-nakuti setiap orang supaya tidak melakukan perbuatan yang
tidak baik. Kedua, aliran modern berkeyakinan tujuan hukum
pidana/pemidanaan, untuk mendidik orang yang telah pernah
melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima
kembali dalam kehidupan lingkungannya18
.
Aliran klasik lebih menekankan pada perlindungan individu dari kekuasaan
negara maupun hegemoni golongan yang kuat terhadap golongan yang lemah, hal
ini akan menyatakan arti dari pada equality befor the law. Sementara aliran
modern lebih kepada memanusiakan manusia, dengan membawa manusia dari
keburukan kepada kebaikan.
Dalam rancangan KUHP Juli 2006, tujuan pemidanaan termaktub dalam
pasal 51, yaitu pemidanaan bertujuan:19
1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
17 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hal. 16.
18
Teguh Prasetyo. Op. Cit. Hal. 14
19
Ibid, hal. 14-15
27
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pada dasarnya teori ini menekankan pada pencegahan terhadap terjadinya
suatu tindak pidana, baik oleh residivis maupun yang berpotensial untuk
melakukan kejahatan, serta mencegah orang lain yang ingin melakukan kejahatan.
3. Teori Gabungan
Sesungguhnya teori gabungan merupakan penggabungan antara teori
absolut/pembalasan dengan teori relatif/tujuan. Penggabungan kedua teori tersebut
dapat dipahami bahwa pemberian hukuman semata-mata untuk menegakkan
konsistensi kewibawaan dan kepastian hukum dan membebaskan pelaku
kejahatan dari kekeliruan jalan hidup yang ditempuhnya.
Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino
Rossi (1787-1848). Sekalipun ia anggap pembalasan sebagai asas dari
pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu
pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai
berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam
masyarakat dan prevensi general20
.
B. HUKUM ADAT
B.1. KONSEP TENTANG HUKUM ADAT
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum
dan adat.
Duguit mendefinisikan, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
20 Muladi dan Barda Nawawi. Op. Cit. Hal. 19.
28
bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang
yang melakukan pelanggaran itu.21
Suriyaman menyatakan, bahwa adat merupakan kebiasaan masyarakat.
Selanjutnya, kelompok masyarakat menjadikan adat tersebut sebagai sebuah adat
yang harus berlaku dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakatnya dan
menjadikanya “hukum adat”22
. Menurut T.O. Ihromi, arti yang paling inti dari
adat ialah pedoman berlaku atau cara berlaku, yang sudah diikuti oleh sebagian
besar warga suatu masyarakat dan dianggap pantas untuk situasi tertentu atau
pada saat menjalankan peranan tertentu.23
Banyak para pakar yang mencoba mendefinisikan makna hukum adat
dengan berbagai perspektif yang berbeda-beda. Di bawah ini terdapat beberapa
pendapat ahli terkait hukum adat diantaranya sebagai berikut:
a. Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven mendefinisikan hukum adat sebagai
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi (oleh karena itu: “Adat”). Tingkah laku positif memiliki
makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sedangkan
sanksi yang dimaksud adalah reaksi/ konsekuensi dari pihak lain atas
suatu pelanggaran terhadap norma (hukum)24
.
b. Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan
pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat itu ialah:
a) Dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul: “Peradilan Landraad
berdasarkan hukum tak tertulis”.
b) Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek: “Hukum adat Hindia-
Belanda di dalam ilmu, praktek san pengajaran”.
ad. a) “Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan;
keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan
21 Dalam Yulies Tiena Masriani. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.
Hal. 6.
22
A. Suriyaman Mustari Pide. 2015. Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta.
Prenadamedia Group. Hal. 4.
23
T.O. Ihromi. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta. Yayasan Obor Indonsia. Hal. 19.
24 Imam Sudiyat. 2000. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta. Liberty
Yogyakarta. Ha. 5.
29
berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal
pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas
mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena
kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan
dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas-seirama
dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya
tidak-tidaknya ditoleransikan olehnya”.
ad. b) “Hukum adat itu - dengan mengabaikan bagian-bagianya yang
tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-surat
perintah Raja – adalah keseluruhan peraturan yang menjelma
dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) seta pengaruh
dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan)
dan dipatuhi dengan sepenuh hati”. Dengan demikian hukum
adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum
(kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif
dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya
keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di
luar itu didasarkan pada kerukunan (musyawarah). Keputusan
ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan
alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan tersebut25
.
Ter Haar sangat menyadari keunikan yang dimiliki oleh masyarakat,
sehingga perlu mendapat perhatian/pengakuan terhadap hukum adat yang berlaku
dan memang harus serta merta di lestarikan, karena bagaimanapun juga hukum
adat memberikan rasa keadilan secara langsung kepada masyarakat. Terhadap
hakim landraad, sangat dianjurkan juga memperhatikan stelsel/sistem hukum adat
sebagai acuan untuk memutuskan perkara. Barangkali beliau melihat secara
historis mendapati kenyataan, bagaimanapun kuatnya pengaruh hukum Barat,
namun hukum adat masih tetap mempertahankan eksistensinya sebagai ius
constitutum.
25 Ibid. Hal. 6-7
30
c) Prof. Dr. Supomo S.H.
Pengertian hukum adat sebagai hukum tidak tertulis di dalam
peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,
toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum26
.
Ketaatan masyarakat terhadap hukum adat yang tidak tertulis harus disadari
sebagai kesadaran yang kokoh sekalipun peraturan yang ditaati bukan produk
legislatif.
d) Mr.J.H.P. Bellefroid. Pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup
yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan
ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan
tersebut berlaku sebagai hukum.27
Melihat pendapat Bellefroid memiliki kesamaan dengan pendapat
Supomo, yang menitik beratkan bahwa sekalipun peraturan itu tidak dibuat atau di
undangkan oleh penguasa tetap diyakini sebagai hukum oleh masyarakat. Hukum
adat yang bermuara langsung pada keadilan ini terus mengalami perkembangan
dan keberadaannya menjadi pedoman untuk senantiasa ditaati dan dihormati.
B.2 MACAM-MACAM HUKUM ADAT
Beragam hukum adat yang hidup di dalam masyarakat mencerminkan bahwa,
eksistentsi hukum adat tidak akan lapuk oleh pergeseran masa dan perubahan
zaman. Hukum adat diberbagi daerah di Indonesia masih tetap dilestarikan dan
26 Soerojo Wignjodipoero. 1995. Pengantar dan asas hukum adat. Jakarta. PT.Toko Gunung
Agung. Hal.14.
27
Ibid.
31
bermacam-macam model sesuai dengan corak dan kultur masyarakat setempat
dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat di Indonesia bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:
1. Hukum adat Baja
Karamabura merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Dompu
provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagaimana dikenal dengan sebutan
daerah penghasil jagung dan bawang merah. Suku Donggo yang mendiami desa
Karamabura tersebut masih tetap melestarikan hukum adat Baja. Baja merupakan
bentuk sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat terhadap para pelanggar.
Hasan Agung (62 tahun) menjelaskan bahwa, baja merupakan bentuk
sanksi yang diberikan kepada setiap masyarakat yang melanggar hukum
adat. Hukuman Baja yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum adat.
Misalnya pencuri ketika terbukti bersalah maka tokoh-tokoh adat akan
mengikat tangan pencuri tersebut dan barang-barang curiannya disuruh
pikul atau digigit (apabila barang itu jenis yang bisa dimakan) kemudian
pencuri di arak-arak keliling kampung28
.
Baja merupakan sanksi yang langsung diberikan oleh masyarakat melalui
Lembaga Masyarakat Adat. Karena sanksi yang diberikan dapat secara langsung
dilihat oleh masyarakat (korban) sehingga ada kepuasan atas pembalasan yang
setimpal dengan perbuatan pelaku tersebut. Secara tidak langsung hukum adat
menganut teori pembalasan. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif,
tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern29
.
Karena kekuatannya yang mengikat, tidak mempengaruhi opini
masyarakat terhadap penjatuhan sanksi adat Baja. Pada kenyataannya ada
pihak-pihak yang tidak sepakat dengan penjatuhan sanksi adat dengan
berbagai alasan, misalnya saja keluarga dan teman-teman dekat pelaku.
Hal demikian tidak hanya pada hukum adat, hukum pidana nasionalpun
28 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.
29
Andi Hamzah. Op.cit.
32
terjadi, akan tetapi harus di sadari bahwa hukum tetap hukum dan harus
ditegakkan30
.
Baja merupakan sanksi yang diinginkan oleh masyarakat dan benar-benar
diterapakan dihadapan masyarakat. Baja sangat memberi kepuasan dan
mencerminkan keadilan masyarakat yang sesungguhnya31
.
Pemberlakuan sanksi adat tidak jarang menglami bergai penilaian dari
masyarakat luar. Harus disadari bahwa setiap daerah memiliki standar yang
berbeda, boleh jadi penilaian dari luar sangat harus dirubah dan lain sebagainya,
namun masyarakat tempat hukum adat itu merasa penting dan harus, maka tetap
dilaksanakan.
2. Hukum Adat Kasepekang
Masyarakat Bali dikenal dengan budaya adat istiadatnya, bukan hanya oleh
masyarakat disekitar daerah Bali atau masyarkat Indonesia pada khususnya. Akan
tetapi kebudayaan adat istiadat masyarakat Bali sangat dikenal oleh dunia, karena
Bali merupakan daerah destinasi wisata yang dituju oleh wisatawan manca
negara, maka tidak heran di Bali memiliki kekayaan akan hukum adat yang
diberlakukan oleh masyarakatnya, salah satunya sanksi adat kasepekang Desa
Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menuturkan, sebagai sanksi adat,
kasepekang merupakan sanksi yang sangat ditakuti dan tergolong sanksi
adat yang berat, namun demikian akhir-akhir ini sanksi adat kasepekang
banyak mendapat perhatian dari kalangan masyarakat. Antusias perhatian
masyarakat terhadap sanksi kasepekang ini dikarenakan banyaknya
kasus-kasus adat yang terjadi dan berujung pada penjatuhan sanksi adat
kasepekang.
30 Wawancara dengan Ketua BPD Desa Karamabura. Dompu. 15 Januari 2018
31
Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018
33
Lebih lanjut Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menjelaskan kasepekang
secara terminologi. Kasepekang dalam terminologinya dapat diartikan
sebagai pengucilan. Istilah lain dari kasepekang adalah kemenengan, tan
polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin desa, kapuikin gumi dan tan
polih suaran kulkul. Walaupun ada banyak istilah yang digunakan untuk
penyebutan sanksi adat ini, namun dalam kehidupan masyarakat luas
lebih dikenal dengan istilah kasepekang. Pemikiran ini didasarkan pada
kenyataan bahwa istilah kasepekang sudah merupakan istilah yang umum
digunakan baik oleh media cetak maupun media elektronik dan bahkan
awig-awig desa pakraman juga mencantumkan istilah kasepekang
sebagai salah satu bentuk pamidanda32
.
Dalam konteks sanksi adat, kasepekang menurut Koti Cantika sejatinya
adalah mereka yang dijatuhi sanksi adat kasepekang tidak diladeni dalam
aktivitas suka dan duka dengan tidak mendapat pemberitahuan, tidak
mendapat suara kentongan dan tidak mendapat pelasksanaan
persembahyangan serta tidak mendapat gotongan dalam penguburan,
namun demikian mereka tetap berhak melakukan persembahyangan di
pura serta melaksanakan penguburan di kuburan (setra) milik desa33
.
Terminologi kasepekang juga dujelaskan pula oleh I Made Suasthawa
Dharmayuda, bahwa sanksi adat kasepekang adalah sanksi yang
dikenakan kepada krama desa pakraman yang pada intinya tidak
mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan
kentongan (tan polih suaran kukul), dan tidak mendapat bantuan banjar
(tan polih penyanggran banjar)34
.
Pada prinsipnya kasepekang merupakan salah satu bentuk sanksi adat yang
diberikan kepada warga desa, sanksi tersebut berupa pengucilan karena telah
melanggar ketentuan-ketentuan adat dan terhadap pelanggar tersebut dikenakan
sanksi kasepekang yang pada intinya tidak mendapat pemberitahuan, tidak
mendapat layanan kentongan dan tidak mendapat bantuan banjar akan tetapi
mereka masih tetap berhak menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh desa
pakraman seperti kuburan dan pura sebagai tempat persembahnyangan.
32 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2010. Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-
Awig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman. Denpasar.
Jurnal Ilmiah Kerta Patrika Volume 34 Nomor 1. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Hal. 53.
33
Ibid.
34
Ibid. Hal. 53-54.
34
Kebudayaan masyarakat selalu berubah dan bersamaan dengan itu, tidak
dapat dinafikkan dengan perubahan hukum atau perkembangan hukum yang oleh
masyarakat meyakini sebagai suatu pembaharuan hukum adat. Begitu pula di
dalam masyarakat adat kasepekang mengalami perubahan dalam penerapan sanksi
terhadap pelanggaran adat kasepekang.
Kenyataan ini di utarakan oleh Anak Agung Istri Ari Atu Dewi,
namun penerapan sanksi adat kasepekang sekarang ini tidak lagi
berjalan pada prinsip semula melainkan sudah mengarah kepada
perbuatan anarkis atau perbuatan kesewenang-wenangan desa
pakraman kepada krama (warga) desa pakraman seperti tidak
diijinkan untuk menggunakan setra, pura bahkan tidak dilayani secara
administrasi (kedinasan)35
.
B.3. DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
Keyakinan masyarakat terhadap hukum adat masih terpelihara dengan baik,
dapat dilihat diberbagi daerah bumi Indonesia masih ada banyak daerah-daerah
yang masih mempertahankannya. Kenyataan demikian dalam sejarah
perkembangan hukum pidana adat mengalami proses degradasi yang
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para sarjana, namun apapun opini
yang dihasilkan pada kenyataannya hukum adat masih tetap diakui oleh
masyarakat sebagai hukum yang harus ditaati.
Namun demikian, jika kita bandingkan realitas penggunaan norma hukum
adat oleh masyarakat adat di dalam menyelesaikan sengketa adat dengan
akomodasi hukum (pidana) adat dalam sistem hukum pidan nasional, ternyata
35 Ibid. Hal. 54.
35
eksistensi dan kedudukan hukum pidana adat tidaklah terlalu istimewa bahkan
terkesan dipinggirkan36
.
Hal ini dapat kita lihat pada akomodasi hukum pidana adat dalam sistem
hukum pidana nasional yang secara eksplisist tercantum di dalam Undang-undang
No. 1 Drt Tahun 1951. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun
1951 menyatakan:
hukum materi sipil dan untuk sementara waktu pun hukum pidana
materiil pidana sipil yang sampai kini (tahun 1951) berlaku untuk kaula-
kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh
pengadilan adat, adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu
dengan pengertian:
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akn tetapi tiada padanya dalam KUHP sipil maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan
atau denda lima ratus, yaitu sebagi hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak dikuti oleh pihak terhukum;
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan
pidana dan ada bandingannya dalam KUHP sipil, maka dianggap
diancam dengan hukum yang sama dengan hukum bandingannya yang
paling mirip dengan perbuatan itu.
Ketentuan pasal di atas secara jelas mengindikasikan bahwa dalam
pemberlakuan hukum pidana adat terdapat tiga kriteria yang harus diperhatikan
yaitu:37
1. Dalam hal tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP
dianggap diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak Rp. 500 (lima ratus rupiah);
2. Dapat dijatuhi pidana penjara paling lama sepuluh tahun apabila
sanksi adat sangat berat;
3. Apabila ada bandinganny dalam KUHP, selalu diterapkan sanksi yang
mirip dalam KUHP.
36 Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 46.
37
Ibid.
36
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa eksistensi dan kedudukan hukum
pidana adat hanya sebagai pelengkap dan tidak sedominan hukum pidan
kodifikatif, karena sanksi yang akan disanksikan kepada orang yang melanggar
ketentuan-ketentuan tetap sanksi yang terdapat dalam KUHP jika memang di
dalamnya terdapat padanannya. Rumusan konsep yang seperti ini mencerminkan
superioritas kedudukan hukum tertulis (KUHP) dibandingkan dengan hukum
tidak tertulis (hukum pidan adat)38
. Orientasi untuk menasionalkan hukum adat
memang terlihat progresif. Namun hal positif bahwa semaakin tinggi atensi
diskursus para pakar tentang hukum adat semakin memperkaya pula kepustakaan
hukum di Indonesia.
Termasuk Otje Salaman Soemadiningrat berpendapat untuk menutup
kemungkinan penyelesaian perkara dengan menggunakan peradilan adat. Dari
ketentuan di atas jelaslah hukum pidana adat berikut sanksi adat diupayakan untuk
dihapus dari sistem hukum di Indonesia dan diganti oleh peraturan perundang-
undangan sehingga prosedur penyelesaian perkara-perkara pidana pada umumnya
disalurkan melalui peradilan umum39
.
Karena hukum adat yang berlaku di Indonesia merupakan deretan hukum
adat yang diyakini oleh masyarakat yang berbeda-beda.
Menurut Puchta (1798-1846) murid Von Savigny hukum adat yang
semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara nasional hanya sebagai
keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-nilainya juga tidak
dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, keculai hukum adat
yang di miliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus oleh bangsa
atau masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah
38 Ibid.
39
Otje Salaman Soemadiningrat. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.
Bandung. Alumni. Hal. 155.
37
melalui proses pengesahan di lembaga legislatif dan atau eksekutif, dan
nilai-nilainya dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional40
.
B.4. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Hukum terbentuk melalui kebudayaan masyarakat, adanya persesuaian
pemahaman terhadap batasan tingkah laku yang dianggap baik dapat dilakukan
dan kalau dianggap tidak baik akan menimbulkan reaksi negatif masyarakat
terhadap tingkah laku tersebut. Masyarakat sendiri merupakan pembentuk hukum
karena hukum itu lahir dari dinamika interaksi sosial masyarakat satu sama
lainnya.
Ubi societas, ubi ius adalah kata Cicero yang di ucapkan pada jaman
yang sudah lampau, tidak kurang dari 2000 tahun yang silam, namun
kebenarannya adalah untuk sepanjang zaman. Dimana ada masyarakat
disana ada hukum. Hukum hanya ada tumbuh dan berkembang dalam
suatu masyarakat, dalam suatu pergaulan hidup antara manusia dengan
manusia41
.
Masyarakat tradisional sulit dipisahkan dari keyakinan akan kekuatan
warisan yang senatiasa dijaga dan dilestarikan, semata-mata karena masyarakat
tradisonal meyakininya sebagai hal positif karena bagaimana pun juga segala
sesuatu yang diwarisi merupakan sangat sesuai dengan alam keyakinan
masyarakat, seperti warisan hukum adat di dalam masyarakat hukum adat.
Van Vollenhoven mengatakan dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober
1901, “bahwa untuk mengetahui hukum, maka perlu diselidiki untuk waktu dan di
daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum,
40 Dalam H. Mustaghfirin. 2011. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem
Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni. Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011. Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung
Semarang. Hal. 92.
41 I Gusti Ketut Sutha. 1987. Beberapa Aspekta Hukum Adat. Yogyakarta. Liberty
Yogyakarta. Hal. 1.
38
dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari”42
. Bushar
Muhammad mengatakan, “bahwa masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri
khas hukum adat itu, adalah persekutuan hukum (adatrechtsgemeneschap)”43
.
Kekayaan terhadap tradisi, budaya adat istiadat dan hukum adat dalam
masyarakat sangat nyata. Hal itu terlihat dalam ungkapan Ter Har sebagai
berikut:
bahwa seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat
pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku
sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batih. Golongan-golongan
itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang
segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan
sebagai hal yang sewajarnya, hal tersebut merupakan kodrat alam. Tidak
ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan
memungkinkan pembubaran akan golongan itu. Golongan manusia
tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda,
milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang
bersifat persekutuan hukum44
.
Mempelajari struktur masyarakat hukum adat sebagai keilmuan , tentu tidak
lepas dari beberapa asas yang dapat dijadikan sebagai acuan.
Terdapat asas penggolongan beberapa jenis struktur masyarakat hukum
adat, yaitu berdasarkan ukuran (kriterium) ada kedaerahan atau asas
teritorial dan berdasarkan ukuran asas keturunan atau asas genealogis.
Penggolongan menurut dua asas ini lazim dilakukan dan memang tepat.
Tetapi ariflah kita hendaknya segera mencatat bahwa dipakainya kedua
ukuran tersebut hanyalah sekedar memenuhi naluri keilmuan belaka45
.
Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini,
kita mengenal tiga macam pertalian keturunan, yaitu:46
42 Dalam Bushar Muhammad. 2013. Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta Timur.
Balai Pustaka. Hal. 21.
43
Ibid.
44
Ibid.
45 Ibid. Hal. 23
46
Ibid. Hal. 26
39
1. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki. Hal ini terdapat dalam
masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon;
2. Pertalian keturunan menurut garis perempuan. Hal ini terdapat dalam
masyarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang
Semendo;
3. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak. Hal ini terdapat
dalam masyarakat hukum adat orang Bugis, orang Dayak di
Kalimantan, orang Jawa.
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yaitu
masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah,
adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu,
dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yng bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka
masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya. Landasan yang
mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya
bersifat teritorial adalah ikatan antara otang, yaitu anggota masing-
masing masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami oleh orang
tuanya, ysng didiami oleh neneknya, yang didiami oleh nenek
moyangnya, secara turun temurun. Ikatan dengan tanah menjadi inti asas
teritorial itu47
.
Struktur masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial memiliki beberapa
jenis. Namun Bushar Muhammad membaginya dalam tiga jenis antara lain
sebagai berikut:48
1. Masyarakat hukum desa
Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan
orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup,
dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat
kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, , satu tata susunan,
yang tertentu, baik ke luar maupun ke dalam. Masyarakat hukum desa
ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan kecil yang terletak di luar
wilayah desanya, yang lazim disebut teratak atau dukuh , tetapi
tunduk pada penguasa kekuasaan desa, dan oleh sebab itu, baginya
juga merupakan pusat kediaman. Contoh-contoh adalah desa-desa di
Jawa dan Bali.
2. Masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa)
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang
teritorialnya melingkupi beberapa masyarakar hukum desa dan
masing-masing tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri
47 Ibid. Hal. 27-28.
48
Ibid. Hal 28-30
40
sendiri. Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang
tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai tata
susunan dan pengurus sendiri-sendiri, masih juga masyarakat hukum
desa tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari keseluruhan
yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari masyarakat hukum
wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Contoh-
contoh adalah kuria di Angkola dan Mandailing. Kuria sebagai
masyarakat hukum wilayah melingkungi beberapa huta. Marga di
Sumatera Selatan. Marga sebagai masyarakat hukum wilayah
melingkungi beberapa dusun.
3. Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa).
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang
teritorial, yang melulu dibentuk atas dasar kerja sama diberbagai-
bagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa
yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. Kerja sama
itu dimungkinkan karena kebetulan berdekatan letaknya
masyarakathukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat
hukum serikat desa itu.
C. HUKUM ADAT BAJA
C.1. KONSEP HUKUM ADAT BAJA
Hukum adat secara pasti tidak dapat ditetapkan sejak kapan mulai berlaku
dan diterapkan oleh masyarakat suku Donggo, namun hukum adat Baja
merupakan warisan kearifan lokal yang pemeliharaannya melalui penerapan
terhadap pelanggaran, lewat cerita-cerita masyarakat dan keberadaan tokoh-tokoh
adat menjadi bukti nyata bahwa hukum adat Baja telah lama diyakini sebagai
hukum oleh masyarakat suku Donggo. Masyarakat suku Donggo sebagai
masyarakat yang sangat menjunjung tinggi moral dan etika, sepatutnya
memberikan hukum kepada para pelanggar dengan hukuman yang berkenaan
langsung dengan hukum moral dari masyarakat.
Karamabura sebagai salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat suku
Donggo sampai saat ini masih tetap menjaga eksistensi hukum adat Baja.
Untuk memahami hukum adat Baja, dapat dilihat beberapa pendapat di bawah ini:
41
1. Menurut H. Hasan Agung, bahwa hukum adat Baja merupakan aturan
yang sanksinya merepresentasikan keadilan masyarakat, walaupun tidak
tertulis tapi ditaati oleh masyarakat sebagai hukum49
.
2. Rosidin memaknai hukum adat Baja adalah hukum lokal masyarakat
setempat dan dijadikan sebagai alat untuk mencegah terjadinya
kejahatan50
.
3. Ahmad Mustamin mengatakan bahwa, hukum adat Baja merupakan
hukuman moral yang diberikan kepada para pelanggar oleh masyakat
melalui tokoh-tokoh adat51
.
Dari ketiga pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum adat
Baja merupakan hukum tidak tertulis yang sanksi menjelmakan rasa keadilan
masyarakat setempat dimana hukum adat itu berlaku, walaupun tidak tertulis
namun mempunyai kekuatan yang mengikat.
Hukum adat Baja ini ada yang yang tertulis ada juga yang tidak tertulis
namun sama-sama mempunyai kekuatan mengikat. Bentuk tertulisnya dapat
dilihat dalam Keputusan Kepala Desa (Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun
2014 Tentang Penggunaan Hukum Adat Untuk Menangani Masalah
Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan dan Pesta di Malam Hari dan
Peraturan desa.
49 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.
50
Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018
51 Wawancara dengan Ahmad Mustamin. Wakil Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.
42
C.2. LINGKUP HUKUM ADAT BAJA PADA MASYARAKAT SUKU
DONGGO
Berlakunya hukum adat Baja pada masyarakat suku Donggo semata-mata
untuk menjadi tameng dan pilar kepentingan bersama agar dapat menciptakan
kehidupan yang tertib dan damai. Pemberlakuan hukum adat Baja, tentu dibatasi
oleh hal-hal penting berikut ini:
1. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut waktu;
2. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut tempat dan orang.
Dalam KUHP, mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana telah
ditentukan dan diatur dalam Bab pertama buku I dari pasal 1 sampai dengan pasal
9. Pasal 1 tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu, dan selebihnya
adalah mengenai batas berlakunta hukum pidana menurut tempat dan orang52
.
Sementara dalam hukum adat Baja aturan mengenai hal tersebut bersifat
tidak tertulis. Hal-hal yang tidak tertulis apabila menciderai nilai-nilai yang
diyakini masyarakat tetap dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum adat
yang dapat dituntut.
a. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut waktu
Jika pada hukum pidana nasional kita mengenal prinsip ini sebagai
asas legalitas sebagaimana diatur di dalam KUHP pasal 1 (1) yang
mensyaratkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana sebelum ada
undang-undang yang mengatur terlebih dahulu. Asas ini juga dikenal
dengan “asas nulla poena”.
52 Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 169.
43
Berbeda halnya dengan hukum adat Baja, ada atau tidak adanya
aturan tertulis yang mengatur tidak menjadi tolak ukur berlakunya suatu
hukuman atas pelanggaran maupun kejahatan, yang menjadi ukuranya
adalah nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat dilanggar atau
tidak.
Fadlil (25 tahun) mengatakan, hal ini terlihat dalam pelaksanaan
hukuman Baja terhadap pekonsumsi obat-obatan terlarang. Jika
merujuk pada aturan tertulisnya tidak mengatur tentang pekonsumsi
obat-obatan terlarang hanya mengatur tentang miras, akan tetapi pada
faktanya tetap dijatuhi hukuman Baja oleh tokoh-tokoh adat, dan
masyarakat juga menerima hal itu53
.
Jika merujuk pada kepastian hukum, tentu pada penjatuhan pidana
Baja di atas sangat tidak memberi kepastian hukum bagi warga
masyarakat. Asas ini pada dasarnya ingin memberikan batasan-batasan
kepada alat-alat negara di bidang pengadilan pidana agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan terhadap warga negaranya. Pada sisi keadilan
memang bagi tiap-tiap daerah memiliki tolak ukur yang berbeda.
Masyarakat Karamabura meyakini penjatuhan pidana Baja tersebut
sebagai keadilan yang senyatanya.
Seperti dikemukakan oleh I. Made Widnyana yang mengatakan.
mengingat ada kalanya dalam keadaan-keadaan kejadian tertentu,
hukum pidana adat di daerah tertentu perannya masih sangat kuat
dalam hal menetukan rasa keadilan masyarakatnya. Contoh di Bali,
ada delik adat yang bernama lokika sanggraha (masuk delik adat
mengenai kesusilaan) yang tidak ada bandingannya dalam hukum
tertulis, dan melalui pasal 5 ayat 3b UU No. 1/Drt/1951 diterapkan
oleh pengadilan-pengadilan negeri di Bali, misalnya putusan
pengadilan negeri Denpasar No. 79/Tol.Pid/1983/PN DPS, Pengadilan
53 Wawancara dengan Fadlil. Mahasiswa. Dompu. 15 Januari 2018
44
Negeri Klungkung No. 1/PD/S/1988/PN KLK juncto Pengadilan
Tinggi Denpasar No. 22/Pid.S/1988/PT.DPS54
.
Hukum adat (pidana) yang masih hidup di dalam masyarakat tidak
dapat dikodifikasi mengingat banyaknya perbedaan hukum adat di
antara daerah atau suku yang satu dengan yang lain. Namun begitu,
mengingat bahwa pada suatu kejadian atau kejadian tertentu kadang
kala dalam hukum adat terkandung nilai-nilai keadilan yang lebih
tinggi dan tidak cukup dapat dicapai dengan melalui penerapan hukum
tertulis oleh pengadilan, peranan hukum adat menjadi sangat
penting55
.
b. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut tempat dan orang
Dalam hukum pidana nasional, mengenai berlakunya hukum
pidana menurut tempat dan orang ini dikenal ada empat macam asas
yaitu sebagai berikut56
.
1. Asas teritorialitait (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah
negara;
2. Asas personaliteit (personaliteits-beginsel), disebut juga dengan
asas kebangsaan, asas nasionalitet aktif atau subjektif (subjektion-
prinzip).
3. Asas perlindungan (beschermings-beginsel), atau disebut juga
dengan asas nasional pasif.
4. Asas univesaliteit (universaliteits-beginsel), atau asas persamaan.
Dalam hukum pidana adat Baja yang ruang lingkupnya mencakup
masyarakat lokal saja. Sebagaimana dikemukakan oleh H. Hasan Agung
bahwa;
Baja diterapkan kepada pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana
diwilayah desa Karamabura saja, sementara warga Karamabura yang
melakukan kejahatan, pencurian dan perselingkuhan diluar dari desa
Karamabura tidak dapat dikenakan pidana Baja walaupun itu
merupakan warga masyarakat desa Karamabura57
.
54 Adami Chazawi. Op.cit. Hal. 175-176.
55
Ibid. Hal. 174.
56
Ibid. Hal. 203.
57
Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.
45
Rosidin juga mengemukakan bahwa:
Baja diterapkan kepada pelaku yang melakukan kejahatan di desa
Karamabura, sementara apabila warga desa Karamabura melakukan
pencurian perselingkuhan diluar dari desa Karamabura tidak dapat
kenakan Baja, walaupun jelas-jelas terbukti bersalah dengan hukum
Nasional58
.
Mengingat cakupannya yang sederhana dan terpaku pada lokal
desa Karamabura, itu mungkin karena keterbatasan sumber Daya
Manusia dari pada tokoh-tokoh adat yang latar belakang pendidikannya
masih rendah dan kurang memahami hokum, sehingga untuk
merumuskan hukum yang cakupannya luas itu akan kesulitan. Terlepas
dari pada itu, eksistensi hukum adat Baja ini sangat memberi kontribusi
positif terhadap timbulnya kejahatan pada wilayah Karamabura dan juga
membantu meringankan tugas aparat penegak hukum.
C.4. JENIS-JENIS PIDANA ADAT BAJA
Sebagaimana hukum nasional atau hukum yang berlaku di suatu negara
bahwa setiap yang bersalah pasti akan di hukum dengan berbagai jenis hukuman
yang telah ditetapkan. Begitupun halnya hukum adat pada masyarakat suku
Donggo desa Karamabura yang dalam hal pidananya tidak membedakan secara
eksplisit seperti halnya pada pasal 10 KUHP. Adapun jenis-jenis pidananya hanya
terbagi dua yaitu:
1. Pidana Baja
Baja merupakan bentuk sanksi yang berat dirasa dan dilihat, baik oleh
pribadi terpidana maupun oleh keluarga, kerabat, teman dan bahkan masyarakat
58 Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018
46
pada umumnya, karena bentuk sanksi ini sangat menciderai perasaan ibu terhadap
anak, anak terhadap orang tuan dan lain sebagainya, akan tetapi memuaskan dan
adil bagi pihak korban.
Terlepas dari berbagai ekspresi masyarakat, pidana Baja merupakan sanksi
yang mampu memberi dampak ketertiban dan pencegahan terhadap timbul dan
berkembangnya kasus-kasus kejahatan atau kriminal. Sebagaimana halnya dengan
hukum positif, bahwa penjatuhan pidana atau yang berhak memutuskan status
orang dari terdakwa menjadi terpidana adalah Hakim, sementara penjatuhan
pidana Baja dilakukan oleh tokoh-tokoh adat. Sementara “Sanksi Baja diterapkan
kepada pelaku perzinahan atau perselingkuhan, pencurian atau perampokkan,
pekonsumsi obat-obatan terlarang dan sanksi Baja adalah representasi dari rasa
keadilan masyarakat terhadap pelanggar hukum adat”59
.
Walaupun yang disebutkan dalam Perdes maupun Keputusan Kepala Desa
hanya tiga jenis pelanggaran yaitu perjinahan atau perselingkuhan, pencurian atau
perampokkan dan pesta di malam hari dengan orgen tunggal maupun biola,
namun terdapat juga hal-hal lain yang belum diatur, akan tetapi apabila dilanggar
tidak menutup kemungkinan akan dijatuhkan pidana Baja maupun pidana denda.
2. Pidana Denda
Tidak hanya hukum positif, hukum adat juga mengenal adanya sanksi
denda, sama dengan pidana denda pada pidana tambahan dalam hukum positif
yang dendanya tidak menghilangkan sanksi pidana.
59 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.
47
Sebagaimana diatur dalam Perdes yang mengatakan bahwa:60
1. Perjinahan/perselingkuhan antara suami orang dengan isteri orang:
Hukumannya; kedua pelaku di denda dan diarak keliling kampung
dengan tetap berpakain rapi sambil berteriak bahwa mereka tidak
akan mengulangi perbuatan tersebut.
2. Pencuri: Hukumannya: di denda dan diarak keliling kampung sambil
mengalungi barang yang di curinya.
3. Orgen tunggal dan biola dimalam hari: Hukumannya; acaranya
dihentikan dan membayar denda sesuai kesepakatan.
Terkait dengan sanksi denda diatur juga dengan Keputusan Kepala Desa
(Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Hukum Adat
Untuk Menangani Masalah Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan
dan Pesta Di Malam Hari61
.
Pada Bab Sanksi/hukuman
1. Bagi pelaku perzinahan/perselingkuhan antara suami orang dengan
istri orang yang sudah terbukti bersalah: masing – masing pelaku
membayar denda sebesar Rp. 1.000.000, yang selanjutnya kedua
pelaku tersebut di Arak keliling kampung sambil meneriakkan
pernyataan “saya bertaubat dan tidak akan berzinah lagi”
2. Bagi pelaku pencurian/perampokan yang terbukti bersalah wajib
membayar denda sebesar Rp. 500.000, dan membayar seluruh
kerugian sebagai akibat dari perbuatannya kepada pihak korban,
selanjutnya pelaku tersebut di arak keliling kampung sambil
mengalungi dan memakan barang curiannya sambil meneriakkan
pernyataan “saya bertaubat dan tidak mencuri lagi”
3. Bagi pelaku atau keluarga yang dengan sengaja berpesta dengan
menggunakan Orgen Tunggal atau Biola akan dikenakan sanksi
berupa denda sebesar RP. 500.000,-
Pengaturan mengenai denda secara jelas sudah diatur baik di dalam
Peraturan Desa maupun di dalam Keputusan Kepala Desa. Hal ini menunjukkan
adanya dukungan pemerintah desa untuk mempertahankan eksistensi hukum adat
Baja.
60 Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Desa, BPD, LMA dan Masyarakat
61 Keputusan Kepala Desa (Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun 2014 Tentang Penggunaan
Hukum Adat Untuk Menangani Masalah Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan dan
Pesta di Malam Hari.