35
13 BAB II TINJAUAN TEORI A. PERKARA PIDANA A.1. KONSEP TENTANG PERKARA PIDANA Perkara pidana sangat dekat dengan keseharian. Berkenaan dengan kedekatannya yang tidak menutup kemungkinan akan timbul setiap saat, baik karena adanya unsur niat juga adanya kesempatan atau peluang. Sering kita temukan peristiwa pidana yang terjadi dalam masyarakat, sebut saja perkara pidana yang berkaitan dengan pencurian, pembunuhan dan kesusilaan yang secara jelas dikategorikan sebagai perkara pidana, baik oleh undang-undang maupun oleh hukum tidak tertulis dimasyarakat. Berkaitan perkara pidana, terlebih dahulu dapat diperhatikan penjelasan para pakar tentang pengertian hukum pidana, diantaranya sebagai berikut : a) Prof. Moeljatno, S.H.. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dari suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan- aturan untuk : 1 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 1 Moeljatno. 2008. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 1

BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

13

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PERKARA PIDANA

A.1. KONSEP TENTANG PERKARA PIDANA

Perkara pidana sangat dekat dengan keseharian. Berkenaan dengan

kedekatannya yang tidak menutup kemungkinan akan timbul setiap saat, baik

karena adanya unsur niat juga adanya kesempatan atau peluang. Sering kita

temukan peristiwa pidana yang terjadi dalam masyarakat, sebut saja perkara

pidana yang berkaitan dengan pencurian, pembunuhan dan kesusilaan yang secara

jelas dikategorikan sebagai perkara pidana, baik oleh undang-undang maupun

oleh hukum tidak tertulis dimasyarakat.

Berkaitan perkara pidana, terlebih dahulu dapat diperhatikan penjelasan para

pakar tentang pengertian hukum pidana, diantaranya sebagai berikut :

a) Prof. Moeljatno, S.H.. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum

yang berlaku dari suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-

aturan untuk :1

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

1 Moeljatno. 2008. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 1

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

14

b) Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum pidana adalah peraturan hukum

mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu yang

oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal

yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan2.

c) Ketentuan pidana (strafbepaling) ialah aturan yang berisi larangan , atau

keharusan yang disertai sanksinya3.

d) Mr. Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana matetiil dan hukum pidana formi

sebagai berikut4.

Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan

pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana

untuk dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan

menetapkan hukum atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah

kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum

pidana materiil terhdap pelanggaran yangdilakukan oleh orang-orang

tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana

materiil diwujudkan sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur

cara melaksanakan keputusan hakim.

Uraian mengenai pengertian hukum pidana oleh para ahli di atas dapat

ditarik benang merahnya, bahwa hukum pidana merupakan serangkaian aturan

yang memuat dan mengatur tentang larangan dan perintah disertai sanksi yang

tegas bagi yang melanggar. Sementara Mr. Tirtaamidjaja, beliau membagi hukum

pidana dalam dua bagian. Pertama, hukum pidana materiil yaitu hukum pidana itu

sendiri (KUHP) dan hukum pidana formil berkaitan dengan aturan pelaksana dari

hukum pidana materiil (KUHAP).

2 Wirjono Prodjodikoro. 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung. PT. Eresco.

Hal. 1.

3 Jur. Andi Hamzah. 2008. Terminologi hukum pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Ha. 158.

4 Leden Marpaung. 2012. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 2.

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

15

A.2. SANKSI PIDANA

Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana membedakannya dengan

hukum yang lainnya. Hukuman dalam hukum pidana dititik beratkan pada

pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Sanksi dalam hukum pidana telah diatur di dalam pasal 10 KUHP yang

menerangkan pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. Pidana mati,

2. Pidana penjara,

3. Kurungan,

4. Denda.

b. Pidana tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu,

3. Pengumuman putusan hakim.

Merujuk pada pasal 10 KUHP, maka secara langsung dapat dipastikan

hakim dilarang memutuskan hukuman di luar dari yang telah ditetapkan. Dalam

tulisan ini, penulis akan fokus menjelaskan pidana pokok saja.

Berikut penjelasannya :

a.1. Pidana Mati

Penerapan pidana mati dalam praktik sering menimbulkan perdebatan

antara yang pro dan yang kontra. Bagaimanapun berlangsungnya diskursus terkait

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

16

penjatuhan pidana mati, namun kenyataan yuridis pidana mati memang

dibenarkan dan sudah beberapa kasus yang dijatuhi pidana mati.

Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana. Ada beberapa pasal

dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, antara lain:

a. Makar membunuh kepala negara (pasal 104)

b. Pembunuhan berencana (pasal 340)

c. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)

d. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang

(pasal 124 ayat 3)

e. Membunuh kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1)

f. Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)

g. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada

waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang

menjadikan ada orang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4) di luar

KUHP, pidana mati sering dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana

subversi (Undang-undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak

pidana narkotika (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976).

Dasar pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu menurut Penetapan

Presiden (PENPRES) tanggal 27 April 1964 LN Tahun 1964 bahwan pelaksanaan

pidana mati di Indonesia dilakukan oleh regu tembak dengan menembak terpidana

sampai mati.

Indonesia mewarisi KUHP Belanda, dengan kata lain bahwa hukuman mati

merupakan warisan Belanda. Sebagai negara yang memiliki kekhasan seperti

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

17

Indonesia tentu berbeda dengan Belanda, sehingga sangat perlu dikaji kembali

untuk disesuaikan dengan kultur bangsa Indonesia. Leden Marpaung (2012: 108)

mengemukakan, “kiranya tidak berlebihan jika mesti diamati adat istiadat di

Indonesia sehingga diharapkan suatu ketentuan dapat membawa kemaslahatan dan

tidak sebaliknya”5.

a.2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa

hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan

karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan

karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena

kelalaian6.

Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini

diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:

a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan

paling lama lima belas tahun berturut-turut.

c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh

tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih

antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama

waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu

juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena

5 Ibid. Hal. 108.

6 Ibid.

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

18

pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang telah

ditentukan dalam pasal 52 KUHP.

d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari

dua puluh tahun.

Pelaksanaan hukuman penjara dikenal adanya pembebasan bersyarat. Hal

ini diatur di dalam pasal 15 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

“jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara

yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan

bulan, maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika

terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu

dianggap sebagai satu pidana”.

Pelepasan bersyarat ditentukan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau

setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah

mendapat keterangan dari Jaksa tempat asal terpidana (pasal 16 KUHP ayat 1).

a.3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain,

dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa

peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut,

dan lain-lain

Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang

berbunyi :

(1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling

lama satu tahun.

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

19

(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat

bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan

kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.

(3) Hukuman kurungan itu sekali-kali tidak boleh melebihi waktu satu

tahun empat bulan.

Hukuman kurungan dijalani dalam penjara. Umumnya, terpidana penjara

dipisahkan dengan orang yang menjalani kurungan7.

a.4. Pidana Denda

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga

diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau

kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan

minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan8.

Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi:

(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.

(4) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka

diganti dengan hukuman kurungan.

(5) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-

kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.

(6) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga

setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih

tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari,

akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.

7 Ibid. Hal. 109

8 Ibid.

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

20

(7) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan

dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan

kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52

dan 52a.

(8) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau

kenalan dapat melunasinya.

A.3. TUJUAN PIDANA

Hukum pidana sebagai refleksi kepanjangan tangan dari tanggungjawab

suatu negara untuk melaksanakan ketertiban umum. Sebagaimana kehidupantentu

memerlukan orientasi, begitu pula hukum pidana.

Hukum pidana memiliki tujuan sebagi berikut9 :

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik

secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara

menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar

dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan

suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabi’atnya

sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Kehidupan yang tertib merupakan dambaan bagi setiap masyarakat,

sebagaimana termaktub di dalam amanat tujuan nasional yang memberi

perlindungan kepada warga negaranya.

Barda Nawawi yang dikutip dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-

Undang tentang Kitab Hukum Pidana yang di Terbitkan Oleh Badan Pembinaan

9 Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung. Refika

Aditama. Hal. 19-20.

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

21

Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia merumuskan tujuan

penegakkan hukum pidana adalah:10

1. Perlindungan masyarakat dari perbuatan anti sosial yang merugikan dan

membahayakan masyarakat, maka tujuan pemidanaan adalah mencegah

dan menanggulangi kejahatan.

2. Perlindungan masyarakat dari sifat berbahayanya seseorang, maka

pidana/pemidanaan dalam hukum pidana bertujuan memperbaiki pelaku

kejahatan atau berusaha merubah dan mempengaruhi tingkah lakunya

agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang

baik dan berguna.

3. Perlindungn masyarakat dari penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari

penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya, maka

tujuan pidana dirumuskan untuk mencegah terjadinya perlakuan atau

tindakan sewenang-wenang di luar hukum.

4. Perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan atau keselarasan

berbagai kepentingan dan nilai akibat dari adanya kejahatan, maka

penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Upaya pencegahan merupakan tujuan pokok dari hukum pidana, selain

sebagai proses pendidikan hukum maupun terhadap pembangunan tata kehidupan

masyarakat yang sadar hukum, tidak hanya dalam kerangka toritis namun dalam

kehidupan praktis.

Pemberian batasan oleh hukum pidana tentu berimplikasi terhadap

merosotnya keinginan maupun efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek

pendidikan hukumnya, hukum pidana merepresentasikan ungkapan bahwa tidak

ada suatu pelanggaran yang tidak mendapatkan sanksi. Adapun tujuannya semata-

mata untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana.

A.4. TEORI PEMIDANAAN

Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum

pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam

10 Tim Naskah Akademik di Bawah Pimpinan Nyoman Serikat. Editor Suradji. 2012. Naskah

Akademik Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta

Timur. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Hal.

3.

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

22

menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan

dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum

pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi

manusia yang justru dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya penjahat dijatuhi

pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan

bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya

dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat

disebut hukum sanksi istimewa.

Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu

apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia

yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana

subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara

merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan

mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban

itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk

menjatuhkan dan menjalankan pidana.

Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai

pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar

putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa

yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi

terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum

pidana dapat menjadi landasan pengambilan keputusan oleh hakim dan dasar

penuntutan bagi jaksa yang melakukan penuntutan terhadap kasus pidana. Ketika

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

23

jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali

bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana

yaitu:11

1. Teori Absolut atau teori pembalasan

Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari

penjatuhan penderitaan berupa pidana terhadap penjahat. Negara melalui alat-alat

negara berhak menjatuhkan pidana kepada pelanggar yang telah melakukan

penyerangan dan pemerkosaan terhadap hak dan kepentingan hukum yang

dilindungi. Pembalasan yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang

dilakukannya, tidak sekedar berorientasi pada perbaikan diri penjahat, akan tetapi

penjatuhan pidana terhadap penjahat merupakan kemutlakan. Memang sudah

seharusnya kejahatan harus diikuti oleh penjatuhan pidana dengan maksud supaya

memberikan penderitaan bagi penjahat. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat

primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern12

.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua orientasi,

yaitu:

1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)

2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan

masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

11 Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakatra Timur. Sinar Grafika. Hal. 187.

12

Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008. Jakarta. Rineka Cipta.

Hal. 31.

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

24

“Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan

menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam

arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan”13

.

Penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan tidak hanya memberikan

rasa kepuasan dan keadilan terhadap korban kejahatannya, namun disisi lain

manfaatnya bagi pelaku supaya sadar bahwa melakukan kejahatan hanya akan

melahirkan nestapa.

Berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana pidana perlu diberikan kepada

pelaku kejahatan, teori retributif atau teori absolut menjelaskan sebagai berikut: 14

(1) Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam

si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya.

Perasaan dimaksud tidak dapat dihindari dan adanya perasaan dimaksud

tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.

Tipe retributif ini disebut vindicative.

(2) Pidana dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada pelaku

kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa, setiap ancaman

yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan diri orang lain

secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini

disebut fairness.

(3) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

apa yang disebut dengan “the gravity of the offence”dengan pidana

yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan proportionality.

Termasuk kedalam kategori “the gravity” tersebut adalah, kekejaman

dari kejahatannya atau dapat juga termasuk, sifat aniaya yang ada dalam

kejahatannya, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena

kelalaiannya.

Hukuman yang setimpal dengan kejahatan sangat fair diberikan kepada

pelaku atas perbuatannya, karena ganjaran yang adil (just desert), merupakan

perwujudan dari implementasi tujuan hukum pidana.

13 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung.

Penerbit Alumni. Hal. 15.

14 Romli Atmasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung.

Mandar Maju. Hal. 83-84.

Page 13: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

25

Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukuman pidana pada dewasa ini,

maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap

merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni

memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbeh

oefte).15

2. Teori Tujuan/Relatif

Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan,

sebaliknya teori relatif ataupun teori tujuan berusaha untuk

mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkataan lain

pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu

juga sering disebut teori prevensi, yang dapat kita tinjau dari dua

segi, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan

dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial

mengurungkan niatnya, karena ada perasaan takut akan akibat yang

dilihatnya, jadi ditujukan kepada masyarakat pada umumnya.

Sedangkan prevensi khusus ditujukan kepada pelaku agar ia tidak

mengulangi perbuatan jahatnya16

.

Teori ini, mengajarkan bahwa penjatuhan pidana terhadap seseorang

merupakan pengajaran supaya pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya,

dengan kata lain tiada seseorang yang dapat lari dari setelah melakukan kejahatan,

sehingga penjahat yang merencanakan untuk melakukan kejahatan segera

membatalkan niatnya, inilah kenyataan pencegahan terhadap terjadinya tindak

pidana yang berimplikasi pada ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”

(karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya

orang jangan melakukan kejahatan). Inilah makna ucapan yang

terkenal dari Seneka soerang filosof Rumawi: “nemo prudens punit

quia peccatum est, sed ne peccetur ”. (artinya: no reasonable man

15 Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op. Cit.

16

Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. Hal. 15.

Page 14: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

26

punishes because there should be no wrong-doing = tidak seorang

normalpun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat,

tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat)17

.

Terlihat jelas jaminan kemanusiaan yang diberikan oleh negara kepada

warga negaranya, dari segi penghukuman terhadap pelaku kejahatan, tujuan

pemidanaan lebih di arahkan kepada penyadaran terhadap pelaku kejahatan serta

menutup ruang bagi timbul dan berkembngnya kuantitas pelaku kejahatan, ini

akan memudahkan pemenuhan keinginan dalam menciptakan kehidupan yang

bermartabat dan tertib sosial.

Tujuan pemidanaan dikenal dua aliran yaitu; pertama, Aliran klasik

berpandangan, tujuan hukum pidana/pemidanaan yaitu untuk

menakut-nakuti setiap orang supaya tidak melakukan perbuatan yang

tidak baik. Kedua, aliran modern berkeyakinan tujuan hukum

pidana/pemidanaan, untuk mendidik orang yang telah pernah

melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima

kembali dalam kehidupan lingkungannya18

.

Aliran klasik lebih menekankan pada perlindungan individu dari kekuasaan

negara maupun hegemoni golongan yang kuat terhadap golongan yang lemah, hal

ini akan menyatakan arti dari pada equality befor the law. Sementara aliran

modern lebih kepada memanusiakan manusia, dengan membawa manusia dari

keburukan kepada kebaikan.

Dalam rancangan KUHP Juli 2006, tujuan pemidanaan termaktub dalam

pasal 51, yaitu pemidanaan bertujuan:19

1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

17 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hal. 16.

18

Teguh Prasetyo. Op. Cit. Hal. 14

19

Ibid, hal. 14-15

Page 15: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

27

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang yang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pada dasarnya teori ini menekankan pada pencegahan terhadap terjadinya

suatu tindak pidana, baik oleh residivis maupun yang berpotensial untuk

melakukan kejahatan, serta mencegah orang lain yang ingin melakukan kejahatan.

3. Teori Gabungan

Sesungguhnya teori gabungan merupakan penggabungan antara teori

absolut/pembalasan dengan teori relatif/tujuan. Penggabungan kedua teori tersebut

dapat dipahami bahwa pemberian hukuman semata-mata untuk menegakkan

konsistensi kewibawaan dan kepastian hukum dan membebaskan pelaku

kejahatan dari kekeliruan jalan hidup yang ditempuhnya.

Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino

Rossi (1787-1848). Sekalipun ia anggap pembalasan sebagai asas dari

pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu

pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai

berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam

masyarakat dan prevensi general20

.

B. HUKUM ADAT

B.1. KONSEP TENTANG HUKUM ADAT

Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum

dan adat.

Duguit mendefinisikan, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota

masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu

diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan

20 Muladi dan Barda Nawawi. Op. Cit. Hal. 19.

Page 16: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

28

bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang

yang melakukan pelanggaran itu.21

Suriyaman menyatakan, bahwa adat merupakan kebiasaan masyarakat.

Selanjutnya, kelompok masyarakat menjadikan adat tersebut sebagai sebuah adat

yang harus berlaku dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakatnya dan

menjadikanya “hukum adat”22

. Menurut T.O. Ihromi, arti yang paling inti dari

adat ialah pedoman berlaku atau cara berlaku, yang sudah diikuti oleh sebagian

besar warga suatu masyarakat dan dianggap pantas untuk situasi tertentu atau

pada saat menjalankan peranan tertentu.23

Banyak para pakar yang mencoba mendefinisikan makna hukum adat

dengan berbagai perspektif yang berbeda-beda. Di bawah ini terdapat beberapa

pendapat ahli terkait hukum adat diantaranya sebagai berikut:

a. Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven mendefinisikan hukum adat sebagai

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai

sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasi (oleh karena itu: “Adat”). Tingkah laku positif memiliki

makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sedangkan

sanksi yang dimaksud adalah reaksi/ konsekuensi dari pihak lain atas

suatu pelanggaran terhadap norma (hukum)24

.

b. Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan

pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat itu ialah:

a) Dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul: “Peradilan Landraad

berdasarkan hukum tak tertulis”.

b) Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek: “Hukum adat Hindia-

Belanda di dalam ilmu, praktek san pengajaran”.

ad. a) “Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan;

keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan

21 Dalam Yulies Tiena Masriani. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.

Hal. 6.

22

A. Suriyaman Mustari Pide. 2015. Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta.

Prenadamedia Group. Hal. 4.

23

T.O. Ihromi. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta. Yayasan Obor Indonsia. Hal. 19.

24 Imam Sudiyat. 2000. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta. Liberty

Yogyakarta. Ha. 5.

Page 17: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

29

berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu

pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal

pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas

mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena

kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan

dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas-seirama

dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya

tidak-tidaknya ditoleransikan olehnya”.

ad. b) “Hukum adat itu - dengan mengabaikan bagian-bagianya yang

tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-surat

perintah Raja – adalah keseluruhan peraturan yang menjelma

dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti

luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) seta pengaruh

dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan)

dan dipatuhi dengan sepenuh hati”. Dengan demikian hukum

adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat

dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum

(kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif

dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya

keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di

luar itu didasarkan pada kerukunan (musyawarah). Keputusan

ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan

alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota

persekutuan tersebut25

.

Ter Haar sangat menyadari keunikan yang dimiliki oleh masyarakat,

sehingga perlu mendapat perhatian/pengakuan terhadap hukum adat yang berlaku

dan memang harus serta merta di lestarikan, karena bagaimanapun juga hukum

adat memberikan rasa keadilan secara langsung kepada masyarakat. Terhadap

hakim landraad, sangat dianjurkan juga memperhatikan stelsel/sistem hukum adat

sebagai acuan untuk memutuskan perkara. Barangkali beliau melihat secara

historis mendapati kenyataan, bagaimanapun kuatnya pengaruh hukum Barat,

namun hukum adat masih tetap mempertahankan eksistensinya sebagai ius

constitutum.

25 Ibid. Hal. 6-7

Page 18: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

30

c) Prof. Dr. Supomo S.H.

Pengertian hukum adat sebagai hukum tidak tertulis di dalam

peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-

peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,

toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan

bahwanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum26

.

Ketaatan masyarakat terhadap hukum adat yang tidak tertulis harus disadari

sebagai kesadaran yang kokoh sekalipun peraturan yang ditaati bukan produk

legislatif.

d) Mr.J.H.P. Bellefroid. Pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup

yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan

ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan

tersebut berlaku sebagai hukum.27

Melihat pendapat Bellefroid memiliki kesamaan dengan pendapat

Supomo, yang menitik beratkan bahwa sekalipun peraturan itu tidak dibuat atau di

undangkan oleh penguasa tetap diyakini sebagai hukum oleh masyarakat. Hukum

adat yang bermuara langsung pada keadilan ini terus mengalami perkembangan

dan keberadaannya menjadi pedoman untuk senantiasa ditaati dan dihormati.

B.2 MACAM-MACAM HUKUM ADAT

Beragam hukum adat yang hidup di dalam masyarakat mencerminkan bahwa,

eksistentsi hukum adat tidak akan lapuk oleh pergeseran masa dan perubahan

zaman. Hukum adat diberbagi daerah di Indonesia masih tetap dilestarikan dan

26 Soerojo Wignjodipoero. 1995. Pengantar dan asas hukum adat. Jakarta. PT.Toko Gunung

Agung. Hal.14.

27

Ibid.

Page 19: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

31

bermacam-macam model sesuai dengan corak dan kultur masyarakat setempat

dimana hukum adat itu berlaku.

Hukum adat di Indonesia bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:

1. Hukum adat Baja

Karamabura merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Dompu

provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagaimana dikenal dengan sebutan

daerah penghasil jagung dan bawang merah. Suku Donggo yang mendiami desa

Karamabura tersebut masih tetap melestarikan hukum adat Baja. Baja merupakan

bentuk sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat terhadap para pelanggar.

Hasan Agung (62 tahun) menjelaskan bahwa, baja merupakan bentuk

sanksi yang diberikan kepada setiap masyarakat yang melanggar hukum

adat. Hukuman Baja yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum adat.

Misalnya pencuri ketika terbukti bersalah maka tokoh-tokoh adat akan

mengikat tangan pencuri tersebut dan barang-barang curiannya disuruh

pikul atau digigit (apabila barang itu jenis yang bisa dimakan) kemudian

pencuri di arak-arak keliling kampung28

.

Baja merupakan sanksi yang langsung diberikan oleh masyarakat melalui

Lembaga Masyarakat Adat. Karena sanksi yang diberikan dapat secara langsung

dilihat oleh masyarakat (korban) sehingga ada kepuasan atas pembalasan yang

setimpal dengan perbuatan pelaku tersebut. Secara tidak langsung hukum adat

menganut teori pembalasan. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif,

tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern29

.

Karena kekuatannya yang mengikat, tidak mempengaruhi opini

masyarakat terhadap penjatuhan sanksi adat Baja. Pada kenyataannya ada

pihak-pihak yang tidak sepakat dengan penjatuhan sanksi adat dengan

berbagai alasan, misalnya saja keluarga dan teman-teman dekat pelaku.

Hal demikian tidak hanya pada hukum adat, hukum pidana nasionalpun

28 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.

29

Andi Hamzah. Op.cit.

Page 20: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

32

terjadi, akan tetapi harus di sadari bahwa hukum tetap hukum dan harus

ditegakkan30

.

Baja merupakan sanksi yang diinginkan oleh masyarakat dan benar-benar

diterapakan dihadapan masyarakat. Baja sangat memberi kepuasan dan

mencerminkan keadilan masyarakat yang sesungguhnya31

.

Pemberlakuan sanksi adat tidak jarang menglami bergai penilaian dari

masyarakat luar. Harus disadari bahwa setiap daerah memiliki standar yang

berbeda, boleh jadi penilaian dari luar sangat harus dirubah dan lain sebagainya,

namun masyarakat tempat hukum adat itu merasa penting dan harus, maka tetap

dilaksanakan.

2. Hukum Adat Kasepekang

Masyarakat Bali dikenal dengan budaya adat istiadatnya, bukan hanya oleh

masyarakat disekitar daerah Bali atau masyarkat Indonesia pada khususnya. Akan

tetapi kebudayaan adat istiadat masyarakat Bali sangat dikenal oleh dunia, karena

Bali merupakan daerah destinasi wisata yang dituju oleh wisatawan manca

negara, maka tidak heran di Bali memiliki kekayaan akan hukum adat yang

diberlakukan oleh masyarakatnya, salah satunya sanksi adat kasepekang Desa

Pakraman

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menuturkan, sebagai sanksi adat,

kasepekang merupakan sanksi yang sangat ditakuti dan tergolong sanksi

adat yang berat, namun demikian akhir-akhir ini sanksi adat kasepekang

banyak mendapat perhatian dari kalangan masyarakat. Antusias perhatian

masyarakat terhadap sanksi kasepekang ini dikarenakan banyaknya

kasus-kasus adat yang terjadi dan berujung pada penjatuhan sanksi adat

kasepekang.

30 Wawancara dengan Ketua BPD Desa Karamabura. Dompu. 15 Januari 2018

31

Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018

Page 21: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

33

Lebih lanjut Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menjelaskan kasepekang

secara terminologi. Kasepekang dalam terminologinya dapat diartikan

sebagai pengucilan. Istilah lain dari kasepekang adalah kemenengan, tan

polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin desa, kapuikin gumi dan tan

polih suaran kulkul. Walaupun ada banyak istilah yang digunakan untuk

penyebutan sanksi adat ini, namun dalam kehidupan masyarakat luas

lebih dikenal dengan istilah kasepekang. Pemikiran ini didasarkan pada

kenyataan bahwa istilah kasepekang sudah merupakan istilah yang umum

digunakan baik oleh media cetak maupun media elektronik dan bahkan

awig-awig desa pakraman juga mencantumkan istilah kasepekang

sebagai salah satu bentuk pamidanda32

.

Dalam konteks sanksi adat, kasepekang menurut Koti Cantika sejatinya

adalah mereka yang dijatuhi sanksi adat kasepekang tidak diladeni dalam

aktivitas suka dan duka dengan tidak mendapat pemberitahuan, tidak

mendapat suara kentongan dan tidak mendapat pelasksanaan

persembahyangan serta tidak mendapat gotongan dalam penguburan,

namun demikian mereka tetap berhak melakukan persembahyangan di

pura serta melaksanakan penguburan di kuburan (setra) milik desa33

.

Terminologi kasepekang juga dujelaskan pula oleh I Made Suasthawa

Dharmayuda, bahwa sanksi adat kasepekang adalah sanksi yang

dikenakan kepada krama desa pakraman yang pada intinya tidak

mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan

kentongan (tan polih suaran kukul), dan tidak mendapat bantuan banjar

(tan polih penyanggran banjar)34

.

Pada prinsipnya kasepekang merupakan salah satu bentuk sanksi adat yang

diberikan kepada warga desa, sanksi tersebut berupa pengucilan karena telah

melanggar ketentuan-ketentuan adat dan terhadap pelanggar tersebut dikenakan

sanksi kasepekang yang pada intinya tidak mendapat pemberitahuan, tidak

mendapat layanan kentongan dan tidak mendapat bantuan banjar akan tetapi

mereka masih tetap berhak menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh desa

pakraman seperti kuburan dan pura sebagai tempat persembahnyangan.

32 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2010. Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-

Awig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman. Denpasar.

Jurnal Ilmiah Kerta Patrika Volume 34 Nomor 1. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Hal. 53.

33

Ibid.

34

Ibid. Hal. 53-54.

Page 22: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

34

Kebudayaan masyarakat selalu berubah dan bersamaan dengan itu, tidak

dapat dinafikkan dengan perubahan hukum atau perkembangan hukum yang oleh

masyarakat meyakini sebagai suatu pembaharuan hukum adat. Begitu pula di

dalam masyarakat adat kasepekang mengalami perubahan dalam penerapan sanksi

terhadap pelanggaran adat kasepekang.

Kenyataan ini di utarakan oleh Anak Agung Istri Ari Atu Dewi,

namun penerapan sanksi adat kasepekang sekarang ini tidak lagi

berjalan pada prinsip semula melainkan sudah mengarah kepada

perbuatan anarkis atau perbuatan kesewenang-wenangan desa

pakraman kepada krama (warga) desa pakraman seperti tidak

diijinkan untuk menggunakan setra, pura bahkan tidak dilayani secara

administrasi (kedinasan)35

.

B.3. DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM DI

INDONESIA

Keyakinan masyarakat terhadap hukum adat masih terpelihara dengan baik,

dapat dilihat diberbagi daerah bumi Indonesia masih ada banyak daerah-daerah

yang masih mempertahankannya. Kenyataan demikian dalam sejarah

perkembangan hukum pidana adat mengalami proses degradasi yang

menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para sarjana, namun apapun opini

yang dihasilkan pada kenyataannya hukum adat masih tetap diakui oleh

masyarakat sebagai hukum yang harus ditaati.

Namun demikian, jika kita bandingkan realitas penggunaan norma hukum

adat oleh masyarakat adat di dalam menyelesaikan sengketa adat dengan

akomodasi hukum (pidana) adat dalam sistem hukum pidan nasional, ternyata

35 Ibid. Hal. 54.

Page 23: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

35

eksistensi dan kedudukan hukum pidana adat tidaklah terlalu istimewa bahkan

terkesan dipinggirkan36

.

Hal ini dapat kita lihat pada akomodasi hukum pidana adat dalam sistem

hukum pidana nasional yang secara eksplisist tercantum di dalam Undang-undang

No. 1 Drt Tahun 1951. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun

1951 menyatakan:

hukum materi sipil dan untuk sementara waktu pun hukum pidana

materiil pidana sipil yang sampai kini (tahun 1951) berlaku untuk kaula-

kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh

pengadilan adat, adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu

dengan pengertian:

perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan

pidana, akn tetapi tiada padanya dalam KUHP sipil maka dianggap

diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan

atau denda lima ratus, yaitu sebagi hukuman pengganti bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan tidak dikuti oleh pihak terhukum;

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan

pidana dan ada bandingannya dalam KUHP sipil, maka dianggap

diancam dengan hukum yang sama dengan hukum bandingannya yang

paling mirip dengan perbuatan itu.

Ketentuan pasal di atas secara jelas mengindikasikan bahwa dalam

pemberlakuan hukum pidana adat terdapat tiga kriteria yang harus diperhatikan

yaitu:37

1. Dalam hal tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP

dianggap diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

denda paling banyak Rp. 500 (lima ratus rupiah);

2. Dapat dijatuhi pidana penjara paling lama sepuluh tahun apabila

sanksi adat sangat berat;

3. Apabila ada bandinganny dalam KUHP, selalu diterapkan sanksi yang

mirip dalam KUHP.

36 Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 46.

37

Ibid.

Page 24: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

36

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa eksistensi dan kedudukan hukum

pidana adat hanya sebagai pelengkap dan tidak sedominan hukum pidan

kodifikatif, karena sanksi yang akan disanksikan kepada orang yang melanggar

ketentuan-ketentuan tetap sanksi yang terdapat dalam KUHP jika memang di

dalamnya terdapat padanannya. Rumusan konsep yang seperti ini mencerminkan

superioritas kedudukan hukum tertulis (KUHP) dibandingkan dengan hukum

tidak tertulis (hukum pidan adat)38

. Orientasi untuk menasionalkan hukum adat

memang terlihat progresif. Namun hal positif bahwa semaakin tinggi atensi

diskursus para pakar tentang hukum adat semakin memperkaya pula kepustakaan

hukum di Indonesia.

Termasuk Otje Salaman Soemadiningrat berpendapat untuk menutup

kemungkinan penyelesaian perkara dengan menggunakan peradilan adat. Dari

ketentuan di atas jelaslah hukum pidana adat berikut sanksi adat diupayakan untuk

dihapus dari sistem hukum di Indonesia dan diganti oleh peraturan perundang-

undangan sehingga prosedur penyelesaian perkara-perkara pidana pada umumnya

disalurkan melalui peradilan umum39

.

Karena hukum adat yang berlaku di Indonesia merupakan deretan hukum

adat yang diyakini oleh masyarakat yang berbeda-beda.

Menurut Puchta (1798-1846) murid Von Savigny hukum adat yang

semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara nasional hanya sebagai

keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-nilainya juga tidak

dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, keculai hukum adat

yang di miliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus oleh bangsa

atau masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah

38 Ibid.

39

Otje Salaman Soemadiningrat. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.

Bandung. Alumni. Hal. 155.

Page 25: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

37

melalui proses pengesahan di lembaga legislatif dan atau eksekutif, dan

nilai-nilainya dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional40

.

B.4. MASYARAKAT HUKUM ADAT

Hukum terbentuk melalui kebudayaan masyarakat, adanya persesuaian

pemahaman terhadap batasan tingkah laku yang dianggap baik dapat dilakukan

dan kalau dianggap tidak baik akan menimbulkan reaksi negatif masyarakat

terhadap tingkah laku tersebut. Masyarakat sendiri merupakan pembentuk hukum

karena hukum itu lahir dari dinamika interaksi sosial masyarakat satu sama

lainnya.

Ubi societas, ubi ius adalah kata Cicero yang di ucapkan pada jaman

yang sudah lampau, tidak kurang dari 2000 tahun yang silam, namun

kebenarannya adalah untuk sepanjang zaman. Dimana ada masyarakat

disana ada hukum. Hukum hanya ada tumbuh dan berkembang dalam

suatu masyarakat, dalam suatu pergaulan hidup antara manusia dengan

manusia41

.

Masyarakat tradisional sulit dipisahkan dari keyakinan akan kekuatan

warisan yang senatiasa dijaga dan dilestarikan, semata-mata karena masyarakat

tradisonal meyakininya sebagai hal positif karena bagaimana pun juga segala

sesuatu yang diwarisi merupakan sangat sesuai dengan alam keyakinan

masyarakat, seperti warisan hukum adat di dalam masyarakat hukum adat.

Van Vollenhoven mengatakan dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober

1901, “bahwa untuk mengetahui hukum, maka perlu diselidiki untuk waktu dan di

daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum,

40 Dalam H. Mustaghfirin. 2011. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem

Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni. Jurnal

Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011. Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung

Semarang. Hal. 92.

41 I Gusti Ketut Sutha. 1987. Beberapa Aspekta Hukum Adat. Yogyakarta. Liberty

Yogyakarta. Hal. 1.

Page 26: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

38

dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari”42

. Bushar

Muhammad mengatakan, “bahwa masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri

khas hukum adat itu, adalah persekutuan hukum (adatrechtsgemeneschap)”43

.

Kekayaan terhadap tradisi, budaya adat istiadat dan hukum adat dalam

masyarakat sangat nyata. Hal itu terlihat dalam ungkapan Ter Har sebagai

berikut:

bahwa seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat

pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku

sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batih. Golongan-golongan

itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang

segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan

sebagai hal yang sewajarnya, hal tersebut merupakan kodrat alam. Tidak

ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan

memungkinkan pembubaran akan golongan itu. Golongan manusia

tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda,

milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang

bersifat persekutuan hukum44

.

Mempelajari struktur masyarakat hukum adat sebagai keilmuan , tentu tidak

lepas dari beberapa asas yang dapat dijadikan sebagai acuan.

Terdapat asas penggolongan beberapa jenis struktur masyarakat hukum

adat, yaitu berdasarkan ukuran (kriterium) ada kedaerahan atau asas

teritorial dan berdasarkan ukuran asas keturunan atau asas genealogis.

Penggolongan menurut dua asas ini lazim dilakukan dan memang tepat.

Tetapi ariflah kita hendaknya segera mencatat bahwa dipakainya kedua

ukuran tersebut hanyalah sekedar memenuhi naluri keilmuan belaka45

.

Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini,

kita mengenal tiga macam pertalian keturunan, yaitu:46

42 Dalam Bushar Muhammad. 2013. Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta Timur.

Balai Pustaka. Hal. 21.

43

Ibid.

44

Ibid.

45 Ibid. Hal. 23

46

Ibid. Hal. 26

Page 27: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

39

1. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki. Hal ini terdapat dalam

masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon;

2. Pertalian keturunan menurut garis perempuan. Hal ini terdapat dalam

masyarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang

Semendo;

3. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak. Hal ini terdapat

dalam masyarakat hukum adat orang Bugis, orang Dayak di

Kalimantan, orang Jawa.

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yaitu

masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah,

adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu,

dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat

hukum adat yng bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka

masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya. Landasan yang

mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya

bersifat teritorial adalah ikatan antara otang, yaitu anggota masing-

masing masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami oleh orang

tuanya, ysng didiami oleh neneknya, yang didiami oleh nenek

moyangnya, secara turun temurun. Ikatan dengan tanah menjadi inti asas

teritorial itu47

.

Struktur masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial memiliki beberapa

jenis. Namun Bushar Muhammad membaginya dalam tiga jenis antara lain

sebagai berikut:48

1. Masyarakat hukum desa

Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan

orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup,

dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat

kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, , satu tata susunan,

yang tertentu, baik ke luar maupun ke dalam. Masyarakat hukum desa

ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan kecil yang terletak di luar

wilayah desanya, yang lazim disebut teratak atau dukuh , tetapi

tunduk pada penguasa kekuasaan desa, dan oleh sebab itu, baginya

juga merupakan pusat kediaman. Contoh-contoh adalah desa-desa di

Jawa dan Bali.

2. Masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa)

Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang

teritorialnya melingkupi beberapa masyarakar hukum desa dan

masing-masing tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri

47 Ibid. Hal. 27-28.

48

Ibid. Hal 28-30

Page 28: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

40

sendiri. Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang

tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai tata

susunan dan pengurus sendiri-sendiri, masih juga masyarakat hukum

desa tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari keseluruhan

yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari masyarakat hukum

wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Contoh-

contoh adalah kuria di Angkola dan Mandailing. Kuria sebagai

masyarakat hukum wilayah melingkungi beberapa huta. Marga di

Sumatera Selatan. Marga sebagai masyarakat hukum wilayah

melingkungi beberapa dusun.

3. Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa).

Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang

teritorial, yang melulu dibentuk atas dasar kerja sama diberbagai-

bagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa

yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. Kerja sama

itu dimungkinkan karena kebetulan berdekatan letaknya

masyarakathukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat

hukum serikat desa itu.

C. HUKUM ADAT BAJA

C.1. KONSEP HUKUM ADAT BAJA

Hukum adat secara pasti tidak dapat ditetapkan sejak kapan mulai berlaku

dan diterapkan oleh masyarakat suku Donggo, namun hukum adat Baja

merupakan warisan kearifan lokal yang pemeliharaannya melalui penerapan

terhadap pelanggaran, lewat cerita-cerita masyarakat dan keberadaan tokoh-tokoh

adat menjadi bukti nyata bahwa hukum adat Baja telah lama diyakini sebagai

hukum oleh masyarakat suku Donggo. Masyarakat suku Donggo sebagai

masyarakat yang sangat menjunjung tinggi moral dan etika, sepatutnya

memberikan hukum kepada para pelanggar dengan hukuman yang berkenaan

langsung dengan hukum moral dari masyarakat.

Karamabura sebagai salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat suku

Donggo sampai saat ini masih tetap menjaga eksistensi hukum adat Baja.

Untuk memahami hukum adat Baja, dapat dilihat beberapa pendapat di bawah ini:

Page 29: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

41

1. Menurut H. Hasan Agung, bahwa hukum adat Baja merupakan aturan

yang sanksinya merepresentasikan keadilan masyarakat, walaupun tidak

tertulis tapi ditaati oleh masyarakat sebagai hukum49

.

2. Rosidin memaknai hukum adat Baja adalah hukum lokal masyarakat

setempat dan dijadikan sebagai alat untuk mencegah terjadinya

kejahatan50

.

3. Ahmad Mustamin mengatakan bahwa, hukum adat Baja merupakan

hukuman moral yang diberikan kepada para pelanggar oleh masyakat

melalui tokoh-tokoh adat51

.

Dari ketiga pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum adat

Baja merupakan hukum tidak tertulis yang sanksi menjelmakan rasa keadilan

masyarakat setempat dimana hukum adat itu berlaku, walaupun tidak tertulis

namun mempunyai kekuatan yang mengikat.

Hukum adat Baja ini ada yang yang tertulis ada juga yang tidak tertulis

namun sama-sama mempunyai kekuatan mengikat. Bentuk tertulisnya dapat

dilihat dalam Keputusan Kepala Desa (Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun

2014 Tentang Penggunaan Hukum Adat Untuk Menangani Masalah

Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan dan Pesta di Malam Hari dan

Peraturan desa.

49 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.

50

Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018

51 Wawancara dengan Ahmad Mustamin. Wakil Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.

Page 30: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

42

C.2. LINGKUP HUKUM ADAT BAJA PADA MASYARAKAT SUKU

DONGGO

Berlakunya hukum adat Baja pada masyarakat suku Donggo semata-mata

untuk menjadi tameng dan pilar kepentingan bersama agar dapat menciptakan

kehidupan yang tertib dan damai. Pemberlakuan hukum adat Baja, tentu dibatasi

oleh hal-hal penting berikut ini:

1. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut waktu;

2. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut tempat dan orang.

Dalam KUHP, mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana telah

ditentukan dan diatur dalam Bab pertama buku I dari pasal 1 sampai dengan pasal

9. Pasal 1 tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu, dan selebihnya

adalah mengenai batas berlakunta hukum pidana menurut tempat dan orang52

.

Sementara dalam hukum adat Baja aturan mengenai hal tersebut bersifat

tidak tertulis. Hal-hal yang tidak tertulis apabila menciderai nilai-nilai yang

diyakini masyarakat tetap dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum adat

yang dapat dituntut.

a. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut waktu

Jika pada hukum pidana nasional kita mengenal prinsip ini sebagai

asas legalitas sebagaimana diatur di dalam KUHP pasal 1 (1) yang

mensyaratkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana sebelum ada

undang-undang yang mengatur terlebih dahulu. Asas ini juga dikenal

dengan “asas nulla poena”.

52 Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-

Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 169.

Page 31: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

43

Berbeda halnya dengan hukum adat Baja, ada atau tidak adanya

aturan tertulis yang mengatur tidak menjadi tolak ukur berlakunya suatu

hukuman atas pelanggaran maupun kejahatan, yang menjadi ukuranya

adalah nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat dilanggar atau

tidak.

Fadlil (25 tahun) mengatakan, hal ini terlihat dalam pelaksanaan

hukuman Baja terhadap pekonsumsi obat-obatan terlarang. Jika

merujuk pada aturan tertulisnya tidak mengatur tentang pekonsumsi

obat-obatan terlarang hanya mengatur tentang miras, akan tetapi pada

faktanya tetap dijatuhi hukuman Baja oleh tokoh-tokoh adat, dan

masyarakat juga menerima hal itu53

.

Jika merujuk pada kepastian hukum, tentu pada penjatuhan pidana

Baja di atas sangat tidak memberi kepastian hukum bagi warga

masyarakat. Asas ini pada dasarnya ingin memberikan batasan-batasan

kepada alat-alat negara di bidang pengadilan pidana agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan terhadap warga negaranya. Pada sisi keadilan

memang bagi tiap-tiap daerah memiliki tolak ukur yang berbeda.

Masyarakat Karamabura meyakini penjatuhan pidana Baja tersebut

sebagai keadilan yang senyatanya.

Seperti dikemukakan oleh I. Made Widnyana yang mengatakan.

mengingat ada kalanya dalam keadaan-keadaan kejadian tertentu,

hukum pidana adat di daerah tertentu perannya masih sangat kuat

dalam hal menetukan rasa keadilan masyarakatnya. Contoh di Bali,

ada delik adat yang bernama lokika sanggraha (masuk delik adat

mengenai kesusilaan) yang tidak ada bandingannya dalam hukum

tertulis, dan melalui pasal 5 ayat 3b UU No. 1/Drt/1951 diterapkan

oleh pengadilan-pengadilan negeri di Bali, misalnya putusan

pengadilan negeri Denpasar No. 79/Tol.Pid/1983/PN DPS, Pengadilan

53 Wawancara dengan Fadlil. Mahasiswa. Dompu. 15 Januari 2018

Page 32: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

44

Negeri Klungkung No. 1/PD/S/1988/PN KLK juncto Pengadilan

Tinggi Denpasar No. 22/Pid.S/1988/PT.DPS54

.

Hukum adat (pidana) yang masih hidup di dalam masyarakat tidak

dapat dikodifikasi mengingat banyaknya perbedaan hukum adat di

antara daerah atau suku yang satu dengan yang lain. Namun begitu,

mengingat bahwa pada suatu kejadian atau kejadian tertentu kadang

kala dalam hukum adat terkandung nilai-nilai keadilan yang lebih

tinggi dan tidak cukup dapat dicapai dengan melalui penerapan hukum

tertulis oleh pengadilan, peranan hukum adat menjadi sangat

penting55

.

b. Batas berlakunya hukum adat Baja menurut tempat dan orang

Dalam hukum pidana nasional, mengenai berlakunya hukum

pidana menurut tempat dan orang ini dikenal ada empat macam asas

yaitu sebagai berikut56

.

1. Asas teritorialitait (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah

negara;

2. Asas personaliteit (personaliteits-beginsel), disebut juga dengan

asas kebangsaan, asas nasionalitet aktif atau subjektif (subjektion-

prinzip).

3. Asas perlindungan (beschermings-beginsel), atau disebut juga

dengan asas nasional pasif.

4. Asas univesaliteit (universaliteits-beginsel), atau asas persamaan.

Dalam hukum pidana adat Baja yang ruang lingkupnya mencakup

masyarakat lokal saja. Sebagaimana dikemukakan oleh H. Hasan Agung

bahwa;

Baja diterapkan kepada pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana

diwilayah desa Karamabura saja, sementara warga Karamabura yang

melakukan kejahatan, pencurian dan perselingkuhan diluar dari desa

Karamabura tidak dapat dikenakan pidana Baja walaupun itu

merupakan warga masyarakat desa Karamabura57

.

54 Adami Chazawi. Op.cit. Hal. 175-176.

55

Ibid. Hal. 174.

56

Ibid. Hal. 203.

57

Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.

Page 33: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

45

Rosidin juga mengemukakan bahwa:

Baja diterapkan kepada pelaku yang melakukan kejahatan di desa

Karamabura, sementara apabila warga desa Karamabura melakukan

pencurian perselingkuhan diluar dari desa Karamabura tidak dapat

kenakan Baja, walaupun jelas-jelas terbukti bersalah dengan hukum

Nasional58

.

Mengingat cakupannya yang sederhana dan terpaku pada lokal

desa Karamabura, itu mungkin karena keterbatasan sumber Daya

Manusia dari pada tokoh-tokoh adat yang latar belakang pendidikannya

masih rendah dan kurang memahami hokum, sehingga untuk

merumuskan hukum yang cakupannya luas itu akan kesulitan. Terlepas

dari pada itu, eksistensi hukum adat Baja ini sangat memberi kontribusi

positif terhadap timbulnya kejahatan pada wilayah Karamabura dan juga

membantu meringankan tugas aparat penegak hukum.

C.4. JENIS-JENIS PIDANA ADAT BAJA

Sebagaimana hukum nasional atau hukum yang berlaku di suatu negara

bahwa setiap yang bersalah pasti akan di hukum dengan berbagai jenis hukuman

yang telah ditetapkan. Begitupun halnya hukum adat pada masyarakat suku

Donggo desa Karamabura yang dalam hal pidananya tidak membedakan secara

eksplisit seperti halnya pada pasal 10 KUHP. Adapun jenis-jenis pidananya hanya

terbagi dua yaitu:

1. Pidana Baja

Baja merupakan bentuk sanksi yang berat dirasa dan dilihat, baik oleh

pribadi terpidana maupun oleh keluarga, kerabat, teman dan bahkan masyarakat

58 Wawancara dengan Rosidin. Mantan Kepala Desa Karamabura. Dompu. 13 Januari 2018

Page 34: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

46

pada umumnya, karena bentuk sanksi ini sangat menciderai perasaan ibu terhadap

anak, anak terhadap orang tuan dan lain sebagainya, akan tetapi memuaskan dan

adil bagi pihak korban.

Terlepas dari berbagai ekspresi masyarakat, pidana Baja merupakan sanksi

yang mampu memberi dampak ketertiban dan pencegahan terhadap timbul dan

berkembangnya kasus-kasus kejahatan atau kriminal. Sebagaimana halnya dengan

hukum positif, bahwa penjatuhan pidana atau yang berhak memutuskan status

orang dari terdakwa menjadi terpidana adalah Hakim, sementara penjatuhan

pidana Baja dilakukan oleh tokoh-tokoh adat. Sementara “Sanksi Baja diterapkan

kepada pelaku perzinahan atau perselingkuhan, pencurian atau perampokkan,

pekonsumsi obat-obatan terlarang dan sanksi Baja adalah representasi dari rasa

keadilan masyarakat terhadap pelanggar hukum adat”59

.

Walaupun yang disebutkan dalam Perdes maupun Keputusan Kepala Desa

hanya tiga jenis pelanggaran yaitu perjinahan atau perselingkuhan, pencurian atau

perampokkan dan pesta di malam hari dengan orgen tunggal maupun biola,

namun terdapat juga hal-hal lain yang belum diatur, akan tetapi apabila dilanggar

tidak menutup kemungkinan akan dijatuhkan pidana Baja maupun pidana denda.

2. Pidana Denda

Tidak hanya hukum positif, hukum adat juga mengenal adanya sanksi

denda, sama dengan pidana denda pada pidana tambahan dalam hukum positif

yang dendanya tidak menghilangkan sanksi pidana.

59 Wawancara dengan H. Hasan Agung. Ketua LMA. Dompu. 6 Januari 2018.

Page 35: BAB II TINJAUAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43776/3/BAB II.pdf3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat ... tertentu, atau dengan kata lain mengatur

47

Sebagaimana diatur dalam Perdes yang mengatakan bahwa:60

1. Perjinahan/perselingkuhan antara suami orang dengan isteri orang:

Hukumannya; kedua pelaku di denda dan diarak keliling kampung

dengan tetap berpakain rapi sambil berteriak bahwa mereka tidak

akan mengulangi perbuatan tersebut.

2. Pencuri: Hukumannya: di denda dan diarak keliling kampung sambil

mengalungi barang yang di curinya.

3. Orgen tunggal dan biola dimalam hari: Hukumannya; acaranya

dihentikan dan membayar denda sesuai kesepakatan.

Terkait dengan sanksi denda diatur juga dengan Keputusan Kepala Desa

(Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Hukum Adat

Untuk Menangani Masalah Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan

dan Pesta Di Malam Hari61

.

Pada Bab Sanksi/hukuman

1. Bagi pelaku perzinahan/perselingkuhan antara suami orang dengan

istri orang yang sudah terbukti bersalah: masing – masing pelaku

membayar denda sebesar Rp. 1.000.000, yang selanjutnya kedua

pelaku tersebut di Arak keliling kampung sambil meneriakkan

pernyataan “saya bertaubat dan tidak akan berzinah lagi”

2. Bagi pelaku pencurian/perampokan yang terbukti bersalah wajib

membayar denda sebesar Rp. 500.000, dan membayar seluruh

kerugian sebagai akibat dari perbuatannya kepada pihak korban,

selanjutnya pelaku tersebut di arak keliling kampung sambil

mengalungi dan memakan barang curiannya sambil meneriakkan

pernyataan “saya bertaubat dan tidak mencuri lagi”

3. Bagi pelaku atau keluarga yang dengan sengaja berpesta dengan

menggunakan Orgen Tunggal atau Biola akan dikenakan sanksi

berupa denda sebesar RP. 500.000,-

Pengaturan mengenai denda secara jelas sudah diatur baik di dalam

Peraturan Desa maupun di dalam Keputusan Kepala Desa. Hal ini menunjukkan

adanya dukungan pemerintah desa untuk mempertahankan eksistensi hukum adat

Baja.

60 Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Desa, BPD, LMA dan Masyarakat

61 Keputusan Kepala Desa (Kepdes) Karamabura Nomor 03 Tahun 2014 Tentang Penggunaan

Hukum Adat Untuk Menangani Masalah Perzinahan/Perselingkuhan, Pencurian/Perampokan dan

Pesta di Malam Hari.