55
19 BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa tujuan studi ini adalah merumuskan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Untuk itu pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa tinjauan teori yang meliputi kajian tentang peran serta/partisipasi masyarakat, definisi taman nasional dan penataan zona di dalamnya, aspek legal peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung, konsep dan penerapan bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung di beberapa daerah di Indonesia, jumlah dan sebaran komunitas adat Orang Rimba, dan kesimpulan tinjauan teori. 2.1 Tinjauan Teori Tentang Peran Serta/Partisipasi Masyarakat Pada sub bab ini akan dibahas mengenai pengertian peran serta/partisipasi, tipe, bentuk, dan ukuran partisipasi, dan konsep tingkat partisipasi. 2.1.1 Pegertian Peran Serta/Partisipasi Pengertian peran serta/patisipasi sudah banyak dipaparkan oleh para ahli. Menurut White (1981), partisipasi masyarakat adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Partisipasi juga erat hubungannya dengan istilah partnership, yang berarti bahwa partisipasi hendaknya harus disertai dengan sikap ikut tanggung jawab dari satu kesatuan yang turut ambil bagian di dalam aktivitas tersebut. Di dalam unsur tanggung jawab tersebut terdapat beberapa hak-hak dan kewenangan yang patut dihargai dalam rangkaian kerjasama tersebut. Menurut Parwoto (2004), partsipasi mempunyai ciri-ciri: (1) Keterlibatan dalam pengambilan keputusan: mengambil dan menjalankan keputusan (2) Bentuk kontribusi: seperti gagasan, tenaga, materi dan lain-lain (3) Organisasi kerja: bersama setara (berbagi peran) (4) Penetapan tujuan :ditetapkan kelompok bersama pihak lain (5) Peran serta masyarakat:sebagai subjek. Partisipasi juga didefinisikan sebagai suatu tindakan yang mendasar untuk

BAB II TINJAUAN TEORI - · PDF filePengertian peran serta ... masyarakat yang merepresentasikan berbagai kelompok kepentingan ... Bentuk partisipasi menurut Surbakti dalam

  • Upload
    letruc

  • View
    216

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

19

BAB II

TINJAUAN TEORI

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa tujuan studi ini adalah

merumuskan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD. Untuk itu pada bab ini akan dijelaskan mengenai

beberapa tinjauan teori yang meliputi kajian tentang peran serta/partisipasi

masyarakat, definisi taman nasional dan penataan zona di dalamnya, aspek legal

peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung, konsep dan

penerapan bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan

lindung di beberapa daerah di Indonesia, jumlah dan sebaran komunitas adat

Orang Rimba, dan kesimpulan tinjauan teori.

2.1 Tinjauan Teori Tentang Peran Serta/Partisipasi Masyarakat

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai pengertian peran

serta/partisipasi, tipe, bentuk, dan ukuran partisipasi, dan konsep tingkat

partisipasi.

2.1.1 Pegertian Peran Serta/Partisipasi

Pengertian peran serta/patisipasi sudah banyak dipaparkan oleh para

ahli. Menurut White (1981), partisipasi masyarakat adalah keterlibatan komunitas

setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanannya

terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Partisipasi juga erat

hubungannya dengan istilah partnership, yang berarti bahwa partisipasi

hendaknya harus disertai dengan sikap ikut tanggung jawab dari satu kesatuan

yang turut ambil bagian di dalam aktivitas tersebut. Di dalam unsur tanggung

jawab tersebut terdapat beberapa hak-hak dan kewenangan yang patut dihargai

dalam rangkaian kerjasama tersebut.

Menurut Parwoto (2004), partsipasi mempunyai ciri-ciri: (1) Keterlibatan

dalam pengambilan keputusan: mengambil dan menjalankan keputusan (2)

Bentuk kontribusi: seperti gagasan, tenaga, materi dan lain-lain (3) Organisasi

kerja: bersama setara (berbagi peran) (4) Penetapan tujuan :ditetapkan

kelompok bersama pihak lain (5) Peran serta masyarakat:sebagai subjek.

Partisipasi juga didefinisikan sebagai suatu tindakan yang mendasar untuk

20

bekerjasama. Untuk dapat berhasil dengan baik dan kontinyu, kerjasama

memerlukan waktu dan usaha serta harus didasari dengan adanya kepercayaan

bersama. Kepercayaan tidak datang dengan gampang karena erat kaitannya

dengan latar belakang individu masing-masing (Korten, 1986).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka esensi dari

peranserta/partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam

proses pengambilan keputusan sektor publik. Dalam konteks ini masyarakat

diterjemahkan secara luas sebagai masyarakat secara keseluruhan yang

menyangkut seluruh individu dalam suatu komunitas tersebut, atau perwakilan

masyarakat yang merepresentasikan berbagai kelompok kepentingan

(stakeholders).

2.1.2 Tipe, Bentuk, dan Ukuran Partisipasi

Menurut Dusseldorp dalam catatan kuliah perencanaan partisipatif (2007)

terdapat dua tipe partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan, yaitu: partisipasi

bebas dan partisipasi terpaksa. Partisipasi bebas terjadi bila seorang individu

melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu

baik secara spontan maupun terbujuk. Secara spontan berdasarkan pada

keyakinan tanpa dipengaruhi melalui penyuluhan atau ajakan oleh lembaga-

lembaga atau orang lain, sedangkan secara terbujuk maksudnya masyarakat

berpartisipasi setelah diyakinkan melalui program penyuluhan atau oleh

pengaruh orang lain. Partisipasi terpaksa dapat terjadi dalam berbagai cara, yaitu

partisipasi terpaksa oleh hukum dan karena kondisi sosial ekonomi.

Bentuk partisipasi menurut Surbakti dalam catatan kuliah perencanaan

partisipatif (2007) adalah ikut mengajukan usul-usul mengenai suatu kegiatan,

ikut serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan tentang alternatif

program yang paling baik, ikut serta dalam melaksanakan apa yang telah

diputuskan, termasuk disini memberi iuran atau sumbangan materil serta ikut

mengawasi pelaksanaan keputusan.

2.1.3 Konsep Tingkat Partisipasi

Berbagai sumber menyatakan bahwa terdapat tingkatan-tingkatan bentuk

partisipasi warga dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik. Ada

empat sumber yang dapat memberikan penjelasan mengenai tingkat partisipasi

21

warga, antara lain menurut: Sherry Arnstein, David Wilcox, Lorenz Aggenz, dan

Kelompok Ecoregen.

2.1.3.1 Konsep Tingkat Partisipasi Sherry Arnstein

Sherry Arnstein pada tahun 1969 mengajukan tesis mengenai tingkat

partisipasi komunitas atau publik dalam proses perencanaan, yang terangkum

kedalam 8 tingkat partisipasi (catatan kuliah perencanaan partisipatif, 2007).

Sherry Arnstein mensintesa 8 jenjang atau tangga partisipasi yang

bersumberkan pada pengalaman praktis proses partisipasi di Amerika Serikat.

Asumsi Arnstein adalah jenjang partisipasi ini digunakan oleh penguasa

(pemerintah) kepada masyarakat sebagai penilaian terhadap partisipasi

masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein terbagi menjadi 8

tingkatan (dari terendah hingga tertinggi), yaitu :

1. Manipulation (Manipulasi)

2. Therapy (Terapi)

3. Informing (Menginformasikan)

4. Consultation (Konsultasi)

5. Placation (Penghargaan)

6. Partnership (kemitraan)

7. Delegated Power (Delegasi Kekuasaan)

8. Citizen Control (Pengendalian oleh Rakyat)

Tingkatan 1-2 sering disebut juga tahapan non-participation (bukan

partisipasi), artinya bahwa dalam kerangka demikian, warga sebenarnya tidak

berada dalam tingkat pertisipasi dan kedaulatan yang sesungguhnya. Tingkatan

3-5 disebut sebagai pseudo-participation (partisipasi semu), yang berarti bahwa

tingkat partisipasi dan kedaulatan warga ini belum dikatakan sepenuhnya atau

masih setengah dari tingkat partisipasi sesungguhnya. Tingkat 6-8 disebut

sebagai genuine participation (partisipasi yang sesungguhnya), artinya adalah

masyarakat diberi porsi partisipasi yang sesungguhnya dan kedaulatan

masyarakat diletakkan pada posisi yang tepat.

2.1.3.2 Konsep Tingkat Partisipasi David Wilcox

Peneliti lain, David Wilcox mengembangkan tangga partisipasi Arnstein

dalam The Guide to Effective Participation (1994) yang menjelaskan bahwa ada

22

5 pendirian atau sudut pandang (stances) yang dipakai dalam proses inisiasi

tentang partisipasi publik dalam perencanaan (Wilcox, 1996). Asumsi yang

digunakan Wilcox adalah si pengguna tingkat partisipasi Wilcox adalah

seseorang yang mengatur proses partisipasi dalam objek tertentu. Titik tolak atau

sudut pandang tersebut adalah :

1. Sudut Pandang Pertama: Memberi Informasi

2. Sudut Pandang Kedua: Konsultasi

3. Sudut Pandang Ketiga: Memutuskan Bersama

4. Sudut Pandang Keempat: Melakukan Bersama

5. Sudut Pandang Kelima: Mendukung Inisiatif Lokal

2.1.3.3 Konsep Tingkat Partisipasi Lorenz Aggens

Mirip dengan konsep Wilcox, Aggens juga memberikan penilaian dan

terobosan terhadap tingkatan kasus berdasarkan respon yang dikembangkan

dari masyarakat tersebut. Asumsi yang digunakan juga mirip, yaitu perumusan

pedoman yang digunakan oleh seseorang yang mengatur proses partisipasi.

Berikut adalah tingkatan ketertarikan publik dalam partisipasi beserta metode

atau cara dalam melibatkannya :

1. Apatis/tidak tertarik sama sekali

2. Sebagai pengendali

3. Sebagai pemeriksa

4. Sebagai pemberi Masukan

5. Terlibat langsung sebagai pelaksana

6. Membangun konsensus dan pemberi solusi bagi persoalan

Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan yang dapat dilaksanakan

sebagai awal dalam pembangunan sebuah partisipasi bagi civil society dapat

dilakukan seperti langkah-langkah diatas. Kegiatan seperti ini berbasiskan

kepada tingkat pemahaman partisipasi didalam civil society itu sendiri, dengan

demikian hubungan antara keduanya adalah sangat dekat. Artinya adalah ketika

hendak melakukan kegiatan pembangunan partisipatif, maka limitasi terendah

dari pemahaman civil society; yaitu sekedar mengetahui titik awal yang

dilakukan.

23

2.1.3.4 Konsep Tingkat Partisipasi Kelompok Ecoregen

Di dalam situs www.ecoregen.com dijelaskan mengenai pembangunan

tingkat partisipasi yang distrukturkan menjadi beberapa tingkatan. Berikut adalah

tingkatan-tingkatan pembangunan partisipasi yang dimaksud:

1. Tingkat 1 :

Berisi tentang pemberitahuan. Peran serta yang dapat digunakan sebagai

metoda adalah: komunikasi yang terbatas, terlimitasi, atau informasi yang

berkualitas; dengan cara:

Media masa, koran, radio, artikel.

Eksebisi dan presentasi.

Publikasi melalui pamflet, brosur.

2. Tingkat 2 :

Berisi tentang konsultasi. Peran serta yang dapat digunakan sebagai metoda

adalah: konsultasi yang terbatas, original, pendekatan personal; dengan cara:

Rapat-rapat.

Penyebaran kuesioner.

Dengan media surat kabar.

3. Tingkat 3 :

Berisi tentang kegiatan memutuskan persoalan secara bersama. Peran serta

yang dapat digunakan sebagai metoda adalah: badan penasehat yang

efektif, kemitraan; dengan cara:

Rapat dan pertemuan

Perencanaan segala hal yang bersifat praktis

Pembuatan visi dan misi

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa definsi peran

serta/partisipasi mulai berkembang dari tahun ke tahun. Para ahli memberikan

berbagai opini mereka tentang peran serta/partisipasi beserta konsep tingkat

partisipasi versi mereka masing-masing. Peran serta/partisipasi masyarakat

dalam penataan ruang sangat dibutuhkan agar dokumen rencana yang

ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat yang akan menjalankannya beberapa

tahun mendatang. Hampir sama dengan penataan ruang, dalam penataan

kawasan lindung pun peran serta masyarakat adat merupakan hal yang sangat

penting. Kawasan lindung tidak hanya dipandang sebagai milik pemerintah

24

semata namun harus mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang

selama bertahun-tahun tinggal di dalamnya. Dalam pengelolaan kawasan

lindung terutama dalam tahapan penataan kawasannya, peran serta masyarakat

adat merupakan hal yang penting agar penetapan status kawasan lindung di

suatu daerah tidak menimbulkan konflik antara masyarakat adat dan pemerintah

seperti di TNBD. Disamping itu dengan adanya beberapa penjelasan teori

tentang konsep tingkat partisipasi dari para ahli dapat membantu studi ini untuk

merumuskan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD.

TABEL II.1 RANGKUMAN KONSEP TINGKAT PARTISIPASI

No. Peneliti

Individu/Kelompok/Institusi

Penekanan Aspek Pembahasan Kesimpulan yang berkait

dengan tingkat partisipasi Asumsi yang digunakan Kegunaan

Konsep

Klasifikasi tingkat

partisipasi

1. Sherry Amstein (1969) Penilaian partisipasi

dilakukan oleh pihak ketiga

atas penyelenggaraan

kegiatan oleh pemerintah

yang melibatkan partisipasi

masyarakat

Untuk menilai

partisipasi

masyarakat dalam

perencanaan

Berupa delapan

tangga tingkat

partisipasi

Delapan tangga tingkat

partisipasi Arnstein

berbicara sangat detail

mengenai tingkat partisipasi

masyarakat yang terpotret

dari tingkatan terendah yaitu

termanipulasi s.d tertinggi

yaitu pengendali oleh rakyat

2. David Wilcox (1996) Pengguna konsep adalah

inisiator proses partisipasi

Sebagai penentuan

inisiasi dalam

membuat proses

partisipasi berjalan

Berupa lima tingkat

partisipasi

Wilcox menggunakan

tingkat partisipasi sebagai

titik-titik acuan bagi

penyelenggaraan partisipasi

3. Lorenz Aggenz (1994) Pengguna konsep adalah

inisiator proses partisipasi

Sebagai penentuan

inisiasi dalam

membuat proses

partisipasi berjalan

Berupa enam tingkat

interes publik dalam

partisipasi dan cara

melibatkannya

Seperti Wilcox, Aggenz juga

berbicara tentang tingkat

partisipasi sebagai titik

acuan

4. Kelompok Ecoregen (1999) Berupa tiga tingkat

partisipasi beserta

metoda pelibatan

warga ke dalamnya

Kelompok Ecoregen

berbicara tentang konsep

partisipasi dalam tingkatan

yang lebih sederhana

Sumber : ww.ecoregen.com, Wilcox 1996, Aggenz 1994, Arnstein 1969

2.2 Taman Nasional

Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan

25

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sedangkan

menurut IUCN dalam Anwar (2005:16), taman nasional didefinisikan sebagai

kawasan alam berupa daratan dan atau laut, yang dirancang untuk: (a)

melindungi integritas ekologi antara satu atau lebih ekosistem untuk kepentingan

masa sekarang hingga masa yang akan datang; (b) mengurangi eksploitasi dan

penempatan secara minimal bagi kepentingan tujuan pembentukannya; (c)

menyediakan bahan-bahan bagi ilmu pengetahuan, budaya, pendidikan,

rekreasi, dimana lingkungan dan budaya berjalan secara serasi.

Definisi lain dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut: Alvarez

dalam Anwar (2005:16) menyatakan bahwa taman nasional adalah suatu

kawasan yang ditetapkan terutama untuk melidungi dan mempreservasi

pemandangan indah, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang khas pada tingkat

nasional untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh masyarakat luas.

Kemudian menurut Blower (1976), taman nasional merupakan kawasan

yang relatif luas yang berisi ekosistem atau lansekap menarik, yang tidak

terganggu oleh kegiatan eksploitasi atau pemukiman manusia, dikelola

sedemikian rupa untuk melindungi dan mengawetkan integritas lingkungan alam

yang dimiliki semaksimal mungkin, tetapi pada batas-batas tertentu terbuka bagi

pengunjung.

Menurut LP IPB dalam Anwar (2005:17), taman nasional merupakan

suatu kawasan konservasi di darat dan di laut yang mempunyai keaslian,

kekhasan dan keanekaragaman flora, fauna, ekosistem dan atau

geomorfologi/keindahan alam/budaya/arkeologi; yang secara keseluruhan

memiliki/menyangkut kepentingan nasional atau internasional dan dikelola

berdasarkan sistem zonasi untuk tujuan pengawetan (perlindungan), penelitian

(IP), pendidikan dan rekreasi (pariwisata).

Penunjukkan status hukum kawasan menjadi taman nasional merupakan

langkah awal agar kawasan tersebut dilindungi. Namun dalam perjalanannya ke

depan nanti, suatu taman nasional perlu dikelola oleh berbagai pihak yang

terkait. Adapun tujuan pengelolaan taman nasional ini berdasarkan kategori

IUCN adalah:

26

1. Melindungi kawasan alami dan unik dalam tingkat nasional maupun

internasional bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya,

rekreasi dan wisata.

2. Menjaga kondisi alami dalam menyediakan kestabilan ekologi dan

keragaman hayati.

3. Mengelola kegiatan pengunjung pada areal-areal tertentu dalam hal

pemanfaatan taman nasional sebagai sarana pendidikan, budaya, dan

rekreasi.

4. Mengurangi dan mencegah eksploitasi dan penempatan areal taman nasional

yang telah ditunjuk di luar areal pemanfaatannya.

5. Memelihara proses-proses ekologi, geomorfologi dan tempat-tempat yang

memiliki keunikan dan kekhasan sebagai tujuan dari perlindungan.

6. Menjaga kepentingan penduduk lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam,

sehingga tidak bertentangan dengan tujuan perlindungannya (IUCN dalam

Anwar, 2005: 18).

Pada saat ini seluruh kawasan taman nasional di Indonesia menghadapi

permasalahan yang pada dasarnya berkaitan dengan:

1. Tingkat pengelolaan kawasan, yang menyangkut status kawasan,

kelembagaan, sumberdaya manusia, perencanaan, keperluan sarana dan

prasarana, pendanaan, dll.

2. Tingkat sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan, yang

menyangkut tingkat kesejahteraan, perkembangan kependudukan,

kebutuhan lahan dan sumberdaya, pemahaman dan kepedulian mengenai

konservasi alam.

3. Pandangan dan kepedulian sektoral mengenai pembangunan dan konservasi

alam. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, diperlukan adanya

pengelolaan taman nasional secara holistik, komprehensif dan terintegrasi.

Dengan demikian pengelolaan taman nasional harus dapat ditempatkan

sebagai salah satu sub sistem pembangunan nasional dan terkait dengan

kepentingan pembangunan daerah, serta merupakan bagian dari

pembangunan wilayah di sekitarnya (Sriyanto dalam Anwar, 2005:18).

Selain hal tersebut, taman nasional sebagai salah satu konsep

pengelolaan kawasan konservasi, keanekaragaman hayati dan sumber daya

alam lainnya belum mempunyai bentuk dan core yang sesuai dan cocok dengan

27

kondisi Indonesia (Bulletin Konservasi dalam Anwar, 2005:18). Begitu halnya

dengan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dimana tujuan penetapan

status hukum TNBD adalah sebagai kawasan penghidupan dan kehidupan

Komunitas Adat Orang Rimba. Penetapan status hukum TNBD ini merupakan

salah satu terobosan hukum di Indonesia karena taman nasional ini merupakan

satu-satunya taman nasional di Indonesia yang kelahirannya bertujuan untuk

melindungi hak hidup dan penghidupan suku asli yaitu komunitas adat Orang

Rimba sedangkan taman nasional lain cenderung membatasi akses manusia.

Hingga saat ini konflik terus terjadi dalam pengelolaan TNBD meskipun BKSDA

Jambi telah menetapkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas

(RPTNBD) dengan waktu perencanaan 2005-2029. Konflik yang terjadi dimana

sistem zonasi yang diterapkan di RPTNBD tidak sesuai dengan kondisi di

lapangan. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya peran serta Komunitas Adat

Orang Rimba dalam penataan sistem zonasi di RPTNB, padahal mereka lebih

mengetahui tentang kondisi di lapangan.

2.3 Penataan Zona-Zona di dalam Kawasan Taman Nasional

Pada bab satu telah dijelaskan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah

untuk merumuskan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan taman nasional. Hal ini diperlukan karena penataan

kawasan TNBD seluas 60.500 ha oleh pemerintah, ternyata tidak sesuai dengan

kondisi di lapangan. Sebagai contoh tidak sesuainya penataan kawasan

tersebut adalah dalam penentuan zona-zona di dalam kawasan TNBD, seperti

terdapat lahan dan kebun milik komunitas adat Orang Rimba yang berada di

dalam zona inti. Ketidaksesusaian ini akan menyebabkan munculnya

pertanyaan, pertimbangan-pertimbangan seperti apa yang digunakan pemerintah

dalam menata zona-zona di dalam kawasan TNBD.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa kawasan taman nasional

dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan

zona lain sesuai dengan keperluan. Ketiga zona tersebut merupakan standar

yang dimiliki oleh taman nasional. Penataan zona memberikan batasan-batasan

terhadap zona yang boleh dimanfaatkan maupun yang tidak boleh diganggu

sama sekali. Penataan zona taman nasional adalah pembagian wilayah di dalam

28

kawasan taman nasional menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-

kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka

mencapai tujuan-tujuan pengelolaan taman nasional sesuai dengan fungsi

peruntukkannya (Dephut, 1995: 3). Penataan zona merupakan upaya paling

praktis dalam menyediakan level-level perlindungan nilai alamiah suatu kawasan

konservasi dan untuk mengelola kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan

terhadap keberadaan taman nasional tersebut (Trisurat, 2003). Untuk menata

zona tersebut ada beberapa kriteria yang ditentukan.

Kriteria zona inti, yaitu:

1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya.

2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.

3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan

atau tidak atau belum diganggu manusia.

4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang

pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis

secara alami.

5. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang

keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya

yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Kriteria zona pemanfaatan, yaitu :

1. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi

ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.

2. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan

daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.

3. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan

pariwisata alam.

Kriteria zona rimba, yaitu :

1. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari

jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi.

2. Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian

zona inti dan zona pemanfaatan.

29

3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu

(http://fwi.or.id/index.php?lang=ina&link=konservasi&f=bukit12.html).

Kriteria-kriteria tersebut merupakan syarat yang digunakan dalam

penataan zona di kawasan taman nasional. Pada zona inti dapat dilihat bahwa

salah satu kriteria yang digunakan adalah kondisi alam, baik biota maupun

fisiknya masih asli dan belum pernah diganggu oleh manusia. Jadi, dapat

dipahami bahwa akses manusia untuk masuk dan melakukan kegiatan yang

berhubungan dengan kondisi alam di zona inti sangat dilarang. Dari kriteria

tersebut, akses manusia untuk berkegiatan baru diperbolehkan pada zona

pemanfaatan karena pada zona ini memiliki potensi pariwisata dan rekreasi alam

yang dapat dinikmati oleh manusia. Terakhir adalah zona rimba yang berfungsi

sebagai penyangga bagi pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan.

Lebih lanjut secara terinci, jenis-jenis zona yang terdapat di dalam

kawasan taman nasional meliputi:

1. Zona inti, adalah suatu wilayah dimana keadaan tumbuh-tumbuhan (flora),

satwa (fauna) atau keindahan khalikahnya dan ekosistemnya perlu

dipertahankan dalam keadaan tidak terjamah karena nilainya yang khas bagi

ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

2. Zona pemanfaatan, adalah suatu wilayah yang memiliki keanekaragaman

dan keindahan tumbuh-tumbuhan (flora), satwa (fauna) maupun keindahan

alamnya mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan

rekreasi alam.

3. Zona lain, zona lain di dalam taman nasional terdiri dari zona rimba, zona

pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan zona kultural/budaya yang

menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

4. Zona rimba, adalah suatu wilayah yang memiliki tumbuh-tumbuhan (flora),

satwa (fauna) atau keindahan khalikah dan ekosistemnya perlu

dipertahankan karena nilainya yang khas bagi ilmu pengetahuan dan

kebudayaan dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan wisata alam terbatas.

5. Zona rehabilitasi, adalah suatu wilayah yang pernah rusak akibat sesuatu hal

seperti kebakaran, bekas perladangan/pemukiman liar atau bencana alam

yang dapat dilakukan kegiatan pemulihan dengan tumbuhan dan satwa asli.

6. Zona pemanfaatan tradisional, adalah suatu wilayah yang terdapat tumbuh-

tumbuhan (flora) dan satwa (fauna), dapat dimanfaatkan terbatas secara

30

tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat

sekitarnya yang biasanya menggantungkan hidupnya pada hasil hutan non

kayu.

7. Zona kultural/budaya, adalah merupakan suatu wilayah yang di dalamnya

terdapat tempat perkembangan sejarah manusia (Dephut, 1994).

Menurut McKinnon, et. al. (1990) banyaknya jenis zona yang diterapkan

di tiap kawasan konservasi akan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain,

tergantung pada karakteristik bio-fisik kawasan dan tujuan pengelolaannya.

Tetapi tidak kurang dari 2/3 luas total kawasan sebaiknya mencerminkan tujuan

utama dari pembentukkannya.

Dalam menentukan zona-zona di dalam kawasan taman nasional, maka

aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan adalah:

1. Aspek ekologis, aspek ini merupakan pertimbangan utama dalam

penetapan zona taman nasional, yang meliputi kondisi fisik dan biologi. Hal

ini sesuai dengan fungsi taman nasional dalam melindungi sistem penyangga

kehidupan dan pengawetan sumber plasma nutfah.

Aspek fisik ini antara lain meliputi topografi, iklim dan curah hujan, geologi

dan tanah, dan hidro-orologi. Sedangkan aspek biologi meliputi potensi

tumbuhan, satwa dan ekosistem.

2. Aspek kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penetapan zona

kawasan taman nasional tidak terlepas dari pertimbangan terhadap kebijakan

dan peraturan perundangan yang berlaku. Aspek ini mencakup semua

kebijakan dan peraturan perundangan di bidang kehutanan maupun bidang-

bidang lain yang terkait, baik tingkat nasional maupun regional.

3. Aspek pemanfaatan, aspek ini meliputi kondisi sosial ekonomi dan budaya

masyarakat serta potensi pemanfaatan pariwisata yang telah berkembang.

Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

taman nasional sangat penting untuk dipertimbangkan dalam penetapan

zona. Hal ini menyangkut tingkat ketergantungan masyarakat tersebut

terhadap potensi sumber daya alam taman nasional.

Sedangkan aspek potensi pemanfaatan pariwisata yang telah berkembang

juga perlu mendapat perhatian dalam penetapan zona. Aspek ini menyangkut

potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dapat

31

dikembangkan untuk pariwisata alam secara intensif maupun terbatas,

kecenderungan pemanfaatannya serta permintaan pasar.

4. Aspek pembangunan regional, aspek ini perlu dikembangkan mengingat

pembangunan taman nasional tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan

regional dan keduanya dapat saling menunjang. Pembangunan regional yang

banyak terkait dengan pembangunan taman nasional adalah sektor

pariwisata serta sektor-sektor lain yang berkaitan dengan upaya peningkatan

pendapatan dan kesadaran masyarakat terhadap arti pentingnya konservasi

(Dephut, 1994).

5. Kejelasan wilayah masyarakat adat, Wilayah adalah hal penting berkaitan

dengan penguasaan sumber daya dan yurisdiksi dari otoritas masyarakat

adat. Dengan mengkaitkan kedua hal itu penentuan wilayah tidak semata-

mata berhubungan dengan klaim atas suatu lingkungan tetapi juga komitmen

untuk mengelola lingkungan itu secara bertanggungjawab. Karena wilayah

berkaitan dengan klaim penguasaan dan yurisdiksi maka wilayah perlu

ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak yang

berkepentingan pada sumber daya hutan. Satu hal yang penting dalam

kesepakatan ini adalah bahwa klaim kewilayahan tidak semata-mata merujuk

pada keinginan menguasai sumber daya tetapi juga memperhatikan

kemampuan mengelola sumber daya dengan baik.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Dalam

pengelolaannya taman nasional perlu ditata ke dalam zona-zona tertentu agar

membatasi akses manusia ke dalamnya. Penataan zona di taman nasional

biasanya dilakukan oleh pemerintah secara top down yang sangat berpotensi

untuk menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Pemerintah menggunakan

beberapa pertimbangan dalam penataan kawasan taman nasional, terutama

dalam penataan zona di dalamnya, namun satu hal yang lebih penting adalah

peran serta masyarakat adat yang tinggal di dalamnya. Sebagai contoh, dalam

studi ini penataan zona-zona di TNBD oleh pemerintah secara top down justru

malah menimbulkan konflik dengan komunitas adat Orang Rimba. Dampak dari

32

konflik ini adalah komunitas adat Orang Rimba tidak mau terlibat dalam tahapan

pengelolaan TNBD di masa yang akan datang.

2.4 Aspek Legal Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan

Lindung

Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peraturan perundang-

undangan yang mengatur peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan

lindung, serta bentuk peran sertanya.

2.4.1 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Dalam UU No.26 Tahun 2007 dijelaskan bahwa penyelenggaraan

penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran

masyarakat. Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan, antara lain,

melalui: (1) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (2) partisipasi

dalam pemanfaatan ruang; dan (3) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan

ruang. Penjelasan peran serta masyarakat dalam UU No.26 Tahun 2007

merupakan penjelasan secara umum tentang peran serta masyarakat dalam

penataan ruang. Penataan ruang sendiri berdasarkan fungsi utama kawasan

terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Selain itu juga dalam

undang-undang yang sama juga dijelaskan bahwa ruang pembangunan dibagi

untuk dua kepentingan, yakni kepentingan untuk kegiatan budidaya dan

kepentingan untuk upaya pelestarian/perlindungan sehingga tercetuslah

penetapan kawasan budidaya dan kawasan lindung di suatu wilayah.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam UU No.26 Tahun

2007 selain berperan serta dalam penataan ruang secara umum, secara tersirat

masyarakat adat juga berperan serta dalam penataan kawasan lindung karena

penataan ruang sendiri berdasarkan fungsi utama kawasannya terdiri dari

kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2.4.2 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya

Dalam UU No.5 Tahun 1990 dijelaskan bahwa konservasi sumber daya

alam hayati bukan merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah saja

tetapi masyarakat juga harus berperan serta di dalamnya. Pemerintah berusaha

33

untuk mengarahkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melalui berbagai

kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Selain itu dalam UU No.5 Tahun 1990 juga dijelaskan bahwa dalam

rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,

pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut

kepada pemerintah daerah. Disini pemerintah pusat menyadari bahwa tidak

semua urusan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

dapat ditangani oleh pemerintah pusat. Urusan peran serta masyarakat dalam

pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya biasanya

diserahkan kepada pemerintah daerah dengan pertimbangan akses pemerintah

daerah yang lebih dekat terhadap sumber daya alam hayati dan masyarakat adat

di daerahnya sehingga menjadi lebih efektif.

2.4.3 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Dalam UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa masyarakat adat turut

berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. Peran serta

masyarakat adat ini perlu didorong oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan di

bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk melaksanakan

peran serta masyarakat tersebut pemerintah dan pemerintah daerah dapat

dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. Selain itu, dalam pembangunan

kehutanan masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan

kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

Mengenai pengurusan hutan, dalam UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan

bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan

hutan ini meliputi kegiatan penyelenggaraan: (1) perencanaan kehutanan; (2)

pengelolaan kehutanan; (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan (4) pengawasan. Namun dalam studi

ini pengurusan hutan lebih difokuskan pada tahapan awal yaitu perencanaan

kehutanan.

Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan

arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan yang

dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta

34

memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan ini

meliputi: (1) inventarisasi hutan; (2) pengukuhan kawasan hutan; (3)

penatagunaan kawasan hutan; (4) pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan

(5) penyusunan rencana kehutanan.

Tahapan pertama dalam perencanaan kehutanan yaitu inventarisasi

hutan yang dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi

tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara

lengkap. Inventarisasi hutan ini dilakukan dengan survei mengenai status dan

keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial

masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hasil inventarisasi hutan ini nantinya

akan menjadi input sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan

neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem

infomasi kehutanan.

Tahapan kedua dalam perencanaan kehutanan adalah pengukuhan

kawasan hutan yang dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas

kawasan hutan. Dalam UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pengukuhan

kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut: (1) penunjukkan

kawasan hutan; (2) penataan batas kawasan hutan; (3) pemetaan kawasan

hutan, dan (4) penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan hutan ini

dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Terkait dengan

tujuan studi ini yaitu merumuskan bentuk peran serta komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD maka pembahasan akan lebih

difokuskan pada perencanaan kehutanan tahap pertama inventarisasi kehutanan

dan tahap kedua pengukuhan kawasan hutan.

2.4.4 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Dalam UU No.23 Tahun 1997 dijelaskan bahwa pemerintah berusaha

untuk meningkatkan kemandirian masyarakat untuk berperan serta dalam

pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu dalam pengelolaan lingkungan hidup

pemerintah berkewajiban untuk menumbuhkan kemitraan dengan masyarakat

dan dunia usaha lainnya dan bersama-sama melakukan pengelolaan lingkungan

hidup secara terpadu.

35

Dalam UU No.23 Tahun 1997 juga terdapat pasal tentang kewenangan

pengelolaan lingkungan hidup yang menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan

kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan

ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat. Kebijaksanaan nasional yang ditetapkan

pemerintah mengandung arti bahwa setiap tahapan dalam pengelolaan

lingkungan hidup merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tahapan

pengelolaan lingkungan hidup yang dimaksud adalah upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,

pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan

pengendalian lingkungan hidup.

2.5 Konsep dan Penerapan Bentuk Peran Serta Masyarakat Adat dalam

Penataan Kawasan Lindung di Beberapa Daerah di Indonesia: Desa

Rantau Layung dan Desa Rantau Buta dan Taman Nasional Gunung

Halimun

Konsep dan penerapan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan

kawasan lindung di beberapa daerah di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan

karakteristik daerah, kebudayaan yang dianut masyarakat adat, dan kebijakan

yang ditetapkan pemerintah. Hal ini dikarenakan konsep dan penerapan bentuk

peran serta masyarakat dalam penataan kawasan lindung pada umumnya

mengacu pada tiga hal tersebut. Berikut ini akan diberikan beberapa contoh

konsep dan penerapan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan kawasan

lindung di beberapa daerah di Indonesia.

2.5.1 Penerapan Pendekatan Adative Collaborative Management (ACM)

dalam Menyelesaikan Masalah Tata Batas Hutan Lindung Gunung

Lumut dengan Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta di

Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur

Salah satu lokasi yang digunakan untuk menerapkan pendekatan ACM

adalah Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi

Kalimantan Timur. Kedua desa tersebut berdampingan dan lertelak di antara

Gunung Lumut dan Sungai Kasungai, sekitar 202 km sebelah timur Balikpapan.

Jaraknya ± 1 km dari hutan Gunung Lumut yang pada tahun 1993 ditetapkan

36

sebagai hutan lindung oleh pemerintah. Sama halnya dengan kondisi hutan di

TNBD, hutan Gunung Lumut telah dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia:

berladang, berkebun wanatani, dan menebang kayu. Kedua desa ini terdapat di

wilayah operasi beberapa perusahaan penebangan kayu skala besar. Luas

wilayah Rantau Buta adalah 18.913 ha dengan penduduk 210 jiwa, sementara

Rantau Layung luasnya 16.546 ha dan berpenduduk 85 jiwa.

Dalam penggunaan dan pengelolaan hutan Gunung Lumut banyak

terlibat pemangku kepentingan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar

masyarakat Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta. Adapun para

pemangku kepentingan di dalam masyarakat Desa Rantau Layung dan Desa

Rantau Buta, yaitu:

Berbagai kelompok tani (perempuan dan laki-laki)

Kaum muda (perempuan dan laki-laki)

Pekerja di hutan (semua laki-laki)

Tetua desa (semua laki-laki)

Elit desa (para pejabat pemerintah resmi dan pemimpin adat)

Disamping pemangku kepentingan yang berasal dari dalam masyarakat

desa itu sendiri, terdapat juga pemangku kepentingan yang berasal dari pihak

luar. Masuknya pihak luar ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada

sumber daya alam desa. Adapun pemangku kepentingan dari pihak luar

masyarakat Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta, Kalimantan Timur,

yaitu:

Desa-desa tetangga (Kasungai, Batu Kajang)

Pekerja hutan dari desa tetangga

Pemiliki peggergajian kayu

Pemerintah kecamatan

Pemerintah kabupaten

Perusahaan penebangan kayu (PT Telaga Mas dan Teguh Maronda Prima)

Tim ACM

Sejak awal tahun 2001, pada saat pemerintah mulai menerapkan

kebijakan desentralisasi, banyak pihak mengharapkan akan terjadinya

perubahan-perubahan yang positif di dalam masyarakat. Kebijakan ini antara lain

berarti bahwa lembaga lokal diberi kewenangan atas pengelolaan hutan di

37

wilayah desanya. Tetapi dukungan pemerintah bagi penerapan desentralisasi

ternyata sangat kurang. Akibatnya, masyarakat dibiarkan sendiri menghadapi

tantangan-tantangan baru dan cenderung rumit yang menyertai desentralisasi ini.

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah seringkali menyebabkan terjadinya

perubahan seperti yang dialami masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung di

Kabupaten Pasir. Ketika pada tahun 1993, Menteri Kehutanan memutuskan

bahwa sebagian hutan di Gunung Lumut menjadi Hutan Lindung secara resmi,

masyarakat tidak dilibatkan ataupun diberitahukan bahwa keputusan semacam

itu akan diambil. Kemudian ketika masyarakat berada di lapangan, mereka

menemukan beberapa patok tanda tapal batas dipancangkan di kebun wanatani

mereka, yang berarti bahwa sebagian dari kebun mereka itu telah dijadikan

wilayah hutan lindung resmi.

Hal ini lah yang melatarbelakangi masuknya Tim ACM ke lokasi

penelilian. Adapun penerapan pendekatan ACM ini digunakan untuk

menyelesaikan masalah tata batas hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa

Rantau Layung dan Desa Rantau Buta. Masyarakat di lokasi penelitian menolak

batas hutan yang telah ditetapkan pemerintah karena beberapa alasan, seperti:

salah satu garis batas melintasi wilayah adat mereka; terdapat garis yang terlalu

dekat dengan batas desa; dan sementara ada juga garis yang cukup jauh dari

batas desa. Hal tersebut menimbulkan kebingungan warga desa tentang garis

batas mana yang benar antara yang ditetapkan pemerintah atau batas adat yang

telah ditetapkan oleh leluhur mereka sejak dulu. Dalam menentukan batas ini,

masyarakat di lokasi penelitian tidak pernah diajak berdiskusi atau dimintai

pendapatnya oleh pemerintah, bahkan tidak ada pemberitahuan kepada kepala

desa. Tim ACM menyarankan agar masyarakat menyampaikan persoalan ini

kepada pemerintah kabupaten.

Kemudian Tim ACM menyelenggarakan lokakarya yang melibatkan

semua pihak, termasuk pemerintah. Dalam lokakarya tersebut semua pihak

berminat untuk berupaya menyelesaikan persoalan tata batas ini. Mereka

menyetujui bahwa penandaan tata batas harus dilakukan secara partisipatif.

Dalam penelitian ini, Tim ACM menggunakan metode Participatory Action

Research (PAR) yang dapat mendorong pihak-pihak kepentingan menarik

pelajaran dan pengalaman melalui observasi, perencanaan, aksi dan refleksi

secara bersama dan terus menerus. Dengan menggunakan PAR, Tim ACM

38

Pemerintah Kabupaten

KABUPATEN PASIR

Masyarakat Rantau Layung

Masyarakat Rantau Buta

Masyarakat desa tetangga

Perusahaan HPH

Perwakilan Rantau Layung

Perwakilan Rantau Buta

Perwakilan masyarakat desa tetangga

Perwakilan perusahaan HPH

mendampingi para pemangku kepentingan dalam menangani pokok-pokok

pembelajaran yang telah mereka prioritaskan. Agar Tim ACM dapat memastikan

kegiatan lapangan menjangkau semua pemangku kepentingan maka dibuatlah

teori yang disebut “platform berjenjang” (nested platform) sepeti gambar 2.1.

Teori tersebut mengatakan bahwa platform yang lebih kecil terlingkupi oleh

platform yang lebih luas dan keduanya saling mempengaruhi karena merupakan

bagian dari satu sistem.

GAMBAR 2.1 PEMBELAJARAN BERSAMA BAGI PARA PEMANGKU KEPENTINGAN

DALAM PLATFORM BERJENJANG (nested platforms)

Sumber: Kusumanto, et.al., 2000

Gambar ini menunjukkan bahwa keputusan yang dibuat oleh pemerintah

tingkat kabupaten atau pada lapisan luar (yang misalnya terjadi pada kebijakan

yang mengatur pemanfaatan hasil hutan) mempengaruhi tindakan pada tingkat

masyarakat (lapisan tengah di gambar). Di sisi lain, tindakan masyarakat

mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat kabupaten. Sebagai contoh,

pengambilan hasil hutan secara berlebihan oleh masyarakat dapat mendorong

pengambil keputusan pemerintah kabupaten untuk menerapkan pengawasan

yang lebih ketat. Jadi, interaksi antara kedua lapisan ini terjadi melalui umpan

balik dua arah. Tim ACM aktif di dua tingkat:

Lapisan paling dalam (pusat lingkaran): untuk menyelenggarakan kegiatan

belajar bagi wakil-wakil para pemangku kepentingan, masyarakat, dan dalam

39

kasus di Pasir para pemangku kepentingan masyarakat dan perusahaan

HPH

Lintas kabupaten (lapisan luar) dan pemangku-pemangku kepentingan (pusat

lingkaran): untuk menyelenggarakan kegiatan bagi wakil masyarakat adat,

pengusaha hasil hutan, dan pengambil keputusan tingkat kabupaten.

Ada dua implikasi lain dari prinsip ini, yakni bagaimana memilih wakil-wakil para

pemangku kepentingan dan bagaimana memastikan terbangunnya mekanisme

agar pembelajaran menjangkau semua pemangku kepentingan.

Adapun yang menjadi ciri khas penerapan ACM adalah terletak pada

proses-proses yang berulang-ulang di dalam PAR. Proses ini melalui tahapan-

tahapan pengamatan, perencanaan, aksi, dan refleksi yang berulang-ulang

(gambar 2.2).

GAMBAR 2.2 BERBAGAI PROSES PEMBELAJARAN YANG DIGUNAKAN DALAM

MEMECAHKAN POKOK PERMASALAHAN LOKAL

Sumber: Kusumanto, et.al., 2000

Adapun proses pembelajaran yang digunakan dalam menyelesaikan masalah

tata batas hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa Rantau Layung dan Desa

Rantau Buta dapat dilihat pada tabel II.2.

TABEL II.2 TAHAPAN PROSES PEMBELAJARAN MEMETAKAN TATA BATAS

TAHAPAN KEGIATAN

Rencana 1 Pada saat lokakarya, peserta merencanakan untuk melakukan survei bersama.

Tim ACM mendampingi peserta.

40

TAHAPAN KEGIATAN

Data yang dikumpulkan peserta dibandingkan dengan data dari Dinas Kehutanan

(Dishut) Kabupaten.

Aksi 1 Tim ACM dan masyarakat melaksanakan survei dan mengumpulkan titik-titik koordinat

garis batas hutan, mengambil foto patok-patok penanda batas dan rambu-rambu tata

batas lainnya, serta informasi tentang tanah masyarakat yang terkena batas.

Titik-titik koordinat dimasukkan ke dalam peta wilayah dan hasilnya dibandingkan dengan

data-data yang ada di Dishut.

Refleksi 1 Dishut mengakui bahwa garis yang letaknya paling jauh dari desa adalah batas yang

benar sedangkan garis yang dekat dengan desa tidak benar.

Perbedaan antar kedua garis itu disebabkan oleh kesalahan petugas lapangan Dishut.

Masyarakat merasa puas dengan penjelasan dari Dishut.

Rencana 2 Masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung membuat rencana bersama untuk

mengundang Desa-Desa Kesunge, Sungai Terik dan Uko agar bergabung dalam

kegiatan pemetaan.

Pertemuan ini membicarakan perbatasan wilayah desa berdasarkan aturan adat yang

nantinya akan dilanjutkan dengan survei lapangan untuk mengumpulkan data untuk

pemetaan.

Masyarakat merencanakan untuk mendapatkan pelatihan tentang pemetaan.

Aksi 2 Masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung menghadiri pertemuan yang direncanakan,

namun wakil-wakil desa lainnya tidak datang namun pelatihan keterampilan pemetaan

batas desa tetap dimulai.

Pelatihan ini mencakup kegiatan bagaimana cara menggunakan peranti sistem

penentuan posisi global atau Global Positioning System (GPS), pengolahan data, dan

bagaiaman memasukkan data ke dalam peta dasar.

Refleksi 2 Pada saat refleksi tidak ada masalah berarti yang muncul.

Rencana 3 Masyarakat kedua desa membuat rencana untuk menyelenggarakan survei bersama.

Aksi 3 Tim ACM bersama masyarakat kedua desa melaksanakan survey lapangan yang terdiri

atas para tokoh adat dan beberapa orang wakil dari kedua desa.

Selama survey lapangan, masyarakat kedua desa dibantu oleh peta dasar dan mereka

menemukan bahwa terdapat banyak tempat yang ternyata belum mereka katehui

sebelumnya.

Selama survei tidak muncul masalah yang berarti sehingga dengan mudah mereka

menyepakati titik-titik batas desa.

Refleksi 3 Selama refleksi, wakil-wakil dari kedua desa saling memastikan bahwa mereka telah

menyetujui batas yang telah disurvei. Masyarakat kedua desa tersebut menyadari bahwa

batas desa yang jelas akan merupakan hal yang sangat penting di masa yang akan

datang.

Pengamatan Beberapa waktu sebelumnya, masyarakat kedua desa mendengar bahwa ada dua

perusahaan HPH yang telah masuk ke wilayah desa mereka. Kedua perusahaan

tersebut beroperasi di dua desa yang berbeda: PT Majau beroperasi di Rantau Buta,

sementara PT WMS di Kesunge. Tidak jelasnya batas antara kedua desa, telah

menyebabkan konflik antara kedua perusahaan tersebut.

Rencana 4 Masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung membuat rencana untuk menindaklanjuti

pemetaan batas desa.

41

TAHAPAN KEGIATAN

Kepala Desa Rantau Buta berencana akan mengunjungi desa-desa tetangganya dan

mengajak mereka untuk bersama-sama membuat peta perbatasan antara desa di

wilayah tersebut. Namun rencana ini ditunda karena yang lebih penting adalah

menyelesaikan konflik antara kedua perusahaan HPH.

Rencana 3.1 Kepala Desa Rantau Buta berencana untuk bertemu dengan para kepala desa desa-

desa tetangga, khususnya Kesunge, untuk memberitahukan mereka tentang konflik yang

terjadi antara kedua perusahaan HPH. Untuk penyelesaian masalah ini, penting bahwa

semua desa di wilayah ini diberitahukan hal tersebut.

Aksi 3.1 Kepala Desa Rantau Buta bertemu dengan para kepala desa lainnya termasuk dari

Kesunge. Wilayah yang dipersengketakan kedua perusahaan HPH terletak di kedua

desa ini. Para kepala desa menindaklanjuti pertemuan ini dengan melakukan pendekatan

kepada Dishut dan kedua perusahaan tersebut.

Refleksi 3.1 Semua pihak menyetujui bahwa kunjungan bersama untuk melihat letak garis batas

antara kedua desa dan mengklarifikasi hal-hal yang tidak disepakati merupakan hal yang

mendesak.

Rencana 3.2 Setelah refleksi, masyarakat kedua desa, kedua perusahaan HPH, dan Dishut berencana

untuk bersama-sama melakukan survei lapangan. Biaya survei tersebut akan ditanggung

oleh kedua perusahaan.

Aksi 3.2 Survei dilakukan bersama sesuai dengan rencana.

Refleksi 3.2 Survei lapangan mengungkapkan bahwa kedua perusahaan beroperasi di wilayah kedua

desa, dan bukannya masing-masing perusahaan di salah satu dari kedua desa seperti

yang mereka sangka sebelumnya. Pemetaan bersama telah menjelaskan hal ini. Setelah

dirundingkan, semua pihak setuju bahwa kedua perusahaan itu akan memberi dana

kompensasi kepada kedua desa.

Sumber: Kusumanto, et.al., 2000

Konsep dan penerapan bentuk peran serta masyarakat di Desa Rantau Layung

dan Desa Rantau Buta dalam menyelesaikan tata batas dapat digambarkan

sebagai berikut:

42

GAMBAR 2.3 BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT DESA RANTAU LAYUNG DAN

DESA RANTAU BUTA DALAM MENYELESAIKAN TATA BATAS

Sumber: Hasil Analisis, 2007

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa bentuk peran masyarakat

adat diawali dengan masuknya Tim ACM dalam Masyarakat Rantau Layung,

Masyarakat Rantau Buta, dan Masyarakat desa tetangga dan saling berinteraksi

untuk melakukan pembelajaran dan saling bertukar informasi. Tim ACM dengan

masyarakat berkerja dan melakukan pembelajaran bersama-sama. Tim ACM

benar-benar menjadi bagian dari masyarakat tersebut dan saling bertukar

pikiran. Hal ini dilakukan agar masyarakat lebih dapat terbuka dan menganggap

Tim ACM merupakan bagian dari mereka. Setelah masyarakat bersama Tim

43

ACM melakukan pembelajaran, kemudian dari masyarakat dipilih beberapa

perwakilan dari mereka. Mekanisme pemilihan wakil mayarakat tersebut

disesuaikan dengan karakteristik budaya yang mereka punya. Namun dalam

setiap perwakilan masyarakat desa selalu didampingi masing-masing kepala

desa dan tokoh adat. Perwakilan masyarakat desa, kepala desa, dan tokoh adat

inilah nantinya yang akan berinteraksi dengan pemerintah dan perusahaan HPH

untuk membuat keputusan bersama.

Jika mengacu pada tingkat partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein

maka peran serta masyarakat adat disini berupa partisipasi yang sesungguhnya

yaitu pada tingkat partnership (kemitraan) yaitu bentuk penggandengan

masyarakat dan civil society lainnya oleh pemerintah dalam melakukan

kegiatan/proyek yang berkaitan dengan kepentingan publik. Mengacu pada

tingkat partisipasi yang dikemukakan Wilcox maka peran serta masyarakat adat

sudah sampai pada tahapan untuk memutuskan dan melakukan hasil keputusan

secara bersama. Memutuskan secara bersama berarti menerima ide-ide orang

lain, dan kemudian mengambil pilihan-pilihan yang dibangun secara bersama

sedangkan melakukan secara bersama berarti pelibatan dan kolaborasi dalam

jangka waktu yang pendek atau membuat hubungan kemitraan yang permanen

dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Output yang diperoleh dari adanya peran serta masyarakat Desa Rantau

Layung dan Desa Rantau Buta bersama-sama dengan pemerintah dan

perusahaan HPH dalam pembuatan keputusan bersama dinilai cukup berhasil

untuk menanggulangi konflik yang ada. Melalui peran serta ini para pemangku

kepentingan menjadi tau bagaimana cara memperkirakan dan merencanakan

masa depan. Output yang lebih penting adalah para pemangku kepentingan

dapat bekerja sama dalam mengatasi masalah serta belajar bersama dari

tindakan dan keputusan mereka yang sebelumnya belum pernah mereka

lakukan. Perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik juga ditunjukkan dengan

terbentuknya rasa saling percaya di antara para pemangku kepentingan dan hal

ini, pada gilirannya, memperbaiki hubungan dan menyeimbangkan perbedaan

kekuasaan di antara mereka. Kualitas jaringan sosial yang sudah ada

meningkat, dan jaringan-jaringan sosial baru terbentuk.

44

2.5.2 Bentuk Peran Serta Masyarakat Adat dalam Penataan Kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun

Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki luas ± 40.000 ha,

yang berada dalam tiga wilayah administrasi pemerintah daerah, yaitu

Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Kebijakan

terakhir yang ditetapkan adalah perluasan kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun menjadi 113.357 ha dengan nama lain Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-

II/2003.

Hampir sama dengan kondisi TNBD, di dalam dan sekitar kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun terdapat masyarakat pribumi Halimun yang

terdiri atas masyarakat adat Kasepuhan dan Baduy (Urang Kanakes) serta

masyarakat adat Halimun. Berdasarkan sejarahnya ada empat tipe asal

masyarakat di kawasan Halimun, yaitu nasyarakat yang dulunya merupakan

pelarian dari kerajaan Pajajaran dan sekarang terkenal dengan Kasepuhan,

masyarakat yang berasal dari laskar Mataram yang memberontak, masyarakat

pelarian dari culture stelsel (dari buruh-buruh perkebunan), dan masyarakat

pelarian pada masa perang kemerdekaan. Melalui sejarah ini dapat diketahui

bahwa masyarakat Halimun telah menetap sejak berabad-abad yang lalu, mulai

tahun 1579.

Di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun juga terdapat beberapa

LSM yang beraktifitas di dalamnya. Namun LSM yang lebih fokus pada interaksi

dengan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Halimun adalah RMI

sejak tahun 1997. RMI menjalin interaksi dengan masyarakat yang berada di

dalam kawasan Halimun, seperti Malasari yang juga terdapat perusahaan

perkebunan Teh PT Nirmala Agung. RMI juga berkeliling dari lokasi ke lokasi di

Kabupaten Bogor (desa Malasari dan Sukajaya, Kecamatan Nanggung),

Sukabumi (di Sirnaresmi) dan Lebak (di Mekarsari, Citorek, Ciusul, Citarik).

Dalam penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun diawali

dengan SK Penunjukan parsial. Dikatakan parsial karena SK penunjukkan makro

sudah ada, tetapi tiba-tiba ada satu organisasi tertentu yang mengatakan bahwa

ada yang belum ditunjuk dan perlu ditetapkan. Setelah dilakukan penunjukan,

kemudian dilakukan penataan batas. Penataan batas ini dilakukan oleh panitia

tata batas yang bekerja sama dengan LSM yang ada, salah satunya adalah RMI.

45

RMI bertugas melakukan survei sosial kepada masyarakat adat yang ada di

dalam kawasan. Dalam penataan batas ini masyarakat adat secara tidak

langsung dapat dikatakan turut berperan serta. Masyarakat adat lebih

mengetahui kondisi di lapangan dibandingkan instansi pemerintah. Segala

informasi yang terdapat di lapangan disampaikan masyarakat adat kepada RMI

karena RMI lah yang telah lama berinteraksi dengan mereka. Survei sosial yang

dilakukan RMI ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang sebanyak-

banyaknya tentang kondisi di lapangan. Informasi yang diperoleh nantinya

disampaikan RMI kepada panitia tata batas.

Setelah itu dilakukan oleh panitia tata batas, maka dibuatlah peta trayek

batas. Peta trayek batas inilah yang nantinya akan diukur dan dipancang patok

sementara oleh petugas yang melakukan tata batas. Kemudian hasil

pemancangan patok ini diumumkan kepada para pemangku kepentingan, agar

mengetahui apakah ada komplain atau tidak. Setelah tidak ada komplain, atau

seandainya ada yang komplain seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, baru

kemudian dilakukan pemancangan batas tetap dan diukur dipetakan kembali.

Hasil akhir yang nantinya dikukuhkan oleh panitia tata batas yang dipimpin oleh

bupati. Hasil pengukuhan oleh panitia tata batas kemudian disampaikan kepada

departemen untuk diperiksa oleh sebuah tim untuk disahkan oleh kepala Baplan

dan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan sebagai penetapan kawasan hutan.

Peran serta masyarakat adat yang dilakukan oleh RMI dalam pemetaan

partispatif untuk menetukan tata batas yaitu dengan mengadakan pertemuan

tingkat kampung. Pertemuan ini cukup sering diadakan RMI dengan

mengundang 26 desa untuk mendapatkan gambaran peta sosial masyarakat.

Peta sosial masyarakat ini lah yang nantinya menjadi input dalam penataan

batas di lapangan. Adapun bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan

kawasan Taman Nasional gunung Halimun dapat digambarkan sebagai berikut:

46

GAMBAR 2.4 BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT ADAT DALAM PENATAAN

KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN

Sumber: Hasil Analisis, 2007

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam penataan kawasan taman

nasional Gunung Halimun, pemerintah secara tidak langsung mengikutsertakan

masyarakat adat. Dikatakan tidak langsung karena masyarakat adat hanya

bertukar pikiran dan melakukan pembelajaran bersama dengan LSM dalam hal

ini adalah RMI. Segala informasi yang dimiliki oleh masyarakat adat tentang

kondisi taman nasional Gunung Halimun disampaikan kepada RMI. Setelah itu,

barulah RMI membawa dan menyampaikan hasil pemikiran dan informasi dari

masyarakat adat kepada pemerintah. Melalui informasi yang diperoleh ini baru

lah pemerintah membuat suatu keputusan yang natinya akan diumumkan

kepada masyarakat adat. Jadi, disini peran serta masyarakat adat hanya sebatas

memberikan informasi dan tidak terlibat dalam pembuatan keputusan.

Jika mengacu pada tingkat partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein

maka peran serta masyarakat adat disini berupa partisipasi semu yang berarti

bahwa tingkat partisipasi dan kedaulatan warga belum dikatakan sepenuhnya

atau masih setengah dari tingkat dari partisipasi sesungguhnya. Peran serta

masyarakat adat berada pada tingkat informing (menginformasikan) yang berarti

47

pemberitahuan dari pemerintah kepada masyarakat perihal kegiatan/proyek yang

hendak dibuat. Hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat adat hanya menerima

informasi tentang keputusan yang diambil oleh pemerintah dan tidak terlibat

dalam pembuatan keputusan tersebut.

Output yang dihasilkan dengan adanya peran serta masyarakat adat

dalam penataan kawasan lindung Gunung Halimun dinilai cukup berhasil untuk

menanggulangi konflik yang terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah.

Dengan adanya peran serta ini masyarakat adat menyadari akan pentingnya

penataan kawasan taman nasional Gunung Halimun. Disini masyarakat adat

merasa dihargai karena dalam membuat keputusan tentang penataan kawasan

taman nasional Gunung Halimun, pemerintah meminta informasi terlebih dahulu

pada masyarakat adat tentang kondisi di lapangan taman nasional Gunung

Halimun.

2.6 Jumlah dan Sebaran Komunitas adat Orang Rimba

Dari hasil sensus lapangan yang dilakukan KKI WARSI (2004), di luar tiga

kelompok yang belum terdata, diperoleh keterangan sementara, jumlah

keseluruhan komunitas adat Orang Rimba yang berada di dalam dan di sekitar

kawasan TNBD, tercatat sebanyak 1.524 orang dengan rincian sebagaimana

terlihat pada tabel 2.3. Dari data yang tercantum dalam tabel 2.3 dapat dilihat

bahwa sebagian besar komunitas adat Orang Rimba di kawasan TNBD dan

ruang sekitarnya, mengambil ruang kehidupan dan penghidupan di belahan

bagian barat (Air Hitam, Makekal Hulu/Hilir dan Kejasung).

Penting untuk dicatat, komunitas adat Orang Rimba umumnya memilih

areal ruang hidup di dataran rendah sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sebaran ruang kehidupan dan penghidupan dari kelompok-kelompok komunitas

ini seperti tergambar dalam gambar 3.3.

TABEL II.3 SEBARAN KOMUNITAS ORANG RIMBA DI DALAM DAN DI LUAR

KAWASAN TNBD MENURUT KELOMPOK DAN LOKASI

No. Kelompok Pemimpin Kelompok

Lokasi Jumlah (Jiwa)

Keterangan

1 Air Hitam

Temenggung Tarib S. Paku Aji 38 Ke-3 kelompok ini masih mempertahankan jati diri dan tradisi kehidupan alam hutan.

Betaring S. Semapuy 50

Nyuyut S. Semapuy Ulu 16

48

No. Kelompok Pemimpin Kelompok

Lokasi Jumlah (Jiwa)

Keterangan

Segrip/Nugraha

TSM Air Panas 76

Sudah memeluk agama Islam dan menjadi warga masyarakat desa Bukit Suban.

Temenggung Majid S. Keruh 76 Sebagian anggota kelompok sudah memeluk agama Islam dan sudah mengorientasikan diri dengan masyarakat desa.

2

Makekal

Temenggung Mirak S. Gemuruh 134 Masih mempertahankan jati diri dan tradisi kehidupan alam hutan.

Menti Ngandun Tuha S. Pengelaworan 103

Setapak S. Aek Behan 90

Temenggung Ngukir S. Bernai Ulu 100

Wakil Tuha Pelindung S. Sako Nini Tuo 67

Depati Pangelam S. Bernai 65

Depati Laman Senjo S. Sungkai/S. Tabir 41

Temenggung Nggrib S. Kedundung Muda 83 Sebagian anggota kelompok sudah mengorientasikan diri dengan masyarakat desa.

Mangku Tuha Besuai S. Sako Jernang 146

Laman S. Tengkuyungon 29 Sudah mengorientasikan diri dengan masyarakat desa.

Temenggung Tuha Bayu

S. Depari/Seranten 14 Sebagian besar anggota kelompok pindah ke TNBT.

3 Kejasung

Temenggung Celetai S. Kejasung Besar Ulu

65 Sudah mengorientasikan diri dengan lingkungan desa.

Temenggung Meladang

S. Kejasung Besar Ulu

72

Temenggung Besulit S. Kejasung Kecil Ulu 49

Depati Gerak S. Keruh Ulu 35 Masih mempertahankan jati diri dan tradisi kehidupan alam hutan.

4

Terab-Serengam

Temenggung Mariytua Temenggung Nggirang

Ke-2 kelompok ini bergabung di S. Terab

144 Masih mempertahankan jati diri dan tradisi kehidupan alam hutan.

Temenggung Kecik S. Kejasung Kecil Ulu 31

Temenggung Mulung S. Kejasung Kecil Ulu - Tidak ada data

Temenggung Ngamal S. Jernang - Tidak ada data

Temenggung Nyenong S. Sakolado - Tidak ada data

Total 1.524 Sumber: KKI WARSI, 2004

Dari data pada tabel 2.3 dapat dilihat bahwa 26 kelompok Orang Rimba di

kawasan TNBD dan sekitarnya, 17 diantaranya masih mempertahankan jati diri

dan tradisi kehidupan alam hutan dan relatif belum sepenuhnya terjangkau oleh

sistem administrasi dan pelayanan publik. Sedangkan 9 kelompok lainnya,

sebagian atau keseluruhan anggota kelompok, sudah mengorientasikan diri

dengan kehidupan lingkungan luar atau menjadi warga masyarakat desa.

Terhadap mereka yang sudah mengorientasikan diri dengan lingkungan luar atau

menjadi warga masyarakat desa, ada hal penting yang perlu dicatat yaitu

keterkaitan hubungan kehidupan dan penghidupan dengan alam hutan masih

tetap dipertahankan.

49

Ditopang oleh kenyataan bahwa sudah ada beberapa kelompok

komunitas adat Orang Rimba yang telah berhasil mengorientasikan diri dengan

kehidupan lingkungan luar atau menjadi warga masyarakat desa, memberikan

keyakinan bahwa melalui proses pemberdayaan yang terprogram dan berlanjut,

pada saatnya komunitas adat Orang Rimba akan mampu menanggalkan status

sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT).

GAMBAR 2.5 FOTO BERSAMA KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA

Sumber: Hasil Survei, 2007

GAMBAR 2.6

FOTO SALAH SATU TEMPAT TINGGAL KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA

Sumber: Hasil Survei primer, 2007

50

Gam

bar

2.7

Peta

Sebar

an K

om

unitas

Adat O

rang R

imba

Tahun 2

002

51

2.7 Kesimpulan Tinjauan Teori

Sesuai dengan tujuan studi ini yaitu merumuskan bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD maka

perlu untuk mengkaji beberapa teori yang terkait dengan tujuan studi tersebut.

Terkait dengan teori peran serta komunitas adat Orang Rimba maka perlu dikaji

terlebih dahulu teori peran serta/partisipasi masyarakat dalam penataan ruang

secara umum.

Pengertian peran serta/patisipasi sudah banyak dipaparkan oleh para

ahli. Salah satunya yang dikemukakan oleh White dalam Sastropoetro (1988),

partisipasi masyarakat adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif

dalam pengambilan keputusan atau pelaksanannya terhadap proyek-proyek

pembangunan untuk masyarakat. Menurut Dusseldorp dalam Slamet (1993)

terdapat dua tipe partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan, yaitu :

Partisipasi bebas dan partisipasi terpaksa. Partisipasi bebas terjadi bila seorang

individu melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif

tertentu baik secara spontan maupun terbujuk. Secara spontan berdasarkan

pada keyakinan tanpa dipengaruhi melalui penyuluhan atau ajakan oleh

lembaga-lembaga atau orang lain, sedangkan secara terbujuk maksudnya

masyarakat berpartisipasi setelah diyakinkan melalui program penyuluhan atau

oleh pengaruh orang lain. Disamping itu dengan adanya beberapa penjelasan

teori tentang konsep tingkat partisipasi dari para ahli dapat membantu studi ini

untuk mengetahui sampai pada tingkat mana seharusnya peran serta/partsipasi

masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung.

Adapun pentingnya dilakukan pembahasan tentang peran

serta/partisipasi masyarakat dalam penataan ruang secara umum karena taman

nasional merupakan suatu ruang yang berfungsi sebagai kawasan lindung.

Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung tentunya

berbeda dengan penataan ruang seperti biasanya. Dalam penataan kawasan

lindung terdapat masyarakat adat (dapat dikatakan cukup terbelakang) yang

secara turun temurun telah menjadikan kawasan lindung tersebut sebagai

tempat kehidupan dan penghidupan mereka. Masyarakat adat yang dimaksud ini

tentunya berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang dilibatkan dalam

penataan ruang.

52

Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,

baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,

serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan

taman wisata alam.

Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan

rekreasi. Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu taman

nasional di Indonesia, yang ditunjuk melalui SK Menteri Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000 dengan tujuan sebagai kawasan

penghidupan dan kehidupan komunitas adat Orang Rimba.

Penunjukkan status kawasan menjadi taman nasional tidak hanya

berhenti disitu saja, namun yang lebih penting ke depannya adalah bagaimana

konsep pengelolaan yang akan dilaksanakan. Hampir semua taman nasional di

Indonesia mengalami masalah dalam tahapan pengelolaannya. Hal ini

disebabkan bahwa dalam pengelolaan taman nasional banyak melibatkan

berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dinas kehutanan,

dan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar taman nasional.

Untuk kedepannya, taman nasional perlu dikelola oleh berbagai

pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Dalam pengelolaannya, taman

nasional dibagi kedalam zona, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan

zona lain sesuai dengan keperluan. Penataan zona bertujuan untuk membatasi

akses manusia kedalam/keluar kawasan taman nasional, seperti zona inti

merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak

diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Penataan zona

seringkali menimbulkan permasalahan antara pemerintah, perusahaan HPH, dan

masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan taman nasional.

2.7.1 Skenario Bentuk Peran Serta Masyarakat Adat dalam Penataan

Kawasan Taman Nasional

Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai penyusunan skenario bentuk

peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional.

53

Pembahasan yang akan dilakukan meliputi dasar penyusunan skenario dan

penjelasan dari masing-masing yang telah dirumuskan.

2.7.1.1 Dasar Penyusunan Skenario

Dalam merumuskan skenario bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional, ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam

penyusunan skenario tersebut, yaitu:

a. Aspek Normatif

Berdasarkan penjelasan mengenai peraturan perundangan yang mengatur

mengenai bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan

taman nasional yang telah dijelaskan sebelumnya, maka terdapat beberapa

bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman

nasional. Dasar dari perumusan bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional adalah UU No.26 Tahun 2007 tentang

penataan ruang. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa selain berperan serta

dalam penataan ruang, masyarakat adat juga berperan dalam penataan

kawasan lindung. Lebih rinci dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan bahwa penataan kawasan taman

nasional merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Jadi semua urusan

yang berhubungan dengan penataan kawasan taman nasional diambil alih

oleh pemerintah pusat, termasuk urusan peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional. Dari penjelasan undang-undang tersebut

maka bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman

nasional langsung kepada pemerintah pusat tanpa adanya pihak perantara

diantara keduanya. Namun dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa dalam

rangka penataan kawasan lindung, pemerintah pusat dapat menyerahkan

sebagian urusan di bidang tersebut kepada pemerintah daerah. Dalam UU

No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa untuk meningkatkan peran serta

masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati hutan. Selanjutnya

dalam UU no.41 Tahun 1999 juga dijelaskan bahwa dalam rangka berperan

serta dalam penataan kawasan lindung, masyarakat adat dapat meminta

pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada LSM, pihak lain, atau

54

pemerintah. Oleh karena itu berdasarkan UU No.5 Tahun 1990 dan UU

No.41 Tahun 1999 maka bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional dapat melalui perantara atau pihak ketiga

kepada pemerintah pusat. Perantara atau pihak ketiga antara masyarakat

adat dengan pemerintah pusat berdasarkan penjelasan undang-undang,

dapat berupa pemerintah daerah saja, LSM saja, atau kerjasama antara

pemerintah daerah dengan LSM.

TABEL II.4 PERBEDAAN BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT ADAT DALAM PENATAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL MENURUT PERATURAN

PERUNDANGAN Aspek UU No.23 tahun 1997 UU No.5 Tahun 1990 UU No.41 Tahun 1999

Bentuk Peran Serta Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

langsung kepada pemerintah pusat tanpa perantara atau pihak

ketiga

Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara pemerintah daerah kepada pemerintah pusat

Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara LSM kepada pemerintah pusat

Sumber: Hasil Analisis, 2007

b. Tinjuan Literatur

Dalam penyusunan skenario, kajian literatur digunakan untuk memberikan

gambaran tantang bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan

kawasan taman nasional. Tinjauan literatur yang digunakan sebagai acuan

adalah:

1. Tinjauan literatur mengenai bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional Gunung Halimun

Dari tinjuan literatur mengenai bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional Gunung Halimun maka bentuk peran

serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional Gunung

Halimun tidak langsung karena melalui perantara LSM dalam hal ini

adalah RMI. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam UU No.41 Tahun

1999 bahwa pemerintah dapat dibantu oleh LSM. Dikatakan tidak

langsung karena masyarakat adat hanya sekedar memberikan informasi

tentang peta sosial yang mereka miliki kepada RMI. Kemudian RMI yang

membawa dan menyampaikan hasil survei sosial yang mereka peroleh

dari masyarakat adat kepada pemerintah pusat. Melalui hasil survei sosial

55

yang diperoleh ini, pemerintah menetapkan status kawasan taman

nasional yang nantinya akan diumumkan kepada masyarakat adat. Jadi,

disini peran serta masyarakat adat tidak berinteraksi langsung dengan

pemerintah pusat tetapi hanya beriteraksi dengan LSM. LSM disini hanya

berperan sebagai penerus informasi (penyambung lidah) antara

masyatakat lokal dan pemerintah pusat.

2. Tinjuan literatur mengenai penerapan pendekatan Adative Collaborative

Management (ACM) dalam menyelesaikan masalah tata batas hutan

lindung Gunung Lumut dengan Desa Rantau Layung dan Desa Rantau

Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur

Dari tinjauan literatur mengenai penerapan pendekatan Adative

Collaborative Management (ACM) dalam menyelesaikan masalah tata

batas hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa Rantau Layung dan

Desa Rantau Buta maka bentuk peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan hutan lindung dibantu melalui Tim ACM.. Bentuk

peran serta masyarakat adat disini adalah masyarakat Desa Rantau

Layung, Desa Rantau Buta, dan masyarakat desa tetangga yang telah

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran bersama Tim ACM dipilih

beberapa perwakilan dari mereka. Perwakilan masyarakat desa, kepala

desa, dan tokoh adat inilah nantinya yang akan berinteraksi dengan

pemerintah dan perusahaan HPH untuk membuat keputusan bersama

dalam penataan kawasan hutan lindung.

Jadi, pada tinjauan literatur kedua ini, peran LSM tidak hanya sebatas

penerus informasi (penyambung lidah) saja tetapi juga melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran bersama dengan masyarakat adat

sebelum berperan serta dalam penataan kawasan hutan lindung.

2.7.1.2 Skenario Bentuk Peran Serta Masyarakat Adat dalam Penataan

Kawasan Taman Nasional

Berdasarkan pada dasar penyusunan skenario di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa secara garis besar terdapat lima skenario bentuk peran serta

masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional. Adapun hal yang

mendasari penyusunan kelima skenario tersebut adalah UU No.26 Tahun 2007

yang menjelaskan bahwa selain berperan serta dalam penataan ruang,

56

masyarakat adat juga berperan serta dalam penataan kawasan taman nasional.

Kelima skenario tersebut yaitu:

1. Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

langsung kepada pemerintah pusat. Dasar penyusunan skenario pertama ini

yaitu berdasarkan UU No.23 Tahun 1997 dijelaskan bahwa penataan

kawasan taman nasional merupakan kewenangan dari pemerintah pusat.

Semua urusan yang terkait dalam penataan kawasan taman nasional diatur

dan ditentukan oleh pemerintah pusat termasuk urusan peran serta

masyarakat adat. Dalam UU yang sama juga dijelaskan bahwa dalam

penataan kawasan taman nasional, pemerintah pusat perlu memperhatikan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat. Jadi bentuk peran serta

masyarakat adat dalam skenario pertama ini adalah peran serta masyarakat

adat dalam penataan kawasan taman nasional langsung kepada pemerintah

pusat.

2. Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Berdasarkan

UU No.5 Tahun 1990 dijelaskan bahwa dalam penataan kawasan taman

nasional, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan peran serta

masyarakat adat kepada pemerintah daerah. Penyerahan urusan peran serta

masyarakat adat bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penataan kawasan

taman nasional. Dalam UU yang sama juga dijelaskan bahwa, pemerintah

pusat perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran serta

masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional. Oleh karena itu,

mengacu kepada peraturan perundangan tersebut maka urusan yang dapat

diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah urusan

peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

karena dengan alasan pemerintah daerah memiliki akses yang lebih dekat

dengan taman nasional dan masyarakat adat. Jadi bentuk peran serta

masyarakat adat dalam skenario kedua ini adalah peran serta masyarakat

adat dalam penataan kawasan taman nasional melalui perantara pemerintah

daerah kepada pemerintah pusat. Pemerintah daerah yang dimaksud bisa

pemerintah provinsi saja atau pemerintah kabupaten saja atau kerjasama

antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

57

3. Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara LSM dimana LSM hanya berperan sebagai penerus

informasi (penyambung lidah) antara masyatakat lokal dan pemerintah pusat.

Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan

peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati

hutan. Oleh karena itu mengacu kepada peraturan perundangan tersebut

maka pemerintah pusat dapat meminta bantuan kepada LSM sebagai

perantara masyarakat adat dengan pemerintah pusat. Berdasarkan kajian

literatur mengenai bentuk peran serta masyarakat adat dalam penataan

kawasan taman nasional Gunung Halimun maka pada skenario ketiga ini,

LSM hanya berperan sebagai penerus informasi (penyambung lidah) antara

masyarakat adat dan pemerintah pusat.

4. Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara LSM kepada pemerintah pusat. Dasar penyusunan

skenario keempat ini sama dengan skenario ketiga yaitu UU No.41 Tahun

1999 yang menjelaskan bahwa LSM dapat berperan sebagai perantara

masyarakat adat dengan pemerintah pusat dalam penataan kawasan taman

nasional. Dari tinjauan literatur mengenai penerapan pendekatan Adaptive

Collaborative Management (ACM) dalam menyelesaikan masalah tata batas

hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa Rantau Layung dan Desa Rantau

Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur maka pada skenario

keempat ini, LSM tidak hanya berperan sebagai penerus informasi

(penyambung lidah) saja tetapi sebagai pelaksana pemberdayaan dan

pembelajaran bagi masyarakat adat sebelum berperan serta dalam penataan

kawasan taman nasional.

5. Peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional

melalui perantara kerjasama antara LSM dan pemerintah daerah kepada

pemerintah pusat. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1990 dijelaskan bahwa

dalam penataan kawasan taman nasional, pemerintah pusat dapat

menyerahkan urusan peran serta masyarakat adat kepada pemerintah

daerah. Disamping itu dalam UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa dalam

melaksanakan peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman

nasional pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum

58

pemerhati hutan atau LSM. Skenario kelima ini dapat dikatakan sebagai

penggabungan antara skenario kedua dan keempat karena menggunakan

dua dasar peraturan perundangan yaitu UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.41

Tahun 1991. Hasil perumusan dari skenario kelima ini adalah bentuk peran

serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional melalui

perantara kerjasama antara LSM dan pemerintah daerah. Skenario ini juga

mengacu pada tinjauan literatur mengenai penerapan pendekatan Adaptive

Collaborative Management (ACM) dalam menyelesaikan masalah tata batas

hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa Rantau Layung dan Desa Rantau

Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur maka kerjasama antara

LSM dan pemerintah daerah berperan dalam pelaksanaan pemberdayaan

dan pembelajaran terhadap masyarakat adat sebelum mereka berperan serta

dalam penataan kawasan taman nasional. Disini kerja sama tersebut dapat

berupa kerjasama antara LSM dengan pemerintah provinsi atau kerjasama

antara LSM dengan pemerintah kabupaten.

2.7.2 Alternatif Bentuk Peran Serta Komunitas Adat Orang Rimba dalam

Penataan Kembali Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai beberapa alternatif yang

berhasil dirumuskan beserta dengan hal yang mendasarinya. Selain itu juga

akan dijelaskan mengenai fungsi dan peran dari pemerintah dan LSM dalam

setiap alternatif yang ada.

2.7.2.1 Alternatif 1

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, disebutkan

dalam UU No.23 Tahun 1997 bahwa penataan kawasan taman nasional

merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Semua urusan yang

berhubungan dengan penataan kawasan taman nasional diambil alih oleh

pemerintah pusat tanpa harus melibatkan dan meminta bantuan kepada pihak

lain seperti pemerintah daerah atau LSM. Semua urusan dalam penataan

kawasan taman nasional tersebut juga termasuk urusan peran serta masyarakat

adat dalam penataan kawasan taman nasional yang dilaksanakan oleh

pemerintah pusat. Dengan kata lain kewenangan peran serta masyarakat adat

dalam penataan kawasan taman nasional juga dipegang oleh pemerintah pusat.

59

Jadi, pemerintah pusat yang menentukan sejauh mana tingkat peran serta

masyarakat adat dalam penataan kawasan taman nasional. Dalam UU No.23

Tahun 1997 juga dijelaskan bahwa dalam menetapkan kawasan taman nasional,

pemerintah pusat tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

adat. Salah satu langkah yang diambil pemerintah pusat dalam memperhatikan

nilai-nilai tersebut yaitu dengan mengumpulkan berbagai informasi tentang peta-

peta sosial yang dimiliki masyarakat adat. Oleh karena itu, alternatif pertama ini

merupakan pengembangan dari skenario pertama dimana bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD lebih

tepat langsung kepada pemerintah pusat.

Asumsi yang digunakan pada alternatif pertama ini adalah peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD diatur

dan ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa harus meminta bantuan kepada

pihak lain seperti LSM dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat langsung

mengurus peran serta komunitas adat Orang Rimba yang letaknya tersebar di

dalam TNBD. Pemerintah pusat menentukan sejauh mana tingkat peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas adat Orang Rimba.

Langkah pemerintah pusat dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

memperhatikan nilai-nilai tersebut yaitu mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya sebatas memberikan

informasi tentang peta-peta sosial yang mereka miliki.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seluruh tahapan dalam

pengukuhan kawasan taman nasional akan dilaksanakan oleh pemerintah pusat

termasuk pelaksanaan peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan TNBD. Tahapan tersebut dimulai dari penunjukkan

kawasan taman nasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Tahapan awal

ini sama untuk semua alternatif dimana penunjukkan kawasan TNBD selalu

dilakukan oleh pemerintah pusat karena kewenangan penunjukkan ada di

pemerintah pusat. Selanjutnya untuk bentuk peran serta komunitas adat Orang

Rimba pada alternatif pertama ini, pemerintah pusat langsung mengirimkan Tim

TNBD ke lapangan untuk melakukan survei sosial terhadap kondisi TNBD dan

komunitas adat Orang Rimba. Tim TNBD dari pemerintah pusat langsung

berinteraksi dengan kepala adat dan beberapa perwakilan kelompok dari

60

komunitas adat Orang Rimba hanya untuk menanyakan informasi tentang peta-

peta sosial yang mereka miliki di lapangan. Setelah Tim TNBD dari pemerintah

pusat menerima informasi tentang peta-peta sosial dari komunitas adat Orang

Rimba maka Tim TNBD melakukan penataan batas dan penataan zona di dalam

TNBD. Tahapan terakhir adalah penetapan kawasan taman nasional oleh

pemerintah pusat setelah menerima hasil penataan batas dan penataan zona di

dalam TNBD dari tim TNDB di lapangan. Jadi pada alternatif pertama ini, peran

serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD

hanya sebatas memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang mereka

miliki di lapangan.

Jika ditinjau dari kriteria kelompok serta maka pada alternatif pertama ini

bentuk peran serta akan menjadi lebih mudah karena kelompok serta hanya

terdiri dari ketua adat dan beberapa perwakilan kelompok komunitas adat Orang

Rimba, pemerintah pusat, dan para pemangku kepentingan lainnya. Ditinjuan

dari kriteria cara serta pun, alternatif pertama ini jauh lebih mudah dan

sederhana karena komunitas adat Orang Rimba langsung berinteraksi dengan

Tim TNBD dari Pemerintah pusat hanya untuk memberikan informasi tentang

peta-peta sosial yang dimiliki komunitas adat Orang Rimba di lapangan sehingga

waktu yang dibutuhkan untuk berperan serta pun tidak terlalu lama.

2.7.2.2 Alternatif 2

Alternatif kedua ini merupakan pengembangan dari skenario kedua

karena berdasarkan UU No.5 Tahun 1990 dijelaskan bahwa dalam rangka

penataan kawasan taman nasional, pemerintah pusat dapat menyerahkan

urusan peran serta masyarakat adat kepada pemerintah daerah. Dalam UU yang

sama juga dijelaskan bahwa pemerintah pusat perlu meningkatkan kesadaran

akan pentingnya peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan taman

nasional. Berdasarkan tinjauan literatur mengenai gambaran tentang komunitas

adat Orang Rimba diketahui bahwa letak komunitas adat Orang Rimba tersebar

di dalam TNBD di Provinsi Jambi. Mereka menjalani kehidupan secara

berkelompok dimana masing-masing kelompok dipimpin oleh kepala adat. Hal ini

terkait dengan letak TNBD sendiri yang berada di Provinsi Jambi maka untuk

meningkatkan efektifitas penataan kawasan taman nasional maka pemerintah

pusat menyerahkan urusan peran serta masyarakat adat kepada pemerintah

61

provinsi. Jadi, pada alternatif kedua ini bentuk peran serta komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD lebih tepat melalui perantara

pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat.

Salah satu asumsi pada alternatif kedua ini adalah langkah yang diambil

oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan kesadaran peran serta tersebut

adalah dengan melalukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu

terhadap komunitas adat Orang Rimba. Pemerintah pusat mempersiapkan

komunitas adat Orang Rimba agar mereka dapat berperan serta lebih jauh dalam

penataan kembali kawasan TNBD. Urusan pelaksanaan pemberdayaan dan

pembelajaran komunitas adat Orang Rimba ini diserahkan pemerintah pusat

kepada pemerintah provinsi. Disamping itu pemerintah pusat menganggap

bahwa pemerintah kabupaten tidak dapat dan sanggup untuk melaksanakan

peran serta komunitas adat Orang Rimba maka urusan peran serta ini

sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Dengan demikian tahapan awal pelaksanaan peran serta komunitas adat

Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yaitu pemerintah pusat

bersama komunitas adat Orang Rimba melaksanakan pemberdayaan dan

pembelajaran secara bersama. Pemberdayaan dan pembelajaran komunitas

adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang dimaksud

dalam studi ini mencakup penggunaan GPS dan teknik pemetaan secara

sederhana. Setelah melakukan pemberdayaan dan pembelajaran maka

pemerintah provinsi, komunitas adat Orang Rimba, dan para pemangku

kepentingan lainnya melaksanakan penataan batas dan penataan zona di dalam

TNBD. Penetapan kawasan TNBD dilakukan oleh pemerintah pusat setelah

menerima hasil penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD dari

pemerintah provinsi.

Dengan demikian tahapan awal pelaksanaan peran serta komunitas adat

Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yaitu pemerintah pusat

meminta bantuan kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran bersama komunitas adat Orang Rimba agar

mereka dapat ikut berperan serta lebih jauh dalam penataan kembali kawasan

TNBD. Pemberdayaan dan pembelajaran yang dimaksud dalam studi ini adalah

komunitas adat Orang Rimba terlebih dahulu diajarkan bagaimana cara

penggunaan GPS dan melakukan pemetaan secara sederhana. Pelaksanaan

62

pemberdayan dan pembelajaran ini membutuhkan waktu yang cukup lama

karena komunitas adat Orang Rimba benar-benar diajarkan dari dasar hingga

mereka bisa menggunakan GPS dan melakukan pemetaan secara sederhana.

Komunitas adat Orang Rimba langsung berinteraksi dengan pemerintah

provinsi untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran secara bersama-

sama. Setelah itu, komunitas adat Orang Rimba menerapkan hasil

pemberdayaan dan pembelajaran bersama tersebut dengan cara ikut berperan

serta dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD bersama

pemerintah provinsi dan para pemangku kepentingan lain. Hasil penataan batas

dan penataan zona di dalam TNBD kemudian diputuskan dan disepakati

bersama oleh komunitas adat Orang Rimba, pemerintah provinsi, dan para

pemangku kepentingan lain. Peran serta komunitas adat Orang Rimba pada

alternatif kedua ini sudah sampai pada tingkat pengambilan keputusan bersama

pemerintah provinsi dan para pemangku kepentinga lain dalam penataan batas

dan penataan zona di dalam TNBD. Kemudian pemerintah pusat menetapkan

status kawasan TNBD setelah menerima hasil penataan batas dan penataan di

dalam TNBD dari pemerintah provinsi.

Alternatif kedua ini ditinjau dari kriteria lingkup serta maka lingkup serta

komunitas adat Orang Rimba cukup tinggi karena sudah sampai pada tingkat

pengambilan keputusan bersama dalam penataan batas dan penataan zona di

dalam TNBD bersama pemerintah provinsi, dan para pemangku kepentingan

lainnya. Dengan adanya pengambilan keputusan bersama dalam penataan batas

dan penataan zona di dalam TNBD diharapkan keputusan bersama tersebut

dapat diterima oleh semua para pemangku kepentingan dan tidak menimbulkan

berbagai kritik dari komunitas adat Orang Rimba. Namun jika ditinjau dari kriteria

kelompok serta dan cara serta maka alternatif kedua ini cukup rumit karena

kelompok serta terdiri dari komunitas adat Orang Rimba, pemerintah provinsi,

pemerintah pusat, dan para pemangku kepentingan lainnya. Cara peran serta

juga menjadi cukup rumit karena pemerintah provinsi harus melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran komunitas adat Orang Rimba terlebih dahulu

yang memerlukan waktu yang cukup lama.

63

2.7.2.3 Alternatif 3

Alternatif ketiga ini masih merupakan pengembangan dari skenario kedua

dimana bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara pemerintah daerah. Dasar

penyusunan alternatif ketiga ini mengacu pada skenario kedua yaitu UU No.5

Tahun 1990. Pada tinjauan literatur tentang gambaran komunitas adat Orang

Rimba yang telah dijelaskan sebelumya bahwa komunitas adat Orang Rimba

letaknya tersebar di dalam dan sekitar TNBD. Letak komunitas adat Orang

Rimba ini tersebar di tiga kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten

Sarolangun Bangko, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tebo. Mengacu pada

gambaran komunitas adat Orang Rimba tersebut maka pemerintah pusat lebih

tepat menyerahkan urusan pelaksanaan peran serta komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD kepada pemerintah kabupaten.

Alasan pemerintah pusat menyerahkan urusan pelaksanaan peran serta ini

kepada pemerintah kabupaten adalah karena akses pemerintah kabupaten lebih

dekat kepada komunitas adat Orang Rimba dan TNBD daripada pemerintah

pusat. Melalui akses yang dekat tersebut maka pelaksanaan peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD akan

menjadi lebih efektif.

Asumsi yang digunakan pada alternatif ketiga ini hampir sama dengan

alternatif kedua dimana untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran

serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD

maka pemerintah pusat mengambil langkah untuk melaksanakan pemberdayaan

dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba sebelum mereka ikut

berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD. Pemberayaan dan

pembelajaran ini dilakukan agar mereka dapat berperan serta lebih jauh dalam

penataan kembali kawasan TNBD. Asumsi lain yang digunakan pada alternatif

ketiga ini adalah pemerintah kabupaten dapat dan sanggup untuk melaksanakan

urusan peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali

kawasan TNBD. Jadi, pada alternatif ketiga ini bentuk peran serta komunitas

adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD lebih tepat melalui

perantara pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.

Tahapan awal peran serta dalam skenario ketiga ini adalah pelaksanaan

pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba di

64

masing-masing kabupaten yang dilakukan bersama dengan pemerintah

kabupaten. Setelah melakukan pemberdayaan dan pembelajaran maka

pemerintah kabupaten bersama komunitas adat Orang Rimba melaksanakan

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD di lapangan dengan

menerapkan hasil pemberdayaan dan pembelajaran yang telah didapat. Hasil

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD disampaikan langsung oleh

masing-masing pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat. Pemerintah

pusat mengolah dan menyatukan hasil penataan batas dan penataan zona di

dalam TNBD dari masing-masing kabupaten untuk kemudian ditetapkan

statusnya menjadi kawasan TNBD.

Kelebihan alternatif ketiga ini hampir sama dengan alternatif kedua jika

ditinjau dari kriteria lingkup serta dimana peran serta komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kawasan TNBD sudah sampai pada tahapan

pengambilan keputusan bersama dalam penataan batas dan penataan zona di

dalam TNBD. Keputusan yang diambil bersama tersebut diharapkan dapat

diterima oleh para pemangku kepentingan, terutama komunitas adat Orang

Rimba. Kelemahan alternatif ini sama dengan alternatif kedua dimana diperlukan

waktu yang cukup lama bagi pemerintah kabupaten untuk melaksanakan

pemberdayaan dan pemberdayaan bersama komunitas adat Orang Rimba.

2.7.2.4 Alternatif 4

Alternatif keempat ini masih merupakan pengembangan dari skenario

kedua dimana perantara peran serta antara komunitas adat Orang Rimba

dengan pemerintah pusat adalah pemerintah daerah. Disini pemerintah pusat

masih merasa perlu untuk menyerahkan urusan peran serta komunitas adat

Orang Rimba kepada pemerintah daerah dengan alasan akses pemerintah yang

lebih dekat kepada komunitas adat Orang Rimba. Gambaran komunitas adat

Orang Rimba yang menjelaskan bahwa letak komunitas adat Orang Rimba

tersebar di dalam dan sekitar TNBD yang mencakup tiga kabupaten di Provinsi

Jambi sehingga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten merasa perlu

bekerja sama untuk melaksanakan peran serta komunitas adat Orang Rimba

dalam penataan kembali kawasan TNBD. Peran pemerintah pusat disini adalah

mengatur pembagian urusan peran serta antara pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten sehingga tidak saling tumpang tindih. Fokus pemerintah

65

kabupaten adalah melaksanakan peran serta komunitas adat Orang Rimba di

kabupaten masing-masing sedangkan fokus pemerintah provinsi adalah

mengkoordinasikan pemberdayan dan pembelajaran komunitas adat Orang

Rimba yang dilakukan bersama pemerintah kabupaten. Jadi pada alternatif

ketiga ini bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD lebih tepat melalui perantara kerjasama antara

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.

Alternatif keempat ini juga mengambil asumsi bahwa untuk meningkatkan

kesadaran akan pentingnya peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan TNBD maka pemerintah pusat mengambil langkah

untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat

Orang Rimba sebelum mereka ikut berperan serta dalam penataan kembali

kawasan TNBD. Setelah pemberdayaan dan pembelajaran dilaksanakan maka

komunitas adat Orang Rimba, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan

para pemangku kepentingan lain melaksanakan penataan batas dan penataan

zona di kabupaten masing-masing. Pemerintah provinsi kemudian mengolah dan

menggabungkan hasil penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD di

masing-masing kabupaten sebelum diserahkan kepada pemerintah pusat.

Setelah hasil penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD digabungkan

dari tiap-tiap kabupaten maka pemerintah provinsi menyampaikan hasil tersebut

kepada pemerintah pusat. Melalui hasil penataan batas dan penataan zona di

dalam TNBD secara keseluruhan ini pemerintah pusat menetapkan kawasan

TNBD.

Kelebihan alternatif keempat ini sama dengan alternatif kedua dan ketiga

jika ditinjau dari kriteria lingkup serta dimana komunitas adat Orang Rimba

bersama pemerintah provinsi, pemerintah kabupetan, dan para pemangku

kepentingan lain membuat keputusan bersama dalam penataan batas dan

penataan zona di dalam TNBD sehingga keputusan tersebut dapat diterima

secara bersama. Kelemahan pada alternatif keempat ini terletak pada kriteria

kelompok serta karena melibatkan komunitas adat Orang Rimba, pemerintah

kabupetan, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan para pemangku

kepentingan lain sehingga memerlukan waktu yang lama dalam melaksanakan

peran serta komunitas adat Orang Rimba tersebut.

66

2.7.2.5 Alternatif 5

Alternatif kelima ini berbeda dengan alternatif-alternatif sebelumnya

karena dikembangkan dari skenario yang berbeda pula yaitu skenario ketiga.

Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan

peran serta masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung pemerintah dan

pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati hutan atau LSM. Jadi

pada alternatif kelima ini bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara LSM. Disamping itu,

berdasarkan tinjauan literatur mengenai bentuk peran serta masyarakat adat

dalam penataan kawasan taman nasional Gunung Halimun maka peran LSM

disini hanya sebatas penerus informasi (penyambung lidah) antara komunits adat

Orang Rimba dan pemerintah pusat. Berdasarkan kajian literatur dan asumsi

yang digunakan maka pada alternatif ini LSM tidak menjadi bagian dari

komunitas adat Orang Rimba sehingga pemberdayaan dan pembelajaran tidak

dilaksanakan karena fungsi LSM hanya sebagai penerus informasi (penyambung

lidah) antara komunitas adat Orang Rimba dan pemerintah pusat. LSM hanya

mengumpulkan informasi tentang peta-peta sosial yang dimiliki komunitas adat

Orang Rimba yang nantinya akan disampaikan kepada pemerintah pusat. Disini

LSM langsung mengurus peran serta komunitas adat Orang Rimba yang

letaknya tersebar di dalam dan sekitar TNBD.

Berdasarkan penjelasan di atas, tahapan pelaksanaan peran serta

dimulai dari pemerintah pusat meminta bantuan kepada LSM untuk melakukan

survei sosial terhadap kondisi TNBD dan komunitas adat Orang Rimba. LSM

langsung berinterkasi dengan kepala adat dan beberapa perwakilan kelompok

dari komunitas adat Orang Rimba hanya untuk menanyakan informasi tentang

peta-peta sosial yang mereka miliki di lapangan. Peran serta komunitas adat

Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya sebatas

memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang mereka miliki di lapangan.

Setelah semua informasi tersebut dikumpulkan kemudian LSM

menyampaikannya kepada pemerintah pusat. Melalui informasi ini pemerintah

pusat melakukan penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD. Setelah

penataan batas dan penataan zona dilakukan kemudian pamerintah pusat

menetapkan status kawasan TNBD.

67

Jika ditinjau dari kriteria cara serta, kelebihan yang dimiliki alternatif

kelima ini adalah cara peran serta lebih mudah karena ketua adat dan beberapa

perwakilan kelompok dari komunitas adat Orang Rimba langsung berinteraksi

dengan LSM hanya untuk memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang

mereka miliki di lapangan. Disamping itu untuk kriteria waktu serta, kelebihan

yang dimiliki alternatif kelima ini adalah waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama

karena tidak perlu dilakukan pemberdayaan dan pembelajaran terhadap

komunitas adat Orang Rimba terlebih dahulu.

2.7.2.6 Alternatif 6

Alternatif keenam ini hampir sama dengan alternatif kelima namun

alternatif keenam ini dikembangkan dari skenario keempat dimana bentuk peran

serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD

melalui perantara LSM. Alternatif keenam ini mengacu pada tinjauan literatur

mengenai penerapan pendekatan Adaptive Collaborative Management (ACM)

dalam menyelesaikan masalah tata batas hutan lindung Gunung Lumut dengan

Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi

Kalimantan Timur maka peran LSM disini tidak hanya sebagai penerus informasi

(penyambung lidah) tetapi juga sebagai pelaksana pemberdayaan dan

pembelajaran bagi komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali

kawasan TNBD. Berdasarkan kajian literatur dan asumsi yang digunakan maka

pada alternatif keenam ini, LSM menjadi bagian dari komunitas adat Orang

Rimba dan secara bersama-sama melaksanakan pemberdayaan dan

pembelajaran sebelum mereka berperan serta dalam penataan kembali kawasan

TNBD.

Tahapan awal pelaksanaan peran serta pada alternatif keenam ini adalah

pemerintah pusat meminta bantuan kepada LSM untuk melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran bersama komunitas adat Orang Rimba

sebagai persiapan sebelum mereka ikut berperan serta dalam penataan kembali

kawasan TNBD. Komunitas adat Orang Rimba langsung berinteraksi dengan

LSM untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran secara bersama-

sama. Setelah melakukan pemberdayaan dan pembelajaran bersama, komunitas

adat Orang Rimba ikut berperan serta dalam penataan batas dan penataan zona

di dalam TNBD bersama LSM dan para pemangku kepentingan lain. Hasil

68

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD kemudian diputuskan dan

disepakati bersama oleh komunitas adat Orang Rimba, LSM, dan para

pemangku kepentingan lain. Hasil penataan batas dan penataan zona di dalam

TNBD kemudian disampaikan oleh LSM kepada pemerintah pusat. Melalui hasil

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD ini kemudian pemerintah

pusat melakukan penetapan kawasan TNBD. Jadi, peran serta komunitas adat

Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD sudah sampai pada

tingkat pengambilan keputusan bersama LSM, dan para pemangku kepentingan

lain dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Berdasarkan kriteria lingkup serta maka alternatif keenam ini memilki

kelebihan karena peran serta komunitas adat Orang Rimba sudah sampai pada

tingkat pengambilan keputusan bersama LSM dan para pemangku kepentingan

lainnya dalam memutuskan penataan batas dan penataan zona dalam TNBD.

Diharapkan keputusan bersama ini tidak lagi menimbulkan konflik ketika

diterapkan di lapangan terutama terhadap komunitas adat Orang Rimba.

Kelemahan pada alternatif keenam ini terutama terletak pada kriteria waktu serta

karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba.

2.7.2.7 Alternatif 7

Alternatif ketujuh ini dapat dikatakan sebagai kombinasi antara skenario

kedua dan keempat dimana bentuk peran serta komunitas adat Orang dalam

penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjasama antara LSM dan

pemerintah daerah. Hal ini didasari oleh UU No.5 Tahun 1990 yang menjelaskan

bahwa dalam rangka penataan kawasan taman nasional, pemerintah pusat

dapat menyerahkan urusan peran serta masyarakat adat kepada pemerintah

daerah. Dalam UU dan yang sama juga dijelaskan bahwa pemerintah pusat perlu

meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran serta masyarakat adat dalam

penataan kawasan taman nasional. Selain itu alternatif ini juga didasari oleh UU

No.41 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa dalam melaksanakan peran serta

masyarakat adat dalam penataan kawasan lindung pemerintah dan pemerintah

daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati hutan atau LSM. Melalui dasar

penyusunan skenario tersebut maka pada alternatif keenam ini bentuk peran

serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD

69

lebih tepat melalui perantara kerjasama antara LSM dan pemerintah daerah.

Mengacu pada kajian literatur dan asumsi yang digunakan maka langkah

pemerintah pusat untuk meningkatkan kesadaran peran serta komunitas adat

Orang Rimba adalah dengan melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran

terlebih dahulu terhadap komunitas adat Orang Rimba agar mereka dapat

berperan serta lebih jauh dalam penataan kembali kawasan TNBD. Oleh karena

itu pada alternatif ini pemerintah meminta bantuan kepada LSM untuk bekerja

sama dengan pemerintah daerah dalam melaksanaan peran serta tersebut.

Berdasarkan tinjauan literatur mengenai gambaran komunitas adat Orang

Rimba dijelaskan bahwa letak komunitas adat Orang tersebar di dalam dan

sekitar TNBD Provinsi Jambi sehingga pemerintah daerah yang dimaksud disini

adalah pemerintah provinsi. Selanjutnya berdasarkan tinjauan literatur mengenai

penerapan pendekatan Adaptive Collaborative Management (ACM) dalam

menyelesaikan masalah tata batas hutan lindung Gunung Lumut dengan Desa

Rantau Layung dan Desa Rantau Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan

Timur maka peran serta LSM disini tidak hanya sebagai penerus informasi

(penyambung lidah) antara komunitas adat Orang Rimba dan pemerintah pusat

tetapi melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat

Orang Rimba sebelum mereka ikut berperan serta salam penataan kembali

kawasan TNBD.

Dalam alternatif ketujuh ini pemerintah provinsi dan LSM setempat saling

bekerja sama dalam melaksanaan peran serta komunitas adat Orang Rimba.

Fokus LSM adalah melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran bagi

komunitas adat Orang Rimba sedangkan fokus pemerintah provinsi adalah

mengkoordinasikan proses pelaksanaan pemberdayaan dan pembelajaran

tersebut. Setelah proses pemberdayaan dan pembelajaran dilaksanakan maka

selanjutnya komunitas adat Orang Rimba, LSM, pemerintah provinsi, dan para

pemangku kepentingan lainnya secara bersama melaksanakan penataan batas

dan penataan zona di dalam TNBD di lapangan. Hasil dari penataan batas dan

penatan zona di dalam taman nasional ini kemudian disampaikan pemerintah

provinsi kepada pemerintah pusat untuk dilakukan penetapan kawasan oleh

pemerintah pusat.

Kelebihan yang dimiliki alternatif ketujuh ini terletak pada kriteria lingkup

serta karena komunitas adat Orang Rimba terlibat dalam pembuatan keputusan

70

bersama dengan LSM, pemerintah provinsi, dan para pemangku kepentingan

lainnya dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD. Dari kriteria

kelompok serta, alternatif keenam ini memiliki kelemahan karena pihak-pihak

yang dilibatkan cukup banyak seperti komunitas adat Orang Rimba, LSM,

pemerintah provinsi, dan para pemangku kepentingan lainnya. Banyaknya pihak-

pihak yang terlibat ini berdampak pada kriteria cara serta yang menjadi rumit.

2.7.2.8 Alternatif 8

Alternatif kedelapan ini hampir sama dengan alternatif ketujuh karena

dikembangkan dari skenario yang sama yaitu skenario kelima dimana bentuk

peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali TNBD melalui

perantara kerjasama antara LSM dan pemerintah daerah. Berdasarkan kajian

literatur mengenai gambaran komunitas adat Orang Rimba diketahui bahwa letak

komunitas adat Orang Rimba tersebar di tiga kabupaten di Provinsi Jambi.

Persebaran mereka berada di dalam dan di luar TNBD maka dari itu pemerintah

daerah yang dimaksud pada alternatif kedelapan ini adalah pemerintah

kabupaten karena akses mereka yang sangat dekat dengan TNBD dan

komunitas adat Orang Rimba. Mengacu pada kajian literatur dan asumsi yang

digunakan maka langkah pemerintah pusat untuk meningkatkan kesadaran

peran serta komunitas adat Orang Rimba adalah dengan melaksanakan

pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu terhadap komunitas adat

Orang Rimba agar mereka dapat berperan serta lebih jauh dalam penataan

kembali kawasan TNBD. Oleh karena itu pada alternatif kedelapan ini

pemerintah pusat juga meminta bantuan kepada LSM untuk bekerja sama

dengan pemerintah kabupaten dalam melaksanaan peran serta tersebut.

Pembagian peran antara LSM dan pemerintah kabupaten diatur melalui

pemerintah pusat dimana fokus LSM adalah melaksanakan pemberdayaan dan

pembelajaran bersama komunitas adat Orang Rimba sedangkan fokus

pemerintah kabupaten adalah mengontrol pelaksanaan pemberdayaan dan

pembelajaran komunitas adat Orang Rimba bersama LSM di kabupaten masing-

masing. Setelah pemberdayaan dan pembelajaran berlangsung maka komunitas

adat Orang Rimba, LSM, pemerintah kabupetan, dan para pemangku

kepentingan lain secara bersama-sama melaksanakan penataan batas dan

penataan zona di dalam TNBD. Hasil penataan batas dan penataan zona ini

71

kemudian disampaikan oleh pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.

Hasil penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD dari pemerintah

kabupaten ini kemudian diolah dan digabungkan oleh pemerintah pusat untuk

kemudian dilakukan penetapan status kawasan TNBD.

Kelebihan yang dimiliki alternatif kedepalan ini sama dengan dengan

alternatif ketujuh yaitu terletak pada kriteria lingkup serta dimana lingkup serta

komunitas adat Orang Rimba sudah sampai pada tingkat pengambilan

keputusan bersama LSM, pemerintah kabupaten, dan para pemangku

kepentingan lainnya dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Kelemahan yang dimiliki pun sama dengan alternatif ketujuh yaitu terletak pada

kriteria kelompok serta dimana pihak-pihak yang terlibat cukup banyak yaitu

komunitas adat Orang Rimba, LSM, pemerintah kabupaten, dan para pemangku

kepentingan lainnya.

2.7.3 Kelebihan dan Kekurangan Alternatif Bentuk Peran Serta Komunitas

Adat Orang Rimba dalam Penataan Kembali Kawasan Taman

Nasional Bukit Duabelas (TNBD)

Berdasarkan penjelasan mengenai alternatif bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD, maka

setiap alternatif memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dibandingkan

dengan alternatif yang lain. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari

masing-masing alternatif, maka dibutuhkan kriteria sebagai dasar untuk

membandingkan alternatif-alternatif tersebut. Menurut Oetomo (2007) terdapat

lima hal yang perlu diatur dalam melaksanakan peran serta masyarakat dalam

penataan ruang kedepannya yaitu: (1) lingkup serta; (2) kelompok serta; (3) cara

serta; (4) waktu serta; dan (5) kelembagaan. Kelima hal tersebut harus

disesuaikan dengan “tingkatan rencana”-nya. Terkait dengan studi ini maka

untuk pemilihan kriteria yang akan digunakan dapat mengadopsi dari pendapat

tersebut. Kriteria ini dinilai dari sudut pandang komunitas adat Orang Rimba dan

penyelenggara peran serta dalam studi ini yaitu pemerintah. Berdasarkan

penjelasan di atas, maka beberapa kriteria yang dapat dirumuskan untuk

membandingkan antar alternatif adalah sebagai berikut:

72

1. Kriteria Lingkup Serta

Kriteria ini melihat tingkatan kemudahan sejauh mana lingkup serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dari

masing-masing alternatif. Sebagaimana telah dijelaskan pada tinjauan

literatur mengenai konsep tingkat peran serta dapat diketahui bahwa tingkat

peran serta dapat dimulai dari yang paling rendah hingga tingkat yang paling

tinggi. Oleh karena itu, lingkup serta akan menjadi lebih mudah jika tingkat

peran serta komunitas adat Orang Rimba berada di tingkat yang paling

rendah. Sebaliknya, lingkup serta akan lebih sulit jika berada pada tingkatan

yang lebih tinggi. Lingkup serta yang mudah misalnya komunitas adat Orang

Rimba berperan serta hanya sebatas memberikan informasi dalam penataan

kembali kawasan TNBD sedangkan lingkup serta yang lebih sulit ketika

komunitas adat Orang Rimba bersama pemerintah dan para pemangku

kepentingan lain terlibat dalam pembuatan keputusan bersama.

2. Kriteria Kelompok Serta

Dalam istilah peran serta, salah satu faktor yang paling menentukan dalam

pelaksanaan peran serta adalah kelompok serta. Kriteria kelompok serta

memetakan pihak-pihak mana saja yang terlibat dan memiliki kepentingan

dalam penataan kembali kawasan TNBD. Dalam studi ini, kelompok serta

akan menjadi lebih mudah jika pihak-pihak yang terlibat lebih sedikit karena

bentuk peran serta akan menjadi lebih sederhana. Sebaliknya, kelompok

serta akan menjadi lebih rumit jika pihak-pihak yang terlibat lebih banyak

karena akan terjadi banyak kepentingan didalamnya.

3. Kriteria Cara Serta

Kriteria cara serta ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kriteria

kelompok serta dan saling mempengaruhi. Kriteria ini melihat bagaimana

tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Jadi,

jika pihak yang terlibat dalam pelaksanaan peran serta lebih banyak maka

cara sertanya pun akan menjadi lebih rumit. Sebaliknya, jika pihak yang

telibat dalam pelaksanaan peran serta lebih sedikit maka cara sertanya pun

akan menjadi lebih mudah dan sederhana.

73

4. Kriteria Waktu Serta

Untuk kriteria yang terakhir ini yaitu kriteria waktu serta melihat berapa lama

waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan peran serta komunitas adat

Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD mulai dari tahapan

awal hingga selesainya pelaksanaan peran serta tersebut. Kriteria waktu

serta sangat erat hubungannga dengan tingkatan peran serta karena waktu

serta akan menjadi lebih lama jika tingkat peran serta berada pada tingkatan

yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika tingkat peran serta berada pada tingkat

yang lebih rendah waktu serta yang dibutuhkan tidak akan lama. Waktu serta

yang dibutuhkan lama misalnya peran serta komunita adat Orang Rimba

sudah pada tahapan pembuatan keputusan bersama dengan pemerintah dan

para pemanngku kepentingan lain. Untuk ikut dalam proses pembuatan

keputusan bersama ini, tentunya komunitas adat Orang Rimba perlu

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlbih dahulu. Pelaksanaan

pemberdayaan dan pembelajaran inilah yang membutuhkan waktu yang lama

dibandingkan jika peran serta komuitas adat Orang Rimba hanya sebatas

memberikan informasi saja.

Berdasarkan penjelasan kriteria perbandingan alternatif bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawaan TNBD di atas,

maka kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif bentuk peran

serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD

dapat dilihat pada tabel 2.7.