31
28 BAB II TINJAUAN UMUM PEKERJA DISABILITAS DAN PERJANJIAN KERJA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Pekerja 2.1.1. Pengertian Pekerja dan Pekerja Disabilitas Tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan Indonesia, karena merupakan faktor produksi dari suatu perusahaan perusahaan, sehingga tenaga kerja wajib untuk diberikan perhatian yang lebih oleh Pemerintah dan pihak pihak yang terkait. Salah satu perhatian Pemerintah terhadap tenaga kerja adalah dengan diterbitkannya UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan maka pengertian tenaga kerja adalah pengertian yang umum, dalam arti bahwa setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan tanpa adanya hubungan kerja merupakan tenaga kerja. Pekerja adalah setiap orang yang melaksanakan pekerjaan di dalam hubungan kerja untuk menghasilkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Pekerja/buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Pekerja dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pekerja non disabilitas dan pekerja disabilitas. Pekerja disabilitas adalah pekerja yang memiliki perbedaan/keterbatasan

BAB II TINJAUAN UMUM PEKERJA DISABILITAS DAN … II.pdf · Penyandang tuna laras adalah kelompok yang mengalami ganguan emosi atau sukar mengendalikan emosi. Gangguan yang timbul

Embed Size (px)

Citation preview

28

BAB II

TINJAUAN UMUM PEKERJA DISABILITAS DAN PERJANJIAN KERJA

2.1. Tinjauan Umum Tentang Pekerja

2.1.1. Pengertian Pekerja dan Pekerja Disabilitas

Tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan

Indonesia, karena merupakan faktor produksi dari suatu perusahaan – perusahaan,

sehingga tenaga kerja wajib untuk diberikan perhatian yang lebih oleh Pemerintah

dan pihak – pihak yang terkait. Salah satu perhatian Pemerintah terhadap tenaga kerja

adalah dengan diterbitkannya UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU

Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan maka pengertian tenaga

kerja adalah pengertian yang umum, dalam arti bahwa setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan tanpa adanya hubungan kerja merupakan tenaga kerja.

Pekerja adalah setiap orang yang melaksanakan pekerjaan di dalam hubungan

kerja untuk menghasilkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU

Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Pekerja/buruh adalah orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Pekerja dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pekerja non disabilitas dan pekerja

disabilitas. Pekerja disabilitas adalah pekerja yang memiliki perbedaan/keterbatasan

29

dengan orang pada umumnya yang berupa keterbatasan fisik maupun sistem

biologisnya yang dapat mengganggu dalam menghasilkan barang dan/atau jasa untuk

kebutuhan masyarakat.

Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari serapan kata

bahasa Inggris yaitu disability yang artinya cacat atau ketidakmampuan. Disabilitas

terdiri atas disabilitas fisik, disabilitas mental, dan disabilitas fisik dan mental

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Cacat, yang

disebutkan bahwa:

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik

dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan secara selayak – layaknya, yang terdiri

dari:

a. Penyandang cacat fisik;

b. Penyandang cacat mental;

c. Penyandang cacat fisik dan mental

Pasal 5 ayat (3) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

(selanjutnya disebut UU HAM) menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah

kelompok masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususan.

Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Sosial) ditegaskan

bahwa penyandang disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang

memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria

masalah sosial.

30

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan

Gedung dan Lingkungan, penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai

kelemahan/kekurangan fisik dan/atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan

rintangan dan hambatan untuk melakukan kegiatan kehidupan dan penghidupan

secara wajar.

Dalam Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi

Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas) sebagaimana yang telah disahkan

dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On

The Rights of Persons Disabilities (Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang

Disabilitas) disebutkan bahwa penyandang disabilitas termasuk mereka yang

memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu

lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat

menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat dengan

berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

Selain pengertian disabilitas secara yuridis sebagaimana yang diatur dalam

peraturan perundang – undangan, terdapat beberapa pengertian tentang definisi

disabilitas:

1. Vash menyatakan bahwa “Disability mengacu pada kekurangan secara

fisiologis, anatomis maupun psikologis yang disebabkan oleh luka,

kecelakaan maupun cacat sejak lahir dan cenderung menetap”.

31

2. Wright mengatakan bahwa “Disability merupakan kondisi yang tidak lengkap,

baik secara fisik maupun mental”.

3. The International Classification of Functioning (ICF) menyatakan bahwa

“Disability as the outcame of the interaction between a person with

impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he may face”.1

Disabilitas dalam pengertian tersebut menunjukan sebagia hasil dari hubungan

interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan hambatan

lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut.

4. Dalam pembukaan Konvensi PBB mengenai hak – hak penyandang disabilitas

menyatakan bahwa disabilitas adalah sebuah konsep yang terus berubah dan

disabilitas adalah hasil interaksi antara orang yang penyandang

disabilitas/mental dengan hambatan perilaku dan lingkungan yang

menghambat partisipasi di dalam masyarakat secara setara dengan orang lain.

5. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan disabilitas

sebagai “A restriction or inability to perform an activity in the manner or

within the range considered normal for a human being, mostly resulting frim

impairment”.2 Definisi tersebut menyatakan bahwa disabilitas adalah

pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan kegiaan – kegiatan

1UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings,

UNESCO Bangkok, Bangkok, hlm. 5

2Barbotte, E. Guillemin, F. Chau, dan N Lorhandicap Group, 2011, Prevalence of

Impairments, Disabilities, Handicaps and Quality of Life in The General Population: A Review of

Recent Literature, Bulletin of The World Health Organization , Vol. 79, No. 11, hlm. 1047

32

dengan cara yang atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia, sebagian

besar akibat penurunan kemampuan.

Disamping pengertian umum tersebut, WHO juga memberikan definisi

disabilitas yang berbasisi pada model sosial sebagai berikut:

a. Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau

ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya

kelumpuhan dibagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan

dengan kedua kaki.

b. Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan

dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor – faktor sosial yang hanya

sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang – orang yang

menyadang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan karenanya mengeluarkan

orang – orang itu dari arus aktivitas sosial”.3

Disabilitas yang dimiliki oleh pekerja disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:

a. Cacat didapat (Acquired), penyebabnya bisa karena kecelakaan lalu lintas,

perang/konflik bersenjata atau akibat penyakit – penyakit kronis;

b. Cacat bawaan/ sejak lahir (Congenital), penyebabnya antara lain karena

kelainan pembentukan organ – organ (organogenesis) pada masa kehamilan,

3Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat di

Negara – Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 132

33

karena serangan virus, gizi buruk, pemakaian obat – obatan tak terkontrol atau

karena penyakit menular seksual.4

2.1.2. Klasifikasi Disabilitas.

Disabilitas dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu disabilitas fisik, disabilitas

metal, dan disabilitas fisik dan mental sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1

angka 1 UU Penyandang Cacat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU

Penyandang Cacat, maka klasifikasi dan jenis disabilitas secara rinci adalah sebagai

berikut:

a. Disabilitas fisik

a) Tuna netra merupakan disabilitas fisik yang memiliki tipe A. Tuna nerta

adalah seseorang yang terhambah aktivitas yang disebabkan oleh hilangnya/

berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan

dan penyakit yang terdiri dari:

1) Buta total adalah kondisi seseorang yag tidak dapat melihat sama sekali

objek;

2) Persepsi cahaya adalah kondisi seseorang dimana ia tidak dapat

membedakan adanya cahaya atau tidak, dan tidak dapat menentukan

objek yang berada di depannya;

4Sapto Nugroho dan Risnawati Utami, 2008, Meretas Siklus Kecacatan-Realitas Yang

Terabaikan, Yayasan Talenta, Surakarta, hlm. 114

34

3) Memiliki sisa penglihatan (low vision) adalah kondisi dimana seseorang

hanya dapat melihat benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat

jari – jari tangan yang digerakkan dalam jarak satu meter.

b) Tuna rungu adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat

hilangnya/terganggunya fungsi pendengaran yang disebabkan oleh

kecelakaan, penyakit, maupun kelahiran;

c) Tuna wicara adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat

hilangnya/terganggnya fungsi bicara baik yang disebabkan oleh kelahiran,

kecelakaan, maupun penyakit;

d) Tuna rungu – wicara adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai

akibat hilangnya/terganggungya fungsi dan pendengaran dan fungsi bicara,

sehingga penderita tidak dapat mendengarkan dan berbicara;

e) Tuna daksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau tergangu, sebagai

akibat ganguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam

fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit,

kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sifat lahir.5 Pada

orang tuna daksa ini terlihat kelainan bentuk tubuh, anggota atau otot,

berkurangnya fungsi tulang, otot sendi maupun syaraf – syarafnya.6

Tuna daksa dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu:

5T. Sutjihati Soematri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 121

6Edang Warsiki, dkk, 2003, Hubungan Antara Kecacatan Fisik Anak Dan Depresi Ibu Dari

Anak-Anak Tuna Daksa, YPAC, Surabaya,hlm.3

35

1) Tuna daksa syaraf adalah kelainan yang terjadi pada fungsi anggota tubuh

yang disebabkan gangguan pada susunan syaraf di otak. Otak sebagai

pengontrol fungsi tubuh memiliki sejumlah syaraf yang menjadi

pengendali mekanisme tubuh, karena itu jika otak mengalami kelainan,

sesuatu akan terjadi pada organism fisik, emosi dan mental. Salah satu

bentuk terjadi karena gangguan fungsi otak dapat dilihat pada anak

celebral palsy yakni gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh

disfungsinya otak.7

2) Tuna daksa ortopedi adalah kelainan yang menyebabkan terganggunya

fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian otot tubuh,

daerah persendian maupun pada bagian tulang yang dibawa sejak lahir

maupun yang diperoleh karena kecelakaan ataupun penyakit. Misalnya

kelainan pertumbuhan anggota badan atau cacat punggung, amputasi

tangan, lengan, kaki, anggota badan yang tidak sempurna.

b. Disabilitas mental.

Disabilitas mental terdiri atas:

1. Tuna grahita

Tuna grahita merupakan kemampuan mental yang berada di bawah normal.

Tolak ukurnya adalah Intelligence Quotient (selanjutnya disebut IQ) atau tingkat

kecerdasan. Tuna grahita dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:

7Muhammad Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara,

Jakarta, hlm. 22

36

1) Tuna grahita ringan.

Seseorang penyandang tuna grahita ringan dalam segi fisik terlihat normal.

Kisaran IQ-nya adalah 50 sampai 70. Mereka yang termasuk tuna grahita ringan

adalah kelompok mampu didik, masih dapat dididik membaca, menulis, dan

berhitung. Pada umumnya penyandang tuna grahita ringan dapat menyelesaikan

pendidikan setingkat kelas IV Sekolah Dasar Umum.

2) Tuna grahita sedang.

Penyandang tuna grahita sedang apabila dilihat dari segi fisik sudah dapat

terlihat, namun terdapat sebagian penyandang tuna grahita sedang yang

mempunyai fisik normal. Kisaran IQ-nya adalah 30 sampai 50. Pada umumnya

penyandang tuna grahita sedang ini dapat menyelesaikan pendidikan setingkat

kelas II Sekolah Dasar Umum.

3) Tuna grahita berat.

Penyandang tuna grahita berat termasuk kelompok mampu rawat. IQ-nya rata

– rata 30 ke bawah. Kelompok penyandang tuna grahita berat adalah kelompok

yang memiliki intelegensi sangat rendah dan tidak mampu menerima pendidikan

secara akademis. Dalam kegiatan sehari – hari kelompok ini membutuhkan

bantuan orang lain.

2. Tuna laras.

Penyandang tuna laras adalah kelompok yang mengalami ganguan emosi atau

sukar mengendalikan emosi. Gangguan yang timbul pada kelompok ini adalah

gangguan perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman.

37

c. Disabilitas ganda.

Disabilitas ganda adalah disabilitas yang menyandang lebih dari satu kelainan.

Contohnya penyandang tuna netra dengan tuna daksa sekaligus.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Nama Jenis Disabilitas Pengertian

Tuna netra Disabilitas fisik Tidak dapat melihat;buta

Tuna rungu Disabilitas fisik Tidak dapat mendengar

dan/kurang dalam

mendengar;tuli

Tuna wicara Disabilitas fisik Tidak dapat berbicara;bisu

Tuna rungu-wicara Disabilitas fisik Tidak dapat mendengarkan

dan berbicara

Tuna daksa Disabilitas fisik Cacat tubuh

Tuna laras Disabilitas mental Sukar mengendalikan emosi

dan sosial

Tuna grahita Disabilitas mental Cacat pikiran; lemah daya

tangkap

Tuna ganda Disabilitas ganda Penderita cacat lebih dari

satu kecacatan.

2.1.3. Perlindungan Hukum Teknis Terhadap Hak Penyandang Disabilitas Fisik.

38

Negara Indonesia sebagai Negara hukum memiliki kewajiban untuk

memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak – hak asasi yang dimiliki oleh

warga Negara termasuk hak – hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas. Secara

yuridis, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan perlindungan bahwa

setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam Pasal

6 UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada setiap warga Negara untuk

mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Penyandang disabilitas seperti disabilitas fisik merupakan kelompok

masyarakat yang memiliki kekurangan atau kelainan fisik, mental, fisik dan/atau

mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk dapat

melakukan kehidupan dan penghidupan secara selayak – layaknya dalam masyarakat.

Kekurangan atau kelainan yang terdapat dalam penyandang disabilitas fisik tersebut

menjadikan penyandang disabilitas fisik sebagai kelompok yang dominan

mendapatkan perlakuan yang diskriminasi oleh rekan kerja dan atau dari pengusaha.

Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki kewajiban untuk

melindungi penyandang disabilitas dari perlakuan yang diskriminasi, sehingga hak –

hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain tersebut dapat terlindungi oleh

hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan

tersebut diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak – hak yang

diberikan oleh hukum.

39

Penyandang disabilitas yang sudah bekerja atau pekerja disabilitas tentunya

memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan pekerja. Perlindungan pekerja dapat

dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan

meningkatkan pengakuan hak – hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta

sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu.8

Menurut Imam Soepomo, perlindungan pekerja dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis

yaitu:

a. Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha – usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang

cukup memenuhi keperluan sehari – hari baginya beserta keluarganya,

termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di

luar keehndaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;

b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan

memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan

sebagai anggota masyarkat dan anggota keluarga; atau yang biasa disbeut

kesehatan kerja.

c. Perlindungan teknis adalah suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha – usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat

ditimbulkan oleh pesawat – pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh badan

8Kartasapoetra, G. dan Rience Indraningsih, loc.cit

40

yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut

keselamatan kerja. Keselamatan kerja meliputi keselamatan kerja yang

bertalian dengan mesin, pesawat, alat – alat kerja bahan dan proses

pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara – cara

melakukan pekerjaan.9

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum itu sendiri yaitu

memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, dan kedamaian. Asas perlindungan

atau pengayoman dikemukakan oleh Suhardjo, yang pada intinya:

Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun

pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu

kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung

secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan

penegakan atas upaya yang sewenang – wenang dan penyalahgunaan hak

secara tidak adil. 10

Suharjo mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah untuk mengayomi atau

melindungi manusia dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, baik jiwa dan

badannya maupun hak – hak pribadinya, yaitu hak asasinya, hak kebendaannya

maupun hak perorangannya. 11

9Zainal Asikin et.al., loc.cit.,

10

Abdul Manan, 2005, Aspek – Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 23

11

Ibid

41

Menurut Phipilus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan

harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak – hak asasi manusia yang dimiliki

oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan

bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia, karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep – konsep tentang

pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasan – pembatasan dan pelekatan kewajiban masyarakat dan pemerintah.12

Pengusaha memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum

teknis untuk melindungi hak – hak yang dimiliki oleh pekerja disabilitas fisik yang

dipekerjakan. Perlidungan hukum teknis yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada

pekerja disabilitas fisik diatur secara tegas dalam Pasal 67 ayat (1) UU

Ketenagakerjaan dan Pasal 31 Perda Bali tentang Perlidungan dan Pemenuhan Hak

Penyandang Disabilitas. Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan

“Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan

perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Pasal 31 Perda Bali

tentang Perlidungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas disebutkan

“Perusahaan berkewajiban memberikan fasilitas kerja yang aksesibel sesuai dengan

kebutuhan tenaga kerja penyandang disabilitas.”

12Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, hlm. 38

42

Hak – hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik telah tertuang

dalam peraturan perundang – undangan Indonesia yang terdiri atas:

1. Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;

2. Hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak

dalam hubungan kerja, yang terdapat dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945;

3. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemeritahan, yang

dapat ditemukan dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945;

4. Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,

ini didasari dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945;

5. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif atas dasar apapun

dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif itu,

yang terdapat pada Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;

6. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk

mendapatkan pekerjaan, yang terdapat dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan;

7. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari

pengusaha, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaann;

8. Hak untuk mendapatkan pelatihan kerja dengan memperhatikan jenis, derajat

kecacatan dan kemampuannya, terdapat dalam Pasal 19 UU Ketenagakerjaan;

43

9. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah

keahlian dan keterampilin, ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 9

sampai Pasal 30 UU Ketenagakerjaan;

10. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan

atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau

di luar negeri, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 31 UU

Ketenagakerjaan;

11. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya

yang dapat ditemukan dalam Pasal 32 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;

12. Hak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatannya, yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;

13. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, yang

dijelaskan dalam Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;

14. Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan bakat,

kecakapan, dan kemampuan, yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) UU HAM;

15. Hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus, yang terdapat

dalam Pasal 41 ayat (2) UU HAM

16. Hak untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama,

ketentuan ini terdapat dalam konsideran huruf A UU Penyandang Cacat;

17. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama alam segala aspek kehidupan

dan penghidupan, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 UU Penyandang

Cacat;

44

18. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan

derajat kecacatannya, pendidikan, dan kemampuannya, terdapat dalam Pasal 6

angka 2 UU Penyandang Cacat;

19. Hak untuk mendapatkan kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan

yang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, ketentuan ini terdapat

dalam Pasal 13 UU Penyandang Cacat;

20. Hak untuk dipekerjakan oleh Perusahaan Negara dan Swasta sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, kemampuan yang jumlahnya

disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kwalifikasi perusahaan,

ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 UU Penyandang Cacat;

21. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak

manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan

dan perlakuan semena – mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan

penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan

orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan

pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat, hal

ini terdapat dalam Penjelasan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2011

tentang Pengesahan Convenstion On The Right Of Persons With Disabilities

(Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas);

22. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama yang memenuhi persyaratan

jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatannya, terdapat dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah

45

Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial

Penyandang Cacat;

23. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, terdapat dalam Pasal 27

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;

24. Hak untuk dipekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang

cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai

pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja

perusahaannya, sebagaimana terdapat dakam Pasal 28 Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial

Penyandang Cacat;

25. Hak untuk dipekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang

cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai

pekerja, bagi orang yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang

tetapi usaha yang dilakukan berteknologi tinggi, yang terdapat dalam Pasal 29

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;

26. Hak untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk

dipekerjakan oleh perusahaan yang telah mempekerjakan 100 orang pegawai,

sekurang – kurangnya 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang disabilitas,

disesuaikan dengan pendidikan dan kemampuan serta persyaratan jabatan dan

kualifikasi pekerjaan yang dibutuhkan perusahaan, sebagaimana terdapat

46

dalam Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor:

SE-01/MBU/2014 Tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang

Disabilitas;

27. Hak untuk memperoleh rehabilitasi vokasional setelah mendapat rehabilitasi

medis, sosial dan atau edukasional, yang terdapat dalam Keputusan Menteri

Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : KEP-205/MEN/1999 tentang

Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat.

Selain hak – hak khusus tersebut, penyandang disabilitas fisik juga memiliki

hak – hak lainnya sebagai pekerja sebagaimana yang dimiliki oleh orang – orang non

disabilitas yang terdiri atas:

a. Hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hal ini

terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

b. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial untuk pengembangan diri secara utuh

sebagai manusia yang bermartabat, hal ini ditemukan dalam Pasal 28 H ayat

(3) UUD 1945;

c. Hak untuk mendapatkan upah atau gaji, yang terdapat dalam Pasal 88 sampai

dengan 98 UU Ketenagakerjaan;

d. Hak atau upah penuh selama istirahat tahunan, yang didasari dalam Pasal 88

sampai Pasal 98 UU Ketenagakerjaan;

e. Hak untuk mendapatkan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja, yang

terdapat dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan;

47

f. Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, apabila pada saat

diputuskan hubungan kerja, pekerja telah memiliki masa kerja paling sedikit 6

(enam) bulan terhitung dari saat pekerja berhak atas istirahat tahunan yang

terakhir; yaitu dalam hal apabila hubungan kerja diputuskan oleh pengusaha

tanpa adanya alasan – alasan mendesak yang diberikan kepada pekerja, atau

pekerja karena adanya alasan yang mendesak yang diberikan oleh pengusaha,

hal ini ditemukan dalam Pasal 150 sampai Pasal 172 UU Ketenagakerjaan.

g. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja, yang terdapat

dalam Pasal 104 UU Ketenagakerjaan;

h. Hak untuk mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta

perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama, yang

terdapat dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek);

i. Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan

industrial melalui bipatride, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian

melalui pengadilan, ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 6 sampai

Pasal 115 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial.

2.2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja.

2.2.1. Pengertian Perjanjian Kerja

48

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverereenkoms, dapat

diartikan dalam beberapa pengertian. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana

pihak satu mengikatkan diri dengan pihak yang lain, majikan/pengusaha memberikan

suatu perintah berupa pekerjaan kepada pekerja dan majikan/pengusaha berkewajiban

memberikan upah (imbalan kepada pekerja), sedangkan pekerja melakukan perintah

berupa pekerjaan dari majikan/pengusaha dan pekerja memiliki hak untuk menerima

upah (imbalan).

Dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata disebutkan “Perjanjian kerja ialah

suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh mengikatkan diri untuk

menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu

yang tertentu”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai

perjanjian kerja yang disebutkan sebagai berikut “Perjanjian kerja adalah perjanjian

antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat –

syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.”

Disamping dilihat dari pengertian perjanjian kerja berdasarkan peraturan

perundang – undangan, terdapat beberapa sarjana yang memberikan pengertian

mengenai perjanjian kerja yaitu:

a. H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawawardi K. Lubis mengemukakan bahwa

“Perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 orang (pihak) atau

49

lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak

yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut”.13

b. Imam Soepomo menyatakan bahwa “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

yang diadakan oleh buruh dan majikan, dimana buruh menyatakan

kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan

dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh

dengan membayar upah”.14

c. Menurut Subekti mengemukakan bahwa:

Perjanjian kerja/perburuhan adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan

seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri – ciri: adanya suatu

upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan

diperatas” (bahasa Belanda dienstverhoulding) yaitu suatu hubungan

berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah –

perintah yang harus ditaati oleh yang lain.15

Dengan adanya perjanjian kerja, tentunya akan timbul hubungan kerja

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yaitu “Hubungan

kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”.

Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua

subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.16

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU

Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara

13

H.Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian dalam Islam,

Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 153

14

Imam Soepomo, op.cit, hlm. 56

15Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya

disingkat Subekti II), hlm.58

16Asri Wijayanti, op.cit. hlm 36

50

pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah dan perintah”.

2.2.2. Unsur – Unsur Perjanjian Kerja.

Perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian, sehingga di dalam

membuat suatu perjanjian kerja terdapat unsur – unsur yang harus diperhatikan

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian;

2. Adanya kecakapan pihak – pihak untuk membuat perjanjian;

3. Adanya suatu hal tertentu;

4. Adanya suatu sebab hal.

Selain mengacu kepada Pasal 1320 KUHPerdata, tentang syarat sahnya suatu

perjanjian, Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Hubungan kerja

adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Dari ketentuan Pasal 1

angka 15 UU Ketenagakerjaan, maka terlihat unsur – unsur perjanjian kerja yang

menjadi dasar hubungan kerja terdiri atas:

1. Adanya pekerjaan (arbeid)

Perjanjian kerja harus memuat suatu pekerjaan dan dipekerjakan sendiri oleh

pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan yang dikerjakan oleh

pekerja harus berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja.

2. Di bawah perintah (gezag ver houding)

51

Kedudukan pengusaha dalam suatu hubungan kerja adalah pemberi kerja,

sehingga pengusaha memiliki hak sekaligus berkewajiban untuk memberikan

perintah terkait dengan pekerjaan. Kedudukan pekerja dalam hubungan kerja adalah

sebagai pihak yang menerima perintah dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan

perintah dari pengusaha. Hubungan antara buruh dan majikan adalah hubungan yang

dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinasi (hubungan yang

bersifat vertikal, yaitu atas dan bawah).17

3. Terdapatnya upah (loan)

Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Upah adalah hak

pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan

menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang – undangan,

termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjan dan/atau

jasa yang telah dilakukan.”

4. Dalam waktu (tijd) yang ditentukan.

Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang

– undangan.18

2.2.3. Substansi Perjanjian Kerja

17

Asri Wijayanti, op.cit. hlm. 37

18Djumadi, op.cit, hlm. 39

52

Perjanjian kerja adalah dasar yang menentukan hal – hal yang diperlukan

antara pengusaha dan pekerja. Dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,

ditentukan substansi perjanjian kerja yang harus dimuat antara pengusaha dan pekerja

yaitu:

a. nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat – syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Perjanjian kerja yang memuat hal – hal sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang

mempunyai kekuatan yang sama, dan diberikan kepada pengusaha dan pekerja,

dimana pengusaha dan pekerja masing – masing mendapatkan 1 (satu) perjanjian

kerja. Perjanjian kerja tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dirubah, kecuali atas

persetujuan para pihak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 UU

Ketenagakerjaan.

2.2.4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja.

53

Suatu perjanjian kerja adalah suatu dasar dari adanya hubungan kerja.

Perjanjian kerja dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas –

asas hukum perikatan. Keberadaan suatu perjanjian kerja dapat diakui oleh undang –

undang, apabila perjanjian kerja sesuai dengan syarat – syarat yang ditentukan oleh

undang – undang.

Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan beberapa hal yang harus

ada dalam suatu perjanjian kerja yaitu terdiri atas:

1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian

(consensus);

2. Adanya kecapakan pihak – pihak untuk membuat perjanjian (capacity);

3. Adanya suatu hal tertentu (object);

4. Adanya suatu sebab hal (causa);

Ad.1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian

(consensus)

Adanya persetujuan berarti adanya kesepakatan di antara para pihak.

Kesepakatan yang terjadi harus bebas, tidak ada cacat kehendak yang meliputi adanya

dwang, dwaling, dan bedrog (penipuan, paksaan, dan kekhilafan).

Ad.2. Adanya kecapakan pihak – pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

Pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Dalam

Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan pihak – pihak yang tidak cakap dalam

persetujuan – persetujuan seperti:

1. Orang yang belum dewasa;

54

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang – orang perempuan yang telah kawin dalam hal ditentukan undang –

undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang – undang dilarang

untuk membuat persetujuan tertentu.

Ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tidak belaku semuanya karena

berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yaitu hak dan kewajiban istri

adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga

dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam Pasal 31 ayat (2) UU

Perkawinan yaitu masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum,

sehingga dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang telah menikah tidak

akan mengakibatkan status kedewasaannya hilang.

Dalam Pasal 433 KUHPerdata disebutkan “Setiap orang dewasa, yang selalu

berada di dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah

pengampuan, walaupun terkadang ia dapat menggunakan pikirannya dengan baik.

Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.”

Ad.3. Adanya suatu hal tertentu (object)

Hal tertentu yang dimaksudkan adalah adanya pekerjaan yang jelas, dalam arti

setiap orang dapat melakukan hubungan kerja dengan memiliki objek pekerjaan yang

jelas yaitu melakukan pekerjaan.

Ad.4. Adanya suatu sebab hal (causa).

55

Adanya suatu sebab hal (causa) artinya bahwa causa yang dibenarkan

memandang kepada objek hubungan kerja yang dapat melakukan pekerjaan apapun,

asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan, kesusilaan, dan

ketertiban umum.

Disamping merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu

perjanjian kerja juga ditentukan dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan yang disebutkan

“Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.”

2.2.5. Jenis – Jenis Perjanjian Kerja

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, jenis perjanjian kerja

dibedakan dalam perjanjian kerja dibuat waktu tertentu atau waktu untuk tidak

tertentu. Dipertegas dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

didasarkan atas:

a. Jangka waktu;atau

b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu”.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pengusaha

dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu dan

pekerjaan yang tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis

56

dan diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja untuk

waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan masa percobaan kerja. Apabila dalam

perjanjian kerja untuk waktu tertentu disyaratkan dengan masa percobaan kerja, maka

masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerja yang

bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan – pekerjaan yang bersifat tertentu berdasarkan sifat dan jenis atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu:19

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman;atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antara

pengusaha dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Berdasarkan

ketentuan Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan “Perjanjian kerja untuk

waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak

19

Asri Wijayanti, op.cit, hlm.50

57

tertentu.” Selanjutnya dalam Pasal 57 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan

“Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila

kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku

perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan adanya

masa percobaan kerja selama 3 (tiga) bulan, namun selama masa percobaaan kerja

tersebut, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang

berlaku.

2.2.6. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Suatu perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha dapat berakhir

karena beberapa faktor. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

ditentukan beberapa faktor yang dapat menyebabkan suatu perjanjian kerja berakhir

yang terdiri atas:

a. Pekerja meninggal dunia;

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat

menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

58

2.2.7. Perpanjangan Dan Pembaharuan Perjanjian Kerja

Perpanjangan dan pembaharuan suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 59

ayat (5), (6) UU Ketenagakerjaan yang ditentukan sebagai berikut:

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu

tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu

tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

pekerja/buruh yang bersangkutan;

(6) Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah

melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian

kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini

hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.