Upload
dangkiet
View
225
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK
2.1. Pemahaman Terhadap Istilah Malpraktik Medik
2.1.1 Pengertian Malpraktik Secara Etimologi dan Menurut Pendapat Ahli
Terdapat dua istilah yang lazim dipakai dan didengar oleh etiap kalangan
bagi mereka terutama berkecimpung atau bahkan sedang mengalami dan
berurusan kondisi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dalam masyarakat ketika
seseorang mengalami penderitaan kesehatan sebagai akibat dari pihak tenaga
medis (kesehatan) seperti dokter, perawat ataupun petugas kesehatan lainnya
timbul kecenderungan menyebut dengan istilah telah terjadi “malpraktek”, atau
disambung dengan ikutan kata “medik”, menjadilah sebutan istilah “malpraktik
medik”.
Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal”
yang berarti “buruk” Sedangkan kata “practice” berarti suatu tindakan atau
praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan
medik “buruk”.1
Bagi negara Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh
para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk Medical
Malpractice, yaitu Medical Negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut
sebagai Kelalaian Medik.2 Menurut Martin Basiang “Malpractice” diartikan
1 Hendrojono Soewono, Op Cit, hlm : 12 2 Hendrojono Soewono, Loc Cit
kealpaan profesi3. Menurut Azrul Azwar dalam makalahnya yang dibawakan pada
sidang KONAS IV Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia di Surabaya, 1996,
dengan mengambil beberapa pendapat para pakar dikatakan bahwa malpraktik
adalah :
1. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter,
oleh karena pada waktu melakukan pekerjan profesionalnya, tidak memeriksa,
tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai,
diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situsai dan
kondisi yang sama; atau
2. Malpraktik adalah setiap kesalahan yang di perbuat oleh dokter, oleh karena
melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara
rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau
tempat yang sama
3. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh seorang
dokter, yang didalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan
yang tidak masuk akal serta kesalahan karena ketrampilan ataupun kesetiaan
yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban dan ataupun kepercayaan
profesional yang dimilikinya.4
Adanya istilah malpraktik secara etimologi seperti tersebut diatas,
mengandung komponen unsur seperti : adanya tindakan, dilakukan oleh dokter,
ada indikasi kesalahan, berakibat buruk, ada seseorang atau pihak yang merasa
dirugikan, ada sebab dan akibat. Dari unsur – unsur tersebut akan berakibat
timbulnya hubungan hukum diantara pihak-pihak. Ada pihak sebagai pelaku atau
pembuat tindakan, sesuatu dalam hal ini pihak tenaga medis atau dokter.
Sedangkan pihak kedua yakni seseorang yang memerlukan bantuan medis demi
kesehatannya yakni pasien. Malpraktik tidak hanya dapat dilakukan oleh dokter
namun juga oleh tenaga medis lainnya. Disebutkan pula medical malpractice
cases are generally sought by patients who have been harmed or injured due to
3 Martin Basiang, 2009, Law Dictionary, Red and White Publishing, h. 280 4 Hendrojono Soewono, Op Cit, h. 13
poor medical treatment or mistaken diagnosis from a medical provider such as a
doctor, nurse, technician, hospital or medical worker.5 (Kasus malpraktik medis
umumnya dicari oleh pasien yang telah dirugikan atau terluka karena perawatan
medis yang buruk atau diagnosis keliru dari penyedia medis seperti dokter,
perawat, teknisi, rumah sakit atau pekerja medis).
Sulit untuk memahami apa yang dimaksud dengan malpraktek, bisa saja
terjadi kesimpangsiuran pengertian antara malpraktek, pelanggaran kode etik atau
pelanggaran hukum. Secara etimologis malpraktek berasal dari kata mal artinya
salah, jadi malpraktek ini adalah salah melakukan prosedur yang berujung pada
kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Atau bisa juga melakukan tindak pidana
seperti abortus provokatus.6 Malpraktek harus memenuhi unsur kecerobohan,
kesem-bronoan, kekurang hati-hatian (Professional Misconduct) atau
kekurangmampuan yang tidak pantas (Unreasonable' lack of skill) yang hanya
dilakukan oleh pengemban profesi Dokter, Advokat, Notaris, dan lain-lain. Suatu
perbuatan malpraktek hanya bisa dilakukan oleh seseorang-profesional yang
mempunyai karakteristik tertentu.
Black Law ; dictionary sebagaimana dikutip oleh HM Soedjatmiko;
merumuskan malpraktek sebagai: "any professional misconduct, unreasonable
lack of skill or fidelity in professional or judiary duties, evil practice, or illegal or
immoral conduct...........
5 Findlaw, 2016, First Steps in a Medical Malpractice Case, Available at
http://injury.findlaw.com/medical-malpractice/first-steps-in-a-medical-malpractice-case.html,
accessed 7th July 2016.
6 Edi Setiadi, Pertanggungjawaban pidana Dalam Kasus Mal Praktek Dokter, Makalah
pada seminar sehari Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek, kerjasama antara IKAHI dan IDI
Cabang Sekayu di Sekayu, 27 Mei 2006
(perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di
bawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan
kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau illegal atau perbuatan
yang tidak bermoral)7.
Ada beberapa pendapat dari kalangan para ahli atau doktrin yang
memberikan batasan pengertian serta makna dari istilah malpraktik medik atau
medical malpractice seperti berikut :
1. Vironika ; malpraktek berasal dari kata "malpractice" yang pada hakekatnya
adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat
adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian
medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang
tidak sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya8.
2. Hermien Hadiati Koeswadji ; malpractice secara harfiah berarti bad practice
atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri
khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan "how to practice the medical
science and technology", yang sangat erat hubungannya dengan sarana
kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan
7 HM. Soedjatmiko, 2001 Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridis, dalam
kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr. Syaiful Anwar
Malang, h. 3 8 Vironika Komalasari,1998, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 87
praktek, maka Hermien lebih cenderung menggunakan istilah
"maltreatment"9.
3. Danny Wiradharma ; melihat dari sudut perikatan antara dokter dengan
pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk10.
4. Ngesti Lestari ; mengartikan malpraktek sebagai pelaksanaan atau tindakan
yang salah, dengan demikian arti malpraktek medik sebagai tindakan dari
tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang
kedokteran (profesional misconduct) baik di pandang dari sudut norma etika
maupun norma hukum11.
5. John D Blum sebagaimana dikutip oleh Hermien Hadiati Koeswadji;
memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai "a form of
professional negligence in which measrable injury occurs to a plaintiff patient
as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner"
(malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka
atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan
gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter)12.
6. Anny Isfandyarie ; menyimpulkan sebagai kesalahan dokter karena
tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai
9 Hermien Hadiati Koeswadji, 1996, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya bakti, Bandung, h. 124 10 Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa
Aksara, Jakarta, 1996, h. 87 11 Ngesti Lestari, 2001, Masalah Malpraktek Etika Dalam Praktek Dokter (Jejaring
Biotia dan Humaniora), dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum
Kedokteran, RSUD dr. Syaiful Anwar Malang, h. 2, 114-115 12 Hermien Hadiati Koeswadji, Op.Cit, h. 122-123
dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau
cacat badan bahkan meninggal dunia13.
7. Mr. L.D Vorstman mengutip pendapat Prof. Hector Treub dalam R Abdoel
Djamal CS ; seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak
melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnose, tidak melakukan sesuatu atau
membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan
situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnose serta
melakukaan atau membiarkan sesuatu tersebut14.
8. Coughlin bekas presiden New York State Bar Association;
merumuskan sebagai berikut:
Professional misconduct on the part of a professional person, such as a
physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or
fidelity in the performance of professional duties, intentional
wrongdoing, or illegal or unethical practice.15
9. Soerjono Soekanto ; menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan medical
malpractice adalah, segala sikap tindak yang menyebabkan terjadinya
tanggung jawab. Sikap tindak tersebut dilakukan berdasarkan lingkup
profesional pelayanan kesehatan16.
13 Anny Isfandyarie, Op Cit, h. 22 14 R Abdoel Djamal & Lenawati Tedjapermana, 1988, Tanggung Jawab Hukum
Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, CV Abardin, h. 119. 15 George Gordon Coughlin, 1982, Dictionary of Law, 1982, New York : Barnes &.
Note Books, termuat dalam Soerjono Soekanto, Loc Cit 16 Ibid, h. 155
10. Zulkifli Muchtar ; menyebutkan bahwa malpraktek profesi kedokteran adalah,
setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan suatu pekerjaan
di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal17.
11. M. Yusuf Hanafiah ; Malpraktek Medis adalah, kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama18.
Setelah mencermati pengertian dan unsur – unsur pengertian malpraktik
medik dari para ahli (doktrin) diatas, maka secara definitif tidak kita dapati
pengertian malpraktek ini dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktek justru
kita dapati dalam Pasal 11b dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang
Kesehatan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tersebut.
Mengacu dari berbagai pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa,
seorang dokter telah melakukan praktek yang buruk manakala dia karena dengan
sengaja atau akibat kelalaian tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan baik dalam kode etik kedokteran, standar profesi, maupun standar
pelayanan medik, yang berakibat pasien mengalami kerugian.
17 Zulkifli Muchtar, Dokter Dalam Peadilan Dan Hukum Indonesia, Berita Ikatan
Dokter Indonesia, No. 1 3, Juli 1987 18 M. Yusuf Hanafiah & Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehtan, EGC.
Jakarta, 1999, h. 87
2.1.2. Asas – Asas Hukum Sebagai Landasan Terkait Adanya Hubungan
Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien atau dengan istilah lain
transaksi terapeutik yang menghasilkan apa yang disebut dengan pelayanan medik
atau tindakan medik. Maka sebelum membahas lebih lanjut tentang pelayanan
medik ini maka akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa asas hukum yang
harus dipedomani oleh dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan
kesehatan kepada pasiennya.
Asas-asas hukum tersebut sebagaimana diatur dan termuat dalam Undang-
Undang Praktek Kedokteran yaitu pada Bab II Pasal 2. Dengan demikian secara
hukum, asas-asas tentang praktek kedokteran atau kedokteran gigi tersebut telah
menjadi hukum positif bagi para dokter atau dokter gigi Indonesia.
Pasal 2 yang mengatur tentang asas dimaksud menyatakan: "Bahwa
penyelenggaraan praktek kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada nilai ilmiah
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan
keselamatan pasien". Dalam penjelasan Pasal 2 pengertian asas-asas tersebut
diuraikan sebagai berikut :
a. Nilai ilmiah adalah, bahwa praktek kedokteran harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan
termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika
profesi.
b. Manfaat adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
c. Keadilan adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus
mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang
bermutu.
d. Kemanusiaan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran
memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku,
bangsa, status sosial dan ras.
e. Keseimbangan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran
tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu
dan masyarakat.
f. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah, bahwa penyelenggaraan
praktek kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata,
tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan
tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Selain daripada itu Komalasari mnenyebutkan pula beberapa asas yang
harus dipedomani dan dijadikan dasar oleh para dokter atau dokter gigi dalam
melakukan perjanjian atau transaksi terapeutik dengan pasien. Asas-asas hukum
yang dimaksud, yaitu:
1. Asas Legalitas
2. Asas Keseimbangan
3. Asas Tepat Waktu.
4. Asas Iktikad Baik
5. Asas Kejujuran
6. Asas Kehati-hatian
7. Asas Keterbukaan19
Ad. 1). Asas Legalitas
Asas ini dapat ditarik dari ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan/atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
19 D. Vironika Komalasari, Op Cit, h. 128
Hal ini mengandung makna bahwa pelayanan kesehatan harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang kompeten, baik pendidikannya maupun perizinannya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Asas Legalitas ini lebih ditekankan lagi pada Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, khususnya Pasal 26 sampai 28 yang
mengatur tentang standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi.
Konsil Kedokteran Indonesialah yang mensahkan standar pendidikan bagi dokter
maupun dokter gigi setelah melihat dan mendengar masukan dari Asosiasi
Institusi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi (untuk pendidikan profesi
dokter dan dokter gigi) serta Kolegium Kedokteran atau Kedokteran Gigi (untuk
pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis).
Dalam menyusun standar pendidikan bagi dokter maupun dokter gigi,
maka Asosiasi Institusi Pendidikan Dokter dan Dokter Gigi serta Kolegium
Kedokteran dan Kedokteran Gigi berkoordinasi dengan organisasi profesi,
Asosiasi Insitusi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi (bagi Kolegium
Kedokteran dan Kedokteran Gigi), Kolegium (bagi Asosiasi Pendidikan
Kedokteran dan Kedokteran Gigi), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan,
Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan.
Dalam UU tersebut ditentukan pula suatu kewajiban bagi dokter yang
berpraktek untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan guna
menyerap perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran maupun teknologi
kedokteran mutakhir.
Dalam Permenkes RI Nomor 560 dan 561/Menkes/' Per/1981 menentukan,
terdapat tiga jenis surat izin dalam menjalankan pekerjaannya sebagai dokter,
yaitu sebagai berikut :
1. Surat Izin Dokter (SID) yang merupakan izin yang dikeluarkan bagi
dokter yang menjalankan peker-jaan sesuai dengan bidang profesinya di
wilayah negara RI.
2. Surat Izin Praktek (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang
menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta
per-seorangan di samping tugas/fungsi lain pada pemerintahan atau unit
pelayanan kesehatan swasta
3. Surat Izin Praktek (SIP) semata-mata, yaitu izin yang dikeluarkan bagi
dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai
swasta perseorangan semata-mata, tanpa tugas pada pemerintahan atau
unit pelayanan kesehatan swasta.
Setelah memperoleh izin dimaksud, barulah dokter berwenang
melaksanakan tugas memberikan pelayanan kesehatan, baik pada rumah sakit
pemerintah atau rumah sakit swasta atau melakukan praktek secara perorangan.
Ad. 2). Asas Keseimbangan
Fungsi hukum selain memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, hukum juga harus bisa memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu pada keadaan semula. Asas keseimbangan ini
merupakan asas yang berlaku umum tidak hanya berlaku untuk transaksi
terapeutik.
Penyelenggara pelayanan kesehatan harus diseleng-garakan secara
seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental,
juga keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara
manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medik yangdilakukan.
Ad. 3). Asas Tepat waktu
Asas tepat waktu ini merupakan asas yang sangat penting diperhatikan
oleh para pelayan kesehatan khususnya para dokter. Karena keterlambatan
penanganan seorang pasien akan dapat berakibat fatal yaitu kematian pasien.
Penanganan yang berkesan lambat dan asal-asalan terhadap pasien sangat tidak
terpuji dan bertentangan dengan asas tepat waktu ini. Kecepatan dan ketepatan '
penanganan terhadap pasien yang sakit merupakan salah satu faktor yang dapat
berakibat terhadap kesembuhan pasien.
Ad. 4). Asas Iktikad Baik
Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik (beneficence) yang perlu
diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Sebagai
profesional seorang dokter dalam menerapkan asas iktikad baik ini akan tercermin
dengan penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktek kedokteran
yang selalu berpegang teguh pada standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik
ini tentunya tidak harus mengorbankan atau merugikan diri sendiri.
Ad. 5). Asas Kejujuran
Kejujuran antara dokter dan pasien merupakan salah satu hal penting
dalam hubungan dokter pasien.
Selain asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam transaksi terapeutik
yang telah diuraikan dalam Undang Undang Praktek Kedokteran dan oleh
Komalawati diatas, Munir Fuady telah menyusun pula beberapa asas dalam etika
modern dari praktek kedokteran, sebagai berikut: 20
1. Asas Otonom
20 Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates: Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 6.
Asas ini (autonomy) menghendaki agar pasien yang mempunyai
kapasitas sebagai subjek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan
untuk menentukan pilihannya secara rasional, sebagai wujud penghormatan
terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri (self
determination).
2. Asas Murah Hati
Istilah atau kata lain dari asas murah hati ini adalah beneficence,
adalah suatu asas yang sangat menekankan kepada para pemegang profesi
kedokteran agar dalam upayanya melakukan pelayanan kesehatan terhadap
pasien atau masyarakat agar mengutamakan sifat murah hati ini. Sangat
dianjurkan kepada para dokter atau dokter gigi memiliki sikap-sikap mudah
berbuat kebajikan, kebaikan dan kedermawanan. Asas-asas ini masih
dilaksanakan sampai saat ini dengan memberikan pelayanan yang sama
terhadap pasien dengan jaminan kesehatan pemerintah serta membebaskan
biaya tindakan dokter atas perintah dokter yang bersangkutan.
3. Asas Tidak Menyakiti
Asas tidak menyakiti atau non maleficence mengandung makna bahwa
sejauh mungkin dalam upaya melakukan pelayanan kesehatan atau tindakan
medis kepada pasiennya, dokter atau dokter gigi, sejauh mungkin
menghindarkan rasa sakit dari sang pasien dan atau keluarganya.
4. Asas Keadilan
Dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatannya
tidak dibenarkan membeda-kan status ekonomi ataupun status sosial dari
pasien. Dokter atau dokter gigi harus tetap memberikan penghormatan yang
sama kepada seluruh pasiennya dan juga memberi penghargaan sama atas hak-
hak pasien, seperti hak atas kerahasiaan atau privacy pasien, hak atas
informasi dan memberikan per-setujuannya, dan sebagainya.
5. Asas Kesetiaan
Asas ini merupakan terjemahan dari fidebility yang terkandung makna
bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan
pasien kepadanya. Seorang pasien datang kepada dokter atau dokter gigi
karena dia percaya bahwa dokter atau dokter gigi tersebut akan dapat
memberikan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Kepercayaan yang
besar ini merupakan suatu amanah bagi dokter atau dokter gigi, dan oleh
karenanya dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin
berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya menyembuhkan atau
menye-lamatkan pasien.
6. Asas Kejujuran
Kejujuran atau veracity atau honesty merupakan satu asas yang harus
sama-sama dijunjung tinggi baik oleh dokter atau dokter gigi maupun pasien.
Pasien harus jujur menceritakan riwayat penyakitnya tanpa harus ada yang
disembunyikan kepada dokter atau dokter giginya, demikian pula sebaliknya
dokter atau dokter gigi harus, pula secara jujur menginformasikan hasil
pemeriksaan, penyakit serta langkah-langkah pengobatan yang akan di-
lakukannya tentu dengan cara-cara yang bijaksana.
Memang asas – asas hukum tidak atau belum mengandung sanksi,
tetapi ketika asas – asas sudah dituangkan ke dalam norma hukum dalam
bentuk undang-undang atau pasal-pasal dalam suatu undang-undang (seperti
Undang – Undang Praktek Kedokteran atau Undang – Undang Kesehatan,
Undang – Undang Rumah Sakit), maka norma hukum itu telah dapat
diterapkan, karena sudah mengandung sanksi hukum.
2.2. Perbedaan Tindakan Malpraktik Medik Dengan Tindakan Resiko
Medik
2.2.1. Profesi Dokter
Hukum positif Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran khususnya pada ketentuan umum Pasal 1 angka 11,
telah disebutkan pengertian profesi kedokteran adalah sebagai berikut: “Profesi
kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompeten yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat”.
Mengacu dari pengertian diatas maka hakekat profesi menurut D. Vironika
Komalasari21 adalah panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan
yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan
niat dan tanggung jawab penuh. Beberapa ciri profesi antara lain:
1. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang
terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis.
21 Vironika Komalasari, Op Cit, h. 19 - 20.
2. Mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan
keterampilan tertentu.
3. Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu.
4. Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya, serta mempertahankan kehormatan.
5. Mempunyai etik tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya.
6. Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu.
7. Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu
dan organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap
kemandiriannya.
Sementara itu Parson sebagaimana dikutip oleh D Vironika Komalasari
mengemukakan beberapa ciri khusus profesi sebagai berikut:
1. Disinterestedness, artinya tidak mengacu kepada pamrih. Nilai ini harus
dijadikan patokan normatif bagi pengemban profesi.
2. Rationalitas, artinya melakukan usaha mencari yang terbaik dengan
berpedoman pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Perwujudan sistem pekerjaan profesi dilaksanakan berbasis
rasionalitas yang merupakan salah satu ciri yang dominan dari ilmu.
3. Spesifisitas fungsional, artinya para profesional mempunyai kewibawaan
(otoritas) di dalam masyarakat dengan struktur sosiologikal yang khas
yang bertumpu pada kompetensi teknikal yang superior yang hanya
dimiliki oleh pengemban profesi yang bersangkutan saja. Oleh karena itu,
seorang profesional dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas hanya
dalam bidahgnya.
4. Universalitas, artinya dasar pengambilan keputusan bukan pada
"siapanya" ataupun keuntungan pribadi yang dapat diperoleh pengambil
keputusan, tetapi berdasarkan kepada "apa yang menjadi masalahnya"22.
Sehingga seorang dokter atau dokter gigi adalah seorang profesional
dalam bidang pengobatan atau kedokteran, karena mereka bekerja berdasarkan
22 Vironika Komalasari, Op Cit, h. 19 - 20.
keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan yang berjenjang,
mandiri dan bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
Ada 3 (tiga) karakteristik yang menonjol dari seorang profesional yaitu:
perlu adanya persyaratan extensive training untuk berpraktek sebagai profesional.
Training tersebut mengandung apa yang dinamakan a significant intelectual
component, tidak sekedar bersifat skill traning semata-mata. Dan terakhir
perlunya pengabdian yang penuh terhadap pelayanan masyarakat.23 Guna
mengetahui apakah seorang dokter atau dokter gigi telah profesional dalam
melaksanakan pelayanan kesehatannya, ada beberapa tolok ukur yang dapat
dipakai sebagai patokan, yaitu ; apakah pelayanan kesehatan atau pelayanan medis
tersebut sudah memenuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar
operasional prosedur.
2.2.2. Etika Profesi Kedokteran
Setiap manusia pada umumnya memiliki profesi sesuai bidang dan
keahliannya masing-masing. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya norma
mengatur untuk memberi batas-batas dalam berfungsinya suatu profesi. Norma
dibagi dalam beberapa jenis, salah satunya norma hukum. Dalam norma hukum
termasuk di dalamnya norma etik sebagai penjabaran dari norma agama,
kesopanan dan kesusilaan. Etik dalam implementasinya berwujud etika, sehingga
sebuah profesi termasuk profesi dokter diatur dan diikat dengan etika profesi.
Istilah etika ini berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang mengandung
arti "yang baik, yang layak". Ini merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola
23 Edi Setiadi, Op Cit, h. 3
tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada
masyarakat24. Sedangkan profesi berasal dari profession dirumuskan sebagai ....
the wrong profession refers to a group of men pursuing learned art a common
calling in the spirit of a public service, no less a public service because it may
incidentally be a means of livelihood25
Etika dapat digunakan dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Disini etika berarti sebagai "sistem nilai" yang dapat berfungsi dalam
kehidupan seseorang atau suatu masyarakat, mementara menurut Hermien Hadiati
Koeswadi 26; sebagaimana mengutip Encylopedia Americana International
Edition, etika atau ethic berasal dari kata dalam bahasa Yunani "ethikes" yang
berarti moral, dan "ethos" yang berarti tabiat, karakter atau kelakuan. Ethic juga
menunjuk kepada nilai-nilai atau aturan-aturan perilaku dalam suatu kelompok
manusia, atau manusia perorangan, seperti misalnya dapat dijumpai dalam arti
kata "unethical behavior". Oleh karena itu ethic merupakan cabang dari filsafat
dimana manusia berusaha untuk mengevaluasi dan memutuskan melalui sarana
tertentu tindakan-tindakan moral atau teori-teori umum tentang tingkah laku.
Berbeda dengan Bahder Johan Nasution27 yang menyatakan, bahwa istilah
etik pada awalnya bersumber dari istilah Latin yang merupakan paduan dari
istilah mores dan ethos. Kedua kata ini merupakan paduan rangkaian dari konsep
24 K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 1993, sebagaimana dikutip Deddy Rasyid,
Perbuatan Malpraktik Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia, Tesis,
Pascasarjana, UI 25 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit, h. 100 26 Hermien Hadiati Koeswdji, Op Cit, h. 123 27 Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9
mores of a community dan ethos of the people yang dapat diartikan dengan
kesopanan suatu masyarakat dan akhlaq manusia. Konsep ini kemudian
berkembang terutama di kalangan masyarakat pengemban profesi. Nilai-nilai yang
merupakan mores dan ethos tersebut kemudian oleh kalangan profesi dirumuskan
dan dikodifikasi sehingga melahirkan suatu code of conduct atau kode etik. Di
kalangan masyarakat pengemban profesi kesehatan kode etik ini dikenal dengan
sebutan kode etik kedokteran.
Sehubungan dengan hal tersebut kata etika dapat berarti kumpulan asas
atau nilai moral, maksudnya adalah sebagai "kode etik". Etik? berarti juga ilmu
tentang yang baik atau buruk. Dalam hal in etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etik (asas-asas atau nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dar buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa
disadari, menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis28
Demikian pula dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji29 bahwa, etika
yang mengikat profesi biasanya dikaitkan dengan ilmu yang diajarkan untuk dapat
mengamalkan ilmu tersebut, dan yang biasanya mengikat pengemban ilmu
tersebut secara internal dan benar-benar suci, atau yang biasanya disucikan
melalui pengenalan tentang hakikat ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu
pengetahuan kedokteran, ilmu pengetahuan tersebut harus benar-benar dihayati
oleh pengembannya, dan dengan demikian mengamalkannya benar-benar
berdasarkan keyakinannya. Oleh karenanya maka keyakinan tersebut harus
28 K. Bertens, Op Cit 29 Hermien Hadiati Koeswadji, Op Cit, h. 123
dilandasi oleh motivasi dalam mengemban profesinya dalam kedudukan dan
ruang lingkup dunia kedokteran.
Mengacu pada nilai-nilai etik kedokteran itu menjiwai sikap dan perilaku
dokter dan mempedomaninya dalam setiap sikap dan tindakannya sehari-hari,
nilai etik itu kemudian akan membawanya pada suatu konsekuensi tentang
keyakinannya mengenai bagaimana ia harus berbuat dan bersikap. Disinilah
nantinya dapat diresapi bahwa etik kedokteran dalam kalangan pengemban profesi
kedokteran mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting, untuk menjamin
kelangsungan dan kelanggengan profesi mereka. Nilai etik senantiasa ingin
menempatkan diri dengan memberi warna dan pertimbangan terhadap sikap dan
perilaku dokter dalam memasyarakatkan dan memberi pedoman tentang mana
yang dianggap baik, buruk, benar dan salah.30
Besarnya peranan norma etik ini dalam dunia kedokteran telah diakui
sejak tumbuhnya ilmu kedokteran pada zaman Hipocrates (5 SM). Hal ini
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa para dokter sebagai pengemban profesi
merupakan suatu masyarakat moral yang terbentuk dan disatukan oleh latar
belakang pendidikan atau keahlian yang sama.31 Adapun yang menjadi landasan
dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) tersebut adalah :
1. Sumpah Hipocrates (460 - 377 SM).
2. Deklarasi Genewa( 1948).
3. International Code of Medical Ethics (1949).
4. Lafal sumpah dokter Indonesia (1960).
5. Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter Sedunia (World Medical
Association, WMA), yaitu antara lain:
30 Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9-10. 31 Deddy Rasyid, sebagaimana mengutip pendapat Veronica Komalawati, Op Cit, h.
43.
a. Deklarasi Genewa (1948) tentang lafal sumpah dokter.
b. Deklarasi Helsinki (1964) tentang riset klinik.
c. Deklarasi Sidney (1968) tentang saat kematian.
d. Deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi
medik.
e. Deklarasi Tokyo (1975) tentang penyiksaan32.
Etika profesi kedokteran Indonesia ini mengatur tentang kode etik dan
sumpah dokter. Kodeki ini disusun dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut
diatas dan telah disesuaikan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan telah dimantapkan dalam bentuk
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Menkes/SK.X/1983. Kodeki ini
mengatur hubungan antara manusia yang mencakup kewajiban umum seorang
dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap
sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri.
Dalam Kodeki tersebut dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut
yaitu :
A. Kewajiban umum
Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang rnengakibatkan hilangnya ke-
bebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri.
Pasal 5 Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk Tcepentingan dan
kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan
dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru
32 M. Yusuf Hanafiah & Amri Amir, Op Cit, h. 2
yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan
moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan,
dalam menangani pasien.
Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien.
Pasal 7d Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-
benarnya.
Pasal 9 Setiap dokter dalam berkerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.
B. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keteram-pilannya untuk kepentingan pasien. Dalam
hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat behubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadah dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.
Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
C. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur
yang etis.
D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja
dengan baik.
Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti per-kembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat
pembentuk undang-undang, ketaatan atas hukum tersebut dapat dipaksakan dari
luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung
sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk
melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu
insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan
norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti
saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing. Hati nurani dan moralitas,
sebagai objek dari norma etika, yang menghendaki agar manusia selalu bersikap
tindak yang baik akan membuat pergaulan pribadi-pribadi dalam suatu
masyarakat menjadi lebih baik pula, sehingga akan terwujud masyarakat yang
tertib dan damai.
Menurut Safitri Hariyani bahwa pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki
ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan
pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah
pelanggaran etikolegal. Beberapa contoh berikut ini:
1. Pelanggaran etik murni:
a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga
sejawat dokter dan dokter
b. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
c. Memuji diri sendiri dihadapan pasien.
d. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
2. Pelanggaran etikolegal:
a. Pelayanan dokter di bawah standar.
b. Menerbitkan surat keterangan palsu.
c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
d. Tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Abortus provokatus.
f. Pelecehan seksual33.
Deddy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik kedokteran semata
dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Pelanggaran etik kedokteran:
a. Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal 17
Kodeki).
b. Melakukan perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri (melanggar
Pasal 4 huruf a Kodeki).
c. Tidak mengutamakan / mendahulukan kepentingan masyarakat
(melanggar Pasal 8 Kodeki).
d. Mengambil alih penderita dari teman sejawat tanpa persetujuan
(melanggar Pasal 16 Kodeki).
2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana:
a. Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki
sekaligus melanggar Pasal 267 KUHP).
b. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13
Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP).
c. Tidak mau melakukan pertolongan darurat kepada orang yang menderita
(melanggar Pasal 14 Kodeki sekaligus Pasal 304 KUHP)34.
Memperhatikan dari kode etik kedokteran tersebut telah tertuang dalam
perundang-undang baik dalam undang-undang praktek kedokteran maupun dalam
33 Safitri Haryani, 1998, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien, Rafika Aditama, Jakarta 34 Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktek Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana Di
Indonesia, Tesis, UI
KUHP, sehingga dengan demikian telah berlaku sebagai hukum positif yang
pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bersanksi hukum. Pelanggaran etik
kedokteran oleh seorang dokter atau dokter gigi dapat dikenakan sanksi oleh
instansi yang berwenahg untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran etik kedokteran,
yaitu Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK). MKEK merupakan
badan yang berada dibawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Etik kedokteran yang telah tertuang dalam Undang-Undang Praktek
Kedokteran seperti misalnya:
Pasal 2 Kodeki, seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, hal ini tercantum dalam
Pasal 27 dan 28 UU 29/2004 yaitu, untuk memberikan kompetensi kepada dokter
atau dokter gigi maka calon dokter harus telah melaksanakan pendidikan
kedokteran yang sesuai dengan pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran
gigi. Demikian pula walaupun dia telah berpraktek diwajibkan pula untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
Pasal 10 Kodeki dalam hal seorang dokter tidak mampu melakukan
pengobatan, maka atas persetujuan pasien wajib merujuk pasien pada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Hal ini telah tercantum dalam Pasal
51 UU 29/2004 kewajiban dokter merujuk pasien ke dokter lain apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Apabila dokter tidak
melakukan merujuk pasien tersebut dokter dapat kena sanksi Pasal 79 huruf c UU
29/2004.
Pasal 12 Kodeki tentang rahasia kedokteran, telah tercantum pada Pasal 48
dan 51 UU 29/2004, seorang dokter wajib menyimpaii rahasia kedokteran kecuali
untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparat penegak
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan. Apabila dokter melanggar ketentuan tersebut dapat kena sanksi Pasal
79 c UU 29/2004.
Pasal 13 Kodeki tentang wajib melakukan pertolongan darurat, telah
tertuang dalam Pasal 51 d UU 29/2004, apabila seorang dokter tidak melakukan
kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c UU 29/2004.
Pasal 18 Kodeki tentang harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, telah tertuang pula dalam Pasal 51 e UU
29/2004 yaitu, seorang dokter berkewajiban menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi, apabila dokter
tidak melakukan hal itu maka dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c.
Pasal 79 UU 29/2004 tersebut memberikan ancaman maksimal 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan Pasal 267 KUHP memberikan sanksi pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun jika seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat dan
jika surat keterangan tersebut dimaksud-kan untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan ketentuan Pasal 322 KUHP memberikan
ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 9.000,00 (sembilan ribu rupiah).
2.2.3. Standar Profesi Medis
Standar profesi medis adalah, batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang
dibuat oleh organisasi profesi (vide Pasal 50 dari UU Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran). Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa,
apabifa dokter atau dokter gigi yang melaksanakan praktek kedokteran atau
kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional
prosedur, maka dokter atau dokter gigi tesebut berhak mendapatkan perlindungan
hukum.
Standar profesi adalah sebuah ukuran atau pedoman yang telah
ditentukan sebelumnya oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Standar
inilah yang harus semaksimal mungkin diupayakan untuk dipenuhi dalam
melaksanakan tugas profesinya.
2.3. Timbulnya Malpraktik Medik dari Dokter
2.3.1. Standar Pelayanan Medik Bagi Kesehatan
Selain dokter harus mematuhi standar profesi medik seperti diuraikan
diatas, maka dokter diharuskan pula memenuhi standar pelayanan medik dan juga
standar prosedur operasional.
Dalam Pasal 44 dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran menyatakan:
1. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran vvajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Standar pelayanan kesehatan tersebut ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, standar pelayanan
medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi
dalam menyelenggarakan praktek kedokterannya. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan strata sarana pelayanan adalah, tingkatan pelayanan yang standar tenaga
dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Standar pelayanan
medis ini sebagaimana perintah undang-undang praktek kedokteran seharusnya
diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan, namun sayang hingga kini kepmen
tersebut belum pernah ada.
Begitu pula halnya malpraktek medis ini merupakan suatu istilah yang
selalu berkonotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Menurut J Guwandi
malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan :
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional)
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan
perkataan lain, malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan
sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia,
memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya
menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga
penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal dunia
(abandonment)35.
Perbedaannya yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif yang
dilakukannya, misalnya:
35 J. Guwandi, Op Cit, h. 20 – 21
1. Pada malpraktek (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan
tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak
ditimbulkan atau tak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau
seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan dengan
hukum yang berlaku, sedangkan
2. Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat
yang terjadi. Akibat yang timbul itu disebabkan karena adanya kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
Dalam praktek yang terjadi selama ini, malpraktek medis dalam arti yang
sengaja dilakukan (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang
dan berintikan kesengajaan (criminal malpractice) dalam arti kesengajaan tersirat
adanya motif (mens rea, fuilty mind) tidaklah banyak yang terungkap di
Pengadilan pidana. Yang sering terjadi adalah kelalaian atau negligence lebih
berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, kurang teliti, acuh,
sembrono, sembarangan, tak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun
akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.
Apabila kelalaian itu sudah mencapai suatu tingkat tertentu dan tidak-
memperdulikan benda atau keselamatan jiwa atau benda orang lain, maka sifat
kelalaian itu bisa berubah menjadi serius dan kriminal. Hukum tidak lagi bisa
tinggal diam, karena sifat kelalaian ini sudah merupakan pelanggaran terhadap
kepentingan umum serta pelanggaran terhadap perundang-undangan. Jika sebagai
akibatnya sampai mencelakakan, menciderai atau bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka oleh hukum tingkat kelalaian itu digolongkan sudah termasuk
perumusan pidana sebagaimana tercantum di dalam Pasal 359 KUHP.
2.3.2.Resiko Medik Bagi Dokter
Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan
kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas akibat yang tidak dikehendaki dalam
melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat
dituntut secara hukum).
Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh
pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri, setelah dokter atau dokter gigi
berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar
pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga
terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung unsur
yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah
(vermijtbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya
(verzienbaarheid).
Dalam The Oxford Illustrated Dictionary (1975)36 telah dirumuskan
makna kecelakaan medis atau resiko medis, adalah sebagai berikut: suatu
peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tak disengaja. Sinonim yang disebutkan
adalah, accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck,
J. Guwandi menyatakan bahwa makna resiko medis ini adalah sebagai
berikut: Setiap tindakan medis, lebih-lebih dalam bidang operasi dan anestesia,
36 J. Guwandi, Loc Cit, h. 25
akan selalu mengandung suatu resiko. Ada resiko yang dapat diperhitungkan dan
ada resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Maka timbulnya resiko
itu harus membuat seminimal mungkin, misalnya dengan melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan pendahuluan, anamnesa yang teliti atau tambahan tes-
tes laboratorium, jika dalam pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu
dipastikan terlebih dahulu.37 Walau demikian tidak semua tindakan yang tak
disengaja termasuk perumusan kecelakaan atau resiko medis, karena tindakan
kelalaianpun dilakukan tidak dengan sengaja.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 hal tersebut diatur dalam
Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa, dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktek kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan
kedokteran atau kedokteran gigi. Aturan lebih lanjut tentang hal tersebut akan
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun sayangnya sampai ditulis-nya
buku ini aturan dimaksud belum pernah ada.
2.3.3. Hal yang Dapat Membebaskan Dokter dari Tuntutan Hukum
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang dapat membebgskan
seorang dokter atau dokter gigi dari tuntutan hukum. Hal-hal tersebut berdasarkan
hukum positif Indonesia dan beberapa teori yang ditarik dari kesimpulan beberapa
yunsprudensi dari sistem hukum Anglo Saxon, misalnya38 :
1. Telah melakukan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan medis dan standar operasional prosedur.
37 J. Guwandi, Op Cit, h. 27. 38 J. Guwandi, Loc Cit
Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya bahwa
berdasarkan Pasal 50 huruf a dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter atau dokter gigi telah
melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional maka la (dokter atau dokter
gigi) tersebut tidak dapat dituntut hukum baik hukum administrasi, hukum
perdata maupun hukum pidana.
2. Informed Concent (Persetujuan Atas Informasi)
Informed concert berarti, concent adalah persetujuan, sedangkan
informed adalah telah diinformasikan, sehingga informed concent berarti
persetujuan atas dasar informasi. Istilah lain yang sering dipergunakan adalah
persetujuan tindakan medik.
Sebelum melakukan tindakan medik seorang dokter berkewajiban
memberikan penjelasan terhadap pasien dan/atau keluarganya tentang
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan,
alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pengaturan tentang informed concent ini terdapat pada Pasal 39, 45
dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan
bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan
antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik yang akan dilakukan dokter
harus mendapat persetujuan pasien.
3. Contribution Negligence (Kesalahan Pasien)
Selain hal-hal diatas, dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter
gagal atau tidak berhasil dalam penanganan terhadap pasiennya apabila,
pasien tidak koperatif karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang
riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan yang pernah
dimakannya selama sakit, atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta
instruksi dokter atau menolak cara pengobatan yang telah disepakati.
Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah
contribution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati
saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap
dokter dan terhadap dirinya sendiri.
4. Respectable Minority Rules Dan Error Of (in) (Pilihan Tindakan Medis
Dokter yang Keliru)
Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks,
seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan atau
pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis
khusus. II mu medis adalah suatu seni dan sains (art and science) disamping
teknologi yang dimatangkan dalam pengalaman. Maka dapat saja cara
pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan
yang lain. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
5. Volenti Non Fit Iniura atau Asumption of Risk (Asumsi Yang Telah Diketahui
dan Beresiko)
Volenti non fit iniura atau asumption of risk merupakan doktrin lama
dalam ilmu hukum yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu
asumsi yang sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang
tinggi pada pasien apabila dilakukan suatu tindakan medis padanya.
Setelah penjelasan selengkapnya telah diberikan dan ternyata pasien
dan/atau keluarga setuju (informed concent), apabila terjadi resiko yang telah
diduga sebelumnya ini maka dokter tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan pada kasus
pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun dokter belum
mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan dokter dan rumah sakit
dari tuntutan hukum.
6. Respondeat Superior Atau Vicarious Liability (Hospital Liability/Corporate
Liability) (Tanggung Jawab Lembaga / Atasan)
Dalam sistem hukum Indonesia yang mengikuti Eropa Continental
masalah tersebut diatur dalam Pasal 1367 BW, adapun maksud ketentuan
pasal ini adalah, majikan berhak mengontrol tindakan bawahannya baik atas
hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Demikian pula
dengan perkembangan hukum kesehatan serta kecanggihan teknologi
kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya termasuk apa yang diperbuat oleh
para medis.
Hanya saja pendapat sebagian pakar hukum kita rnasih membedakan
hubungan kerja antara atasan dengan bawahan dan tindakan bawahan harus
dalam lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja ada
apabila atasan mempunyai hak secara langsung mengawasi dan mengendali-
kan aktivitas bawahan dalam melakukan tugas-tugasnya. Dalam hal ini
pekerjaan yang dilakukan harus merupakan suatu wujud perintah yang
diberikan oleh atasan.
7. Res Ipsa Loquitur (Kelalaian yang Nyata / Jelas)
Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung dengan beban
pembuktian (onus, burden of proof), yaitu pemindahan beban pembuktian dari
penggugat (pasien dan/atau keluarganya) kepada tergugat (tenaga medis).
Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui
seorang awam atau menurut pengetahuan umum antara orang awam atau
profesi medis atau kedua-duanya, bahwa cacat, luka, cedera atau fakta sudah
jelas nyata dari akibat kelalaian tindakan tenaga medik, dan hal semacam ini
tidak memerlukan pembuktian dari penggugat akan tetapi tergugatlah yang
harus membuktikan bahwa tindakannya tidak masuk katagori lalai atau keliru
Asumsi dan tuduhan secara dini dari pihak pasien atau masyarakat
terhadap dokter bahwa telah melakukan tindakan malpraktik medik terkadang
sering suatu hal yang berlebihan, khususnya dari pihak pasien, apalagi sebagai
korban atas ketidakpuasan atau kesehatan yang diharapkannya. Semua usaha
tindakan medik yang dilakukan dokter bila ada dugaan atas tuduhan
malpraktik medik memerlukan pembuktian secara standar medik dan hukum.
Untuk tidak secara cepat menuduh pihak dokter telah melakukan tindakan
malpraktik medik.
Profesi dokter adalah mulia, untuk memberikan pertolongan bagi
setiap orang yang memerlukan keahliannya, sehingga dokter secara hukum
mendapat perlindungan pula akan hak-haknya. Proses pembuktian atas
kelalaian baik sengaja maupun tidak sengaja hukum tetap menjamin setiap
profesi apapun, tidak terkecuali dokterpun mendapat perlakuan dan
perlindungan yang sama dimuka hukum (azas equality before the law).