Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENERAPAN HUKUM DAN
PENATAAN RUANG
2.1 Pengertian Penataan Ruang
Pengertian ruang menurut D.A. Tisnaatmadjaja adalah “wujud fisik
wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi
manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup
yang layak”.33
Sedangkan dalam Keputusan Mentri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah No. 327/KOTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang
Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah “wadah yang meliputi
daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia
dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya”.34
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang adalah “wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Dilihat dari
33
D.A Tisnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf, 1997, Pranata Pembangunan,
Universitas Parahiayang, Bandung, h. 6.
34 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang (dalam Konsep Otonomi
Daerah), Nuansa, Bandung, h. 23.
27
28
pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa ruang terbagi dalam beberapa
katagori, yaitu35
:
1. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah
permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah;
2. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut dari garis laut terendah termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, dimana negara Indonesia
memiliki hak yurisdiksinya;
3. Ruang Udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan
atauruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi,
dimana negara Indonesia memiliki hak yurisdiksinya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang merupakan wujud struktur ruang
dan pola ruang. Dimana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi budi
daya.
35
Ibid.
29
Pola pemanfaatan ruang dalam hal ini meliputi pola lokasi, sebaran
permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah
perkotaan dan pedesaan. Dimana tata ruang yang dimaksud adalah tata ruang yang
dirancanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang
yang terbentuk secara alami, seperti sungai, gua, gunung, dan lain-lain.36
Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 yang dimana menyatakan bahwa ruang sebagai wilayah Negara
Kesatuan Negara Republik Indonesia yang harus dilindungi, dan dikelola secara
berkelanjutan oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, maka dari itu kemudian negara menyelenggarakan suatu penataan ruang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
yang dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendaian pemanfaatan ruang. Hal
tersebut merupakan ruang lingkup penataan ruang sebagai objek Hukum
Administrasi Negara.
Penataan ruang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif,
kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pengertian kawasan menurut Pasal
1 angka 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang memiliki
fungsi utama lindung dan budi daya. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama
kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang, baik yang dilakukan
36
Ibid.
30
berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis
kawasan.
Dalam rangka akan dilaksanakannya suatu aktivitas pembangunan, harus
memperhatikan fungsi utama dari suatu kawasan, yang terdiri atas :
1. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup
sumber daya alam dan sumber daya buatan. Melihat fungsi utama dari
kawasan lindung ini, dapat dikatakan bahwa kawasan lindung
merupakan suatu wilayah yang tidak diperuntukan bagi
dilaksanakannya aktivitas pembangunan;
2. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Oleh
karena itu, kawasan budi daya merupakan suatu wilayah yang
memang diperuntukan bagi aktivitas pembangunan.
Untuk menciptakan keteraturan dalam penataan ruang diseluruh wilayah
Negara Indonesia, keberadaan fungsi kawasan tersebut perlu dituangkan secara
tegas dalam perencanaan tata ruang baik yang bersifat nasional, daerah provinsi,
maupun daerah kabupaten/kota. Sehingga nantinya, tata ruang dapat digunakan
untuk mengarahkan kegiatan atau usaha tertentu, yakni menempati wilayah sesuai
dengan peruntukannya, disisi lain lokalisasi tersebut diharapkan dapat dengan
mudah untuk melakukan pemantauan dan pengendalian dampak dari kegiatan
31
yang dilaksanakannya. Artinya, melalui tata ruanglah berbagi pemanfaatan lahan
sudah diarahkan ke tempat-tempat tertentu, di mana lahan diprediksikan
mempunyai daya dukungyang memadai. Sementara dari aspek pengawasan dan
pengendalian akan memberikan kemudahan bagi aparatur pengawas.37
Berdasarkan uaraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat 3
(tiga) kegiatan penting yang dilaksanakan dalam pentaan ruang, yaitu :
1) Perencanaan Tata Ruang
Sebagai suatu organisasi, pemerintah memiliki tujuan yang hendak dicapai
yang tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama dalam hal kegiatan
yang akan diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan
dalam bentuk rencana-rencana.38
Rencana merupakan alat bagi implementasi, dan
implementasi hendaknya berdasar suatu rencana. Kemudian menurut Ridwan
H.R., rencana merupakan bagian tak terelakan dalam suatu organisasi sebagai
tahap awal untuk pencapaian tujuan.39
Sedangkan menurut A.D. Belifante dan
Boerhanoedin Soetan Batuah, “rencana adalah suatu (keseluruhan peraturan yang
bersangkut paut yang mengusahakan dengan sepenuhnya terwujudnya suatu
keadaan tertentu yang teratur) tindakan yang berhubungan secara menyeluruh,
yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan yang teratur secara
37
Ibid., h. 24.
38 Ridwan H.R. I., op.cit., h. 193
39 Ibid., h. 194.
32
tertentu”.40
Tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha pencapaian tujuan.
Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, dimana masalah
perencanaan berkaitan erat dengan perihal pengambilan keputusan serta
pelaksanaanya. Selain itu, oleh Philipus M. Hadjon dipaparkan konsep bahwa :
“rencana sebagai hasil kegiatan …. Merupakan keseluruhan tindakan yang
saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya
keadaan tertentu yang tertib (teratur). Maka, …. Hanya rencana-rencana
yang berkekuatan hukum yang memiliki arti bagi hukum administrasi, dan
suatu rencana menunjukan kebijaksanaan apa yang akan dilakukan oleh
tata usaha negara pada suatu lapangan tertentu”.41
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, mengemukakan 4 (empat) pendapat
tentang sifat hukum rencana, yaitu42
:
a. Het plan is een beschikking of bundel van beschikkingen; (rencana
adalah ketetaan atau kumpulan berbagai ketetapan).
b. Het plan is deels (bundel van) beschikking (en), deels regeling; de
kaart met toelichting is de bundel beschikkingen; de
gebruiksvoorschriften hebben het karakter van de regeling; (rencana
adalah sebagian dari kumpulan ketetapan-ketetapan, sebagian
peraturan, peta penjelasan adalah kumpulan keputusan-keputusan;
penggunaan peraturan memiliki sifat peraturan).
c. Het plan is een rechtsfiguur sui generis; (rencana adalah bentuk
hukum tersendiri).
d. Het plan is een regeling, (rencana adalah oeraturan perundang-
undangan).
40
Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penataagunaan Tanah, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h. 3.
41 Philipus M. Hadjon, et.al., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
to the Indonesia Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 156.
42 Ridwan H.R. I., op.cit. h. 203.
33
Pengertian-pengertian tersebut menunjukan bahwa rencana pemerintah
pada hakekatnya dirumuskan dalam suatu bentuk hukum berupa pengaturan
(regeling) atau keputusan (beschikking) sebagai legitimasi atas rencana yang
ditetapkan. Dimana dengan ditetapkannya suatu rencana dalam bentuk hukum
tersebut, maka suatu rencana akan dapat membawa suatu akibat hukum. Rencana
dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan, termasuk dalam hal
pelaksanaan pembangunan. P. de Han mengklasifikasikan perencanaan dalam 3
(tiga) kategori, yaitu sebagai berikut43
:
a. Perencanaan informatif (informatieve planning), yaitu rancangan
estimasi mengenai perkembangan masyarakat (samenstel van
prognoses omtrent maatschappelijke ontwikkelingen) yang dituangkan
dalam alternatif-alternatif kebijakan tertentu. Rencana seperti ini tidak
memiliki akibat hukum bagi warga negara.
b. Perencanaan indikatif (indicatieve planning), yaitu rencana-rencana
yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan
mengidentifikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan.
Kebijakan ini masih harus diterjemahkan ke dalam keputusan-
keputusan operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki
akibat hukum yang tidak langsung (indirecte rechtsgevolgen).
c. Perencanaan operasional atau normative (operationele of normatieve
planning), yaitu rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-
43
Ibid., h. 197-198.
34
persiapan, perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana
tata ruang, rencana pengembangan perkotaan, rencana pembebasan
tanah, rencana peruntukan (bestemmingsplan), rencana pemberian
subsidi, dan lain-lain merupakan contoh-contoh dari rencana
operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki akibat
hukum langsung (directe rechtsgevolgen), baik bagi pemerintah atau
administrasi negara maupun warga negara.
Atas dasar klasifikasi perencanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa
Rencana Tata Ruang Wilayah (Nasional/Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota)
diklasifikasikan sebagai perencanaan operasional atau normatif, yang
pelaksanaannya memiliki akibat hukum langsung bagi pemerintah sendiri serta
bagi masyarakatnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, menyatakan yang dimaksud dengan perencanaan tata ruang adalah
suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang
dimaksudkan untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan,
sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal,
efisien, dan serasi. Adapun tujuan diadakannya perencanaan tata ruang itu sendiri
adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya
yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya manusia,
sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi
peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
35
Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan dengan mempertimbangan
dua hal, yaitu44
:
Keseimbangan dan keserasian fungsi budi daya dan fungsi lindung,
dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi hankam.
Aspek-aspek pengelolaan secara terpadu sumber daya manusia,
sumber daya alam, sumber daya buatan, fungsi dan estetika
lingkungan serta kualitas tata ruang.
Perencanaan tata ruang berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang
dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran
rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana kawasan strategis yang
penetapan kawasannya tercangkup di dalam rencana tata ruang wilayah, serta
merupakan operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalam pelaksanaannya
tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat
disempurnakan dengan tetep mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana
rinci dan peraturan zonasi.
Rencana umum tata ruang di Indonesia dibedakan menurut wilayah
administrasi pemerintahannya. Secara hierarki, terdapat tiga pembagian wilayah,
yaitu :
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
44
Ateng Syafrudin, 1992, Pengurusan Perijinan (Licensing Handeling), Pusat Pendidikan
dan Pelatihan St. Aloysius, Bandung, h. 1.
36
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota. (secara administrasi pemerintah, rencana tata ruang
wialayah kabupaten/kota ini memiliki kedudukan yang setara).
Atas dasar penetapan wilayah rencana umum tata ruang tersebut, menurut
ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, penetapan
rencana rinci tata ruang terdiri atas, rencana tata ruang pulau/kepulauan dan
rencana tata ruang kawasan strategis nasional; rencana tata ruang kawasan
strategis provinsi; serta rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata
ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, suatu rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat ditinjau
kembali. Adapun peninjauan kembali rencana tata ruang tersebut dapat
menghasilkan rekomendasi berupa, rencana tata ruang yang ada dapat tetap
beraku sesuai dengan masa berlakunya dan rencana tata ruang yang perlu direvisi,
dimana suatu revisi rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan teta
menghormati hak yang dimiliki oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) Pemanfaatan Ruang
Pengertian pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola
37
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program serta pembiayaanny. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan
aktifitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun
masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang.
Program pemanfaatan ruang tersebut dapat dilaksanakan dengan
pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi,
yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ruang dalam menampung
kegiatan secara lebih intensif. Contoh pemanfaatan ruang secara vertikal misalnya
berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah maupun di dalam bumi. Sementara
itu pemanfaatan ruang lainnya di dalam bumi antara lain untuk jaringan utilitas
dan jaringan kereta api maupun jalam bawah tanah. Pemanfaatan ruang juga
berkaitan dengan penatagunaan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya.
Dalam hal ini, program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh seluruh pemangku
kepentingan yang terkait.
Berbagai dinamika dapat terjadi di masyarakat sejalan dengan adanya
pemanfaatan ruang. Adapun pemanfaatan ruang tersebut tercermin di dalam
beberapa hal, antara lain45
:
Perubahan nilai-nilai sosial akibat rencana tata ruang;
Perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
Perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
45 Ibid.
38
Dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan;
Perkembangan dan kemampuan teknologi.
3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Adanya Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah jika adanya
ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah
sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang
yang ditetapkan rencana tata ruang. Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, yang dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan ruang
adalah upaya untuk mewujdkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,
serta pengenaan sanksi. Pengendalian pemnafaatan ruang ini dimaksudkan agar
pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.
1.2 Pengaturan dan Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang
a. Pengaturan Penataan Ruang
Indonesia sebagai negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah
peraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dalam penyelenggaraan
penataan ruang di wilayah Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum pengaturannya.
39
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan mengenai jenis-jenis
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan pasal tersebut,
kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan suatu peraturan perundang-
undangan, yaitu bahwa terdapat beberapa tingkatan aturan hukum yang nantinya
harus dijadikan dasar hukum dalam pembuatan suatu aturan hukum yang baru.
Adapun tingkatan aturan hukum tersebut meliputi :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.
Urutan dari atas ke bawah tersebut menunjukan kedudukan aturan hukum
dari yang paling tinggi sampi yang paling rendah dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Mengingat bahwa UUD NRI Tahun 1945
merupakan konstitusi dari Negara Indonesia, maka setiap bentuk aturan hukum
yang dibuat harus berdasarkan UUD, dan dalam segalaoersoalan ketatanegaraan
penyelesaiannya haruslah terlebih dahulu mengacu pada UUD. Dari UUD barulah
40
kemudian dijabarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat menurut
tingkatannya masing-masing.46
Oleh karena itu, dalam hal ini UUD NRI Tahun
1945 merupakan landasan konsitusional dari segala bentuk peraturan perundang-
undangan di bawahnya.
Terkait dengan hal tersebut, dalam pengaturan penataan ruang, adanya
tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyat sebagaimana yang
tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat yang
dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,
dijadikan sebagai dasar dalam penetapan suatu aturan hukum nasional dalam
bidang penataan ruang, yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ini, sebagai
acuan penataan ruang nasional diberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang, namun kemudian diganti karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan situasi dan kebutuhan penataan ruang yang ada di Indonesia.
Selain itu adanya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan
semakin besar kepada pemerintah daerah dalam hal penataan ruang sebagaimana
tertuang pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, merupakan salah satu
faktor dibuatnya peraturan penataan ruang yang baru sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992.
46
I Made Subawa, et.al., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 33.
41
Sehubungan dengan wewenang mengatur dan mengurus sendiri rumah
tangga daerahnya, termasuk perihal pengaturan penataan ruang, oleh pemerintah
daerah kemudian dipergunakan suatu peraturan daerah, sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
bahwa, “untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda”. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-
masing daerah. Dimana ketentuan dalam Perda tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Atas dasar tersebut, perda yang dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah terkait dengan pengaturan penataan ruang, substansinya harus mengacu
pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan
peraturan pelaksanaannya. Melihat kedudukannya sebagai daerah otonom, selain
daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota juga berwenang untuk
membuat dan menetapkan suatu Peraturan Daerah.47
Dalam perda tersebut,
tersebut, dituangkan rencana tata ruang atas wilayahnya masing-masing, sehingga
nantinya memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya. Namun dalam hal ini, kedudukan
Perda kabupaten tetap berada di bawah Perda provinsi, untuk itu substansinya
tidak boleh bertentangan dengan Perda provinsi.
47
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 37.
42
b. Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang
Hukum merupakan sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau
konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya
yang bersifat abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak
tersebut. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi kenyataan.48
Selain itu Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen penegak hukum
administrasi meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan
langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi
merupakan langkah represif untuk melaksanakan kepatuhan.49
Dalam suatu negara
hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah
dalam menjalankan aktifitasnya sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku,
sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada
pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu
upaya represif. Selain itu, adanya pengawasan diupayakan dalam rangka
memberikn perlindungan hukum bagi rakyat.
Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-
undangan, bahkan J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti
48
Satjipto Rahardjo, 2009, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar
Baru, Bandung, h. 15.
49 Ridwan H.R. I, op.cit., h. 311.
43
dari penegakan hukum administrasi.50
Pada umumnya sanksi diletakan pada
bagian akhir dalam peraturan, dimana sanksi diperlukan untuk menjamin
penegakan hukum administrasi. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi
dalam hukum administrasi, yaitu51
:
- Paksaan Pemerintah (bestuursdwang);
- Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi,
pembayaran, dan sebagainya);
- Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
- Pengenaan denda administratif (administratieve boete).
Dalam penataan ruang, upaya penegakan hukum yang diterapkan adalah
berkaitan dengan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, dinyatakan bahwa pengendalian
pemanfaatan ruang dilakukan melalui beberapa hal berikut yang meliputi:
1) Penetapan Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap zona
peruntukan yang penetapan zonanya sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Pada
hakikatnya zona adalah sebagian dari muka bumi, (baik air maupun darat) zoning
“untuk”, berarti membuat zona tentang suatu peruntukan penggunaan dari muka
50
Ibid., h. 313.
51 Ibid., h. 319.
44
bumi yang bersangkutan. Zona sifat atau zona yang menyajikan fakta sangat
diperlukan untuk perencanaan pembangunan wilayah.52
Peraturan zonasi berfungsi sebagai panduan mengenai ketentuan teknis
pemanfaatan ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruang, serta pengendaliannya.
Selain itu beradasarkan penjelasan pasal tentang peraturan zonasi, yang
dimaksudkan dengan peraturan zonasi merupakan peraturan yang berisi ketentuan
yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang
yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Masing-masing pemerintah daerah,
memiliki kewenangan tersendiri untuk menentukan pengaturan zonasi di
wilayahnya sesuai dengan potensi dan kondisi dari daerahnya tersebut untuk
dituangkan dalam peraturan daerah dengan tetap mengacu pada aturan tata ruang
nasional yang berlaku.
2) Perizinan
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan
bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan merupakan mekanisme pengendalian
administratif yang harus dilakukan oleh pemerintah.53
52
Hasni, op.cit., h. 80.
53 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1993, Sistem Administrsi Negara
Republik Indonesia Jilid II, CV. Masagung, Jakarta, h. 126.
45
Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti menghilangkan
halangan di mana hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan
izin memerlukan perumusan limitatif. Kemudian Asep Warlan Yusuf mengatakan
bahwa izin sebagai suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif,
yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku
masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Ateng Syafrudin membedakan perizinan
menjadi empat macam54
:
a. Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang
menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan
perumusan yang limitatif;
b. Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya
secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus;
c. Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan
suatu perusahaan;
d. Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar
berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi tugas
pemerintah, namun oleh pemerintah diberikan hak
penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat
pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk
kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak
dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
54
Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Nuansa, Bandung, h. 31.
46
Izin di sini dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap
aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan pemerintah dimaksudkan
untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi
tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula.
Dalam hal ini Sjachran Basah, memberi pengertian tentang izin yaitu55
:
Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang
menghasilkan peraturan dalam hal kontrol berdasarkan persyaratan dan
prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban
pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai
dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan ditetapkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Adapun izin yang dimaksud meliputi izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan
kualitas ruang.
Atas dasar kewenangan yang dimilikinya, pemerintah tidak boleh
sewenang-wenang dalam mengeluarkan izin pemanfaatan ruang. Dalam hal ini
pemerintah perlu memperhatikan apakah lokasi ruang yang akan dimanfaatkan
yang dimohonkan izinnya tersebut sudah sesuai dengan peruntukan kawasan
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perencanaan tata ruang, baik itu di
wilayah nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
55
Ibid.
47
3) Pemberian Insentif dan Disinsentif
Pemberian insentif dimaksud sebagai upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Adapun bentuknya
antara lain dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana
(infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan posedur perizinan, dan
pemberian penghargaan. Sedangkan disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat
untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang
tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Disinsentif ini dapat berupa pengenaan
pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan penalti.
4) Pengenaan Sanksi
Pengenaan sanksi dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan
zonasi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi
administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pengenaan sanksi tidak
hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan
perizinan pemanfaatan ruang semata, tetapi dikenakan pula kepada pejabat
pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.