25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN KELALAIAN 2.1 Pertanggungjawaban Pidana 2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responbility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 1 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan- tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat dari “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan. 2 Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri 1 Amir Ilyas, op.cit, h. 67 2 Amir Ilyas, op.cit, h. 69 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN ... II.pdf · pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan

  • Upload
    dinhque

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN

KELALAIAN

2.1 Pertanggungjawaban Pidana

2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaarheid atau criminal responbility yang menjurus kepada pemidanaan

pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau

tidak.1Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan

dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang

(diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan-

tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat

dari “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.2

Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri

1 Amir Ilyas, op.cit, h. 67

2 Amir Ilyas, op.cit, h. 69

22

23

pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan

demikian, pengkajian dilakukan dua arah.3

1. Pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-

syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya

mengembangkan aspek preventif.

2. Pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal

consequences) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga

merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang itu

adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikan, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme

yang dibangun oleh hukum pidana untuk mereaksi terhadap pelanggaran atas

„kesepakatan menolak‟ suatu pebuatan tertentu4.

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam buku ke

satu (1) dalam Pasal 36 menyatakan bahwa:

“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada

pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat

untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.

3Chairul Huda, 2013, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan”‟, Kencana, Jakarta, h. 66

4Ibid, h. 70

24

Bahwa adanya suatu pertanggungjawaban pidana adalah didasari atas

adanya kesalahan atau perbuatan pidana yang tercantum terlebih dahulu didalam

suatu perundang-undangan hal ini berdasarkan berlakunya asas legalitas.

Simons berpendapat bahwa “kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang

tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara

keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedimikian rupa, hingga

orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.5

Bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping

melakukan perbuatan pidana yaitu:

1. Adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu.

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan

perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan tadi.6

Dengan demikian bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)

b. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab.

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

5 Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 171

6Ibid.

25

Berdasarkan hal tersebut maka diketahui bahwa seseorang dapat

dipetanggungjawabkan perbuatannya apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan

tersebut.

2.1.2 Kemampuan Bertanggungjawab

Setiap orang dipandang sehat jiwanya dan karena hal tersebut maka setiap

orang juga mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan namun apabila

kesehatan jiwanya diragukan maka akan diperiksa oleh psikater, psikiater yang akan

menentukan atau yang dapat mengetahui apakah jiwanya sehat atau tidak.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan secara jelas

mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab, namun dalam

Pasal 44 KUHP ayat (1) dan ayat (2) diatur mengenai ketidakmampuan

bertanggungjawab, yang menyatakan bahwa:

“(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat

dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.

“(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau

terganggu karena penyakit , maka Hakim dapat memerintahkan supaya

orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu

tahun sebagai waktu percobaan”.7

7Moeljatno, 2012, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, h. 21

26

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP bahwa jika seseorang jiwanya cacat

atau terganggu maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban atau adanya kemampuan untuk bertanggungjawab.

Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap

tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi

salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut.

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga

akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik

dan yang buruk

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu

penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau

kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.8

Menurut G.A van Hamel menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan

toerekeningsvatbaarheid (kemampuan bertanggungjawab) adalah suatu keadaan

normalitas psikis dan kemahiran, yang membawa tiga macam kemampuan

(kecakapan) yaitu:

1. Mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari

perbuatan sendiri;

2. Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan

ketertiban masyarakat;

8Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, h. 172

27

3. Mampu menentukan kehendak berbuat.9

Selanjutnya menurut D. Simons memberikan pendapatnya bahwa mampu

bertanggungjawab (toerekeningvatbaarheid) adalah,10

a. Jika orang mampu menginsyafi perbuatannya bersifat melawan hukum;

b. Sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya.

Kemudian menurut W.P.J. Pompe menyatakan bahwa unsur-unsur

kemampuan bertanggungjawab adalah:

a. Suatu kemampuan berpikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan

pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya,

b. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat kelakuannya,

c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai

dengan pendapatnya (tentang makana dan akibat kelakuannya). 11

Dari ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya

kemampuan bertanggungjawab harus ada:

1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik

dan buruknya perbuatan tadi.12

9Frans Maramis, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 117

10

Ibid. 11

Ibid.

28

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka kemampuan akan

pertanggungjawaban pidana apabila jiwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan

pidana cacat dan apabila menderita gangguan jiwa maka seseorang tersebut tidak

dapat dipidana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

2.1.3 Hal-Hal yang Menyebabkan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang dalam melakukan suatu perbuatan pidana yang memang sudah

masuk rumusan dalam suatu perbuatan pidana dapat tidak mempertanggungjawabkan

perbuatan tersebut dengan alasan-alasan tertentu seperti ketidakmampuan dalam

mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.Alasan yang menyebabkan suatu

perbuatan pidana tersebut hilang yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Menurut Moeljatno, alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan

sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu

menjadi perbuatan yang patut dan benar; sedangkan alasan pemaaf adalah alasan

dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi

tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada

kesalahan.13

Berdasarkan pemaparan diatas maka alasan-alasan untuk menghapus

seseorang dalam mempertanggungjawabkan suatu perbuatan pidananya yaitu alasan

pemaaf yang digunakan dalam alasan untuk menghapus pertanggungjwaban pidana.

12

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 185 13

Frans Maramis, op.cit. h.135.

29

Dalam alasan pemaaf terdiri dari beberapa bagian yaitu:

1. Gangguan jiwa

Dalam Pasal 44 tersebut telah dijelsakan bahwa:

a. Tidak dapat dipertanggungkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan

Dikatakan oleh Kanter dan Sianturi bahwa yang dimaksud dengan

keadaan jiwanya yang cacat karena pertumbuhan ialah seseorang yang

sudah dewasa, tetapi perangainya seperti anak-anak.Keadaan seperti ini

disebut sebagai “dungu”, setengah matang atau idiotisme, imbeciliteit,

yang diakibatkan oleh keterlambatan pertumbuhan jiwa seseorang.

b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya terganggu karena

penyakit

Menurut Kanter dan Sianturi memberikan penjelasan bahwa yang

dimaksudkan dengan jiwa yang terganggu karena penyakit, ialah yang

jiwanya semula adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi penyakit jiwa

yang sering disebut sebagai “gila” atau “pathologische ziektetoestand”.

Ada atau tidaknya gangguan jiwa karena penyakit sehingga perbuatan

tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, haruslah dibuktikan

dengan suatu visum et repertum seorang dokter (psikiater).

2. Daya Paksa (overmacht)

Dalam Pasal 48 KUHP dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”

30

Menurut J.E. Jonkers, yaitu bahwa daya paksa (overmacht) meliputi:

a. Yang bersifat absolut

Dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu

yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya, ia tidak mungkin memilih jalan

lain

b. Yang bersifat relatif

Disni kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak,

tidak penuh, orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk memilih akan

berbuat yang mana.

c. Yang berupa suatu keadaan darurat

Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relative ialah bahwa pada

keadaan darurat itu ini orang yang dipaksa itu sendirilah yang memilih

peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu, sedang pada kekuasaan bersifat

relative orang itu tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif ialah

orang yang memaksa.14

3. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditentukan

bahwa:

(1) barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada

serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap

diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eebaarheid)

atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

14

Frans Maramis, Op. Cit, h. 187.

31

(2) pembelaanterpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh

keguncangan jiwa yang hebat karena serangan ataau ancaman serangan itu,

tidak boleh dipidana.15

Dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini diatur

mengenai pembelaan yang diakibatkan oleh serangan atau ancaman yang juga

diakibatkan oleh keguncangan jiwa yang hebat serangan atau ancaman maka

perbuatan pembelaan yang dilakukan oleh seseorang sekalipun melawan hukum tidak

dipidana.

4. Perintah Jabatan

Mengenai perintah jabatan tanpa wewenang yang diatur dalam Pasal 51 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang mneyatakan bahwa:

(1) Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melakasanakan perintah

jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana

(2) Perintah tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika

yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan

wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.16

Oleh Jan Remmelink dikatakan bahwa suatu perintah yang diberikan secara

tidak sah tidak meniadakan sifat dapat dipidananya perbuatan, demikian bunyi bagian

pertama ayat kedua Pasal 43 Sr. (Pasal 51 KUHP). Ini sudah semestinya:

Apa yang melawan hukum tidak berubah menjadi sejalan dengan hukum

sekadar karena dilakukan atsas dasar perintah. Dengan demikian, suatu perintah

15

Moeljatno, op.cit, h. 23 16

Moeljatno,op.cit, h. 24

32

jabatan yang tanpa wewenang, atau suatu perintah jabatan yang tidak sah, pada

dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah dari pidana.17

Tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) diberikan pengecualian terhadap pandangan umum itu apabila memenuhi

syrat-syarat tertentu. Dengan kata lain, sekalipun perintah yang diberikan itu bukan

dari pejabat yang berwenang, dengan kata lain merupakan perintah jabatan yang tidak

sah, orang yang melaksanakan perintah itu tidak akan dipidana jika memenuhi syarat-

syarat tertentu yaitu:

1. Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan

dengan wewenang; dan

2. Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang

diperintah.

2.2 Kelalaian

2.2.1 Pengertian Kelalaian

Kelalaian (Negligence) adalah suatu kegagalan untuk bersikap hati-hati yang

umumnya seseorang yang wajar dan hati-hati akan melakukan didalam keadaan

tersebut, ia merupakan suatu tindakan yang seorang dengan hati-hati yang wajar tidak

akan melakukan didalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa

yang seseorang lain secara hati-hati yang wajar justru akan melakukan didalam

17

Frans Maramis, Op. Cit, h. 194

33

keadaan yang sama, dengan kata lain bahwa suatu keagagalan untuk bersikap hati-

hati dan kurang waspada yang mana pada umumnya seseorang akan melakukannya

dalam keadaan tersebut.18

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada yang menjelaskan

secara jelas mengenai pengertian tentang kelalaian tersebut dalam Bahasa Belanda

kelalaian disebut dengan culpa.Memori Penjelasan (memorie van Toelichting)

mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terleteak antara sengaja dan kebetulan. Van

Hamel membagi culpa atas dua jenis:

a. Kurang melihat kedepan yang perlu

Hal ini terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama

sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi

b. Kurang hati-hati yang perlu

Hal ini terjadi apabila kekurang hati-hatian dalam melakukan suatu perbuatan,

misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidakada isinya (padahal

ada).19

Vos membedakan antara dua unsur (element) culpa itu:

1. Terdakwa dapat melihat kedepan yang akan terjadi

18

Cecep Triwibowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, h. 284 19

Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 125

34

2. Ketidak hati-hatian (tidak dapat dipertanggungjawabkan) perbuatan yang

dilakukan (atau pengabaian) atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang

tidak boleh atau tidak dengan cara demikian dilakukan.20

Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua macam yaitu:

1. Delik kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdrijven)

Dalam delik kelalaian yang menimbulkan akibat ini sudah tentu dengan

terjadinya akibat itu akan menimbulkan kelalaian

2. Delik kelalaian (culpa) yang tidak menimbulkan akibat

Dalam delik kelalaian ini yang dilihat adalah perbuatan yang kurang kehati-

hatian itu sendiri dan sudah tentu perbuatan tersebut diancam dengan pidana.21

Menurut hukum pidana kelalaian terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:

1. “Kealpaan perbuatan” ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu

peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat

akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. “Kealpaan akibat” ialah akibat yang tibul merupakan suatu peristiwa pidana

bila akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau

kematian sebagai akibat yang timbu; dari suatu perbuatan, seperti yang

20

Ibid 21

Ibid, 129

35

tercantum didalam Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).22

Harus diperhatikan dalam kelalaian adalah standar kehati-hatian supaya

kealpaan tersebut terhindar dari sikap tindaknya, hal ini sudah lazim dalam suatu

sistem hukum dimana setiap orang diharapkan mengendalikan sikap tindaknya

sendiri sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi orang lain23

2.2.2 Unsur-Unsur Kelalaian

Kelalaian baru terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus

dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya

kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota

tubuh seseorang. Bila kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana, maka

Jonkers mengemukakan 4 (empat) unsur kelalaian sebagai berikut:

a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid);

b. Akibat dari perbuatan itu bisa dibayangkan (voorzienbaarheid);

c. Akibat dari perbuatan sebenarnya dapat dihindari (vermijdbaarheid);

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahakan kepadanya (vermijdbaarheid);,

karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat

mengindarinya24

22

Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku 1, Prestasi

Pustaka Publisher, Jakarta, h. 223 23

Cecep Triwibowo, loc.cit. 24

Cecep Triwibowo, op.cit,h. 222

36

Ada 4 (empat) unsur kelalaian sebagai tolak ukur didalam hukum pidana, yaitu:

a. Bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)

b. Akibatnya dapat dibayangkan (voorzienbaarheid)

c. Akibatnya dapat dihindarkan (vermijdbaarheid)

d. Sehingga perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid)25

2.3. Malpraktik

2.3.1 Pengertian Malpraktik

Malpraktik berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya,

sedangkan “praktik” adalah proses penangan kasus (pasien) dari seseorang

professional yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok

profesinya. Sehingga malpraktik dapat diartikan mealakukan tindakan atau praktik

yang salah satu menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku. Dalam bidang

kesehatan, malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah keshatan

(termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk

bagi penderita atu pasien.26

Berdasarakan Coughlin’s Law Dictionary, malpraktik adalah sikap tindak

professional yang salah dari seseorang yang berprofesi, seperti dokter, perawat, ahli

hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Malpraktik bisa

diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurang-

25

Cecep Triwibowo, op.cit, h. 283

26

Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Renika Cipta, Jakarta, h. 167.

37

ketrampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya,

tindakan salah yang sengaja atau praktek yang berifat tidak etis.27

Pengertian Malpraktik secara umum menyebutkan adanya kesembronoan

(professional miscounduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima

(unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat

keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setiap

situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan

keahlian rata-rata.28

Dengan demikian malpraktik itu sebenarnya mempunyai suatu pengertian

yang luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Dalam arti umum: suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar

yang telah ditentukan oleh profesi

2. Dalam arti khsus malpraktik dapat diterjemahkan dalam:

a. Menentukan diagnosis, misalnya: diagnosisnya sakit maag, tetapi ternyata

sakit liver.

b. Menjalankan informasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah

kanan, tetapi dilakukan pada mata yang kiri.

c. Selama menjalankan perawatan;

d. Sesudah perawatan, tetntu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.29

27Ibid, h. 261.

28

Ibid. 29

Ibid.

38

Dengan demikian malpraktik dapat terjadi tidak saja lama waktu menjalankan

operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai dengan

sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.30

2.3.1 Malpraktik Administrasi

Malpraktik administrasi ini dapat dilihat dalam izin dibukanya suatu praktik

profesi pekerjaan, dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 23 ayat (3)

yang menyatakan bahwa:

“dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib

memiliki izin dari pemerintah”.

Dalam konteks tersebut diambil dalam konteks kesehatan, bahwa seorang yang

menjalani profesi yang termasuk sebagai tenaga kesehatan wajib terlebih dahulu

memiliki izin dari pihak berwenang untuk melakukan suatu praktik. Bahwa praktik

kesehatan tanpa izin atau tanpa diatur dalam undang-undang maka kemungkinan akan

adanya malpraktik sangat besar.

Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik. Dari

aspek hukum administrasi, pelanggaran hukum administrasi akan dikenai sanksi

administrasi, sanksi administrasi ini dapat berupa pencabutan izin praktik dan denda

administrasi.31

Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 188 ayat (1)

menyatakan bahwa:

30Ibid.

31

Cecep Triwibowo, op.cit, h. 264.

39

“menteri dapat mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan

dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.”

Dalam pasal ini bahwa menteri dapat memberikan sanksi bagi tenaga kesehatan

dan fasilitas pelayanan kesehatan jika praktik yang dilakukan melanggar ketentuan

yang terdapat dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan berupa

peringatan secara tertulis dan pencabutan izin praktik sementara atau izin tetap seperti

yang terdapat dalam Pasal 188 ayat (3) itu sendiri.

Pencabutan izin biasanya dilakukan pada individu tenaga kesehatan yang telah

menyalahgunakan wewenang, gagal mempertahankan pendidikan dan keterampilan

sesuai dengan ketentuan tahun atau periode praktik tenaga kesehatan, menjadi

tertuduh dalam tindak kriminal, dan melakukan tindakan tidak profesional.

Pencabutan dikeluarkan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya

menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu.

Pencabutan ini berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh

organ pemerintah. Hak-hak dan kewajiban yang timbul setelah terbitnya ketetapan

tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum terbitnya ketetapan

tersebut dan sanksi ini dilakukan sebagi reaksi terhadap tindakan yang bertentangan

dengan hukum (onrecgtmatiggedrag).

Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori malpraktik

dalam bidang hukum administrasi dapat ditemukan dalam:

a. Berpraktek tanpa izin

40

b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan Pasal 322

atau Pasal 112 KUHP

2.3.2 Malpraktik Perdata

Bahwa terjadinya suatu malpraktik perdata didasari oleh adanya hubungan

perikatan. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang

menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau

lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban

kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.32

Malpraktik ini terjadi jika antara satu pihak merasa dirugikan, misalnya dalam

hubungan pasien dengan tenaga kesehatan bahwa dalam melaksanakan kewajibannya

tenaga kesehatan melakukan suatu kelalaian kepada pasien yang mengakibatkan cacat

sehingga pasien merasa dirugikan dan akibtnya adanya wanprestasi yang tidak

dipenuhinya hak pasien yang dilihat dari hal tersebut menimbulkan adanya

malpraktik.

Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-

undang”.

Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori

malpraktik perdata dapat ditemukan dalam:

32Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.

41

a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata)

b. Melakukan perbuatan melanggar hukum ( Pasal 1365 KUH Perdata)

c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366

KUH Perdata)

d. Melalaikan Pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat 3

KUH Perdata).33

Dalam dunia kesehatan, seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan

civil malpractice (malpraktik perdata) apabila tidak melaksanakan kewajiban atau

tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan civil malpractice antara lain:

1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

terlambat melakukannya

3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

tidak sempurna

4. Melakukan apa yang menurut kesepakatnnya tidak seharusnya

dilakukan.34

33

Ninik Mariyanti, op.cit, h. 42. 34

Rismalinda, 2011, Etika dan Hukum Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta, h. 76

42

2.3 Malpraktik Pidana

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice

(malpraktik pidana) manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana

yakni:

1. Perlakuan salah

Perlakuan atau perbuatan adalah wujud-wujud konkret sebagai bagian dari

perlakuan atau pelayanan kesehatan. Semua perbuatan dalam pelayanan

kesehatan dapat mengalami kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada

ujungnya menimbulkan malpraktik, apabila dilakukan secara menyimpang

2. Sikap batin

Sikap batin adalah sesuatu yang ada didalam batin sebelum orang berbuat.

Sesuatu yang ada dalam batin ini dapat berupa kehendak, pengetahuan,

pikiran, perasaan, dan apa pun yang melukiskan keadaan batin seseorang

sebelum berbuat. Setiap orang tentunya memiliki sikap batin seperti itu.

3. Adanya akibat kerugian

Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori

malpraktik, antara malpraktik perdata atau pidana. Dari sudut hukum

pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana apabila jenis

kerugian disebut dalam rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana

akibat kematian luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360 maka

bila kelalaian perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atu

luka sesuai jenis yang ditentukan dalm pasal ini maka perlakuan medis

43

yang melanggar Pasal 359 dan 360 berarti melanggar Pasal 210 KUHAP

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai malpraktik pidana,

dan menurut Pasal 1365 BW merupakan malpraktik perdata yang dapat

pula dituntut penggantian kerugian.35

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalamkategori criminal malpractice

(Malpraktik Pidana) manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana

yakni:

1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan

tercela

2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mensrea) yang berupa kesengajaan

(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)

3. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan

euthanasia (Pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (Pasal 322 KUHP),

membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa

indikasi (Pasal 299 KUHP)

4. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya: melakukan tindakan

medis tanpa persetujuan pasien informed consent36

Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori

Malpraktik pidana antara lain karena:

35

Cecep Triwibowo, op.cit, h. 273. 36

Rismalinda, op.cit, h. 75

44

a. Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP);

b. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP);

c. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (Pasal

359. 360, dan 361 KUHP)

d. Melakukan pelanggaran kespanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2), 285 dan

286 KUHP);

e. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348, 349, dan 350

KUHP)

f. Membocorkan rahasia kedokteran yang dilakukan oleh penderita (Pasal 322

KUHP)

g. Kesengajaan membiarkan penderita tak tertolong (Pasal 322 KUHP)

h. Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam keadaan

bahaya maut (Pasal 351 KUHP)

i. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386 KUHP)

j. Euthanasia (Pasal 344 KUHP)37

Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya orang atau terluka karena

kesalahan terdapat dalam Pasal 359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana(KUHP), didalam ilmu hukum pidana, kesalahan dapat disebabkan karena

kelalaian/kealpaan (culpa). Namun dalam hal ini sehubungan dengan masalah

malpraktik kesalahan tersebut adalah dalam arti kelalaian/kealpaan.38

2.4 Tukang Gigi

2.4.1 Pengertian Tukang Gigi

Tukang gigi dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No.

339/MENKES/PER/V/1989 tentang pembinan, pengawasan dan perizinan, pekerjaan

tukang gigi dalam Pasal 1 huruf a yang menyatakan bahwa “Tukang gigi adalah

mereka yang melakukan pekerjaan dibidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan

37

Ibid, h. 41

38

Ibid.

45

gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi

serta telah mempunayi izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannya”.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014

tentang pembinan, pengawasan dan perizinan, pekerjaan tukang gigi dalam Pasal 1

ayat (1) menyatakan bahwa “Tukang Gigi adalah setiap orang yang mempunyai

kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan”.

Berdasarkan pengertian tersebut maka tugas utama dari tukang gigi adalah

membuat dan memasang gigi tiruan lepas, namun tidak dapat dihindari dalam

pemasangan dan pembuatan gigi tersebut tidak bisa terlepas dari kesalahan atau

kelalaian dalam melakukan pekerjaannya.

46