69
61 BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI RA‘SYATUN FIL-UFUQPengungkapan makna tiga syair Achmad Sweilem dalam antologi Ra‘syatun fil-Ufuq menggunakan analisis semiotik Michael Riffaterre. Analisis ini memanfaatkan dua langkah dari empat langkah yang ditawarkan oleh Riffaterre. Dua langkah tersebut yaitu ketidaklangsungan ekspresi digabungkan dengan langkah pembacaan syair yang terdiri dari pembacaan heuristik dan hermeneutik. 3.1 Pembacaan Heuristik Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama, pembacaannya dengan memberikan konvensi sastranya (Pradopo, 2014: 276). Adapun pembacaan heuristik juga sebagai sistem semiotik tingkat pertama terbatas pada arti bahasa (Riffaterre dalam Qodaria, 2011: 44). Berkaitan dengan tiga syair Achmad Sweilem, antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam syair tersebut belum memenuhi kaidah nomatif bahasa Arab, maka akan ditambahi dengan ism, fi’l, harf, dan sebagainya, atau dikurangi, atau kata-kata tersebut dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Namun, jika kalimat syair tersebut telah sesuai dengan kaidah normatif bahasa Arab, maka tidak ada penambahan dan pengurangan kata. Karena kalimat-kalimat dalam tiga syair Achmad Sweilem

BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

61

BAB III

ANALISIS SEMIOTIK

TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI

“RA‘SYATUN FIL-UFUQ”

Pengungkapan makna tiga syair Achmad Sweilem dalam antologi

Ra‘syatun fil-Ufuq menggunakan analisis semiotik Michael Riffaterre. Analisis

ini memanfaatkan dua langkah dari empat langkah yang ditawarkan oleh

Riffaterre. Dua langkah tersebut yaitu ketidaklangsungan ekspresi digabungkan

dengan langkah pembacaan syair yang terdiri dari pembacaan heuristik dan

hermeneutik.

3.1 Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur

kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik

tingkat pertama, pembacaannya dengan memberikan konvensi sastranya

(Pradopo, 2014: 276). Adapun pembacaan heuristik juga sebagai sistem semiotik

tingkat pertama terbatas pada arti bahasa (Riffaterre dalam Qodaria, 2011: 44).

Berkaitan dengan tiga syair Achmad Sweilem, antologi syair Ra‘syatun

fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur

normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam syair tersebut belum

memenuhi kaidah nomatif bahasa Arab, maka akan ditambahi dengan ism, fi’l,

harf, dan sebagainya, atau dikurangi, atau kata-kata tersebut dikembalikan ke

dalam bentuk morfologinya yang normatif. Namun, jika kalimat syair tersebut

telah sesuai dengan kaidah normatif bahasa Arab, maka tidak ada penambahan

dan pengurangan kata. Karena kalimat-kalimat dalam tiga syair Achmad Sweilem

Page 2: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

62

dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq telah memenuhi kaidah normatif bahasa

Arab, maka kalimat-kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

3.1.1 Syair Pertama

lahfatun „Sesal‟

Page 3: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

63

(Sweilem, 2002: 18-19).

Ya> qu>tata ar-aru>chi Ju>diy as-sinni> ju>diy> Wa jammiliy zamaniy

Wasyfiy mawa>ji>diy

Asy-syi‘ru ausimatiy

Wa al-bu>chu ajnichatiy Lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha>ri>diy Qad ausa‘atniy riya>chu al-laili ‘a>shifah Wa am‘anat... Wa syawat fi> jamriha> ‘u>diy Wa kha>shamatniy sini>nan-khutwatiy 'alaman... Wa asqhathat ghurbatu ad-adunya> ‘ana>qi>diy Ma> kuntu ´a‘rifu Inna al-‘isyqu lu'lu'ah Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! Ha>dza> damiy... Muzijat fi>hi> tara>ti>liy Wa dza>ka umriy Ichtama> fi> chilmi maulu>diy Li´abda´a az-zamana al-'a>tiy Wa fi> kabadi>... Jamru i‘tisha>rin Wa syauqun lilmawa>‘idi (Sweilem, 2002: 18-19).

„Duhai relung jiwa‟

‘ Kumohon bermurah hatilah‟

„Perindahlah waktuku...‟

„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟

„Syair ini medaliku‟

„Dan jiwa ini sayapku‟

„Akan tetapi kau adalah ufuk yang melantunkan kicauanku‟

„Sungguh badai malam itu telah menghiburku‟

„Dan menjauh...‟

„Lalu membakar kepulanganku dalam kobarannya‟

„Bertahun-tahun langkahku memusuhiku‟

„Sungguh pedih...‟

Page 4: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

64

„Keasingan dunia telah melepas ikatan-ikatanku‟

„Aku tak pernah tahu‟

„Bahwa cinta adalah mutiara‟

„Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku menjadi tak berharga‟

„Ini darahku‟

„Yang berbaur lantunan kepedihanku‟

„Itu hidupku‟

„Yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟

„Untuk memulai masa depan‟

„Di hatiku...‟

„Gejolak perasaan yang terpendam‟

„Dan kerinduan akan sebuah janji‟

(Sweilem, 2002: 18-19).

3.1.2 Syair Kedua

ar-’riha>n„Taruhan‟

..........

Page 5: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

65

......

(Sweilem, 2002: 60-62).

lau annahu ash-shada> syaqqa 'ila> nisfaini shadrahu wa 'asy‘alal bicha>ra fi> ‘uyu>nihi bilmauji muzabbadan lau annahu ash-shada> 'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi ibtada> lau annahu istitha>‘u an yazra‘a fis-sahu>li...wal-wiha>di...mau‘idan

Page 6: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

66

.......... lau annahu az-zama>nu wa khayyama ash-shafsha>fa wal-laimu>na wa an-nakhi>la daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na wa askana al-‘awa>shifal-hauja>'a...wa ath-thufa>na lau annahu az-zama>nu kaffa ‘an 'ightiya>lihi- limarratin- wa khasira ar-riha>na lau annahu asy-syagaf athlaqa khuthwahu...wa ja>waza al-mada> wa al-muntashafa lau annahu asy-syagaf lam yastajib li'a‘yuni al-jirdza>ni ‘inda al-mun‘athafi faqattara al-'auja>‘u min dima>'ihi wa sha>gha min lahi>biha> an-nuthfa lau annahu asy-syagafu acha>la jurchahu masa>fatan fachath-tha tha>'iru as-sakrati nisywa>na ‘alal-katifi ...... lau annahu irtachala yabchatsu kaifa yartawiy min charqati azh-zhama'i tasyhaqu ‘aina>hu 'ila> as-sinniy wa taktachilu... lau annahu a‘tha> likulli syai'in zhahrahu wa ra>cha yasyta‘ilu lau annahu tajarrada- al-amsi- min al-qasyrah wa’rtama> fi> lahabi asy-syauqi bilahfati ats-tsamali lau annahu! lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin tu‘jizu an tudhi>'a shadrahu wa ma> huwa al-'a>na- ka'ayyi marratin- yathi>lu min waqfatihi ‘ala ath-thalal (Sweilem, 2002: 60-62).

„Seandainya gema itu‟

„Membelah dadanya menjadi dua‟

„Dan menyalakan mata air lautan‟

„dengan ombak yang membuih‟

„Seandainya gema itu‟

„Mengembalikannya pada permulaan masa‟

„Andai dia bisa menanam‟

„Di ladang... dan tanah lapang... akan sebuah janji!‟

.........

„Seandainya waktu‟

„Melangkah di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟

„Dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem‟

„Dan menenangkan badai serta angin topan‟

Page 7: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

67

„Seandainya waktu‟

„Menghentikan tipuannya- meski sekali- dan kehilangan taruhannya‟

„Seandainya cinta itu‟

„Membebaskan langkahnya... sehingga dapat melewati jarak jauh atau dekat‟

„Seandainya cinta itu‟

„Tak menanggapi mata-mata yang bengkak‟

„Di tikungan...‟

„Nestapa mengalirkan darahnya‟

„dan menciptakan noda dari kobaran nestapa‟

„Seandanya cinta itu‟

„Memindahkan lukanya jauh-jauh‟

„Hingga hinggaplah burung asmara dalam keadaan mabuk‟

„Di atas pundak‟

......

„Seandainya dia pergi‟

„Mencari cara bagaimana memuaskan dahaga yang membakar‟

„Kedua matanya terpaku pada kemurahan‟

„Dan bercelak...‟

„Seandainya cinta memberikan punggungnya pada segala sesuatu‟

„Dan dia tenang dengan (cinta) yang menyala‟

„Jika cinta itu- kemarin- terlepas dari nasib buruk‟

„Dan terlempar ke dalam kobaran rasa rindu karena mabuk kepayang‟

„Seandainya!‟

„Akan tetapi mimpi semua hanya mimpi‟

„Tidak mampu menerangi hatinya‟

„Dan inilah dia sekarang- selalu begitu‟

„Terus diam di atas puing-puing‟

(Sweilem, 2002: 60-62).

3.1.3 Syair Ketiga

ra‘syatun fil-ufuq „Penakut di Cakrawala‟

Page 8: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

68

Page 9: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

69

(Sweilem, 2002: 81-84).

Mundzu an ka>na farkhan Yudats-tsiruhu al-‘usy-syu Qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran Fa'asqathat asy-syuhuba tuchriqu ‘usyba al-jada>wili Ka>na ‘alaihi yuqi>mu as-sudu>da wa yachtazinu al-ma>'a Chatta> zama>ni jafa>fi al-chawa>shili Lakinna ‘ashfa ar-riyachi istaba>cha khutha>hu Fasyaqqaqa chilma ath-thufu>lathi Lam yabqa minhu siwa> ra‘syatin fil-ufuqi ‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu La> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu Ghaimatu an-na>ri kha>midah Wa huwa ya'ba> ar-rachi>la... Ka>na qad gharasa al-amsi fi> qadamaihi Intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah Ka>na qad fajjara al-amsi shumta al-chasha> Fi> al-khutha> al-mut‘ibah Marratan alfa al-mauji... Wa al-bachru la> yudriku al-´ulfata al-wa>di‘ah Zhanna anna jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi Wa achrufahu syarniqa>tun li afra>khihi al-qa>dimah Wa ma> ittakhadza al-amsi chashanan Wa ma> ittakhadza al-ghada chadhanan Faidza> al-bachru yasychadzu anya>bahu Wa yufattitu achla>ma mala>chihi Fauqa sya>thi´ihi... Fataghayyama syumu>sun... Wa yahda'u maujun... Wa yuqbilu lailun yamuddu wala>'imahu al-qa>tilah

Page 10: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

70

Hal ya‘u>du ila> ‘usy-syihi al-farkhu tsa>niyatan Am tawalla>hu ha>dza> ad-dawa>ru al-la‘i>nu... Hal tadzakkara chi>na khatha> fi> al-wiha>di fata> Am ra'a> dzikraya>ti ash-shaba>... Qad athallat mura>waghatu baina achja>rin ma>dha> as-sini>nu Fanthawa> wajhu tilka al-churu>fi al-latiy tasta‘i>du al-chani>na... Innahu al-´a>na yasyqiy bi-chilmi ath-thufu>lah Yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. Wa al-jada>wilu tunkiruhu... Lam ya‘ud ma>´uha> al-ma>'a wa al-usybu... ma> ‘a>da ‘usyban... Fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na Farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu yaghrisu fi> qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i Ila> ardhihi al-mukhshibati! (Sweilem, 2002: 81-84).

„Sejak menjadi anak burung‟

„Dia terlindung di dalam sangkar...‟

„Membangun tempat berlindung dari jerami dan menutupinya dengan tanah‟

„Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟

„Yang menjadikan mendung bernyalakan api‟

„Menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan tepian anak sungai‟

„Sebenarnya dia harus membangun bendungan untuk menyimpan air’

„Hingga datang masa paceklik‟

„Namun badai membinasakan langkahnya‟

„Hancurlah impian kanak-kanak‟

„Tak ada yang tersisa selain ketakutan di cakrawala‟

„Dia berdiri telanjang kini... tanpa matahari yang menghangatkannya’

„Tanpa hati yang menyalakan api‟

„Cahaya telah padam‟

„Dan dia tidak peduli dengan apa yang telah berlalu...‟

„Kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya ‘ „Rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang subur‟ „Kemarin dia telah meledakkan diamnya batu‟

„Dalam langkah yang melelahkan‟

„Ribuan kali gelombang...‟

„Sementara lautan tak mengerti cinta yang mengucapkan selamat tinggal‟

„Dia sangka kedua sayapnya adalah layar yang berkembang‟ „Dan tepiannya adalah kepompong untuk anak-anaknya yang akan lahir‟

„Dia tidak menganggap masa lalu sebagai perlindungan‟

„Dan tidak menganggap masa depan sebagai jaminan‟

„Jika lautan mempertajam taringnya‟

„Dan menghancurkan mimpi-mimpi pelaut‟

„Di atas tepinya...‟

‘Matahari menjadi gelap...‟

„Dan ombak menjadi tenang...‟

Page 11: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

71

„Tibalah malam dengan memperpanjang pesta yang membunuh‟

„Akankah anak burung itu kembali lagi ke dalam sangkarnya‟

„Ataukah angin beliung yang terkutuk ini akan menguasainya...‟

„Apakah pemuda itu ingat ketika melangkah ke tanah lapang‟

„Ataukah dia melihat kenangan kanak-kanak...‟

„Sebuah tipuan tiba-tiba muncul di antara bebatuan bertahun-tahun yang lalu‟

„Maka murunglah wajah yang penuh kehangatan itu karena rindu...‟

„Sekarang dia tersiksa bersama impian masa kecil...‟

„Saat dia membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam lumpur...‟

„Dan anak sungai pun mengingkarinya...‟

„Airnya tidak lagi air yang dulu‟

„dan rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu...‟

„Lalu bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟

„Seperti anak burung yang terlindungi oleh sangkarnya‟

„yang membenamkan rusuknya yang kekar di bawah kakinya‟

„Ke dalam tanah yang subur!‟

(Sweilem, 2002: 81-84).

3.2 Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) dari awal

sampai akhir dengan memberikan tafsiran sesuai dengan konvensi sastranya

(syair) (Pradopo, 2014: 297). Pemaknaan tiga syair Achmad Sweilem dalam

antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq, dimulai dari syair pertama, syair kedua, dan

syair ketiga. Selain itu, judul setiap syair akan dibaca dan dijelaskan maknanya

sebelum pemakmanaan ketiga syair tersebut.

3.2.1 Syair pertama

Syair pertama berjudul ‛Lahfah‛, kata tersebut merupakan bentuk mashdar

dari kata lahifa- yalhafu yang artinya sesal, duka, menyesali atas, dan bersedih

hati (Munawwir, 1997: 1292). Judul tersebut diartikan „sesal atau penyesalan‟

oleh peneliti berdasarkan dengan isi syair tersebut. Sesal atau penyesalan

merupakan perasaan tidak senang (susah, kecewa) karena telah berbuat kesalahan

(KBBI, 2008: 1337). Rasa sesal atau penyesalan sering dirasakan setiap orang

setelah berbuat suatu kesalahan. Setiap orang memiliki gaya kepribadian

Page 12: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

72

tersendiri dalam dirinya. Oleh karena itu, penyesalan yang dialami penyair

merupakan sebuah pelajaran untuk sabar. Hal ini selaras dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Young berikut ini:

Sabar, berketetapan, dan mudah menyesuaikan diri merupakan tiga istilah

tersebut digunakan untuk menggambarkan ciri khas diri setiap orang.

Kepribadian yang sabar adalah sifat sabar penyair dalam menjalani

kehidupannya yang sulit. Kepribadian berketetapan membuat penyair

mudah untuk mengakui semangat memburu tujuan yang gigih.

Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri adalah penyesuaian dengan

keadaan dan nilai-nilai yang di tetapkan oleh orang lain (Young, 2008:

26).

Syair ini diawali dengan ya> yang merupakan charfu an-nida<', yaitu bentuk

seruan (panggilan). Pada bait pertama ya> qu>tata ar-ru>chi‟duhai relung jiwa‟

merupakan sebuah seruan yang ditujukan pada diri penyair. Adapun penjelasan

terhadap kata ar-ru>chi yang memiliki arti ‟ruh, jiwa, sukma‟ (Munawwir, 1997:

545) merupakan makna yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain.

Berdasarkan struktur jiwa dalam wacana psikologi Islam bahwa:

Substansi manusia atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs. Sehingga

jika jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati dan ruh tanpa jasad

tidak dapat teraktualisasi. Adanya saling keterkaitan antara jasad dan ruh

maka diperlukan nafs. Nafs dan ruh memiliki kriteria yang berbeda, nafs

memiliki kecenderungan terhadap duniawi dan ruh berkecenderungan suci

dan ukhawi. Selain itu, nafs menjadi perantara antara jiwa rasional badan

sedangkan ruh tidak dikaitkan dengan badaniyah. Nafs bersifat seperti

tanah (ath-thi>niyyah) dan api (an-na>riyyah), sedangkan ruh bersifat seperti

cahaya (nu>riyyah) dan bersifat ruhani (al-ru>haniyyah). Nafs bersifat

kemanusiaan (al-na>sutiyyah) dan ruh bersifat ketuhanan (al-la>hu>tiyyah)

(Ikhwan al-Shafa dalam Mujib dan Mudzakir, 2001: 39).

Pada referensi lain dijelaskan bahwa antara ruh dan jiwa merupakan

dimensi yang berlainan, karena setelah ruh ditiupkan barulah berkembang apa

yang disebut dengan fungsi-fungsi kejiwaan seperti berfikir, berkehendak, merasa

dan berangan-angan (Djumhana, dkk, 2003: 45). Berdasarkan kedua kutipan

tersebut dapat disimpulkan bahwa arti kata jiwa disepadankan dengan nafs yang

Page 13: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

73

berkaitan dengan duniawi yaitu diri penyair. Selain itu, dengan adanya salah satu

fungsi kejiwaan yang terkait dalam kondisi penyair, maka dapat dipahami bahwa

segala bentuk perilaku merupakan cerminan dari diri penyair sendiri.

Kalimat pada bait tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk

paksaan pada diri penyair itu sendiri dengan menggunakan ungkapan permohonan

atau permintaan. Bait kedua, ju>diy as-sinni> ju>diy „kumohon bermurah hatilah‟.

Kalimat tersebut adalah permohonan yang pertama kali agar dirinya terlepas dari

kesulitan yang sedang dihadapinya. Permohonan yang diungkapkan merupakan

kesadaran dari penyair bahwa dia tidak selamanya berada dalam kesulitannya.

Oleh karena itu, penyair harus keluar dari masa sulitnya dan menuju pada hal

yang lebih baik untuk masa depannya.

Bait ketiga, wa jammiliy zamaniy ‟perindahlah waktuku‟ merupakan

permohonan lain penyair kepada dirinya untuk mendapatkan kehidupan yang

lebih baik. Kesadaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik merupakan citra

ideal yang dimiliki penyair untuk menggerakkan dirinya pada hal-hal yang positif

(Young, 2008: 16).

Bait keempat, wasyfi> mawa>jidiy „lalu sembuhkanlah amarahku‟. Kalimat

tesebut terdapat isti‘a>rah, yaitu pada kata mawa>jidiy ‟amarahku‟ sebagai

musyabbah yang disamakan dengan “penyakit”. Akan tetapi, di dalam bait

tersebut tidak disebutkan musyabbah bih. Makna yang dimaksudkan adalah emosi

dan perasaan penyair terhadap peristiwa yang sedang dialaminya pada saat itu.

Kemarahan penyair terjadi karena ketidakmampuan diri penyair dalam

menghadapi masalahnya, sehingga dirinya merasa tertekan. Perasaan tersebut

Page 14: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

74

menjadikan penyair seseorang yang lemah, karena dia tidak mampu meredam

amarah yang ada di dalam dirinya.

Bait kelima, asy-syi‘ru ausimatiy „syair ini medaliku‟. Pada kalimat

tersebut terdapat tasybih muakkad. Tasybih muakkad adalah tasybi>h yang

dibuang adat tasybih-nya (Ja>rim, 2007: 30). Adapun musyabbah terletak pada

kata asy-syi‘ru „syair‟ dan musyabbah bih pada kata ausimatiy „medaliku‟.

Medali merupakan jenis dari sebuah benda yang berharga dan memiliki nilai

tinggi. Syair disamakan dengan medali karena menjadi suatu penghargaan yang

diberikan seseorang terhadap prestasi yang dimiliki seseorang. Hal itu menjadi

kebanggaan tersendiri dalam kehidupan seseorang. Penyair menganggap bahwa

kehidupannya sangat berharga, karena dia dapat merasakan kebahagiaan selama di

dunia. Penyair mengetahui bahwa kehidupan di dunia tidaklah abadi, namun

kehidupan yang fana. Oleh karena itu, penyair menginginkan kebahagiaan dalam

setiap langkah yang dia lakukan dan tidak menyia-nyiakan waktunya ketika di

dunia.

Bait keenam, wa al-bu>chu ajnichatiy „dan jiwa ini sayapku‟. Pada kalimat

tersebut terdapat tasybih, yaitu pada kata al-bu>chu „jiwa‟ sebagai musyabbah dan

ajnichatiy „sayapku‟ sebagai musyabbah bih-nya. Sayap merupakan salah satu

anggota tubuh yang dimiliki oleh burung. Sayap digunakan burung untuk terbang

bebas ke manapun dia ingin pergi (KBBI, 2008: 1276). Penyair menggambarkan

jiwa adalah sayap, karena jiwa yang ada di dalam dirinya akan selalu bergerak

bebas, bertingkah laku, dan berbuat sesuai dengan kehendaknya untuk menjalani

kehidupannya demi masa depan yang gemilang.

Page 15: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

75

Bait ketujuh, lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha<ri>diy „akan tetapi kau

adalah ufuk yang melantunkan kicauanku‟. Pada kalimat tersebut terdapat

tasybi>h, yaitu tasybih muakkad. Tasybih muakkad adalah tasybi>h yang dibuang

adat tasybih-nya dan hanya terdapat musyabbah yaitu pada kata al-ufuq „ufuk‟

dan musyabbah bih-nya pada dhami>r kaf „kau‟. Dhami>r kaf „kau‟ merujuk pada

kata sebelumnya yaitu al-bu>chu „jiwa‟. Selain digambarkan dengan sayap, jiwa

juga digambarkan dengan ufuk. Ufuk adalah kaki langit (suatu hal yang tidak

terbatas dunia) (KBBI, 2008: 1579). Adanya ketidakterbatasan arah, jarak, dan

waktu. Jiwa yang digambarkan sebagai ufuk menunjukkan bahwa terdapat banyak

peluang dan kesempatan bagi penyair untuk terus menjalani kehidupan yang lebih

baik dan mendapatkan kebahagiaan selama di dunia. Pada lanjutan kalimat

tersebut yaitu asy-sya>di> agha>ri>diy „yang melantunkan kicauanku‟. Kata

melantunkan adalah menyanyikan atau menyuarakan sesuatu (KBBI, 2008:815).

Sesuatu yang dilantunkan adalah kicauan, kicauan dari kata kicau yang berarti

bunyi burung (KBBI, 2008: 721). Dengan demikian, kalimat tersebut secara

lengkap menjelaskan bahwa kesempataan yang dimiliki oleh penyair akan

mewujudkan suatu keberhasilan terhadap sesuatu yang telah dia lakukan.

Bait kedelapan, qad ausa‘atniy riya>chu al-laili ‘a>shifah „sungguh badai

malam itu telah menghiburku‟. Pada kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora)

yaitu pada kata riya>chu al-laili ‘a>shifah „badai malam‟ yang merupakan gambaran

dari seorang wanita yang dicintainya. Wanita tersebut menjadi musyabbah bih-

nya yang tidak disebutkan. Bagi seseorang yang sedang jatuh cinta, pasti akan

mencintai kekasihnya dengan sungguh-sungguh. Cinta yang sungguh-sungguh

menapaki tiga hal yaitu (a) lebih memilih ucapan kekasihnya dan mengalahkan

Page 16: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

76

ucapan orang lain; (b) memilih duduk di samping kekasihnya dari pada duduk di

tempat lain; dan (c) memilih kerelaan kekasihnya (Al-iba>d dalam Akrom, 2008:

26). Oleh karena itu, keberadaan wanita tersebut merupakan salah satu

kebahagiaan yang dimiliki penyair karena ada seseorang yang menemani dan

menghiburnya saat dia merasa kesepian. Cinta juga memberikan energi yang

dapat mempengaruhi suatu hal yang positif pada seseorang yang sedang

merasakannya.

Bait kesembilan, wa am‘anat „dan menjauh‟. Pada kalimat tersebut

menunjukkan bahwa wanita yang dicintainya tiba-tiba pergi meninggalkan

penyair tanpa alasan. Hal tersebut termasuk tipe cinta D-love (deficiency love)

yang memiliki sifat mementingkan diri sendiri dan tergantung (Maslow dalam

Widyasinta, 2006: 145). Jika kekasih pergi begitu saja meninggalkan penyair

menunjukkan bahwa kekasihnya sudah tidak memiliki kepedulian padanya.

Cinta sendiri merupakan dua sisi yang satu kebaikan dan satunya

kesedihan, sehingga apabila cinta terjaga dengan baik akan menjadi wajah

malaikat. Namun, jika cinta ternoda maka tidak ubahnya seperti serigala

bertanduk setan (Gibran dalam Akrom, 2008: 32-33).

Oleh karena itu, peristiwa tersebut merupakan salah satu masalah yang dialami

penyair sebagai bentuk tantangan kehidupan yang harus dilaluinya.

Bait kesepuluh, wa syawat fi jamriha> ‘audiy „lalu membakar

kepulanganku dalam bara apinya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora)

yaitu pada kata jamriha> „bara apinya‟ yang memiliki makna lain. Makna lain

yang dimaksudkan merupakan perasaan cinta penyair kepada kekasihnya. Hal ini

menunjukkan bahwa penyair sangat mencintai kekasihnya. Pada bait tersebut

menunjukkan rasa sakit hati penyair setelah ditinggal pergi oleh kekasihnya begitu

saja tanpa alasan apapun. Kemudian penyair mengungkapkan perasaannya dengan

Page 17: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

77

kalimat „membakar kepulanganku dalam bara apinya‟. Peristiwa tersebut

menyebabkan hatinya benar-benar terluka dan sakit hati. Kata “membakar”

tersebut merupakan kemarahan yang tertahan di hati penyair, karena dia merasa

cinta yang diberikan kepada kekasihnya sia-sia dan tidak dihargai. Hal ini

merupakan salah satu deskripsi tipe dari cinta yaitu D-love yang bersifat

mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain (Maslow dalam

Widyasinta, 2006: 145).

Bait kesebelas, wa kha>shamatniy sini>nan-khuthwatiy „bertahun-tahun

langkahku memusuhiku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah makniyyah. Isti‘a>rah

makniyyah adalah isti‘a>rah yang dibuang musyabbah bih-nya dan sebagai isyarat

ditetapkan salah satu sifat khasnya (Jari>m, 2007: 28). Isti‘a>rah tersebut terdapat

pada kata “langkahku” yang diibaratkan seperti manusia yaitu dengan kata

“memusuhi”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa penyair merasa kesepian

setelah kepergian kekasihnya dan membuat dirinya tidak berdaya dalam

melakukan aktivitas apapun. Pada kata “bertahun-tahun” menunjukkan jangka

waktu ketika penyair sedang merasakan kesepian dan sedih dengan keadaan yang

dialaminya.

Bait ketiga belas, 'alaman... ‟sungguh pedih‟. Kalimat tersebut

menunjukkan perasaan penyair bahwa dia benar-benar merasakan kesakitan yang

mendalam di hatinya. Hal tersebut berkaitan dengan cinta yang dimiliki penyair

kepada kekasihnya. Penyair mengungkapkan perasaannya dengan kata “pedih”,

karena cinta sangat berhubungan dengan perasaan. Adapun sumber cinta adalah

rasa defisiensi ego dan kebutuhan akan penyempurnaan ego atau peningkatan ego

(Reik dalam Kumalahadi, 2013: 377). Oleh karena itu, jika cinta hanya dimiliki

Page 18: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

78

secara sepihak dan tidak ada rasa peduli salah satu dari keduanya, maka akan

memberikan dampak ketidakbahagiaan kepada satu pihak yang lainnya.

Bait keempat belas, wa asqatath ghurbatu ad-dunya> ‘ana>qi>diy „keasingan

dunia telah melepaskan ikatan-ikatanku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah

makniyyah yaitu pada kata “dunia” yang diibaratkan seperti manusia untuk dapat

melakukan sesuatu yaitu “melepas”. Pada bait tersebut merupakan penggambaran

dari rasa sepi yang penyair rasakan. Kesepian sendiri memiliki pengertian

perasaan sunyi (KBBI, 2008: 1323). Kesepian tersebut membuat penyair frustasi

sehingga dia merasa bahwa orang-orang yang ada dilingkungannya telah

mengasingkannya dan sudah tidak ada lagi seseorang yang peduli terhadapnya.

Perasaan sepi disebabkan karena penyair menjadi pihak yang diabaikan,

maka aspek kepribadian yang diabaikan merupakan sebuah perintang yang dapat

berusaha merampas energi (Suryabrata, 2007: 180-181). Hal tersebut adalah

bentuk ketidaksadaran penyair yang tidak mampu melihat kelemahannya sendiri.

Oleh karena itu, penyair merasakan keterpurukan hanya karena masalah yang

dihadapinya saat itu. Padahal jika penyair mampu menyadari kelemahannya, dia

dapat mempertahankan dirinya dan terlepas dari kesepiannya. Namun, pada waktu

tersebut penyair benar-benar merasakan kesepian dan keterpurukan.

Bait kelima belas, ma> kuntu 'a‘rifu „aku tak pernah tau‟. Kalimat tersebut

menunjukkan bahwa penyair seakan-akan tidak mengetahui (berpura-pura)

terhadap sesuatu yang dianggap berharga. Kemudian pada bait keenam belas, inna

al-isyqa lu'lu'ah „bahwa cinta adalah mutiara‟ terdapat tasybi>h baligh. Tasybi>h

baligh adalah tasybi>h yang dibuang adat tasybi>h-nya dan wajah syibh-nya (Jari>m,

2008: 28). Adapun musyabbah-nya pada kata lu'lu'ah „mutiara‟ dan musyabbah

Page 19: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

79

bih-nya pada kata al-isyqa „cinta‟. Pada bait ini menunjukkan bahwa cinta itu

sangat berharga seperti mutiara yang memiliki nilai yang tinggi dan berharga.

Kalimat keenam belas jika dihubungkan dengan bait kelima belas, bahwa penyair

sebenarnya mengetahui bahwa cinta itu adalah sesuatu yang berharga. Cinta

sendiri merupakan suatu hal yang romantik, mengandung makna kedekatan,

ketergantungan, mementingkan orang lain, penerimaan, dan ekskluivitas dari pada

sekedar hubungan kawan (Kumalahadi, 2013: 371). Penyair secara tidak langsung

mengharapkan pengertian dan kepedulian kekasihnya terhadap dirinya, akan

tetapi tidak mendapatkan dua hal tersebut dari kekasihnya. Oleh karena itu, bagi

penyair, cinta bukanlah sesuatu yang berharga ketika mendapatkan kesengsaraan

karena cinta tersebut.

Bait ketujuh belas, lau lam ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy „jika tak

kutemukan dengan darahku maka kemurahanku menjadi tak berharga‟. Kalimat

tersebut terdapat isti‘rah pada kata dima>'iy „darahku‟ yang merupakan gambaran

dari an-nafs „jiwa‟. Pada bait ini menunjukkan bahwa penyair mulai bangkit dan

menyadari kelemahannya yang disebabkan oleh peristiwa pernah dialami. Hal

tersebut menjadi pelajaran bagi penyair untuk menjadi diri yang lebih kuat dalam

menghadapi ujian hidup. Kalimat istarkhashat ju>diy „kemurahanku menjadi tak

berharga‟ merupakan sebuah pernyataan penyair dengan kalimat negatif, namun

memiliki makna yang positif. Maksud dari kalimat tersebut, bahwa penyair akan

berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan dirinya seperti dulu dan tidak

terus-menerus tenggelam dalam masa lalunya. Bait kedelapan belas, hadza>

da>miy... „ini darahku...‟. kalimat tersebut terdapat kinayah. Kinayah adalah lafaz

yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi dapat

Page 20: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

80

dimaksudkan untuk makna asalnya (Ja>rim, 2007: 135). Makna asal yang

dimaksudkan adalah an-nafs „jiwa, ruh‟ (Munawwir, 1997: 1446). Pada bait

tersebut merupakan penegasan dari bait sebelumnya bahwa penyair yakin bahwa

dia dapat merubah hidupnya untuk mencapai masa depan yang cerah.

Bait kesembilan belas, muzijat fi>hi tara>ti>liy... „yang berbaur lantunan

kepedihanku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada tara>ti>liy

„kepedihanku‟ yang diserupakan dengan oksigen yang dapat berbaur dan mengalir

di dalam darah. Penyerupaan tersebut adalah musyabbah yang tidak disebutkan di

dalamnya. Bait tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan penyair tidak

hanya ada kebahagiaan semata. Kehidupan yang dijalaninya di dunia selalu ada

kesedihan, kebahagiaan, kesulitan, dan kemudahan. Adapun kesedihan yang

dialami penyair adalah sebuah ujian hidup agar menjadi seseorang yang kuat.

Bait kedua puluh, wa dza>ka umriy „itu hidupku‟. Kalimat tersebut

menunjukkan penegasan bahwa apapun yang dilakukan oleh penyair sesuai

dengan sesuatu yang diinginkannya. Bait kedua puluh satu, ichtama> fi> chilmi

maulu>diy „yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟. Kalimat tersebut merupakan

lanjutan kalimat dari bait sebelumnya dan keduanya merupakan enjambemen.

Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir-akhir larik kemudian

meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya (Semi, 1993: 142). Bait

tersebut menunjukkan bahwa penyair akan melakukan apa yang telah menjadi

mimpinya sejak awal. Berusaha dan bekerja keras dalam pencapaiannya demi

kebahagiaan dirinya. Bait ke dua puluh dua, li'abda'a az-zamana al-'a>tiy „untuk

memulai masa depan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa yang dilakukan

penyair adalah melupakan masa lalunya yang kelam. Hal tersebut menunjukkan

Page 21: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

81

semangat juang penyair dalam merubah hidupnya, dengan tujuan untuk

mendapatkan masa depan yang cerah.

Bait kedua puluh tiga, wa fi> kabdiy... „di hatiku...‟. Kalimat tersebut

menunjukkan bahwa penyair ingin mengungkapkan perasaannya menggunakan

kata “hati”. Kata tersebut digunakan karena hati merupakan sesuatu yang ada di

dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan

tempat menyimpan pengertian-pengertian (KBBI, 2008: 514).

Bait kedua puluh empat, jamru i‘tisha>rin „bergejolak perasaan yang

terpendam‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa di dalam hati penyair terdapat

suatu perasaan yang bergejolak yaitu semangat yang membara untuk mewujudkan

sesuatu yang diinginkannya. Selanjutnya, pada bait terakhir yaitu bait kedua puluh

lima, wa syauqun lilmawa>‘idi „dan kerinduan akan sebuah janji‟. Kata kerinduan

dalam bait tersebut memiliki pengertian yaitu keinginan dan harapan (akan

bertemu) (KBBI, 2008: 1210). Kerinduan dalam teks tersebut menunjukkan

bahwa penyair telah memiliki janji. Janji yang dimaksudkan adalah memberikan

kebahagiaan dan kebanggan kepada dirinya sendiri. Kebahagiaan tersebut

merupakan perasaan penyair karena mampu mewujudkan keinginannya. Selain

itu, kata “kerinduan” yang diungkapkan oleh penyair ketika dia berada dalam

kesedihannya karena menyerah terhadap masalah yang dihadapinya. Maka disaat

itulah penyair mulai merasakan kerinduan pada harapan dan cita-cita dulu.

Sejak awal seseorang pasti memiliki keinginan dan cita-cita untuk masa

depannya, namun seiring berjalannya waktu akan selalu ada ujian dan rintangan

yang akan menghalanginya. Hal tersebut sudah menjadi hukum alam bagi

manusia ketika hidup di dunia, dan kesuksesan diperoleh sesuai dengan

Page 22: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

82

kemampuan manusia itu sendiri. Seperti halnya penyair yang menjalani hidupnya

untuk mendapatkan masa depannya selalu ada ujian yang dialaminya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Sa‘id (2002: 28), bahwa ujian dan problematika

yang didapat oleh manusia dijelaskan bahwa sumber permasalahannya adalah apa

yang ada di dalam jiwa (diri), bukan kezaliman yang menimpa manusia dari

luarnya, namun kezhaliman yang ditimpakan oleh jiwa manusia itu sendiri.

Berdasarkan hasil analisis atas pembacaan heuristik dan hermeneutik di

atas dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan di dunia tidak selamanya berada

dalam kesenangan dan kebahagiaan saja. Namun, dalam kehidupan terdapat ujian

yang harus dijalani oleh setiap orang untuk memperkuat hati, jiwa, dan raganya.

Suatu pencapaian keinginan dan cita-cita harus memiliki semangat tinggi untuk

berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya. Adapun makna penyesalan yang

sesuai dengan judul syair tersebut, adalah masa-masa ketika penyair menyerah

dan merasa tidak sanggup menghadapi ujian. Penyesalan tersebut disebabkan

karena penyair telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya di masa lalu.

Adapun aspek romantisme yang terdapat dalam syair lahfah adalah salah

satu jenis akibat dari cinta berupa rasa sakit hati karena ditinggal pergi oleh

kekasih yang sangat dicintainya. Selain itu, rasa lain yang diakibatkan oleh cinta

adalah kesepian dan kesendirian. Kedua hal tersebut memiliki keterkaitan bahwa

ketika seseorang sedang mengalami jatuh cinta. Kemudian terdapat suatu

permasalahan yang mengakibatkan salah satu pihak pergi dan memutuskan untuk

tidak melanjutkan hubungan tersebut. Oleh karena itu, salah satu pihak pasti akan

merasakan rasa sakit hati dan kesepian karena tidak bisa bersama dengan

pasangannya untuk meluapkan rasa kasih sayang pada kekasihnya.

Page 23: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

83

3.2.2 Syair kedua

Syair kedua berjudul “Ar-rihan”, kata tersebut merupakan bentuk mashdar

dari ra>hana, yura>hinu (bertaruh dengan) (Munawwir, 1993: 542). Judul tersebut

dipilih karena sesuai dengan isi syair tersebut. Syair tersebut berisi tentang

pertaruhan diri penyair terhadap sesuatu yang dia lakukan.

Bait pertama, lau annahu ash-shada> „seandainya gema itu‟. Kalimat

tersebut terdapat tasybi>h baligh. Tasybi>h baligh adalah tasybi>h yang dibuang

adat tasybi>h-nya dan wajah syibh-nya (Jari>m, 2008: 28). Adapun musyabbah-nya

terdapat pada dhami>r ‚ha‛ pada annahu‟ bahwasanya dia‟, dhami>r tersebut

merupakan jenis dhami>r al-sya'n yaitu dhami>r yang berada di awal kalimat dan

sesudahnya terdapat jumlah yang menafsirkannya serta menjelaskan maksud

dhami>r. Dhami>r tersebut disebut dengan dhami>r sya'n karena dhami>r tersebut

berkedudukan sebagai mubtada' (Hasan, 2007: 250-253). Kemudian musyabbah

bih-nya yaitu pada kata ash-shada> „gema‟. Gema merupakan bunyi atau suara

yang memantul (KBBI, 2008: 457). Sesuai dengan definisi tersebut menunjukkan

bahwa suara yang memantul adalah suara yang membalik karena terbentur

ruangan yang tertutup. Artinya suara tersebut terkurung dalam suatu tempat yang

menyebabkan suara tersebut hanya berada pada satu tempat saja. Sebagaimana

gema dalam syair yang dimaknai sebagai semangat yang masih terpendam di

dalam diri penyair.

Selanjutnya pada bait kedua, syaqqa 'ila> nishfaini shadrahu „membelah

dadanya (penyair) menjadi dua‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)

yaitu dengan menyamakan gema seperti pedang yang dapat “membelah”. Bait

kedua tersebut masih berkaitan dengan bait sebelumnya bahwa gema diandaikan

Page 24: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

84

oleh penyair dapat membelah dadanya menjadi dua. Adapun maksud penyair

adalah memunculkan semangat yang masih terpendam. Memaksa dan mendorong

diri penyair untuk mulai bermimpi. Bait ketiga, wa 'asy‘ala al-bicha>ra fi> ‘uyu>nihi

„dan menyalakan mata air lautan‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah yaitu dengan

menyamakan gema seperti manusia yang melakukan pekerjaan “menyalakan”.

Namun, kata “menyalakan” pada syair tersebut bukan hal yang wajar, sehingga

pada frasa “mata air lautan” merupakan isti‘a>rah (metafora) yang memiliki makna

yang tidak sebenarnya. Secara umum mata air adalah sumber air, air yang

membual dari tanah (KBBI, 2008: 824). Makna yang terkandung pada frasa “mata

air lautan” adalah hasil dorongan dan paksaan diri sendiri dan memunculkan

semangat yang membara. Pada bait keempat, bi al-mauji muzabbadan „dengan

ombak yang membuih‟ merupakan lanjutan dari bait sebelumnya yang

menunjukkan harapan, keinginan, dan mimpi si penyair. Hal-hal tersebut adalah

bukti semangat besar penyair terhadap dirinya sendiri. Pada bait ketiga dan

keempat merupakan enjambemen. Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau

frase di akhir-akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik

berikutnya (Semi, 1993:142).

Bait kelima, lau annahu ash-shada> „seandainya gema itu‟. Kalimat

tersebut terdapat tasybi>h baligh dengan musyabbah pada dhami>r al-sya'n ‚ha‛

dan musyabbah bih pada ash-shada> „gema‟. Gema menjadi gambaran atas suatu

dorongan semangat dan pemaksaan diri si penyair sendiri. Gema memiliki arti

berkumandang (KBBI, 2008:457), pada makna tersebut kata berkumandang sama

halnya dengan mengeluarkan suara (KBBI, 2008: 774). Oleh karena itu, makna

mengeluarkan suara tersebut berarti mengeluarkan semangat dari dalam jiwa.

Page 25: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

85

Bait keenam, 'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi 'ibtada „mengembalikannya

pada permulaan masa‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora) pada dhami>r

yang merujuk pada “gema” yang diserupakan dengan “kenangan”. Kenangan

merupakan sesuatu yang membekas di dalam ingatan (KBBI, 2008: 685),

sehingga suatu kenangan sangat berhubungan dengan peristiwa yang pernah

terjadi. Oleh karena itu, penyair berharap bahwa kenangan tersebut dapat

mengembalikannya di masa lalu, dalam arti dia kembali mengalami peristiwa di

masa lalunya. Adapun makna yang dimaksudkan penyair dalam kalimat ini adalah

keinginan untuk menggelorakan semangat tinggi dari dirinya untuk menjalani

kehidupan di masa lalunya. Penyair secara tidak langsung mengungkapkan

penyesalan melalui kalimat tersebut karena telah menyia-nyiakan kesempatan di

masa lalunya dan hidup tanpa memiliki harapan dan keinginan yang akan

dicapainya.

Bait ketujuh, lau annahu istitha>‘a an yazra‘a „seandainya dia bisa

menanam‟. Kalimat tersebut terdapat isti'‘a>rah (metafora) yaitu menyamakan

“gema” seperti manusia yang melakukan pekerjaan “menanam”. Selain itu,

menunjukkan sebuah pengandaian ketiga dari ash-shada „gema‟ bahwa penyair

menginginkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Kepercayaan diri seseorang

sangat diperlukan dalam kehidupan. Seseorang yang menginginkan suatu

perubahan di dalam kehidupannya, maka seseorang tersebut harus “...mengerti

dan memahami apa yang dikehendaki oleh dirinya dan mengetahui cara untuk

mewujudkan keinginannya” (Sa‘id, 2002: 24). Selanjutnya pada bait kedelapan, fi>

as-suhu>li...wa al-wiha>di... mau‘idan „di ladang... dan tanah lapang... akan sebuah

janji‟ merupakan lanjutan dari bait sebelumnya sebagai objek dan keterangan dari

Page 26: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

86

kalimat sebelumnya. Kedua bait tersebut merupakan enjambemen. Kalimat

tersebut menjelaskan bahwa sesuatu yang ditanam adalah mau‘idan „sebuah janji‟,

kata tersebut adalah isti‘a>rah (metafora) yang diserupakan dengan tanaman yang

dapat ditanam. Janji memiliki pengertian yaitu ucapan yang menyatakan

kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (KBBI, 2008: 571). Kata “janji”

memiliki makna “mimpi dan harapan” yang pernah diucapkan oleh penyair lalu

ditanamkannya di dalam hati dan pikirannya yang akan diwujudkannya untuk

masa depannya yang cerah.

Kemudian keterangan fi> as-suhu>li „di ladang‟ dan al-wiha>di „tanah lapang‟

menunjukkan keadaan suatu tempat yang sangat luas. Ladang merupakan tanah

yang diusahakan dan ditanami, sedangkan tanah lapang merupakan tanah yang

luas dan hanya ditumbuhi rumput (KBBI, 2008: 791,1434). Berdasarkan kedua

pengertian tersebut dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama sebuah tempat

yang luas dan dapat ditanami. Luasnya suatu tempat merupakan gambaran bahwa

terdapat banyak kesempatan bagi penyair untuk bermimpi dan berharap.

Bait kesembilan, lau annahu az-zama>nu „seandainya waktu itu‟. Kalimat

tersebut terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih

pada kata az-zama>nu‟waktu‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n

yang digunakan ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna.

Adapun marji‘ dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat

sebelumnya, namun berada pada kata sesudahnya yaitu az-zama>nu. Bait tersebut

merupakan bentuk pengandaian tentang waktu yaitu masa lalu (dulu). Masa lalu

sendiri memiliki pengertian tentang masa yang telah lewat atau terdahulu (KBBI,

2008: 920).

Page 27: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

87

Pada bait kesepuluh, daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na „melalui

di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h

yaitu dengan musyabbah pada kalimat washfi> yaitu thari>qu ‘auda>nu „jalan yang

lurus‟ dan idha>fi> pada thari>qu al-‘i> dan „jalan semak belukar‟ dan musyabbah bih

pada kata az-zama>n „waktu‟. Bait tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya

harapan yang dimiliki penyair dapat mengembalikan waktu yang telah terbuang

sia-sia. Penyair mengandaikan “waktu” dengan “jalan lurus” dan “semak

belukar”. Kedua gambaran tersebut diungkapkan oleh penyair ketika dia memiliki

banyak kesempatan. Adapun jalan lurus yang dimaksudkan oleh penyair adalah

waktu yang dijalani tanpa adanya kesulitan (bahagia), sedangkan semak belukar

adalah berbagai tumbuhan kecil dan lebat (KBBI, 2008: 1299), sesuai dengan

pengertian tersebut dapat pula dimaknai ujian atau kesulitan dalam menapaki

kehidupan. Oleh karena itu, makna yang terkandung dalam bait tersebut sangat

berkaitan dengan waktu ketika penyair mampu menjalani kehidupannya dengan

baik dan dapat melewati segala ujian maupun kesulitan yang datang kepadanya.

Sebagaimana manusia yang mampu mengatur waktunya dan semangat, hal

tersebut akan menimbulkan kekuatan dalam menjalani hari-harinya (Abdul Aziz,

2016: 81).

Berdasarkan fitrahnya, manusia yang dilahirkan memiliki ketetapan atau

takdirnya terkait kebahagiaan (al-sa‘a>dat) dan kesengsaraan (al-syaqa>wat) hidup

(Ibnu Abbas dalam Mujib dan Mudzakkir, 2001: 83). Oleh karena itu, dapat

dipahami bahwa setiap manusia baik penyair ataupun orang lain akan mengalami

kesulitan atau kesengasaraan selama hidup di dunia.

Page 28: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

88

Bait kesebelas, wa khayyama ash-shafsha>fa wa al-laimu>na wa an-nakhi>la

„dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem’. Kalimat tersebut

terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada kalimat khayyama „mendirikan kemah‟

yang dimaksudkan adalah penyair. Jadi, menggantikan makna lain yang sesuai

yaitu sama-sama dapat berdiri tegak. Adapun tiga kata selanjutnya yaitu ash-

shafsha>fa‟jenis pohon‟, al-laimu>na „pohon lemon‟, an-nakhi>la „pohon palem‟

merupakan jenis dari pepohonan yang disamakan dengan penyair yang mampu

berdiri tegak di antara berbagai jenis pohon. Hal tersebut merupakan gambaran

hidup sebagai proses yang aktif, kuat, dan tahan lama dalam mempertahankan dan

meningkatkan dirinya menuju proses pertumbuhan (Rogers dalam Daniel dan

Lawrence, 2011:217). Selain itu, penyair merasa tenang karena dia meyakini

dapat menyelesaikan masalahnya, sebagaimana firman Allah SWT bahwa “Allah

tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya” (Depag, 2009 3: 286:

62).

Bait kedua belas, wa askana al-‘awa>shifa al-hauja>'a... wa ath-thaufa>na

„dan menenangkan badai serta angin topan‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah

(metafora) yaitu dengan menyamakan “waktu” seperti manusia dalam melakukan

suatu pekerjaan “menenangkan”. Waktu merupakan kesempatan, tempo, peluang

(KBBI, 2008: 1614). Selain itu, terdapat pula pada al-‘awa>shifa al-hauja>'a... wa

ath-thaufa>na „angin kencang, badai, dan angin topan‟ merupakan perumpamaan

yang sesuai yaitu sama-sama menimbulkan masalah atau kerusakan. Frasa angin

kencang merupakan angin yang kencang, angin badai merupakan angin yang

datang dari satu jurusan beberapa waktu lamanya, dan angin topan adalah angin

puting beliung (KBBI, 2008: 68). Ketiga angin tersebut sama-sama memiliki

Page 29: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

89

persamaan yaitu jenis angin yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan dan

kehancuran.

Dengan demikian, ketiga kata tersebut adalah gambaran dari berbagai jenis

masalah yang dihadapi oleh penyair, seperti halnya pada bait ke sebelas. Adapun

makna keseluruhan dari bait tersebut adalah waktu yang sangat berharga dan oleh

penyair digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang menimpa dirinya.

Oleh karena itu, penyair dapat merasakan ketenangan dan ketentraman dalam

hidupnya tanpa masalah, karena dalam masalah selalu ada solusi untuk

menyelesaikannya dan setiap orang juga mampu untuk menghadapi tantangannya.

Bait ketiga belas, lau annahu az-zama>nu „seandainya waktu itu terdapat

tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada kata az-

zama>nu „waktu‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang digunakan

ketika dhami>r tersebut berkedudukan sebagai mubtada' (Wafi>, 1398 H: 253) atau

sebagaimana dalam bait tersebut berkedudukan sebagai ism anna. Adapun marji‘

dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya namun

berada pada kata sesudahnya yaitu az-zama>nu. Bait tersebut merupakan bentuk

pengandaian tentang waktu yaitu masa lalu (lampau). Pengambilan makna “masa

lalu” dapat dilihat pada bait setelahnya yang diungkapkan dengan menggunakan

fi‘l ma>dhi. fi‘l ma>dhi adalah kata kerja yang menunjukkan kejadian di masa

lampau (Ja>rim, 2006: 21).

Bait keempat belas, kaffa ‘an 'ightiya>lahu-limarratin- wa khasira ar-riha>na

„menghentikan tipuannya -meski sekali- dan kehilangan taruhannya‟. Kalimat

tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu waktu yang menjadi dhami>r mustatir

pada kata kaffa yang disamakan dengan manusia dalam melakukan suatu

Page 30: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

90

pekerjaan “menghentikan”. Makna keseluruhan dari bait tersebut adalah bentuk

harapan kedua dari penyair terhadap “waktu” untuk menghentikan “tipuannya”.

Pengertian waktu dalam hal ini adalah seluruh rangkaian saat ketika proses,

perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung (KBBI, 2008: 1614). Oleh karena

itu, arti yang terdapat dalam bait tersebut adalah perbuatan yang sedang

berlangsung di masa lalu, yaitu kejadian yang tidak terjadi di waktu itu. Jadi, pada

saat itu penyair berharap jika waktu menghentikan tipuannya. Tipuan yang

dimaksudkan adalah angan-angan penyair dari bait ke sembilan hingga bait kedua

belas. Tipuan sendiri memiliki pengertian yaitu tempat untuk menipu musuh

(KBBI, 2008: 1531). Hal tersebut menggambarkan bahwa penyair dianggap

musuh oleh waktu, sehingga waktu mampu menunjukkan tipuannya dengan

memberikan keadaan yang menyulitkan penyair.

Penyair menginginkan semua yang diangankannya saat ini menjadi nyata

di masa lalu walaupun hal tersebut hanya terjadi sekali. Namun, semuanya tidak

pernah menjadi kenyataan jika itu hanya angan-angan saja karena sebenarnya

semua adalah sebuah kesalahan penyair di masa lalu yang telah menyia-nyiakan

waktu di masa lalu. Kemudian pada kalimat khasira ar-riha>na „kehilangan

taruhan‟ menunjukkan bahwa penyair berangan-angan sesuatu yang tidak

seharusnya terjadi. Akan tetapi, seandainya waktu itu (dulu) penyair dapat

menjalani kehidupan seperti yang diangankannya, maka dia tidak akan kehilangan

waktunya yang sangat berharga.

Bait kelima belas, lau annahu asy-saghaf‟seandainya cinta itu‟. Kalimat

tersebut terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih

pada kata asy-syaghaf‟cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n

Page 31: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

91

yang digunakan ketika dhami>r tersebut berkedudukan sebagai mubtada' (Hasan,

2007: 253) atau dalam bait tersebut sebagai ism anna. Adapun marji‘ dari dhami>r

tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya, namun berada pada

kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf „cinta‟. Bait tersebut merupakan pengandaian

penyair tentang cinta. Cinta yang dimaksudkan adalah cinta kepada seorang

wanita (kekasih). Kekasih merupakan orang yang dicintai (KBBI, 2008: 674),

karena adanya kekasih maka menunjukkan adanya cinta dalam kehidupan penyair.

Cinta yang dimiliki oleh penyair tidak memberikan kebebasan dalam dirinya.

Akan tetapi, penyair merasa terbelenggu karena dia tidak mendapatkan

kesempatan untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Penyair hanya

tenggelam dalam perasaan cintanya pada kekasihnya.

Bait keenam belas, athlaqa khuthwahu... wa ja>waza al-mada> wa al-

muntashifa „membebaskan langkahnya... sehingga dapat melewati jarak jauh atau

dekat‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan menyamakan

“cinta” seperti manusia dalam melakukan pekerjaan “membebaskan”. Cinta bagi

penyair adalah sebuah kebahagiaan yang ada di dalam dirinya karena memiliki

seseorang yang selalu menemaninya. Makna kata “cinta” pada athlaqa khuthwahu

„membebaskan langkahnya‟ adalah dukungan dari seorang kekasih yang

senantiasa diberikan kepada penyair dalam melakukan segala sesuatu. Namun,

berdasarkan bait tersebut pengandaian terhadap cinta dengan adanya kata

“membebaskan” menunjukkan bahwa penyair merasa terkekang dengan cintanya.

Cinta sendiri adalah api dalam hati yang akan membakar semua harapan selain

harapan sang kekasih, dan karena cinta manusia menjadi bersemangat hidup dan

mewujudkan cita-cita.

Page 32: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

92

Bersamaan dengan semangat yang diterimanya, penyair tidak merasa

terbebani dengan langkah kehidupan yang sedang dijalaninya. Hal tersebut

sebagai dorongan bagi penyair untuk mendapatkan keberhasilan dari tujuannya.

Dorongan merupakan konsep motivasi sebagai pemberi energi kepribadian.

Dorongan memiliki keterkaitan dengan kekuatan dan kekasih sebagai penguat

orang lain yang diasosiasikan sebagai pereduksian dari penguat orang yang

dicintainya. Sebuah penguat dapat menjadi primer jika ia bisa memenuhi

kebutuhan yang terkait kelangsungan hidup (Millerd dan Dolard dalam Matthew,

2011: 524).

Hal tersebut sebuah pengandaian tentang cinta yang tidak diterima oleh

penyair dari kekaasihnya. Semangat dan dorongan untuk mengahadapi segala

tantangan kehidupannya. Akan tetapi, penyair hanya meresa terkekang dengan

hubungan cintanya.

Kemudian pada wa ja>waza al-mada> wa al-muntashifa „sehingga dapat

melewati jarak jauh atau dekat‟. Kalimat tersebut menunjukkan suatu akibat dari

kalimat sebelumnya yaitu dari kebebasan yang dimiliki penyair dalam melakukan

segala sesuatu. Hal yang dimaksud adalah pengandaian penyair terhadap cinta,

bahwa kebersamaan penyair dengan kekasihnya tidak memberikan kehidupan

yang lebih baik. Seandainya dukungan tersebut diterima oleh penyair, maka dia

akan mendapatkan kekuatan hingga untuk menghadapi segala ujian dan tantangan

dalam hidupnya. Adapun kata “jarak jauh atau dekat” adalah ruang sela antara

dua benda atau tempat (KBBI, 2008: 568). Makna kata tersebut merupakan jalan

kehidupan penyair yang terdapat lika-liku atau permasalahan yang harus

dihadapinya selama dia masih hidup.

Page 33: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

93

Bait ketujuh belas, lau annahu asy-saghaf „seandainya cinta itu‟ terdapat

tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada kata asy-

syaghaf „cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang digunakan

ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna. Adapun marji‘ dari

dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya namun

berada pada kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf „cinta‟. Bait tersebut pengandaian

kedua dari penyair terhadap cinta. Adapun cinta yang dimaksudkan adalah cinta

kepada seorang wanita (kekasih). Cinta tersbut merupakan sikap yang diwujudkan

seseorang kepada orang lain yang dicintai yang mempengaruhi cara berpikir,

bersikap, dan bertingkah laku (Rubin dalam Akrom, 2008: 28).

Bait kedelapan belas, lam yastajib li'a‘yuni al-jirdza>ni „tak menanggapi

mata-mata yang bengkak‟. Kalimat tersebut terdapat majaz mursal. Majaz mursal

adalah kata yang digunakan bukan untuk makna yang asli, karena adanya

hubungan yang selain keserupaan serta ada qari>nah yang menghalangi

pemahaman dengan makna yang asli (Ja>rim, 2003: 119). Adapun hubungan

makna yang digunakan adalah al-juz-iyyah yaitu “mata” yang menjadi bagian dari

anggota tubuh. Bait tersebut memiliki makna orang-orang yang membenci (tidak

suka) dengan penyair dan kekasihnya. Kemudian makna keseluruhan pada bait

tersebut merupakan wujud dari cinta, cinta yang dimiliki oleh sepasang kekasih

terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan yang saling memberikan

dukungan dan penguatan satu sama lain. Oleh karena itu, berkaitan dengan makna

bait tersebut menunjukkan bahwa cinta sama sekali tidak menanggapi atau

memperdulikan orang-orang yang membenci atau tidak menyukai hubungan

mereka. Cinta juga memberikan bentuk keamanan dan kenyamanan dalam

Page 34: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

94

hubungan tersebut. Rasa aman sendiri dapat memenuhi kebutuhan bagi individu

yang bebas dari rasa takut, bahaya, dan kekacauan (Maslow dalam Matthew,

2011: 841).

Kemudian pada bait kesembilan belas, ‘inda al-mun‘athif...‟di

tikungan....‟. Kalimat tersebut merupakan lanjutan dari bait kedelapan belas dan

merupakan enjambemen. Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase pada

akhir-akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya

(Semi, 1993: 142). Bait tersebut adalah keterangan yang menjelaskan bahwa di

setiap kehidupan yang dijalani oleh penyair dan kekasihnya terdapat ujian dari

orang-orang yang tidak menyukai mereka. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan,

bahwa tragedi yang menimpa penyair dan kekasihnya itu termasuk dalam konflik

kejiwaan manusia. Konflik tersebut tidak hanya membawa kemunduran

(kerugian) tetapi juga membawa kemajuan dalam kehidupan sehari hari (Straton

dalam Jalaluddin, 2005: 59). Adapun pendapat lain bahwa setiap organis terdapat

dua konflik kejiwaan yang mendasar yaitu, (a) life-urge yaitu keinginan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup agar terus berlanjut dan (b) death-urge

adalah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati

(anorganis) (Freud dalam Jalaluddin, 2005: 59). Oleh karena itu, berkaitan

dengan bait tersebut konflik yang dialami oleh penyair adalah bentuk pertahanan

dirinya untuk terus melangkah menjalani kehidupannya.

Bait kedua puluh, faqattara al-'auja>‘u min dima>'ihi „mengalirkan nestapa

dari darahnya‟. Kalimat tersebut mengandung isti‘a>rah, yaitu pada dhami>r yang

merujuk pada kata “cinta”, dengan menyamakannya layaknya manusia yang

memiliki darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Selain itu, terdapat juga pada

Page 35: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

95

kata “nestapa” yang diserupakan seperti sesuatu yang tidak diperlukan oleh darah,

karena tidak memberikan manfaat bagi tubuh. Lalu, pada kata “nestapa”

merupakan suatu bentuk kesulitan dan hal buruk yang akan terjadi, kemudian

dilanjutkan dengan adanya kata “darah” yang sulit. Penyangatan dengan

menggunakan kata “darah” adalah bentuk yang menunjukkan ujian yang dihadapi

oleh penyair dan kekasihnya sungguh-sungguh dilebih-lebihkan dalam

ungkapannya. Ungkapan yang berlebihan dalam bahasa Indonesia disebut dengan

majas hiperbola. Majas hiperbola adalah majas yang berupa pernyataan berlebihan

dari kenyataannya, dengan maksud memberikan kesan mendalam atau meminta

perhatian (rohmatullahh.blogspot.co.id).

Bait kedua puluh satu, wa sha>gha min lahi>biha>an-nuthfa „dan menciptakan

noda dari kobaran nestapa‟. Kalimat tersebut mengandung isti‘a>rah (metafora),

yaitu dengan menyamakan nestapa seperti “api” yang memiliki kobaran. Api

dalam bait tersebut memiliki pengertian panas, dan cahaya yang berasal dari

sesuatu yang terbakar (KBBI, 2008: 84). Api sendiri merupakan sesuatu yang

berbahaya dan membahayakan. Oleh karena itu, makna dari bait tersebut adalah

bentuk rintangan yang dihadapi oleh kedua pasangan bahwa dalam cinta tidak

selalu bahagia. Api yang bermakna rintangan, jika tidak dapat dihadapi akan

memberikan musibah dan kesengsaraan bagi seseorang. Namun, dalam cinta akan

selalu terdapat kesulitan yang menjadi noda dari kebahagiaan.

Cinta keduanya dapat saling memberikan semangat untuk selalu

melangkah meski rintangan datang mengahadang. Noda (masalah) di tengah

hubungan tersebut sebagai tanda bukti kesetiaan dari cinta, bahwa seberat apapun

halangan yang datang mereka akan selalu bersama dalam menghadapinya. Selain

Page 36: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

96

itu, ujian dalam hubungan cinta dapat menghapuskan kesulitan dan mengubah

kehidupan menjadi kebahagiaan dan kenyamanan dalam jalinan hubungannya.

Adapun kesungguhan dalam hubungan akan memancar untuk melalui yang

merintang bersama-sama (Hamka dalam Akrom, 2008: 30).

Bait kedua puluh tiga, lau annahu asy-saghaf „seandainya cinta itu‟

terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada

kata asy-syaghaf „cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang

digunakan ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna. Adapun

marji‘ dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya

namun berada pada kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf‟cinta‟. Bait tersebut

menjadi pengandaian kedua penyair terhadap cinta. Cinta yang dimaksudkan

adalah cinta penyair kepada seorang wanita.

Bait kedua puluh empat, acha>la jurchahu masa>fatan „memindahkan

lukanya jauh-jauh‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan

menyamakan cinta layaknya manusia dalam melakukan sesuatu “memindahkan”.

Makna dari bait tersebut adalah pengandaian penyair terhadap cinta yang dapat

menghilangkan luka jika cinta itu benar-benar tulus di antara pasangan tersebut.

Cinta yang dimiliki manusia adalah fitrah, maka cinta seharusnya dijaga dan

dilindungi, karena keakraban, ikatan dan kesatuan perasaan cinta akan

mewujudkan kehangatan hubungan percintaan (Akrom, 2008:30). Adapun tipe

cinta dari bait tersebut adalah B-Love yang bersifat tidak mementingkan diri

sendiri dan peduli kebutuhan orang lain, karena orang-orang dengan B-love lebih

teraktualisasi-diri dan membantu partnernya mencapai aktualisasi-diri (Maslow

dalam Widyasanti, 2006: 145). Maka dari itu, dengan tipe cinta tersebut tidak

Page 37: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

97

akan ada rasa untuk saling menyakiti satu sama lain dan memunculkan luka dari

hati. Namun, keduanya akan berusaha untuk saling mengerti dan memahami

keadaan pasangannya.

Bait kedua puluh empat, fachath-tha tha>'iru as-sakrati nisywa>na „hingga

hinggaplah burung asmara dalam keadaan mabuk‟. Kalimat tersebut terdapat

isti‘a>rah pada frasa “burung asmara” yang bukan makna sebenarnya, frasa

tersebut merupakan penggambara penyair yang sedang dimabuk asmara dengan

kekasihnya. Asmara sendiri merupakan perasaan senang kepada lain jenis (KBBI,

2008: 99). Asmara berkaitan dengan orang yang sedang jatuh cinta, sehingga

seseorang yang sedang mengalaminya tidak akan pernah berhenti untuk

memikirkan orang yang dicintainya (klikseru.com). Dengan demikian, makna

yang terkandung dalam bait tersebut bahwa saat itu penyair sedang dimabuk

asmara pada kekasihnya, sehingga penyair sampai tidak memperdulikan yang lain

dan yang difikirkan hanyalah kekasihnya. Ketika seseorang yang sedang dimabuk

asmara selalu dikelilingi dengan rindu yang menyebabkan adanya rasa ingin

bertemu dan ingin selalu bersama dengan orang yang dicintainya. Sebagaimana

kutipan “Ketika cinta tak lagi menari di sisi kita, niscaya kerinduan yang sangat

akan kita rasakan” (Akrom, 2008: 28).

Selanjutnya pada bait kedua puluh lima, ‘ala> al-katifi „di atas pundak‟.

Kalimat tersebut menunjukkan suatu penjelasan, bahwa ketika orang yang sedang

mabuk pasti tidak dalam keadaan sadar. Oleh karena itu, jika seorang yang mabuk

dia terjatuh entah di mana saja pun tidak peduli. Namun, pada bait ini dituliskan

“di atas pundak” maksudnya bahwa penyair jatuh di atas pundak kekasihnya,

artinya dia dimabuk asmara pada wanita yang dicintainya (mencintai dengan

Page 38: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

98

sepenuh hati). Bait tersebut terdapat enjambemen yang menjadi lanjutan dari bait

sebelumnya dan masih memiliki hubungan.

Bait kedua puluh enam, lau annahu irtachala „seandainya dia pergi‟.

Kallimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu cinta disamakan dengan

manusia dalam melakukan sesuatu “pergi”. Pada bait tersebut penyair

mengandaikan hal buruk yang terjadi pada cinta. Berkaitan dengan hal tersebut,

hakikat dalam cinta adalah semua yang tidak dapat terkurangi sebab keburukan

dan tidak pula bertambah sebab kebaikan (Mu‘adz dalam Akrom, 2008:34). Maka

dari itu dapat diketahui bahwa cinta kepada seseorang bisa saja sirna dan

memberikan luka yang mendalam ketika rasa cinta sedang berkembang di dalam

hati.

Bait kedua puluh tujuh, yabchatsu kaifa yartawiy min charqati az-zhama'i

„mencari cara bagaimana memuaskan dahaga yang membakar‟. Kalimat tersebut

terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada kalimat “memuaskan dahaga yang

membakar”. Bait tersebut merujuk kepada penyair dan bukan kepada cinta.

Dengan demikian, penyair setelah ditinggalkan oleh kekasihnya dia merasa

kehilangan cinta dalam hatinya dan dia merasakan kesepian. Penyair sebenarnya

sangat membutuhkan cinta dalam hatinya, karena dengan adanya seseorang yang

ada di sampingnya, dia merasa memiliki dukungan dan semangat dalam

menjalankan hidupnya. Sesungguhnya cinta merupakan kebutuhan yang penting

bagi manusia, sehingga jika tiada cinta, perkembangan cinta manusia akan

terhambat (Maslow dalam Akrom, 2008: 32). Cinta yang sangat dibutuhkan oleh

penyair saat ini digambarkan dengan “dahaga yang membakar”, sebab ketika

seseorang merasakan dahaga pasti akan mencari air untuk diminum dan

Page 39: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

99

menghilangkan haus tersebut. Akan tetapi, cinta itu telah hilang dan pergi, hal

tersebut membuatnya sakit hati dan terluka. Kemudian penyair mencari cara untuk

tidak terpuruk terhadap cintanya. Oleh karena itu, dia berusaha mengembalikan

jati dirinya untuk mendapatkan kebahagiaannya di masa depan.

Pada bait kedua puluh delapan, tasyhaqu ‘ainahu 'ila> as-sinniy „kedua

matanya terpaku pada kemurahan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa

kembalinya semangat dari penyair setelah hancur hubungannya dengan

kekasihnya. Maksud dari kata “kedua matanya”, bahwa penyair memulai

lembaran barunya dan melupakan peristiwa di masa lalu. Adapun makna

keseluruhan yang terdapat pada bait tersebut adalah awal baru kehidupan penyair

setelah mengalami masa lalu yang kelam, maka dia mulai melihat dan

memandang pada masa depan yang lebih cerah untuk mengembalikan kehormatan

penyair dengan keberhasilannya. Hal tersebut berkaitan dengan motivasi yang ada

di dalam diri penyair. Pandangan terhadap manusia adalah konsepsinya tentang

motivasi, karena inti sifat manusia pada dasarnya adalah positif dan motivasi

fundamental yang dimiliki adalah menuju pertumbuhan yang positif (Rogers

dalam Daniel dan Lawrence, 2011: 206-207).

Bait kedua puluh sembilan, wa taktachilu „dan bercelak‟. Kalimat tersebut

menunjukkan bahwa bercelak adalah salah satu hal yang dilakukan oleh setiap

orang untuk menghias matanya agar terlihat indah. Bait tersebut dan bait

sebelumnya merupakan enjambemen. Oleh karena itu, kaitan dari kedua bait

tersebut menjelaskan bahwa kedua matanya yang mengenakan celak terpaku pada

kemurahan merupakan sebuah tanda yang baik bagi penyair. Penyair bersungguh-

sungguh pada keinginan dan harapan yang akan dicapainya dan menunjukkan

Page 40: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

100

bahwa dirinya benar-benar mampu menjadi seorang yang memiliki cita-cita untuk

masa depannya.

Bait ketiga puluh, lau annahu a‘tha> likulli syai'in zhahrahu „seandainya

cinta memberikan punggungnya pada segala sesuatu‟. Kalimat tersebut terdapat

isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan menyamakan cinta seperti manusia dalam

melakukan sesuatu yaitu “memberikan”. Selain itu, kata “punggung” merupakan

salah satu dari anggota bagian belakang tubuh manusia (KBBI, 2008:1138),

artinya punggung adalah hal yang sulit untuk dilihat (dijangkau) karena letaknya

di belakang (KBBI, 2008: 1138). Oleh karena itu, maksud pada bait tersebut

penyair mengandaikan cinta dapat memberikan punggungnya, padahal cinta sama

sekali tidak memiliki punggung. Namun, wujud absurd dari punggung adalah

perasaan tulus seseorang dari dalam hati. Ketulusan tersebut sebenarnya tidak

dengan mudah diberikan tanpa ada cinta dan kasih sayang. Sebagaimana

dipaparkan oleh Akrom (2008: 24), bahwa cinta adalah hal yang dimiliki oleh

semua orang yang ada di dunia. Namun, cinta terkadang akan menjadi siluman

yang begitu ganas, yang akan membakar amarah dalam hati kala menjumpai hal

yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Oleh karena itu, hal tersebut dapat

menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan kedua pasangan tersebut

berpisah, karena di antara keduanya memiliki keinginan yang tidak selalu sama.

Terdapat kemungkinan juga cinta dapat putus dan menghancurkan hubungan yang

telah dijalin. Namun, sebaliknya jika cinta itu mampu memberikan punggungnya

yakni cinta yang diwujudkan dengan kasih sayang, kesetiaan dan kepercayaan

satu sama lain, maka pasti akan berbuah kebahagiaan pada semua orang.

Page 41: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

101

Bait ketiga puluh satu, wa ra>cha yasyta‘ilu „dan dia tenang dengan (cinta)

yang menyala‟ terdapat isti‘a>rah (metafora) pada kalimat “cinta yang menyala”

yang memiliki makna tidak sebenarnya. Kata menyala memiliki arti tampak

bersinar (KBBI, 2008: 1010), bersinar sama halnya dengan munculnya suatu hal

yang indah seperti bintang. Maka makna tersebut menunjukkan kebahagiaan yang

tampak dari dalam diri penyair. Adapun cinta adalah salah satu hal yang

memberikan kebahagiaan pada setiap orang yang sedang mengalaminya.

Cinta merupakan muatan-muatan dalam hati yang tercipta untuk

memberikan ketenangan jiwa bagi sesama (Akrom, 2008: 33). Oleh karena itu,

dengan ketenangan jiwa yang didapatkan penyair akan senantiasa memberikan

kebahagiaan. Bait tersebut dengan bait sebelumnya memiliki keterkaitan bahwa

segala bukti cinta dari pasangan tersebut dapat memberikan kenyamanan dan

ketentraman dalam menjalani hubungan mereka. Lalu terciptalah cinta sejati yang

akan selalu memberikan kebahagiaan pada mereka.

Bait ketiga puluh dua, lau annahu tajarrada- al-amsi- min al-qusyrah „jika

cinta itu- kemarin- terlepas dari nasib buruk‟. Kalimat tersebut menunjukkan

suatu harapan penyair pada “cinta” yaitu jika selama penyair menjalin cinta

dengan kekasihnya tanpa ada peristiwa buruk yang menimpa hubungan mereka,

maka mereka pasti akan selalu berada pada kebahagiaan.

Bait ketiga puluh dua, wa 'irtama> fi> lahabi asy-syauqi bilahfati ats-

tsamali... „dan terlempar ke dalam kobaran rasa rindu karena mabuk kepayang...‟.

kalimat tersebut menunjukkan keterangan dari bait sebelumnya yaitu jika cinta

tanpa ada permasalahan pasti di antara mereka hanya ada kebahagiaan saja. Cinta

dapat membuat pasangan tersebut tergila-gila satu sama lain tanpa peduli dengan

Page 42: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

102

sesuatu yang lain. Kata tergila-gila sama dengan yang diungkapkan dalam bait

tersebut yaitu dengan “mabuk kepayang”. Jika cinta pasti ada rindu, rindu adalah

sangat ingin dan benar-benar terhadap sesuatu (KBBI, 2008: 1210), dalam cinta

rindunya terhadap sesuatu yang diinginkan adalah kekasihnya yaitu ingin bertemu

dan selalu bersama.

Bait ketiga puluh empat, lau annahu! „seandainya‟. Kata tersebut

menunjukkan bahwa semuanya adalah harapan yang tidak pernah nyata (terjadi)

dan semua hanya sebuah angan-angan yang ada di dalam benak penyair). Hal

tersebut adalah khayalan penyair. Khayalan berarti melihat sesuatu yang ada di

dalam angan-angan (KBBI, 2008: 718). Khayalan juga tidak memberikan hal

yang positif pada seseorang, akan tetapi membuat seseorang bingung dan

memiliki tekanan batin sehingga menyebabkan orang tersebut kehilangan jati

dirinya (quranic-healing.com).

Bait ketiga puluh lima, lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin „akan

tetapi mimpi semua hanya mimpi‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa semua

yang diandaikan hanya sebatas mimpi dari si penyair. Mimpi adalah mengalami

atau melihat sesuatu yang dikhayal ketika tidur, berangan-angan yang bukan-

bukan (KBBI, 2008: 957). Dengan demikian, sesuatu yang hanya terjadi dalam

khayalan si penyair dan tidak akan pernah terjadi di dunia nyata.

Bait ketiga puluh enam, tu‘ajjizu an tudhi>'a shadrahu ‟tidak mampu

menerangi hatinya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu mimpi

diibaratkan dapat melakukan suatu hal yang tidak bisa dilakukannya “menerangi”,

biasanya kata “menerangi” hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang menyala dan

bersinar seperti matahari dan bulan yang menerangi bumi, lampu yang menerangi

Page 43: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

103

ruangan yang gelap, dan api yang dapat menerangi lingkungan atau jalan yang

gelap gulita. Adapun makna yang terkandung dalam bait tersebut adalah bahwa

mimpi, khayalan, dan angan-angan si penyair tidak dapat menenangkan hatinya.

Khayalan tersebut sama sekali tak pernah terjadi di masa lalunya, masa lalu yang

menjadi penyesalan terhadap waktu yang dibuangnya sia-sia. Waktu itulah yang

menjadi taruhan penyair terhadap jalan hidupnya, yaitu dengan membuang-buang

kebahagiaan yang seharusnya dapat dia rasakan, kenyamanan dan ketenangan

dalam menjalani kehidupannya.

Bait ketiga puluh tujuh, wa ha> huwa al-'a>na-kayyi marratin- „dan inilah dia

sekarang- selalu begitu‟. Kaimat tersebut menunjukkan keadaan dari penyair pada

saat itu, penyesalan membuatnya lemah dan hanya bisa terus berangan-angan

tanpa ada usaha untuk kembali pada jati dirinya. Manusia berdasarkan dimensi

kejiwaan berada pada dimensi insani yang gerak monoton, gerak variasi, persepsi

dan kesadaran diri (Al-Ghazali dalam Djumhana, dkk, 2003: 85). Oleh karena itu,

dalam hal ini penyair perlu menyadarkan dirinya untuk bisa mengeluarkan dirinya

dari keterpurukan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah,

bahwa “manusia adalah satu-satunya makhluk yang di karuniai Tuhan

kemampuan istimewa untuk meraih derajat rohani setinggi-tingginya atau dapat

pula menjerumuskan diri ke taraf serendah-rendahnya” (Depag, 2006 95: 4-5:

905).

Pada bait ketiga puluh delapan, yuthi>lu min waqfatihi ‘ala> ath-thalal!

„terus diam di atas puing-puing‟. Kalimat tersebut menunjukkan kondisi lemahnya

penyair terhadap sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Maksud dari keterangan

“di atas puing-puing” adalah masa lalu penyair yang kelam. Dengan demikian,

Page 44: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

104

penyair hanya bisa diam, lemah tak berdaya karena dia merasa tidak mampu

menghadapi segala masalah yang terjadi pada dirinya. Bayangan-bayangan masa

lalu masih saja mengenang di dalam hatinya, hal tersebut merupakan tingkat

prakesadaran yang mencakup muatan mental yang mudah disadari jika dengan

sengaja mengingatnya (Freud dalam Danie dan Lawrence, 2011: 95).

Sebagaimana yang disebutkan oleh Freud.

Muatan mental ketidaksadaran adalah bagian pikiran yang tidak kita sadari

dan tidak dapat disadari kecuali di bawah situasi tertentu karena muatan

mental dapat menyebabkan kecemasan. Kita memiliki pikiran dan

keinginan yang sangat traumatis atau tidak dapat diterima secara sosial

yang jika secara sadar kita memikirkan hal tersebut dapat menimbulkan

kecemasan. “Alasan mengapa ide tersebut tidak dapat masuk ke dalam

kesadaran adalah karena adanya kekuatan tertentu yang menghalangi

(Freud dalam Daniel dan Lawrence, 2011:96).

Hasil analisis dari syair kedua tersebut adalah taruhan waktu yang dimiliki

penyair di masa lalunya. Penyair mengandaikan keadaan di masa lalunya dengan

hal-hal yang membahagiakan dengan tujuan untuk menghibur dirinya dalam

kesendiriannya. Namun, penyair menyadari bahwa semua hanya khayalan dan

tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Pada dasarnya hal itu terjadi karena

penyair telah menyerah terhadap ujian yang diberikan kepadanya. Hal itu

sebenarnya kesalahan dari penyair sendiri yang tidak mampu menggunakan

waktunya dengan baik, padahal waktu yang telah berlalu tidak akan pernah

terjadi. Jika penyair menginginkan kebahagiaan seperti yang telah diangankan,

maka menjadi keharusan bagi penyair untuk merubah hidupnya menjadi lebih

baik.

Adapun aspek romantisme yang terdapat dalam syair ar-riha>n adalah

bentuk angan-angan si penyair terhadap cinta yang dimilikinya pada seorang

wanita yang akan selalu menemaninya dan memberikan kebahagiaan kepada

Page 45: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

105

penyair. Deskripsi cinta sejati yang diharapkan oleh penyair adalah adanya

kepercayaan satu sama lain, setia, dan memberikan kasih sayang yang tulus

membuat kebahagiaan yang sempurna bagi dirinya. Cinta bagi seseorang sangat

berarti dan salah satu kebutuhan hidup setiap orang, seperti halnya si penyair yang

mendapat kekuatan karena dorongan dan dukungan dari kekasihnya. Namun,

dalam hubungan cinta antara penyair dengan kekasihnya terdapat masalah yang

menyebabkan putus hubungan mereka dan menyebabkan sakit hati karena

kepergian kekasihnya.

3.2.3 Syair Ketiga

Syair ketiga berjudul “Ra‘syatun fil-Ufuq”, kata Ra‘syatun merupakan

bentuk mashdar dari ra‘isya- yar‘asyu yang memiliki arti gemetar, gigil, yang

penakut (Mu‘jam Al-wasi>th, 2004:354, Munawwir, 1997: 509). Dengan

demikian, ra‘syatun berarti penakut dan fil-ufuq merupakan keterangan yang

berupa susunan dari harf jarr dan ism majru>r. Judul tersebut merupakan judul

besar dari antologi syair dari Achmad Sweilem dan menjadi inti pembahasan dari

syair-syair yang lainnya.

Ra‘syatun fil-ufuq‟penakut di cakrawala‟ merupakan judul yang diambil

oleh penyair dengan menyesuaikan isi dari syair tersebut. Bait tersebut

menunjukkan bahwa penyair mengungkapkan dirinya adalah seorang penakut dan

cakrawala diartikan sebagai kaki langit, tepi langit (KBBI, 2008: 254). Kalimat

tersebut menggambarkan keadaan dari penyair yang sedang merasa ketakutan dan

cakrawala tersebut merupakan penggambaran tempat bahwa penyair ketakutan

dan menyendiri di suatu tempat yang sepi dari orang-orang.

Page 46: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

106

Pada bait pertama, mundzu an ka>na farkhan „sejak menjadi seekor anak

burung‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h. Tasybi>h adalah penjelasan bahwa

suatu hal atau atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal lain (Ja>rim,

2007:25) . Adapun musyabbah-nya terletak pada kata farkhan „anak burung‟ dan

musyabbah bih-nya berupa jumlah fi‘liyah yaitu pada an ka>na „dia menjadi‟.

Subjek “dia” merupakan sebuah dhami>r musytatir yang merujuk pada penyair.

Frasa anak burung dimaknai ketika penyair masih berada dalam kebahagiaan yang

selalu mengelilinginya di setiap langkahnya.

Bait kedua, yudats-tsiruhu al-‘usy-syu... „dia terlindung di dalam

sangkar...‟. Kalimat tersebut menunjukkan sebuah perlindungan dan pertahanan

diri. Kata sangkar adalah kurungan, bersarang: burung (KBBI, 2008:1263)

sehingga sangkar menjadi salah satu sarana perlindungan diri seekor burung dari

sesuatu yang membahayakan dirinya. Perlindungan tersebut adalah sesuatu yang

masih diperlukan ketika seseorang masih di usia muda, seperti halnya seorang

anak kecil yang masih berlindung pada kedua orang tuanya ketika ada salah satu

teman yang mengganggunya.

Bait ketiga, qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni

„membangun tempat berlindung dari jerami dan menutupinya dengan tanah‟.

Kalimat tersebut menunjukkan penjelasan dari bait kedua tentang tempat

perlindungan. Tempat perlindungan yang diungkapkan dalam syair tersebut yaitu

dibuat dari jerami yang ditutupi dengan tanah. Maksud dari ungkapan tersebut

adalah anak burung tersebut benar-benar takut pada hal-hal yang buruk akan

terjadi menimpa dirinya. Gambaran yang ada pada syair tersebut bahwa sarang

yang dibuat dari jerami ditutup dengan tanah, hal itu menunjukkan bahwa penyair

Page 47: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

107

sungguh-sungguh sedang merasa sedang ketakutan terhadap sesuatu. Ketakutan

tersebut membuatnya bersembunyi dan menyendiri di dalam tempat

perlindungannya. Berdasarkan teori yang berkaitan dengan kecemasan

menjelaskan bahwa kecemasan melambangkan emosi menyakitkan yang

bertindak sebagai sinyal adanya bahaya datang mengancam ego (Freud dalam

Daniel dan Lawrence, 2011: 109-110). Hal tersebut berkaitan dengan suatu

pengalaman masa lalu yang menyebabkan penyair trauma dan menyebabkan luka.

Bait keempat, fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „tiba-tiba terurailah cahaya

di angkasa‟ menunjukkan bahwa cahaya tersebut menunjukkan kejadian alam

yang memunculkan kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan ketika hujan akan

turun (id.wikipedia.org).

Bait kelima, wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „yang menjadikan mendung

bernyalakan api‟, kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) pada cahaya yang

melakukan suatu aktivitas yaitu menjadikan mendung bernyala api, isti‘a>rah

adalah tasybi>h yang dibuang salah satu dari dua syarat khususnya (musyabbah

atau musyabbah bih) (Ja>rim, 2007: 83). Gambaran dari kalimat “mendung

bernyalakan api” merupakan tanda bahaya yang akan dialami oleh penyair.

Mendung adalah awan berwarna kelabu yang mengandung hujan, sedangkan api

adalah panas dan cahaya berasal dari sesuatu yang terbakar (KBBI, 2008:939, 84).

Pada dasarnya jika ada petir maka langit dalam keadaan mendung dan akan turun

hujan. Petir adalah pelepasan muatan listrik di awan, adanya energi pelepasan

tersebut menyebabkan adanya rentetan cahaya, panas dan bunyi yang sangat kuat

dan ketiga hal tersebut dapat menyebabkan beberapa musibah di dunia (hilang-

muncul.blogspot.co.id). Maka dari itu dengan gambaran tersebut menunjukkan

Page 48: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

108

bahwa bukan hujan yang turun dari langit, akan tetapi awan mendung yang

terdapat kilatan besar yang mampu menghancurkan segala sesuatu (bahaya atau

musibah).

Pada bait keenam, fa'asqathat asy-syuhubu tucharriqu ‘usyba al-jada>wili

„menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan tepian anak sungai‟.

Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu menganggap cahaya dan

meteor dapat melakukan suatu akivitas “menjatuhkan” dan “membakar”. Cahaya

yang menjadi subjek dalam penggambaran ini tidak hanya dapat membuat

mendung bernyalakan api, namun juga dapat menjatuhkan meteor-metor yang

dapat membakar rerumputan di tepian sungai. Hal tersebut menunjukkan bahwa

bahaya benar-benar menimpa penyair pada saat itu. Adapun rerumputan anak

sungai adalah lingkungan tempat dia berlindung dan hidup, namun semua terbakar

oleh meteor-meteor yang jatuh di tempat itu. Tidak hanya tepian anak sungai saja

akan tetapi sungai tersebut juga tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Peristiwa yang terjadi merupakan masalah yang menimpa dirinya disaat dia

merasa ketakutan. Makna yang dimaksudkan adalah meskipun penyair merasakan

kesendirian dan ketakutan, dia tidak akan pernah terlepas dari suatu masalah

ataupun ujian.

Pada bait keempat, kelima, dan keenam merupakan bentuk ancaman

bahaya yang terjadi menimpa penyair, sehingga membuatnya takut dan berdiam

diri suatu tempat yang sepi tanpa adanya seseorang yang menemaninya.

Kemudian pada bait setelahnya dijelaskan sebuah pertahanan yang harus

dilakukan oleh penyair. Pertahanan diri sangat diperlukan untuk menghilangkan

pikiran yang dapat memunculkan kecemasan. Adapun cara yang digunakan yaitu

Page 49: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

109

dengan mengubah realitas dan meniadakan perasaan dari kesadaran yang akan

membuat kita tidak akan merasa cemas maupun takut (Freud dalam Daniel dan

Lawrence, 2013:110).

Bait ketujuh, ka>na ‘alaihi yuqi>mu as-sudu>da wa yachtazinu al-ma>'a

„sebenarnya dia harus membangun bendungan untuk menyimpan air‟. Kalimat

tersebut menunjukkan suatu anjuran kepada anak burung agar membangun

bendungan untuk menyimpan air. Air merupakan sumber kehidupan manusia, air

memiliki fungsi yang baik bagi tubuh. Air yang tersimpan dalam bendungan

tersebut merupakan sebuah sarana baginya untuk bertahan hidup. Bendungan

adalah penampungan air (KBBI, 2008: 175). Bendungan tersebut sangat

diperlukan bagi manusia sebagai persediaan air jika ada hal yang menyebabkan

air itu habis. Makna yang ada pada bait tersebut adalah seharusnya penyair tidak

hanya berdiam diri saja, akan tetapi dia harus selalu bekerja keras untuk memiliki

bekal pengalaman agar dapat menyelesaikan masalah, seperti peristiwa yang

pernah dialaminya. Pengalaman yang didapatkan oleh penyair akan memberikan

jaminan kehidupan yang lebih baik.

Pada bait kedelapan, chatta> zama>ni jifa>fi al-chawa>shili „hingga datang

masa paceklik‟. Kalimat tersebut menunjukkan salah satu masa sulit yang akan

dialami oleh si penyair. Digambarkan dengan masa paceklik karena masa tersebut

merupakan keadaan yang sangat sulit. Paceklik adalah masa kekurangan bahan

makanan (KBBI, 2008: 1027). Oleh karena itu, hubungan bait tersebut dengan

bait sebelumnya adalah bekal pengalaman yang telah diperoleh oleh penyair dapat

membantunya dalam menyelesaikan masalah ketika dia mendapatkan kesulitan.

Akan tetapi, pada keadaan seperti itu juga diperlukan kekuatan untuk dapat

Page 50: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

110

bertahan hidup. Adapun maksud dari bait tersebut yaitu penyair harus memiliki

persiapan kebutuhan yang cukup untuk menghadapi masa sulit yang akan datang

agar penyair tidak akan pernah merasa kekurangan dan menderita.

Bait kesembilan, lakinna ‘ashfa ar-riya>chi istab>cha khutha>hu „namun

badai membinasakan langkahnya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)

pada kata badai yang disamakan dengan sesuatu yang dapat melakukan sebuah

aktivitas “membinasakan”. Badai adalah angin kencang yang menyertai cuaca

buruk (yang datang tiba-tiba) (KBBI, 2008:114). Badai tersebut memiliki dampak

negatif yaitu musibah yang menimpa si penyair. Bait tersebut menujukkan akibat

yang didapat oleh si penyair karena tidak memiliki keberanian dalam menghadapi

suatu tantangan hidupnya. Maka ketika “badai” (permasalahan yang besar)

menimpanya, jika dia tidak mempunyai cara untuk mempertahankan dirinya,

maka semua yang dimilikinya akan hancur. Adapun makna kata “langkah” dalam

bait tersebut adalah gerakan kaki, sikap, tindakan dam perbuatan (KBBI,

2008:810). Langkah tersebut adalah bentuk kehidupan yang dijalani oleh penyair

bersama dengan harapan-harapan yang telah dia tanamkan di dalam hati dan

pikirannya.

Kemudian pada bait kesepuluh, fasyaqqaqa chilmu ath-thufu>lati

„hancurlah impian seorang anak‟. Kalimat tersebut merupakan lanjutan dari bait

sebelumnya yaitu suatu peristiwa datangnya permasalahan besar yang

membinasakan seluruh harapan yang dimilik penyair. Sesuatu yang menjadi

harapan penyair hilang seketika dan mimpi-mimpi yang pernah dibangunnya

semua hancur karena ketidak mampuan penyair dalam menghadapinya.

Page 51: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

111

Pada bait kesebelas, lam yabqa minhu siwa> ra‘syata fil-ufuqi „tak ada

yang tersisa selain ketakutan di cakrawala‟. Kallimat tersebut menunjukkan

kondisi dan keadaan dari penyair yang sedang meratapi dirinya. Ratapan tersebut

disebabkan penyair sendiri, karena dia merasa dirinya bukanlah seseorang yang

tidak memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki semangat, tidak mengetahui cara

untuk bertahan hidup, dan tidak memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan

dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penyair mengungkapkan dirinya adalah

seorang yang pengecut yang hanya bisa berdiam diri tanpa tahu arah jalan

hidupnya. Makna “di cakrawala” sebuah gambaran langit yang tidak memiliki

ujungnya (tidak ada batas), sama halnya dengan arti jangakauan pandang (KBBI,

2008:254), sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa penyair terus-menerus

berdiam diri tanpa berbuat apapun meski terdapat banyak tempat untuk bisa

mendapatkan hal-hal yang baik dan berguna bagi dirinya.

Bait kedua belas, ‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu „dia berdiri

telanjang kini... tanpa matahari yang menghangatkannya‟. Kalimat tersebut

terdapat isti'a>rah pada kalimat “tanpa matahari yang menghangatkannya”, yaitu

matahari seperti sedang melakukan sesuatu. Matahari memiliki sifat panas dan

dapat memberikan kehangatan pada sesuatu yang ada di dunia. Sedangkan makna

yang terkandung dalam bait tersebut merupakan keadaan penyair bahwa dia kini

merasa dirinya telah kehilangan kepercayaan dirinya dan tidak memiliki

pertahanan diri dalam menghadapi masalahnya. Kalimat tanpa matahari yang

menghangatkannya merupakan sebuah perumpaan terhadap seseorang yang tidak

peduli terhadap dirinya, sehingga penyair merasakan kesepian. Bait ketiga belas,

la> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu „tanpa hati yang menyalakan api‟. Kalimat

Page 52: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

112

tersebut terdapat isti‘a>rah yaitu pada hati yang digambarkan dapat melakukan

sesuatu. Kata api merupakan semangat; perasaan yang menggelora (KBBI, 2008:

84). Bait tersebut merupakan lanjutan penjelasan dari bait sebelumnya bahwa

selain penyair merasakan kesepian, dia juga merasakan tidak ada semangat yang

tumbuh di dalam dirinya. Tidak adanya semangat tersebut menjelaskan bahwa

tidak ada seseorang yang mendorong dan memotivasi untuk mendapatkan

kekuatan terhadap diri penyair. Motivasi sendiri mencakup segala sesuatu yang

merangsang, mendorong, dan mengarahkan tingkah laku, selain itu, motivasi juga

merujuk kepada proses-proses yang akan mengaktifkan dan mengarahkan tingkah

laku (Wilcox dalam Kumalahadi, 2013: 150). Adapun dorongan dapat diperoleh

dari diri sendiri, jika telah memiliki suatu keinginan sudah menjadi tanggung

jawab diri sendiri untuk melakukannya.

Bait keempat belas, ghaimatu an-na>ru kha>midah „cahaya telah padam‟

menujukkan sesuatu yang sia-sia yaitu “harapan”. Suatu harapan yang pernah

muncul di dalam benaknya hanya sebuah impian yang tidak akan pernah bisa

terwujud. Semangat yang tidak pernah muncul dari diri penyair membuat dirinya

pasrah dan berdiam diri tanpa melakukan apapun. Hal tersebut disebabkan karena

kepribadian yang dimiliki oleh penyair. Sama halnya yang diungkapkan oleh

Adolf Heuken S.J. berikut ini.

Kepribadian adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan, serta

kebiasaan seseorang, baik jasmani, mental, rohani, emosional maupun

sosial. Semua ini telah ditata dalam caranya yang khas di bawah berbagai

pengaruh dari luar. Pola initerwujud dalam tingkah lakunya, dalam

usahanya menjadi manusia sebagaimana dikehendakinya (Heuken dalam

Jaenudin, 2012: 117).

Oleh karena itu, harapan ataupun impian tanpa usaha untuk

mendapatkanya hanya akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang

Page 53: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

113

dimilikinya. Maka kesuksesan pun tidak akan pernah bisa diraih jika hanya

dengan berdiam diri.

Bait kelima belas, wa huwa ya'ba> ar-rachi>la „dan dia tidak peduli dengan

apa yang telah berlalu‟. Kalimat tersebut menunjukkan sikap penyair yang tidak

peduli dengan hal-hal yang telah terjadi pada dirinya. Orang yang mengabaikan

masa lalunya tanpa mengambil hikmah atau pun pelajaran dari peristiwa tersebut.

Penyair hanya pasrah terhadap dirinya dan merasa bahwa semuanya adalah

takdirnya menjalani hal tersebut. Padahal seharusnya dengan mengambil hikmah

dari kejadian tersebut, penyair dapat mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih

baik. Jika di dalam dirinya memiliki keyakinan bahwa dia mampu menghadapi

semua rintangan tersebut, dirinya akan merasakan kenyaman dan kebahagiaan

dalam hidupnya.

Bait keenam belas dan ketujuh belas, ka>na qad gharasa al-amsi fi>

qadamaihi „kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya‟, intima>'a adh-

dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah „rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang

subur‟. Kedua bait tersebut merupakan saling berkesinambungan dan merupakan

satu kalimat utuh. Selain itu, keduanya merupakan enjambemen. Enjambemen

adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir-akhir larik kemudian meletakkan

potongan itu pada awal larik berikutnya (Semi, 1993: 142). Jika kedua bait

tersebut digabungkan menjadi ka>na qad gharasa al-amsi intima>'a adh-dhulu>‘i ila>

ardhihi al-mukhshibati fi> qadamaihi „kemarin dia telah membenamkan rusuknya

yang kekar ke dalam tanah yang subur di bawah kakinya‟. Kalimat tesebut

menceritakan masa lalu penyair ketika dia memiliki suatu harapan yang besar.

Kata “kemarin” menunjukkan sesuatu yang terjadi di masa lampau (dulu).

Page 54: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

114

Intima>'a adh-dhulu>‘i „rusuknya yang kekar‟ merupakan isti‘a>rah dan bukanlah

makna yang sebenarnya. Adapun makna lainnya adalah jenis harapan yang besar.

Ar-dhihi al-mukhshibati fi> qadamaihi „ke dalam tanah yang subur di bawah

kakinya‟ menggambarkan suatu keadaan, tanah adalah keadaan bumi di suatu

tempat dan subur adalah sesuatu yang dapat tumbuh dengan baik, hidup dengan

baik (berkembang biak, bertambah maju, besar, kuat, dan sebagainya) (KBBI,

2008: 1433 dan 1380). Berdasarkan kalimat tersebut makna yang terdapat di

dalamnya menjelaskan bahwa dulu penyair pernah memiliki harapan besar

terhadap dirinya. Penyair juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa

dia mampu mewujudkan harapan tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang

lebih baik di dunia.

Bait kedelapan belas, ka>na qad fajjara al-amsi shamtu al-chasha> „kemarin

telah meledakkan diamnya batu‟. Kalimat tersebut terdapat kina>yah. Kina>yah

adalah lafaz yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi

dengan dimaksudkan untuk makna asalnya. Berdasarkan sesuatu yang berada di

balik kina>yah maka dengan kata tersebut merupakan sebuah kata sifat (Ja>rim,

2007: 135). Kata tersebut pada “diamnya batu” yang menjelaskan bahwa setelah

penyair merasa yakin terhadap harapan yang dimilikinya, muncullah semangat

yang membara dari diri penyair. Penggambaran dengan menggunakan “diamnya

batu” menunjukkan betapa besarnya semangat yang dimiliki oleh penyair hingga

batu yang memiliki sifat diam (tidak dapat berbicara) dan sifat yang keras dapat

hancur karena semangat tersebut. Hal tersebut merupakan sesuatu hal yang

dilebih-lebihkan dalam pengungkapannya oleh penyair.

Page 55: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

115

Bait kesembilan belas, fi> al-khutha>al-mat‘bah „dalam langkah yang

melelahkan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bentuk kerja keras yang dilakukan

oleh penyair terhadap sesuatu yang sedang diinginkannya. Kata “langkah”

memiliki pengertian yaitu gerakan kaki (ke depan, ke belakang, ke kiri, dan ke

kanan) (KBBI, 2008:810). Makna langkah dalam bait tersebut adalah jalan yang

diharus dilalui oleh penyair untuk mendapatkan sesuatu yang telah menjadi tujuan

utamanya.

Bait kedua puluh, marratan alfa al-mauji „ribuan kali gelombang‟

menunjukkan segala sesuatu halangan dan ujian yang dihadapi oleh penyair di

tengah-tengah perjalanan untuk mencapai tujuannya. Kemudian pada bait kedua

puluh satu, wa al-bachru la>yudriku al-'ulfata al-wa>di‘ah „sementara lautan tak

mengerti cinta yang mengucapkan selamat tinggal‟. Kalimat tersebut terdapat

isti‘a>rah (metafora) pada “lautan” dan “cinta” yang disamakan seperti manusia

dalam melakukan sesuatu yaitu “mengerti” dan “mengucapkan”. Lautan

merupakan laut yang sangat luas atau kumpulan sesuatu yang banyak (KBBI,

2008: 824), sehingga berdasarkan pengertian lautan tersebut dapat diketahui

bahwa “lautan” merupakan gambaran dari penyair. Penyair yang terobsesi untuk

mencapai sesuatu yang diinginkannya, menjadikan dirinya tidak peduli dengan

apapun yang berada di sekelilingnya. Seperti halnya tentang cinta penyair, dia

sama sekali tidak peduli dengan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan cinta

maupun suatu hubungan dengan seorang perempuan. Hal yang dipikirkan penyair

hanya keinginan dirinya sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan ego yang dimiliki

oleh penyair. Ego adalah pengekspresian dan pemuasan keinginan, selain itu ego

akan mengawasi realitas dan menilai apakah ada kesempatan untuk berhasil serta

Page 56: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

116

menunda perilaku yang akan mengembangkan strategi yang memungkinkan untuk

mencapai keberhasilan (Freud dalam Daniel dan Lawrence, 2013: 105-106).

Bait kedua puluh dua, zhanna anna jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi „dia

sangka kedua sayapnya adalah layar yang berkembang‟. Kalimat tersebut terdapat

tasybi>h muakkad yaitu pada jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi „kedua sayapnya

adalah layar yang berkembang‟. Tasybi>h muakkad adalah tasybi>h yang dibuang

ada>t tasybi>h-nya. Adapun musyabbah-nya pada asyri‘atun li ar-riya>chi‟ layar

yang berkembang‟ dan musyabbah bih-nya pada jana>chaihi „kedua sayapnya‟.

Frasa “kedua sayapnya” merupakan gambaran dari kekuatan atau kemampuan

yang dimiliki oleh penyair yang selalu dapat menyelesaikan masalah yang

menimpanya. Maksud bait tersebut menjelaskan bahwa penyair sedang

membanggakan dirinya sendiri karena memiliki kekuatan yang besar dan

kepercayaan diri yang mampu menghancurkan segala rintangan yang datang pada

dirinya.

Bait kedua puluh tiga, wa achrafahu syarniqa>tun li afrakhihi al-qa>dimah

„dan tepiannya adalah kepompong untuk anak-anaknya yang akan lahir‟. Kalimat

tersebut terdapat kina>yah pada achrafahu syarniqa>tun „tepiannya adalah

kepompong‟. Berdasarkan kina>yah pada kalimat tersebut yaitu sama-sama

menjelaskan suatu tempat, tempat yang digunakan penyair untuk menjalankan

kerja kerasnya dan perjuangannya dalam mendapatkan sesuatu yang

diinginkannya. Tempat yang akan mewujudkan harapannya untuk masa depannya

nanti. Kemudian pada kalimat tersebut terdapat kata kepompong, kepompong

adalah bakal serangga (kupu-kupu) yang berada di stadium kehidupan ketiga

sebelum berubah bentuk menjadi kupu-kupu atau serangga (KBBI, 2008: 693).

Page 57: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

117

Maka kepompong merupakan gambaran dari harapan dan keinginan penyair yang

masih berada di dalam hati dan pikirannya yang belum terwujud. Kalimat

afrakhihi al-qa>dimah „anak-anaknya yang akan lahir‟ merupakan gambaran wujud

dari harapan yang dicapai oleh penyair (hasil kerja keras penyair), karena harapan

yang telah terwujud dapat memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup seperti

halnya kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

Bait kedua puluh empat, wa ma> ittakhadza al-amsi chasanan „dia tidak

menganggap masa lalu sebagai perlindungan‟. Kalimat tersebut menunjukkan

suatu kelemahan yang dimiliki oleh penyair dengan tidak menganggap atau tidak

memperdulikan masa lalunya sebagai perlindungan. Masa lalu bukan hanya

sebuah kenangan saja akan tetapi, bisa menjadi bahan motivasi bagi diri sendiri

(dhan7ramadhan.wordpress.com). Maksud dari ungkapan tersebut adalah penyair

telah melupakan segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu, baik itu yang

berkaitan dengan kebahagiaan ataupun kesedihan. Seharusnya masa lalu tidak

begitu saja dilupakan dan tidak diperdulikan, karena masa lalu pasti memiliki

hikmah atau pelajaran yang dapat diambil agar peristiwa yang pernah terjadi tidak

terulang kembali.

Pada bait kedua puluh lima, wa ma> ittakhadza al-ghada chadhanan „dan

tidak menganggap masa depan sebagai jaminan‟. Kalimat tersebut menunjukkan

kelemahan yang dimiliki penyair, bahwa dia tidak memperdulikan masa lalu dan

juga tidak menganggap bahwa masa depan yang akan dijalaninya dapat

memberikan jaminan kebahagiaan untuk dirinya (pasrah). Pasrah sama dengan

menyerah(kan) semuanya (KBBI, 2008: 1030). Penyair menyerahkan semuanya

pada takdir yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, penyair tidak memiliki

Page 58: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

118

semangat untuk mencapai apa yang telah dia inginkan. Hal tersebut menunjukkan

bahwa penyair tidak memiliki kepercayaan yang besar pada dirinya sendiri dan

hanya bergantung pada takdirnya. Sebagaimana kehidupan manusia seakan-akan

begitu saja tanpa ada perencanaan dan berakhir saja tanpa ada perhitungan (Mujib

dan Mudzakir, 2001: 246). Maka dari itu, penyair menganggap jika kehidupan

akan berakhir dan semua yang telah diperoleh tidak akan berguna.

Bait kedua puluh enam, faidza> al-bachru yasychadzu anya>bahu „jika

lautan mempertajam taringnya‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h maqlub yaitu

pada “lautan” yang digambarkan melakukan sesuatu. Tasybi>h maqlub adalah

menjadikan musyabbah sebagai musyabbah bih dengan mendakwakan bahwa titik

keserupaannya lebih kuat pada musyabbah (Ja>rim, 2007: 66). Makna yang

terdapat di dalam bait tersebut adalah suatu hal-hal buruk dan musibah yang akan

terjadi, kemudian menghalangi mimpi dan jalannya menuju kebahagiaan.

Pada bait kedua puluh tujuh, wa yufattitu achla>ma mala>chihi „dan

menghancurkan mimpi-mimpi pelaut‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h dhimmi.

Tasybi>h dhimmi adalah tasybi>h yang kedua tharaf-nya tidak dirangkai dalam

bentuk tasybi>h yang telah dikenal, melainkan keduanya hanya berdampingan

dalam susunan kalimat (Ja>rim, 2007: 52). Kata “pelaut” yang dimaksudkan adalah

penyair yang selalu bemimpi dan berharap. Akan tetapi, jika penyair hanya

membanggakan dirinya sendiri tanpa percaya hal-hal buruk yang datang tiba-tiba,

maka semua yang telah menjadi harapan dan mimpi-mimpinya akan hancur

dengan mudahnya.

Bait kedua puluh delapan, fauqa sya>thi'ihi „di atas tepinya‟. Keterangan

tersebut menunjukkan sebuah tempat penyair sedang berpijak menjalani

Page 59: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

119

kehidupannya. Tempat pijakan penyair adalah dunia, dunia merupakan

lingkungan atau lapangan kehidupan (KBBI, 2008: 369). Lingkungan kehidupan

yang digunakan oleh semua manusia dalam bekerja dan beraktivitas. Kemudian

pada bait kedua puluh sembilan, fataghayyama syamu>sun... „matahari menjadi

gelap...‟. kalimat tersebut menunjukkan gambaran suasana di suatu tempat.

Keterkaitan dengan bait sebelumnya yaitu dengan adanya tempat berpijak (dunia),

matahari adalah salah satu pelengkap dari dunia itu sendiri. Lalu berdasarkan

gambaran tersebut menunjukkan suatu suasana di malam hari, dan matahari

sendiri tidak dapat berubah menjadi gelap tapi hanya berganti waktu dengan

munculnya bulan setelah matahari tenggelam.

Bait ketiga puluh, wa yahda'u maujun... „dan ombak menjadi tenang‟.

Kalimat tersebut menunjukkan keadaan suatu tempat yaitu suasana di laut dengan

adanya ombak. Ombak memiliki kaitan erat dengan laut, karena ombak adalah

gerakan air laut yang turun naik atau bergulung-gulung (KBBI, 2008: 1019).

Gerakan ombak yang bergulung-gulung digambarkan bisa menjadi tenang.

Maksud dari kalimat tersebut yaitu setelah keadaan penyair mengalami hari yang

melelahkan karena masalah yang harus dihadapinya. Arti kata lain dari suasana

malam adalah waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit (KBBI,

2008: 897). Berdasarkan arti frasa tersebut, sudah jelas bahwa malam

menggambarkan suasana alam. Bait tersebut masih berkaitan dengan bait yang

sebelumnya pada suasana malam hari. Begitu pula kalimat “ombak menjadi

tenang” merupakan keadaan tenang tanpa gelombang (gangguan), karena malam

hari adalah waktu untuk beristirahat dan melupakan segala sesuatu yang telah

terjadi.

Page 60: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

120

Bait ketiga puluh satu, wa yuqbilu lailun yamuddu wa la>'imahu al-qati>lah

„tibalah malam dengan memperpanjang pesta yang membunuh‟ terdapat isti‘a>rah

pada la>'imahu al-qati>lah‟pesta yang membunuh‟ kalimat tersebut menunjukkan

suatu hal yang telah terjadi dan mengganggu ketenangan penyair. Pesta memiliki

arti bersuka ria (KBBI, 2008: 1050), yaitu aktivitas untuk bersenang-senang.

Kemudian makna arti membunuh adalah meghilngkan nyawa, mematikan (KBBI,

2008: 239). Bait tersebut memiliki suasana yang beerbeda antara kata “pesta” dan

“membunuh”, ketika pesta merupakan hal yang menyenangkan dan pembunuhan

adalah hal yang menyedihkan. Oleh karena itu, jika kedua kata tersebut

disandingkan, maka suasana pesta tersebut menjadi musibah yang mengancam.

Jadi, ketika suasana dan keadaan sekitarnya menjadi tenang, penyair sama sekali

tidak memiliki waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang meski itu di waktu

malam dan merasakan ketenangan. Hal tersebut disebabkan karena hal-hal buruk

selalu datang mengganggunya, sehingga dia merasa frustasi terhadap keadaannya

saat itu.

Bait ketiga puluh dua, hal ya‘u>du ila> ‘usy-syihi al-farkhu tsa>niyatan

„akankah anak burung itu kembali ke sangkarnya...‟. Kalimat tersebut terdapat

tasybi>h yaitu dengan musyabbah pada kata al-farkhu dan musyaabbah bih pada

penyair itu sendiri. Bait tersebut mengungkapkan sebuah pertanyaan terhadap

anak burung, “apakah anak burung dapat kembali ke dalam sangkarnya?”. Hal ini

menunjukkan dua kemungkinan bahwa bisa saja anak burung tersebut akan

kembali atau tidak akan kembali ke sangkarnya. Maksud dari ungkapan tersebut

adalah tentang kesadaran diri penyair untuk kembali pada jati dirinya sendiri yaitu

mau berusaha dan bekerja keras untuk kebahagiaannya di masa depan. Selain itu,

Page 61: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

121

jika penyair tidak menyadari tujuan dari keberadaannya di dunia, maka hal itu

akan menjadi suatu hal yang sia-sia. Kesadaran bagi penyair memiliki arti yang

sangat penting yaitu berfungsi mengadakan penyesuaian hidup terhadap dunia

luar (Gustav dalam Jaenudin, 2012: 71)

Berhubungan dengan bait sebelumnya, pada bait ketiga puluh tiga, am

tawalla>hu ha>dza> ad-dawa>ru al-la‘i>nu... „ataukah angin puting beliung yang

terkutuk ini akan menguasainya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)

yaitu dengan menggambarkan angin beliung telah melakukan sesuatu

“menguasai”. Angin puting beliung adalah gerakan udara (angin) yang berpusing,

angin puyuh (KBBI, 2008:69). Sedangkan kata dari terkutuk yang berasal dari

kata kutuk adalah doa atau kata-kata yang dapat menyebabkan kesusahan atau

bencana kepada seseorang (KBBI, 2008: 787). Berdasarkan dari kedua arti kata

tersebut, terdapat penjelasan bahwa angin puting beliung adalah hal yang sangat

dibenci karena dapat membahayakan manusia. Oleh sebab itu, angin tersebut

diungkapkan dengan kata terkutuk. Adapun bait tersebut masih berkaitan dengan

ungkapan sebelumnya yang menunjukkan suatu keburukan atau musibah yang

akan terjadi pada penyair. Hal tersebut dapat terjadi jika penyair tidak segera

menyadari kesalahannya dan tidak mau kembali melakukan sesuatu yang dapat

merubah dirinya menjadi seseorang yang lebih percaya diri.

Bait ketiga puluh empat, hal tadzakkara chi>na khatha> fi> al-wiha>di fata>

„apakah pemuda itu ingat ketika melangkah ke tanah lapang‟. Kalimat tersebut

menunjukkan suatu peristiwa awal mula penyair mulai melangkah menapaki

kehidupannya. Tanah lapang merupakan sebuah gambaran suatu tempat yang

sangat luas, tanah lapang adalah tanah luas yang hanya ditumbuhi rumput (KBBI,

Page 62: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

122

2008: 1434). Tanah lapang merupakan salah satu tempat yang dipakai untuk

melakukan segala bentuk aktivitas. Adapun bait tersebut menjelaskan tentang

harapan dan mimpi penyair yang pada saat itu dia melangkah (bekerja keras)

untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Hal ini sebagai pengingat bagi penyair

agar dia menyadari masa-masa ketika dia melakukan segala sesuatu.

Digunakannya frasa “tanah lapang” merupakan kesempatan besar yang dimiliki

oleh penyair untuk mendapatkan segala sesuatu yang diharapkan dan

diimpikannya.

Bait ketiga puluh lima, am ra'a> dzikraya>ta ash-shaba>... „ataukah dia

melihat kenangan kanak-kanak...‟. Kalimat tersebut menunjukkan suatu

kemungkinan yang akan dipilih oleh penyair jika dia tidak segera menyadari arti

kehidupannya. Kenangan adalah sesuatu yang membekas dalam ingatan dan

kanak-kanak adalah periode anak masa prasekolah (KBBI, 2008: 685, 629). Jika

digabungkan, kenangan masa kanak-kanak adalah kenangan saat penyair sama

sekali belum merasakan kesulitan dan hanya merasakan kebahagiaan saja.

Kemungkinan yang dapat terjadi adalah penyair hanya dapat mengingat masa-

masa yang telah lampau ketika dia mulai menjalani kehidupannya yang bahagia.

Penyair tidak menginginkan hal yang dapat membuatnya menjadi pribadi yang

lebih baik lagi dan mendapatkan kebahagiaan seperti halnya dia di masa kecil.

Maka dari itu, semua yang pernah terjadi pada dirinya di masa lalu hanya menjadi

kenangan saja tanpa ada pelajaran atau hikmah yang dapat diambilnya.

Bait ketiga puluh enam, qad athallat mura>waghatu baina achja>rin ma>dha>

as-sini>nu „sebuah tipuan tiba-tiba muncul di antara bebatuan bertahun-tahun yang

lalu‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) pada bebatuan yang

Page 63: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

123

merupakan gambaran dari sifat keras kepala penyair. Sifat keras kepala yang

membuat penyair tidak mau membangkitkan kembali kepercayaan dirinya,

sehingga tidak ada kemauan bekerja keras. Pada bait tersebut terdapat kata

“tipuan”, tipuan adalah hasil menipu, hasil menvisualisasikan suatu situasi

menurut cerita yang sedang digarap sehingga tampak kejadian yang sesungguhnya

(KBBI, 2008: 1530). Tipuan yang dimaksudkan adalah keadaan penyair dari

peristiwa yang dialaminya selama ini, karena penyair tidak dapat memahami

keadaannya. Jika penyair tidak mau berusaha dan hanya bisa pasrah, maka dia

akan selalu mendapatkan hal-hal buruk dari semua kejadian yang terjadi. Dia

tidak akan memiliki kebahagiaan yang diinginkannya selama hidup di dunia.

Selama manusia hidup di dunia sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk

memiliki pertahanan diri agar tidak terjebak dengan hal-hal yang dapat

menyengsarakan dirinya. Namun, dalam bait tersebut kejadian buruk terjadi pada

diri penyair karena memiliki sifat keras kepalanya terhadap suatu tindakan yang

diinginkannya. Hal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun karena penyair

hanya dapat berdiam diri tanpa berusaha.

Bait ketiga puluh tujuh, fanthawa> wajhu tilka al-churu>fi al-latiy tasta‘i>du

al-chani>na... „maka murunglah wajah yang penuh kehangatan itu karena rindu...‟.

kalimat tersebut menunjukkan suatu kesedihan yang dialami oleh penyair

terhadap suatu tindakannya. Kesedihan tersebut digambarkan dengan wajah yang

murung, murung merupakan tidak kelihatan gembira (KBBI, 2008: 986), sehingga

sangat berhubungan sekali dengan raut wajah. Wajah yang penuh kehangatan

merupakan wajah tanpa memiliki masalah dan selalu bahagia yang penuh dengan

senyuman. Pada bait tersebut dimaknai bahwa dulu wajah yang penuh dengan

Page 64: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

124

kehangatan dan penuh dengan kebahagiaan menjadi murung karena masalah yang

sedang dihadapinya. Penyair merasa kesulitan dengan hal buruk yang sedang

dialaminya dan murung karena sedang meratapi nasibnya. Pada saat itu penyair

merasakan suatu kerinduan yaitu rindu terhadap kenangan indah di masa lalunya

dengan semangat yang mengiringinya untuk menjalani kehidupannya. Semangat

yang terdapat dalam diri penyair memudahkannya dalam melangkah mencapai

keinginannya, berani untuk berharap dan bermimpi tanpa ada keraguan untuk

mencapainya.

Bait ketiga puluh delapan, innahu al-'a>na yasyqiy bi-chilmi ath-thufu>lah

„sekarang dia tersiksa bersama impian masa kecil‟. Kalimat tersebut menunjukkan

kesengsaraan yang dialami oleh penyair, karena dia terjebak pada kenangan masa

lalunya. Kesengsaraan yang dialami penyair dipengaruhi oleh ego, ego adalah

“bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana yang sistem kerjanya di

dunia luar untuk menilai realita...” (Jaenudin, 2012: 72). Sebaliknya jika penyair

tidak merasakan kesengsaraan, hal itu berkaitan dengan adanya superego.

Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia karena ia merupakan

filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh

dorongan ego (Jaenudin, 2012: 72). Masa-masa ketika penyair berani bermimpi

dan berharap terhadap sesuatu yang terbaik untuk kehidupannya. Harapan yang

disertai kebahagiaan akan memberikan semangat pada diri penyair untuk

mencapai keinginannya. Ketika penyair sedang berada dalam kesulitan, hal

tersebut membuatnya lemah tidak berdaya karena dia merasa tidak mampu

menghadapi segala masalah yang menimpanya. Menghadapi suatu masalah

membutuhkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri bahwa dia mampu

Page 65: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

125

menghadapinya. Jika penyair sendiri merasa tidak memiliki kekuatan tersebur

maka semua yang dia impikan hanya akan menjadi sia-sia saja tanpa ada hasil

yang nyata. Oleh karena itu, penyair terjebak pada mimpi-mimpinya yang pernah

dia ciptakan di masa lalunya, karena tidak ada satupun impian dan harapan yang

dicapainya.

Bait ketiga puluh sembilan, yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. „saat dia

membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam lumpur..‟. Kalimat tersebut

tedapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada aqda>mahu‟kedua telapak kakinya‟ yang

menunjukkan makna yang lain pada frasa tersebut. Makna lain yang terdapat pada

frasa tersebut adalah suatu harapan yang dimiliki oleh penyair. Seperti halnya

dengan benih yang di benamkan ke dalam tanah atau ditanam. Telapak kaki

digambarkan sebagai harapan dan cita-cita penyair, sedangkan lumpur adalah

gambaran dari pikiran dan hati. Pikiran sama dengan akal, akal dibagi menjadi

dua yaitu akal dharuri dan akal muktasabah. Muktasabah adalah akal yang baru

mengetahui dengan cara diusahakan, jenis dari muktasabah ada dua yaitu

muktasabah duniawi dan muktasabah ukhrawi. Pada bait ini berkaitan dengan

akal muktasabah duniawi, yaitu akal yang yang digunakan untuk menyelesaikan

masalah yang berhubungan dengan keduniawian (Jaenudin, 2012: 89). Adapun

keterangan “di dalam lumpur” bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan

terdapat makna lain yaitu di dalam hati dan pikiran penyair. Jadi, pada bait

tersebut menjelaskan tentang harapan dan impian yang ditanamkan dalam hati dan

pikirannya untuk mencapai tujuan yang diingkannya.

Pada bait keempat puluh, wa al-jada>wilu tunkiruhu... „dan anak sungai pun

mengingkarinya...‟. kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu

Page 66: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

126

menggambarkan sungai seperti manusia yang dapat mengingkari sesuatu. Sungai

adalah aliran air yang besar (biasanya buatan alam) (KBBI, 2008: 1390). Bait

tersebut masih berkaitan dengan maksud bait sebelumnya. Bait tersebut dijelaskan

bahwa setelah penyair menanamkan suatu harapan dan impian dalam hati dan

pikirannya, penyair merasa bahwa semua yang diharapkannya tidak ada yang

menjadi nyata. Diibaratkan dengan “anak sungai pun mengingkarinya”

menunjukkan bahwa semua yang diharapkan oleh penyair tidak tercapai, karena

penyair tidak mempunyai semangat berjuang untuk berusaha dengan keras

mencapai tujuan yang diinginkannya. Semua harapan tersebut menjadi sia-sia dan

tidak berguna.

Bait keempat puluh satu dan bait keempat puluh dua, lam ya‘ud ma>'uha> al-

ma>'a „airnya tidak lagi air yang dulu‟ dan wa al-usybu...ma>‘a>da ‘usyban... „dan

rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu‟. Kedua bait tersebut terdapat

isti'a>rah pada kata al-ma>'u „air‟ dan al-usybu „rumput‟ yang memiliki makna

yanng sebenarnya. Kedua kata tersebut merupakan bentuk gambaran dari waktu-

waktu yang di miliki penyair di masa lalu. Kesempatan-kesempatan yang dimiliki

penyair di masa lalunya telah terbuang dengan sia-sia tanpa ada harapan dan

impiannya yang terwujud. Oleh karena itu, semua kesempatan itu tidak akan

pernah bisa kembali lagi seperti dulu, begitu pula kebahagiaan yang dialaminya

juga telah hilang.

Bait keempat puluh tiga, fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na „lalu

bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟. Kalimat tersebut merupakan

pertanyaan yang ditujukan kepada penyair itu sendiri (bertanya pada dirinya

sendiri). Pertanyaan tersebut berkaitan dengan kondisi yang sedang dialami

Page 67: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

127

penyair, sehingga dia bertanya pada diri sendiri “apakah dia dapat kembali seperti

dulu yang bisa bermimpi dan berharap?”. Hal tersebut menunjukkan

ketidakpercayaan penyair kepada dirinya sendiri, sehingga dia mengungkapkan

pertanyaan tersebut. Namun, di dalam diri manusia terdapat jiwa yang merupakan

substansi mandiri untuk melakukan suatu aktivitas dengan menggunakan pikiran

dalam merencanakan sesuatu (Jaenudin, 2012: 96). Maka dari itu, kepercayaan

diri timbul dari jiwa yang memunculkan segala rencana untuk melakukan sesuatu

aktivitas. Kata “meneduh” yang terdapat pada kalimat tersebut adalah

kenyamanan yang dirasakan oleh penyair saat dia memiliki kepercayaan dirinya.

Oleh karena itu, penyair mampu melakukan apapun yang diingankannya dengan

semangat yang tinggi dan hati yang senang. Namun, hal itu hanya menjadi

pertanyaan semata tanpa ada realisasi dari penyair untuk merubah hidupnya.

Bait keempat puluh empat, farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu „seperti

anak burung yang terlindung di dalam sangkarnya‟. Kalimat tersebut terdapat

tasybih dhimmi> yang memusatkan musyabbah bih-nya pada farkhan‟anak

burung‟. Anak burung yang dimaksudkan adalah penyair sebagai tokoh utama

dalam bait tersebut. Sedangkan sangkar adalah bersarang (KBBI, 2008: 1263),

maka dengan arti tersebut menunjukkan tampat tinggal dari burung. Bait tersebut

masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu sebagai gambaran tempat

perlindungan dari anak burung yang menjadi tempat berteduh untuknya (sangkar).

Tempat perlindungan yang berfungsi untuk melindungi diri dari segala musibah

dan bahaya yang akan menimpanya.

Bait keempat puluh lima dan bait keempat puluh enam, yaghrisu fi>

qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i „yang membenamkan rusuknya yang kekar

Page 68: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

128

dibawah kakinya‟ dan ila> ardhihi al-mukhshibati „ke dalam tanah yang subur‟.

Kedua bait tersebut merupakan enjambemen dan memiliki keterkaitan bahwa

sama halnya pada penjelasan sebelumnya tentang harapan yang pernah

ditanamkan oleh penyair di dalam hati dan pikirannya. Jika kedua bait tersebut

digabungkan menjadi yaghrisu intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibati fi>

qadamaihi‟dia (penyair) telah membenamkan rusuknya yang kekar ke dalam

tanah yang subur di bawah kakinya‟. Rusuk adalah tulang-tulang dari tulang

belakang ke tulang dada (KBBI, 2008: 1235). Maka dengan makna rusuk tersebut

menunjukkan bahwa tulang belakang yang tidak pernah tampak dan terlihat

menggambarkan harapan dan mimpi penyair. Harapan dan mimpi tersebut sama

sekali belum terwujud karena masih di dalam benak penyair. Bait keempat puluh

empat, keempat puluh lima, dan keempat puluh enam merupakan repetisi.

Repetisi adalah salah satu usaha penyair untuk menghasilkan penggambaran,

untuk menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit (nyata), serta sesuatu

yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129). Oleh karena itu, dengan

adanya pengulangan kalimat tersebut menjadi penegasan bahwa penyair sungguh-

sungguh memiliki harapan yang tinggi dalam hidupnya. Frasa pada intima>'a adh-

dhulu>‘i‟rusuknya yang kekar‟ merupakan isti‘a>rah dan bukanlah makna yang

sebenarnya. Makna lainnya adalah jenis harapan yang besar. Ila> ar-dhihi al-

mukhshibati fi> qadamaihi‟ke dalam tanah yang subur di bawah kakinya‟

menggambarkan suatu keadaan, tanah adalah keadaan bumi di suatu tempat dan

subur adalah sesuatu yang dapat tumbuh dengan baik, hidup dengan baik

(berkembang biak, bertambah maju, besar, kuat, dan sebagainya) (KBBI, 2008:

1433 dan 1380).

Page 69: BAB III ANALISIS SEMIOTIK TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM … · fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam

129

Berdasarkan kalimat tersebut makna yang terdapat di dalamnya

menjelaskan bahwa penyair pernah memiliki harapan besar terhadap dirinya.

Penyair juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa dia mampu

mewujudkan harapan tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di

dunia. Namun, ada suatu hal yang menyebabkan harapan tersebut tidak dapat

dicapai oleh penyair karena kesalahan yang dilakukannya.

Kesimpulan dari analisis syair ketiga adalah ketakutan dan ketidak

percayaan diri penyair dalam menghadapi segala bentuk tantangan dan masalah

yang menimpa dirinya. Ketakutan tersebut menjadikannya seorang pengecut yang

tidak memiliki semangat untuk menggapai apa yang menjadi harapannya. Selain

itu, dengan sifat tersebut menunjukkan kepribadian yang tidak suka menonjolkan

diri dan berorientasi pada sasaran memperlihatkan kehebatannya pada kondisi

tertekan dan akan melepaskan hormon stres yang lebih besar ketika dihadapkan

pada berbagai tantangan yang tidak terpecahkan (Friedman dan Schustack dalam

Widyasinta, 2006: 68). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyair hanya dapat

berdiam diri meratapi nasibnya yang tidak memiliki keberanian diri dalam

melakukan sesuatu untuk kenyamanan dan kebahagiaan dirinya.

Adapun aspek romantisme dalam syair tersebut adalah ketika penyair

merasa kesepian tanpa ada seseorang yang menyemangati dirinya, sehingga dia

tidak memiliki keberanian melangkah menjalani kehidupannya. Cinta yang

dimiliki oleh penyair merupakan sesuatu yang tabu untuknya, karena penyair

merasa bahwa cinta itu hilang dan tidak lagi peduli pada dirinya. Maka hal itu

pula yang menyebabkan penyair memiliki ketakutan untuk berbuat sesuatu yaitu

takut mengalami kegagalan, seperti hubungan cinta yang pernah dialaminya.