Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
122
BAB III
DASAR PEMBENTUKAN SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DAN
PENOLAKAN MASYARAKAT ACEH TERHADAP OTONOMI KHUSUS
A. Pengulasan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18, Pasal 18 A, dan
Pasal 18 B
Apabila ditelaah dari sejarah pembentukan UUD 1945, dapat dikatakan
bahwa Moh. Yamin lah orang pertama yang membahas masalah Pemerintahan
Daerah dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Dalam sidang itu Moh.
Yamin, antara lain, mengatakan:
“Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yan dibaharui dengan
jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagi
bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian
tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintah
Urusan Dalam, Pengreh Praja”189
Pada kesempatan itu pula Mohammad Yamin melampirkan suatu
rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang memuat tentang
Pemerintah Daerah, yang berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya
istimewa”.190
Ada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah,
dikemukakan:
189 Ni’matul Huda, “Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika”, Op
Cit, Hlm 1 190 Ibid, Hlm 2
123
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat
daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali,
negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Pada pidato soepomo pada tanggal 31 mei 1945 dalam rapat baadan
penyelidik untuk persiapan Indonesia merdeka digedung Chuuoo Sang-in di
Jakarta yang dalam pidato beliau mengemukaan. Maka dalam negara indonesia
yang berdasarkan pengertian negara intergralistik itu, segala golongan rakyat,
segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat
dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari negara seluruhnya.
Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal
apakah yang akan diserahkan kepada pemerintahan daerah, baik daerah besar
maupun daerah kecil itu semua akan tergantung pada “doelmatigheid” berhubung
124
dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya. Misanya soal ini, pada masa ini
dan pada tempat ini, lebih baik diurus oleh pemerintah daerah, sedangkan soal itu
pada masa itu lebih baik diurus oleh pemerintah pusat. Dalam negara intergralistik
negara akan ingat kepada keadaannya, hukum negara akan memperhatikan
keistimewaan dari golongan yang bermacam-macam adanya ditanah air. Dengan
negara ini terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak persoalan
pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah.191
Dalam sidang kedua yaitu pada rapat besar Pada tanggal 10 agustus 1945.
Dalam pidatonya Susanto, beliau mengusulkan dua bentuk negara yaitu negara
uni Fedelan dan Republik. Perbedaan anatara uni dan federal yaitu : (1) Uni
adalah yang berhak untuk berhubungan dengan luar negeri hanya dan melalui
pemerintah pusat, (2) federasi yang bercorak bondstaat : baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Dan
pemerintahan pusat berhak mengadakan aturan langsung untuk semua penduduk.
Adapun perbedaan anatara bondsaat dan statenbond adalah demikian
dalam negara yang bersifat bondsaat baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Tetapi dalam pemerintahan
statenbond pemerintah pusat tidak berhak membuat peraturan untuk penduduk,
melainkan hanya dengan perantara pemerintah daerah. Dengan itu saya memilih
bentuk uni dalam rancangan undang-undang dasar.192
191 MR Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang 1945, Djilit Pertama,
1959. Hlm 118-119 192 Ibid,Hlm 166
125
Tentang daerah kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie oleh karena
itu dibawah pemerintah pusat, dibawah negara tidak ada negara lain lagi.tidak ada
onderstaat, akan tetapi hanya daerah-daerah. Bentukannya itu daerah dan
bagaimana bentuk pemerintah daerah, ditetapkan dalam undang-undang.
Benginilah bunyinya pasal 16 : pembagian daerah indoesia atas daerah besar dan
daerah kecil yang bentuk pemerintahannya ditetapkan oleh undang-undang dan
mempertimbangkan musyawarah dan asal usul daerah yang bersifat istimewa.193
Dalam rapat BPUPKI sebernya para founding father sudah memperiapkan
bagaimana sistem pemerintahan daerah yang sesuai dengan strutur dan kultur
bangsa indonesia yaitu dengan desentralisasi asimetris. Dimana pemerintah
daerah diberikan keenangan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan
daerahnya senidri-sendiri demi pemerataan kemakmuran serta menghormati
keistimewaan daerah yang bersifat istimewa.
Dengan keberadaan perintah kepada pembentuk Undang-undang dalam
menyusun Undang-undang tentang desentralisasi teritorial, maka harus
“memandang dan mengingat dasar musyawarah dalam sistem pemerintahan
negara”, menurut ketentuan Pasal 18 UUD 1945, bahwa dasar musyawarah juga
diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan
tidak hanya dapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pemerintaahan
pada tingkat daerah. Dengan kata lain, Pasal 18 UUD 1945 menentukan bahwa
Pemerintahan Daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan
melalui permusyawaratan atau harus mempunyai badan perwakilan. Hak
193 Ibid, Hlm 310
126
melakukan pemerintahan sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara
kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yakni hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, maka kuat alasan bahwa
pemerintah dalam susunan daerah besar dan kecil menurut Pasal 18 tidak lain dari
pemerintah yang disusun atas dasar otonomi.194
Pasal 18 UUD 1945 hanya mengenal satu satuan Pemerintahan Daerah
(Pemerintahan Daerah Otonom). Jadi secara konstitusional hanya daerah otonom
yang perlu diatur dalam undang-undang organik sebagaiman dikehendaki oleh
Pasal 18 UUD 1945. Dalam perundingan-perundingan Dokuritzu Zyunbie
Tyosakai, panitia perencanaan Undang-undang Dasar dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, pasal yang bersangkutan dibahas dalam rangka
desentralisasi dan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jadi daerah besar dan
kecil yang dimaksud adalah semata-mata daerah otonomi.195
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi negara
Indonesia dalam siding PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah
kemerdekaan Indonesia. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh
suatu badan pemerintahan yang dibentuk Jepang yaitu Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai atau Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pimpinan dan anggota badan yang diketahui oleh K.R.T Radjiman
Wedyodiningrat ini dilantik oleh Pemerintahan Jepang pada tanggal 28 Me 1945
194 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op.Cit,
Hlm 4-5 195 Ibid, Hlm 9
127
dalam rangka memenuhi janji pemerintahan Jepang untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia.
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, periode pertama yaitu
pada 29 Mei samapi 1 Juni 1945, dan masa kedua dari tanggal 10 Juli sampai 17
Juli 1945. Dalam kedua masa sidang tersebut, fokus pembicaraannya tertuju pada
upaya mempersiapkan pembntukan sebuah negara merdeka. Hal ibi terlihat
selama masa persidangan pertama, yang membicarakan mengenai philosofische
grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka Indonesia
merdeka.196 Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan
pemerintahan bau dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Agutus.197
Walaupun UUD 1945 telah resmi disahkan, namun UUD 1945 ini tidak
langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan
pemerintahan.198 UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk
segera mungkin membentuk negara merdeka yaitu Republik Indonesia UUD 1945
memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang memang harus diganti
dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keaadaan sudah
memungkinkan.
Pemerintahan menetapkan kebijakan untuk membentuk cabinet
parlementer pertama di bawah Perdana Menteri Syahrir. Padahal, seperti yang kita
196 Jimly Asshidiqie, “Kontitusi dan Konstitualisme Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 33 197 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”,(
Jakarta: Pusat Studi HTN UI), 1983, hlm. 88. 198 Jimly Asshidiqie,Op.Cit, Hlm 35
128
ketahu dalam UUD 1945 tersebut menganut sistem pemerintahan Presidensiil,
tidak menganut pemerintahan dengan kabinet Parlementer sama sekali. Dengan
kata lain, periode 18 agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, meskipun
secara formal UUD 1945 berlaku sebagai konstitusi resmi tetapi nilainya hanya
bersifat nominal, yaitu hanya sebatas diatas kertas saja. Keadaan demikian terus
berlangsung sampai tahun 1949 ketika dibentuk Republik Indonesia Serikat.
Dalam keadaan terdesak, atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakannya Konferensi Meja Bundar
(Round Table Conference) di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil
dari Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil
Nederland dan Komisi PBB untuk Indonesia. Konferensi ini berhasil menyepakati
tiga hal, yaitu:199
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisikan tiga hal, yaitu: (a)
piaagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada
Pemerintahan RIS; (b) status uni; (c) persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan
Belanda.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di
Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD
yang bersifat sementara. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah
awal ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya
masa berlakunya Konstitusi RIS yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS
1950 resmi diberlakukan.
199 Ibid, Hlm 37
129
Bentuk negara federal mengandung banyak sekali nuansa politis,
berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Oleh karenanya, penggagasan
bentuk negara federal dianggap memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat
untuk diterapkan di Indonesia, tetapi terkait dengan kepentingan penjajahan
Belanda maka ide feodalisme menjadi tidak popular. Apalagi, sebagai negara
yang baru terbentuk, Indonesia memangmembutuhkan tahap-tahap konsolidasi
kekuasaan yang efektif sedemikian rupa, sehingga bentuk negara federasi RIS
tidak berlangsung lama dan bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok
untuk diterapkan.200
Perlahan wibawa pemerintah RIS berkurang, dan akhirnya dicapaikan
kesepakatan antara pemerintah RI dan RIS untuk kembali bersatu dan mendirikan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan itu ditungakan dalam
satu naskah persetujuan bersama pada tangal 19 mei 1950, yang pada intinya
disepakati dibentuk kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.201
Untuk menuju langkah mempersiapkan kembali naskah UUD, maka
dibentuklah panitia untuk menyusun kerangkanya. Setelah racangan selesai,
kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12
Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia
Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini
diberlakukan secara resmi pada tanggal 17 Agustus 1950 yaitu dengan
200 Ibid, Hlm 38 201 Ibid, Hlm 39
130
ditetapkannnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1950.202 Undang-Undang Dasar ini
bersifat mengganti, sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan dari
bentuk Konstitusi RIS melainkan juga menerangkan mengenai penggantian
naskah Konstitusi RIS dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
UUDS 1950 ini bersifat sementara juga, seperti halnya yang tercantum
dalam Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante harus bersama-sama dengan
Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang
akan menggantikan UUDS 1950. Berbeda dengan Konstitusi RIS yang tidak
sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamantkan di dalamnya, amanat
UUDS 1950 telah dilaksankan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum untuk
pertama kalinya berhasil diselenggarakan di Indonesia pada bulan Desember
1955.Pemilihan umum ini diadakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 7
Tahun 1953.Undang-undang ini berisi dua pasal yaitu: (a) ketentuan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; (b) ketentuan mulai tanggal mulai
berlakunya UUDS 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu pada tanggal 17
Agustus 1945. Atas dasar inilah diadakan pemilu pada tahun 1955, yang pada
akhirnya terbentuk Konstituante.203
Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankkannya
dalam negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, maka tidak dapat
dikatakan gagal sehingga hanya dijadikan alasan oleh Soekarno untuk
202 Lembaran Negara RIS Tahun 1950 No: 56. 203 Ibid
131
mengeluarkann dekrit.204 Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan
Indonesiatelah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden 5 juli 1959
telah menjadi tonggak sejarah diberlakukannya kembali UUD 1945 sebagai UUD
negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Setelah Pemerintahan Orde Baru mengakhiri masa pemerintahannya pada
20 Mei 1998 karena disapu gerakan reformasi. Kemudian disusul dengan
percepatan pemilu di tahun 1999, UUD 1945 yang selama pemerintahan Orde
Baru disakralkan dan tidak dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada 19 Oktober
1999 untuk pertama kalinya UUD 1945 di amandemen. Melalui Sidang umum
MPR tahun 1999.205
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI
yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampa dengan tanggal 19 Oktober 1999.
Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19
Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil
mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan
masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan
sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh ole hide perubahan sama sekali.
Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 Pasal UUD 1945, yaitu atas
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 (ayat 1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat
204 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., Hlm. 96-97 205 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op.Cit,
Hlm 17
132
(3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.206
Setelah tembok romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan,
gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam
Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan
Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada
perubahan ini memual lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 Pasal yang tersebar
dalam 7 bab, yaitu dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang
dewan Perwakilan Rakyt, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang
Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Asasi Manusia, Bab XII tentag
Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 Pasal tersebut dirinci jumlah
ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir
ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan
baru sama sekali.207
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan
MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD
1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab di dalam UUD 1945 yang
mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang
bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementrian Negara,
Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan
206 Naskah UUD RI 1945 amandemen pertama 207 Naskah UUD RI 1945 amandemen kedua
133
Umum, Bab VIIIA tentang badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7
bab, 23 Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat
dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya.
Di samping itu, substansi yang diatur sebagian besar sangat mendasar. Materi
yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya
dalam sidang-sidang terdahulu. Oleh karena itu, selain secara kuantitaf materi
Perubahan ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara
kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar pula.208
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional
sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam
Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat
ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah perubahan keempat ini,
ditetapkan bahwa:209
1. Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan
perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 da
diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta dikukuhkan
secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR.
2. Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan
tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
208 Naskah UUD RI 1945 Amandemen Ketiga 209 Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm 47-51
134
rakyat Republik Indonesia ke-9 pada tanggal 18 Agustus 2000 Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
3. Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) perubahan ketiga
UUD NRI 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3), pasal 25E Perubahan
Kedua UUD NRI 1945 menjadi Pasal 25A.
4. Penghapusan judul Bab IV DPR dan pengubaham substansi Pasal 16 serta
penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan
Negara. Pengubahan dan/atau penabahan Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat
(4), pasal 8 ayat 3, pasal 11 ayat 1, pasal 16, pasal 23B, pasal 23D, pasal
24 ayat (3), bab XIII, pasal 31 ayat1-5, pasal 32 ayat 1-2 : Bab XIV, pasal
33 ayat 4-5, pasal 34 ayat1-4, pasal 37 ayat 1-5, aturan Peralihan Pasal I,II
dan III aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Dengan demikian
secara keseluruhan naskah Perubahan keempat UUD 1945 mencakup 19
pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal
tersebut terdiri atas 31 bu tir ketentuan yang mengalami perubahan
ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD.
Salah satu hasil dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) yang paling mendasar adalah masalah hubungan antara pusat
dan daerah. Mengenai hal ini telah ditetapkan bahwa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, hubungan pusat dan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
135
otonomi. Dalam artian bahwa daerah diberikan hak dan wewenang utuk mengatur
urusan-urusan yang sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.210
Ketentuan di dalam BAB VI Pemerintahan Daerah pasal 18 diubah dan
ditambah menjadi berbunyi sebagai berikut:211
Pasal 18
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
210 Lubis, M. Solly,” Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan mengenai
Pemerintah Daerah”, (Bandung: Alumni,1983), Hlm 8 211 BAB VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945.
136
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18A
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten,dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang.
Pasal 18B
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
137
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Bagir Manan berpendapat ada berbagai paradigma baru yang ditegaskan
dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan 18 B UUD 1945 untuk menghindari
penyimpangan-penyimpangan di masa lalu. Paradigma-paradigma baru yang
dimaksud meliputi :212
1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan
tugas pembantuan (belaka). Di masa depan, tidak ada lagi pemerintahan
dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah.
2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas-
luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara
(administratief regelen en bestuur) dijalankan pemerintah daerah, kecuali
yang ditentukan sebagai urusan pusat.
3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah
Urusan rumah tangga daerah tidak perlu seragam. Perbedaan harus
dimungkinkan baik atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain
sebagainya.
4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemenschap)
dan berbagai hak tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak
212 Bagir Manan,“Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, (Yogyakarta: ”, Penerbit Pusat Studi
Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001), hlm 229-230
138
masyarakat asli atas bumi, air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.
5. Pemerintah daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau
keadaan khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu
baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara), kesejahteraan
(seperti D.I. Yogyakarta), atau karena keadaan sosio kultural (seperti D.I.
Aceh).
6. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih langsung dalam suatu
pemilihan umum. Di masa depan tidak ada lagi anggota DPRD (begitu
juga anggota DPR) yang diangkat.
7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan secara selaras dan adil.
Perubahan Pasal 18 (baru) ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas
pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi
daerah provinsi terhadap daerah kabupaten dan kota.ketentuan Pasal 18 ayat (1)
mempunyai keterkaitan erat dengan ketentuan Pasal 25A mengenai wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah “dibagi atas” (bukan terdiri atas
dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) bukan istilah yang digunakan secara kebetulan.
Istilah itu langsung menjelaskan bahwa negara kita adalah negara kesatuan di
mana kedaulatan berada ditangan pusat. hal ini konsisten dengan kesepakatan
untuk tetap mempertahankan negara kesatuan. Berbeda dengan istilah “terdiri
139
atas” yang lebih menunjuk substansi federalisme karena istilah itu menunjukan
letak kedaulatan berada ditangan negara-negara bagian.213
Baik secara konseptual maupun hukum pasal-pasal baru Pemerintah
Daerah dalam UUD memuat berbagai paradigma baru dan arah politik
Pemerintahan Daerah yang baru pula. Hal-hal tersebut tampak dari prinsip-prinsip
dan ketentuan-ketentuan berikut:
1. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan (Pasal 8 ayat 2). Ketentuan ini menegaskan bahwa
pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pemerintahan Daerah hanya ada
pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantu), prinsip baru dalam
Pasal 18 (baru) lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk
Pemerintahan Daerahsebagai suatu pemerintah mandiri di daerah yang
demokratis. Tidak ada lagi unsur pemerintahan yang sentralisasi dalam
Pemerintahan Daerah Gubernur, bupati, walikota semata-mata sebagai
penyelenggaraan otonomi di Daerah.
2. Prinsip otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5). Meskipun secara historis
UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena tidak
dicantumkan, maka yang terjadi adalah penyempitan pemerintahan daerah
menuju sentralisasi. Untuk menegaskan kesepakatan yang ada pada saat
213 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op Cit,
Hlm 20-23
140
penyusunan UUD 1945 dan menghindari pengebiran otonomi menuju
sentralisasi, maka sangat tepat, Pasal 18 (baru) menegaskan pelaksanaan
otonomi seluas-luasnya. Daerah berhak mengatur dan mengurus segala
urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh undang-undang tidak
ditentukan sebagai yang diselenggarkan pusat.
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1). Perinsip
ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus
seragam(uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh
berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap daerah.
4. Prinsip mengakui daan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2). Yang dimaksud dengan
masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum(rechtgemeenschap)
yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa, marga,
nagari, kampong, meunasah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat
hukum adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau genealogis yang
memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan
warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau keluar
sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan
memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini
tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang
sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintah lain, seperti
kabupaten dan kota.
141
5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat 1). Ketentuan ini mendukung
keberadaan berbagai satuan pemerintah bersifat khusus atau istimewa(baik
ditingkat provinsi, kabupaten, dan kota atau desa).
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatau pemilihan umum
( Pasal 18 ayat 3) hal ini telah terealisasi dalam pemilihan umum anggota
DPRD tahun 2004. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis.
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras
dan adil (Pasal 18A ayat 2). Prinsip ini diterjemahkan dalam UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan menyertakan bahwa
hubungan itu meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, dan sumberdaya lainnya, yang dilakukan
secara adil dan selaras (Pasal 2 ayat 5 dan 6)
Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa ketentuan baru Pasal 18, Pasal 18A
dan Pasal 18B telah mengubah format bentuk negara kita dari bentuk Negara
Kesatuan yang kaku kepada bentuk Negara Kesatuan yang dinamis. Dalam
dinamisme bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan ketentuan
Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 itu, pertama dimungkinkan
dilakukan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis dalam
hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kedua dalam
dinamika hubungan pusat antara daerah itu, dimungkinkan pula dikembangkannya
142
kebijakan otonomi yang bersifat pluralis, dalam arti bahwa untuk setiap daerah
dapat ditetapkan pola otonomi yang berbeda-beda. Keragaman pola hubungan itu
telah dibuktikan dengan diterimanya prinsip otonomi khusus Provinsi Nangroe
Aceh Darusalam dan Provinsi Papua yang keduanya memiliki format kelebagaan
pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain pada umumnya.214
B. Desentralisasi Asimetris Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dari segi geografis, negeri kita ini memiliki wilayah laut terluas (5,8 juta
km) dan jumlah pulau terbanyak (17.504 pulau).Negara indonesia memiliki dari
17.054 gugusan pulau baik yang merupakan pulau-pulau utama sampai dengan
pulau-pulau kecil yang tersebar merata disegala penjuru tanah air.215 Indonesia
adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 13.487 pulau besar dan
kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar
khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada
koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT serta terletak di antara
dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania.Wilayah Indonesia
terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km².
Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi
Indonesia bermukim. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas
132.107 km², Sumatera dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan luas
539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981
214 Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa,
Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Op.Cit, Hlm 2 215 Rudi Iskandar, Kontribusi Geografi Indonesia Dalam Pendidikan Bangsa, Makalah, Hlm 2
143
km². Batas wilayah Indonesia diukur dari kepulauan dengan menggunakan
territorial laut: 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif: 200 mil laut. Indonesia
saat ini secara de facto terdiri dari 34 provinsi, lima di antaranya memiliki status
yang berbeda (Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Papua, dan DKI
Jakarta). Provinsi dibagi menjadi 416 kabupaten dan 98 kota atau 7024 daerah
setingkat kecamatan atau 81626 daerah setingkat desa. Terdapat berbagai istilah
lokal untuk suatu daerah di indonesia misal: kelurahan, desa, gampong, kampung,
nagari, pekon.216
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya
terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok dengan ciri khas
kesukuan yang memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa yang
berbeda. Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1.128 suku bangsa
bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai
Merauke.Adanya berbagai kelompok masyarakat yang beragam, sesungguhnya
merupakan masyarakat yang mempunyai potensi konflik. Perbedaan yang terdapat
dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatar belakangi sosio kultural,
akan menjadi pendorong munculnya perasaan kesukuan yang berlebihan dapat
memicu nilai negatif berupa etnocentrisme yang menganggap remeh suku dan
kebudayaan lain. Hal ini akan berakibat timbul perilaku ekslusif berupa
kecenderungan memisahkan diri dari masyarakat bahkan mendominasi
masyarakat lainnya. Nilai negatif lain yang harus dihindari adalah pandangan
diskriminatif berupa sikap membeda-bedakan perlakuan sesama anggota
216https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia Hari Jum’at, Tanggal 22 Januari 2016, Pukul 11:22
WIB
144
masyarakat yang dapat menimbulkan prasangka yang bersifat subyektif serta
muncul konsep sifat/watak dari suatu golongan (stereotip). Keanekaragaman yang
khas dari satu suku dengan suku lainnya berdampak pada kesalahpahaman dan
berujung pada konflik. Terkadang konflik sering didominasi oleh isu-isu yang
lebih bersifat politik dan ekonomi, namun penolakan terhadap keragaman budaya
tetap menjadi alasan yang utama.217
Kemudian dari segi sumberdaya alam, Indonesia juga merupakan salah
satu negara terkaya di dunia. Potensi kekayaan alam berupa kekayaan hutan,
lautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya berlimpah ruah. Kawasan
hutannya termasuk yang paling luas di dunia sehingga dalam tahun 1993 saja,
rata-rata setiap tahun hasil hutannya mencapai 2,5 miliar dollar AS. Untuk tahun-
tahun terakhir ini, hutan Indonesia memberikan hasil sekitar 7 – 8 miliar dollar
AS. Kekayaan minyak Indonesia sangat banyak, ladang minyaknya mencapai 60
ladang minyak (basin), 38 di antaranya telah dieksplorasi dengan cadangan sekitar
77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik gas.bahwa salah satu potensi
yang dimiliki bangsa Indonesia yang sangat besar nilainya dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lain di dunia adalah sumberdaya alam (renewable dan
nonrenewable). Dengan demikian, bangsa kita perlu berbangga sekaligus
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia-Nya itu sehingga
217 Widiastuti, Analisis SWOT Keragaman Budaya Indonesia, Jurnal Ilmiah WIDYA Volume
1 Nomor 1 Mei-Juni 2013, Hlm 10 1. Lebih dari 1.128 suku bangsa bermukim di wilayah yang
tersebar di ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan ragam bahasa,
kesenian, adat istiadat, pengetahuan, sistem religi, kemasyarakatan dan unsur-unsur kedaerahan
lainnya membuat masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan lokal yang beraneka ragam. 2.
Keanekaragaman budaya Indonesia berpotensi kekuatan yang ditandai dengan keunikan dan
kekhasan dari budaya lokal itu sendiri. 3. Kelemahan keanekaragaman Indonesia: (a) perbedaan
budaya; Kekurang pahaman dan komunikasi antar budaya yang terbatas menjadi pemicu konflik
dengan latar belakang keragaman etnis, agama maupun ras.
145
kehidupan bangsa Indonesia dapat berlangsung hingga saat ini. Oleh karena itu,
hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya ini akan berdampak besar
bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia pada khususnya dan umat manusia di
muka bumi pada umumnya3. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia ini pula yang
menyebabkan negara kita dijajah berabad-abad lamanya oleh Belanda dan tiga
setengah tahun lamanya oleh Jepang.218
Pelaksanaan pemeritahan di daerah sebelum kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentunya tidak terlepas dari politik
pendudukan (penjajah) dari negara penjajah.219 Sejak kekuasaan Belanda tertuang
di Indonesia, baik pada waktu VOC dari tahun 1602 sampai tahun 1799, mampu
setelah kekuasaan atas “Hindia-Belanda” diambil alih oleh Pemerinah Negeri
Belanda (dari tahun 1800 sampai tahun 1854), maka pemerintahan jajahan di
indonesia ini dilakukan secara otokrasi, birokratis dan sentralitis dengan kurang
mengindahkan struktur pemerinahan asli yang ada.220Peraturan dasar
ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah
Reglement op het Beleid der Regering Van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2), tidak
mengenai desentralisasi tetapi mengenai sentralisasi.221
218 Marilang, Pengelolaan Sumberdaya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah | Volume 11 Nomor
1 Mei 2011, Hlm 2-3 219 Agussalaim Andi Gadjong, Op Cit, Hlm 114 220 RHD. Koesomahatmadja,” Pengantar Ke Arah Sistem Pemerinthan Daerah Di Indonesia”,
(Bandung: Binacipta, 1979). Hlm 23 221 Josef Riwu Kaho, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Cetakan
Kedua”, (Jakarta : Rajawali pers, 1991). Hlm 21 Namun demikian disamping sentralisasi,
dijalankan pula dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu itu telah dikenal dengan wilayah-
wilayah administrasi, misalnya di Jawa secara hirarkris adalah Gewest (yang kemudian disebut
Residentie), Afdeeling, District, dan Onderdistrict. Dimana sistem sentralisasi itu semua
kewenangannya di atur oleh pusat namun dijalankan pula dengan sistem dekonstrasi dimana ada
sebagaian kewenangan yang berasal dari pusat bisa dijalankan oleh daerah namun sifatnya hanya
146
Politik pemerintah penjajah Belanda menerepkan sistem sentralisasi yang
menekankan kemudahan kontrol atas daerah jajahan. Sistem sentralisasi
diwujudkan dalam ketentuan Reglementhet Beleid der Regering Van
Nederlandsch Indie yang sering disingkat “RR”. Aturan ini mematikan peran
pemerintahan daerah jajahan dalam melakukan improvisasi pelaksanaan
pemerintahan karena semua kebijakan harus sepengetahuan (melakukan
pengesahan) dari pemerintah pusat yang berada di Nederland (Pusat pemerintahan
negara Belanda). Sampai permulaan abad XX, sendi pemerintahan di Hindia
Belanda (daerah jajahan) didasarkan asas sentralisasi, yang penerapannya
diwujudkan dalam “gecentraliseerd geregeerd land”. Pelaksanaan pemerintahan
sentralisasi mengacu pada penerapan asas dekonsentrasi, dengan cara pelimpahan
wewenang dari aparatur pemerintahan pusat kepada pejabat yang lebih rendah
secara hirarkis.222
Dinamika perjalanan pemerintahan penjajahan di Hindia Belanda
mengalami perubahan pada permulaan abad XX.223 Timbulnya perkembangan-
perkembangan baru yang mempengaruhi susunan selanjudnya, dari kalangan-
kalangan penduduk Eropa, Timur Asing dan elit Indonesia baru timbul suara-
suara agar pemerintahan disusun secara lebih modern dan demokratis. Dikalangan
bagsa Belanda sendiri timbul gerakan Ethische Politik yang menghendaki agar
administratif saja. Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat
dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan. 222 Agussalaim Andi Gadjong, Op Cit, Hlm 114 pejabat yang dilimpahkan wewenang yang
tersebar diseluruh wilayah negara (daerah) jajahan ditentukan wilayah jabatannya (yurisdiksinya),
yang disebut daerah administrasi. Artinya, wilayah Indonesia (sebagai daerah jajahan) dibagi atas
wilayah-wilayah administrasi yang hierarkis dari atas ke bawah, mualai dari gewest (karesidenan)
yang terbagi atas afdeling-afdeling, yang kemudian lagi dibagi atas district-district , yang
selanjutnya dibagi lagi atas onderdistrict- onderdistrict. 223 Ibid, Hlm 115
147
politik kolonial tidak semata-mata bertujuan mengeduk kekayaan bumi Indonesia
, melainkan juga hendaknyaa meningkatkan taraf kesejahteraan dan kehidupan
rakyat Indonesia.224 Namun dalam rangka mewujudkan kepentingan pemerintah
kolonial maka pemerintahan Daerah dibentuk, bukan semata-mata untuk
meningkatkan kapasitas politik masyarakat setempat, apalagi untuk kepentungan
perkembangan demokrasi sebagaimana yang menjadi dasar argument
kontemporer bagi perlunya penyelenggara pemerintahan daerah. Karena
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang di inginkan oleh pihak kolonial bukan
memajukan masyarakat setempat tetapi guna mengeksploitasi wilayah jajahan.225
Pada tahun 1903 pemerintahan Kerajaan Belanda menetapkan suatu
Wethoudende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsch. Indie atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903. Undang-undang
Desentralisasi 1903 yang tersebut di atas memiliki makna bahwa daerah bisa
membentuk daerah otonom dan lembaga perwakilan seperti DPRD di luar
lembaga otonom yang ada sebelumnya yaitu Swapraja dan desa yang berdasarkan
hukum adat. Bersamaan dengan berkembangnya desentralisasi itu pemerintahan
Hindia Belanda mengembangkan Politik Etis dalam mengembangkan daerah
otonom.226 Pelaksanaaan lebih lanjut Undang-undang Desentralisasi 1903 ini
dilakukan dengan Decentralisatie Besluit (1905/137) dan Locale
Radenordonnantie (Stb 1905/181). Pelaksanaan desentralisasi seperti itu kurang
de Bestuurshervorming (Stb 1922/216). Pelaksanaan lebih lanjut Undang-undang
224 The Liang Gie, Djilid I, Op Cit, Hlm 21 225 Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Cetakan ke Lima,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), Hlm 49-50 226 Kustiawan ,Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Jurnal, Hlm 315
148
tersebut di atur dengan Provincie-ordonnantie (Stb 1924/78), Regentschap-or-
donnantie (Stb 1924/79) dan Stadsgemeente-ordonnantie (Stb 1926/365).
Berdasarkan peraturan tersebut di atas, dibetuklah berbagai provinsi, regentschap
dan standsgemeente yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri di Jawa dan Madura. Dengan demikian maka berbagai Locaal ressort
yang telah dibentuk sebelumnya, dihapus/ditiadakan.227
Di luar pulau Jawa dan Madura, keadaannya berbeda. Berdasarkan
Groepsgemeenschap-ordonnantie (Stb 1937/464) dan Stadsgemeente-ordonnantie
Buitengewesten, dibentuklah beberapa groepsgemeenschap dan Stadsgemeente,
sedangkan locaal ressort yang dibentuk berdasarkan Undang-undang
Desentralisasi 1903 masih tetap dipertahankan. Pertumbuhan Daerah otonomi
sejak 1903 di atas terjadi di wilayah yang langsung dikuasai oleh pemerintah
Hindia Belanda. Di Wilayah yang langsung dikuasainya ini, terdapat juga apa
yang disebut Inlandsche Gemeente seperti Desa, Huta, Kurnia, Marga dan
sebagainya.228 Pendelum otonomi daerah pada masa penjajahan Belanda pun
bergerak kembali, seiring dengan perkembangan administrasi Pemerintah Daerah.
Hal ini terjadi ketika dikeluarkan Wet yang dinilai sesuai dengan perkembangan
keadaan, yaitu Wetet op de Bestuurhevormin (Staatsblaad Tahun 1922 No. 216).
227Josef Riwu Kaho, Op Cit, Hlm 22-23 228 Ibid, Hlm 25 Untuk Jawa dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche
Gemeente Ordonnantie (IGO) (Stb 1906/83), sedangkan untuk Daerah di luar pulau Jaa dan
Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) (Stb 1939/4900,
Byblad 9308, Stb 1931/507, dan Desa-ordonnantie (Stb 1941/356). Karena peang Dunia ke II
maka Desa-ordonnantie tidak/belum sempat dilaksanakan. Di daerah yang tidak langsung dikuasai
oleh Pemerintah Hindi Belanda terdaoat Daerah otonomi yang disebut Zelfbesturende
Landschappen. Zelfbesturende Landschappen ini terdiri atas kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang
mempunyai ikatan dengan Pemerintah Hindia Belanda ,elalui kontrak-kontrak politik, baik kontrak
politik yang panjang (lange contracten) seperti Kasunanan sala/Surakarta, Kasultanan Yogyakarta,,
Deli, dan sebgainya, maupun kontrak politik pendek (korte varklaring) seperti Pakualaman,
Mangkunegaran, Ksesultanan Goa, Bone dan sebagainya.
149
Aturan ini sifatnya lebih konkret. Dinyatakan demikian karena didalamnya
mengatur tentang pembentukan satuan kewilayahan yaitu Provincie, regentschap,
stadsgemeente, dan groepmeneenschap. Dengan demikian, sistem yang lama,
berbasis locale resor digantikan oleh pembagian wilayah administrasi tersebut.229
Kendatipun secara administratif pelaksanaan Pemeritahan Daerah bersifat
Struktural, namun di daerah daerah tersebut diakomodasikan sistem Pemerintahan
lokal. Selain pembentukan pemerintahan dengan mekanisme pemerintahan
formal, diakmodasikan pemerintahan yang merupakan persekutuan asli
masyarakat daerah setempat yang diligitimasi dengan dasar hukum berupa
Zelfbestuurende Lanschappen, atau persekutuan masyarakat adat. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pengelolaan pemerintah lokal diwilayah Jawa memang lebih
luas dibandinkan dengan wilayah yang berada diluar Jawa. 230 Namun
pemerintahan Hindia Belanda telah menerapkan asimetrisme dalam di Indonesia,
maupun di daerah Jawa maupun luar Jawa. Walaupun lebih didasarkan atas
pertimbangan ekonomi, telah terjadi perbedaan asimtris dalam perlakukan daerah-
daerah di Indonesia. Beberapa bukti bahwa pengelolaan hubungan pemerintah
kolonial-daerah jajahan sudah menggunakan prinsip asimetrisme adalah sebagai
berikut: pertama, hanya daerah di Jawa yang dikelola dengan serius.Kedua, baik
229 Samsul Wahidin, Op Cit, Hlm 10-11 sebagai tindak lanjut, pembentukan sejumlah daerah
baru pun dilakukan dengan produk hukum yang ebih rendah yaitu Ordonantie. Misalnya Ordonantie Provincie Jawa-Madura, (provinsi Jawa dan Madura) Provincie West Java (Provinsi Jawa Barat yang lebih berorientasi pada kultur Sunda), Regentschap Batavia (Daerah Khusus Batavia, sebagai refleksi Ibukota Negara), ketiganya untuk Pulau Jawa. Untuk di luar Jawa dibentuk wilayah berdasarkan Groepmeneenschaap Ordonantie. Misalnya Groepmeneenschaap Van Borneo untuk kalimanan, Groepmeneenschaap Van Celebes untuk pulau Sumatera. Pada dimensi internal, Pemerintahan Daerh dipimpin dan dijalankan oleh seorang Gubernur (gouveneur) untuk provincie (provinsi), dn regent di regenschap (karesidenan), dan Burgermeenster di gemeente atau kawedanan. 230 Ibid, Hlm 12
150
di Jawa maupun di luar Jawa, pemerintah kolonial telah menerapkan asimetrisme
dengan memberikan perlakuan khusus untuk wilayah-wilayah kerajaan. VOC
mengadakan perjanjian khusus dengan Mataram sebelum dibagi menjadi dua
dalam perjanjian Giyanti 1755. Tercatat telah ada 111 kontrak khusus antara VOC
dan Sunan. Hal ini terus belangsung hingga penjajahan Jepang.231
Perkembangan dunia internasional, yang pada kalimat sederhananya
mengalahkan belanda, berimbas pada pemerintahan di Indonesia. indonesia
beralih dari pemerintahan Belanda kepada pemerintahan Jepang. Sebagai
konsekuensinya pun terjadi perubahan mekanisme pemerintah, termasuk
Peerintah Daerah yang kemudian dikelola berdasarkan mekanisme pemerintahan
Jepang.232
Pada permulaan Pemerintahan Pendudukan Jepang melanjutkan sebagian
besar struktur pemerintahan daerah seperti zaman Belanda di dalam bidang
desentralisasi dan dekonsentrasi, hanya diganti nama-namanya menjadi dalam
bahasa Jepang.233 Perubahan tersebut secara mendasar terjadi pada struktur
pemerintahan. Jika pemerintahan sebelumnya tediri atas Gubernur Jendral,
Gubernur, Residen, dan Controleur, Kasunan, Bupati, Wedana, dan Asisten
Wedana, diadakan perubahan. Pasti, struktur demikian mengacu pada struktur
pemerintahan Jepang dan style pemerintah militer yang represif dan sepenuhnya
berdasarkan komando. Pada struktur pemerintahan mulai dari Pusat dan
dijiabarkan secara struktural sampai kepada mekanisme Pemerintahan Daerah
231 Bayu Dardias Kurniadi,Desentralisasi Asimetris Di Indonesia, Makalah Jurusan Politik dan
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Hlm 5 232 Samsul Wahidin, Op Cit, Hlm 12 233Josef Riwu Kaho, Op Cit, Hlm 29
151
adalah di bawah komando militer sepenuhnya.234 Tapi pembentukan daerah
dihubungkan dengan siasat militer untuk menghadapi berbagai kemungkinan
dalam masa perang itu. Pemerintah daerah syuu dipegang oleh seorang pejabat
tunggal supaya dapat bertindak tepat. Usaha syuutyookan terutama ditunjukan
untuk memperkuat keadaan perekonomian daerahnya. Pendeknya semua
peraturan dan tindakan Pemerintah Balatentara ditujukan kepada kepentingan dan
usaha perang (war-offort).235 . Oleh karena masa pemerintahan penjajahan Jepang
hanya singkat (lebih kurang 3,5 tahun) maka belum sepenuhnya struktur yang
dibangun itu mapan dalam pelakanaannya. Struktur pemerinahan belum
tersosialisasi dan menemukan bentuknya sesuai dengan keinginan Pemerintah
Jepang, sampai kemudian sejarah mencatat Jepang menyerah kepada sekutu.236
Kemeredekaan yang ditandai dengan proklamasi kemeredekaan adalah
titik balik sejarah Indonesia. Oleh karena itu para penulis sejarah senantiasa
memberikan kualifikasi dengan kata revolusi. Tepatnya revolusi kemerdekaan.237
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 awal dari lahirlah
tata Hukum Indonesia, ini tidaklah berarti bahwa peraturan perundangan yang ada
dan masih berlaku pada saat itu lalu menjadi tidak berlaku, peraturan perundangan
itu masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Masih berlakunya peraturan perudang-
234 Samsul Wahidin, Op Cit, Hlm 13 235 The Liang Gie, “Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia Suatu
Anaisis Tentang Masalah-masalah Desentralisasi dan Cara-cara Penjelasannya”,Cetakan
Pertama, (Jakarta : PT Gunung Agung, 1967). Hlm 30 236 Samsul Wahidin, Op Cit, Hlm 13 237 Samsul Wahid, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Hlm 224
152
undangan sebelum negara Indonesia merdeka nanti akan dipertegas setelah
Negara Indonesia mempunyai Undang-undang Dasar sendiri.238
Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi Kemerdekaan, maka pada tanggal
18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-
undang Dasar Negara Indonesia merdeka, yang di kemudian hari mendapatkan
sebutan Undang-undang Dasar 1945.239 Dalam sejarahnya, Undang-undang Dasar
1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan
21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta sebagai wakil ketua dengan
19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra
dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda Kecil. Badan
tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan Maklumat Gunseikan Nomor 23 pada
29 April 1945.240
Setelah PPKI menetapkan UUD 1945, maka dibentuklah panitia kecil
yang ditugaskan untuk mengurus hal-hal yang perlu segera diselesaikan secara
segera, mencakup empat masalah penting, yaitu:
a. Urusan rakyat;
b. Hal pemerintahan daerah;
c. Pimpinan kepolisian; dan
238 Soehino, ”Perkembangan Pemerintahan di Daerah”, Cetakan Kedua, ( Yogyakarta :
Liberty, 1983) Hlm 19 239 Ibid, Hlm 20 240 Rowland B. F. Pasaribu, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal, Hlm 283
153
d. Tentara kebangsaan.241.
Sejak mula dibuatnya konstitusi pertama, UUD 1945, telah diadopted
model negara kesatuan (‘eenheidsstaat’) yang disusun berdasarkan desentralisasi.
UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di
kala tanggal 18 Agustus 1945, memuat dalam Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama),
di bawah Bab VI, bertajuk Pemerintahan Daerah, bahwasanya “Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam
daerahdaerah yang sifatnya istimewa”.242
Ketua Ir. Soekarno dalam pengantarnya berkenaan dengan pasal
pemerintahan daerah itu, berkata:
‘Tentang Pemerintah Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi:
“Pemerintah Daerah disusun dalam Undang-Undang “. Hanya saja, dasar-dasar
yang telah dipakai untuk negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintah Daerah,
artinya Pemerintah Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain
perkataan harus ada Dewan Perwakilan Daerah. Dan adanya daerah-daerah
istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-Kooti, Sultanat-Sultanat tetap ada dan
dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan
negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah
“Zelfbesturende landschappen”, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa
yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu
bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai
susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige Gemeenschappen” seperti desa, di
Sumatera negeri (diMinangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa
Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli itu
dihormati”.243
241 Josef Riwu Kaho, Op cit. Hlm 27 242 H.M. Laica Marzuki,Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jurnal
Konstitusi, VOLUME 4, NOMOR 1, MARET 2007, Hlm 7 243 Ibid, Hlm 7-8
154
Menelaah rumusan bagian ‘Oemoem’ dari Penjelasan UUD 1945 serta
Penjelasan tafsir setiap pasal UUD dapat disimpulkan bahwasanya naskah
Penjelasan UUD 1945 hampir seluruhnya disusun oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo,
Menteri Kehakiman di awal Pemerintahan RI. Ada Penjelasan Pasal 18 UUD
1945 mengenai Pemerintahan Daerah, dikemukakan:
1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka
Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya
yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam
daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah
yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom ( streek
dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan
diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti
desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan
asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerahdaerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah.244
Soepomo mengemukakan bahwa dalam negara indonesia yang
berdasarkan pengertian negara intergralistik itu, segala golongan rakyat, segala
daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan
kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari negara seluruhnya. Soal
pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah
yang akan diserahkan kepada pemerintahan daerah, baik daerah besar maupun
daerah kecil itu semua akan tergantung pada “doelmatigheid” berhubung dengan
waktunya, tempatnya dan juga soalnya. Misanya soal ini, pada masa ini dan pada
244 Ibid, Hlm 8-9
155
tempat ini, lebih baik diurus oleh pemerintah daerah, sedangkan soal itu pada
masa itu lebih baik diurus oleh pemerintah pusat. Dalam negara intergralistik
negara akan ingat kepada keadaannya, hukum negara akan memperhatikan
keistimewaan dari golongan yang bermacam-macam adanya ditanah air. Dengan
negara ini terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak persoalan
pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Dalam pendapat
soepomo ini dimaksud bahwa yang mengerrti daerahnya adalah pemerintah
daerahnya tersebut bukan pemerintah pusat jadi segala urusan daerah diserahkaan
kepada pemerintahan daerah245
Pada tanggal 10 agustus 1945 dalam sidang kedua BPUPKI, dalam
pidatonya susanto, beliau mengusulkan dua bentuk negara yaitu negara uni
Fedelan dan Republik. Perbedaan anatara uni dan federal yaitu : (1) Uni adalah
yang berhak untuk berhubungan dengan luar negeri hanya dan melalui pemerintah
pusat dan pemerintah daerah tidak boleh melakukan hubungan luar negeri serta
pemerintah pusatlah yang mengatur pemerintah daerah jadi kendali berada dipusat
dan pemerintah daerah hanya menjalankan aturan atau perintah dari pusat (2)
federasi yang bercorak bondstaat : baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berhak berhubungan dengan luar negeri dan pemerintahan pusat berhak
mengadakan aturan langsung untuk semua penduduk. Pada akhirnya keputusan
245MR Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang 1945, Djilit Pertama,
1959. Hlm118-119
156
dalam rapat tersebut menyepakati bahwa Negara Indonesia menganut negara
kesatuan dengan corak republik246
Bentuk Negara (Staatsvorm) berpaut dengan negara secara keseluruhan.
Der Staat als Ganzheit. Negara dalam wujud entitas (kesatuan). Negara dilihat dari
luar, kata Djokosutono. Menurut Djokosutono, bentuk negara (staatsvorm) harus
dibedakan dengan regeringsvorm atau regierungsformen, lazim disebut bentuk
pemerintahan. Regeringsvorm atau regierungsformen berpaut dengan struktur
negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dengan alat perlengkapan
negara lainya, hubungan antara staatsinstellingen. Negara dilihat dari dalam.247
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, di bawah Bab I, bertajuk Bentuk dan Kedaulatan,
menetapkan bahwasanya “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Pasal konstitusi dimaksud masih perlu menjawab
constitutionele vraagstuk yang dimunculkan manakala suatu negara kesatuan
(eenheidstaat) merupakan bagian dari bentuk republik, apakah negara kesatuan
dimaksud disusun berdasarkan sistem sentralisasi ataukah desentralisasi.248Negara
Indonesia adalah Negara yang menganut bentuk Negara Kesatuan (Unitary)
namun hal ini akan berbeda ketika kita lihat dalam sistem Pemerintahan Daerah
dalam Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip Federalisme seperti
otonomi daerah. Hal tersebut mulai berubah secara besar pada saat era reformai,
246 Ibid, Hlm 160-166 Adapun perbedaan anatara bondsaat dan statenbond adalah demikian
dalam negara yang bersifat bondsaat baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak
berhubungan dengan luar negeri. Tetapi dalam pemerintahan statenbond pemerintah pusat tidak
berhak membuat peraturan untuk penduduk, melainkan hanya dengan perantara pemerintah
daerah. Dengan itu saya memilih bentuk uni dalam Rancangan Undang-Undang Dasar. 247 Harun Alrasyid, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara dari Prof. Mr. Djokosutono,(Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), Hlm 50 248 H.M. Laica Marzuki,Op Cit, Hlm 10
157
dimana bentuk otonomi daerah sebenarnya lebih mirip sistem dalam Negara
Federal.249
Periode 27 Desmber 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, masa
berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUDS). Sebagai
rasa uangkapan ketidak puasan bangsa Belanda atas kemerdekaan Republik
Indonesia, terjadi kontak senjata (agresi) oleh Belanda pada tahun 1947 dan 1948,
dengan keinginan Belanda untuk memecah belah NKRI menjadi negara federal
agar dengan cara itu agar mudah dikuasai oleh Belanda, akhirnya disepakati untuk
mengadakan Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, dengan
menghasilkan tiga buah persetujuan antara lain :
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;
2. Penyelenggaraan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat;
dan
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan
Belanda.250
Pada tahun 1949 berubahlah konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 menjadi
UUD RIS, maka berubah pula bentuk negaa Serikat (federal), yaitu negara yag
tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri-sendiri kemudian
mengadakan ikatan kerjasama secara efektif, atau dengan kata lain negara serikat
249 Jimly Asshiddiqie,”Otonomi Daerah dan Parlemen Di Daerah”, www.legalitas.org, Sabtu,
24 November 2012, makalah disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan
Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for
the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000 250 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara,( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), Hlm 69
158
adalah negara yang tersusun jamak dari negara-negara bagian. Namun demikian
pada konstitusi RIS ini juga belum dilaksanakan secara efetif, karena lembaga-
lembaga negara belum dibentuk sesuai dengan amanat UUD RIS. Namun umur
UUD RIS tidak berlangsung lama hanya dapat bertahan kurang lebih 1 tahun saja
dan digantikan dengan UUDS.251
Pada periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, masa berlaku
Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Ternyata konstitusi
RIS juga tidak berumur panjan dan hanya dapat bertahan kurang lebih 1 Tahun
saja. UUD RIS tidak bertahan lama dikarenakan isi konstitusi tidak sesuai dengan
kehendak rakyat, juga bukan juga kehendak politik rakyat Indonesia melainkan
rekayasa dari pihak Belanda maupun PBB, sehingga menimbulkan tuntutan
kembali ke NKRI. Satu persatu negara menggabungkan diri menjadi negara
Republik Indonesia, kemudian kemudian disepakati untuk kembali ke NKRI
dengan menggunakan UUDS 1950. Namun UUDS hanya berlaku kurang lebih
hanya 9 Tahun saja dan setelah itu kembali menggunakan UUD 1945.252 Namun
UUDS hanya bersifat sementara namun pertumbuhan pemerintahan daerahnya
sangat baik dimana mulai pembentukan daerah, penyerahan urusan, hubungan
keuagan, khususnya ketentuan-ketentuan dalam UU Pertimbangan Keuangan
1956/32, dan pembentukan aparatur daerah. Kelengkapan terwujud dengan
keluarnya berbagai peraturan perundangan tentang hal-hal tersebut di atas, sedang
keseragaman tercapai dengan penetapan UU 1957/1 tentang Pokok-pokok
251 M. Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi di Indonesia, yustisia Edisi 87 September-
Desember 2013, Hlm 122 252 Ibid, Hlm 123
159
Pemerintahan Daerah. Masa ini mulai menegaskan pula adanya masalah-masalah
desentralisasi yang beberapa di antaranya menjadi pertentangan-pertentangan
yang meruncing. Misalnya pelaksanaan UU 1957/1 secara konsekuen
menghendaki diserahkannya urusan pemerintahan umun dan dihapuskannya
pamongpraja sehingga menimbulkan konflik pendapat. Hubungan kekuasaan dan
keuangan antara daerah dan pusat yang dianggap kurang memuaskan
mengakibatkan pula pergolakan-pergolakan yang bersama-sama sebab-sebab
lainnya mendorong Pemerintahan Indonesia untuk kembali kepada UUD 1945.253
Pada perspektif politik, masa ini disebut masa demokrasi terpimpin. 254
pada perspektif ketatanegaraan, masa ini diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yang mengakhiri kemelut dan ketidak pastian ketatanegaraan.255
Kembalinya berlaku UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 populer
dengan nama UUD 1945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensial
dengan kewenangan besar ada ditangan presiden. Pendelum politik bergeser
kembali, seiring dengan berakhirnya rejim demokrasi terpimpin. Rejim berikutnya
yang berkuasa adalah Orde Baru.preferensi politik yang pada masa pemerintahan
orde lama dijadikan panglima, digantikan ekonomi sebagai panglimanya.
253 The Liang Gie, Op.cit. Hlm 13 254 Samsul Wahidin, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Op Cit, Hlm 24 Demokrasi pada dasarnya adalah sistem pemerinah, sistem politik dan
sistemlainn yang diidealkan “serba rakyat”. Namun dalam demokrasi tepimpin, sebagaimana
dijadikan dasar pengelolaan politik dan peerintah pada masa orde lama adalah dengan mekanisme
mengembaikan kepada pemimpin. Pengembalian atau penyerahan kepada pemimpin itu adalah
sebagai pengambil keputusan atas suatu masalah manakala masalah tersebut dimusyawarahkan
tidak ada titik temu. Pemimpin yang kemudian memutuskan atau mengambil keputusan atas
masalah tersebut. 255 MR.NE.Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, (Jakarta:Bina Cipta, 1983),
Hlm 531. Secara hukum, keadaan seperti itu disebut sebagai Negara dalam keadaan darurat.
Hukum darurat negara berlaku untuk keadaan luar biasa apa bila negara dan rakyat berada dalam
keadaan bahaya.
160
Semangat pengelolaan negara diarahkan untuk pembangunan ekonomi yang
terpuruk dalam kurun waktu yang lama. Pada perspektif pengelolaan Pemerintah
Daerah, pola sentralistik yang menjadi tema Orde Lama digantikan. Pendulum
otonomi daerah bergerak kembali, ditandai dengan diberlakukannya undang-
undang baru yaitu undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini keinginannya adalah mengelola
Pemerintah Daerah dengan mendasarkan diri atas hal obyektif di daerah.256
Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, yang juga mengatur pemerintahan daerah berdasar dekonsentrasi,selain
memberi titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kotamadya. Namun demikian,
unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi.Ada tiga prinsip dasar
yang dianut oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk
menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut
pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-
program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi
telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya,
seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan,
personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah
Daerah. Pendulum politik menemukan momentum bersejarah ditandai dengan
reformasi. Pada perspekif global, pemerintahan rejim Orde Baru yang sentralistik
tidak kuasa membendung arus tututan perubahan yang menginginkan akomodasi
256 Samsul Wahidin, Hukum Pemeritahan Daerah Pendulum Otonomi Daerah Dari Masa ke
Masa, Op Cit, Hlm 16-19
161
sepenuhnya atas suara rakyat disemua lini. Pendelum administrasi Pemerintahan
Daerah pun bergerak, mengakomodasi demokratisasi yang menjadi tuntutan ini.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 digantikan dengan Undang-undang No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan sebagai refleksi pengelolaan
keuangan dibuat Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuagan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.257
Dalam kontek Indonesia, sejak reformasi terjadi perubahan drastis dari
pemerintahan yang sentralistis ke otonomi menimbulkan perubahan pola dan
dinamika konflik internal. Berbagai konflik horizontal maupun vertikal muncul
dan bahkan konflik dengan kekerasan (violence conflicts) merebak di berbagai
daerah. Konflik dengan kekerasan memiliki pola yang beragam, antara lain
konflik antara pusat dan daerah (center and periphery) seperti terjadi di Aceh dan
Papua, ada sekelompok gerakan bersenjata yang ingin merdeka, demikian pula
dalam bentuk konflik pada tingkat wacana oleh sejumlah kelompok di daerah.
Konflik dalam bentuk ketegangan dan perselisihan dengan kadar kekerasan yang
rendah semakin banyak terjadi di era otonomi. Selain itu eksklusivitas kedaerahan
juga muncul di beberapa daerah dalam bentuk aturan-aturan lokal yang diarahkan
untuk membatasi mobilitas sosial maupun mobilitas spasial kelompok tertentu.258
Kemunculan konflik tidak dapat dinafikan dan tidak dapat dihindari dalam
kehidupan sosial, apalagi kehidupan politik yang memang selalu bertaburan
konflik. Konflik sangat potensial untuk mendinamisasi setiap bentuk interaksi. Ia
257 Ibid, Hlm 83-93 258 M. Baiquni dan R. Rijanta,”Konflik Pengelolaan Lingkungan Dan Sumberdaya Alam
Dalam Era Otonomi Dan Transisi Masyarakat (Pemahaman Teoritis dan Pemaknaan Empiris)”,
Hlm 1-3
162
merupakan kenyataan sosial di berbagai tingkatan struktur, hingga pada tingkatan
yang sangat mikro yaitu antar pribadi. Konflik sebagai kenyataan sosial dapat
dikelompokkan ke dalam kategori sifat, motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya,
konflik bersifat laten dan manifes. Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke
dalam dua kategori rasional dan emosional. Berdasarkan bentuknya, konflik
dibedakan menjadi vertikal dan horisontal.259
Perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi, sebanding lurus dengan
penguasaan terhadap sumber daya politik. Penguasaan sumberdaya ekonomi oleh
kelompok kecil telah menciptakan struktur kekuasaan yang oleh Marx disebut
sebagai struktur kekuasaan kapitalis, yang bekerja secara sistematis untuk
melayani kepentingan kelas status quo. Dengan perspektif ini, maka kita dapat
mempertanyakan fungsi negara sebagai entitas pengelola kekuasaan politik. Para
ahli teori kritis menilai bahwa negara tidak lain sebagai alat dominasi kelas
kapitalis yang berfungsi menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol politik
sehingga menjadi sistem budaya dan pandangan hidup pada umumnya. Dengan
demikian negara mewakili dan melestarikan kepentingan pemilik modal dari pada
membela kepentingan rakyat kelas bawah.260
Konflik yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan secara sosial, politik
dan ekonomi mengandung perhitungan-perhitungan yang rasional, untung-rugi,
menuntut adanya keadilan distributif. Oleh karena itu langkah-langkah
penyelesaian yang dilakukan melalui perhitungan-perhitungan rasional.Dinamika
kelompok adakalanya menghadapi ketidak seimbangan distribusi sumber daya.
259 Pheni Chlid, Op.Cit, Hlm 103 260 Ibid, Hlm 104
163
Ketidakseimbangan sumberdaya terjadi akibat dominasi politik satu kelompok
yang kuat menutup jalan bagi kelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap
sumberdaya yang menjadi kepentingan bersama. Ketidakseimbangan tersebut
dalam proses selanjutnya akan memicu munculnya konflik vertikal. Tumbuhnya
kesadaran terhadap kepentingan akan mendorong sikap mempertanyakan sebab
ketidakadilan dan mulai mengorganisir diri untuk melakukan perlawanan tehadap
keberadaan kelompok dominan, sebagai bentuk protes dan memuntuk pemenuhan
hak kolektif. Apabila bobot dan esklasi konflik atas-bawah ini semakin besar,
maka hal tersebut akan dapat membawa perubahan struktur yang ada.261
Dalam hidup bermasyarakat, konflik vertikal kerapkali dipakai untuk
menjelaskan konflik yang terjadi dalam interaksi antara negara dan rakyat. Negara
sebagai entitas politik yang memiliki otoritas dan kewenangan memaksa, tampil
secara antagonis berhadap-hadapan dengan rakyat yang berada dalam hegemoni
politik negara. Konflik dalam kategori ini terjadi secara tidak berimbang dan
kerapkali rakyat sebagai pihak yang dikalahkan atau disalahkan. Karena negara
memiliki semua sumberdaya dan perangkat yang memaksa rakyat mengakui
kepentingan negara.262
Otonomi daerah lahir atau kembali diterapkan ke dalam sistem kekuasaan
di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan keluar untuk mendistribusikan rasa
keadilan kepada daerah yang selama masa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde
Baru, otonomi daerah ditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang
menitikberatkan pada daerah tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk
261 Ibid, Hlm 105-106 262 Ibid, Hlm 107
164
otonomi yang dijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol
pusat terhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakan
representasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakan pusat dan tidak
memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara negara
dengan rakyat, birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk melakukan
managing people, mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.263
Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dimana pemerintah
pusat lebih mendominasi pelaksanaan pemerintah pusat dengan
mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung
dan mandiri dalam membangun dan ngembangkan pemerintahan daerahnya.
Dimana dominasi pemerintahan pusat sudah mulai di anggap sangat berlebihan
dimana masalah keuangan daerah dan pusat untuk masalah pembagiaannya dirasa
kurang adil yang selalu merugikan pemerintah daerah. Sebenernya hal tersebutlah
yang seringkali membuat antara pemerintahan pusat dan daerah tidak bisa berjalan
secara beriringan.
Utrech mengemukakan, bahwa dalam permulaaan perkembangan
kenegaraaan, perlu adanya sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan-kekuatan yang
bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru itu dapat dileyapkan. Apabila
ternyata kekuatan-kekuatan itu sudah tidak ada lagi, hidup negara yang baru itu
tidak terancam lagi oleh kekuatan-kekuatan yang bertujuan meruntuhkan
263 Ibid, Hlm 110
165
kekuasaan maka sentralisasi dapat dijadikan desentralisasi, bahkan lebih jauh lagi
suatu desenralisasi yang bersifat federasi.264
Sentralisasi adalah bahwa semua normanya berlaku bagi selurh teritorial
yang dijangkaunya ini berarti bahwa sema normanya memiliki bidang validitas
teritorial yang sama. Sejumlah normnya berlaku untuk sluruh teritorial kalau
tidak, teritorial ini tidak akan merupakan teritorial dari tatanan hukum, norma-
norma yg berlaku dari seluruh teritorial kita disebut sebagai norma-norma pusat.
Norma-norma pusat dari seluruh atanan hukum atau tatanan hukum nasional juga
membentuk satu masyarakat hukum bagian, yakni masyarakat hukum pusat dan
tatanan hukum pusat membentuk masyarakat hukum pusat.265 Azas sentralisasi
sendiri diartikan sebagai sentralisasi daerah oleh pusat atau dalam bahasa
sederhananya adalah daerah sebagai daerahnya pusat. Sentralisasi merupakan
suatu kewenangan spenuhnya berada ditangan pemerintah pusat dan pemerinta
daerah hanya menjalankan saja semua yang telah diatur oleh pusat dan semua
yang ada di daerah kembali lagi ke pusat dapat di artikan bahwa kendali penuh
ada di tangan pemerintah pusat.266
Sistem pemerintahan daerah yag bersifat sentralisasi dirasa kurang dan
tidak bisa untuk memenuhi keinginan daerah yang begitu kompleks maka undang-
undang No. 57 Tahun 1974 digantikan dengan undang-undang No. 22 Tahun
1999. Dimana sistem pemerintahan daerah yang bersifat sentralisasi bergeser
kepada sistem pemerintahan daerah yang desentralisasi, dimana porsi untuk
264 Ni’matul Huda,“Ilmu Negara”, cetakan Pertama, ( Bandung: Rajawali Pers 2010), Hlm 236 265 Hans Kelsen, “Teori Umum Tentang Hukum dan Negara”, Cetakan pertama, (Bandung:
Penerbit Nuansa dan penerbit Nusamedia, 2006), hlm 431 266 Wasisto Raharjo Jati, Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema
Sentralisasi atau Desentralisasi, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, Hlm 752
166
daerah lebih diperbanyak. Seiring berjalannya waktu undang-undang No. 22
Tahun 1999 dirasa kurang bisa memberikan kepuasa terhadap peemerintahan di
daerah, maka digantikanlah dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004 dimana
porsi desentralisasi dosisnya lebih dipertinggi lagi untuk kewenangan daeahnya.
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yang berarti
de (melepas) dan centrum (pusat), dengan demikian melepas diri dari pusat. Dari
sudut ketatanegaraan yang dimaksud denagn desenralisasi ialah pelimpaham
kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah
tangganya sendiri.267 Tatanan hukum desentralisasi terdiri atas norma-norma yang
memiliki bidang validitas teritorial yang berbeda, dimana norma-norma tersebut
juga berlaku di teritorial yang berbeda pula.sedangkan norma yang berlaku hanya
di sebagaian teritorial disebut norma daerah. Norma-norma daerah yang berlaku
bagi satu bagian yang samadari seluruh teritoril membentuk tatanan hukum
bagian. Norma-norma tersebut membentuk masyarakat hukum bagian.
Pernyataan bahwa negara adalah desentralisasi atau bahwa teritorial
negara dibagi ke dalam teritorial-teritorial bagian berarti bahwa tatanan hukum
nasional tidak hanya mengandung norma-norma pusat tetapi juga norma-norma
daerah. Bidang-bidang validitas teritorial yang berbeda-beda dari tatanan hukum
daerah adalah pembagian-pembagian teritorial. Bersama-sama hukum daerah
membentuk masyarakat hukum daerah, membentuk masyarakat tatanan hukum
keseluruhan atau nasional yang disebut negara.268 Salah satu alasan desentralisasi
adalah karena desentralisasi memberikan kemungkinan untuk mengatur masalah
267Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Hubungan Keuangan
AntaraPusat dan Daerah”, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: UII Press,2006), Hlm 44 268 Ibid Hlm 431
167
yang sama secara berbeda yang berada didaerah yang berbeda-beda pula. Tatanan
hukum seperti itu lebih di kehendaki karena wilayah geografis, nasional, budaya,
ras dan agama. Semakin besar teriorialnya dan negaranya berbentuk kepualauan
semakian keharusan dimana negara tersebut menggunakan sistem desntralisasi
karena dirasa efektif untuk mengatur pemeritahan daerahnya.
Secara kuantitatif, sentralisasi atau desentralisasi dari suatu tatanan hukum
mungkin berbeda-beda derajatnya. Derajat sentralisasi dan desenralisasi
ditentukan oleh perbandingan jumlah dan kepentingan relatif dari norma-norma
pusat dan daerah dari tatanan hukum tersebut. Jika sentralisasi atau desentralisasi
tidak keseluruhan, kita sebut desentraisasi bagian dan sentralisasi bagian, yang
demikian adalah sama. Sentralisasi dan desentralisasi keseluruhan hanya
merupakan kutub-kutub yang ideal.269
Masalah sentralisasi dan desentralisasi mengandung satu aspek dinamis
dan juga aspek statis. Ini berkaitan bukan hanya dengan bidang validitas teritorial
dai norma-norma hukum, melainkan juga dengan metode-metode pembuatan dan
pelaksaan norma-norma tersebut. Menurut teori, baik semua norma, baik pusat
maupun daerah, dibuat satu organ saja. Ini akan berarti berhimpitannya
desentralisasi statis bagian dengan sentralisasi dinamis keseluruhan. Fakta bahwa
fungsi-fungsi dari individu-individu sama sebagai organ pembuat norma-norma
pusat dan daerah berarti bahwa terdapat penyatuan personal diantara organ-organ
dari tatanan hukum yang berbeda yang dibentuk oleh norma-norma hukum pusar
dan daerah. Yang terpenting bagi konsep sentrelesasi dan desentralisasi yang
269 Ibid, hlm 433
168
dinamik, tidak hanya jumlah organ-organ pembuat norma tetapi cara
pelembagaannya.270 Desentralisasi yang bersifat statis dan dinamis jika tatanan
hukum itu hanya berlaku untuk masyarakat bagian tertentu saja maka pembuatan
hukumnya harus dilakukan oleh organ-organ yang dipilih oleh masyarakat bagian
itu sendiri yang intinya bahwa hukum pemerintahan daerah itu harus dibuat oleh
masyarakat daerah itu juga karena masyarakat daerah itu sendiri yang tahu seperti
apa hukum yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Sekali lagi bahwa konsep
desentralisasi dan sentralisasi yang statis dan dinamis itu berbeda.
Dimana sentralisasi itu hanya diterapkan di negara otokrasi sedangkan
desenralisasi itu lebih sering digunakan oleh negara dengan corak demokrasi.
Diamana dalam menjalankan pemerintahan lebih seimbang menggunakan sistem
pemerintahan yang desentralisasi dibanding sentralisasi karena sentralisasi itu
segala sistem pemerintahan pada satu titik dimana pemerintah pusat mempunyai
dan memegang kekuasaan penuh, hal tersebut sering membuat konflik antar
pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi yang baik dan ideal saat ini yang
akan diterapkan di indonesia adalah desentalisasi asimetis karena dimana
indonesia terdiri atas daerah kepulauaan, suku bangsa dan adat isti adat yang
beragam serta banyak sejarah dalam setiap daerah di indonesia, oleh sebab itu
lebih ideal dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengelola
pemerintah daerahnya dengan seluas-luasnya dengan mempertimbangkan aspek-
aspek atas daerah kepulauaan, suku bangsa dan adat isti adat yang beragam.
270 Ibid, Hlm 438
169
Menurut pendapat penulis bahwa negara Indonesia telah beberapa kali
melakukan pergantian Undang-undang tentang pemerintaha daerah. dimuali dari
undang-undang 1957/1 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang bersifat
sentralistik, berganti lagi dengan undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah yang masih menggunakan sistim
sentralistik, setelah terjadinya revormasi undang-undang terus diperlalukannya
pergantian yaitu Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan sebagai refleksi pengelolaan keuangan dibuat Undang-undang No. 25 Tahun
1999 Tentang Perimbangan Keuagan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah.
Dengan pergantian Undang-undang Pemerintahan daerah beberpaa kali ini yang
diharaapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mengakomodir semua kebutuhan
daerah di Indonesia, namun tetap saja tidak bisa mengakomodir semua kebutuhan
daerah. bergulirnya waktu tentang pergantian undang-undang pemerintah daerah
ternyata di iringi konflik-konflik antara pemerintah pusat dan daerah yaitu konflik
Aceh, Papua, Timur-timur hingga melepaskan diri dari Indonesia dan masih
banyak masalah lainnya.
Konteks pemerintahan sendiri dalam pembahasan otonomi daerah perlu
ditempatkan pada koridor yang tepat. Hal ini dikarenakan implementasi kebijakan
otonomi daerah sendiri bersinggungan erat dengan paradigma sistem
pemerintahan negara yang dianut. Apakah sistem negara tersebut berbentuk
negara kesatuan (unitary state) ataukah negara federal (federal state). Pilihan
bentuk sistem negara sangat mempengaruhi implementasi kebijakan otonomi
170
daerah yang dipakai. Selain menyangkut sistem pemerintahan negara, aspek
krusial lainnya yang penting untuk dibicarakan dalam membahas makna hakiki
dari pengertian otonomi daerah adalah otonomi daerah untuk menuju
pemerintahan sendiri tidak dapat diartikan kemerdekaan atau kebebasan penuh
secara absolut (absolute onafhankelijkesheid) dalam menjalankan hak dan fungsi
otonominya menurut kehendak sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan, maka akan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa
serta kehancuran negara.271
Secara global, isu mengenai otonomi daerah banyak mengemuka di
negara-negara utamanya menyangkut persoalan penyebaran kekuasaan kekuasaan
(dispersion of power) sebagai manifestasi riil dari demokrasi. Dengan kata lain,
otonomi daerah sebagai manifestasi demokrasi pada hakekatnya merupakan
penerapan konsep teori “areal division of power”yang membagi kekuasaan secara
vertikal suatu negara, sehingga menimbulkan adanya kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan di satu sisi oleh Pemerintah Pusat, sedangkan di
sisi lain dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah.272 Pembilahan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan tersebut kembali lagi kepada sistem pemerintahan
negara yang dianut. Dua premis mengemuka terkait pembilahan kewenangan
tersebut disesuaikan dengan sistem negara yakni kekuasaan yang terpisah (power
271 I Wayan Arthanaya, “Otonomi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”, Kertha
Wicaksana, Volume 17, Nomor 2, Juli 2011, Hlm 178 272 Abdul Gafar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003), Hlm 76
171
separation) dalam sistem federalisme dan kekuasaan yang terpisah (power
sharing) dalam negara kesatuan / unitarianisme.273
Otonomi dalam konsep federalisme sendiri diartikan sebagai bentuk
indepedensi kewenangan daerah dari segala bentuk intervensi dari pemerintah
pusat. Daerah atau dalam bahasa otonomi federalisme disebut sebagai pemerintah
lokal (local government) merupakan unit politik memiliki kedaulatan tersendiri
yang berperan sebagai unsur pembentuk federalisme. Yang dimaksudkan sebagai
unit politik adalah sebelum terbentuknya federasi, wilayah tersebut sudah
memiiliki kemerdekaan tersendiri yang diakui keabsahannya. Hal inilah yang
kemudian menjadikan otonomi dalam federalisme memiliki berbagai esklusifitas
tersendiri menyangkut wewenang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tersendiri
yang berbeda antar pemerintah lokal lainnya. Otonomi dalam konsep federalisme
juga tidak mengenal adanya hubungan hierarkis yang selama ini ada dalam
implementasi otonomi daerah yakni hubungan antara pemerintah lokal di tingkat
negara bagian maupun yang berada pemerintahan lokal di bawahnya seperti
municipality, township, maupun county adalah sama dan sejajar. Kesejajaran
tersebut karena setiap pemerintahan lokal adalah wilayah yang independen dan
tidak terikat satu sama lain. Hal inilah yang menjadikan sistem eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif antar daerah otonom berlainan satu sama lainnya.274
Oleh karena itulah, dalam implementasi kebijakan otonomi dalam
federalisme jarang ditemukan berbagai bentuk ketidakpuasan masyarakat yang
ditunjukkan daerah atas kebijakan daru pusat. Masyarakat sudah menilai bahwa
273 Wasisto Raharjo Jati, Op Cit, Hlm 747 274 Affan Gaffar, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), Hlm 10
172
otonomi yang telah diberikan oleh pemerintah federal telah mengafirmasi segala
bentuk kebutuhan masyarakat sebagai warga negara. Relasi simetris hubungan
pusat dan daerah membuat posisi advokasi kebijakan maupun posisi tawar politik
daerah juga berimbang dengan pusat. Bisa dikatakan bahwa federalisme
merupakan hasil konsensus dari berbagai daerah otonom yang kemudian
mengikrarkan diri menjadi satu ikatan. Oleh karena itulah, prinsip otonomi yang
dijalankan dalam konsep federalisme sendiri bersifat penuh dan seluas-luasnya.275
Hal esensial yang perlu diperhatikan dalam membahas konsep otonomi
daerah dalam negara kesatuan adalah “pematangan konsep federalisme” (federal
arrangement). Yang dimaksudkan dengan definisi pematangan tersebut adalah
bentuk pengadopsian prinsip-prinsip federalisme dalam bentuk otonomi daerah di
negara kesatuan karena sejatinya negara kesatuan sendiri tidaklah mengenal
konsep otonomi karena semua kekuasaan tersentralisasikan di pemerintahan
pusat, daerah sendiri tidak lebih sekedar dari subordinasi dari pemerintah pusat5.
Namun demikian membincangkan paradigma federalisme dalam otonomi daerah
di Indonesia bukan dimaksudkan untuk mengkonversi eksistensi provinsi menjadi
negara bagian sebagaimana yang terjadi dalam paradigma federalisme murni.
Paradigma federalisme dalam hal ini perlu dibedakan menjadi tiga hal yakni
federalisme murni, federalisme kelembagaan, maupun federalisme prinsipal. Dari
sekian tiga hal tersebut aplikasi prinsipal federalisme yang terdiri dari
275 Wasisto Raharjo Jati, Op Cit, Hlm 748 Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah
lokal bisa dikatakan negara dalam negara dimana federalisme sebagai negara besar melindungi
pemerintah lokal sebagai negara kecil. Meskipun demikian konsep otonomi dalam federalisme
sendiri memiliki berbagai pengaturan-pengaturan tersendiri yang diatur oleh pemerintah federal.
Pengaturan tersebut berfungsi untuk menjelaskan secara rinci kewenangan pemerintah federal dan
pemerintahan lokal agar dapat dilaksanakan secara penuh dan bertanggung jawab.
173
desentralisme, devolusi, maupun tugas pembantuan diadopsi dalam konsep
otonomi daerah di negara kesatuan. Indonesia yang majemuk dan terfragmentasi
dengan berbagai macam keanekaragaman budaya sangatlah riskan untuk menjadi
negara federasi. Fakta sejarah membuktikan bahwa pengadopsian federalisme
justru memecah-belah Indonesia menuju arah disintegrasi kebangsaan. Adalah
Belanda yang menggunakan federalisme sebagai bagian dari konspirasi politik
devide et impera yang bertujuan melemahkan Indonesia sehingga mudah untuk
dikolonialisasi ulang. Negara kesatuan sebagai pilihan para pendiri bangsa
merupakan cara menghindari hal tersebut dimana konteks “kesatuan” lebih
ditonjolkan daripada “persatuan”.276
Namun sebelum otonomi daerah menjadi wacana dominan dalam
pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Desentralisasi sebagai sendiri
sudah menjadi bagian dari mekanisme konstitusi negara kita terlebih bila kita
merujuk pada pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen dimana NKRI terdiri dari
daerah besar dan kecil atau dalam bahasa konstitusionalnya diartikan sebagai
pemencaran kekuasan di lakukan melalui badan-badan publik satuan
pemerintahan di daerah dalam wujud desentralisasi teritorial, yang mempunyai
kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang mandiri.Akar filosofis dari
kebijakan desentralisasi otonomi daerah di Indonesia paska kemerdekaan 1945
dapat ditelusuri dari konstitusi Pasal 18 dan Pasal 1 yang dapat ditafsirkan sebagai
Pemerintahan Indonesia sebagai negara kesatuan yang mengedepankan aspek
desentralisasi sebagai bentuk kesepakatan bangsa sejak dari masa awal
276 Agussalim Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2007), Hlm 74
174
kemerdekaan dulu. Secara lebih lanjut, menurut penjelasan Pasal 18 menerangkan
bahwa Negara Indonesia itu merupakan suatu eenheidstaat / satu negara, maka
Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat
/ serupa negara. Pilihan menerapkan desentralisasi yang produknya adalah
otonomi daerah memang telah ambigu sejak awal terlebih lagi ketika membaca
pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen pada ayat 2 dimana dibentuknya tiga
tingkatan daerah dalam struktur pemerintahan daerah maupun pasal 18 ayat 5
yakni dibentuknya daerah istimewa untuk memungkinkan daerah yang telah
memiliki hak asal-usul sebelum Republik Indonesia berdiri untuk memiliki sistem
pemrintahan sendiri. Pada hakikatnya, desentralisasi otonomi daerah sendiri tidak
mengenal daerah tingkat karena hal itu sama saja mengindikasikan bahwa daerah
masih dalam cengkraman kuat pemerintahan pusat. Sementara itu, pilihan untuk
menjadikan daerah menjadi daerah istimewa karena fakta historis untuk memiliki
pemerintahan sendiri juga rancu karena negara kesatuan sendiri adalah sebuah
rumah besar yang menampung berbagai daerah untuk menjadi satu atap dan tidak
diperkenankan ada “negara” dalam negara kesatuan. Memang dalam berbagai
kasus pemberian daerah istimewa atau daerah otonom pada relasi pusat-daerah di
negara-negara lainnya memang dimungkinkan seperti halnya China dengan
prinsip “one state two system” dengan Hongkong dan Makau menjadi daerah
yang memiliki kewenangan layaknya negara berdaulat, Spanyol melalui daerah
otonomi Basque dan Catalan, maupun Kanada dengan Quebec. Namun demikian
ditinjau dari segi historisnya, kita bisa mengurai penerapan otonomi khusus /
keistimewaan tersebut. Dalam kasus China, Hongkong dan Macau sendiri diberi
175
hak otonomi khusus hanya selama 50 tahun terhitung sejak 1997 dan 1999 yang
akan berakhir pada 2057 dan 2059 dan setelahnya Hongkong dan Macau akan
diseragamkan lagi sebagai provinsi. Dalam kasus Quebec mendapat status
otonomi karena mayoritas penduduknya adalah Francophone (penutur bahasa
Prancis) sementara Kanada adalah negara Anglophone (penutur bahasa Inggris.
Catalan dan Basque ini diberi otonomi untuk meredam gerakan separatisme yang
didasarkan pertarungan politik etnisitas antara Castilla (mayoritas penduduk etnis
ibukota Madrid yang direpresentasikan sebagai “Spanyol”) dengan Catalan dan
Basque yang menjadi minoritas.277
Asas desentralisasi asimetris berdasarkan pada kewenangangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang dimana
pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengelola pemerintahan
daeranya berdasaarkan hak asal usul pemerintahan daerahnya. Sejak awal
desentralisasi asimetris sudah diterapkan melalui UU No.1 Tahun 1945. Setatus
daerah istimewa dan otonomi khusus, dimana hal tersebut ada yang berfungsi
sebagai peredam suatu konflik antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam kasus-kasus tertentu, khususnya yang berkaitan dengan kekhasan
masalah yang dialami oleh kelompok tertentu di dalam suatu negara,
desentralisasi yang dibutuhkan bukan desenralisasi yang biasa.kita tampaknya
membutuhkan cara berfikir baru yang menekankan pada adanya kebutuhan untuk
memperhatikan perbedaa antar-daerah dan keunikan masing-masing daerah,
277 Wasisto Raharjo Jati, Op Cit, Hlm 749-751
176
sekaligus kepentingan objek indonesia sebagai sebuah negara bangsa sebagai
dasar untuk merancang desentralisasi kedepan.278
Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah
pelimpahan kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan khusus
yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik, ia
merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali
daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan
desentralisasi asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam
suatu sistem pemerintahan lokal yang khas. Dengan begitu, diharapkan
perlawanan terhadap pemerintah nasional dan keinginan untuk merdeka dapat
dieliminasi lewat sistem pemerintahan lokal yang spesifik itu seperti yang
dipraktekkan di beberapa negara, antara lain, wilayah Quebec di Kanada,
Mindanao di Filipina, Bougainville di Papua New Guinea, dan Basque di Spanyol.
Mereka misalnya, boleh punya bendera, bahasa, partai politik lokal, polisi lokal,
dan bagi hasil sumber-sumber pendapatan yang lebih besar.279 Desentralisasi
asimetris dirasakan menjadi peluang baru pengaturan hubungan pusat dan daerah
untuk Indonesia. Selain Jakarta, asimetrisme yang diberikan kepada Aceh, Papua,
Papua Barat dan Yogyakarta lebih bersifat reaktif karena merupakan hasil dari
278 Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa
Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Op Cit, Hlm 55 279 Djohermansyah Djohan, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal Sekretariat Negara RI |
No. 15 | Februari 2010, Hlm 121-122 Budaya, etnik, ras, dan agama selalu membentuk deviasi
sosial dari suatu daerah yang bersifat khusus berdasarkan sejarah yang terbentuk dengan elemen-
elemen yang membedakannya dari komunitas lain. Mengabaikan karakteristik yang bersifat unik
itu dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan menimbulkan disintegrasi bangsa. Dalam
masyarakat majemuk, perbedaan-perbedaan daerah, suku, ras dan pertentangan pandangan hidup,
saling memperkuat kecenderungan segresi. Upaya mengintegrasikan dengan memaksakan
konsepsi nasional yang seragam justru semakin mendorong berkembangnya perlawanan terhadap
pemerintah pusat.
177
kompromi terhadap berbagai tuntutan dari daerah yang menimbulkan ketegangan
panjang.280 Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyelenggaraan pemerintah
daerah dengan formula otonomi khusus telah dimulai di Provinsi Timor Timur,
namun gagal dilaksanakan karena masyarakat Timor Timur lebih memilih
merdeka (melepaskan diri dari Indonesia). setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru,
di sejumlah daerah telah muncul berbagai tuntutan, ada yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia, dengan meminta referendum, menaarkan perubahan bentuk
negara federal ada pula keinginan yang kuat untuk mendapatka status “istimewa”
atau Khusus. Misalnya Provinsi Bali mengiginkan otonomi khusus, di Surakarta
juga muncul gejolak yang menuntut dikembalikan keistimewaan Surakarta,
demikian juga yang terjadi di Riau meminta otonomi khusus, serta di ikuti
tuntutan 7 provinsi daerah kepulauan. Tujug provinsi kepulauan tersebut adalah
Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Bangka
Belitung, dan Nusa Tenggara Barat.
Secara umum pengadopsian model desentralisasi asimetris didasari
kebutuhan akan kerangka administrasi yang handal dalam mengelola keragaman
lokal. Format pengorganisasian negara dilihat sebagai wujud respon atas realitas
keberagaman masyarakat sebagai sumber input bagi bekerjanya sistem
politik/pemerintahan. Ahli pertama yang memulai debat seputar desentralisasi
asimetris adalah Charles Tarlton dari University of California, USA. Menurut
Tarlton:281
280 Bayu Dardias Kurniadi, Op Cit, Hlm 1 281 Ni’matul Huda, Pengakuan Kembali Surakarta Sebagai Daerah Istimewa dalam Perspektif
Historis dan Yuridis, Jurnal, Hlm 5
178
“Pembeda inti antara desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi asimetris
terletak pada tingkat kesesuaian (conformity), dan keumuman (commonality)
pada hubungan suatu level pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem
politik, dengan pemerintah pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola
simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in the relations
of each separate political unit of the system to both the system as a whole and
to the component units”. Di sini, hubungan simetris antar setiap unit lokal
dengan pemerintah pusat tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang
sama”.
Sementara dalam pola asimetris, satu atau lebih unit politik atau
pemerintahan lokal “possessed of varying degrees of autonomy and power”.
Berbedanya derajat otonomi kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan
muatan kewenangan itu membentuk derajat hubungan yang berbeda pula antar
negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik lainnya, baik secara
horisontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan pusat). Khusus mengenai pola
asimetris, Tarlton menekankan, “In the model asymmetrical system each
component unit would have about it a unique feature or set of features which
would separate in important ways, its interest from those of any other state or the
system considered as a whole”.282
Kerangka pikir Tarlton di atas diadopsi sekaligus diperbarui oleh John
McGarry dari Queen’s University, Canada. Titik tekannya tidak hanya terkait
substansi asimetri tetapi juga bentuk dasar legal pengaturannya. Menurut
McGarry:283
282 Ibid 283 Ibid, hlm. 6
179
“Model asimetris terjadi kalau otonomi semua unit pemerintahan subnasional
dijamin konstitusi dan terdapat sekurangnya satu unit lokal yang menikmati
level otonomi yang berbeda (umumnya otonomi lebih luas). Di negara federal,
sekaligus sebagai kebalikan dari negara unitaris, keberadaan model asimetris
diatur dalam konstitusi dan otoritas federal tidak bisa secara sepihak menarik
atau membatalkan status asimetris tersebut. Dalam perspektif politik, asimetris
yang diatur dalam konstitusi ini adalah bukti pengakuan negara akan
keberagaman sifat nasional satu atau lebih wilayah”.
Walaupun pada awalnya Tarlton menulis tema asimetris dalam kerangka
negara federal, tetapi dalam perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa
konsep dan penerapan kebijakan atas model tersebut mulai diadopsi di negara
kesatuan, misalnya di Indonesia berupa otonomi khusus, daerah khusus, dan
daerah istimewa.284
Di dalam Bab VI UUD 1945 (sebelum amandemen) tentang Pemerintahan
Daerah, sudah ditentukan pengaturan daerah di Indonesia secara asimetris. Hal itu
terlihat dalam rumusan Pasal 18: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.” Kemudian dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945
ditegaskan:285
“…Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri
di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-
daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah
tersebut.”
284 Ibid 285 Ni’mahtul Huda, Desentralisasi Asimetris ..., Op Cit. Hlm 53-54
180
Menurut pendapat penulis di Negara Indonesia telah diterapkan
desentralisasi assimetris dengan dasar 2 (dua) aspek yaitu yang pertama
berdasarkan sparatisme yang telah terjadi di negara Indonesai atas Provinsi Aceh
dan Papua yang didasarkan atas perebutaan sumber daya antara pemerintah pusat
dan daerah, Kedua berdasarkan atas daerah istimewa, identitas lokal dan hak asal
usul daerahnya atas Daerah Istimewa Yogyakara dan Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta.
Penerapan desentralisasi asimetris berdasarkan alasan konflik dan tuntutan
separatisme. Tidak dapat dipungkiri, dua daerah (dua Provinsi) yaitu Provinsi
Aceh, Provinsi Papua mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi
khusus karena konflik antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional
yang antara lain karena perebutan sumber daya. Perebutan sumber daya yang
dimiliki oleh kedua provinsi tersebut dengan pemerintaah pusat melahirkan
konflik-konflik yang berkepanjangan, bahkan permulaan konflik tersebut sejak
awal kemerdekaan.
Awal konfik di Provinsi Aceh sejak awal kemerdekaan hingga
penandatanganan Mou Helsinki. Untuk pertama kali Aceh diberikan status Daerah
Istimewa Aceh pada tahun 1959 yang meliputi Agama, Adat dan pendidikan.
Namun status Istimewa Aceh tersebut hanya bersifat formalitas belaka. Karena
konflik berkepanjangan yang terjadi antara Aceh dan pemerintah Indonesia maka
setelah revormasi Aceh diberikan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang
keistimewaan Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, adat,
pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Harapan
181
pemerintah pusat dengan pemberian daerah Istimewa kepada Aceh dapat
meredam konflik di Aceh namun hal tersebut tetap tidak bisa memberikan
kedamaian di Provinsi Aceh. Berjalan seiringnya waktu keadaan konflik di Aceh
semakin memanas, dimasa pemerintahan Megawati memberikan otonomi khusus
yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi NAD lewat
undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 boleh dikatakan berbentuk pemberian
kewenangan khusus sesuai sejarah dan kondisi budaya masyarakat Aceh.
Kewenangan khusus yang diberikan kepada provinsi NAD di atas jauh lebih luas
daripada yang pernah diterimanya selama ini maupun yang diperoleh daerah-
daerah lain.
Berbagai kebijakan dalam pengaturan pemerintahan daerah di Provinsi
Aceh pada masa lalu tidak dapat meredam konflik di Aceh dan bahkan telah
menyebabkan terjadinya ketidakadilan di berbagai perikehidupan rakyat Aceh,
keresahan, pergolakan, dan bahkan menimbulkan perlawanan secara fisik
bersenjata melalui GAM terhadap pemerintah pusat. Pada pemerintahan SBY dan
Jusuf Kalla ingin mengakhiri konflik yang sudah lama terjadi di Aceh selama ini
dengan MoU (Memorandum of Understanding) atau Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki 15
Agustus 2005 lalu oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan
pimpinan GAM Malik Mahmud merupakan babak baru menuju Aceh yang damai,
adil, dan sejahtera. Mou Helsinki telah disepakati oleh kedua belah pihak dan
setelaah itu dituangkan dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintah Aceh yang belaku sampai saat ini.
182
Awal dikeluarkaannya otonomi khusus Papua Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 menggambarkan bahwa pemberian otonomi khusus kepada Papua
dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama,
pemerintah mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut
terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu
meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi,
maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah mengakui bahwa telah terjadi
kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai
persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang dijalankan di Papua
belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan,
penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat
Papua. Untuk persoalan yang berakar pada konflik dan perbedaan pendapat
mengenai proses dan legalitas penyatuan Papua sebagai bagian dari Indonesia
sama sekali tidak disinggung walaupun realitas masih menunjukkan kuatnya
pengaruh akar persoalan ini dalam konflik di Papua. Konsekuensinya, tujuan
pemberian Otonomi Khusus juga bukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat
tersebut.
Jika diringkas, otonomi khusus untuk Aceh dan Papua secara prinsipil
terdiri dari 6 (enam) : Pertama, Provinsi Aceh dan Papua mendapat dana
kompensasi atas Otonomi khusus dari pemeritah Indonesia. Kedua, pengakuan
terhadap identitas lokal provinsi Aceh dan Papua yang terwujud dalam institusi
politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan adanya lembaga baru yang
merepresentasikan adat dan agama. Di Papua, wewenang diberikan kepada adat
183
dan gereja. Ketiga, pengakuan terhadap simbol-simbol lokal daerah. Keempat,
partai politik lokal. Aceh memanfaatkan momentum partai lokal dengan
tumbuhnya partai lokal dan memenangkan pemilu, sedangkan di Papua belum ada
walaupun ruang untuk hal tersebut telah ada. Kelima, adanya afirmatif action
untuk menjadi pemimpin lokal. Keenam dan mungkin paling penting, pengaturan
terkait sumber daya. Selain dana otsus yang jumlahnya sangat besar, pengelolaah
sumberdaya daerah adalah isu yang spesifik.
Hadirnya undang-undang No.13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengakomodir beberapa kewenangan Daerah
Istimewa Yogyakarta yaitu Pertama tentang tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur. Kedua Kelembagaan pemerintahan
daerah. Ketiga kebudayaan. Keempat pertanahan. Kelima tata ruang daerah
Istimewa Yogyakarta. Pemberian status Istimewa terhadap Yogyakarta alasan
sejarah dan budaya. Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan perlakuan
istimewa mengingat sejarahnya di masa revolusi dan perebutan kemerdekaan.
Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang
dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang bertahta dan Wakil
Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia. provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan
tanggungjawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintah dan sebagai tempat
184
kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga
internasional. Model pemilihan Gubernurnya juga khusus, pemilukada Gubernur
menggunakan sistem absolut majority dimana pemenang sedikitnya mendapatkan
50% suara dan apabila pemilukada tidak mencapai 50% maka akan diadakan
pemilihan ulang. Di daerah lain, kecuali Yogyakarta, cukup mendapatkan lebih
dari 30% suara saja untuk menjadi Gubernur, pendanaan Pemerintah DKI Jakarta
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sifatnya khusus dalam
kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI dianggarkan dalam APBN,
perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pemilukada untuk Bupati/Walikota
dan tidak ada DPRD Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur dan Walikota
dan Bupati bertanggungjawab kepada Gubernur, dewan kota dan kabupaten
diusulkan oleh masyarakat dan disetujui oeh DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk
selanjutnya ditetapkan oleh Gubernur.
Untuk kasus Indonesia, desentralisasi assimetris yang ada tidak didasarkan
atas mekanisme penataan baru sesuai dengan semangat otonomi daerah, tetapi
lebih merupakan sporadik yang berdasarkan pengalaman buruk masa lalu. Papua
dan Aceh mendapatkan otonomi khusus karena kuatnya tuntutan pemisahan diri
dari Indonesia. Idealnya, desentralisasi asimetris untuk Indonesia tidak
berdasarkan atas tuntutan-tuntutan sporadik dari daerah, tetapi merupaakan desain
yang dipersiapkan dengan matang yang mempertimbangkan seluruh aspek yang
berbasis kepada keunikan daerah.286
286 Ibid. Hlm 69
185
Penerapan desentraisasi asimetris di Negara Republik Indonesia harus
berdasarkan atas penataan dan perbaikan otonomi daerah serta atas dasar
geografis, suku bangsa, adat isti adat serta kekayaan alam Negara Indonesia.
Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang sangat luas, mulai
dari sabang sampai merauke sudah terdiri atas 5 pulau besar yaitu Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua sera ditopang oleh 17.504 kepulauan kecil.
Hal tersebut jelas tidak akan bisa apabila pemerintahan bersifar sentralisasi, yang
terjadi apaila diterapkan sebuah sistem pemerintaha daerah yang sentralisasi pasti
tidak akan bisa memberikan pemerataan hingga sampai kedaerah terpencil. Begitu
juga dengan menerapkan desentralisasi yang biasa, tidak akan timbul pemerataan,
oleh sebab itu diberikan desentralisasi asimetris. Semua kewenangan diberikan
kepada daerah sesuai dengan kekhasannya dan pemerintah pusat hanya sebagai
pengontrol jalannya pemerintah daerah.
Pemerintah daerah diberikan seluas-luasnya untuk mengembangkan dan
mengelola sumberdaya alamnya,memanfaatkan letak geografisnya, kewenangan
untuk mengembangkan adat isti adatnya berikan hak yang luas untuk masyarakat
adat setempat. Pemerintah pusat mengawasi pemerintah denga membagi dengan 3
(tiga) kategori pemerintahan daerah yaitu pertama pemerintahan daerah yang maju
dimana pemerintahan daerah ini bisa berdiri sendiri dan mengelola sumber daya
alamnya secara baik dan pembangunan didaerahnya sangatlah maju, Kedua
Pemerinatah daerah yang berkembang dimana pemerintahan daerah ini sedang
mengembangkan prospek yang terdapat didaerahnya dan pemerintahan pusat
masih memberikan dana dan sokongan agar menjadi pemerintahan daerah yang
186
maju, ketiga pemerintahan daerah yang tertinggal dimana peerintahan daerah ini
masih dipegang punuh oleh pemerintah pusat agar bisa mengembangkan
daerahnya agar menjadi pemerintahan daerah yang berkembang.
Pemerintah pusat juga harus mengatur jalur perekonomiannya dimana
setiap daerah yang satu dengan yang lainnya saling simbiosis mutualisme yaitu
mereka mengembangkan potensi yang ada didaerahnya satu sama lain hak
tersebut akan memunculkan saling ketergantungan antara daerah satu dengan yang
lain, tidak akan timbul persaingan daerah satu dengan yang lainnya. Desentralisasi
asimetris yang tersetruktur pasti akan memperkuat pemerintahan Negara
Indonesia dari segala lini.
C. Penolakan Rakyat Aceh Terhadap Undang-undang No 18 Tahun 2001
Tentang otonomi khusus dan Undang-undang No 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.
Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai
status “otonomi khusus” pada tahun 2001 melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bersama Papua,
Aceh merupakan kawasan yang paling bergejolak dengan potensi kepada
disintegrasi dari Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh
menghendaki menjadi kawasan dengan perlakuan khusus. Kehendak ini
diperjuangkan dengan sejumlah alasan penting. Dari sejumlah alasan yang
berkembang, alasan yang paling kuat adalah alasan kesejarahan. Sejak sebelum
masehi, Aceh sudah menjadi perhatian para pedagang baik dari India, Cina,
187
maupun Timur Tengah. Tetapi setelah masehi, banyak pelaut Cina, India, dan
Timur Tengah singgah di Aceh guna mencari rempah-rempah. Kehadiran bangsa
asing ini membuat masyarakat setempat berinteraksi dengan Pembelajaran dari
Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta mereka, terutama di bidang ekonomi
dan kebudayaan sekaligus membawa peradaban baik Hindustan maupun Islam.287
Pada abad ke-7, para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan
Budha. Namun, peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya
agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat menjelang abad ke-9 (BPS,
2002: xiv). Aceh adalah tempat masuknya agama Islam pertama kali ke Indonesia
dan tempat lahirnya kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu di Pereulak dan
Pasai. Kerajaan Islam yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah, dengan
ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang), bertambah luas
hingga ke Semenanjung Malaka. Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya
pada permulaan abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada
sekitar abad ke-15, saat orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur,
banyak wilayah Nusantara yang dapat dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas
sebagai kerajaan yang berdaulat. Pada saat sebagian wilayah di Nusantara
dikuasai penjajah (Belanda), Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda, masih
menjadi negara merdeka dan mempunyai hubungan diplomatik, termasuk dengan
negara-negara Eropa. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth I dari Inggris mengirim
287 Agung Djojosoekarto,Rudiarto Sumarwono dan Cucu Suryaman,”Kebijakan Otonomi
Khusus Papua”, Cetakan Pertama,(Jakarta: Kemitraan, 2008), Hlm 12
188
utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula
mengirim surat bertujuan ”Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam.”.288
Sepeninggal Iskandar Muda, kebesaran kerajaan Aceh merosot dengan
cepat. Aceh kemudian menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan
penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan
Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Tanggal 26
Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang ini berlangsung
selama 30 tahun yang menelan korban cukup besar di kedua belah pihak. Perang
ini memaksa Sultan Aceh terakhir, Sultan M. Dawud, akhirnya meyerahkan diri
kepada belanda pada tahun 1903, setelah kedua Isterinya, anak, serta Ibondanya
terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Dengan pengakuan kedaulatan tersebut
Aceh secara resmi dimasukkan ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch
Oost-Indie) dalam bentuk provinsi. Sejak tahun 1937, Provinsi Aceh berubah
status menjadi karesidenan hingga kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia
berakhir tahun 1942.289
Aceh pada satu waktu yang lalu telah pernah tampil sebagai salah satu
Lima Besar Islam di Dunia290, maka wajarlah kalau setelah Proklamasi 17
288 Ibid, Hlm 13 289 Ibid, Hlm 14 290 Amirul Hadi, Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), hlm.194 2 Kerajaan Aceh yang berdiri awal abad XVI yang dianggap oleh
seorang sejarawan Amerika sebagai salah satu dari Lima Besar Islam yang ada di dunia waktu itu.
Kelima besar Islam yang dimaksud adalah kerajaan Turki Usmaniah di Asia Kecil, kerajaan
Moroko di Afrika Utara, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Acra di Anak Benua India
dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. Aceh yang pernah menjadi negara yang
terbentang luas dari Sumatra sampai semenanjung tanah Melayu, dan bahkan menurut William
Marsden dalam bukunya The History of Sumatra dapat disamakan dengan sistem negara yang
beradab di Eropa, terus menarik untuk dibicarakan. Dalam sejarahnya Aceh menurut Wilfred
Cantwell Smith dalam bukunya Islam in Modern History menempatkan Aceh sebagai sebuah
189
Agustus 1945 Aceh berkeinginan menjadi satu Propinsi Otonom dalam Republik
Indonesia. Keinginan Aceh itu semakin bertambah layak, setelah Aceh tampil
sebagai satu-satunya Wilayah Republik Indonesia yang sanggup menahan
penyerbuan Belanda dalam dua kali agresinya, Hatta setelah itu Aceh disanjung
setinggi langit, baik oleh Presiden Sukarno waktu berkunjung ke Aceh dalam
bulan Juni 1948 maupun oleh para Menteri/Pejabat Negara lainnya. Dalam
kunjungan itu, Presiden memberi gelar kehormatan bagi Aceh dengan DAERAH
MODAL, dan menjanjikan akan memberi hak otonomi yang luas bagi Aceh
sehingga dapat menjalankan Syari'at Islam.291 Perjalanan panjang dalam
pembentukan propinsi Aceh mengalami bermacam persolan dan perjuangan
panjang dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ketatanegaran Republik
Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang besifat
istimewa dan khusus, terkait dengan kharakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi.292
Posisi politik Aceh mengalami beberapa kali perubahan status. Di awal
kemerdekaan, Aceh merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatera.
Gubernur Sumatera pada waktu itu juga dipegang oleh orang Aceh bernama Mr.
Tengku Mohamad Hasan. Pada tanggal 5 April 1948, melalui UU No. 10 Tahun
1948, Karesidenan Aceh berada di bawah Provinsi Sumatera Utara, bersama-sama
Karesidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli Selatan. Pada tanggal 17
sistem politik kerajaan Islam yang diperhitungkan dalam kancah antar bangsa-bangsa, Aceh
bersama Turki Usmani, Bani Fathimiyah di Moroko, Isfahan di Iran Moghol di India. Kebangkitan
Aceh pada abad ke-16 telah mencapai titik bahwa ia dipandang sebagai salah satu kerajaan Islam
yang terkuat di belahan Nusantara. 291 Mukhlis, Op Cit, Hlm 3 292 Mukhlis, Keistimewaan Dan Kekhususan Aceh Dalam Perspektif Negara Kesauan Republik
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 No 1. Hlm 78
190
Desember 1949, melalui Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949, Aceh dinyatakan sebagai provinsi yang
berdiri sendiri, lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Namun, setelah Republik
Indonesia kembali ke negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950, Provinsi Aceh kembali ditetapkan menjadi
salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini
menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas
keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat. Guna memenuhi aspirasi dan
tuntutan rakyat Aceh, pemerintah mengubah kembali status Keresidenan Aceh
menjadi daerah otonom Provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No.
24 Tahun 1956 tentang “Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara” yang ditetapkan
Presiden Soekarno tanggal 29 Nopember 1956.293
Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian
masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat, melalui Perdana
Menteri Hardi, pada tahun 1959, mengirimkan satu misi khusus yang dikenal
dengan nama Misi Hardi. Misi ini menghasilkan pemberian status “Daerah
Istimewa” kepada Provinsi Aceh melalui Keputusan Perdana Menteri Republik
Indonesia No. 1/Missi/1959. Dengan predikat tersebut, Aceh memperoleh hak-hak
otonomi yang luas di bidang agama, adat, dan pendidikan. Status ini dikukuhkan
293 Agung Djojosoekarto,Rudiarto Sumarwono dan Cucu Suryaman, Op.Cit, Hlm 14
191
dalam Pasal 88 UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.294
Sesungguhnya, pemberian status Daerah Istimewa bagi Provinsi Aceh ini
merupakan jalan terbaik menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.
Namun, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan oleh Pemerintah
Pusat pada era pemerintahan Orde Baru, melalui UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh
tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Pusat, jangankan
memberi kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam
atau memelihara adat, malahan sumber daya alam mereka dieksploitasi besar-
besaran dan desa mereka diseragamkan seperti desa di Jawa. Ini pada gilirannya
mengakibatkan kemarahan dan bahkan perlawanan rakyat Aceh secara fisik lewat
GAM sejak 4 Desember 1976 di bawah kepemimpinan Hassan Tiro. Pemerintah
pusat menghadapi aksi kekerasan ini dengan berbagai operasi militer (Jaring
Merah, Wibawa, Rencong, Sawah, Rajawali, dan Cinta Meunasah) dan
perundingan.295
Setalah soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21
Mei 1998, seketika itu pula muncul gerakan massa terbuka yang menyuarakan
sikap anti militer dan anti Jakarta. Di tengah situasi politik yang tidak berpihak
kepada TNI dan di tengah derasnya tuntutan pengungkapan tindakan pelanggaran
HAM yang dilakukan TNI di Aceh pada masa pemerintahan Soeharto, pangila
294 Ibid Hlm 15 295 Ibid,Hlm 15
192
ABRI ( Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jendral Wiranto Berusaha
untuk meraih kembali kepercayaaan publik dengan mencabut status Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tanggal 7 Agustus 1998. Disamping
mencabut status DOM di Aceh, Jendral Wiranto juga meminta maaf atas
perlakuan individu TNI selama masa DOM.296 Pada waktu itu pula, Presiden
Habibie datang ke Aceh dan secara resmi berpidato di Masjid Raya Baiturrahman
Banda Aceh. Di hadapan masyarakat Aceh atas tindakan-tindakan pemerintah
Indonesia sebelumnya, terlebih bagi aparat keamanan, dan menjanjikan berbagai
program dan rencana kerja untuk membangun dan memperbaiki kembali keadaan
di Aceh.297
Pada masa reformasi, pemerintahan di bawah Presiden B.J. Habibie,
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang
Keistimewaan Provinsi Aceh diperkuat dengan dibuatnya UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bahkan,
Habibie menambah keistimewaan Aceh dengan memasukkan klausul “peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah”. Klausul ini ditindaklanjuti dengan
membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Badan ini
bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan
daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, serta
tatanan ekonomi yang islami. Undang-Undang penyelenggaraan Keistimewaan
296 Darmansjah Djumala, Op.Cit, Hlm 38. 297 Alyasa Abubakar, Op.Cit, Hlm 14
193
Provinsi Daerah Istimewa tersebut ditetapkan oleh Presiden B.J Habibie tanggal 4
Oktober 1999.298
Undang-Undang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa tersebut ditetapkan oleh Presiden B.J Habibie tanggal 4 Oktober 1999.
Belum sempat Undang-Undang ini diterapkan, muncul pula gagasan otonomi
khusus. Penggagasnya adalah lima orang Anggota MPR dari Utusan Daerah
Provinsi DI. Aceh, 12 orang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi
DI Aceh, dan seorang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi
Sumatera Utara. Mereka mensponsori pembentukan Simpul Bersama Anggota
DPR/MPR asal Aceh. Pada tanggal 11 Oktober 1999, mereka menulis surat
kepada Pimpinan MPR, seluruh Pimpinan Fraksi, dan semua Pimpinan Panitia
Ad. Hoc, yang intinya mengusulkan agar DI. Aceh diberi kedudukan sebagai
Daerah Otonomi Khusus (DOK). Gagasan ini ibarat air mengalir deras, tidak
tertahankan. Pemerintah Pusat suka tidak suka terpaksa menggulirkannya supaya
tuntutan referendum yang didesakkan GAM, yang mendapat dukungan cukup luas
dari berbagai lapisan masyarakat, batal sehingga Aceh tidak lepas dari ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya Timor Timur.299
Dalam kerangka penyelesaian masalah Aceh, pemerintah pusat seringkali
melakukan kebijakan militeristik yang represif, ini membuat rakyat Aceh sangat
menderita, mereka hidup dalam kemiskinan, kebingungan, ketakutan, merasa
tertekan dalam berbagai aspek, namun pemerintah pusat kembali menggelar
operasi-operasi militer setelah di cabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM)
298 Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia,Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta,
dan Yogyakarta, Cetakan Pertama (Jakarta: Kemitraan, 2008), Hlm 15 299 Ibid Hlm 16
194
pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yaitu pada tanggal 8 Agustus
1998.300
Angin segar baru berhembus pada awal 2000, ketika Abdurrahman Wahid
menjabat sebagai Presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid diharapkan adanya langkah-langkah pemerintah yang berorientasi kepada
penyelesaian konflik Aceh, Presiden Abdurrahman Wahid mencoba melakukan
pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan
mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Namun, di tengah jalan
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan.
Ketetapan MPR tersebut pada Sidang Umum Tahunan MPR Tahun 2000
melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 merekomendasikan supaya
secepatnya Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, maka
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, yang pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan yang
merupakan kekhususan dalam bidang pelaksanaan Syari’at Islam, diakui Peran
Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai Penyelenggara Adat, Budaya, dan
Persatu Masyarakat, mendapatkan dana perimbangan keuangan yang besar dari
daerah lain dan ditetapkan Qanun sebagai Peraturan Daerah.
Pada 23 Juli 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri yang menggantikan
Abdurrahman Wahid dengan prioritas utamanya mempertahankan kesatuan
300 Riza Sihbudi, dkk, Op.Cit, Hlm 189
195
Negara. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 boleh dikatakan berbentuk
pemberian kewenangan khusus sesuai sejarah dan kondisi budaya masyarakat
Aceh. Kewenangan khusus tersebut tidak diberikan kepada daerah otonom lainnya
di Indonesia. Prinsip-prinsip pokok dari kewenangan khusus Provinsi NAD
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:301
1. Susunan dan Kedudukan Provinsi NAD, Wilayah Provinsi NAD
dibagi dalam Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai daerah
otonom. Sagoe dan Banda terdiri atas Sagoe Cut/Kecamatan, Sagoe
Cut terdiri atas Mukim, dan Mukim terdiri atas Gampong/Desa. Titik
berat otsus berada pada provinsi yang pelaksanaannya diletakkan
pada Sagoe dan Banda secara proporsional;
2. Kewenangan, Selain kewenangan Provinsi NAD dalam rangka otsus,
kewenangan lainnya sesuai peraturan perundangundangan tetap
berlaku, seperti kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan kabupaten dan kota, kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah, dan kewenangan di wilayah laut;
3. Keuangan, Zakat menjadi salah satu sumber pendapatan asli Provinsi
NAD. Selain itu, pajak penghasilan orang pribumi sebesar 20%
dibagi kepada Provinsi NAD. Untuk hasil pertambangan minyak
bumi jatah Aceh dinaikkan dari 15% menjadi 70%, dan
301 Djohermansyah Djohan, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Op Cit, Hlm 124-126
196
pertambangan gas alam dari 30% menjadi 70%, yang berlaku selama
8 (delapan) tahun. Tetapi mulai tahun kesembilan porsi Provinsi
NAD diturunkan menjadi 50 % baik untuk pertambangan minyak
bumi maupun pertambangan gas alam, atau sama besar dengan porsi
Pemerintah Pusat;
4. Lembaga Legislatif, DPRD Provinsi NAD adalah pemegang
kekuasaan legislatif yang jumlah anggotanya paling banyak 125%
dari yang ditetapkan Undang-Undang Pemilu. Lembaga legislatif
lokal ini tidak berwenang memilih gubernur/wakil gubernur. Tetapi
ia dapat meminta laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah
dan mengusulkan pemecatannya, jika LPJ tersebut ditolak;
5. Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe, Dalam rangka pelestarian dan
penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat
di Provinsi NAD dibentuk lembaga Wali Nanggroe dan Tuha
Nanggroe. Lembaga ini bukan merupakan lembaga politik dan
pemerintahan. Dia merupakan lembaga adat semata;
6. Badan Eksekutif, Gubernur/Wakil Gubernur, termasuk Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, dipilih secara langsung oleh
rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui Pemilu yang dilaksanakan
oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan diawasi oleh Komisi
Pengawasan Pemilihan (KPP). Kedua komisi ini dibentuk oleh
DPRD. Di samping itu, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
bertanggung jawab kepada DPRD. Salah satu syarat utama untuk
197
dicalonkan menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah adalah
menjalankan syariat agamanya;
7. Hak Pemilih Pemilih di Provinsi NAD mempunyai 7 (tujuh) macam
hak, yaitu: memilih KDH dan Wakil KDH, mengawasi proses
pemilihan KDH dan Wakil KDH, mengajukan penarikan kembali
recall anggota DPRD, mengajukan pemberhentian sebelum habis
masa jabatan KDH dan Wakil KDH,mengajukan usulan kebijakan
pelaksanaan pemerintahan daerah, mengajukan usulan
penyempurnaan dan perubahan qanun, dan mengawasi penggunaan
anggaran;
8. Kepolisian Daerah dan Kejaksaan, Pengangkatan Kapolda dan
Kepala Kejaksaan Tinggi dilakukan dengan persetujuan gubernur.
Di samping itu, seleksi, pendidikan dasar dan pelatihan umum, serta
penempatan polisi wajib memperhatikan sistem hukum, budaya, dan
adat istiadat yang berlaku di Provinsi NAD. Hal yang sama juga
berlaku bagi seleksi dan pengangkatan jaksa;
9. Mahkamah Syariyah, Dibentuknya lembaga Mahkamah Syariah
yang merupakan peradilan Syariat Islam baik di tingkat
kabupaten/kota maupun provinsi. Mahkamah Syariyah
kabupaten/kota merupakan pengadilan tingkat pertama, sedangkan
Mahkamah Syariyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding.
Adapun Mahkamah Syariyah untuk pengadilan tingkat kasasi
198
dilakukan pada Mahkamah Agung. Lembaga peradilan syariat ini
hanya diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Walaupun sesungguhnya merupakan salah satu langkah maju kebijakan
mengenai otonomi di Indonesia di era reformasi, namun kenyataannya tidak juga
menjadi andalan untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Sebenarnya, tujuan umum
dari pemberian otonomi khusus kepada suatu daerah adalah untuk mencegah
disintegrasi bangsa dan memberi kewenangan yang lebih luas, lebih khusus,
kepada pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan di
daerahnya. Pada 19 Agustus 2001 sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh, di
samping itu ada upaya-upaya lain, antara lain : memasukan politik luar negeri
sebagai bagian penting dari enam program kerja kabinet ini merupakan langkah
yang tepat.302
Penyelesaian konflik Aceh tidak bisa dilakukan dengan cara membiarkan
melakukan dialog politik dengan pemerintah. Untuk mengakhiri pemberontakan
di tubuh orang Aceh hanya ada satu jalan, yakni operasi terpadu. Berlakunya
kesepakatan Penghentian Kekerasan Cessation on Hostilities Agreement (CoHA)
yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Namun lagi-lagi jalan
buntu menghadang kedua belah pihak. Sementara pemerintah tengah mengkaji
tiga alternatif kebijakan yang akan diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam,
keluarlah Keputusan Presiden No.18 tahun 2003 yang diumumkan pada 19 Mei
2003 untuk menerapkan status darurat militer di Aceh.
302 Bantoro Bandoro, “Politik Luar Negri Republik Indonesia : Tantangan, Agenda, dan
Strategi dalam 30 tahun CSIS”, Hlm 2-3.
199
Tiga alternatif tersebut adalah keadaan darurat militer dilanjutkan, keadaan
darurat militer diturunkan menjadi darurat sipil, atau darurat militer yang hanya di
terapkan di wilayah rawan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
adanya tiga alternatif kebijakan tersebut, maka dilanjutkan kepada
diberlakukannya status darurat sipil atas keputusan Presiden Megawati Soekarno
Putri selama enam bulan, terhitung mulai tanggal 19 Mei 2004, untuk Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini disampaikan dalam keputusan Presiden
Megawati Soekarno Putri kepada pers di Istana Negara Jakarta, Selasa 18 Mei
malam, dengan status darurat sipil, penguasa sipil daerah dipegang Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh. Sebagaimana kebijakan-kebijakan
pemerintahan sebelumnya, upaya-upaya pemerintahan Presiden Megawati
Soekarno Putri tidak akan secara otomatis dapat meredakan kekerasan dan
ketegangan yang dirasakan masyarakat Aceh. Sebuah harga yang harus dibayar
Megawati atas kemesraannya dengan militer pasca jatuhnya Abdurrahman Wahid.
Akibatnya bisa ditebak, sejarah berulang, kekerasan demi kekerasan terus
berlangsung di Serambi Mekah.
Pemberian status otonomi khusus belum menyelesaikan konflik
Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Hasan
Tiro, yang mengendalikan organisasi ini dari Swedia. Namun, kebijakan
Pemerintah Indonesia yang cenderung ekstra-represif pada era Orde Baru, untuk
mengatasi gerakan separatis dan kebijakan sentralistik yang menguras kekayaan
Aceh ke Jakarta telah membuat keterbelakangan di Aceh, dan menyebabkan
dukungan kepada GAM terus tumbuh, bahkan ada yang berasal dari kalangan
200
militer.Pada era pasca reformasi, gerakan GAM melakukan amorfi dengan
membentuk jaringan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang melakukan
kampanye internasional. Di antaranya yang paling vokal adalah SIRA (Sentral
Informasi Referendum Aceh). Secara fisik, pergerakan GAM semakin meningkat,
terlebih pasca DOM (kebijakan Daerah Operasi Militer). Tekanan GAM di satu
sisi dan melemahnya peran Pusat di sisi lain membuat proses politik di Aceh
semakin tidak menentu.303
Sesungguhnya Presiden Megawati tidak serta merta langsung menerapkan
darurat militer bagi Aceh. Akan tetapi, pada masa awal pemerintahannya Presiden
Megawati telah berusaha memberikan solusi konflik bagi Aceh melalui otonomi
khusus. Otonomi khusus dijadikan cara untuk mengakhiri konflik di Aceh,
melalui Undang-Undang 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh, yang di tandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 9
Agustus 2001.
Keadaan militer di Aceh tercipta karena jalan damai melalui formula
COHA ala HDC kandas di tengah jalan. Harapan masyarakat Agar masalah yang
ruwet dan berlalut terselesaikan di meja perundingan juga kandas, karena
dihadang tembok berupa sikap “ngotot” Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
terus memperjuangkan aspirasi separatisnya (kemerdekaan). Sikap GAM yang
keras kepala selama ini secara faktual-gamblang menunjukan betapa sulitnya
mengkompromikan dua kutub kepentingan/orientasi yang berbeda tajam (apalagi
303 Agung Djojosoekarto,Rudiarto Sumarwono dan Cucu Suryaman, Op.Cit, Hlm 16-17
201
disertai penggunaan kekuatan senjata).304 Akan tetapi dari setiap perundingan
yang dilalui dan pemberian otonomi khusus juga tidak menghentikan perlawanan
GAM, GAM masih tetap menuntut kemerdekaan dari Indonesia, oleh karena itu
tidak ada cara lain bagi pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik Aceh
kecuali melalui pendekatan militer. Dalam konteks inilah megawati memberikan
status Darurat Operasi Militer bagi Aceh.
Menurut penulis, penolakan terhadap Undang-Undang 18 Tahun 2001
oleh rakyat Aceh ada 3 faktor yaitu, Pertama bahwa masyarakat Aceh belum bisa
menerima otonomi khusus yang terkesan dipaksakan oleh Pemerintah Negara
Republik Indonesia dengan situasi konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia
yang semakin bergejolak dan pemerintah Indonesia tidak memberikan kesempatan
kepada GAM untuk adanya masukan (perudingan) terlebih dahulu dalam
menerapkan otonomi khusus tersebut, Kedua rasa kekecewaan yang teramat besar
masyarakat Aceh terhadap pemerintahan Indonesia yang mendarah daging dan
menginginkan kemerdekaan (lepas dari Negara Indonesia) yang tidak bisa di obati
hanya dengan pemberian status otonomi khusus. Ketiga bahwa pemerintah Aceh
merasa bisa melawan Pemerintah Indonesia karena kekuatan militer GAM dan
dukungan dari masyarakat Aceh sendiri, itu yang membuat rasa percaya diri GAM
meninggi dan layak untuk mendapatkan kemerdekaan.
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dirasa
belum mampu memberikan kedilan bagi masyarakat dimana konflik bersenjata
antara RI dan GAM terus berlangsung yang banyak menelan korban jiwa. Konflik
304 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Op.Cit, Hlm 169-172
202
yang telah berlangsung cukup lama berakhir dengan ditandatanganinya nota
kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15
Agustus 2005 atau yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki. Tahap ini
merupakan tahap awal untuk mewujudkan perdamaian yang abadi di Aceh. Masa
perdamaian inilah lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA), merupakan amanah dari kesepakatann tersebut dan
mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).305
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengatur dengan tegas bahwa
Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan
di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem
pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada
dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban
konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di
Aceh.306 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan
pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan
mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu
transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan
otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik
305 Mukhlis ,Op Cit. Hlm 86-87 306 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
203
dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi
kebijakan pemerintahan daerah.
Istilah otonomi khusus tidak disebutkan dalam judul Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006, namun terdapat beberapa ketentuan yang menyarankan
bahwa Aceh mempunyai “otonomi khusus”. Hal ini dapat di lihat dari beberapa
ketentuan antara lain:
1. Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dijelaskan Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh
seorang Gubernur.307
2. Pasal 22 ayat (2) menyebutkan DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk
membentuk alat-alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai dengan
kekhususan Aceh.308
3. Pasal 78 ayat (2) huruf b: yang berkaitan dengan tujuan khusus partai
politik lokal disebutkan memperjuangkan cita-cita partai politik lokal
307 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 308 Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
204
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai
kekhususan dan keistimewaan Aceh.309
4. Pasal 179 ayat 2 sub b yang berkaitan dengan salah satu sumber
pendapatan daerah Dana Otonomi Khusus. Dalam Penjelasan umum
disebutkan Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan
Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan
khusus.310
Terkait dengan hal tersebut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006,
menyebutkan:311
1. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
2. Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan
tertentu dalam bidang agama.
3. Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri;
309 Pasal 78 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh. 310 Pasal 179 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh. 311 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
205
b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
dan/atau instansi Pemerintah; dan
d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas
pembantuan”.
Berdasarkan hal tersebut maka kewenangan pemerintahan Aceh
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, terdapat beberapa
kekhususan antara lain:
1. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota,
kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong.312
2. Kewenangan berkaitan dengan persetujuan internasional yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.313
3. Kewenangan dalam pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.314
4. Kewenangan dalam hal kerjasama internasional, Pemerintah Aceh dapat
mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali
yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut
312 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 313 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 314 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
206
dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara
langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. Hal ini
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
menyebutkan:315
a. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga
atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan
Pemerintah.
b. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam
kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.
c. Dalam hal diadakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa
Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
5. Kewenangan dalam pembentukan badan/lembaga/komisi, hal ini datur
dalam Pasal 10 yaitu:316
a. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat
membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-
Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang
menjadi kewenangan Pemerintah.
315 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 316 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
207
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan
dan/atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Qanun.
6. Berkaitan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA/DPRK), bahwa
jumlah anggota DPRA 125% dari ketentuan nasional317,Juga dipilih
melalui pemillihan umum yang diikut oleh partai nasional (parnas) dan
partai lokal (parlok). DPRA mempunyai kewenangan khusus atau
tambahan yaitu:318
a. Memberikan pertimbangan untuk rencana pembuatan persetujuan
internasional yang berkaitan langsung dengan Aceh.
b. Memberikan pertimbangan terhadap rencana pembentukan
undang-undang yang berkaitan langsung dengan Aceh.
c. Mengusulkan pembentukan Komisi Independen Pemilihan (KIP)
KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Panwas.
7. Berkaitan dengan gubernur Aceh dipilih melalui pemilihan umum yang
diajukan oleh Partai politik nasional, partai politik lokal serta calon
perseorangan. Menyangkut kewenangan gubernur mempunyai tugas dan
wewenang khusus/tambahan yaitu:
a. Melaksanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan syari’at
Islam.319
317 Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tenang pemerintah Aceh. 318 Mukhlis, Op.Cit, Hlm 95 319 Pasal 42 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh.
208
b. Melakukan konsultasi dan memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan administratif yang ditetapkan oleh Pemerintah yang
berkaitan langsung dengan Aceh.320
c. (1) Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan
Gubernur. (2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan
diterima. (3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala
Kepolisian Republik Indonesia mengangkat Kepala Kepolisian di
Aceh. (4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan,
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan satu
kali lagi calon lain. (5) Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh
dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.321
d. (1) Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara
Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh
dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam dan
budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh, (2)
Pendidikan dasar bagi calon bintara dan pelatihan umum bagi
bintara Kepolisian Aceh diberi kurikulum muatan lokal dan dengan
penekanan terhadap hak asasi manusia, (3) Pendidikan dan
320 Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 321 Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
209
pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berasal dari Aceh dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia, (4) Penempatan bintara dan perwira
Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke
Kepolisian Aceh dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan
hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat istiadat.322
8. Kekhususan Aceh juga berkaitan dengan adanya partai politik lokal
(parlok) yang secara tegas diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 yaitu :323
a. Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.
b. Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga Negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah
berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen).
c. Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan
dengan akte notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga, serta struktur kepengurusannya.
d. Kepengurusan partai politik lokal berkedudukan di ibukota Aceh.
322 Pasal 207 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 323 Pasal 75 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
210
e. Kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh persen).
f. Partai politik lokal memiliki nama, lambang, dan tanda gambar
yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai
politik atau partai politik lokal lain.
g. Partai politik lokal mempunyai kantor tetap.
h. Untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) partai politik lokal
harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh persen) di kabupaten/kota dan 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang
bersangkutan.
9. Berkaitan dengan kelembagaan di Aceh, dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 juga dikenal adanya lembaga Wali Nangroe sebagai
kepemimpinan adat, membina kehidupan adat dan memberikan
pertimbangan terhadap penyusunan ketentuan adat oleh lembaga adat serta
memberikan gelar kehormatan atau derajat adat. Lebaga Wali Nanggroe
bukan lah lembaga politik dan pemerintahan, mengenai Wali Nanggroe
tersebut diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 97 yaitu:324
324 Pasal 96 dan 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
211
Pasal 96 :
a. Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan
berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan
lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat
dan upacaraupacara adat lainnya.
b. Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di
Aceh.
c. Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan
independen.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara
pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler,
keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe
diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 97 : Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau
derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar
negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh.
10. Adanya Mahkamah Syar’iyah merupakan salah satu kekhususan di Aceh
yang mempunyai kewenangan tambahan yaitu mengadili perkara pidana
yang terkait dengan pelaksanaan syaria’at islam. Pasal 125, Pasal 128,
212
Pasal 129 ayat (2) dan Pasal 235 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006, yaitu :325
Pasal 125 :
a. Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,
syar’iyah dan akhlak.
b. Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah
(hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 128 :
a. Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem
peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang
dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh
pihak mana pun.
b. Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh.
c. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan
jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.
325 Pasal 125, Pasal 128, 129 ayat (2) dan Pasal 235 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
213
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah.
Pasal 129 ayat (2) :
a. Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan
jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undangundang Hukum
Pidana berlaku hukum jinayah.
Pasal 235 ayat (4) :
a. Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur
tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui
uji materi oleh Mahkamah Agung.
11. Kewenangan khusus lain juga berkaitan dengan sumber daya alam
dibagian ketiga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal
158, Pasal 159, Pasal 160 dan Pasal 165 . lebih lanjut juga berkaitan
dengan keuangan Aceh, berkaitan dengan sumber keuangan
Aceh/kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 179-181 serta pengelolaan
keuangan khusus diatur dalam Pasal 182 dan 183 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006.
12. Selain itu juga dikenal adanya bendera, lambang dan himne sebagaimana
diatur dalam Pasal 246-248 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
214
Pada saat UUPA disahkan, banyak elemen Aceh yang menolak UUPA
tersebut, termasuk GAM saat itu. Bahkan, masyarakat sipil saat itu menggelar aksi
di Masjid Raya Baiturrahman tentang penolakan UUPA yang tidak sesuai dengan
MoU Helsinki. Sejumlah organisasi HAM, meminta Pemerintah memperhatikan
penolakan rakyat Aceh terhadap Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Sikap ini diperlukan untuk semakin memperkuat kondisi Aceh setahun setelah
penandatangan MoU Helsinki yang jauh lebih kondusif. Bila revisi UUPA belum
memungkinkan.
Ada beberapa poin dalam MoU Helsinki yang belum dimasukan kedalam
Undang-undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yaitu
:326
1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak
untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan
oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan
perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik
investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di
laut teritorial di sekitar Aceh.
326 Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(Mou Helsinki)
215
4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan
sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di
wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
5. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik
Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.
6. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-
negara asing, melalui laut dan udara.
7. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
Ditambah lagi, dengan perangkat hukum belum mampu menangani kasus-
kasus kekerasan dan pelangaran HAM yang terjadi dalam satu tahun pertama
paska MoU Helsinki. Meski tindak kekerasan menurun, tercatat TNI masih
terlibat dalam tindak kekerasan (18 kali), diantaranya penembakan terhadap
anggota AMM, mantan anggota GAM dan penduduk sipil. Sementara Polisi
terlibat tindak kekerasan sebanyak 13 kali, antara lain penggunaan kekerasan
berlebihan terhadap warga sipil paska pembakaran Mapolsek Bandar Meriah.
Peristiwa-peristiwa itu mengakibatkan 76 laki- laki, 3 perempuan, 7 anak-anak,
dan 4 mantan anggota GAM.pemerintah tidak tegas terhadap keberadaan milisi.
Pemerintah dan TNI tidak mengakui keberadaan milisi, namun eksistensi milisi
diakomodir dalam struktur keanggotaan BRA (unsur Pembela Tanah Air-PETA).
Pemerintah membiarkan milisi secara terbuka menyerang kantor SIRA di Blang
Pidie, pada 17 Februari 2006. Di sisi lain, wakil Pemerintah di AMM dan
Pangdam IM malah mempersoalkan keberadaan SIRA dan WALHI yang
dituduhnya ilegal. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap nasib korban
216
pelanggaran HAM, membuat masyarakat mengambil inisiatif menggali sejumlah
lokasi yang diduga sebagai kuburan massal. Penggalian dilakukan di lokasi-lokasi
yang berdekatan dengan pos-pos militer non organik yang ditarik paska MoU
Helsinki.327
Hal tersebut yang membuat masyarakat Aceh menolak UUPA yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh, pemerintah pusat akan menjanjikan
bahwa akan segera melakukan revisi terhadap UUPA dan disesuai dengan Mou
Helsinki namun sampai saat ini masih belum terlaksana dikarenakan pada saat itu
terjadi bencana Tsunami, perpecahan politik di interen GAM. Yang terjadi
kemudian adalah isu-isu penyempurnaan UUPA ini kemudian menjadi komoditi
politik semata. Hingga akhirnya, ditambah lagi lahirnya partai politik lokal,
terutama PA. Diakui atau tidak, PA telah mengakibatkan UUPA dan MoU
Helsinki ini menjadi isu eksklusif bagi mereka. Inilah kegagalan pertama
rekonsiliasi Aceh menyeluruh secara politik.
D. Problematika Penerapan Otonomi Khusus Yang Diberikan Oleh
Pemerintah Indonesia Terhadap Provinsi Aceh
Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah negara yang memiliki satu
kesatuan teritorial dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau
Rote, satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Indonesia, satu kesatuan
kepemilikan sumber kekayaan alam yang diperuntukannya sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan rakyat, satu kesatuan ideologi negara yaitu ideologi
327 DAMAI? Setahun Aceh Paska MoU Helsinki, Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006,Hlm 3-
6
217
Pancasila, satu kesatuan politik nasional yang harus selalu berpihak pada
kepentingan nasional (national interest), satu kesatuan perekonomian nasional
yang harus selalu berpihak pada upaya mensejahterakan rakyat Indonesia, satu
kesatuan budaya nasional yang memiliki jati diri Indonesia sebagai karakter
nasional dan sistim pertahanan keamanan nasional yang khas menurut
karakteristik Indonesia, itulah makna yang dalam dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.328 Negara Kesatuan yang berbentuk Republik atau lebih dikenal
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia sudah beberapa
kali mengalami perubahan bentuk negara yaitu: bentuk negara Federal, Kesatuan
atau sistem pemerintahan yang parlementer, Semi-Presidensil, dan Presidensil.329
Negara kesatauan adalah Negara yang tidak tersusun dari beberapa
Negara, melainkan hanya terdiri atas satu Negara, seehingga tidak ada Negara di
dalam Negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu
pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang
tertinggi dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan kebjakan pemerintahan
dan melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-
daerah.330 Dilihat dari segi kedaulatan, esensi negara kesatuan, menurut Mirian
Budiarjo: negara kesatuan adalah kedaulatan tidak terbagi atau kekuasaan
pemerintah pusat tidak terbagi. Menurut pembawaannya esensi negara kesatuan
merupakan negara dengan sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi
328 Soepandji Susilo Budi, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 2012, Hlm 173-
175 329 http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/lambang-dan-bentuk-negara/bentuk-negara,
Hari sabtu Tanggal 30 Januari 2016 Pukul 20:20 WIB 330 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), Hlm 224
218
oleh kekuasaan lain. Kemudian lebih lanjut Thorsten melihat bahwa pada negara
kesatuan sebagai negara dengan sentralisasi kekuasaan, menurut Thorsten: negara
kesatuan atau negara dengan senralisasi kekuasaan ialah negara-negara yang
seluruh kekuasaannya dipusatkan, tanpa pembagian kekuasaan antara
pemerintahan pusat dengan pemerintahan bagian-bagian negara itu. Pemerintah
bagian-bagian negara itu hanyalah bagian pemerintah pusat yang bertindak
sebagai wakil-wakil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan administrasi
negara.331
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pad tanggal 17
Agustus 1945, sejak awal disepakati untuk mendirikan suatu negara yang
menganut paham unitaris dengan sendi desentralisasi. Secara tersirat kaidah yang
termaktub dalam konstitusi menjadi jiwa pelaksanaan pemerintah daerah di
Indonesia.332 Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), dinyatakan dengan tegas bahwa
negara Indonesia adalah negara kesatuan kesatuan yang berbentuk Republik.
Prinsip negara kesatuan ialah pemegang tumpuk kekuasaan tertinggi atas segenap
urusan negara adalah Pemerintah Pusat tanpa ada suatu delegasi atau pelimpahan
kekuasaan kepada Pemerintah Daerah. Di dalam negara kesatuan, tanggung jawab
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan
Pemerintah pusat. tetapi karena sistem pemerintah Indonesia menganut asas
negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang
diurus oleh pemerintah lokal sendiri. Hal ini, pada gilirannya, akan menimbulkan
hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan hubungan kewenangan dan
331 Anthon Raharusun, Op Cit, Hlm 97-98 332 Ibid
219
pengawasan. Negara kesatuan merupakan batas dari isi pengertian otonomi.
Berdasarkan landasan batasan tersebut, dikembalikanlah berbagai peraturan
(rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara
tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi. Di sini pulalah letak kemungkinan
spanning yang timbul dari kondisi tarik-menarik antara kedua kecenderungan
tersebut.333
Tarik-menarik itu bukanlah sesuatu yang perlu dihilangkan. Kehidupan
bernegara dan pemerintahan tidak terlepas dai kehidupan bernegara dan
pemerintah tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat, baik masyarakatnya
ssendiri maupun masyarakat di luarnya. Dalam hal ini, yang pokok adalah
menciptakan mekanisme yang wajar agar setiap tarikan bukan saja sebagai
peringatan (warning), tetapi sekaligus sebagai masukan (feeding) bagi yang
lain.334
Keinginan untuk memisahkan diri terlepas dari negara induknya dan
merdeka pada hakikatnya hanya merupakan salah satu tujuan dari pemberontakan
yang terjadi disuatu negara. Tujuan pemberontakaan lain salah satunya adalah
untuk menuntut otonomi yang lebih luas. Apa pun maksud dan tujuan kaum
pemberontak, termasuk kaum separatis, hal itu merupakan perbuatan melanggar
hukum nasional negara setempat terjadinya pemberontakan tersebut. Disintregasi
bangsa atau separatisme (secession) merupakan salah satu bentuk konflik internal
makro selain perang (eksternal) dan konflik ideologi (internal). Data separatisme
333 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op Cit,
Hlm 54-55 334 Ibid, Hlm 56
220
menunjukan beberapa hal menarik. Pertama, faktor “sejarah integrasi”, apakah
integrasi karena “dipaksa”, “terpaksa”, atau “sukarela”, cukup berperan. Kedua,
faktor “bentuk negara sebelumnya”, apakah terdiri dari satu atau lebih, cukup
berperan. Ketiga, penerapan negara federal tidak dapat berfungsi sebagai indikator
jika integrasi dilakukan secara “paksa” atau karena “terpaksa” atau karena
perbedaan etnik dan ekonomi. Keempat, faktor kekuatan eksternal dapat
mendorong disintegrasi dan mencgah disintergrasi negara. Kelima, disintegrasi
negara dapat berbentuk “total” (yang lepas dari satu) maupun “partial”. Keenam,
perbedaan agama, etnik, dan sosial-ekonomi membantu menndorong disintegrasi.
Ketujuh, semakin sedikitnya generasi pertama integrasi yang penuh denga emosi
nasionlisme dapat mempengaruhi integrasi.335
Untuk Indonesia, proses integrasi nasional bukanlah hal yang mudah, karena
latar belakang sosial dan politik daerah yang membentuk Indonesia sangat
berbeda. Persoalan yang paling rumit dalam kaitannya dengan proses integrasi
nasional Indonesia adalah bagaimana menghubungkan loyalitas kedaerahan yang
sempit menjadi loyalitas terhadap negara bangsa. Proses integrasi nasional
mengalami batu ujian yang sangat berat pada era pertengahan dan akhir tahun
1950-an. Konflik yang melibatkan kepentingan militer kemudian berhimpitan
pula dengan kepentingan Pemerintah Nasional dengan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya situasinya bertambah komplek dengan munculnya dimensi etnisitas,
wilayah dn agama dalam konflik Indonesia. disadari atau tidak, dan diakui atau
tidak, pada masa Orde Baru terjadi proses “jawanisasi” yang dilakukaan oleh
335 Ibid, Hlm 57-58
221
Jakarta ataupun orang-orang di daerah. Segala bentuk kebijaksanaan Pemerintah
Daerah harus mendapat pengesahan dan pengakuaan dari Jakarta, kalau tidak,
kebijakan itu tidak ada artinya. Di sinilah sebenarnya bibit-bibit ancaman terhadap
integrasi nasional mulai tumbuh. Rasa ketidakpuasan terhadap Jakarta diam-diam
mulai dimunculkan secara terbuka. Ketidak puasan akibat ketimpangan dalam
distribusi pendapatan nasional berakumulasi dengan kemunculan semangat
“micronationalism” ,maka persoalan pemeliharaan sebuah “nationstate”
meruapakn tantangan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah dan bangsa,
apalagi saat ini Pemerintah mengalami kesulitan untuk menentukan modus
operandi yang untuk tepat meghadapi gerakan bersenjata seperti di Aceh.336
Sejarah Aceh merupakan contoh dari kenyataan pahit yang mengetahui
awalnya kemerdekaan Republik Indonesia hingga orde baru dan ketika subtansi
sebenarnya harus di berikan kepada struktur negara baru ini. Ketika hubungan
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah harus di beri definisi dan
ketika aturan main dalam bidang politik dan agama negeri ini yang tidak dapat di
elakkan, karena pada masa Orde Baru, Pemerintah Pusat menganggap GAM
adalah warga yang mengganggu stabilitas keamanan nasional. Hubungan yang
tidak harmonis antara pemerintah pusat menjadi sebab dari rentetan konflik di
Aceh. Mulai dari Presiden Soekarno Hingga Soeharto, tidak pernah sungguh-
sungguh memperhatikan aspirasi rakyat Aceh. Kekecewaan yang mengakibatkan
ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah itu akhirnya membuahkan
336 Ibid, Hlm 58-59
222
perlawanan yang terkordinir dan mengakibatkan lahirnya gerakan perlawanan,
maka munculah GAM.337
Kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat mengakibatkan
terjadinya protes dan pemberontakan yang digerakkan oleh Tengku Muhammad
Daud Beureuh yang didukung oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Setelah
melewati proses tarik ulur yang panjang akhirnya tahun 1959 ke luar keputusan
Perdana Mentri Mr. Hardi No. 1/Missi/1959, bahwa propinsi Aceh di beri nama
Daerah Istimewa Aceh. Namun daerah istimewa Aceh ini menurut pengertian
daerah dan pusat berarti pemberian otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam
bidang keagamaan, adat dan pendidikan. Tetapi, sekali lagi rakyat Aceh merasa
dikhianati oleh pemerintah pusat, karena dalam kenyataan sehari-hari status
daerah istimewa Aceh tidak terwujud, sebab yang berlaku untuk mengatur
pemerintahan sehari-hari adalah UU No. 1/Tahun 1957 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah.338
Cara dan pendekatan untuk menyelesaikan konflik di Aceh bermacam-
macam caranya menurut pola Pemeritahan masing-masing presiden. Pemerintah
Orde Baru yang cenderung menerapkan sistem pemerintahan daerah yang
sentralistik lebih mengedepankan dengan pendekatan secara militer. Sementara
pemerintahan Presiden Habibie pada awal reformasi lebih menggunakan
pendekatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, Presiden Habibie pun memulihkan
status Istimewa Aceh dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 Tahun 1999
337 Dewi Fortuna Anwar, dkk., ed., Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-
Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), Hlm 223-224 338 Alyasa Abubakar, Penerapan Syari’at Islam DI Aceh, Op Cit, Hlm 6-8
223
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Keistimewaan itu meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama.339
Dengan cara pendekatan yang sedemikian rupa untuk mengakhiri konflik yang
dilakukan oleh pemerintahan Presiden Habibie tetap tidak dapat menghentikan
konflik di Aceh, karena masyarakat menuntut jauh lebih luas untuk pemberian
status otonomi khusus. Masyarakat Aceh menginginkan bukan hanya di bidang
agama, adat, pendidikan dan peran ulama.
Setalah berakhirnya masa pemerintahan Presiden Habibie, seteah itu
digantikan oleh Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diharapkan adanya
langkah-langkah pemerintah yang berorientasi kepada penyelesaian konflik Aceh.
Maka dikeluarkanlah beberapa Inpres, antara lain Inpres No. 4 Tahun 2001
tentang langkah-langkah Komprehensif Penyelesaian Konflik Aceh, yang
kebijakannya mencakup 6 bidang yaitu, politik, ekonomi, sosial hukum dan
ketertiban manusia, keamanan, pendidikan dan media (informasi dan
komunikasi).340 Menyelesaikan masalah Aceh yang paling rumit adalah persoalan
persepsi antara lokal dan pusat. perbedaan persepsi masyarakat lokal yang sangat
menginginkan referendum secara mutlak sangat berbeda yang di inginkan oleh
pemerintah pusat yang tetap ingin mempertahankan Provinsi AcehK.H.
Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat sebagai presiden RI memberi 3 opsi
339 Syamsudin Haris, Op Cit, Hlm 119 340 “Inpres No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam rangka
penyelesaian Aceh”
224
mengenai referendum ini, yaitu (1) otonomi total, (2) otonomi luas dan (3)
otonomi khusus.341
Pada tanggal 30 Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid meminta
kesediaan Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) untuk berperan sebagai
penengah dalam proses perundingan atau untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan
guna menyelesaikan konflik Aceh. Presiden Abdurrahman Wahid lebih
menekankan dialog kemanusiaan melalui HDC342 Kekerasan terus terjadi di Aceh,
jeda kemanusiaan tetap yang berlaku 2 Juni 2000 dan berakhir pada 15 Januari
2001.Kendati HDC dianggap gagal, lembaga tersebut setidaknya memberikan
pengalaman bahwa dialog dan pertemuan untuk membahas konflik yang
mengakar di Aceh bukan sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Nanum
HDC dirasa cukup membawa dampak positif bagi edua belah pihak karena
dengan HDC antara Pemerintah Pusat dan Aceh mau melakukan dialog dan
timbul rasa percaya antara kedua belah pihak.343 Kegagalan perundingan
sebelumnya, yang difasilitasi Henry Dunant Center (HDC), menurut Sadiah,
terletak pada momentum yang kurang tepat344.
Pada 23 Juli 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri yang menggantikan
Abdurrahman Wahid dengan prioritas utamanya mempertahankan kesatuan
Negara. Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
341 Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 62-63 342 Koflik Etnis Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, 2003), Hlm 128. 343 Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Internasional, Hlm 58 344 Bob Sugeng Hadiwinata, dkk, Tranformasi Gerakan Aceh Merdeka Dari Kotak Peluru ke
Kotak Suara Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombtan di Aceh, (Jakarta:FES, 2010),
Hlm 35
225
sudah di berlakukan undang-undang No. 18 tahun 2001 mengenai Status Otonomi
Khusus.345 . Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno
Putri sudah diberlakukan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 mengenai
pemberlakuan Otonomi Khusus. Dengan berlakunya undang-undang tersebut
Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Undang-undang tersebut mengatur antara lain pembagian pendapatan
antara pusat dan daerah yaitu 30 dan 70%, pelaksanaan syari’at Islam dengan di
bentuknya Mahkamah Syariah dan pemilihan gubernur NAD secara langsung.
Dengan adanya Undang-undang No 18 tahun 2001, memberikan beberapa
implikasi yang cukup penting, di antaranya Penetapan Undang-Undang tersebut
merefleksikan pergeseran inisiatif legislasi dari birokrat pusat kepada parlemen
dan provinsi sehingga bukan saja pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, akan
tetapi dari birokrat ke parlemen. Implikasi dari keduanya adalah diambilnya
strategi yang berbeda oleh pemerintah pusat terhadap konflik di Aceh.
Harapan untuk mengakhiri persoalan di Aceh secara damai dan bermartabat
tetap kuat di awal pemerintahan Megawati. Ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
pernyataannya bahwa dia tidak akan mengijinkan setetes darah pun dalam
penyelesaian konflik di Aceh. Kedua, Megawati berusaha melanjutkan negosiasi
yang difasilitasi oleh HDC. Sayangnya, kepentingan politik nampaknya lebih
mendominasi pemikiran dan kebijakan Megawati. Agar pemerintahannya lebih
stabil, dibandingkan pemerintahan Wahid, Megawati berusaha merangkul
kekuatan-kekuatan politik termasuk TNI. Strategi ini menggiring pada kebijakan
345 Tsunami dan Bakti Taruna, Op Cit, Hlm 19
226
untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara domestik dan menghidupkan kembali
pendekatan koersif dan militeristik. Buktinya, pemerintahan Megawati
menghentikan secara sepihak perundingan yang difasilitasi HDC. 346
Pada 2002 pemerintah Indonesia dan GAM setuju berunding dengan
difasilitasi Henry Dunant Center. Ampon Man terlibat sebagai anggota tim
perunding di pihak GAM. Kesepakatan tercapai dan Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA) atau perjanjian penghentian permusuhan pun ditandatangani
kedua pihak. Setahun kemudian, GAM sepakat berunding lagi di Tokyo dengan
pemerintah Megawati Soekarno. Tujuan sebenarnya untuk memperpanjang
COHA. Ampon Man ikut lagi sebagai tim perunding dari Aceh bersama Tengku
Amni bin Ahmad Marzuki, Tengku Nashiruddin bin Ahmad, dan Tengku Usman
Lampoh Awe. Tim ini dipimpin Sofyan Ibrahim Tiba. Mereka berlima menginap
di Kuala Tripa, sebuah hotel di Banda Aceh, untuk persiapan berangkat ke Tokyo.
Namun, dua hari sebelum perundingan Tokyo, pada 16 Mei 2003, mereka
ditangkap dan dituduh akan kabur dari Aceh. Hanya hitungan jam setelah
penangkapan tim perunding ini, pemerintah Megawati Soekarno mengumumkan
status Darurat Militer bagi Aceh.347
Selanjutnya, Presiden Megawati mengeluarkan sebuah keputusan pada Mei
2003 tentang pelaksanaan operasi terpadu di Aceh. Tidak dapat dipungkiri bahwa
operasi terpadu ini sangat didominasi oleh aksi militer berskala penuh. Kekuatan
personil dan senjata dari semua angkatan (darat, laut, udara) dan kepolisian
346 Bob Sugeng Hadiwinata, dkk, Op Cit Hlm 79 347 Ibid, Hlm 54
227
dikerahkan. Ini ditopang oleh anggaran negara yang sangat besar. Tujuannya satu:
menghancurkan kekuatan perlawanan GAM. Dengan operasi militer ini secara
praktis bisa dikatakan bahwa pemerintahan Megawati mengingkari amanat
reformasi dan pernyataannya sendiri yaitu untuk menyelesaikan konflik Aceh
secara damai.348
Pemilu 2004 selanjutnya membawa perubahan penting terhadap cara
penyelesaian konflik Aceh. Megawati dan PDIPnya gagal mempertahankan
kekuasaannya. Dan pemilu langsung presiden memberi kemenangan pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Konsekuensinya,
kebijakannya yang nasionalis dan militeristik tidak bisa dilanjutkan.349 Tidak
beberapa lama setelah memenangkan kursi kepresidenan, Wakil Presiden Jusuf
Kalla khususnya menempuh langkah-langkah penting untuk memulai kembali
(restart) perundingan dengan para pemimpin GAM di Swedia. Namun, sebelum
perundingan berlangsung secara sistematis dan terorganisasi dengan baik, sebuah
bencana alam terjadi di Aceh. Bencana tsunami berkekuatan 9 SR pada 26
Desember 2004 meluluh-lantakkan pesisir Aceh (dan juga negara-negara lain di
Samudera Hindia). Sekitar 200.000 orang hanyut dan tewas diterjang gelombang
tsunami, seratus ribu lainnya dinyatakan hilang. Seluruh infrastruktur bangunan
(rumah, kantor, sekolah, dll), jalan raya dan transportasi serta komunikasi hancur
berantakan. Peristiwa ini merupakan tragedi kemanusiaan (oleh alam) yang maha
dahsyat. Sebuah tragedi berskala nasional dan internasional. Tragedi ini menjadi
pemicu penting bagi upaya penyelesaian persoalan Aceh. Bersamaan dengan
348 Ibid, Hlm 80 349 Ibid, Hlm 81
228
urgensi penyediaan bantuan kemanusiaan untuk para korban tsunami,
penyelesaian konflik Aceh pun menjadi satu keharusan. Dan itu harus dijalankan
secara manusiawi, yaitu dialog atau perundingan (negosiasi).350
Komitmen pemerintah SBY-JK kepada perundingan damai secara khusus
terlihat dari komunikasi yang terus-menerus antara JK dengan tim non-formal
yang dipimpin Farid Husein. Komunikasi yang intensif dan dukungan massif juga
ditunjukkan ketika perundingan memasuki tahapan formal yang dipimpin oleh
Awaluddin Hamid sejak Januari 2005. Mesin faksimil dan telepon di ruang kerja
dan di kamar tidur JK tetap tersambung untuk menjaga komunikasi dengan tim
perunding di Helsinki. mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dan
lembaganya (Crisis Management Initiative – CMI) dipilih dan diminta pemerintah
Indonesia untuk memfasilitasi perundingan damai. Pilihan atas CMI juga
didukung dan disetujui pihak GAM. Ini merupakan satu syarat penting dimana
pihak ketiga yang menjadi mediator atau fasilitator diterima oleh kedua pihak
yang akan berunding.351
Perundingan di Helsinki berlangsung selama lima putaran. Sebulan setelah
bencana tsunami putaran pertama berlangsung pada 27-29 Januari 2005. Ini
dilanjutkan dengan putaran kedua pada 21-23 Februari, ketiga pada 12-16 April,
keempat pada 26-31 Mei, dan terakhir 12-17 Juli 2005. Juga disepakati bahwa
kesepakatan tersebut akan ditandatangani dan berlaku efektif pada tgl 15 Agustus
2005, yang kemudian dikenal dengan Helsinki Memorandum of Understanding
350 Ibid, Hlm 82 351 Ibid, Hlm 91-92
229
(Helsinki MoU). Putaran pertama dan kedua tercatat sebagai awal yang sulit. Ini
terutama terkait dengan peletakan dasar rasa saling percaya (trust building) di
antara para perunding serta terhadap proses perundingan itu sendiri. Tahapan awal
ini juga ditujukan untuk mempelajari posisi politik masingmasing yang akan
dirundingkan.352
Dalam nota kesepahaman itu telah disetujui beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menegaskan komitmen untuk
menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat bagi semua. Kedua, Pemerintah Republik Indonesia dan GAM
bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan di Aceh dapat
diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara kesatuan
dan konstitusi Republik Indonesia. Ketiga, kedua belah pihak yang terlibat dalam
konflik sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik
tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pascaTsunami
tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Keempat,
kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa
saling percaya. Di dalam nota kesepahaman tersebut dirinci isi persetujuan yang
dicapai dan prinsip-prinsip yang akan digunakan untuk memandu proses
transformasi. Khusus menyangkut pengaturan pemerintahan di Aceh, telah
disepakati untuk memberikan kewenangan khusus kepada Provinsi Aceh melalui
suatu Undang-Undang baru tentang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.353
352 Ibid, Hlm 93-95 353 Djohermansyah Djohan, Op Cit, Hlm 127
230
Menurut pendapat penulis bahwa sejak Rezim Orde Lama hingga jatuhnya
rezim Orde Baru, beberapa usaha penyelesaian telah dilakukan untuk mengakhiri
konflik. Mulai dari pemberian Status Daerah Istimewa hingga pemberian otonomi
khusus yang begitu luas dibandingkan dengan daerah lain yang berada di Negara
Indonesia, hal tersebut tetap tidak bisa membuat situasi ketegangan antara
Pemerintah Pusat dan Provinsi Aceh mencair. Ada 5 (lima) fase yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia untuk melakukan perdamaian di tanah Aceh
yaitu:
Pertama, pada Kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat
dikarenakan perbedaan pernyataan presiden soekarno dikalimantan tentang bahwa
Indonesia bukan negara islam tapi nasionalis dan Aceh tidak boleh menerapkan
syariat islam, padahal dulu telaah dijanjikan oleh Presiden soekarno bahwa Aceh
berhak menerapkan syariat islam karena jasa Aceh begitu besar untuk Indonesia.
Namun Presiden Soekarno tidak menepati janjinya mengakibatkan terjadinya
protes dan pemberontakan yang digerakkan oleh Tengku Muhammad Daud
Beureuh yang didukung oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Setelah melewati
proses tarik ulur yang panjang akhirnya tahun 1959 ke luar keputusan Perdana
Mentri Mr. Hardi No. 1/Missi/1959, bahwa propinsi Aceh di beri nama Daerah
Istimewa Aceh. Namun daerah istimewa Aceh ini menurut pengertian daerah dan
pusat berarti pemberian otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam bidang
keagamaan, adat dan pendidikan. Tetapi, sekali lagi rakyat Aceh merasa
dikhianati oleh pemerintah pusat, karena dalam kenyataan sehari-hari status
daerah istimewa Aceh tidak terwujud, sebab yang berlaku untuk mengatur
231
pemerintahan sehari-hari adalah UU No. 1/Tahun 1957 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah. Karena tidak berjalannya keputusan Perdana Mentri Mr.
Hardi No. 1/Missi/1959 tentang nama Daerah Istimewa Aceh, maka konflik di
Aceh tetap bergejolak.
Kedua, runtuhnya rezim Orde Baru pada era tahun 1998 membuat
kehidupan baru dalam reformasi dan demokrasi di Negara Indonesia. Pada era
Pemerintahan Presiden Habibie pola penyelesaian konflik yang dilakukan berbeda
dengan para presiden yang terhahulu, Presiden Habibie lebih menggunkan
pendekatan kesejahteraan dan non militer. Presiden Habibie memulihkan status
Istimewa Aceh dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan
itu meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama. Namun pemulihan
status Istimewa Aceh tetap tidak bisa meredam konflik di Aceh karena keinginan
Aceh bukan soal bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama tapi telah
bertambah soal perekonomian.
Ketiga, Pada Masa Presiden Abdurrahman Wahid, mulai pada awal tahun
2000, serangkaian pembicaraan difasilitasi oleh LSM yang berbasis di Swiss,
Center for Humanitarian Dialogue (HDC), yang menghasilkan “jeda
kemanusiaan” (Humanitarian Pause) pada pertengahan tahun 2000. Meskipun
demikian, beberapa faktor yang terkait dengan kekurangan komitmen di kedua
belah pihak (baik dari pemerintah Indonesia dan GAM), kegagalan untuk
mencanangkan insentif yang tepat untuk menciptakan perdamaian yang
berkelanjutan, kekurangan kredibilitas dan kapasitas dari mediator untuk
232
melaksanakan persetujuan, Untuk menjadi mediator yang berhasil, sebuah LSM
tidak hanya harus mengerti duduk persoalannya tetapi harus juga memiliki
kapasitas institusional untuk mengatasi pemimpin negara dan pemimpin
kelompok serta pengganggu yang potensial, untuk memperlihatkan otoritas dan
reputasinya dalam area-area yang bermasalah, dan untuk menarik simpati dan
kehormatan dari kubu-kubu yang sedang berunding. Hal inilah yang gagal
dihasilkan oleh HDC. HDC bukan hanya LSM yang tidak terlalu menonjol, tetapi
juga memiliki kekurangan dalam pengaruh politik dimana misi penjaga
perdamaian PBB dapat membawa mediasi dan penerapan perdamaian. kegagalan
dari persetujuan tersebut untuk menyentuh pokok atau kunci permasalahan, dan
kehadiran dari pihak-pihak yang ingin merusak yang tidak terkontrol dari kedua
belah pihak, telah memicu jatuhnya persetujuan perdamaian. tidak adanya
fleksibilitas baik dari pemerintah Indonesia maupun GAM untuk melaksanakan
perundingan. Kekurangan fleksibilitas dan komitmen dari pemerintah Indonesia
dan GAM telah membuat proses perdamaian menjadi rentan. Di satu pihak,
pemerintah sangat berkeras bahwa Aceh harus tetap menjadi bagian dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan membawa kekecewaan bagi para
pemimpin GAM, pernyataan ini telah digunakan terus menerus bagi para
pemimpin militer Indonesia, para elit politik, dan para negosiator dalam berbagai
kesempatan dan ditempatkan sebagai salah satu acuan untuk negosiasi. Di pihak
lain, para pemimpin dan perwakilan GAM tidak cukup fleksibel untuk
memunculkan suatu strategi alternatif untuk mendiskusikan permintaan mereka
akan kemerdekaan. Setidaknya sampai tahun 2003, banyak pemimpin GAM
233
berkeras bahwa kemerdekaan penuh untuk Aceh adalah harga mati, sehingga tidak
dapat tercipta suatu negosiasi apabila pemerintah Indonesia juga berkeras bahwa
Aceh tetap menjadi bagian NKRI.Ketidak fleksibelan GAM dalam penyelesaian
perdamaian sedikit banyak berasal dari penilaian dan pemikiran yang salah dari
pemerintahan pasca Orde Baru yang disadari sebagai tonggak kejatuhan dan
disintegrasi wilayah. Sewaktu negosiasi perdamaian membutuhkan komitmen dari
kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dan GAM tidak menunjukkan komitmen
yang dibutuhkan sewaktu mereka gagal untuk memunculkan konsep yang baru
bagi masa depan politik dan ekonomi Aceh.354 Peran HDC sebagai LSM
internasional di anggap tidak bisa menyelesaikan masalah karena power dalam
dunia internasional kurang dan HDC hanya sebuah LSM biasa jadi untuk
menangani konflik antara Pemerintah Indonesia dan Aceh kurang tepat untuk
memilih HDC sebagai pihak ketiga. Karena hal tersebut tidak ada kesepakan
untuk berdamai antara Pemerintah Pusat dengan GAM dan konflik pun terus
terjadi.
Keempat, Pada masa pemerintahan Presiden Megawati soekarno Putri
kegagalan dalam negoisasi dan penerapan otonomi khusus yang di tolak,
kurangnya kredibilitas dan kapasitas dari mediator untuk menerapkan persetujuan
yang telah dicapai. Baik jeda kemanusiaan dan COHA mengalami kekurangan
kredibilitas dan kapasitas (teutama dari pihak mediator) untuk menerapkan
persetujuan. Kegagalan dalam menyentuh inti persoalan yang menjadi sumber
konflik. Kegagalan jeda kemanusiaan dan COHA dapat juga dihubungkan dengan
354 Bob Sugeng Hadiwinata, dkk, Op Cit Hlm 119-121
234
kegagalan dari kedua perjanjian tersebut untuk menyentuh pokok permasalahan.
Sementara jeda kemanusiaan ditujukan untuk mengadakan gencatan senjata,
COHA merupakan proses yang lebih pelik dan lebih ambisius yang melibatkan
aktivitas demobilisasi dan pelucutan senjata. Sebagai sebuah negosiasi
perdamaian, COHA gagal untuk mencapai persetujuan dalam beberapa masalah
kunci, seperti bagaimana cara mencapai suatu kompromi antara permintaan
kelompok separatis akan kemerdekaan dan pernyataan kuat pemerintah Indonesia
bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia, bagaimana penyatuan kembali mantan
anggota GAM harus dilakukan, dan sejauh mana mantan anggota GAM dapat
berpartisipasi dalam pemerintahan daerah. Sebuah penawaran akan otonomi
khusus (UU-NAD) yang diajukan oleh pemerintah Indonesia tidak dapat diterima
karena pemerintah sepertinya tidak tertarik untuk menyatukan mantan pejuang
GAM ke dalam masyarakat dan politik Aceh. Kegagalan (terutama dari pihak
pemerintah Indonesia) untuk memberikan insentif yang tepat sehingga GAM
benar-benar bersedia melakukan negosiasi. Pada awal penyelesaian perdamaian –
terutama COHA – insentif-insentif yang dapat menjamin terjadinya perdamaian
yang berkelanjutan gagal untuk dimunculkan. Dalam perundingan-perundingan
yang dilakukan, pihak pemerintah dibutuhkan untuk menawarkan atau
menyediakan insentif yang tepat kepada kelompok separatis untuk dapat membuat
mereka menerima persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam perjanjian. Dalam
usahanya untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh dan para pemimpin
GAM, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 18/2001 (UU-NAD) yang
menyatakan diberlakukannya syariah di propinsi tersebut. Bagi para elit politik,
235
pemaparan Aceh sebagai komunitas Islam merupakan penilaian yang salah
terhadap inti permasalahannya. Pemerintah Indonesia – pada tahun 2001-2004 –
juga salah membaca GAM sebagai organisasi Islam. Akibatnya, insentif ekonomi
dan politik bagi masyarakat Aceh gagal untuk diberikan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, GAM memiliki kekecewaan yang mendalam dalam
bidang ekonomi terhadap pemerintah pusat dan menggunakan etnisitas dan Islam
sebagai instrumen untuk memobilisasi pengikutnya dan membawa hal-hal tersebut
sebagai bagian dari identitas Aceh. Sehingga, kekosongan insentif politik dan
ekonomi telah membawa penyelesaian perdamaian ini dalam ketidakpuasan,
terutama bagi para pejuang GAM. Pada bulan Mei 2003, Presiden Megawati
mengeluarkan dekrit presiden No. 28/2003 yang mengumumkan bahwa keadaan
darurat militer di propinsi tersebut dan memerintahkan penyerangan militer secara
penuh yang tergabung dalam Operasi Terpadu, yang menandakan awal dari
konflik bersenjata yang paling brutal dan penuh dengan kekerasan di daerah
tersebut sepanjang pembentukan GAM pada tahun 1976.355 Pada era
kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dalam menyelesaikan konflik
di Aceh kepentingan politik nampaknya lebih mendominasi pemikiran dan
kebijakan Megawati. Agar pemerintahannya lebih stabil, Megawati berusaha
merangkul kekuatan-kekuatan politik termasuk TNI. Strategi ini menggiring pada
kebijakan untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara domestik dan
menghidupkan kembali pendekatan koersif dan militeristik. Demikian juga
dengan Megawati. Lebih parah lagi, anggota tim perunding GAM yang akan
355 Ibid, Hlm 120-124
236
berangkat ke Tokyo untuk melanjutkan perundingan mengenai penghentian
permusuhan (Cessation of Hositilities) April 2003 ditangkap dan ditahan di Banda
Aceh. Buktinya, pemerintahan Megawati menghentikan secara sepihak
perundingan yang difasilitasi HDC dan menetapkan Daerah Operasi Militer
(DOM) kepada Provinsi Aceh. Fakta-fakta ini menunjukkan kuatnya kekuasaan
politik dan komitmen moral dari pemimpin tertinggi pemerintahan akan
menghambat proses penyelesaian damai.
Kelima, Posisi SBY dan JK sebagai presiden dan wakil presiden tidak pelak
lagi menunjukkan kekuasaan pemerintahan tertinggi. Hal yang sama pentingnya
dengan kekuasaan yang berada di tangan SBY-JK adalah komitmen mereka pada
upaya penyelesaian persoalan di Aceh secara damai dan bermartabat. Keduanya
memiliki keyakinan yang kuat atas cara-cara damai. Mantan Presiden Finlandia
Martti Ahtisaari dan lembaganya (Crisis Management Initiative – CMI) dipilih
dan diminta pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi perundingan damai.
Pilihan atas CMI juga didukung dan disetujui pihak GAM. Pada tahun 2004
Tsunami meluluhlantahkan Provinsi Aceh dan memaksa GAM untuk melakukan
perundingan dikarekan pasca tsunami kekuatan GAM banyak berkurang.
Perundingan di Helsinki berlangsung selama lima putaran. Sebulan setelah
bencana tsunami putaran pertama berlangsung pada 27-29 Januari 2005. Ini
dilanjutkan dengan putaran kedua pada 21-23 Februari, ketiga pada 12-16 April,
keempat pada 26-31 Mei, dan terakhir 12-17 Juli 2005. Juga disepakati bahwa
kesepakatan tersebut akan ditandatangani dan berlaku efektif pada tgl 15 Agustus
2005, yang kemudian dikenal dengan Helsinki Memorandum of Understanding
237
(Helsinki MoU). Dan dengan kedua prinsip di atas, perdamaian yang langgeng
(sustainable peace) di Aceh akan dapat diwujudkan.356
Pasca penandatanganan MoU Helsinki pada 15 agustus 2005 yang
kemudian akan di implementasikan butir butirnya dalam UU No 11 tahun 2006
tentang pemerintahan Aceh, namun kenyataannya masih banyak hal-hal yang
sudah disepakati tidak dilaksanakan dengan konsisten, bahkan dalam UUPA
sendiri masih terjadi kesalah pahaman antara masyarakat, Pemerintah Aceh, DPR
Aceh dan Pemerintah Pusat. Undang-Undang No. 11/2006 itu tidak sesuai dengan
MOU Helsinki, mendorong elite Aceh menyuarakan perlunya revisi atas undang-
undang dimaksud agar isinya persis sama dengan MOU Helsinki, Upaya elite
Partai Aceh untuk merevisi Undang-Undang No. 11/2006 agar sama persis
dengan MOU Helsinki akan melalui proses yang tidak mudah, karena bagi
Pemerintah apa yang dimaksud oleh GAM sebagai self-government itu sama saja
dengan otonomi khusus yang luas dengan 3 elemen utama hak pendapatan migas
70%, syariat Islam. dan hak mendirikan partai lokal). Namun masalahnya
sekarang adalah isi MOU Helsinki itu dijabarkan oleh Pusat (baik oleh
Pemerintah maupun oleh DPR-RI) melalui Undang-Undang No. 11/2006 dengan
masih memberikan batasan-batasan kewenangan Aceh yang tidak persis sama
dengan MOU Helsinki, sehingga mengurangi makna self-government. Bahwa
pembatasan kewenangan Pemerintah Aceh oleh Pusat melalui Undang-Undang
No. 11/2006 merupakan konsekuensi dan sistem negara kesatuan yang dianut oleh
Indonesia. Meski perdamaian telah tercipta di Aceh berkat MOU Helsinki,
356 Ibid, Hlm 91-95
238
kecurigaan di pihak Pemerintah bahwa GAM masih menyimpan ide merdeka
belum sepenuhnya sirna.Diketahui bahwa memang suasana saling curiga antara
Pusat dan elite Partai Acehdan GAM masih ada, Yang dikhawatirkan kernudian
adalah jika nanti elite Partai Aceh dan GAM menunjukkan keseriusan terhadap
aspirasi self-government dan revisi Undang-Undang No. 11/2006 karena merasa
Pusat tidak merealisasikan isi MOU Helsinki seperti yang mereka harapkan.
Terlebih, beberapa kebijakan yang sudah di sepakati dalam MoU Helsinki dan
UUPA pun tidak mampu terimplementasi. Hal ini seperti pembentukan
Pengadilan HAM, Pembebasan Tapol/Napol, pembentukan KKR, dan Komisi
Klain korban konflik dan inilah yang membuat Aceh merasa dirugikan.357
Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa betapa rumitnya
permasalahan konflik yang terjadi antara Pemerintahan Indonesia dengan
Pemerintah Aceh. Problematika penerapaan otonomi khusus yang diberikaan oleh
Pemerintah Indonesia kepada Provinsi Aceh sangat komplek, terlihat bahwa sejak
masa Orde Lama, Orde Baru dan hingga masa reformasi penangangan konflik di
Aceh oleh pemerintah Indonesia masih bisa dibilang setengah hati. Unsur politik,
tarik menarik kepentingan masih mewarnai penyelesaian konflik di Aceh.
Seharusnya pemerintah Indonesia sudah harus bisa membaca situasi, kondisi dan
pembelajaran pada kesalahan masa lalu terhadap konflik di Aceh dengan
menemukan formula yang tepat sesuai dengan dasar konstitusi dan bentuk Negara
Indonesia. Agar setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia bisa
berjalan sebagaimana mestinya dan tidak seperti kebijakan terhadulu yang tidak
357Hasan Basri, Konflik Pemerintah Aceh Dan Pemerintah Pusat Pasca MoU Helsinki : Self-
Government, Jurnal POLITIKA, Vol. 5, No. 1, Oktober 2014, Hlm 1-10
239
bisa membaca situasi, kondisi dan pembelajaran kesalahan masalalu yang
akhirnya memberikan kebijakan yang tidak bisa dipenuhi oleh Pemerintah
Indonesia. Dari sekian banyak kewenangan khusus inilah, maka sangat wajar
dikatakan Aceh tidak saja berlaku otonomi luas (general competence), bahkan
selfgovernment. Hampir semua kewenangan pemerintahan, administrasi, politik,
hukum, ekonomi dan sosial-budaya dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintahan
Aceh. Namun demikian, ternyata kewenangan-kewenangan khusus ini dalam
aksinya hanyalah “menyerupai” bentuk self-government. Realitasnya, munculnya
deviasi (penyimpangan) dimana sebagian kewenangan-kewenangan ini sampai
sekarang tidak bisa dijalankan oleh pemerintah Aceh.