Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
50
BAB III
EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Bab ini akan membahas mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi
di Indonesia serta kritik penulis mengenai independensi Komisi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia berdasarkan sistem pemerintahan
presidensial.
A. Lembaga Independen di Indonesia
Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara
terminology memiliki istilah tunggal dan seragam. Kepustakaan inggris,
misalnya memakai atau menggunakan istilah political institution,
sementara dalam termologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat
organen. Sedangkan dalam bahasa Indonesia seringkali para ahli politik
dan tata negara secara resmi menggunakan istilah “lembaga negara”,
“badan negara” atau “organ negara”.1 Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan
kekuasaan. Cabang kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan
lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang kekuasaan ekskeutif,
legislatif maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah lembaga-
lembaga negara yang bekerja dibawah sistem masing-masing cabang
kekuasaan. Artinya, lembaga-lembaga ini menjadi organ pelaksana dari
1 Pendapat Sri Soemantri dalam Transkrip Diskusi Publik, “Eksistensi Sistem
Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI TAHUN 1945”, Komisi Reformasi Hukum
Nasional (KRHN), Jakarta, 9 September 2004.
51
organisasi kekuasaan negara, yang dalam bahasa George Jellineck
merupakan “contradiction in onjecto”. Jika negara tidak memiliki organ-
organ atau perlengkapan negara maka ia tidak sesuai dengan sifatnya.2
Singkatnya, keberadaan lembaga-lembaga negara menjadi niscaya untuk
mengisi dan menjalankan negara.3
Pada akhir abad ke 80-an dan awal 90-an yang dintandai dengan
runtuhnya rezim otoritarian di sejumlah negara komunis di Eropa Timur.
Selama periode ini disintegrasi sekaligus masifikasi kelembagaan terjadi
ditingkat negara yang selanjutnya terinstitusionalisasi melalui mekanisme
perubahan konstitusi dimasing-masing negara.4 Akibat gelombang baru
demokrasi ini, disejumlah negara khususnya yang mengalami proses
transisi demokrasi dari otoritarian ke demokratsi, muncul organ-organ
kekuasaan baru baik yang sifatnya independen (independent regulatory
agencies) maupun yang sebatas sampiran (state auxiliary agencies).
Munculnya organ-organ baru kekuasaan ini lazim dikenal dengan “komisi
negara”. Kelahiran komisi-komisi negara ini baik yang bersifat independen
maupun yang sebatas intermeditary merupakan bentuk kekalahan gagasan
trias politica atas perkembagan baru dan pergeseran paradigma
pemerintahan.5 Michael R. Asimov mengatakan bahwa komisi negara
independen yaitu organ negara (state organ) yang diidealkan indepeden
2 Lukaman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Eksistensi Komisi-
Komisi Negara (State Auxiliary Organ) Sebagai Organ Negara yang Mandiri dalam SIstem
Ketatanegaraan, Program Pasca Univ. Brawijaya-Univ.Widyagama, Setara Press, Malang, 2010,
h.25. 3 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan
Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, h29. 4 Cornelis Lay, State Auxeliary Agencies, Jurnal Jentera Edisi 12 Tahun III, Jakarta,
PSHK, April-Juni, 2006, h.6. 5 Zainal Arifin Mochtar, Op Cit, h.32-33.
52
dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan ekskeutif, legislatif, dan
yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.6
Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran
komisi-komisi negara yang merupakan imbas dari terpaan gelombang
ketiga demokrasi. Setidaknya dipengaruhi beberapa hal berikut. Pertama,
keresahan negara terhadap ketidakpastian dan kealpaan perlindungan
individu dan kelompok margial dari depotisme pejabat publik maupun
warga negara lainnya. Kedua, mencerminkan sentralisasi negara sebagai
otoritas publik, dengan sebuah tanggungjawab publik yang besar. Ketiga,
merupakan sebuah produk evolusi yang sifatnya incremental dan
komplementer terhadap organ-organ kekuasaan yang hadir terdahulu yang
merupakan hasil pemilihan gagasan trias politica.7
Selanjutnya menurut Firmansyah Arifin latar belakang yang
mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru
yang bersifat independen (komisi negara independen), yaitu: (i) tiadanya
kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya
korupsi yang sistemik, mengakar dan sulit untuk diberantas; (ii) tidak
independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain
tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainnya;
(iii) ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan
tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena
persoalan birokrasi dan KKN; (iv) pengaruh global, dengan pembentukan
apa yang dinamakan auxiliary organ state agency atau watchdog
6 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandenen
UUD NRI TAHUN 1945, Kencana, Jakarta, 2010, h.180. 7 Cornelis Lay, Op Cit, h.11-12.
53
institution di banyak negara; dan (v) tekanan lembaga-lembaga
internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global,
tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satusatunya jalan bagi
negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.8
Dalam konteks Amerika, kelahiran organ kekuasaan baru, yang
kemudian dikenal dengan istilah „komisi negara' atau administrative
agencies, sesungguhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate
Commerce Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada
1887. Kemudian dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda
dunia, Amerika Serikat menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus
mengatur dunia bisnis, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha.
Maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Federal Trade Commision.
Dalam periode berikutnya, di AS bermunculan sejumlah komisi negara
independen (independent regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya
tercatat 30an komisi negara independen yang dimiliki oleh Amerika
Serikat.9
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan kelahiran lembaga
negara tersebut telah terjadi setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto pada
tahun 1998. Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50an lembaga negara
bantu yang terbentuk dimana jumlah ini bisa saja bertambah. Pembentukan
lembaga negara tersebut dilakukan berdasarkan dasar hukum yang berbeda
8 Putusan MK RI Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 9 Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest" of
Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number 4, December
2007, h. 645-654.
54
yang mana dibentuk berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, UU maupun
dengan Kepres. Dengan perincian lembaga negara indepeden (independent
regulatory agencies) sekitar 13 dan lembaga negara eksekutif (executive
branch agencies) yang jumlahnya sekitar 40 lembaga.10
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mencoba memperkenalkan
model independensi yang dibangun oleh ajudikasi kontitusional. Hal ini
seperti dikemukakan MK RI dalam pertimbangan hukum putusan
No.005/PUU-IV/2006 perihal kelembagaaan Komisi Yudisial yang
independen megatakan bahwa :
Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan
mempertimbangkan pengertian “mandiri” dalam pasal 24B
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Pertanyaan
yang haris dijawab dalam hubungan ini adalah bagaimana
tafsiran yang harus diberikan terhadap syarat bahwa KY
bersifat mandiri yang kemudian oleh UU KY diartikan
sebagai keadaan bahwa KY dalam pelaksaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain
(vide Pasal 2 UU KY). Mahkamah Konstitusi berpendapat,
pengertian bahwa “KY dalam pelaksanaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh dari kekuasaan
lain” harus dimaknai sebagai kemandirian kelembangaan
dalam pengambilan keputusan, bukan kemandirian yang
bersifat perorangan anggota KY. Artinya, kemandirian KY
harus dimaknai sebagai kebebasan dari campur tangan dan
pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan
dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim
agung mapun dalam rangka pelaksanaan wewenang lain
menurut UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, KY tidak
dapat dikatakan tidak mandiri atau dengan kata lain
terdapat campur tangan dari pihak luar atau kekuasaan lain,
hanya karena alasan bahwa pengambilan keputusan
didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerja
sama atau koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman
10
Cornelis Lay, Op Cit, h.181
55
sendiri, in causa MA. Sesuai dengan kenyataan secara
universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya terdiri
atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota
masyarakat, sebagaimana telah dikemukakan di atas,
melainkan juga hakim agung duduk bersama anggota
komisi yudisial. Bahkan pada umumnya komisi yudisial
atau yang disebut dengan nama lain di dunia secara ex-
officio dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.
Alasan paling standar untuk menciptakan lembaga negara baru
adalah karena yang lama tak mampu lagi memberikan fungsi yang
sebenarnnya, sehingga kemudian di independensikan dengan tujuan
menggantikan lembaga yang lama. Alih-alih menciptakan good
governance yang efektif dan efesien, banyaknya lembaga malah cenderung
mendorong ke negara yang kegemukan kelembagaan, yang justru menjadi
semakin lemah, imbasnya terjadi ungovernability bukan tata kelola yang
baik.11
Secara umum pembentukan lembaga-lembaga independen adalah
bagian dari strategi yang dibentuk oleh kaum reformis yang mengambil
alih negara untuk memberikan impresi berhadapan dengan pemerintahan
baru.12
Dengan demikian , lembaga independen ini hadir sebagai
pengendali kekuasaan presiden dimana pemerintah konstitusional
berkuasa. Kelahiran lembaga independen tentunya menghambat presiden
dalam menjalankan tugasnya dalam bidang pemerintahan karena presiden
tidak memiliki kemampuan untuk memaksa lembaga ini mengikuti arah
kebijakan yang dibentuk atau yang telah di agendakan.
11
J. Kristiadi, Keberadaan State Auxiliary Bodies dalam Negara Demokrasi, Makalah dalam Dialog Nasional Hukum dan Non-Hukum: Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegraan, Surabaya, 26-29 Juni 2007, h. 5-6
12 Zainal Arifin Mochtar, Op Cit, h.36.
56
B. KPK Sebagai Lembaga Independen
1. Latar Belakang Pembentukan KPK
Tindak pidana korupsi yang telah meluas secara sistematis
sedemikian rupa sehingga merugikan keuangan negara, perekonomian
negara, dan menghambat pembangunan nasional, yang dengan demikian
sesungguhnya telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Bahkan, masyarakat
internasional pun secara tidak langsung mengakui sifat luar biasa dari
tindak pidana korupsi tersebut, sebagaimana tampak dalam Preamble dari
United Nations Convention against Corruption yang menyatakan13
:
“Concerned about the seriousness of problems and threats
posed by corruption to stability and security of societies,
undermining the institutions and values of democracy and
the rule of law, Concerned also about the links between
corruption and other forms of crime, in particular
organized crime and economic crime, including money-
laundering, Concerned further about cases of corruption
that involve vast quantities of assets, which may constitute
a substantial proportion of the resources of States, and that
threaten the political stability and sustainable development
of those States, Convinced that corruption is no longer a
local matter but a transnational phenomenon that affects
all societies and economies, making international
cooperation to prevent and control it essential....”
Indonesia merupakan Negara di Asia yang mencanangkan suatu
peraturan khusus terhadap pemberantasan korupsi. Sebagai bentuk nyata
tersebut dibentuklah peraturan mengenai pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya mulai di jalankan sejak
13
Risalah Sidang perkara Nomor 19/PUU-V/2007 perihal pengujian UU RI No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) terhadap UUD NRI
TAHUN 1945, h.11
57
dulu, namun sampai sekarang yang namanya korupsi di Indonesia belum
bisa diberantas secara tuntas malah makin berkembang. Sebelum lahirnya
Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia dahulu memiliki beberapa
lembaga pemberantas korupsi yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
Komite Anti Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi Tertib (OPSTIB),
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi Pemeriksaan Kekayaan
Negara (KPKPN), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.14
Perbuatan
korupsi di indonesia merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat
lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan
telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa” tetapi
“dituntut cara-cara luar biasa” (extra-ordinary enforcement).15
Selanjutnya KPK dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang mengatur antara lain, perlunya
dibentuk suatu lembaga oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri
atas Pemerintah dan masyarakat, sebagai upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara
konsisten undang-undang tindak pidana korupsi16
. Selain itu, untuk
14
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30
Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU
RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.326-329. 15
Ibid, 28. 16
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
58
mempercepat dan menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi,
dan nepotisme tersebut dibentuklah Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebagai tindak lanjut dari
kedua ketetapan MPR tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pembentukan komisi ini
merupakan amanat dari pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi
dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur
masyarakat. Ketentuan mengenai pembentukan,
susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban,
tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
diatur dengan Undang-undang.
Berdasarkan kedua undang-undang tersebut dibentuklah Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tanggal 27 Desember 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Konsiderans
Menimbang huruf b menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang
59
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif
dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.
secara historikal diketahui bahwa KPK lahir dari sebuah asumsi
bahwa pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-pokok pikiran
pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut dijelaskan bahwa
korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan
meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak
ekonomi dan hak sosial masyarakat..17
Selain itu yang membuat semakin
brutalnya korupsi diimbuhi dengan rusaknya pranata penegakan hukum
mulai dari kejaksaan, kepolisian hingga peradilan diberbagai tingkatan.18
Dengan kata lain bahwa, penegakan hukum untuk memberantas tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional salama ini terbukti
mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional,
dan berkesinambungan.19
Perlu diketahui bawah KPK merupakan lembaga
ad hoc atau tidak permanen karena dibutuhkan sebagai dorongan
kenyataan bahwa fungsi-fungsi lembaga yang sudah ada sebelumnya
(kejaksaan dan kepolisian) dianggap tidak maksimal atau tidak diharapkan
17
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di
Indonesia, : Percetakan Negara RI, Jakarta, 2002, h. 40 18
Saldi Isra, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi
Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.83. 19
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30
Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU
RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.255.
60
efektif melakukan pemberantasan korupsi. Jika kelak, pemberantasan
korupsi dapat dilakukan secara efektif oleh kepolisian dan kejaksaan tentu
keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.20
Reformasi bergaya neo-liberal dengan mendirikan lembaga-
lembaga independen seperti kehadiran KPK sebenarnya menjadi blessing
in disguise bagi Indonesia, kondisi Indonesia yang memang memerlukan
perbaikan dari sisi tata kelola, namun dari sisi lain berimplikasi pada
cengkraman modal asing dalam agenda neo-liberal yang makin kuat. Akan
tetapi, pada saat yang sama juga memiliki dampak positif dalam upaya
mendorong percepatan laju pemberantasan korupsi yang memang secara
nyata menjadi musuh di Indonesia. Memang ada kemungkinan pendirian
lembaga tersebut tidak berasal dari keinginan actor negara, sehingga
memerlukan tekanan lembaga keuangan internasional, karena memang ada
kebutuhan fakutal. Inilah yang ditenggarai oleh Danang J.Widoyoko
sebagai salah satu fakor penyebab kegagalan dari kebijakan dan strategi
reformasi kelembagaan pemberantasan korupsi, yakni First, the initiative
to combat corruption has not come from government. Inisiatif untuk
memerangi korupsi yang memang tidak dating dari pemerintah. Most of
agendas were driven by international financial institution, especially from
the International Monetary Fund (IMF), through the signing of Letters of
intent as a condition og IMF‟s support of Indonesia. Sebagian besar
agenda didorong oleh lembaga keuangan internasional, terutama dari Dana
Moneter Internasional (IMF), melalui penandatanganan Letter of intent
20
Jimly Ashiddiqie, Perkembagan dan Konsolidasi LEmbaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h.29
61
sebagai syarat dukungan IMF bagi indonesia. In the case, the ownership of
the strategy is on IMF, not the government of Indonesia. Dalam hal ini
kepemilikan dari strategi ini adalah pada IMF, bukan pemerintah
Indonesia.21
Vedi R.Hadiz melihat, pembentukannya tidak menjadi
sungguh-sungguh dan hanya sekedar untuk berbagi kekuasaan antara
aktor-aktor atau pelaku politik yang ada di DPR, atau masyarakat sipil
yang secara khusus terlibat dalam penyusunan undang-undang tertentu.22
Meski tidak menyantuMK RIan secara langsung soal keberadaan KPK,
tetapi menjadi semacam kewajiban tidak tertulis untuk menunjukkan
iktikad baik pemberantasan korupsi pada tahun 2002. Hal inilah yang
melatari kelahiran KPK sebagai lembaga negara independen yang
melakukan pemberantasan korupsi.
Secara yuridis alasan terbentuknya KPK diapat dilacak dalam
penjelasan umum UU KPK yang menyatakan sebagai berikut:
Tindak pidana korupsi di indonesia sudah meluas dalam
masyarakat, perkembagnan nya terus meningkat dari tahun
ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dank arena itu semua maka tindak pidana
21
Danang J. Widoyoko, Corruption Eradication and Oligarch, The Jakarta Post, 31
Desember 2004. 22
Vedi R.Hadiz, Desentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-
Institutionalist Prespective, The southeast Asia Reseach Centre (SEARC) of the City University of
Hong Kong, may 2003; Vedi R.Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia:a
Reconsideration of so-called „Democratic Transitions‟ dalam The Pacific Review, Vol.16, No.4,
2003; Richard Robinson dan Vedii R.Hadiz, Reorganizing Power In Indonesia:The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets, London, Routledge,2004.
62
korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini
terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan moetode penegakan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan suatu lembaga khusus yang memiliki
kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal,
intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah
indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat
dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotiseme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan
melakukan koordinasi dan supervise, termaksud melakukan
penyidikan, penyelidikan dan penuntutan, sedangkan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta
keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK
Menurut ketentuan Pasal 6 UU KPK menyebutkan bahwa terdapat
lima tugas KPK yang harus dilaksanakan yaitu koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
supervisi terhadap terhadap instansi yang berwenang melakukan
63
pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyidikan,
penyelidikan dan penunutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Agar tugas tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan
dibentuknya, KPK diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara
eksplisit terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14
UU KPK. Dalam melaksanakan koordinasi dengan instansi lain KPK
diberikan kewenangan hukum berdasarkan Pasal 7 UU KPK berupa:
a. Mengkoordinasi penyidikan, penyelidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang berkaitan;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
Dalam melakukan tugas supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
berdasarkan Pasal 8 UU KPK diberi kewenangan hukum untuk
melakukan tindakan-tindakan antara lain:
a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangannya yang berkaitan dengan pembeantasan
tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
b. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan.
64
c. Dalam hal KPK mengambilalih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara
beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
d. Penyerahan tersebut membuat dan menandatangani
berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada KPK.
Berkaitan dengan tugas KPK dalam melakukan penyidikan,
peyelidikan dan penuntutan perkara korupsi, Pasal 12 memberikan
kewenangan hukum kepada KPK sebagai berikut:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk
melarang seseorang berpergian ke luar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil
dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain
yang terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk memberhentikan sementara tersangka dari
jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
g. Mengentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau
pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsensi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau
terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diperiksa;
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
65
Dalam melaksanakan tugas pencegahan, berdasarkan Pasal 13 UU
KPK diberikan kewenangan hukum berupa:
a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara;
b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi
pada setia jenjang pendidikan;
d. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. Melakukan kampanye anitkorupsi kepada masyarakat
umum;
f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Mengenai tugas monitoring yang merupakan tugas KPK, Pasal 14
memberikan kewenangan hukum kepada KPK agar pelaksanaannya
berjalan efektif, yaitu:
a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi disemua lembaga negara dan
pemerintahan;
b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintahan untuk melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan
administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan jika saran KPK mengenai
usulan perubahan tidak diindahkan.
3. Independensi KPK di Indonesia
Pengertian dasar dari istilah 'independent' adalah adanya
kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam
dominasi personal maupun institusional. Sehingga, ada pelaksanaan
kehendak bebas (free will) yang dapat terwujud tanpa ada pengaruh yang
secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat keputusan atau
66
kebijakan. Secara filosofis, person atau institusi yang independen
(otonom) dibatasi oleh tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh otoritas yang
lebih tinggi (Iebih berwenang) yang dalam operasional selanjutnya tidak
lagi dapat mencampuri pelaksanaan fungsinya yang independen.23
Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan mengenai lembaga
independen dalam mempertimbangkan hukum Putusan MK RI Nomor
005/PUU-I/ 2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang
No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (UU KPI)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
MK RI RI menjelaskan bahwa :
“Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan
sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi
modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan
prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih
besar”
Alasan lain diperlunya sejumlah lembaga independen adalah sebagai
upaya untuk mendorong transparansi, pemerintahan yang bersih,
pemenuhan terhadap hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan. Dijelaskannya :
on the one hand, mechanisms were introduced to distance
certains from party political or purely government control
and to ensure transparent and clean government, while on
the other hand there were various institutions designed to
further human rights and to prevent the abused of
government power.
Sebagaiamana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana :
23
Hendra Nurtjahjo, Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary
Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Tahun ke-35, No.3 Juli-September 2003, h.280.
67
“lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangannya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Penjelasan Pasal 3 dijelaskan bahwa
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan
manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau
anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif,
yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi
ataupun dengan alasan apapun. ”
Dalam putusan MK RI RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menegaskan
bahwa sifat independen KPK bahwa rumusan dalam Pasal 3 UU KPK itu
sendiri telah tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain
yang terumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud, yaitu bahwa
independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun
adalah dalam hanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar” Pasal ini mengindikasikan pemberian penegasan terhadap
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar” yaitu dianutnya sistem pemerintahan presidensial, dengan
mempertegas kedudukan Presiden sebagai kepala negara (head of state)
sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government) tidak dapat
dipisahkan dan dipilih langsung oleh rakyat, sehingga Presiden memiliki
kewenangan sebagai “the sovereigh executive” untuk menjalankan
68
“independent power” dan “inheren power”,24
serta membangun
separation of power dan hubungan cheks and balances antar lembaga
negara.25
KPK selanjutnya diklasifikasikan sebagai Komisi Negara. Komisi
Negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di
Amerika Serikat dikenal sebagai administrative agencies. Menurut
Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to
carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative
agencies fall in the executive branch, but some important agencies are
independent.26
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa lembaga
administrasi merupakan bagian dari pemerintahan yang dibentuk dengan
undang-undang untuk menjalankan fungsi khusus dalam
mengimplementasikan undang-undang dimana lembaga ini merupakan
bagian dari eksekutif tetapi beberapa lembaga khusus bersifat mandiri.
Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah bersifat biasa atau
independen, Asimov melihatnya dari segi bagaimana mekanisme
pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut.
Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen, hanya
dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-
24
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta 2007, h. 226 25
Sudirman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah
Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.3. 26
putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006
69
undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi
negara biasa, dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden.27
Melihat karakteristik tersebut maka berdasarkan sistem
pemerintahan presidensial dimana Presiden memiliki kedudukan sebagai
kepala pemerintahan (chief of executive) memiliki fungsi yakni
memimpin dan yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas
eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan,
presiden memiliki hak prerogatif yaitu mengenai pengangkatan dan
pemberhentian pejabat eksekutif guna menjalankan tugas pemerintahan
sehari-hari, sehingga Presiden dapat mengontrol, mengawasi dan
mengarahkan pejabat eksekutif agar memastikan bahwa seluruh aturan di
eksekusi sebagaimana mestinya. Secara teoritis, hak prerogatif
diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga
tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat
oleh lembaga negara yang lain.28
Sehingga demikian dalam menjalankan
pemerintahan tersebut pada akhirnya presiden akan bertanggungjawab
atas segala tindakan yang berkaitan dengan fungsi pemerintahannya
kepada rakyat yang berdaulat yang memilihnya secara langsung dalam
pemilihan umum..
27 Michael R. Asimov, Administrative Law, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga
Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-
Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.20. 28
H.Kaharudin, H.M. Galang Asmara, Minolah & Haeruman Jayadi, Hak Prerogatif
Presiden dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Berdasarkan UUD NRI TAHUN 1945, Jurnal media Hukum Volume 23 No.2, Desember 2016,
h.139.
70
Dalam konteks KPK, pengisian jabatan tidak dilakukan oleh satu
lembaga saja akan tetapi terdiri dari beberapa lembaga dalam rangka
mewujudkan check and balance. Berdasarkan Pasal 30 UU KPK
Pimpinan KPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden
Republik Indonesia. Namun sebelumnya untuk melancarkan pemilihan
dan penentuan calon pimpinan KPK, Pemerintah membentuk panitia
seleksi yang bertugas melakukan seleksi terhadap calon-calon yang
mendaftar menjadi pimpinan KPK. Panitia seleksi ini terdiri dari unsur
pemerintah dan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab KPK berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa: KPK bertanggungjawab
kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya
secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Karakteristik lembaga independen selanjuntya ialah berkaitan erat
dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dilakukan berdasarkan
sebab-sebab yang diatur dalam UU pembentukan lembaga yang
bersangkutan, tidak sebagaiamana lazimnya lembaga eksekutif lainnya
yang dapat diberhentikan oleh Presiden. Hal serupa dibahas oleh William
F.Fox Jr. bahwa suatu lembaga negara adalah independen apabila
dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang lembaga
tersebut. Atau, apabila presiden dibatasi untuk tidak secara bebas
memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan
71
komisi.29
Dalam konteks KPK mekanisme pemberhentian diatur dalam
Pasal 32 UU KPK.
Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi
Presiden, William F. Funk dan Richad H. Seamon memberikan penjelasan,
bahwa sifat independen dari suatu komisi terefleksikan sedikitnya dari tiga
hal: pertama, kepemimpinan yang bersifat kolektif, bukan hanya dipimpin
oleh seorang pimpinan; kedua, kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas
berasal dari partai politik tertentu; dan ketiga, masa jabatan para pemimpin
komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).30
Karakterisitik ini terdapat di dalam UU KPK yang diatur dalam Pasal 21
ayat (5) UU KPK yang menyatakan “pimpinan komisi pemberantasan
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bekerja secara kolektif”
dan Pasal 21 ayat (1) huruf a menyatakan “pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Selain itu, kepemimpinan KPK tidak dikuasai
atau tidak mayoritas berasal dari partia politik tertentu (nonpartisan)
dimana salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK
harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 huruf h UU KPK, yang
menyatakan “tidak menjadi pengurus salah satu partai politik.” Mengenai
masa jabatan KPK bersifat definitif, dan habis secara bersamaan. Hal ini
29
Willian F.Fox Jr, Understanding Administrative Law, Lexis Publishing, Printed in the
united States of America, new York, 2000, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga Negara
Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen
Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.56. 30
William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and
Explanations, New York, Aspen Publishers, Inc, 2001, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga
Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-
Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 23.
72
tercermin dalam Pasal 34 UU KPK yang menyatakan : “pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.”
Dengan demikian, untuk kategori ini KPK hanya memenuhi karakteristik
masa jabatan pimpunan definitif, namun tidak menggunakan penggantian
secara bertahap (staggered terms).31
Melihat karakteristik yang telah disebutkan tersebut, maka KPK
mempertegas kedudukannya sebagai lembaga independen.
C. Kritik Terhadap KPK Sebagai Lembaga Independen di
Tinjau dari Sistem Pemerintahan Presidensial
Pada sub bab ini, akan mengkritik karakteristik KPK tersebut di
dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dengan
menggunakan teori yang dikenal dengan unitary executive theory.
1. KPK sebagai Eksekutif
Prinsip penting dalam sistem pemerintahan presidensial ialah
hanya dikenal satu macam eksekutif yang dipegang oleh Presiden yang
mana presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR akan tetapi
bertanggung jawab kepada rakyat karena dipilih secara langsung.
kekuasaan eksekutif yang berada di satu tangan maka akan memperkokoh
kedudukan dan kekuasaan presiden. Sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif tunggal tentunya bahwa Presiden harus menjalankan fungsi
31
Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies
Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta,
2012,h. 107.
73
pemerintahannya secara mandiri dan bebas dari kontrol lembaga
legislatif.32
Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar”. Pasal ini menjelaskan bahwa presiden ialah bukan saja
memegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan akan tetapi sebagai
kepala pemerintahan (chief of executive). Hal ini kemudian memberikan
arti bahwa segala urusan pemerintahan dan seluruh lembaga yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan tunduk dibawah presiden. Demikian
maksud dari kekuasaan pemerintahan menurut ketentuan tersebut ialah
kekuasaan eksekutif.
Presiden sebagai kepala pemerintahan, memiliki makna bahwa
Presiden memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
Melaksanakan undang-undang memiliki pengertian yang luas, tidak hanya
kekuasaan untuk membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
sebagai sarana untuk melaksanakan undang-undang, namun secara
substansial, melaksanakan undang-undang memiliki makna kekuasaan
untuk mencapai tujuan negara.33
Meskipun kewajiban untuk mewujudkan
tujuan negara merupakan tanggung jawab semua lembaga negara dan juga
32
Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Alumni,
Bandung, 2010, h.84.
33
Sudriman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah
Terhadap Kedudukan Presiden dengan Lembaga Negara yang lain dalam UUD NRI NRI Tahun
1945), Fakultas Hukum Brawijaya, h.10.
74
seluruh bangsa Indonesia, namun secara riil kekuasaan eksekutif yang
mengemban kewajiban tersebut untuk diwujudkan. Mengemban kewajiban
sedemikian besar tersebut, menjadikan kekuasaan eksekutif dibekali alat
kelengkapan negara yang paling lengkap mulai dari kabinet, serta pejabat-
pejabat pelaksana mulai dari pusat sampai daerah. Presiden dan alat
kelengkapannya eksekutif yang dimilikinya tersebut, bertanggung jawab
secara penuh melaksanakan undang-undang, administrasi negara dan juga
hubungan luar negeri.34
Akan tetapi terdapat hal yang cukup mengganggu pemurnian
kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pada dasarnya
dianutnya unitary executive dalam sistem pemerintahan presidensial
dimaksudkan Presiden dapat menjadi sentrum kekuasaan. Sebagai sentrum
kekuasaan, Presiden tidak dibutuhkan memiliki hubungan kausalitas atau
saling tergantung dengan lembaga negara yang lain, kecuali hubungan
cheks and balances. Kedudukan Presiden dalam menjalankan kekuasaan
eksekutif adalah kuat tidak membutuhkan dan tergantung pada dukungan
lembaga legislatif.35
Hubungan Presiden dengan DPR menjadi salah satu penentu
dianutnya sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini
merepresentasikan hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
Berbeda dengan negara dianutnya plural executive dalam negara dengan
sistem pemerintahan parlamenter dimana kekuasaan terbesar ada pada
34
Ibid,h.10-11 35
Ibid, h.17.
75
parlamen sehingga tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan
eksekutif kepada dukungan parlamen. Implikasi dari besarnya kekuasaan
parlamen ialah legislatif memiliki kekuatan yang sangat besar karena dapat
membentuk peraturan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif.
Di Indonesia KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan
tindak pidana korupsi, jelas bahwa berdasarkan Pasal 3 UU KPK
pembentuk UU membentuk KPK sebagai lembaga negara yang berdiri
sendiri diluar kekuasaan eksekutif, bahkan dapat disebut sebagai ”super
body” dalam sistem peradilan pidana yang sudah eksis sebelumnya yakni
kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu berkembang penafsiran lain yang menempatkan KPK
sebagai lembaga yudikatif karena menajalnkan fungsi yang berpedoman
pada Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang”. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk selanjutnya
mengatakan bahwa berkaitan dengan tugas dan wewenang KPK adalah
melakukan penyidikan penyelidikan dan penuntutan. Dengan demikian
KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU yang
fungsinya berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.36
Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK termasuk badan-badan lain yang
36
Putusan MK RI No.012-016-019/PUU-IV/2006, h.133.
76
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tertuang dalam Putusan MK RI
No.012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan37
:
“Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien
dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga
pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting
secara konstitusional (constitutionally important) dan
termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal
24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945”
Fungsi yudikatif sendiri diartikan sebagai suatu fungsi yang
mamiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus serta
berperan untuk mengawasi jalannya undang-undang. Berdasarkan hal
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjalankan fungsinya
KPK tidak dapat dimasukkan dalam kekuasaan yudikatif karena KPK
tidak memiliki kewenangan seperti halnya peradilan yakni sampai pada
memberikan putusan. Sehingga demikian dikatakan bahwa KPK
merupakan bagian dari cabang eksekutif karena KPK menjalankan fungsi
pemerintahan dibidang penegakan hukum yang berkaitan dengan
pemberantasan korupsi yang mana berdasarkan sistem pemerintahan
presidensial yang termuat dalam UUD NRI telah memberikan fungsi
pemerintahan tersebut kepada Presiden sebagai satu-satunya pemegang
kekuasaan pemerintahan.
37
Putusan MK RI No.012-016-019/PUU-IV/2006, h.269.
77
2. KPK Sebagai Eksekutif Seharusnya Koheren Dengan Pasal 4
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Dalam susunan tata negara Indonesia, UUD NRI Tahun 1945
menjadi dasar negara serta sumber dari segala kekuasaan. UUD NRI
Tahun 1945 ini yang kemudian menetapkan dan membatasi kekuasaan,
yang menjaga dan memelihara undang-undang, menetapkan kewajiban
dan tanggungjawab tertentu. Berdasarkan kepadanya, kedaulatan tertinggi
berada ditangan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945.
Setelah mengetahui dengan jelas tugas dan fungsi KPK yang sama
dengan fungsi pemerintahan yang disusun dalam UUD NRI Tahun 1945
maka bedasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memberikan
kekuasaan eksekutif kepada presiden sebagai kepala dari cabang
kekuasaan pemerintahan (chief of executive). Presiden kemudian
mengepalai suatu badan eksekutif yang besar yang melingkupi departemen
eksekutif yang masing-masing dibawah pimpinan seorang anggota
kabinet. Dengan perantaraan badan eksekutif tersebut, presiden
melaksanakan peraturan-peraturan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU
yang dibentuk oleh Kongres, serta menyelenggarakan pekerjaan
pemerintahan guna kepentingan seluruh rakyat. Dengan kekusaan yang
didapat langsung dari UUD NRI Tahun 1945 maka segala jabatan yang
berada dibawah eksekutif lainnya bertanggungjawab kepada presiden.
Sistem pemerintahan Indonesia dibawah UUD NRI Tahun 1945,
sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem pemerintahan presidensial. Baik
dalam penjelasan umum UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam pengertian
78
umum yang berkembang selama ini, indonesia memang menganut sistem
pemerintahan presidensial. Akan tetapi, dalam prakteknya terjadi
Indonesia tidak benar-benar menganut sistem presidensial. Hal ini dapat
dilihat dengan kehadiran KPK di tingakat UU yang kemudian diidealkan
sebagai lembaga independen.
Kehadiran lembaga independen pada tingkat UU memiliki arti
bahwa UU tersebut telah merubah ketentuan dalam UUD NRI.
Berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan jelas bahwa konstitusi
atau dalam hal ini ialah UUD NRI merupakan dasar hukum yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Sehingga berdasarkan asas
hukum bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi. Demikian maka, UU tidak boleh
secara mendasar merubah ketentuan dalam UUD NRI, apalagi sampai
pada membatasi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial.
Kehadirannya selanjutnya tentu telah membatasi kekuasan presiden
dalam bidang pemerintahan yang telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945. Pembatasan kekuasaan presiden tersebut dapat
dilihat dari 2 hal yakni pertama, mengenai pengangkatan dan
pemberhentian pejabat eksekutif tidak dapat dilakukan oleh Presiden
karena telah dibatasi dalam undang-undang KPK yang dibentuk oleh
legislatif, sehingga presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat
atas perbuatan dalam konteks ketatanegaraan yang dilakukan oleh KPK,
dan yang kedua mengenai pengurangan fungsi presiden dalam
79
menjalankan pemerintahan dibidang penegakan hukum dalam hal ini
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.
a. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Hal Pengangkatan
dan Pemberhentian Pejabat Eksekutif
Sistem pemerintahan merupakan sistem yang menjelaskan
hubungan/relasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang
kekuasaan legislatif. Dalam kaitan ini, sistem pemerintahan negara
berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan
pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.
Cara pandang ini sejalan dengan doktrin dichotomy yang menempatkan
lembaga legislatif sebagai policy making (taakstelling) sedangkan
eksekutif sebagai policy executing (taak verwe-zenlijking). Berdasarkan
penjelasan paling mendasar itu, secara alamiah, sebagaimana ditulis
Patrick Ziegenhein dalam tulisannya “The Indonesian Legislature and Its
Impact on Democratic Consolidation” kapasitas untuk mengontrol potensi
penyimpangan kekuasaan eksekutif adalah tugas mendasar yang harus
dimiliki perlemen. Apabila diletakkan dalam desain bernegara Indonesia
yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.38
Dalam sistem pemerintahan presidensial, pola hubungan antara
lembaga eksekutif dan legislatif ialah kedudukan mereka yang sejajar
dimana lembaga eksekutif merupakan lembaga yang menjalankan
pemerintahan dalam konteks indonesia ialah presiden melaksanakan
ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 sedangkan kekuasaan legislatif
38
Putusan MK RI 36/PUU-XV/2017, h.114
80
ialah cabang kekuasaan yang memiliki kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan dan melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif
dalam hal menjalankan perintah UUD NRI Tahun 1945. Selain berbicara
mengenai pola hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, dalam sistem
pemerintahan presidensial selain berbicara mengenai kedudukan presiden
sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan (chief of executive)
juga berbicara menggenai kedudukannya sebagai kepala negara. Disinilah
kemudian kedudukan presiden bersifat unitary atau kekuasaannya bersifat
tunggal dan tidak dibagi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan teori
unitary executive presiden memiliki tugas untuk memastikan bahwa
seluruh peraturan dieksekusi sebagaimana mestinya demikian maka
dibutuhkannnya pembantu-pembantu presiden untuk menjalankan seluruh
peraturan tersebut. Di dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan,
susunan, dan keberlangsungan menteri dan pejabat eksekutif murni berada
di tangan seorang Presiden. Presiden memiliki hak prerogratif mengangkat
dan memberhentikan menteri dan pejabat eksekutif sesuai dengan
kebutuhannya dalam menjalankan roda pemerintahan dan guna
mewujudkan kepentingan rakyat secara umum. Keseluruhan negara yang
menganut sistem pemerintahan presidensial menempatkan kekuasaan
mengangkat menteri dan pejabat eksekutif lainnya di tangan Presiden
terlepas ada tidaknya ketentuan persetujuan kongres.
81
Berdasarkan teori executive bukan saja berbicara mengenai
kekuasaan eksekutif sebagai boss bagi seluruh pegawai pemerintah di
cabang eksekutif tetapi kedudukannya yang diplih oleh rakyat menjadikan
Presiden sebagai national figure yang kuat sehingga presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif tunggal tidak bertanggungjawab kepada
parlamen tetapi langsung bertanggungjawab kepada rakyat yang
memilihnya.39
Dalam konteks Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun
1945, presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan mendapat
mandat langsung dari rakyat sehingga pada akhirnya presiden harus
bertanggungjawab kepada rakyat yang sumber legitimasinya di dapat dari
UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian maka seluruh kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh para pejabat eksekutif akan dipertanggungjawabkan oleh
presiden. Akan tetapi, dalam konteks KPK yang memiliki kedudukan
sebagai lembaga independen tersebut kemudian membuatnya berbeda
dengan jabatan publik lain yang melaksanakan tugas yang sama
dengannya yakni kejaksaan dan kepolisian, dimana boss dari ke dua
lembaga tersebut ialah Presiden, sedangkan implikasi dari Presiden bukan
boss dari KPK ialah Presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat
dengan argument bahwa KPK bukanlah lembaga eksekutif.
Selain kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
pejabat eksekutif, konsep teori unitary executive menjelaskan bahwa
39
Denny Indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Lembaga Negara : Teori Lembaga Kepresidenan, Fakultas Hukum UGM, h.17.
82
presiden memiliki kewenangan untuk mengendalikan pejabat eksekutif
sebagai hak prerogatifnya tanpa keterlibatan dari kongres. Hal ini di
karenakan agar tugas pemerintahan dapat di jalankan secara baik dan
diimplementasikan secara benar. Akan tetapi di indonesia DPR terlibat
dalam menyusun lembaga independen dengan dibentuknya KPK
sebagaimana diketahui bahwa kehadirannya dibentuk berdasarkan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh DPR.
Konsekuensi dari keterlibatan DPR membentuk lembaga yang
menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang penegakan hukum
tersebut tentunya sangat jelas mengurangi “energi” eksekutif karena
kehadiran lembaga independen dapat menimbulkan penolakan terhadap
kebijakan presiden untuk mengontrol pemerintahan. Pengurangan tersebut
terlihat dengan jelas bahwa kemudian presiden tidak dapat lagi
menggunakan hak prerogatifnya untuk mengangkat dan memberhentikan
bahkan untuk melakukan pengawasan terhadap pejabat eksekutif karena
kewenangannya tersebut telah dibatasi oleh kongres didalam Undang-
Undang. .
Sri Seomantri menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan
presidensial, presidenlah yang mengetahui lembaga macam apa yang
diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan
83
tujuan nasional (negara).40
Dengan pendapat tersebut kemudian dapat
disimpulkan bahwa seyogianya bukanlah kongres yang harus membentuk
lembaga negara yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pemerintahan,
akan tetapi hal tersebut merupakan kewenangan dari presiden.
Konstitusi telah membatasi kekuasaan masing-masing lembaga
negara yang mana dalam menjalankan fungsi pemerintahan Presiden
dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kongres
atau DPR telah dibatasi hanya dalam hal pembuatan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rayat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.” Demikian maka DPR tidak memiliki
kewenangan untuk membatasi kekuasaan presiden karena kekuasaan
presiden dalam menjalankan kewenangannya telah dibatasi oleh konstitusi.
Pada prinsipnya pembatasan konstitusional menitikberatkan pada
pengaturan konstitusional secara benar bukan semata-mata untuk
meminimalisir fungsi lembaga negara, khususnya presiden yang bisa
sampai pada titik yang dapat melemahkan kekuasaannya atau mengurangi
hak dan kewenangannya secara berlebihan.41
Glen O.Robinson mantan Komisioner Komisi Komunikasi Federal,
mengamati bahwa pengaruh kepresidenan sebenarnya tidak pernah
terbawa sampai pada ajudikasi, baik untuk lembaga independen maupun
eksekutif, dan apabila itu terjadi, pengaruhnya akan tidak semestinya
40
Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah
Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1, Juli 2014,h.116. 41
Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Preisden Republik Indonesia,
pelangi cendekia, Jakarta, 2007,h148.
84
sebagai proses hukum. Seperti untuk pembuatan peraturan dan penegakan
hukum, Presiden tidak memiliki wewenang untuk mempengaruhi lembaga
eksekutif atau independen untuk bertindak bertentangan dengan mandat
hukum yang diterimanya.42
b. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Menjalankan
Pemerintahan di Bidang Penegakan Hukum
Apabila dilihat dari tugasnya KPK jelas menjalankan fungsi
pemerintahan dalam bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 6 huruf c UU KPK: melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tugas KPK tersebut
merupakan tugas pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian yang
mengacu pada Pasal 14 ayat (7) UU No.2 Tahun 2002 tentang Tugas dan
Wewenang Kepolisian bahwa “Melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya” dan Kejaksaan sesuai dengan
ketentuan Pasal 30 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia bahwa kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dan
penuntutan.
Dalam putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006
keterangan tertulis dari ahli Dr.Mudzakkir, S.H, M.H mengatakan bahwa :
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, pengaturan
kekhususan Iembaga KPK ini membingungkan, karena
42 Robinson, Independent Agencies: Form and Substance in Executive Prerogative 1988
DUKE L.J. 238, h.243-46 di dalam Geoffrey P. Miller, Indtroduce : The Debate Over Independent
Agencies in Light of Empirical Edivence, Symposium : The Indepedence of Independent Agencies,
Duke Law Journal, Number 2 & 3, April/June, Volume 1988,h. 219
85
KPK melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab
eksekutif di bidang pencegahan kejahatan dan penegakan
hukum pidana, tetapi lembaga KPK tidak berada di bawah
koordinasi dan bertanggung jawab kepada presiden.
Independensi atau kemandirian lembaga apapun, seperti
lembaga KPK, yang melaksanan tugas-tugas eksekutif
semestinya harus berada di bawah koordinasi dan tanggung
jawab Presiden. Lembaga di bawah Presiden dapat diberi
kewenangan-kewenangan yang khusus atau istimewa
termasuk melakukan koordinasi dan supervisi kepada polisi
dan jaksa dalam pencegahan dan penegakan hukum pidana
korupsi (tindak pidana korupsi)… secara sistematik,
struktural dan fungsional akan dapat berjalan efektif apabila
lembaga KPK berada dalam satu atap kekuasaan eksekutif,
yakni di bawah Presiden tetapi dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen. Sebaliknya, lembaga KPK
yang berada di luar kekuasaan eksekutif secara struktural
dan fungsional akan sulit untuk melaksanakan tugas
koordinasi, supervisi dan tugas-tugas lainnya yang
berkaitan dengan wewenang eksekutif yang secara
struktural di bawah tanggung jawab Presiden. Prinsip
tersebut juga berlaku terhadap kekuasaan yang lain yang
mandiri yakni kekuasaan judikatif tidak dapat memaksa
kepada eksekutif, demikian juga sebaliknya, dan judikatif
dalam hubungannya dengan peradilan juga tidak dapat
melakukan kordinasi dan supervisi kepada eksekutif.
Masing-masing, berdiri sendiri di bawah kekuasaan yang
berbeda. Lantas lembaga KPK posisinya harus berada
dimana? Menurut pandangan ahli, berdasarkan sistem
penyelenggaraan peradilan pidana, semestinya KPK harus
di bawah kekuasaan eksekutif. Meskipun KPK di bawah
kekuasaan eksekutif, KPK tetap dijamin kemandirian atau
otonominya sebagai lembaga yang mandiri dan otonom
yang memiliki fungsi dan wewenang khusus/istimewa di
bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika KPK
tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maka KPK
tidak berwenang untuk melakukan koordinasi dan supervisi
terhadap organ eksekutif yang melakukan tugas dibidang
pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Sebagai lembaga penuntut umum yang terpisah dengan
kekuasaan eksekutif, KPK bertanggung jawab untuk
melaksanakan eksekusi sendiri, berarti KPK harus memiliki
lembaga penjara atau lembaga pemasyarakatan sendiri
untuk melaksanakan pidana penjara.
86
Kehadirannya dengan jelas telah mengurangi kekuasaan presiden
dalam menjalankan pemerintahan di bidang penegakan hukum khususnya
terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketidakjelasan kedudukan KPK selama ini yang mana masih
adanya pembatasan kekuasaan presiden terlihat jelas dari beberapa putusan
MK RI sebelumnya yakni: apabila sebelumnya melalui Putusan MK RI
Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006 yang
menyatakan pembentukan KPK dianggap penting secara konstitusional
dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman; Putusan MK RI Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan
KPK lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara
lain melaksanakan sebagain fungsi kekuasaan kehakiman untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan supervisi atas
penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi lain; dan Putusan
MK RI Nomor 49/PUU-XI/2013 memutuskan pembentukan lembaga yang
terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, termasuk KPK punya
landasan konstitusional dalam pasal 24 ayat 3 UUD NRI TAHUN 1945.
Selanjutnya dalam putusan terbarunya MK RI memperkuat
Kedudukan KPK sebagai lembaga negara dibawah ranah eksekutif yakni
melalui Putusan MK RI 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara
87
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini MK RI RI
berpendapat bahwa: “KPK merupakan lembaga yang berada di ranah
eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya
merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan…”
Melihat hal tersebut maka tidak saja sampai pada putusan yang
telah dikeluarkan oleh MK RI mengenai kedudukan KPK tersebut,
menurut penulis bahwa selanjutnya perlu diikuti dengan pengaturan
kembali atau re-organisasi KPK agar kehadirannya konstitusional dalam
ketatanegaraan Indonesia terutama terkait dengan sistem pemerintahan
yang dianut oleh Indonesia.