Upload
dangthu
View
226
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
73
BAB III
HUBUNGAN ISLAM-KRISTEN DALAM PELA GANDONG DI
BATUMERAH-PASSO SEBELUM DAN PADA SAAT
KONFLIK DI KOTA AMBON
A. GAMBARAN UMUM NEGERI BATUMERAH-PASSO DALAM
HUBUNGAN PELA GANDONG DI KOTA AMBON
1. Kondisi Geografis
Lokasi penelitian – Negeri1atau Desa Batumerah-Passo – secara geografis
berada dalam wilayah Administrasi Pemerintahan Kota Ambon yang terdiri dari
lima Kecamatan, yakni Kecamatan Sirimau, Kecamatan Baguala, Kecamatan
Teluk Dalam, Kecamatan Nusaniwe dan Kecamatan Leitimur Selatan. Negeri
Batumerah (dengan luas negeri 60.000.000.00, Ha) berada pada kecamatan
sirimau, sedangkan Passo (dengan luas negeri 1.293, Ha) berada pada Kecamatan
Baguala.2 Dengan batas wilayah antara kedua negeri Batumerah-Passo, yaitu:
1.1.1. Negeri Batumerah
Bagian Utara : Halong dan Kali Wairuhu
Bagian Selatan : Wai Hatukau
Bagian Timur : Rutong dan Hutumuri
Bagian Barat : Teluk Ambon
1 Istilah negeri merupakan suatu suatu entitas masyarakat yang khas dari daerah Maluku. Ziwar
Effendi mengungkapkan bahwa: Istilah Negeri awalnya bukanlah berasal dari bahasa asli daerah
Maluku atau “bahasa tana”, tetapi nama yang diciptakan oleh Belanda, negeri adalah persekutuan
terrtorial yang terdiri dari beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga buah.
Ziwar Effendi. Hukum Adat Ambon-Lease, Jakarta: Pradyna Paramita. 1987. h. 31. Lht juga,
R.Z. Leirisa, et al. menurutnya, di Maluku khususnya di pulau Ambon dan kepulauan Lease,
sistem pemerintahan dinamakan Negeri baru tumbuh pada abad ke-17 ketika masa VOC dan
dilanjutkan pada zaman Hindia-Belanda. Sistem pemerintahan di Pulau Ambon diatur dalam satu
distrik (Distrik Amboina) dan dua distrik bawahan (Distrik Hila dan Passo). R.Z. Leirisa, et al.
Sejarah Kebudayaan Negeri Maluku, Jakarta :Proyek IDSN Departemen P & K, 1984. Peraturan
Daerah Provinsi Maluku Nomor: 14 tahun 2005 merumuskan Negeri adalah Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwewenang untuk mengatur dan
mengurus kepertingan masyarkaat setempat berdasarkan asal usul adat istiadat dan hukum adat
setempat diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Provinsi Maluku, 2005. Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Nomor 13:
tahun 2005 2 Sumber: Kantor Pemda Kota Ambon ,2016
74
1.1.2. Negeri Passo
Bagian Utara : Negeri Hitu dan Negeri Mamala
Bagian Selatan : Negeri Hutumuri dan Negeri Halong
Bagian Timur : Negeri Suli
Bagian Barat : Kelurahan Lateri dan Desa Negeri Lama
2. Kondisi Demografis
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah penduduk negeri Batumerah 57. 630
jiwa yaitu laki-laki 23. 193 dan perempuan 27. 033 jiwa, tersebar dalam wilayah
RW: 20 dan RT: 100. Dan negeri Passo 20. 571 jiwa yaitu laki-laki 10. 208 jiwa
dan perempuan 10. 363, tersebar dalam wilayah RW: 13 dan RT: 13. Penduduk
Negeri Batumerah-Passo bukanlah komunitas yang homogen. Di situ hidup
berbagai etnis dan sub etnis yang berasal dari dalam wilayah provinsi Maluku
maupun dari luhur dan bahkan dari luar negeri yang membaur menjadi satu mulai
dari Tionghoa, Jawa, Batak, Sulawesi (Buton, Bugis Makasar), Saparua, Seram,
Kei, Tanimbar, Kisar, Leti, Haruku, dan seterusnya dengan beragam pekerjaan
dari yang mencari sesuap nasi sampai pada yang profesional. Diklasifikasikan
secara terperincih dalam tabel-tabel berikut:
Tabel 01
Jumlah penduduk Batumerah berdasarkan jenis pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah
1
2
3
4
Pegawai Negeri Sipil
Wiraswasta
TNI/POLRI
Pengemudi Becak
3. 062
6. 651
757
160
Jumlah 10. 664
75
Tabel 02
Jumlah penduduk Passo berdasarkan jenis pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah
1
2
3
4
5
Pegawai Negeri Sipil
Karyawan/wiraswasta
TNI/POLRI
Nelayan/Petani
Jasa
1. 181
651
507
1. 030
1. 808
Jumlah 5. 169
Tabel 01 dan 02 mengenai jenis pekerjaan, penduduk negeri Batumerah-
Passobelum termasuk keseluruhan penduduk yang ada. Jenis pekerjaan penduduk
kedua negeriberagam di berbagai sektor pekerjaan. Yang paling menonjoldigeluti
penduduk negeri Batumerah adalah pegawai swasta/wiraswasta yang mencapai
657. 651 jiwa (Jumlah penduduk suku buton, makasar, jawa, bugis lebih banyak
dari penduduk asli, mereka adalah para pedagang. Pasca konflik, jumlah
pedagang mengalami peningkatan oleh karena masuknya pengungsi dari sejumlah
wilayah kota ambon, seperti Dari Benteng3). Sementara, untuk negeri Passo
adalah PNS. Rasio jumlah pekerjaan PNS pada kedua negeri menunjukan angka
yang seimbang antara keduanya, yakni Negeri Batumerah 3. 062, sedangkan
Passo 1. 181 dari jumlah keseluruhan penduduk.
Tabel 03
Jumlah penduduk Negeri Batumerah-Passo berdasarkan agama
No
Negeri
Agama yang dianut
Jumlah Islam K.
Protesan
K.
Katolik Hindu
1 Negeri Batumerah 49. 696 - 530 - 50. 696
2 Passo 138 18. 671 1722 40 20. 571
3 Wawancara dengan F.T. (Kaur Pemerintahan Negeri Batumerah), 14 September 2016
76
Tabel 03 mengenai agama penduduk negeri Batumerah-Passo. Belum
megakomodir keberagamaan penduduk secara keseluruhan. Khusus untuk negeri
Batumerah ditemukan melalui observasi masih terdapat beberapa kepala keluarga
yang beragama Kristen Protestan di salah satu RT dalam wilayah setempat.
Tergambarkan jelas jumlah mayoritas pada wilayah Batumerah adalah penduduk
agama Islam yaitu 49. 969 jiwa, seperti yang diungkapkan oleh Fatah bahwa: “di
Batumerah sini 97% muslim dan 3% adalah orang Katolik, hanya 2 RT”4.
Sedangkan,pada wilayah Passo mayoritas ialah agama Kristen yakni, Kristen
Protestan 18. 671, Katolik 1722. Minoritas penduduk muslim 138 jiwa di negeri
Passo menurut Mailuhu, adalah keluarga anggota kepolisian5.
3. Kondisi Sosial
3.1. Sistem Pemerintahan Negeri Batumerah Passo
Penyelenggaran pemerintahan di Kota Ambon mempunyai karakteristik
tersendiri, yang mana terdidiri atas Negeri dengan adat istiadat yang hidup, diakui,
dihormati, dipertahankan, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
Oleh karena itu sistem pemerintahan di Kota Ambon perlu diatur dan ditata
kembali berdasarkan hak asal-usul adat Istiadat dan hukum adat yang berlaku,
yang oleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku telah ditetapkan Peraturan No. 14
tahun 2005 tentang Penetapan kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat dalam wilayah Provinsi Maluku. Selanjutnya, berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Ambon No: 3 tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon6.
Berdasarkan itu, maka selanjutnya perihal sistem pemeritahan dan asal-usul
Negeri Batumerah-Passo akan dibahas dalam bagian selanjutnya dari bab ini,
sebagai berikut:
4 Wawancara dengan F.T. (Kaur Pemerintahan Negeri Batumerah), 14 September 2016.
Menurutnya, para pendatang dari Bugis, Buton dan Makasar adalah pekerja-pekerja keras dan ulet,
juga hemat. Sebelum konflik 1999, mereka lebih menguasai sektor ekonomi mulai dari pedangan
dan pengusaha sampai pengemudi becak. 5 Wawancara dengan L. M. (Kaur Pemerintahan Negeri Passo),September, 2016
6 Jelasnya peraturan Daerah ini telah diatur beberapa ketentuan umum tentang: Negeri Desa,
Petuanan, Pemerintahan Negeri, Saniri Raja Pati, Raja, Saniri Lengkap, Saniri Besar, Soa, Soa
Parenta, Kepala Soa, Kampong, Kepala Kampong, Marinyo, Latupati dan Lembaga
Kemasyarakatan Negeri dapat dilihat dalam Ziwar Efendi, Hukum Adat…1987, 10
77
3.1.1. Sistem Pemerintahan Negeri Batumerah
Pemerintahan di negeri Batumerah (Nama Teon: Hatukau) dikepalai oleh
seorang Raja, yang berasal dari turunan Soa atau mata ruma Parentah7. Menurut
Hatala,8 dikenal 2 marga Parentah di negeri Batumerah, yakni Hatala dan Nurlete.
Sedangkan, sesuai ketetapan Saniri Negeri, terdapat beberapa marga soa parentah
sebagai calon Raja, antara lain: Hatala, Nurlete, Waliulu, Masawoe dan Mamang.9
Dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri Batumerah, Terdapat Badan Saniri
lengkap10
yang diketuai oleh Raja dan membawahi dua orang wakil ketua,
seorang sekertaris dan bendahara. Ketua dan wakil ketua berfungsi mengkordinir
pelaksanaan program seksi-seksi pemerintahan negeri. Terdapat juga, Dewan
Adat Negeri sebagai lembaga musyawarah berfungsi menetapkan calon Raja,
penyelesaian sengketa hukum adat, pengambilan keputusan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak (dimungkinkan jika Raja merasa bahwa keputusan yang
diambilnya akan beresiko besar).
3.1.2. Sistem Pemerintahan Negeri Passo
Pemerintahan di negeri Passo (Nama Teon Pakuela Mandalise) dikepalai
oleh seorang Raja, yang penetapannya berdasarkan pada soa atau mata ruma
Parentah11
, Terdapat satu soa parentah , yakni soa Koli, yang di dalamnya
memiliki satu marga Parentah (keterununan Raja): Simauw12
, dari keempat soa,
masing-masingnya memiliki Kepala Soa yang dalam struktur pemerintahan yang
berfungsi membantu raja, dan didampingi oleh seorang sekretaris dan lima orang
Kepala Urusan Pemerintahan. Di dalam masing-masing soa juga memiliki
keterwakilan saniri yang tergabung dalam Badan Saniri Lengkap.
7Istilah mata rumah adalah istilah adat bagi marga/clan.
8Mengenai Silsilah pemerintahan Batumerah dapat dilihat dalam Abdul Latif Hatala, Brosur
Sejarah Negeri Batumerah: Dalam rangka pelantikan Pemerintah Negeri Batu Merah.
(Ambon:Panitia Pelantikan Kepala Desa Batumerah Kecamatan Sirimau,1986)),3-5 9Wawancara dengan S. T. (Ketua Dewan Saniri Negeri Batumerah), 5 September 2016
10 Istilah Badan Saniri Negeri Lengkap adalah Badan Legislatif Negeri yang teridiri dari wakil-
wakil Soa, Kepala Adat, Tua-tua Negeri, Kepala Tukang serta unsur-unsur lain yang bertugas
membantu Raja untuk membuat peraturan-peraturan Negeri serta melakukan fungsi pengawasan.
http://fhukum. unpatti. ac. id/hkm-perdata/220-model -peradilan -adat-pada-negeri-negeri-islam-
di-pulau-ambon-dan-pulau-pulau-lease. Diakses tgl, 4 September, 2016. 11
Istilah mata rumah adalah istilah adat bagi marga/clan. 12
Wawancara dengan Y. S. (Saniri Desa Passo), 14 September 2016
78
3.2. Asal-usul singkat Negeri Batumerah
Menurut Hatala,13
Negeri Batumerah terbentuk melalui proses perpindahan
penduduk dari tiga negeri, yakni: Pertama, negeri Ahusen, yang memiliki tiga
marga: Hatala, Honsow, dan Tuhutelu. Kedua, negeri Uritetu, yang memiliki 4
marga: marga masawoy, makatita, lebeharia, dan Lata. Ketiga, negeri Amantelu,
yang memiliki marga: Ehi dan Lating.
Lebih lanjut, Hatala mengungkapkan bahwa Proses perpindahan ini
dilatarbelakangi oleh kepentingan memperlancar proses pembuatan benteng
Victoria atau Benteng Kota Laha ( ± tahun 1575) yang dikerjakan oleh penduduk
ketiga negeri tersebut. Berdasarkan perhitungan jarak dari kediaman dua
kelompok penduduk dari antara ketiga negeri, yakni negeri Ahusen dan negeri
Amantelu menuju ke lokasi pekerjaan yang bergitu jauh, dimana untuk menuju
kesana mereka harus mengarungi jurang dan gunung, karena alasan itu maka
keduanya memilih untuk berpindah ke tempat yang lebih dekat yang dapat
memudahkan mereka untuk penyelesaian benteng Victoria yang letaknya tepat di
tepi pantai Honipopu.
Adapun sebelum berpindah ke lokasi benteng Victoria, sebagian besar
penduduk negeri Ahusen telah mengadakan perpindahan dalam wilayahnya
sendiri. Hal itu disebabkan oleh perselisihan antara dua kapitan bersaudara yakni
kapitan Kulipa dan kapitan Safari, akibatnya sebagian masyarakat yang simpati
terhadapnya berpindah ke suatu tempat yang sekarang dikenal dengan negeri
Soya. Di situ dan dari tempat itu pulalah mereka tinggal sampai beberapa
generasi, baru setelah itu berpindah ke pantai bersama dengan penduduk
Amantelu.
Menurut Hatala yang juga dikatakan oleh Hatalua, perpindahan itu pula
disebabkan karena ketiga negeri tersebut (Ahusen, Amantelu, dan Uritetu) telah
mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang yang datang dari luar Pulau
Ambon, walaupun hubungan perdagangan tersebut tidak berjalan secara kontinyu,
hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk bertempat tinggal di daerah
pegunungan. Untuk memperlancar hubungan perdagangan maka, terjadilah
kesepakatan penduduk ketiga negeri melalui tua-tua adat mereka, dan atas dasar
13
Abdul Latif Hatala, Brosur Sejarah Negeri Batumerah. . . . . . ,(1986), 3-5
79
kesepakatan itu mereka mulai mencari tempat yang lebih dekat dan memilih suatu
tempat yang berbentuk tanjung di dalam daerah kekuasaan Uritetu yang dianggap
tempat paling strategis bagi mereka, dalam proses perpindahan itupun terjadi
asimilasi antara marga yang satu dengan marga yang lain yang pada akhirnya
terbentuklah desa/negeri Batumerah hingga kini. 14
Dalam perkembangan masyarakat yang kian bertambah, seturut dengan mulai
berdatangannya marga-marga lain dari luar pulau Ambon seperti:
Marga/Soa Mamang, Lisaholet, dan Wailulu dari Luhu (Seram Barat).
Marga/Soa Suku, Nurlete dari Buano.
Marga/Soa Warang dari Huamual (Seram Barat).
Marga/Soa Tahalua dari Eti (Seram Barat).
Pada akhirnya negeri Batumerah merupakan suatu desa/negeri yang utuh dan
defenitif hingga saat ini.
3.3. Asal-usul singkat Negeri Passo
Berdasarkan penuturan tua-tua adat negeri Passo, orang-orang Passo awalnya
berasal dari pulau Seram. Perpindahan atau eksodus penduduk dari pulau Seram
disebabkan karena peperangan antara kelompok Patasiwa dan Patalima. Perang
ini dikenal dengan nama “Perang Huamual”. Kelompok pertama tiba dari Pulau
Seram menggunakan Gosepa atau perahu Belang dan mendarat di pantai Baguala,
dan mendiami daerah pegunungan yang bernama gunung Ariwakang di jazirah
Leihitu, berbatasan dengan Hitu. Mereka terdiri dari matarumah-matarumah,
antara lain: Simauw, Parera, Titariuw dan Tuatanasy. Pada masa ini, sedang
terjadi peperangan melawan orang-orang Portugis di Hitu, sehingga merekapun
mencari tempat pemukiman di daerah pesisir pantai. Lokasi ini bernama Ohouw
(negeri lama sekarang).
Selanjutnya, datanglah kelompok kedua yang kemudian mendiami lokasi
yang bernama Amamoni di pegunungan Tahola. Mereka terdiri dari mata-mata
rumaha, antara lain: Latupella, Sarmanella, Termature, Wattimury. Kelompok
ketiga yang mendarat di pantai Waiyori, kemudian naik ke pegunungan Amaoni
14
Wawancara dengan L.H. (Tokoh Masyaraka Negeri Batumerah), 5 September 2016. Hal yang
sama juga disampaikan melalui wawancara dengan Bpk. S.T. (Tokoh Masyarakat Negeri
Batumerah), 27 Agustus 2016
80
dan berdomisili di situ. Rombongan ini terdiri dari beberapa matarumah, antara
lain: Rinsampessy, Tuhilatu, Tomaluweng, dan Matuwalatupauw.
Ketiga kelompok ini merupakan sekelompok masyarakat yang disebut dengan
istilah “clan” yang hidup berpencar-pencar, kemudian berkembang menjadi
kelompok soa yang di dalamnya terdapat beberapa marga. Dan berangsur-angsur
bergabung menjadi sebuah Hena atau Aman (Baca: Negeri) Selanjutnya, pada
zaman kependudukan Belanda, mereka semua turun ke pantai dengan mendiami
Passo Lama (Sekarang Negeri Lama) dan dari Amamoni mendiami Passo, dan
kemudian mereka menyatu dan dari situlah mulai terbentuknya negeri Passo yang
letaknya berada di tengah-tengah atau diapit oleh dua teluk (teluk Dalam dan
Teluk Baguala).
Letak negeri Passo pada masa Kolonial Belanda merupakan wilayah yang
strategis, yakni sebagai penghubung dua jazirah (Jazirah Leihitu dan Leitimur),
dan untuk kepentingan pendapatan perekonomian Pemerintahan Belanda maka,
mereka membuat peraturan tentang setiap masyarakat dari Leihitu yang ingin
bepergian ke Kota Ambon harus mengambil “Pas Jalan” dan pada saat yang sama
dikontrol oleh pegawai Belanda, halnya samapun berlaku bagi masyakat Leitimur.
Akhirnya ketika telah mendapatkan “Pas Jalan” maka pegawai Belanda tersebut
akan menjawab “So”: artinya sudah. Dengan demikian, asal nama Desa/Negeri
Passo diambil dari gabungan kata “Pas dan So” yang artinya adalah tempat
mengurus/mengambil pass jalan.
Dalam perkembangan masyarakat yang kian bertambah, seturut dengan mulai
berdatangannya marga-marga lain dari luar pulau Ambon sampai kini, telah
terbentuk empat soa:15
Soa Koli: Simauw, Titariuw, Tuatanasy, Parera.
Soa Moni: Sarmanella, Latupella, Termatury, Wattimury.
Soa Rinsama: Rinsampessy, Tomaluweng, Tuilatu.
Soa Maseng: ada 21 marga (para pendatang).16
15
Wawancara dengan Y. S ( Tokoh Adat Negeri Passo), 14 September 2016 16
Dalam adat, orang datang ini tidak terlibat. Simauw.
81
4. Sejarah Pembentukan Dan Pemaknaan Hubungan Pela Negeri
Batumerah-Passo.
4.1. Sejarah Terbentuknya Hubungan Pela Negeri Batumerah-Passo.
Dokumen sejarah pemerintahan yang dimiliki kedua negeri ini,
menyimpan sebuah arsip kronologis sejarah pembentukan hubungan Pela
antar keduanya, sebagaimana terurai dibawah ini17
:
“Sebelum Portugis hadir Di Maluku. Kerajaan Ternate berhasil
menguasai Maluku, Irian bahkan sampai ke Filipina.
Sultan Ternate mengeluarkan instruksi atau surat Perintah kepada Negeri-
negeri yang dikuasainya untuk mengantar Upeti ke Ternate setiap Tahun.
Pada tahun 1506 berangkatlah dua buah kora-kora ke Ternate, yaitu
Kora-kora Tarnate mewakili Patalima dan kora-kora Batumerah mewakili
Patasiwa. Sekembalinya dari Ternate tepatnya di lautan Pulau Buru,
angin bertiup dengan kencang dan ombak besar silih berganti, kora-okora
Passo tengelam. Sayap-sayapnya dihantam badai dan gelombang,
terdengar suara minta tolong, tolong… tolong… tolong. Pada saat itu
kora-kora Batumerah berada di bekang kora-kora Passo, lalu merapat
menolong orang-orang Passo yang tenggelam dibawa merapat ke tepi
pantai Pulau Buru yang letaknya dekat dengan sebuah tanjung. Tagalaya
(tempat makan orang-orang Passo) hilang lenyap di dalam laut. Di tempta
itulah tagalaya orang Batumerah dibuka dan mereka duduk makan
bersama di tepi pantai, sagu salempeng berpatah dua, ikan saekor dibagi
dua, kelapa sabuah dibelah dua. Setelah selesai makan, orang-orang
Passo angkat bicara dengan air mata yang berlinang “Wahai saudara-
saudara orang Batumerah, kamong su tolong katong, apakah katong bisa
angkat kamong sebagai Pela kakak?. Suara spontan orang-orang
Batumerah menjawab: dengan penuh kasih, “Beta, dan katong angkat
kamong sebagai pela Adik”. Lalu merekapun bersumpah: ………….
Untuk mengabadikan sumpah mereka itu agar kelak kekal selama-
lamanya, mereka membalik sebuah batu karang di tanjung tersebut.
Tanjung itu disebut tanjung Pela. Akibat membalikan batu karang itu,
maka jari-jari mereka berdarah dan jari-jari yang berdarah itu disatukan
dan mereka mengucap perjanjian suci, yang terdiri dari :
Orang Passo dan orang Batumerah tidak boleh baku kawin
Orang Passo dan orang Batumerah tidak boleh baku musuh.
Orang Passo dan orang Batumerah harus tolong menolong satu sama
lain.
Perjanjian yang sakral, agung dan mulia ini dipelihara dan dijaga oleh
Datuk-datuk Nenek Moyang Passo dan Batumerah sampai turun-temurun dan
dilestarikan dari generasi ke generasi sampai dengan generasi masa kini.
17
Sumber: Arsip Pemerintah Desa Passo-Batumerah.
82
Ya… Tuhan yang maha kasih, janganlah engkau cabut perasaan kasih
diantara kami, semoga kasih ini bersemi selalu di hati kami sampai akhir
zaman nanti.
4.2. Pandangan tentang sejarah dan pemaknaan hubungan Pela Gandong
Batumerah-Passo.
Melalui pendapat yang dikemukakan beberapa informan, diketahui bahwa
ungkapan Pela Gandong, adalah dua istilah yang memilik makna berbeda.
Perbedaan istilah Pela dan Gandong sebagaimana ditegaskan oleh beberapa
Tokoh Adat Negeri Batumerah-Passo, antara lian:
Oleh S. T,18
sebagai ketua dewan saniri adat Batumerah, bahwa:
“ kalau bicara tentang Pela adalah sebuah hubungan yang terjadi karena ada
munculnya satu peristiwa yang dialami sehingga ada kesepakatan bersama
untuk membangun hubungan itu. Dalam pengalaman dua negeri (Batumerah-
Passo), Hubungan Pela tercipta karena peristiwa tengelamnya “kora-kora”19
orang Passo yang dihantam ombak, orang Batumerah (Hatukau) dengan kora-
koranya yang pada saat itu berada di belakang kora-kora Passo datang
menolong, dan membagikan “tagalaya”20
mereka kepada orang Passo yang
pada saat itu perbekalannya telah tenggelam, sehingga terjadilah sebuah
ikatan dan pengakuan dari basudara Passo untuk mengangkat Batumerah
sebagai Pela Kakak, lewat sumpah keduanya dipersatukan, orang Batumerah
kakak-ade Orang Passo.
Senada dengan itu, S.M,21
yang merupakan salah satu tokoh masyarakat, dan
juga mantan Raja Negeri Passo, katakan bahwa, pela antar Batumerah-Passo itu
terbentuk karena pertolongan yang diberikan orang Batumerah, dan sebagai rasa
terimakasih maka orang Passo mengangkat mereka melalui sumpah sebagai
Kakak dan Passo sebagai Ade.
Pengangkatan Batumerah sebagai pihak kakak oleh Passo merupakan
penghargaan yang mendalam karena tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh
orang Batumerah dalam peristiwa kecelakaan dahulu. Sebagaimana yang
18
Wawancara dengan S. T. (Tokoh Adat Negeri Batumerah). Tanggal 27 Agustus 2016. 19
Kora-kora adalah perahu tradisional kepulauan Maluku. 20
Tagalaya merupakan istilah orang Maluku yang artinya: suatu wadahpenyimpanan bahan
makanan semacam keranjang yang dianyam dari rotan atau bamboo. 21
Wawancara dengan M.S (Tokoh Adat Negeri Passo). Tanggal 19 September 2016
83
ditegaskan oleh Y. T,22
sebagai seorang sesepu adat negeri Passo bahwa, “Orang
Passo menyebut orang Batumerah kakak karena dong tolong katong”
Istilah pela dapat dipahami sebagai sebuah hubungan kekerabatan adik-
kakak. Akan tetapi, bukan dalam arti sebuah hubungan Adik-Kakak karena
keduanya berasal dari satu keturunan yang sama atau secara biologis lahir dari
dalam kandungan satu orang Ibu. Sebaliknya, ungkapan Gandong dipahami
sebagai sebuah hubungan yang terbangun karena latarbelakang biologis tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan S.T23
bahwa:
Hubungan Gandong ini berbeda. Gandong adalah hubungan satu moyang
atau basudara sekandung, ketika keluar dari tanah satu lokasi: seperti antara
negeri Batumerah dan negeri Ema, ini saudara kandung, Batumerah (Islam)
dan Ema (Kristen), tetapi awalnya sama-sama memeluk kepercayaan
animisme, ini terjadi karena perpecahan, dan disertai adanya pengaruh
masuknya agama dan keyakinan melalui hubungan kerjasama seperti
Batumerah dengan orang Tarnate. Dari kenyataan ini, kemudian skarang
“orang-orang mulai manyanyi” (berkembang konsep) “Maluku satu darah”:
samua berasal dari satu moyang”. Katong samua satu turunan Nunusaku. 24
Dalam arti ungkapan sederhana, Tomaluweng katakan bahwa: Gandong itu
hubungan “satu pai satu mai”.
Sebagai perbandingannya, perbedaan makna hubungan Pela dan Gandong,
juga dapat ditemukan pada beberapa negeri-negeri lain di Maluku, seperti yang
diungkapkan oleh V.R,25
sebagai salah satu Tokoh Masyarakat pendatang di
Batumerah bahwa: “Hubungan Pela Batumerah-Passo sama dengan Hubungan
Pela antar orang Tual (MTB) dan Orang Gorong (Seram). Hubungan Pela itu
terikat atas sumpah dan minum darah, hubungan ini lebih keras dan berbeda
dengan hubungan Gandong: Saudara Sekandungan”.
22
Wawancara dengan Y.T. (Sesepu Adat Negeri Passo). 14 September,2016. Di dalam
penggalan pendapatnya, informan ini menggunakan pelafalan dialek Ambon, berupa kata dong
dan katong untuk menyebutkan kata ganti orang pertama dan ketiga jamak: kita dan mereka 23
Wawancara dengan N.T. (Sesepu Adat Negeri Passo) Di dalam penggalan pendapatnya,
informan ini menggunakan pelafalan dialek Ambon, berupa kata pai dan mai yang artinya papa
dan mama. 24
Wawancara dengan S.T. (Tokoh Adat Negeri Batumerah). Tanggal 27 Agustus, 2016. Di
dalam penggalan pendapatnya, informan ini menyebutkan istilah “orang-orang mulai manyanyi,
istilah ini jika diartikan dalam ungkapan indonesia baku, memiliki makna sama dengan untuk
mengatakan “mulai berkembangnya sebuah konsep”. Ada juga kata katong, samua, dalam dialek
Ambon yang memliki arti: Kita dan Semua 25
Wawancara dengan V.R. (Tokoh Masyarakat Komunitas Katolik Batumerah). Tanggal 06
September,2016
84
Pada sisi lain, terdapat kesepamahaman tentang pemaknaan hubungan Pela
Gandong sebagai sebuah ikatan kekeluargaan: sebagai “Orang Basudara”.
Hubungan persaudaraan ini sarat dengan nilai kebersamaan yang mempersatukan
individu-individu dan kelompok yang berbeda agama (Islam-Kristen) dalam satu
praksis tolong-menolong atau saling membantu.
Kebersamaan yang saling menolong dalam hubungan Pela Gandong ini
nampak dalam praksis hidup bermasyarakat maupun beragama, seperti yang
diungkapkan beberapa informan, sebagai berikut:
T. T,26
sebagai salah satu pemimpin umat Protestan yang pernah bertugas di
Batumerah katakan:
Hubungan Pela Gandong: katong samua orang Basudara salam-sarane
menekankan nilai (Keluhuran), yakni tolong-menolong. Misalnya, dalam
kegiatan Adat Negeri dan Kegiatan Keagamaan: moment Pelantikan Raja
Passo, di mana orang Batumerah datang dan memberikan bantuan dalam
bentuk material, pangan dll. Begitu juga dalam bidang Agama, orang
Batumerah (Islam) dan Passo (Kristen), ada saling membantu ketika
pendirian masjid di Batumerah maupun gereja di Passo.27
Tolong-menolong
antar negeri Islam-Kristen juga sama dipraktekkan pada daerah lain di pulau
Ambon, yakni Negeri Ulat (Kristen) dan Buano (Islam), di dalamnya ada rasa
kebersamaan batanggong yang ditinggalkan oleh datuk-datuk yang tak dapat
dihapus oleh siapapun.
Pemaknaan tentang Hubungan Pela Gandong sebagai orang basudara juga
diungkapkan oleh N. K,28
yang merupakan warga pendatang dari suku Sulawesi,
menurutnya:
Bagi beta, walaupun beta orang pendatang, tapi di Ambon, khususnya di
Batumerah, ikatan Pela Gandong orang Basudara itu paleng kantal, seng
pandang dia Muslim atau Kristen, entah dia dari suku mana, dari kampong
mana lai, orang Ambon hidup sama orang Basudara. Antara katong Orang
Islam dengan tetangga Orang Kristen, katong saling berbagi “Ale Rasa Beta
Rasa”, saling memberi dan menerima. Misalnya, satu waktu ketika katong
seng ada kalapa, katong pi di katong tetangga orang Kristen yang kebetulan
pung keluarga sampe di negeri Hatalai, katong kasi suara melalui tetangga
26
Wawancara dengan Pdt. Toistuta (Tokoh Agama Negeri Batumerah), 5 September 2016. Di
dalam penggalan pendapatnya, informan ini menyatakan beberapa kata dalam dialek Ambon:
Batanggong, untuk menyebutkan sikap “tanggung-menanggung atau saling menanggung”. 27
Wawancara dengan M.S. (Tokoh Adat Negeri Passo). Tanggal 19September 2016 28
Wawancara dengan N.K. (Tokoh Masyarakat Batumerah), 27 September 2016. Dalam
penggalan pendapatnya, informan ini menggunakan banyak sekali kata-kata dalam dialek Ambon
seperti: beta, paleng, kantal, seng, kampong, lai, hidop, pung, pi, sampe, kasi, laeng, lia. Masing
masing kata secara bertutut-turut memiliki arti yang sama dengan kata: saya, paling, kental, tidak,
kampong, lagi, hiup, punya, pergi, sampai, kasih, lain, lihat.
85
lalu dong langsung hubungi basudara di Hatalai bawa turun kalapa. Dalam
interaksi ini memang tetap ada transaksi jual-beli, tetapi yang paling penting,
katong bisa merasa ada kedekatan, laeng lia laeng pung kekurangan, laeng
bantu laeng pung kesusahan.
Pela sebagai suatu sistem kekerabatan ini sangat ditaati oleh masyarakat,
karena proses terjadinya pela diyakini sebagai sebuah peristiwa yang sakral. Bila
seseorang telah diikat dalam persaudaraan pela melakukan pelanggaran ataupun
mengabaikan budaya tersebut selalu berdampak langsung dalam semua bentuk
kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok.
Sakralitas hubungan pela ini nampak dari aspek perjanjian (Ikrar) dan sumpah
yang dilakukan dalam proses membangun Hubungan Pela Gandong. Y.T29
sebagai salah satu tokoh adat negeri Passo, mengatakan bahwa: sumpah Pela
Gandong dipahami sebagai sebuah ikatan yang keras antar kelompok yang
berpela dengan tete nene moyang.
Sumpah Pela sangat beresiko, berupa hukuman terhadap pelanggaran akan
perjanjian Pela. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Y.T,30
bahwa: “kalo bicara
Pela ini seng bole sabarang”, “Pela adalah ikrar, janji yang tulis atas batu karang
dengan darah, isinya: “sei hale hatu, hatu lesi pei, Sei hale sou, Sou Lesi Pei,”
yang artinya, sapa bale batu, batu bale dia, sapa (siapa) yang langgar
(melanggar) janji, maka janji itu makan (menghukum) dia.”
Menarik bahwa pengingkaran terhadap ikatan “sumpah” Pela antar
masyarakat yang berpela diyakini dapat berdampak fatal dan langsung dialami
pihak yang melanggar isi perjanjian tersebut. Hukuman-hukum yang dialami
yakni, bencana penyakit bahkan dapat berujung pada kematian. Karena itu, segala
bentuk interaksi antara sesama Pela Batumerah-Passo yang cenderung berbuah
pelanggaran terhadap isi sumpah Pela berusaha dijaga ketat oleh seluruh
29
Wawancara dengan Y.T, (Sesepu Adat Negeri Passo). 14 September 2016. Di dalam
penggalan pendapatnya, informan ini menggunakan sebuah pelafalan dialek Ambon, berupa istilah
Tete nene moyang. Istilah ini adalah salah satu termenologi kekerabatan orang Ambon. Tete untuk
menyebutkan orang tua laki-laki (kakek), Nene untuk orang tua perempuan (Nenek) dan Moyang
atau Oyang untuk orangtua dari kakek dan nenek. Istilah tetenene moyang dipakai untuk
menyebutkan kata Leluhur. Leluhur digunakan untuk semua orang yang dianggap tete, nene dan
oyang yang telah meninggal. 30
Wawancara dengan Y. T (Sesepu Adat Negeri Batumerah), 14 September 2016. Di dalam
penggalan kalimat yang diungkapkannya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam
pelafalan dialek Ambon: kalo, seng bole sabarang. Penyebutkan masing-masing kata secara
berurutan biasanya disingkat untuk menyebut kalau, tidak boleh sembarangan.
86
komponen masyarakat Adat kedua Negeri. Hal ini terkuak, dalam wawancara
dengan beberapa informan, diantaranya:
M. P,31
seorang tokoh pemuda negeri Passo, mengkisahkan bahwa Pada tahun
1955 pernah terjadi perkelahian antara Batumerah-Passo, orang Passo memukul
orang Batumerah, akibatnya ada bencana penyakit di Passo. Karena itu,
orangtatua (Tokoh-tokoh Adat) lalu ambel air dari Mesjid Batumerah lalu “kas
minom” semua orang Passo. Dan untuk menyelesaikan masalah ini dilakukanlah
Panas Pela di tahun 1956. L.M, 32
yang merupakan salah satu staf pemerintah desa
Passo melanjutkan bahwa: sesama orang Batumerah-Passo seng bisa bicara
sabarang, seng boleh baku kaweng”, baku musuh, jang laeng biking susa laeng.
Perjanjian Pela secara turun-temurun mengikat anak cucu adat kedua negeri.
Pernah ada nyong dari Passo dan nona dari Batumerah yang ingin menikah,
akibatnya kedua-duanya meninggal.
Sementara itu, I.N,33
sebagai tokoh Agama Islam negeri Batumerah,
mengungkapkan pengalaman ketika dirinya remaja, ia katakan: waktu masih
remaja beta pernah ingin berpacaran dengan orang Passo tetapi kemudian
dilarang, orangtatua bilang “masa pi pacaran dengan kamong pung ade, kamong
harus jaga kamong pung ade”.
Terdapat pandangan akan nilai saling membantu dan menolong dalam Pela
Gandong sebagai sebuah nilai yang selaras dengan nilai-nilai yang tersirat dalam
ajaran Agama tentang bagaimana membangun hubungan antara sesama. Oleh
T.T,34
sebagai salah satu Tokoh Agama Kristen Protestan di Batumerah,
diungkapkan bahwa: nilai tolong-menolong, saling melengkapi sama dengan
ajaran Kasih menurut Kristen sebagaimana tercatat dalam kitab suci Alkitab,
tentang: “Mengasihi sesama seperti dirimu sendiri”.
31
Wawancara dengan M.P (Tokoh Pemuda Negeri Passo), 14 September 2016. Di dalam
penggalan kalimat yang diutarakannya, informan ini menggunakan kata kas minom, ambel yang
adalah dialek Ambon yang artinya membri minum dan mengambil. 32
Wawancara dengan L. M (Tokoh Masyarakat Negeri Passo), 3 September 2016 33
Wawancara dengan I. N. (Tokoh Agama Muslim Barumerah), 27 September 2016. Di dalam
penggalan ungkapkannya menyebutkan kata pelafalan dialek Ambon: masa, pi, kamong, pung.
Masing-masing kata secara berurutan berarti: mengapa, pergi, kalian, punya. 34
Wawancara dengan Pdt. (Emr).Toisuta (Tokoh Agama Protestan Negeri Batumerah), 1
September 2016
87
Senada dengan itu, J.J,35
yang juga salah satu Tokoh Agama Kristen Protestan
di Passo menyampaikan pandangannya bahwa:
Praktik tolong-menolong dalam pela Batumerah-Passo merupakan indikator
memperkuat hubungan kemanusiaan, bukan hanya hubungan antar agama
tetapi lebih pada nilai kemanusiaan, “yang satu melihat yang lain sebagai
sesamanya, tanpa melihat dia orang Islam atau Kristen”. Nilai teologis dalam
hubungan Pela yang demikian, memilki sandaran biblis, tentang cerita
“Orang Samaria yang Murah Hati”. Pela juga memperkuat komitmen
persaudaraan yang rukun.
Hal serupa diungkap juga oleh I.N,36
sebagai Imam di negeri Batumerah,
bahwa: “ajaran kasih terhadap Tuhan dan kasih terhadap sesama dengan merujuk
pada salah satu konsep Alquran: “hablum minallah, hablum minan nas, hablum
minal „alam” ”. Selanjutnya, S.T,37
seorang tokoh adat negeri Batumerah yang
mendudukan salah satu isi sumpah Pela Batumerah-Passo, yakni tidak boleh baku
musuh: baku bunu, biking kaco, minom mabuk dll itu selaras dengan apa yang
diajarkan dalam Agama baik Islam-Kristen.
Keselarasan nilai Pela Gandong dengan nilai Kasih dalam ajaran Agama ini
juga diakui oleh seorang Tokoh Masyarakat Batumerah, yang berasal dari daerah
Maluku Tenggara, yakni V.R,38
yang mengungkapkan bahwa:
Dalam menyampaikan cinta Kasih melalui saling baku bantu antara orang
basudara, Pela Gandong juga mengangkat nilai kesetaraan, sama-sama
manusia. Pela Gandong berbeda dengan budaya lain yang menstratifikasi
manusia dalam tiga golongan. (Budaya Kei, Maluku Tenggara). Misalnya,
perempuan yang memiliki strata sosial dibawah tidak boleh kawin dengan
laki-laki orang yang strata atas.
B. HUBUNGAN ISLAM-KRISTEN DALAM PELA GANDONG NEGERI
BATU MERAH-PASSO SEBELUM KONFLIK DI KOTA AMBON
Pada bagian selanjutnya dari bab ini, peneliti mengarahkan informan untuk
menjawab beberapa pernyataan, diantaranya: Pertama, Apa saja praksis, dan
35
Wawancara dengan Pdt.(Emr), J.Jambormias (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo),14
September 2016 36
Wawancara dengan I.A. (Tokoh Agama Islam Negeri Batumerah), 27 September 2016 37
Wawancara dengan S.T. (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 27 Agustus 2016 38
Wawancara dengan V.R. (Tokoh Masyarakat Katolik Batumerah),1 September 2016
88
kegiatan-kegiatan hubungan Pela Gandong Sebelum Konflik; Kedua, Bagaimana
Islam-Kristen dalam Budaya Pela Gandong sebelum Konflik. Ketiga, Adakah
bentuk-bentuk konflik dalam hubungan Agama-agama di Batumerah-Passo.
1. Praktik Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebelum Konflik
Praktek hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo merupakan sebuah
momentum adatis eksklusif terencanakan secara besar-besaran yang melibatkan
semua komponen-komponen masyarakat negeri Adat. Peristiwa-peristiwa penting
tersebut, antara lain diantaranya: Pelantikan Raja, Pembangunan rumah Adat
(Baileu), rumah-rumah ibadah (Gereja dan Mesjid), Acara Panas Pela.
Sebagaimana diungkapkan oleh S.T, sebagai Ketua Dewan Saniri Batumerah
bahwa:
Kalau katong bicara mengenai praktek Pela Gandong, maka katong harus
melihatnya sebagai sebuah peristiwa adatis yang olehnya orang tahu bahwa
sebuah negeri itu adalah negeri adat, dan praktek adat ini sifatnya turun-
temurun. Katong generasi sekarang hanya mengulang apa yang dilakukan
oleh leluhur pada masa lampau. Peristiwa adat atau acara adat Pela Gandong
Batumerah-Passo ini dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya dalam
pelantikan Raja, atau Panas Pela. Pada saat itu pihak Batumerah-Passo
mempraktekkan, dalam bentuk sebuah drama yang mengkisahkan tentang
proses terbentuknya Pela tersebut, dalam proses persiapan penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan adat itu juga terjadi tolong-menolong, yang diberikan pihak
Passo dan sebaliknya Batumerah tergantung siapa yang punya acara.
Memang di masa sekarang banyak nilai-nilai adat yang salah diartikan,
misalnya sopi yang digunakan dalam ritual adat, tetapi diminum untuk mabo.
Padahal sopi dalam acara adat mempunyai nilai yang sacral.39
Praktik-praktik adat sebagai moment kebersamaan yang di dalamnya terdapat
proses tolong menolong antar seluruh komponen masyarakat negeri-negeri
berpela dalam hubungan Pela Gandong antara Negeri Batumerah-Passo yang
demikian itu juga ditegaskan oleh M.S, sebagai salah satu Tokoh Masyarakat
yang juga mantan Raja Negeri Passo, ia katakan bahwa:
Praktik tolong-menolong yang terjadi dalam proses pembentukan Pela
Batumerah-Passo masih terjadi sampai saat ini, misalnya dalam pelantikan
raja ada istilah “suwan” atau membantu secara material, pangan. Tetapi juga
juga dalam moment-moment keagamaan. Khusus terkait dengan
39
Wawancara dengan S.T (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 27 Agustus 2016. Di dalam
penggalan kalimat yang diungkapkannya, informan ini menyebutkan kata katong dan mabo yang
merupaan sebuah pelafalan dialek Ambon, yang biasanya untuk menyebutkan kata: kita dan
mabuk
89
pelaksanaannya panas pela ada moment bersama yang dibangun untuk
mengenang kembali peristiwa yang melatarbelakangi terbentuknya Pela
Batumerah-Passo. Biasanya ketika dalam acara pelantikan Raja, teks sejarah
pembentukan Pela itu dibacakan disana. 40
Lebih lanjut, M.S mengungkapkan hal yang menarik bahwa dalam
pelaksanaan moment kerja keagamaan misalnya pembangunan Masjid di
Batumerah, proses pengerjaan itu diselingi dengan doa, pihak Passo secara
Kristiani dan Batumerah secara Islam. Selain pelaksaan kegiatan-kegitan seperti
demikian di hadiri oleh kedua belah pihak, namun, juga dihadiri oleh negeri-ngeri
lain yang memiliki hubungan Pela Gandong dengan Batumerah atau Passo. Dari
pihak Batumerah mengundang Negeri Ema yang memiliki hubungan Gandong
dengan Batumerah. Karena itu, hubungan Pela Gandong tidak hanya terbatas
antara kedua belapihak yang berpela saja tetapi terjadi persekutuan antara negeri-
negeri yang Berpela.
M. P,41
seorang tokoh pemuda negeri Passo, mengkisahkan bahwa pada
tahun 1955 pernah terjadi perkelahian antara Batumerah-Passo, orang Passo
memukul orang Batumerah, akibatnya ada bencana penyakit di Passo. Karena itu,
orangtatua (Tokoh-tokoh Adat) lalu ambel air dari Mesjid Batumerah lalu “kas
minom” semua orang Passo. Dan untuk menyelesaikan masalah ini dilakukanlah
Panas Pela di tahun 1956.
2. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong di Batumerah-Passo
sebelum Konflik
Beberapa informan, terlebih khusus tokoh-tokoh Masyarakat, Adat dan
Agama di Negeri Batumerah-Passo sependapat bahwasannya: hubungan antar
Islam-Kristen di Batumerah-Passo sangat rukun sampai saat konflik sosial tahun
1999. Hal ini real ketika melihat bahwa di Batumerah-Passo terdapat penduduk
Kristen dan pemeluk Islam.
40
Wawancara dengan M. S. (Tokoh Masyarakat Negeri Batumerah), 19 September 2016 41
Wawancara dengan M.P (Tokoh Pemuda Negeri Passo), 14 September 2016. Di dalam
penggalan kalimat yang diutarakannya, informan ini menggunakan kata kas minom, ambel yang
adalah dialek Ambon yang artinya memberi minum dan mengambil.
90
2.1. Hubungan Islam-Kristen di Batumerah sebelum konflik
Pada negeri Batumerah sendiri, menurut T. T, sebagai salah satu pemimpin
umat yang pernah bertugas di Jemaat GPM Bethara sejak tahun 1990-1999,
bahwa:
Sebelum konflik meledak di Tahun 1999, hubungan orang Islam dan Kristen
di Batumerah hidup terlampau sangat baik dan erat, komunikasi tetap terjalin
antar umat maupun tokoh-tokoh Agama, dan juga ada saling mengunjungi
ketika ada perayaan, kegiatan-kegiatan keagamaan seperti Natal, Idulfitri, di
Gereja, umat Islam diundang dan mereka menghadiri acara tersebut.
Keadaan ini mendukung jalinan kerukunan antar pemeluk agama. Walaupun
dari segi jumlah, komunitas Kristen di Batumerah sangat sedikit
dibandingkan dengan komunitas Muslim, namun nyatanya juga ada beberapa
keluarga Kristen (satu sektor pelayanan) yang tinggal dilingkari komunitas
muslim seperti di wilayah tanjung, tetapi tidak ada masalah, tercipta saling
menghargai antar warga. 42
Senada dengan itu, O.Tasidjawa sebagai salah satu pelayanan Jemaat,
mengungkapkan bahwa, hubungan kebersamaan yang membaur antara umat
Kristen dengan basudara Muslim terasa laeng daripada kebersamaan antar sesama
se-iman, dengan basudara Muslim katong lebih bisa saling menerima, saling
menghargai, contohya, dolo kalo acara-acara orang Kristen biasa mamasa la bage-
bage par basodara muslim.43
Kerukunan hubungan Islam-Kristen di Batumerah juga diungkapkan oleh V.
L,44
sebagai Tokoh Masyarakat dari kalangan umat Katolik di wilayah Ahuru.
Menurutnya,
Khususnya di Negeri Batumerah sendiri, sebelum konflik beta mengalami
dan merasakan sungguh-sungguh hubungan Islam-Kristen entah yang berasal
dari Pulau Ambon, Pulau Seram, Maluku Tenggara, MTB telah terbingkai
dalam persekutuan sebagai Orang Basudara yang sangat rukun, saling
membantu dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan rumah warga. Secara
sederhana, C. R. mengungkapkan bahwa, Pela Gandong, membentuk
semangat eukemenis dan toleransi yang sangat tinggi antara sesama yang
berbeda agama. 45
Hubungan persaudaraan telah mengikat menyatukan
muslim dengan Kristen di Ambon, Khususnya di Batumerah.
42
Wawancara dengan Pdt. T.T. (Tokoh Agama Protestan Negeri Batumerah), 1 September
2016 43
Wawancara dengan O. T. (Tokoh Agama Protestan Batumerah), 30 Agustus 2016. Dalam
penggalan kalimatnya informan ini menyebutkan kata laeng dolo, mamasa, la, par yang
merupakan pelafalan dialek Ambon, yang biasanya untuk menyebutkan kata: lain, dulu, kemudian,
untuk/kepada. 44
Wawancara dengan N. K. (Tokoh Masyarakat Negeri Batumerah), 27 September 2016 45
Wawancara dengan K. J. (Tokoh Agama Katolik Batumerah), 27 September 2016
91
Berdasarkan penuturan para informan diatas, dapat diketahui bahwa,
kenyataannya, hubungan Islam-Kristen secara internal sangatlah erat dan tidak
ada indikasi konflik sedikitpun antara pemeluk agama Islam-Kristen. Tetapi,
kenyataan kontradiktif yang tak dapat ditepis bahwa, ada kerentanan konflik
hubungan Islam-Kristen, secara eksternal, hal ini diungkapkan oleh S.T dan juga
L.H sebagai para tokoh Masyarakat di negeri Batumerah bahwa, faktanya
memang sebelum konflik pecah pada Tahun 1999, terdapat konflik-konflik antar
desa tetangga – Batumerah (Islam) dan Mardika (Kristen) – karena kenakalan-
kenakalan remaja, seperti misalnya minom mabo, bakalai. Perkelahian antar
pemuda adalah hal yang wajar, bagi kami sebagai orangtatua itu biasa.46
Fenomena perkelahian antar pemuda Batumerah-Mardika sebagai suatu hal
yang dianggap wajar dan biasa terjadi juga diungkapkan A.K,47
sebagai Tokoh
Pemuda Negeri Batumerah bahwa: perkelahian antar pemuda Batumerah dan
Mardika ini juga beta alami ketika masih muda, perkelahian ini biasa terjadi
antara pemuda, “dolo katong deng ana mardika baku pukol malam besok pagi
beta su bale skolah”.
Selain itu Menurut V. L,48
ada juga bentuk konflik lain yang dilatari oleh
kecemburuan sosial antara orang asli dan pendatang baik dari muslim Ambon dan
Kristen Ambon. Orang Islam dari luar menguasai Pasar. Terdapat konflik antara
orang pendatang kailolo dan buton, karena itu logis bahwa konflik dimulai di
pasar.
2.2. Hubungan Islam-Kristen di Passo Sebelum Konflik
Pada konteks negeri Passo, kerukunan antar Islam-Kristen memiliki cerita
lain. Melalui penuturan J.J,49
yang merupakan mantan pemimpin umat Protestan
di Passo bahwa, hidup kerukunan antar umat beragama sangat erat. Kerukunan
46
Wawancara dengan S. T dan juga L.H (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 27 Agustus 2016. Di
dalam penggalan kalimatnya, kedua informan ini menyebutkan kata: minom, mabo, bakalai, yang
merupakan pelafalan dialek Ambon, yang biasanya untuk menyebut kata: minum, mabuk,
berkelahi. 47
Wawancara dengan A. K (Tokoh Pemuda Islam Negeri Batumerah), 14 September 2016. Di
dalam penggalan kalimatnya, informannya ini menyebutkan kata: katong, deng, ana, baku pukol,
su, bale, yang merupakan pelafalan dialek Ambon, yang biasanya digunakan untuk menyebutkan
kata: kita, dengan, anak, saling berkelahi, sudah/telah, kembali. 48
Wawancara dengan V. L. (Tokoh Masyarakat Katolik Negeri Batumerah), 5 September 2016. 49
Wawancara dengan J. J. (Tokoh Agama Protestan negeri Passo), 14 September 2016.
92
antar umat beragama yang demikian dipastikan oleh M.P,50
sebagai seorang tokoh
pemuda Passo. Menurutnya, kerukunan antar Islam dan Kristen di Passo tetap
terjalin dengan baik, sebelum konflik terdapat banyak sekali orang Islam sampai
terakhir 2005, masih hidup 11 orang Muslim dalam negeri Passo, mereka terlibat
dalam lingkungan. Kenyataan ini menepis anggapan dan stigma masyarakat
bahwa di Passo tidak ada komunitas Muslim.
Senada dengan itu, L.M,51
sebagai salah satu staf pemerintah desa Passo,
mengkonfirmasi fakta tersebut. Menurutnya, secara administratif, minoritas
penduduk Muslim mendiami daerah Batugong, dan Larier, sebanyak 5% dari
jumlah keseluruhan penduduk negeri Passo yang beragama Kristen. Orang Islam
dari dolo ada di belakang Mesjid nurul larier. Mereka (orang Islam) telah menetap
dan memiliki tanah bersetifikat melalui pemerintah adat Passo.
Selanjutnya, M. S, sebagai mantan raja Passo mengungkapkan bahwa,
sebelum konflik hubungan antar pemeluk agama, terjalin dalam kebersamaan,
saling toleransi, sehingga nampak dalam momentum-momentum hari raya,
baik Islam-Kristen saling mengunjungi. Terdapat beberapa keluarga muslim
yang bermukim dalam satu kompleks Kristen. Contohnya, salah satu
keluarga ibu janda muslim asal makasar, dalam sejarah hidupnya dia sangat
baik, dan katong orang Kristen yang bertetangga disitu hidup baik dengannya,
ketika konflik terjadi, kita tidak ingin mereka pergi tetapi kami tidak bisa
memaksakan keadaan ketika mereka harus tergusur, tanpa ada tekanan atau
terror dari warga Kristen mereka memilih untuk meninggalkan Passo.
C. KONFLIK BERDARAH ISLAM-KRISTEN DI NEGERI
BATUMERAH-PASSO DALAM HUBUNGAN PELA GANDONG DI
AMBON
Konsep Pela Gandong sebagai suatu budaya yang berakar dan menjiwai
kehidupan masyarakat Maluku keberagaman yang terbingkai dalam ikatan
kekeluargaan “Orang Basudara” telah diakui mampu menciptakan dinamika relasi
antar agama maupun etnis yang rukun dan harmonis. Akan tetapi, fakta ironisnya
konflik berkepanjangan di Maluku malah memposisikan orang Maluku, dalam hal
ini dua komunitas agama yang dominan jumlah pemeluk (Islam-Kristen) sebagai
yang saling berlawanan satu dengan yang lain.
50
Wawancara dengan M. P. (Tokoh Pemuda Protestan Negeri Passo), 14 September 2016. 51
Wawancara dengan J. J. (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo), 14 September 2016
93
Berdasarkan kenyataan itu maka, untuk memperoleh data bagi penulisan ini,
peneliti mengarahkan informan untuk menjawab beberapa pertanyaan,
diantaranya: apa saja faktor pemicu, dan penyebab serta dampak konflik terhadap
hubungan Islam-Kristen di ambon.
1. Faktor Pemicu Konflik
1.1. Maraknya isu simbolisasi identitas keagamaan
Kronologi insiden konflik di Batumerah tepatnya di lokasi terminal transit
angkutan umum Batumerah dilatarbelakangi oleh peristiwa perseteruan dua
pemuda, Masing-masing pemuda Makasar (Islam) dan Pemuda Negeri Aboru
(Kristen). Konflik yang terjadi di Batumerah, diungkapkan oleh para informan,
Tokoh Masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama Negeri Batumerah, antara lain:
Menurut S. T,52
yang merupakan salah satu tokoh adat negeri Batumerah dari
pihak muslim dan juga S.S,53
sebagai salah satu tokoh masyarakat Batumerah dari
pihak Protestan, konflik yang terjadi melibatkan orang Makasar dan orang Aboru.
Selebihnya, S.S. mengkisahkan bahwa, anak makasar memalak anak aboru,
karena tidak menerima perlakuan itu, anak aboru ini pulang kerumahnya, kembali
dengan parang mengikuti anak makasar itu, yang kemudian lari ke kerumunan
Muslim sambil berteriak: “tolong… tolong…orang Kristen mau potong beta…”,
perseteruan antar individu itu kemudian berkembang menjadi perseteruan antar
komunitas yang berevolusi dalam bentuk kekerasan fisik (saling serang: baku
lempar batu antara warga) terjadi sekitar pukul 02:00-04:00 sore, merebak sampai
pada pembakaran rumah warga Kristen (Batumerah), penyanderaan kendaraan
umum (angkot) desa Waai oleh warga di Galunggung.
T.T,54
mencurigai adanya rencana sistimatis dibalik konflik. Ia Katakan,
Konflik terjadi ketika orang Kristen, para pemimpin umat Protestan sementara
melangsungkan persidangan Klasis di jemaat GPM Bethara. Konflik, itu pecah
orang Kristen Batumerah kaget, orang Islam datang serang katong.
Dengan lugas, S.S,55
mengungkapkan ingatannya berdasarkan yang ia amati
pada saat konflik pecah tentang indikasi adanya sebuah rencana pihak Muslim. Ia
katakan bahwa:
52
Wawancara dengan S.T. (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 27 Agustus 2016 dan juga S.S.
(Tokoh Masyarakat negeri Batumerah), 29 Agustus,2016 53
Wawancara dengan S. S. (Tokoh Masyarakat Protestan Batumerah), 29 Agustus 2016 54
Wawancara dengan TT. (Tokoh Agama Negeri Batumerah), 1 September 2016 55
Wawancara dengan S.S. (Tokoh Masyarakat Protestan Batumerah), 29 Agustus 2016
94
Sebelum konflik, telah ada rencana, masyarakat Islam berkumpul di
Batumerah kampong. Waktu itu, ketika dalam perjalan mau pulang ka rumah,
pas beta dari pulang pegang tangan, sampe dipasar Batumerah dong su
Cakalele ika Kapala Putih. Bersamaan dengan itu…. ada seorang Makasar
yang dikenal kasi suara,,,, Bapa S. S baru pulang pegang tangan ka,,, Ia pas S.
S bajalan capat-capat jua,,, tidak berselang beberapa saat pas sampe rumah
langsung pica basar. ” anehnya, masalah uang 1000, pada saat meledak,
mereka sudah datang dengan bandera-bandera.
Konflik yang melibatkan warga Islam-Kristen dapat terjadi karena warga
terpicu oleh merebaknya isu-isu, simbolisasi identitas keagamaan kedua belah
pihak. Seperti yang disampaikan oleh seorang informan, Pdt. J.J,56
sebagai salah
satu pimpinan umat Protestan di Passo yang bertugas pada masa konflik bahwa,
ketika konflik, simbol-simbol agama muncul, misalnya: ketika awal konflik
terdapat seruan: “…. tolong. . tolong. . orang Kristen mau potong katong…. . ”.
Senadan dengan ini, N. K,57
sebagai seorang warga muslim juga mengatakan
bahwa: “ada isu agama, sejak awal kita (warga Islam Batumerah) mengetahui
bahwa konflik terjadi karena orang luar yang memanas-manasi, yang
mempengaruhi, memancing keadaan dan emosi, misalnya: orang kristen
menyerang wilayah muslim dan seorang Ibu berjilbab dipaksa melepaskan
jilbabnya”.
Bersamaan dengan itu, informan lain, yakni J.T,58
mengungkapkan bahwa,
kemunculan fanatisme keagamaan bukan hanya di Islam tetapi juga Kristen.
Fanatisme keagamaan membuat orang merasa dirinya yang paling benar, dan
mendiskriminasi orang lain, atau agama lain. Fanatisme keberagamaan sangat
kuat, orang Islam bisa rela mati untuk menjaga identitas membela agama, ini
kemudian yang menjadi pemicu konflik.
Fakta merebaknya konflik karena pemeluk agama terprovokasi oleh adanya
isu dan fanatisme agama pun terkuak dalam penuturan C.R,59
bahwa:
“Katong iko kaco (konflik) karena terpancing ketika mendengar mesjid
terbakar, pembantaian orang Islam mengakibatkan orang emosi, makanya
56
Wawancara dengan J. J. (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo), 14 September 2016 57
Wawancara dengan N. K (Tokoh Masyarakat Islam Negeri Batumerah), 27 September 2016 58
Wawancara dengan Pdt. J.T (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo), 3 Oktober 2016 59
Wawancara dengan C.R. (Warga Islam Negeri Batumerah), 27 September 2016. Di dalam
pengggalan kalimatnya, ia melafalkan beberapa kata dalam dialek Ambon: dong, sanang, paleng,
basar, liat, kalo, beta, dan dapa. Masing-masing kata secara berturut-turut mengandung arti yang
sama dengan kata: mereka, senang, paling, besar, lihat, kalau, saya, dapat.
95
lewat Tagbir, semua orang Islam terpanggil, padahal karena kepentingan,
orang yang pegawai dong sanang katong orang susah tetap susah. Kalau
orang Islam pilih kasih paleng basar, dia liat umat jadi kalo sesama susah
yang lain merasa terpanggil. Contohnya, beta kaka dapa pukul sama saja
deng beta dapa pukul, kecenderungan ini sifatnya komunal. ”Hal
samaditegaskan oleh I.N.60
sebagai Tokoh Agama Batumerah, bahwa
masalah agama adalah masalah agama, agamamu untuk kamu dan agamaku
untuk aku. Kalau dalam Islam sebagaimana tertulis dalam alquran, perang
antar agama itu lain. itu adalah panggilan Jihad, sakral, walaupun dia seorang
pemabuk, tetapi kalau agamanya disinggung, itu spontan, bagi semua Islam.
Di lain kesempatan, oleh seorang informan, A.K,61
sebagai warga Muslim
yang pada saat sebelum konflik bermukim di wilayah Air Salobar (Komunitas
Kristen) sejak tahun 1990 mengidentikfikasi adanya isu agama. katakan bahwa:
sebelum konflik pada tahun 1999 terjadi, beta dan keluarga tinggal di daerah
benteng, satu malam sada satu pemuda, mahasiswa (warga Kristen) lempar beta
rumah, sambil melempar, dia bataria: “orang Kristen ni bodo, katong pung orang
su dapa bunu di Katapang katong diam saja”.
1.2. Keterlibatan Oknum TNI dan Kelompok-kelompok Radikal: Pihak
ketiga
Keterlibatan oknum TNI sebagai aparatur pemerintah dalam konflik di Kota
Ambon memiliki cerita yang kontradiktif. Pada satu sisi, TNI telah melakukan
tugasnya sebagai aparat keamaan, tetapi juga terlibat sebagai aktor kekerasan,
seperti penembakan,. Sebagaimana yang diungkapkan oleh N.K,62
seorang warga
Muslim Di Batumerah, yang mengkisahkan tentang pengalamannya ketika
mengalami konflik, Ia katakan bahwa:
Ketika seorang adik laki-laki kandungnya tertembak saat melintasi jalan
Batumerah, tertembak. Saat melihat ade pung mayat terbayang pandangan
bahwa tidak ada orang muslim atau Kristen yang dilatih untuk menembak
khusus (jitu), adik saya dia di sniper, ini tidak mungkin masyarakat biasa.
Ada juga beta pung pengalaman, melihat dengan mata kepala langsung, satu
kali dalam mobil bersama dengan seorang ibu, tiba-tiba terdengar bunyi kaca
seperti batu yang dilempar tiba-tiba ibu itu jatuh tersandar di beta pung bahu
60
Wawancara dengan I. N (Tokoh Agama Islam Batumerah), 14 Septembe 2016 61
Wawancara dengan A.K (Tokoh Pemuda Batumerah, Delegasi Malino II), 13 September 2016.
Dalam penggalan kalimatnya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam pelafalan dialek
Ambon: bataria, bodo, bunu, yang biasanya disebutkan untuk menyebut kata: berteriak, bodoh,
dan bunuh. 62
Wawancara dengan N. K (Tokoh Masyarakat Islam Negeri Batumerah), 27 September 2016
96
dan terkapar. Sementara itu, menurut V. L.63
“banyak warga yang jato karena
ada peluru datang sementara warga semua tunduk, maraya.
Sejumlah fakta keterlibatan TNI dalam konflik, sebagai penegak hukum yang
tidak netral, dan terlibat dalam penyerangan-penyerangan di wilayah Kristen,
seperti yang diungkapkan oleh M.P,64
yang juga merupakansala satu Tokoh
Pemuda Protestan Negeri Passo, Ia katakan bahwa:
Ketika konflik TNI memberikan peluru kepada masyarakat. Menurutnya,
aparat tidak netral. Ada TNI yang datang mengamankan, ada yang datang
biking kaco. Kejadian tahun 2000, bukan masyarakat, tetapi ada keterlibatan
TNI, korban di perbatasan negeri lama, semua tentara, ditemukan KTA ketika
mayatnya diperiksa, dong maju pake pakiang putih, tetapi dalamnya loreng.
Selain itu, dalam konflik terdapat juga kelompok-kelompok tertentu pada
kedua belah kubu yang bertikai (Komunitas Islam-Kristen). Hal mana terungkap
oleh V.L, sebagai tokoh Masyarakat Katolik, Ia katakan bahwa: “ada kelompok
yang barmaeng, baik dari pihak Kristen maupun Islam. Ada kelompok “yudas”
yang dipakai. Olehnya, seorang informan, P.L,65
sebagai seorang Tokoh Agama
Kristen Protestan, dalam pengalaman kepemimpinannya Jemaat Ahuru, ia
ungkapkan bahwa:
“ketika konflik, ada kelompok Kristen “Pasukan Agas”, sebelum mereka
beraksi, menyerang komunitas muslim setempat, mereka kaluar meminta beta
berdoa par dong. P.L. selaku pimpinan umat Kristen menegaskan bahwa
umat asli setempat hanya bertahan tidak melakukan penyerangan, “katong
samua di dalam gereja,, katong samua diperbatasan saja,,, yah,, arti biar
bagemana,, istilah sapa cari dia dapa,, ose datang ya katong seng picari, ose
datang mau potong beta, beta potong ose kamuka”.
Seorang informan, V.R,66
yang juga merupakan ketua RT di wilayah Ahuru
mengungkapkan tentang keterlibatan “orang luar” dalam konflik, secara panjang
lebar dia katakan bahwa:
Konflik secara umum, ada keterlibatan orang luar. Di awal pecah tahun 1999
orang asli tidak tahu apa-apa, tidak tahu masalahnya apa. Saat konflik, ada
63
Wawancara dengan V.L. (Tokoh Masyarakat Katolik Negeri Batumerah), 5 September 2016 64
Wawancara dengan M.P. (Tokoh Masyarakat Katolik), 3 September 2016. Dalam penggalan
kalimatnya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam pelafalan dialek Ambon: biking, kaco,
pake, pakiang, masing-masing secara berturut-turut kata-kata tersebut biasanya dipakai untuk
menyebutkan kata: membuat, kacau, memakai, pakaian. 65
Wawancara dengan P.L. (Tokoh Agama Protestan negeri Passo), 3 Oktober 2016. 66
Wawancara dengan V.R (Tokoh Agama Katolik negeri Batumerah; Ahuru), 4 September 2016
97
saling menjaga antar kedua komunitas. Ada orang luar (laskar-laskar) datang
menghantam katong disini, orang Islam dan Orang Kristen masing-masing
menjaga wilayahnya. Masing-masing memilih bertahan, begitupun
komunitas katolik. Orang Muslim semua lari, orang Kristen menjaga wilayah
Muslim bahkan mesjid. Orang luar serang, dari kebun cengkeh, mereka orang
jawa.
Keberadaan orang luar (Baca: Pendatang) dalam konflik juga teridentifikasi
melalui penuturan A.K,67
sebagai salah satu Tokoh Masyarakat Batumerah
(Kebun Cengkeh). Ia katakan bahwa, penyerangan pihak muslim di wilayah Stain
(Batumerah) dilakukan oleh orang-orang pendatang, katong bisa membedakan
mana orang asli mana orang pendatang, ada juga kelompok-kelompok Laskar
Jihat yang datang dari luar daerah (Jawa).
2. Faktor penyebab Konflik: Kecemburuan sosial-ekonomi
Konflik dalam hubungan Islam-Kristen di Ambon dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor lain, seperti kecemburuan sosial-ekonomi: penguasaan pasar oleh
pendatang; terkait kuasa dan jabatan struktur. Hal mana terungkap oleh, Pdt. J.J.
dan juga disampaikan oleh Pdt. J.T (Tokoh Agama Jemaat GPM Passo), terdapat
juga faktor ekonomi, ada kecemburuan berkaitan dengan jabatan, sebelum konflik
pihak muslim selalu merasa di nomor duakan.68
Lebih lanjut Pdt. J,T, melihat tentang butir kesepakatan malino, yakni tentang
perimbangan keterwakilan jabatan sturuktural dalam masyarakat di antara kedua
belah pihak yang bertikai (Islam-Kristen). Menurutnya, ketika hal perimbangan
dibahas dan diputuskan dalam butir-butir ketetapan Malino II, maka artinya ada
tujuan menyangkut kekuasaan dari konflik ini. Bagi saya sangat tidak tepat kalau
harus menerima konsensus untuk menerima perimbangan yang berdampak tidak
baik, ketika kualitas tidak dilihat tetapi tentang perimbangan keterwakilan baik
didalam jabatan birokratif, di instansi pendidikan.
Seorang informan, A.K,69
yang merupakan salah satu peserta Malino II
delegasi dari negeri Batumerah mengungkapkan bahwa, memang dalam 11 point
kesepakatan Malino, selain membicarakan soal isu RMS, ada juga salah satunya
67
Wawancara dengan A. K. (Tokoh Mayarakat Islam Negeri Batumerah), 14 September 2016 68
Wanwancara dengan J. J. dan Pdt. J.T. (Tokoh Agama Protestan negeri Passo),14 September
dan 3 Oktober 2016 69
Wawancara dengan A.K. (Tokoh Masyarakat Islam Negeri Batumerah), 14 September 2016
98
yakni membicarakan soal pembagian, pemerataan dan penyeimbangan
keterwakilan pemeluk kedua agama dalam proses penerimaan pegawai, begitu
juga pimpinan-pimpinan dinas, penerimaan-penerimaan mahasiswa. Katong
pihak Islam ingin kalo bisa jang sampe miring-miringlah. seperti contohnya, di
kotamadya penerimaan pegawai 50, katong seng sampe 10 lai…. .
Selain itu, menurut V.L. konflik juga dilatari oleh faktor kecemburuan orang
Maluku, baik Islam maupun Kristen yang merasa pasar dikuasai oleh BBM.
Sebelum konflik telah ada gesekan-gesekan kecil antara orang Kailolo (Pulau
Seram) dan orang Buton. Sementara itu, S.A,70
seorang Tokoh Agama Islam di
Batumerah (Penduduk Pendatang), yang juga beraktifitas sebagai pedagang di
wilayah Ruko Batumerah mengungkapkan bahwa memang dari dulu, sebelum
konflik pasar dikuasai oleh warga pendatang, yang kebanyakan adalah orang
Sulawesi. Para pendatang ini, memiliki paguyuban-paguyuban. Hal ini juga
ditegaskan oleh I. N.71
sebagai Tokoh Agama Negeri Batumerah (Penduduk Asli),
menurutnya, sejak dolo telah ada kecemburuan sosial, orang Maluku tidak mau
orang luar maju.72
Karena sebagai penduduk asli Maluku di Batumerah merasa
dikuasai oleh orang luar, lokasi pasar dikuasai oleh orang makasar, dan orang
jawa. Orang asli hanya sekedar, jual kue saja tapi selebihnya seng ada.
3. Dampak Konflik Terhadap Hubungan Islam-Kristen
Konflik yang terjadi di Ambon telah menciptakan sejarah yang kelam dan
mencekam. Banyak korban jiwa, kerusakan, kekerasan, bahkan juga dapat
membendamkan dendam dan kebencian yang membara pada benak masyarakat
secara personal. Dalam wawancara langsung terungkap beberapa bentuk dampak
konflik dalam hubungan Islam-Kristen, diantaranya yakni: lunturnya
kesalingpercayaan berupa kecurigaan dan keterancaman; kewaspadaan terhadap
Isu radikalisme keagamaan.
S.S,73
sebagai salah satu warga Kristen yang kembali menetap diantara
penduduk Batumerah yang mayoritas mengungkapkan fakta kewaspadaan orang
70
Wawancara dengan S.A. (Tokoh Agama Islam Negeri Batumerah), 14 September 2016 71
Wawancara dengan Pdt.(Emr).J.T (Tokoh Agama Protestan Negeri Batumerah), 1 September
2016 72
Wawancara dengan I. N. (TOkoh Masyarakat Islam Negeri Batumerah), 20 September 2016 73
Wawancara dengan N.S (Warga Protestan Batumerah), 29 September 2016
99
Kristen terhadap isu radikalisme agama di Maluku, bahwa: pada tahun 2015 ini
ada kelompok Isis yang ditangkap di Batumerah sebanyak 20 orang.
3.1. Kecurigaan
Dampak rasa tidakpercaya berupa kecurigaan dalam hubungan Islam-Kristen,
dialami oleh S. A,74
sebagai seorang warga Muslim pendatang Batumerah ketika
melakukan aktifitas pasar pada salah satu swalayan yang terlatak di wilayah
komunitas Kristen, sebagaimana yang diungkapkannya bahwa, “minggu kemarin
beta balanja di Planet 2000 di sabala atas, waktu itu beta pake songko haji, beta
mengamati ada om satu perhatikan beta begitu lama, menurut beta antua rasa
aneh deng beta dan beta pun berasa tidak tenang. Berbeda kalo balanja di
Planet di A. Y. Patty”.
3.2. Rasa Keterancaman
Rasa keterancaman yang dialami individu dalam relasi antar warga minoritas
yang mendiami wilayah mayoritas mengikis kebersamaan dalam kehidupan antar
pemeluk agama Islam-Kristen. Warga Islam merasa terancam di wilayah Kristen
dan Warga Kristen terancam di wilayah Islam. seperti yang diungkapkan beberapa
informan, diantaranya:
M. P,75
sebagai salah satu tokoh masyarakat di negeri Passo menjelaskan bahwa:
Sejak konflik 1999 hingga tahun 2001 semua orang muslim (Batugong,
Larier) 1000-2000 (5 %), BBM, bakabong) masih ada di Passo, sampai 2005
masih hidup 11 orang Islam (6 anak muda, orangtatua 5) dalam negeri Passo
melakukan aktifitas dagang, mereka tertekan setelah ada gangguan dari orang
luar, sehingga ada ketakutan dan rasa terancam. Akhirnya orang Passo
mengevakuasi mereka ke desa Halong, komunitas muslim. Mesjid Passo
runtuh pada saat Gereja Silo terbakar ; tahun 1999 orang Muslim dan Kristen
berupaya secara bersama menjaga jalur masuknya orang dari luar kota (Hitu)
di jembatan air basar.
Sementara itu, A.K,76
sebagai salah satu tokoh masyarakat di negeri
Batumerah, turut menegaskan waktu itu b RT , Pica pertama-kedua ada masi 5
74
Wawancara dengan S.A (warga Muslim Sulawesi Batumerah), 9 September 2016. Dalam
penggalan kalimat yang diuntarakannya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam pelafalan
dialek Ambon: balanja, sabala dan antua, yang biasanya di sebutkan untuk menyebut kata:
belanja, sebelah, beliau. 75
Wawancara dengan M. P. (Tokoh Pemuda Protestan Negeri Passo), 14 September 2016
100
K.K, termasuk 1 ibu guru, lakinya kerja di Benjina, kalau ada jam kerja ibu itu
datang tinggal deng bini disini. Pica pertama, beta masih amankan mereka sampai
pada pica kedua mungkin karena ada ana-ana kelompok yang pastroli beta deng
armet kasi pindah antua ka petra. Ada beberapa warga yang jaga malam sama-
sama pas pica pertama, beta yakin bisa amankan, tetapi jaga orang luar.
J.T,77
selaku pimpinan umat Protestan di Passo memberikan pemikirannya
menyikapi fenomena dampak konflik terhadap hubungan agama-agama secara
khusus bagi dinamika hidup orang Maluku, bahwa:
Konflik yang meninggalkan traumatik yang mendalam dan berat dalam kedua
belah pihak, tidak gampang dihilangkan dengan membalikan telapak tangan.
GPM secara kelembagaan telah bekerjasama dengan instansi-instansi terkait
telah mengupayakan sejumlah kegiatan yang terfokus pada usaha
membangun rasa saling percaya dan menjamin kerukunan dan ketentaraman
hidup beragama, salah satu kegiatan yang pernah diikuti yakni, trauma
healing. Kegiatan ini melibatkan kedua komunitas. Didalamnya sebuah
pendekatan coba dibangun misalnya kita dari Kristen ber-live-in selama
beberapa waktu di kediaman saudara Muslim dan sebaliknya Muslim pada
keluarga Kristen. Saat itu saya ditempatkan di salah satu rumah warga
muslim (Imam) di daerah Nania, jujur ada ketakutan, malamnya saya tidak
dapat tidur. Ia juga melanjutkan tentang pengaruh konflik pada penciptaan
karakter keras warga jemaat khusunya anak-anak muda yang secara langsung
telah mengalami konflik dan kekerasan. Akhirnya saya ingin katakan bahwa
butuh waktu yang tidak cepat untuk memupuk kepercayaan. Untuk itu, butuh
kerjasama antara instansi, pemerintah dan gereja, tokoh-tokoh masyarakat
dan agama untuk mengembalikan kepercayaan itu.
D. HUBUNGAN ISLAM-KRISTEN DALAM PELA GANDONG DI
NEGERI BATUMERAH-PASSO PADA MASA KONFLIK
Pada bagian selanjutnya dari bab ini, peneliti mengarahkan informan untuk
menjawab beberapa pernyataan, diantaranya: Pertama, Bagaimana hubungan
Islam-Kristen dalam Budaya Pela Gandong pada saat konflik; Kedua, Apa saja
praksis, dan kegiatan-kegiatan hubungan Pela Gandong pada saat konflik.
Konflik melahirkan perubahan yang signifikan terhadap relasi antar agama
(Islam-Kristen). Kerekatan hubungan antar masyarakat yang dibingkai dalam
budaya orang Basudara di Maluku sebelum konflik telah menjadi renggang pada
masa konflik. Akan tetapi, faktanya justru dalam usaha menyikapi perubahan
76
Wawancara dengan A. K. (Tokoh Pemuda Islam Negeri Batumerah), 14 September 2016 77
Wawancara dengan J. T. (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo), 1 Oktober 2016
101
tersebut terdapat juga proses-proses bersama yang coba dibangun oleh tokoh-
tokoh agama dan masyarakat dan telah berhasil mempersatukan seluruh
komponen masyarakat yang juga merupakan warga pemeluk agama. Indikator
kerenggangan hubungan dan proses asosiatif yang terbangun dalam hubungan
antara pemeluk agama (masyarakat) ini diungkapkan para informan yang
diwawancarai pada kedua lokasi penelitian.
1. Hubungan Islam-Kristen Batumerah-Passo Masa Konflik
1.1.Hubungan Islam-Kristen di Batumerah Pada Masa Konflik
N.K,78
mengungkapkan bahwa: ketika konflik pecah, orang Islam
menyelamatkan orang Kristen (tetangga), keluarga dan warga Kristen kami
arahkan untuk meninggalkan kediamannya, bukan berarti kami mengusir mereka
tetapi karena kondisi maraknya isu-isu agama itu membuat kami merasa tidak bisa
menjamin mereka. Kita tidak bisa mengontrol masa dari luar yang datang karena
emosi sebagai korban.
Senada dengan itu, V.R,79
sebagai tokoh masyarakat katolik di wilayah Ahuru
mengungkapkan bahwa: hubungan Islam-Kristen ketika konflik terjadi sangat
baik sekali, ada saling menjaga keamaan, orang Islam datang jaga gereja,
sebaliknya orang Kristen jaga Mesjid. Makanya dalam konflik ambon, wilayah
Ahurulah yang terakhir jatuh, kejatuhan itu juga karena ada orang luar datang
menyerang secara kelompok.
Hubungan antar pemeluk Islam-Kristen yang secara sesaat terbangun tidak
dapat dipertahankan ketika ada pihak dari luar, baik di wilayah Islam maupun
Kristen. Kondisi ini menurukan intensitas interaksi antar agama: dalam hal ini
para tokoh-tokoh agama maupun masyarakat tidak dapat membangun komunikasi,
negosiasi antar pemimpin umat.
Menurut V.R, ketika konflik berlarut, umat katolik memilih bertahan,
dilarang untuk menyerang, kita hanya bertahan dan menjaga-jaga apabila ada
penyerangan kita akan membela diri.
78
Wawancara dengan N.K (Tokoh Masyarakat Muslim di Batumerah), 27 September 2016 79
Wawancara dengan V.R (Tokoh Masyarakat Katolik Ahuru: Negeri Batumerah), 5 September
2016
102
Selanjutnya, A. A,80
yang merupakan pimpinan umat Protestan di Batumerah:
Ahuru, mengungkapkan bahwa:
Ketika konflik berkepanjangan sempat redah pada tahun 2002, hubungan
antar agama kurang terbuka, terdapat jurang pemisah, antar ketiga belah
pihak (Katolik, Protestan, dan Muslim), yang enggan untuk menghadiri
undangan-undangan resmi acara-acara keagamaan masing-masing. Moment-
moment khusus yang hanya dapat memungkinkan kebersamaan adalah ketika
diupayakan kegiatan-kegiatan sosio-praktis, misalnya kerja bakti bersama,
penghijauan. Hubungan komunikasi antar pimpinan agama hanya sebatas
menjaga keamanan umat. protektif menjadi eksklusifme umat katolik.
Fenomena kecurigaan dan terancam yang diakibatkan oleh konflik dalam
hubungan antar agama telah memungkinkan peran dan fungsi tokoh-tokoh Agama
untuk dapat berupaya merajut kebersamaan dan rasa persatuan. K.J,81
sebagai
seorang pimpinan umat Katolik di Ahuru mengkisahkan bagaimana dirinya
berinisiatif membangun relasi dan menciptakan ruang kerjasama antara tokoh-
tokoh agama Islam maupun Protestan di wilayah konflik. Ia menurutkan bahwa:
Di tahun 2011 umat katolik diperhadapkan dengan salah satu tanggungjawab
besar, yakni penyelasian dan peresmian gedung Gereja Yakobus Ahuru,
sebagai salah satu daerah rawan konflik, yang secara geografis terletak
diantara dua komunitas Muslim dan Protestan, maka saya memiliki visi untuk
mengembalikan kepercayaan dan kerekatan hubungan antar agama setelah
konflik. pertama-tama saya berinisiatif menemui tokoh-tokoh agama,
merangkul tokoh-tokoh agama dalam kesepakatan bersama untuk menyulam
kembali kerukunan agama seperti semula sesuai dengan filosofi orang
Maluku tentang persaudaraan yang rukun, melalui berbagai aktifitas
keumatan yang dapat diprakarsai oleh pimpinan agama Katolik, (Pastor),
Protestan (pendeta), dan Muslim (ustat) di wilayah Ahuru.
Selebihnya, K.J82
ungkapkan bahwa:
Ketika momentum peresmian gedung Gereja Katolik berhasil dilaksanakan
dengan sejumlah proses acara yang melibatkan umat Muslim, yang juga
dihadiri dari para undangan dari berbagai kalangan masyarakat sampai
pemerintah daerah, pada saat itu saya merasakan sendiri ada titik balik yang
luarbiasa ketika moment peresmian gereja, yang panitianya 2/3 muslim dan
Protestan. Seremonial diatur bersama dan melibatkan pemeluk agama,
misalnya, penerima tamu pake kabaya ambon (anak-anak Protestan), pake
songko (Anak-anak Muslim), acara ini dijadikan moment rekonsiliasi, dalam
80
Wawancara dengan A. A (Tokoh Agama Protestan Negeri Batumerah), 3 Oktober 2016 81
Wawancara dengan K.J. (Tokoh Agama Katolik Bnegeri Batumerah: Ahuru), 27 September
2016 82
Wawancara dengan K. J. (Tokoh Agama Katolik Batumerah), 27 September 2016
103
bentuk keterlibatan nyata, orang menyaksikan karya oikumenis. Ini
berdampak baik, bagi hubungan masyarakat di wilayah rentan konflik.
meminimalisir rasa curiga, dan memupuk kerinduan untuk merajut
kebersamaan. Dan kebersamaan itu tercipta ketika dalam relasi yang
terbangun ada proses saling memberi dan menerima, misalnya untuk
kepentingan pembangunan gedung ibadah atau kegiatan-kegiatan keagamaan,
baik pihak muslim maupun katolik dan protestan ada saling membantu secara
material maupun moril.
Pada konteks hubungan kemasyarakatan, terdapat juga proses bersama yang
secara spontan terbangun melalui inisiatif warga kedua belah pihak. Tanpa
pengingkaran terhadap signifikansi peran tokoh-tokoh masyarakat pada wilayah
rentan konflik di Batumerah, seperti yang diungkapkan oleh V.Lbahwa 83
:
Pada tahun 2011, ada kesadaran bersama bahwa yang bisa menjaga situasi
hanyalah orang ambon. Ketika ada konflik, terbangun pemikiran bahwa lebe
bae katong susah daripada karena satu orang lalu jadi basar-basar. Ada
kumunikasi saling bakulia dan pos jaga bersama warga Islam-Kristen. Tokoh-
tokoh msayarakat saling menjaga situasi, ketika hubungan baik telah terjalin,
maka ketika ada gejolak kekacauan yang dilakukan oleh individu pada saat
itupun dipangkas. Dan juga kalo ada warga yang mabok, langsung ditindak
tegas. Katong membangun kesadaran bersama bahwa sebagai warga
walaupun dia mau berasal dari manapun, ada orang dari Saumlaki, Pelau,
Seram, Kei, Tanimbar, Buru katong semua satu kampong. Katong semua
warga sama-sama adalah korban pengungsian dari berbagai daerah di
Maluku. Ketika ada gejolak-gejolak ketersinggungan dalam membangun
hubungan antar umat. dilihat sebagai tantangan bersama yang dihadapi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Proses tersebut pun diakui oleh seorang tokoh masyarakat dari pihak Muslim
yang selingkungan dengan V.L, di Ahuru, M. Latupono84
menambahkan bahwa,
ketika ada proyek pembangunan seperti misalnya, berbagi, dapa setapak katong
kasi par dorang, aer katong dapat juga katong kasi par dorang, ada proyek karja
bangunan, katong panggel basudara Kristen untuk karja.
S.T85
. yang merupakan tokoh Masyarakat Adat Negeri Batumerah,
mengungkapkan bahwa, ketika konflik sementara redah, ada upaya dari
83
Wawancara dengan V.L. (Tokoh Masyarakat Katolik Negeri Batumerah: Ahuru),5 September
2016. Dalam penggalan kalimatnya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam pelafalan
dialek Ambon: lebe bae, bakulia, kalo, dan kampong, yang biasanya dipakai untuk menyebutkan
kata: lebih baik, bertatapan, kalu, dan kampong. 84
Wawancara dengan M.L. (Tokoh Masyarakat Muslim Batumerah: Ahuru), 5 September,
2016. Dalam penggalan kalimatnya, informan ini menyebutkan beberapa kata dalam pelafalan
dialek Ambon: dapa, par, dorang, aer panggel, yang biasanya dipakai untuk menyebutkan kata:
dapat, untuk/kepada, mereka, air, panggil. 85
Wawancara dengan L. H. (Tokoh Masyarakat Islam Negeri Batumerah), 2 September 2016
104
pemerintah negeri dalam rangka mengembalikan rasa kepercayaan dan menjamin
ketrentraman warga Kristen di Ahuru, salah satunya yaitu untuk membalikan
orang Katolik, tindak lanjut kegiatan itu yakni ada bakti bersama. Diharapkan
upaya ini dapat menjadi dasar untuk meyakinkan, memberikan jaminan yang
diberikan oleh pemerintah negeri.
Sementara itu, I.N86
mengungkapkan perihal terkait dengan masalah
fanatisme, ingin mengembangkan agama, merupakan hal yang wajar. Tetapi
akhirnya kurang ada kerjasama, karena itu solusi bagi persoalan ini diakuinya
bahwa:
Konflik menuntut peningkatan kerjasama antar agama, dan secara internal
tema khotbah diharapkan menyentuh umat. seperti misalnya, Islam
mengajarkan bahwa rahmat kepada seluruh semesta, ini adalah sentuhan-
sentuhan sosial menepis radikalisme. Hubungan pela gandong di Maluku
sendiri mempersatukan visi semua agama dalam kemanusiaan, dalam pela
semua orang diajarkan untuk tidak menyusahkan, menyakiti sesama. Ini juga
merupakan visi agama-agama. Melalui konflik orang belajar bagaimana
masalah pribadi dibawa-bawa sebagai masalah agama, ini bentuk provokasi
yang memicu konflik.
1.2. Hubungan Islam-Kristen di Passo Pada Masa Konflik
M. P, mengungkapkankan bawah,87
selama konflik sejak 1999-2001, warga muslim yang berdomisili Batugong,
Larier, kurang lebih 1000-2000 masih ada di Passo, bahkan sampai tahun
2005 masih hidup -± 11 warga muslim yang terdiri dari enam anak muda, dan
lima dewasa- dalam negeri Passo, melakukan aktifitas dagang. Konflik dan
kekerasan yang terjadi kemudian membuat mereka tertekan, setelah ada
gangguan dari orang luar, sehingga ada ketakutan dan rasa terancam. Karena
itu, orang Passo berinisiatif mengevakuasi mereka ke desa Halong, komunitas
muslim. Salah satu Mesjid di Passo runtuh pada saat terdengar kabar Gereja
Silo terbakar pada tahun 1999, sebelum itu, orang Muslim dan Kristen
khususnya para pemuda di Passo berupaya bersama menjaga jalur masuknya
orang dari luar kota (Hitu).
Oleh Y.S,88
katakan bahwa, sampai pada masa konflik 1999 terjadi, orang
Islam dan Kristen tidak hanya menjaga diperbatasan, tetapi bahkan juga bersama
menjaga Gereja.
86
Wawancara dengan I.N. (Tokoh Agama Islam Negeri Batumerah), 20 September 2016 87
Wawancara dengan M. P (Tokoh Pemuda Negeri Passo), 14 September 2016 88
Wawancara dengan Y.S. (Tokoh Adat negeri Passo), 27 September 2016
105
Dampak perubahan demografis (kependudukan) pada saat terjadinya konflik,
seperti yang disebabkan oleh arus masuknya para pengungsi korban konflik dari
luar yang kemudian berdomisili tetap pada katong-katong Muslim maupun
Kristen pada umumnya, dan di negeri Passo khususnya secara langsung
menciptakan kendala sosial berupa melemahnya sistem kontrol kemasyarakatan,
keadaan ini pada akhirnya berpengaruh dalam bagaimana membangun hubungan
yang baik antar agama pada saat konflik.
Oleh M.S,89
selaku salah satu tokoh masyarakat, dan juga mantan Raja negeri
Passo secara spesifik mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi dari segi
Adat. Menurutnya, kendala membangun relasi, dapat juga disebabkan oleh
karakter masyarakat yang homogen, membaurnya suku: Tenggara, Lease, Tarnate.
Oleh karena itu, hubungan Pela Gandong yang eksklusif: antar dua Negeri yang
berpela, terbatas antara negeri, tetapi antar individu dalam konteks plural, nilai-
nilai budaya kemajemuk menjadi kendala membangun hubungan antar agama.
Selebihnya, menurut M.S, pemerintah negeri sadar tidak dapat menjamin
ketentraman dan kerukunan hidup warga. Akan tetapi, adanya Mesjid Nurul yang
tegak berdiri dan dijaga oleh masyarakat Negeri Passo.90
Keberadaan Mesjid di
negeri Passo merupakan tanda bahwa orang Passo (Kristen) menjaga relasi
dengan saudara di Batumerah (Islam), disini, Pela Gandong menjadi faktor
perekat, dan karena keterikatan itulah maka, orang Passo merasa berkepentingan
untuk menjaganya.
Pada sisi lain, terdapat harmonisasi dalam relasi yang terbangun dalam
kehidupan bertetangga antara Islam-Kristen, yang secara eksklusif dilakoni oleh
satu-satunya keluarga muslim di Passo yang bermukim diantara ratusan warga
Kristen lainnya, seperti yang dialami oleh M.S.91
Beliau mengisahkan
pengalamannya ketika dalam konflik bersama dengan salah satu tetangganya yang
beragama Islam, bahwa:
……. ada satu keluarga Muslim, yang dengan karakter hidup yang baik,
bergaul, makan juga katong sama-sama, sangat akrab deng katong, sehingga
pada saat konflik terjadi mama daeng deng dia pung anak-anak, mereka tidak
89
Wawancara dengan J.T. (Tokoh Agama Protestan Negeri Passo), 3 Oktober 2016 90
Wawancara dengan M.S. (Tokoh Masyarkat Negeri Passo), 27 September 2016 91
Wawancara dengan M. S. (Tokoh Masyarakat Negeri Passo), 19 September 2016. Di dalam
penggalan kalimatnya, informan ini meyebutkan dua kata dengan pelafalan dialek Ambon: katong,
deng. Yang biasanya disebutkan untuk menyebut kita dan dengan
106
beranjak dari Passo. Mereka sangat yakin Basudara Passo tidak mungkin
menyusahkannya, bahkan sampai saat ketika ibu itu meniggal, kami berupaya
untuk menghubungi keluarganya dan membantu proses pemindahan jenazah
ke Alfatah untuk dekudian di makamkan secara keIslaman……
Senadan dengan pengkisahan M.S diatas, M.B, sebagai satu-satunya keluarga
Islam asli Sulawesi, kediaman benteng karang (Leitimur) yang ketika konflik
pecah mengungsi bersama orang Kristen ke daerah Passo dan menetap disana
sejak tahun 1999, mengungkapkan bahwa92
:
eratnya hubungan kekeluargaan antara Islam-Kristen sangat berbeda, kalo
sebelum konflik, masing-masing katong pikir… sapa se sapa beta…, tetapi
ketika konflik terjadi, dalam pengalaman katong tinggal bersama orang
Kristen di sini rasa kekeluargaan ini sangat kental,,, bukan hanya dilakukan
ketika ada acara-acara bahagia, tetapi bahkan ketika salah satu warga
mengalami kedukaan, orang akan memberikan bantuan,, karena itu, katong
sekeluarga (bersama Ibu dan ketiga orang saudaranya) berkeyakinan dan
percaya bahwa orang Kristen tidak akan menyakiti kita, bahkan katong
merasa lebih nyaman, dihargai, dijaga oleh orang Kristen daripada sesama
Islam, orang Kristen pung hidop beda deng orang Islam.
2. Kondisi Masyarakat Negeri Batumerah-Passo pada masa konflik 1999
Negeri Batumerah merupakan lokasi awal mula pecahnya konflik sosial yang
terjadi di Kota Ambon pada 19 Januari 1999. Konflik bertepatan dengan moment
perayaan hari besar keagamaan umat Muslim, yakni hari Idul Fitri. Kenyataan
yang terjadi pada perayaan Idul Fitri sendiri, seperti biasanya masyarakat Ambon
(sesama warga muslim mapun warga Kristen terhadap muslim) ada saling
bersilaturahmi, mengunjungi kediaman masing-masing untuk berjabat tangan.
Karena itu, saat konflik terjadi, “orang Passo (Kristen) ada pegang tangan di bapa
raja Batumerah (Muslim) pung rumah”.93
Negeri Batumerah, selain didominasi oleh warga Muslim, juga terdapat
komunitas Kristen, jemaat GPM betabara yang terdiri dari 8 sektor pelayanan, 7
dari 8 jumlah keseluruhan sektor pelayanan dalam wilayah tengah-tengah
(Batumerah dalam), dan sebagian menempati wilayah Ahuru, ada juga sebagian
besar komunitas Umat Katolik. Keberadaan umat Protestan dan Katolik di Ahuru
92
Wawancara dengan M.B (Warga Islam di Benteng karang (Passo), 15 September 2016 93
Wawancara dengan M.P (Tokoh Pemuda Negeri Passo), 14 September 2016. Di dalam
penggalan kalimatnya, informan ini menyebutkan satu ungkapan menurut dialek Ambon: pegang
tangan, yang biasanya untuk menyebutkan kata kerja: saling berjabat tangan
107
secara administratif terhimpun dalam dua RT (Rukun Warga) pada wilayah
Batumerah. 94
Konflik mengakibatkan eksodusnya warga jemaat GPM Bethabara, sejak
tanggal 20 januari sampai dengan oktober 1999, pada bulan oktober, umumnya,
semua warga jemaat keluar rumah dengan tangan kosong, dan secara
berkelompokan mulai menempati beberapa camp pengungsian, diantara: wisma
atlet Karang Panjang, Sporthall (selama ± 1 tahun), dan Jemaat Halong ada
terdapat warga 2 sektor. ≥ 400 kk: ≥700 jiwa. Umat GPM terpuruk secara
ekonomi, sekolah anak-anak menjadi terbengkalai dll. 95
Pemerintah Daerah melalui koordinasi dengan anggota dewan partai PDIP
dan Ketua Majelis Jemaat Bethara kemudian merelokasi pemukiman warga
jemaat GPM. Bethabara ke desa Kayu Tiga, dan melalui swadaya umat, dimulai
pembangunan Gereja darurat di Kayu Tiga pada tahun 2006. 96
Akhirnya, sekarang pada wilayah Batumerah Dalam (lokasi warga Jemaat
Bethara sebelum konflik) setelah konflik berakhir, terdapat banyak tanah-tanah
kosong milik warga yang tidak terpakai. Perihal tanah penduduk Kristen yang
mengungsi saat konflik, telah ada klaim tentang kepemilikan tanah oleh warga
muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi orang Kristen yang balik kekediaman
asalnya di wilayah Batumerah Dalam.97
Disesalkan oleh warga bahwa mediasi
persoalan tanah, kurang didukung dengan advokasi hukum pihak GPM terkait
dengan kepemilikan tanah Gereja – sebagai pemberian dari pemerintah Belanda
yang belum bersertifikat– untuk mendorong pemulangan warga ke lokasi
semula.98
Pada konteks komunitas Protestan di daerah Ahuru, sebagai bagian dari
wilayah negeri Batumerah, konflik mengakibatkan umat talamburang
(berserakan), mendiami beberapa lokasi pengungsian, diantaranya: di Desa Soya,
Halong. Warga Protestan di Ahuru pun mengalami kehilangan 2 sektor akibat
terbakarnya rumah mereka.
94
Wawancara dengan O.T,V.R, F, T (Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Negeri
Batumerah),1 September 2016 95
Wawancara dengan O. T (Tokoh Agama Protestan Batumerah), 30 Agustus 2016 96
Wawancara dengan O. T (Tokoh Agama Protestan Batumerah) 30 Agustus 2016 97
Wawancara dengan S. S. (Tokoh Masyarakat Negeri Batumerah), 29 Agustus 2016 98
Wawancara dengan S. S. (Tokoh Masyarakat Negeri Batumerah), 29 Agustus 2016
108
Pasca konflik, pada tahun 2016, jumlah penduduk dan kondisi fisik di Negeri
Batumerah pasca konflik mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jumlah
penduduk negeri Batumerah terdiri dari 98% umat Muslim. Terkait dengan
penggunaan sarana (gedung) peribadahan, sebelum konflik terdapat empat gedung
Gereja di Batumerah, tetapi setelah konflik berakhir hanya 1 gedung Gereja
(Katolik) yang digunakan. 2 diantaranya terbakar dan 1 ditutup. Tidak ada lagi
penduduk Kristen di wilayah Batumerah Dalam yang balik. Sedangkan,
Komunitas Kristen Katolik di wilayah Ahuru semua balik (sebanyak dua RT).
Terdapat pula peningkatan jumlah penduduk pendatang dari luar daerah Maluku,
dan dari dalam kota ambon (sebagian besar pengungsi Muslim pada saat
Konflik).99
Perlu diungkapkan pula tentang kenyataan yang dialami komunitas Kristen
Katolik di Wilayah Ahuru. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa informan:
Lepertery. V.R dan V.L sebagai Tokoh Masyarakat dan Agama setempat bahwa:
Ketika konflik tidak ada warga asli yang menjadi korban tetapi orang luar
dari pihak Kristen yang ingin datang membantu (kelompok Agas100
). Begitu
juga pihak Muslim yang ingin menyerang, tetapi akhirnya banyak yang
dihabisi oleh aparat. Ketika konflik, masyarakat mempertahankan gereja,
hingga tahun 2000, kejatuhan gereja dan terbakarnya rumah warga. Menurut
V.R, kejatuhan saat itu disebabkan karena ketika masyarakat ke Gonsalo, ada
mata-mata (diduga pihak aparat) yang membocorkan kondisi kepada pihak
muslim (orang luar), moment itu diambil sebagai sebuah kesempatan untuk
datang kasi habis gereja dan rumah warga”.
Sedangkan, Negeri Passo selain memiliki karakter penduduk yang homogen,
tetapi juga, merupakan wilayah yang strageis dalam peta konflik sosial. Negeri
Passo menjadi “pembatas jalan” masuknya kelompok-kelompok ekstrimis dari
wilayah jazirah Leihitu: Hitu (Islam).101
Banyak warga muslim yang berdomisili
di Passo (warga buton yang telah bertahun-tahun hidup menetap: berdagang di
Passo), berangsur-angsur meninggalkan negeri. Umumnya mereka (warga
Muslim) merasa terancam, dari luar (warga pengungsi yang mendiami Negeri
Passo yang berasal dari desa Waai), tanpa ada tekanan dari dalam. Karena alasan
itu juga banyak warga muslim yang menjual sertifikat tanahnya. Hingga, 2005
99
Wawancara dengan F. T (Staf Pemerintah Negeri Batumerah), 14 September 2016 100
Wawancara dengan Pdt. L (Tokoh Agama Protestan Batumerah), 3 Oktober 2016 101
Wawancara dengan M.P. (Tokoh Pemuda Negeri Passo), 14 September 2016
109
orang muslim takut, melintasi Passo, ada dendam karena orang Passo
membongkar rumahnya. Setelah konflik, warga Passo semua Kristen. Hanya
saja, ada warga Muslim, akan tetapi mereka adalah aparat Polisi.102
3. Praktek Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Pada Masa Konflik
Konflik sosial yang berdampak secara langsung bagi hubungan Islam-
Kristen, yang renggang pada satu pihak, namun sebaliknya juga memungkinkan
terbangunnya praktek sosial dalam budaya Pela Gandong yang positif dan
membuka ruang komunikasi antar unsur-unsur adat yang berperan signifikan
menciptakan ruang-ruang dialong antar agama yang tidak lain diprakarsai oleh
tokoh-tokoh masyarakatdan adat.
Oleh beberapa informan, diantaranya: mantan Raja Batumerah dan Tokoh
Masyarakat Batumera-Passo, juga salah satu pemimpin umat Protestan yang
bertugas di Negeri Passo menarasikan kisah-kisah faktual yang menggambarkan
proses asosiastif yang dibangun antar sesama orang Orang Batumerah-Passo pada
saat konflik sementara berlangsung.
L.H, mengatakan bahwa: 103
Negeri Batumerah-Passo yang secara kewilayahan dijadikan sebagai sampel
perdamaian, pemerintah berupaya untuk mengadakan Panas Pela antara
kedua negeri pada tempat awal terjadinya hubungan Pela itu. Sampai disana
ada peristiwa aneh, ada satu batu dipinggir pante ketika aer pono yang
menonjol dipantai, batu itu tidak tertutup oleh air, aer berputar, lantas disitu
tiba-tiba ada kawanan ikan make Passo (istilah khusus orang Batumerah-
Passo). Kemudian diadakan seminar di jakarta. Dan dalam pertemuan Malino
2 Tahun 2002, kedua negeri ini juga terlibat atau diwakilkan.
Hal serupa diungkapkan oleh M.P, 104
bahwa:
Praktek Pela yang lain yakni, pada saat konflik, di tahun 2000. Melakukan
kegiatan bersama, dayung kora-kora, untuk mengingat ikatan pela kembali,
Hal ini dibangun dalam kesadaran pentingnya nilai persaudaraan. Pernah
juga satu ketika, ada seorang sopir oto Passo terperangkap di Batumerah-
Pasar Mardika, tetapi pada saat itu basudara Batumerah melindunginya.
102
Wawancara dengan L.M. (Staf Pemerintah Negeri Passo), 1 September 2016 103
Wawancara dengan L.H. (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 27 Agustus 2016 104
Wawancara dengan Y. S. (Tokoh Adat Negeri Passo), 8 September 2016
110
Senadan dengan itu, M.S, 105
dalam kapasitasnya sebagai mantan raja Negeri
Passo menjelaskan perihal terbangunnya komunikasi dan interaksi yang intensif
antara Negeri Batumerah-Passo pada kurun waktu jeda konflik, katanya:
Di tahun 2000 biking di Batumerah, secara adat. Orangtatua dan Pemuda
Passo, Tokoh Agama ke Batumerah dan ada juga dibingkai dalam acara
keagamaan, kedua negeri ingin mengupayakan kedamaian di Ambon, visi
kedua negeri adalah tidak ingin membawa konflik ke isu agama. karena itu,
terdapat komunikasi dan koordinasi antara pemimpin kedua Negeri
diantaranya adalah saling bertukar informasi tentang kondisi terkini yang
dihadapi masing-masing negeri saat konflik pecah, atau ada isu-isu mau
kerusuhan, bapa raja Batumerah su telpon, mengingatkan orang Passo untuk
tidak bepergian keluar kota. Terkait dengan kondisi demografis, kita cuman
sebatas saling mengingatkan untuk menjaga perdamaian antar kedua
kampong. Konflik adalah kepentingan politik, mayoritas-minoritas,
kekuasaan, isu agama sangat luarbiasa karena itu dengan cara apapun akan
dipaksakan, hanya kita menekan atau meminimalisir konflik. Kondisi
terakhir September 2015 ada upaya untuk mengatur masyarakat masing-
masing, Ada juga kerjasama lintas instansi, lintas negeri. Prinsipnya kita
membangun sinergi untuk mendorong pengaruh masyarakat, ketika upaya
pemerintah lewat TNI tidak bisa mengatasi konflik. Walaupun kendalanya,
banyak warga pengungsi, pedagang yang majemuk, tetapi katong harus
berani bilang bisa menenangkan masyarakat.
S.T,106
menegaskan bahwa, kekerabatan Batumerah-Passo adalah harga mati.
Kekerabatan dan keterikatan antara Islam dan Kristen di Maluku adalah harga
Mati. Menurutnya:
Ketika konflik terjadi nilai pela gandong” orang basudara” terselip disitu.
Ketika konflik, ada orang Passo taparop (terjebak) di Batumerah, dong lewat
deng oto orang Batumerah tahan dong dibawah, ada orang-orang yang tidak
tau dari mana ingin macam-macam, katong bilang tidak ada yang coba-coba
tangan kanal, kita menjaga bahkan mengamankan mereka di beta pung
rumah. Begitupun ketika orang Batumerah terjebak di Passo akhirnya orang
Passo amankan, padahal dia bukan orang Batumerah asli tetapi dia bilang dari
Batumerah orang Passo jaga. Pada saat konflik ada dalam masa jeda,
Batumerah-Passo pernah melakukan pertemuan antara negeri, di dalamnya
katong mengungkapkan sekilas tentang konflik yang terjadi.
Berdasarkan penuturan para informan perihal hubungan Islam-Kristen dalam
pela gandong di Batumerah-Passo secara praksis yang terbangun saat konflik
dapat disimpulkan bahwa konflik sama sekali tidak mengoyahkan hubungan Pela
105
Wawancara dengan M.S (Tokoh Masyarakat Negeri Passo), 27 September 2016 106
Wawancara dengan S.T. (Tokoh Adat Negeri Batumerah), 3 September 2016
111
Gandong yang telah terbangun sebelum konflik. Konflik yang terjadi adalah
konflik antar agama (Islam-Kristen) yang bukan disebabkan atau dilatarbelakangi
oleh persoalan agama (ajaran dan dogmatik). Agama sebagai sebuah keyakinan
memang telah membedakan orang ambon “orang basudara” tetapi tidak menjadi
alasan penyebab konflik melainkan agama digunakan, pemeluk agama dibodohi,
diberdayakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
E. RANGKUMAN
Secara keseluruhan, isi Bab ini telah dipaparkan dengan fokus pada
serangkaian pemaparan hasil-hasil temuan di lapangan, sebagai data empiris yang
diperlukan bagi penulisan tesis ini. Adapun beberapa hal penting, yakni sebagai
berikut:
1. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong negeri Batumerah-Passo
Sebelum Konflik di kota Ambon dapat dilihat dari sisi bagaimana praktik
(kegiatan-kegiatan adatis) dan dalam relasi sosial-keagamaan. Praktik,
pertama, praktik Pela Gandong Batumerah-Passo yang mencirikan negeri
Batumerah-Passo sebagai negeri adat dilaksanakan pada moment tertentu,
antara lain: pelantikan Raja, Pembangunan rumah Adat, rumah-rumah ibadah,
acara Panas Pela. Praktik tersebut merupakan momentum kebersamaan,
kerjasama dalam menjawab pemenuhan kebutuhan -jasmani dan rohani
(tanpa mengabaikan identitas keagamaan)- kedua negeri.
Inti praktek adat ini, pengkisahan sejarah terbentuknya hubungan,
meminum sopi, dan mengkikrarkan sumpah bertujuan untuk pengenangan
dan pewarisan nilai hubungan adat ini. Praktik adat ini diprakarsai dan
dilaksankan secara partisipatif, tidak hanya secara eksklusif oleh negeri yang
berpela atau berGandong unsich tetapi inklusif bagi negeri-negeri yang
berpela Gandong. Hubungan Pela Gandong tidak hanya terbatas antara kedua
belapihak yang berpela saja tetapi terjadi persekutuan antara negeri-negeri
yang Berpela Gandong.
Kedua, hubungan Islam-Kristen di Batumerah-Passo yang telah terbingkai
dalam pela gandong telah menciptakan dinamika kehidupan antar pemeluk
agama yang rukun: damai dalam tatanan persekutuan orang basudara yang
112
nampak dalam praksis saling bersilaturahmi, tolong menolong (berbagi), dan
mendamaikan. Persaudaraan dalam Pela Gandong telah menjadi nilai dasar
yang mempengaruhi pola perilaku beragama dan bermasyarakat yang
memujud dalam tindakan-tindakan kerjasama demi kesejahteraan bersama.
Walaupun demikian, kenyataan yang tak dapat dipungkiri dibalik hubungan
antar agama Islam-Kristen di Batumerah-Passo yang harmonis, tetapi juga
terdapat konflik yang melibatkan para pemeluk agama (Islam-Kristen) yang
terjadi sebelum pecahnya konflik berdarah 1999 adalah konflik agama yang
berdimensi ekonomi.
2.Konflik berdarah Islam-Kristen di Negeri Batumerah-Passo dalam hubungan
Pela Gandong di Ambon dilatarbelakangi oleh beberapa faktor pemicu dan
penyebab, diantaranya: maraknya isu simbolisasi identitas keagamaan,
keterlibatan Oknum TNI dan Kelompok-kelompok Radikal: Pihak ketiga
(pemicu); kecemburuan sosial-ekonomi: penguasaan pasar oleh pendatang;
terkait kuasa dan jabatan struktur. Selain itu, konflik sebagai pengalaman
sejarah telah berdampak secara langsung, berupa jatuhnya korban jiwa,
kerusakan: hilangnya harta benda, kekerasan, bahkan juga cenderung
membendamkan dendam dan kebencian yang membara pada benak
masyarakat secara personal.
Konflik berdampak khusus terhadap hubungan Islam-Kristen, yang mana
telah melunturkan kesalingpercayaan dan menciptakan rasa kecurigaan dan
keterancaman; kewaspadaan terhadap Isu radikalisme keagamaan. Adapun
konflik dengan dampak masuknya pengungsian telah menciptakan kendala
sosial berupa lemahnya kontrol pemerintah negeri: tidak dapat menjamin
keamanan individu-komunitas minoritas. Akhirnya, konflik telah berdampak
pada pola relasi pemeluk agama yang menjadi tertutup, kurang ada
komunikasi.
3. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong di Negeri Batumerah-Passo
pada masa Konflik pertama-tama dilihat dari bagaimana relasi antar pemeluk
agama menyikapi kondisi konflik, yang manaawalnya terdapat saling
menjaga, mengamankan dan menyelamatkan ketika individu-komunitas ada
dalam krisis: ancaman dan teror dari penduduk pendatang (pengungsi korban
113
konflik). Individu-komunitas yang “minoritas” memilih mempertahankan
diri.
Selain itu, terdapat upaya bersama yang dilakukan melalui inisiatif tokoh-
tokoh agama, masyarakat, dan adat untuk menciptakan ruang perjumpaan dan
kerjasama lintas agama dalam praksis sosial-keagamaan, dan menjaga
perdamaian, di Passo, misalnya, Islam-Kristen bersama menjaga perbatasan,
masyarakat menjaga Gereja dan Mesjid. Tujuan utama dari upaya tersebut
adalah untuk membangun kembali hubungan kedua agama yang rukun
layaknya ketika sebelum konflik. Praksis-praksis bersama ini dilandasan pada
pengetahuan dan pemahaman bersama akan kenyataan konflik yang hanya
membawa kehancuran dan perpecahan sosial bagi kehidupan masyarakat
Ambon. Masyarakat hanya menjadi korban konflik.
Konflik pada akhirnya telah menciptakan kerekatan hubungan antar Islam-
Kristen, yang mana rasa persaudaraan menjadi semakin mengental: tidak
hanya terimplemantasi dalam praksis adatis tetapi dalam praksis sosial-
keagamaan. Pada titik ini, sebagai orang basudara, pihak Islam-Kristen sadar
dan yakin bahwa sesamanya akan saling menyelamatkan.
Kedua, praktik hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo, ketika konflik
keda negeri dijadikan sebagai model dan pendekatan perdamaian: dilibatkan
dalam Mediasi Malino dan melakukan serangkaian kegiatan bersama antar
negeri. Dalam insiden konflik, orang Batumerah-Passo sebagai orang
basudara saling melindungi dan menyelamatkan. Masing-masing tokoh adat
kedua negeri bersinergi, saling menjalin komunikasi, memberikan informasi
dan kejelasan seputar isu-isu konflik, membangun kondisi kondusif.
Keseluruhan praksis-praksis bersama ini dilakukan tidak hanya sebagai upaya
meminimalkan kekerasan tetapi juga untuk membangun kultur damai.
Akhirnya, hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai orang basudara
menjadi titik berangkat bagi seluruh komponen negeri untuk menjaga dan
melestarikan keharmonisan hubungan antar sesama yang walaupun berbeda
agama.