99
36 BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG 3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M 1 (Setiono, 2002:17). Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa 1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.

BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA …...Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 36

    BAB III

    KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA

    BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG

    3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang

    Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum

    rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang

    Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena

    berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar,

    guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat,

    Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut

    memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu

    berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan

    gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya

    Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil

    di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM

    sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17).

    Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan

    lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah

    berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun

    berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa

    1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.

  • 37

    pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok

    telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse.

    Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu

    satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari

    daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta

    dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat

    mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan

    yang berkepanjangan.

    Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap

    antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting

    adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya.

    Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan

    hidup berdampingan dengan damai2.

    Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke

    Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk

    berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho

    mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari

    para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu,

    kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan

    perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah

    diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah

    merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki 2 Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm.

    206-211.

  • 38

    bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini

    masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas

    (sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom

    bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota

    terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung

    Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah

    banyak yang bermukim di sana.

    Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali

    bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau

    Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten,

    dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah-

    masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang

    terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien

    atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah

    Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang

    dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan

    dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng

    dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah

    anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak

    sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa

    Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk

    3 Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong (Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa

    Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo.

    Hlm. 35.

  • 39

    mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405

    sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064

    (Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya

    untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten).

    Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak,

    Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang.

    Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal

    lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho

    ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit

    keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal,

    mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu

    (Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman

    penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih

    dahulu datang ke Semarang.

    Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih

    bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu

    memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di

    Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk

    yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping

    untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong.

    4 Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950).

    Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi

    dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77.

  • 40

    Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik

    Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering

    diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat-

    kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama

    Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan-

    Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem

    Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang

    ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan

    Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan

    dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat

    pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang

    ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai)

    uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang

    menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti

    Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang

    Gobok.

    Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di

    Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat.

    Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing.

    Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai

    petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok

    5 Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe

    Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho

    Kim Yoe.

  • 41

    dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang

    biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski

    demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa

    terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok.

    Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja,

    artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan

    silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok

    bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi

    penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi

    dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di

    sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi

    para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan

    campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia.

    Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina

    yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian

    diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang

    Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok.

    Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan

    masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan

    6 Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam

    Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta:

    Djambatan. Hlm. 353-357.

  • 42

    berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang

    baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7

    Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter-

    Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina

    tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa

    atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya

    mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan

    gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera

    datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar

    bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8.

    Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9

    dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki

    saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan

    kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa

    baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam.

    Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko

    (2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk

    masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah

    airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin

    dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni

    Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh

    yang mempersoalkanya........”.

    7 Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68.

    8 Setiono, Op.cit. 53-54.

  • 43

    Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di

    tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana

    keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab,

    India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa

    yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar

    “kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda

    masuk Semarang mulai awal abad ke-17.

    Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah

    kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram

    dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran

    Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II,

    Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu

    silat, berada di pihak Trunojoyo.

    Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura

    meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan

    untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie),

    yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli)

    perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya

    Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9.

    VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC

    atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang

    tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam

    9 Hidayatullah. Op.cit. 53.

  • 44

    Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J.

    Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan

    bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan

    menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa

    pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110

    .

    Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang

    kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15

    Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu

    terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut

    sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis

    diterapkan pemerintahan kolonial Belanda.

    Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut

    pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah

    Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik

    Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya

    10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat

    ditumpas oleh Belanda.

    Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang

    memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di

    Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu

    meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan

    Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi

    10

    Ibid. Hlm.52

  • 45

    militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan

    “De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan,

    menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza.

    Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar

    mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik

    Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik

    Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam

    wilayah yang ditetapkan oleh penguasa.

    Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali

    Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King,

    Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting

    sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman.

    Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan

    Beteng11

    . Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya

    sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya,

    jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara

    sangat sempit.

    Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang

    etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu

    judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung

    Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah

    berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya

    11

    Joe.Op.cit. Hlm. 6.

  • 46

    orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang

    Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun

    memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan

    uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci)

    dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche

    Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti

    dengan uang Cent12

    (Tio,tth:21).

    Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam,

    sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping

    Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan

    sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan.

    Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-

    suku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah

    Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka

    untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati

    jalan Ambengan.

    Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober

    1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke

    daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa

    di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa

    (TITD Sinar Samudera), Tay Kak Sie, dan lain sebagainya.

    Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di

    12

    Tio. Op.cit. Hlm.21.

  • 47

    daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang

    Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat.

    Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya

    pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan

    Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk

    keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan

    upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah

    inskripsi yang bertuliskan "Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An", yang dipahatkan

    di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan13

    .

    Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah

    Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan

    pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan

    Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan.

    Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin

    kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun

    pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran

    yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King

    berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di

    seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan

    Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens.

    Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi

    sebuah asrama.

    13

    Ibid. Hlm. 21

  • 48

    Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15

    Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara

    asing (WNA), ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau

    ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi

    Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres

    Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik

    Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua

    Pengadilan Negeri.

    3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang

    Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok (China) sejak 7000 tahun yang

    lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di) karena

    beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan

    pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing

    yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus

    keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja (sembahyang) pada Dewa

    dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan

    yang well organized.

    Diyakini bahwa agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak

    abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Tionghoa pada wilayah Nusantara

    yang dapat dibuktikan dengan kronik bangsa Han yang saat itu berada dibawah

    kepemimpinan Kaisar Wang Ming, para pendatang dari daratan China ini masuk

    membawa agama-agama yang berkembang di negeri Tiongkok sambil melakukan

  • 49

    kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama

    Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilai-

    nilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai

    tempat ibadah.

    Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun

    1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara

    dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan

    diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman

    Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian

    terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun

    1740 14

    .

    Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan

    pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di

    daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang

    khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti

    Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besar-

    besaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya

    Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua

    propinsi, yakni Propinsi Fujien (Fukien) dan Guangdong (Kwan Fu)15

    .

    Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang

    kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak

    14

    Setiono. Op.cit. Hlm.26. 15

    Dewi. Shinta, ISR., 2005, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khonghucu, Surabaya : Penerbit JB. Books. Hlm. 2.

  • 50

    memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam

    yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh

    karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan

    suku Kwong Fu (Kanton). Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa

    dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih

    banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya

    sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan.

    Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi

    leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di

    daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana

    yang dikemukakan oleh Tan I Ming (Wawancara, 21 Mei 2014), bahwa banyak,

    kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan

    memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah

    ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti

    Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada

    tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua

    di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang

    merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme.

    Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang

    disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746,

    sebagaimana tertulis pada pintu masuk klenteng Tay Kak Sie itu. Pada awalnya,

    Klenteng Tay Kak Sie ini digunakan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih

    Koan Sie Im Po Sat. Dalam perkembangannya, klenteng tersebut digunakan

  • 51

    sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun

    Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau

    simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme,

    seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan

    matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan

    keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai

    makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari

    berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau

    qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan

    kebijaksanaan.

    Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa,

    khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di

    tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh

    Hariyono16

    bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama

    Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah

    Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di

    Semarang (di sekitar Sam Po Kong), pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak

    beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal

    yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal

    ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.

    16

    Rahmadani, Arnis, 2007, Religi Etnis Cina di Jawa, Semarang: Balai Litbang Agama Semarang. Hlm. 62.

  • 52

    Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan

    Tridharma (TITD) yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng

    pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai

    ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki

    kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran

    saja17

    .

    Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam

    dialek Hokkian berarti tiga (sam) agama/ajaran (kauw), yang dimaksud adalah tiga

    ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia,

    konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee

    Tek Hoay pada tahun 1934.

    Etnik Tionghoa sangat menghargai nilai-nilai kemuliaan keluarga

    berdasarkan ajaran-ajaran baik dari agama Tao, Khonghucu dan juga agama

    Buddha, ketiga agama ini telah tersinkretasi menjadi suatu pranata nilai yang ajeg

    dalam budaya Thionghoa. Medio tahun 1930-an para tokoh dari kalangan etnik

    Thionghoa merasa bahwa semakin banyak anggotanya yang melupakan nilai-nilai

    luhur tersebut, dimulai dengan adanya Thiong Hwa Hwee Kwan (THHK) yang

    merupakan organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Khonghucu hadir

    untuk mengembalikan masyarakat Thionghoa untuk kembali menegakkan prinsip-

    prinsip luhur budaya timur yang telah terkikis oleh kapitalisme barat. Kehadiran

    THHK membawa semangat baru bagi Kwee Tek Hoay untuk mendirikan Sam

    Kauw Hwee (San Jiao Hui, yakni Masyarakat Tiga Agama), tujuan organisasi ini 17

    Herman Jaya, David. 2013, Bahan Penataran Dharmaduta Tridharma Jawa Tengah,

    Semarang : PTITD se-Indonesia. Hlm. 7.

  • 53

    adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama (Tao, Khonghucu,

    dan Buddha).

    Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern

    etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi

    satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai

    berikut:

    “Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan cara-

    cara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan

    Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan

    Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan

    penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga

    agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua

    yang lain” (Suryadinata, 2002:180).

    Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi

    Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa

    baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah

    mengakui kedua agama Tiongkok (Tao dan Khonghucu) sebagai sebuah agama,

    lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia (karena agama

    Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara).

    Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas

    sembahyang bersama (pemujaan dewa/dewi atau altar sam kauw) sehingga

    terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara

    keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” (sam kauw Seng Jin/San

    Jiao Seng Ren) secara seimbang, yakni nabi Kong Cu, nabi Lao Tse, dan Budha.

    Pendirian tempat ibadat Tridharma ini dimaksudkan untuk membendung arus

  • 54

    kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.

    Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam

    membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma

    sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali

    yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini,

    Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama

    Republik Indonesia.

    3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang

    Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya

    sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran

    masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara

    menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya

    dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap

    penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan

    dogma-dogma teologi kanonik.

    Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya

    prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa, dan sayangnya nilai-nilai

    dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam,

    Katolik, Kristen Protestan, Hindhu dan Budha sehingga dengan mudahnya label

    itu melekat pada agama Tao. Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada

    Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya

  • 55

    prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang

    dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”.

    Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki

    jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa

    mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa

    menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik

    Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan

    tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep

    pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari

    Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga

    kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat

    kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import

    sudah memperoleh pengakuan dan pelayanan oleh Negara. Tentu hal ini akan

    menjadi kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya yang masih belum diakui oleh

    negera. Meskipun penganut sedikit, agama-agama yang berkembang di Indonesia

    sudah lama dipeluk oleh masyarakat/suku/etnik yang mendiami bumi nusantara

    sehingga eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka konsep

    untuk melihat agama bisa diterima atau tidak oleh pemerintah tentunya juga harus

    dilihat secara sosiologis dan cultural. Peneliti memandang bahwa melalui

    perumusan teori 4Cs yang dikembangkan oleh Swidler dan Mojzes tentang agama

    dapat dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengakui sebuah agama yang

    sudah lahir, berkembang, dan dipeluk secara turun temurun oleh rakyat Indonesia.

    Memang konsekuensinya, akan ada banyak agama di tanah air bila setiap agama

  • 56

    yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia.

    Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan

    antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk

    agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama

    lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan

    pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap

    terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari

    agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik

    tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun

    akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao?

    Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan

    dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya,

    misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat

    Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti

    hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya

    apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan

    menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh

    sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi

    (penggambaran) untuk memahaminya, bukan definisi (batasan).

    Di Semarang, banyak umat Tao yang mengunjungi Kelenteng Tay Kak Sie

    untuk melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan oleh nuansa klenteng

    tua yang memiliki arsitektur bagus, baik dari segi ornamen maupun hiasan-

  • 57

    hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewa/dewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini

    adalah dewa/dewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki

    fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau

    tempat pemujaaan dewa/dewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat

    Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) untuk

    memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif.

    Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk

    paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh

    umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial (bukan politik) dan tidak

    mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu,

    PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya

    umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3

    Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini

    memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung

    meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu,

    dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya.

    Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) ialah suatu organisasi yang

    bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah,

    kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu

    korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) memiliki visi dan

    misi sebagai berikut:

    1) Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

    Menggalang persaudaraan antar umat Tao di seluruh Indonesia untuk

  • 58

    menciptakan sinergi dengan memperhatikan keselarasan dan

    keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk

    mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan

    positif.

    2) Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

    Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi

    tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari

    berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi,

    saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan

    maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia

    Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya.

    Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat

    ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng

    yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang.

    Lembaga keagamaan ini telah terdaftar di Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu

    dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 15 Desember 2003.

    Kemudian kelenteng ini diresmikan oleh Drs I Wayan Sanjaya, M. Si (Dirjen

    Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha) pada tanggal 18 Januari 2004.

    Meskipun klenteng ini secara administratif dibawah naungan TITD yang terdata

    di Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, tetapi pembinaan agama Tao

    dilakukan melalui Majlis Tri Dharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung.

    Hal ini dikarenakan hanya majelis inilah yang dianggap bisa memberikan

    pembinaan agama Tao kepada umat di Kelenteng “Sinar Tao” di Semarang.

  • 59

    Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu

    memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat

    kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik

    Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga

    etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya

    sendiri18

    .

    Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering

    disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan

    pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

    Hindu & Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari

    2004.

    Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian

    umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia (tempat

    ibadah agama Tao) didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan

    bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi

    atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan

    “ramah lingkungan”19

    .

    Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu

    Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang

    lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara

    18

    Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih

    Bersemi. Hlm. 10-11. 19

    Seputar Semarang, 2007, Sinar Tao: Peringatan Kebesaran Tai Shang Lao Jun,

    Semarang, Edisi 196 Tahun IV. Hlm. 11.

  • 60

    ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa

    penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayanan-

    pelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak (Kwe-pang

    anak), upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara

    kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan

    satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan

    rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.

    Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao

    di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa

    dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan

    pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang

    dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) DPC Semarang

    dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang

    berpusat di Jakarta.

    Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu

    dengan MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia) bersama dengan agama

    Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap

    sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat

    Budha Indonesia (Walubi).

    Walubi tediri dari berbagai macam organisasi Budha Dharma/Shangha-

    Shangha, diantaranya adalah MATRISIA, MAPANBUMI (Majelis Pandita Budha

    Dharma Indonesia), MAJABUMI (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia),

  • 61

    Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha

    Maitreya Indonesia (MABUMI).

    Diawali dengan Resolusi MPRS No. III/Res/MPRS/1966 tentang

    Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu

    kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1

    sebagai berikut:

    (1) Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation

    dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan,

    dengan memberikan kesempatan yang seimbang;

    (2) Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang

    bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme- Leninisme

    (Komunisme).

    Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat

    penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang

    sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki

    kecenderungan ideologi politik kiri (komunis) dianggap lekat dengan budaya

    China karena komunisme saat itu berjaya di RRC (Republik Rakyat China).

    Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis,

    inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah

    aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14

    Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat

    Cina mengharuskan pelaksanaan kegiatan ibadat “agama Cina” terbatas dalam

  • 62

    lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat

    Tao (dan Khonghucu) dibatasi laku peribadatannya.

    Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh

    yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas

    nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual

    keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya

    cita-cita bangsa.

    Melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan

    Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan

    kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya

    manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai

    dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan

    Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman

    Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4.

    TAP MPR No.II/MPR/1978 kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri

    Agama dengan memberikan interpretasi subyektif yang menyatakan bahwa aliran

    kepercayaan adalah bukan agama dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun

    1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan, Instruksi

    Menag ini menjadi landasan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam yang

    merasa perlu dikeluarkannya petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran

    formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975 Tentang

    Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan

  • 63

    Dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan Serta Peraturan

    Pelaksanaannya.

    Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978

    No.K-212/Set.Neg/10/1978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri

    dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh

    wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.477/74054

    tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada

    Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis

    bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni

    Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang

    kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama,

    implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah

    “aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama

    Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini

    Oleh karena itu, Kelenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD

    sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan

    Budha Sakyamuni/Gautama. Hanya saja, pembinaan agama (Tao) nya dilakukan

    melalui Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di lampung, bukan

    Majelis Tao Indonesia (MTI) yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa

    kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung

    hanyalah kelenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar

    Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung

    atau arca-arca yang lebih dominan adalah patung atau arca dewa/dewi yang

  • 64

    disembah oleh umat Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang

    memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang

    Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie,

    Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin,

    Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen

    Muk, Dewa/Dewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren.

    Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar

    Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis,

    patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker.

    Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang

    memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang,

    terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya

    pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga (kanan dan kiri), dan depan

    pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan

    pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya

    berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat

    ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh

    dewa/dewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain (Konghucu

    dan Budha) melakukan pemujaan/ sembahyang di kelenteng ini.

    Di dalam klenteng ini terdapat simbol ajaran Tao yang sangat dogmatis,

    yakni simbol Tao (Tai Ji, artinya keagungan yang tak terbatas) yang berbentuk

    lingkaran di bagi menjadi dua bagian secara simetris, yakni satu bagian yang

    terang dan bagian lainnya yang gelap. Bagian yang gelap melambangkan “Yin” (-

  • 65

    ) dan bagian yang terang melambangkan “Yang” (+). Yin melambangkan malam,

    gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang”

    melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya.

    Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling

    membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran

    sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao (Tai Ting).

    Dalam pandangan Huston Smith20

    , asas Yinyang menunjukkan segala

    pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif,

    positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan

    seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi

    tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya

    menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna

    saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya.

    Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang

    lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming

    (Wawancara, tanggal 20 Mei 2014), bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang

    berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan

    hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai

    daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga,

    Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti

    kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 s/d 150

    orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang 20

    Smith, Huston. 1999. Agama-Agama Manusia (Terj.). Saafroedin Bahar. Jakarta:

    Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 247.

  • 66

    atau pemujaan dewa/dewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek.

    Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewa/dewi pada hari

    minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang

    3.4. Ajaran Agama Tao

    Agama, secara umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan

    peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya

    dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan

    mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi penganutnya, agama

    bersisikan ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi

    manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akherat. Karena

    itu, Parsudi Suparlan21

    mengatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan

    dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakan-

    tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual

    ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.

    Dalam hal ini, ajaran agama Tao secara umum dapat dijelaskan melalui

    definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan. Definisi agama itu

    adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes.

    Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed,

    code, cult, dan community yang akan diuraikan sebagai berikut:

    21

    Suparlan, Parsudi. Loc cit. hlm.v.

  • 67

    “Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that

    goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life; Code of behavior or

    ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one

    aspect or another of the Creed; Cult means all the ritual activities that relate the

    follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.

    Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward

    representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter;

    Community-structure refers to the relationship among the followers. This can

    vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through

    a”republican” structure as Presbyterians have, to a monarchical structure, as

    with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe”.

    3.4.1. Tao Ditinjau dari Definisi Kepercayaan (Creed)

    1) Kepercayaan kepada Tuhan

    Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak

    dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa

    atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti

    misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya.

    Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut

    Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya

    Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang

    disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa,

  • 68

    yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa

    berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja.

    Tao meyakini adanya Tuhan, akan tetapi konsep Tuhan tidak mudah

    difahami dengan akal-budi manusia. Untuk menjelaskannya, perlu difahami

    konsep “Tao” atau “Dao” dalam metafisika Taoisme. Konsep Tao atau Dao dapat

    diartikan sebagai “kebenaran sejati” atau “kebenaran yang paling hakiki”. Tao

    juga dapat diartikan sebagai “keberadaan” atau “jalan kehidupan” (way of life),

    sehingga siapa saja yang bisa menyelaraskan dengan Tao maka berbahagialah

    hidupnya. Selain itu, Tao juga bisa diartikan sebagai sumber atau asal usul alam

    semesta.

    Dalam kitab Tao Te Tjing disebutkan bahwa Tao adalah sumber segala

    sesuatu. Dan segala sesuatu muncul dari satu sumber yang sama. Langit yang luas,

    bumi yang kukuh, alam yang indah, lembah yang subur, semuanya berasal dari

    yang satu itu. Menurut Tjan K22

    bahwa kebenaran sejati dan atau sumber segala

    sesuatu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa.

    Tao menggunakan lambang Ba Kua Dai Chi sebagai lambang keagamaan.

    Ba Kua melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dan juga

    melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru dan 8 arah (Ba). Dai Chi

    merepresentasikan hakikat substansi Tao dimana lambang Yin menunjukan kesan

    “tiada”, lambang Yin menunjukkan sifat Tao yang tidak berwujud, tidak bernama,

    Maha Agung, dan tiada berbatas. Sedangkan lambang Yang menunjukkan “ada”,

    22

    Tjan K., 2013, Ajaran Dao Secara Ringkas, dalam bahan Penataran Dharmaduta Tridharma, Semarang : PITD se- Indonesia. Hlm. 15.

  • 69

    lambang ini mendeskripsikan fungsi dan karya dari Tao yang merupakan awal

    dari segala yang ada di alam semesta, dengan kata lain lambang ini

    mereprsentasikan sifat Maha Pencipta dan Maha Kuasa.

    Tuhan, dalam agama Tao bukan sosok dan bukan sebuah nama, melainkan

    keberadaan yang absolut (The Existence and The Absolute). Dia adalah satu-

    satunya yang ada, tak ada lainnya dan tak ada saingannya, Dia dinamakan “Taiji”

    yang melambangkan dao sebagai ke-ada-an, ke-satu-an, dan atau ke-esa-an

    mutlak. Dari Yang Esa (The One) ini melahirkan “Yang Dua”, yakni “Yang” dan

    “Yin”. Tjan K mengatakan bahwa Yin Yang adalah sifat dualisme segala ciptaan,

    yakni aspek positif (yang) dan aspek negatif (yin). Kedua sifat ini bisa bersifat

    saling melengkapi, saling bergantian, saling berlawanan, dan saling menandingi,

    seperti: ada-tiada, pria-wanita, siang-malam, tinggi-rendah, baik-jelek, dan

    sebagainya23

    Dari Yang Dua tersebut akan melahirkan Yang Ketiga (Shan Chai), yakni

    bumi, langit, dan manusia, dan dari Yang Ketiga melahirkan semua makhluk

    (kesatuan alam semesta). Karena itu, konsep Tuhan dalam agama Tao sebenarnya

    tidak mengenal istilah penciptaan, melainkan melahirkan, yakni Yang Satu (Tao)

    melahirkan Yang Dua (Yang dan Yin), dan yang Dua melahirkan Yang Tiga

    (Kesatuan Yang dan Yin atau kesatuan alam semesta dan manusia). Hal ini

    sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Liping (2005:96): Tao creates one,

    One creates two, Two creates three, And three creates everything in the world

    23

    Tjan K & Kwa Tong Hay, 2010, Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa, Yogjakarta : Penerbit Kanisius Hlm. 38.

  • 70

    (Tao melahirkan yang satu, Yang satu melahirkan yang dua, yang dua melahirkan

    yang tiga, dan yang tiga melahirkan segala sesuatu yang ada di dunia).

    Tuhan, atau sebut nama apa saja yang diberikan kepada-Nya tidak pernah

    mengharapkan sesuatu, dan tidak pernah menuntut sesuatu dari manusia. Akan

    tetapi, manusia terkadang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mencari

    perlindungan kepada “Sang Penguasa Alam”. Karena itu, mulailah manusia

    berusaha mengadakan hubungan yang lebih pribadi dengan menjalankan

    pemujaan-pemujaan dan atau persembahyangan untuk memohon perlindungan.

    Tuhan, dalam agama Tao biasanya disebut sebagai “Tian Gong” atau “Thian

    Kong” dalam dialek Hokkian). Bagi umat Tao, Thian adalah penguasa tertinggi

    alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung.

    Dengan demikian, Tao atau Dao merupakan realitas tertinggi yang

    dibayangkan sebagai lambang Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Lika24

    (2012:88),

    Tao atau Dao adalah Dzat Yang Maha Agung, Yang Mahabesar, absolut, kekal,

    dan abadi. Dia menciptakan dan atau mengatur seluruh isi alam semesta.Dia tidak

    berawal dan tiada berakhir. Dia maha adil dan maha pengasih tanpa pandang bulu,

    sehingga semua manusia di hadapan Tao atau Dao adalah sama, tidak ada yang

    lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya. Batasan yang membedakannya

    adalah apakah manusia mampu mengamalkan ajaran Dao (Xiu Dao) sampai

    mendapatkan Dao dan bersatu dengan-Nya.

    24

    Lika, ID., 2012, Dao De Jing, Kitab Suci Utama Agama Tao, Jakarta : Penerbit Kompas Gramedia. Hlm. 88.

  • 71

    Sebagaimana yang terjadi di Indonesia ketika negara memberikan

    penilaian terhadap agama-agama tertentu dengan perspektif yang berbeda dari

    keyakinan umat, tolok ukur yang digunakan adalah nilai-nilai moral yang ada

    pada agama tersebut memiliki perbedaan yang mungkin jamak ditemui pada

    agama yang “dikehendaki” oleh negara (Islam, Katolik, Kristen Protestan,

    Hindhu, dan Budha) yang memunculkan stigma bahwa “keyakinan umat” tidak

    dapat disebut sebagai “agama” namun hanya sebagai falsafah terhadap Tuhan atau

    Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

    Jika ditilik lebih lanjut sebenarnya makna kepercayaan terhadap Tuhan

    Yang Maha Esa adalah memang suatu pemikiran filosofis tentang keberadaan

    Tuhan dan ini merupakan esensi dari semua agama yang ada di dunia, lantas

    keengganan negara untuk mengakui agama Tao adalah suatu pandangan subyektif

    yang muncul karena alasan-alasan berlatar-belakang prasangka etnik yang telah

    mengakar di Indonesia sejak lama.

    Negara sebagai pengayom bagi setiap warga negaranya memberikan

    perlindungan, jaminan dan pengakuan terhadap agama atau keyakinan mereka.

    Agama menjadi salah satu hak paling asasi bagi manusia, dimana karena sifat

    agama itu sendiri yang sakral dan sangat bergantung pada keyakinan dan

    kepercayaan dari setiap individu yang begitu personal.

    2) Kepercayaan terhadap Nabi dan Dewa/Dewi

    Agama Tao mempercayai adanya dzat yang Maha Agung, Maha Esa,

    Maha Sempurna yang disebut dengan Tian atau Dhian (Tuhan), namun agama

  • 72

    Tao juga meyakini akan adanya dewa-dewi. Agama Tao percaya bahwa sosok

    mortal manusia dapat menjadi dewa karena sanggup berbuat jasa yang besar bagi

    masyarakat ataupun orang lain, kategori perbuatan-perbuatan baik tersebut,

    sebagai berikut:

    a. Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan

    untuk umat manusia;

    b. Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan

    masyarakatnya;

    c. Bisa mencegah/menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia;

    d. Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang

    kebenaran sejati.

    Di dalam Agama Tao juga terdapat kepercayaan terhadap nabi, yakni Nabi

    Lao Zi. Ia dikenal sebagai perintis ajaran Taoisme dan sekaligus penulis kitab

    terbesar agama tao, yakni kitab “Tao Te Ching”. Masyarakat pada saat itu sangat

    menghormati Nabi Lao Zi karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya

    sehingga banyak orang yang meminta nasehat kepadanya. Karena itu, nama Lao

    Zi dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, baik sebagai seorang filosuf yang

    dihormati dan sebagai seorang suci atau dewa yang sangat dimuliakan.

    Dia dilahirkan di negeri Cina sekitar tahun 640 SM, yang konon berusia

    sekitar 150 – 200 tahun. Usia yang sepanjang ini diyakini dapat dicapai oleh

    umatnya karena ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya. Namanya

    sendiri adalah Erh, sedangkan nama keluarganya adalah Li, sehingga nama Lao Zi

    seringkali disebut Li Erh. Bahkan, nama Lao Zi seringkali disebut sebagai “putra

  • 73

    tua”, “sahabat tua”, dan atau “sang guru tua”. Hal ini dimaksudkan sebagai gelar

    penghormatan dan kecintaan kepada Lao Zi yang mengembangkan ajaran Tao

    untuk menuju kesatuan dan keselarasan dengan alam.

    Semasa mudanya, Lao Tzi pernah bertugas sebagai seorang pegawai

    kerajaan pada masa Dinasti Chou (111-255 SM). Di kerajaan ini, ia diberi tugas

    untuk mengelola dokumen-dokumen dan surat-surat kuno yang bersejarah, serta

    buku-buku suci dan rahasia. Dengan pengalamannya ini, Lao Zi dapat

    mempelajari sejarah dan data-data peninggalan sejarah serta memperhatikan

    kejadian-kejadian di sekelilingnya, termasuk memperhatikan keadaan sosial dan

    politik kerajaan itu. Dalam masa kerjanya, ia menekankan dan sekaligus

    mempraktekkan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat

    semata, yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Keadaan yang demikian ini

    sangat membantu Lao Zi untuk membentuk sebuah teori atau ajaran, yang dikenal

    sebagai aliran Taoisme.

    Dalam agama Tao, ada tiga tokoh yang dimuliakan sebagai leluhur agama

    Tao, yakni Kaisar Kuning (Huang Di), Lao Zi, dan Zhang Ling. Kaisar kuning

    diakui sebagai cikal bakal orang Cina dan sekaligus diakui sebagai cikal bakal

    Taoisme. Lao Zi adalah penerus dan pengembang ajaran Tao yang dirintis oleh

    Huang Di, sehingga ia dikenal sebagai penggubah Taoisme. Kemudian ia dikenal

    sebagai Nabi Lao Zi yang mengajarkan kitab kepada para pengikut-pengikutnya,

    yakni “Tao Te Ching”. Kemudian Zhang Ling dikenal sebagai Zhang Dao Ling

    (guru langit) sebagai pendiri sekte ortodoks Tao. Sekte ini mengajarkan umatnya

  • 74

    untuk melakukan amal secara luas dan menjadikan Tao sebagai agama orang

    Cina.

    Sebagai ciri umum agama Tao adalah memuja arwah di alam semesta,

    seperti langit, bumi, binatang, gunung, sungai, angin, orang suci, leluhur, dan

    sebagainya. Bahkan, pemujaan terhadap arwah yang menghuni tubuh manusia,

    seperti roh jantung, roh paru-paru, roh hati, dan roh ginjal. Pemujaan yang

    termulia adalah Tao, tetapi Tao sendiri di luar jangkauan akal manusia. Karena

    itu, agama Tao memanusiakan Tao menjadi tiga maha roh (Trisuci) yang bernama

    “San Qing (Tiga Mahasuci), yakni Yuan Shi, Ling-bao, dan Dao-de. Mereka

    itulah dikenal sebagai dewa tertinggi dalam agama Tao, yakni Yu Qing, Shang

    Qing, dan Thai Qing. San Qing ini sebagai sumber segalanya, tetapi mereka tidak

    menguasai alam semesta, sebab yang menguasainya adalah Shang Di, yakni Thian

    Gong, yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tjan K, 2010:50-51).

    Itulah sebabnya agama Tao dapat dikatakan sebagai suatu agama

    polytheisme yang menyembah dewa-dewa. Hal ini sebagaimana terlihat di

    Kelenteng Sinar Tao Semarang, dewa/dewi yang dipuja oleh umat Tao meliputi:

    dewa langit yang divisualisasikan sebagai Thian Kung, Dewa Thai Shang Lao

    Yun sebagai sang Maha Dewa, Dewa Cheng Huang Lao Ye, Dewa Xuan Tian

    Shang Di, Dewa Bao Sheng Da Di, Dewa Fu De Zheng Shen, Dewa Guang Ze

    Zun Wang, Dewa Er Lang Sen, Dewa Jiu Tian Yuan Nu, Dewa Tian Shang Sheng

    Mu, Dewa Cai Shen Lao Ye, Dewa Guan Sheng Di Jun, Dewa Yue Yia Lao Ren,

    dan Dewa He He Er Xian. Dewa-dewa tersebut, biasanya dipuja oleh umat Tao

  • 75

    pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Imlek (Lunar) dan pada hari-hari

    kebesaran dewa/dewi.

    3.4.2. Tao Ditinjau dari Definisi Tindakan/Perilaku (Code)

    Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat

    adanya kepercayaan (creed). Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan

    pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori

    tindakan etis. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan

    dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya.

    Agama Tao memiliki ajaran moralitas yang sangat tinggi, yang tercermin

    dalam prinsip dasar Tao, yakni “Kesetiaan” dan “Bakti”. Agama Tao mengajarkan

    umatnya untuk menghormati langit dan bumi, menghormati leluhur, mengasihi

    sesama, dan berdamai dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, agama Tao

    mengajarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan damai. Karena itu, pengembangan

    diri bagi umat Tao meliputi dua aspek, yakni aspek ke dalam dan aspek keluar.

    Dalam aspek keluar, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus setia,

    berbakti, berbuat kebajikan dan cermat. Dalam aspek ke dalam, agama Tao

    mengajarkan bahwa seseorang harus jujur, teguh memegang prinsip yang baik dan

    benar. Hal ini dimaksudkan untuk memajukan diri sendiri, membantu orang lain

    tanpa ada batasan apapun.

    Berbuat baik sangat ditekankan dalam agama Tao, sebagaimana yang

    dikatakan oleh Taw Taubing (Wawancara, tanggal 23 Mei 2014), sebagai berikut:

  • 76

    “Dalam teks Tai Shang Gan Yin Pian disebutan bahwa bila seseorang telah

    mencapai Tao, maka ia akan menjadi yang terdepan dalam berbuat

    kebaikan, welas asih pada orang lain, berdedikasi tinggi pada tugasnya,

    membantu orang yang patut dibantu dengan tanpa pamrih, hormat pada

    orang tua, memberi perhatian yang besar kepada yang muda, tidak

    merusak leingkungan termasuk tanah, tumbuh-tumbuhan dan serangga,

    berempati dan berusaha membantu kepada orang yang membutuhkannya,

    berempati dan berusaha menyelamatkan kepada orang-orang yang sedang

    dirundung kemalangan, memandang keberuntungan orang lain sebagai

    keberuntungannya sendiri, dan sebaliknya memandang kemalangan orang

    lain sebagai kesusahan dirinya sendiri”.

    Ajaran etika tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga

    terwujud sikap dan perilaku yang baik ketika berhubungan dengan sesama umat

    Tao ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika semacam ini, maka akan

    tercipta hubungan yang harmonis dan teratur ntara sesama umat beragama. Dalam

    kehidupan sehari-hari, etika semacam ini terlihat pada cara-cara berpakaian,

    berbicara, berjalan, bahkan makan dan tidur. Semua aspek kehidupan ini tidak

    hanya dilakukan oleh Taois (umat Tao), melainkan juga pendeta Tao. Hal ini

    disebabkan oleh tanggung jawab seorang pendeta Tao yang harus memiliki moral

    dan mental yang baik dibandingkan umat biasa.

    Oleh karena itu, seorang pendeta Tao harus memenuhi aturan atau

    ketentuan etika agama Tao agar mencapai tingkat religiusitas yang lebih tinggi.

    Hal ini dimaksudkan agar seorang pendeta Tao tidak melakukan perbuatan yang

    tidak baik, perkataan dan perilaku yang membahayakan moral. Keberadaan

    aturan ini pada hakikatnya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan

    kemurnian dan integritas umat ataupun pendeta agar selalu menuju di jalan Tao.

    Etika semacam ini sebenarnya bersumber pada ajaran “Yin Yang” yang

    menyebutkan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang

  • 77

    saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung

    satu sama lain. Ajaran ini kan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang

    harmonis dan damai.

    Masalah-masalah yang berkaitan dengan hal agama menjadi menarik

    untuk disimak dimana kita tahu bahwa berbicara tentang agama tidak akan

    terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual, dimana sesuatu yang sacred (suci),

    ghaib, ataupun mungkin mistis ada di dalamnya. Namun semua ini takkan lepas

    dari apa yang disebut sebagai “umat”, golongan yang mendukung dan meyakini

    akan keberadaan agama sebagai sarana pendekatkan diri pada sang Causa Prima

    (biasa disebut dengan Tuhan, Dewa, Allah) yang bersifat transedental dan

    tentunya berlawanan dengan keprofanan manusia.

    Keyakinan umat akan keberadaan Tuhan dimanifestasikan kedalam ritus

    peribadatan yang telah dinisbatkan dalam Kitab Suci yang bersumber dari wahyu-

    Nya, ritus-ritus ini dapat bersifat individual maupun komunal. Agama menjadi

    suatu pranata nilai yang memberikan pedoman bagi manusia (umatnya) dalam

    menjalani kehidupan dunia dan pencapaian kesempurnaan di akhirat, karenanya

    pelaksanaan nilai-nilai keagamaan ini disertai pula dengan sanksi yang bersifat

    transeden berupa dosa dari Tuhan.

    Bagi manusia peran agama sebagai pedoman dalam mempertanyakan

    keberadaan dirinya sendiri serta alam semesta tidak dapat dipisahkan dari

    pandangan hidup yang diwarnai oleh perasaan sakral (suci) sehingga sulit bagi

    orang lain diluar lingkungan agama tersebut melihat bagaimana agama

    mempengaruhi perilaku manusia, dimana pemeluk agama diliputi oleh keyakinan,

  • 78

    kesetiaan, dan kekaguman terhadap nilai-nilai moral dalam agama (Nothingham,

    2002:4). Akan sangat bijaksana bagi kita untuk tidak menilai agama dari

    perspektif personal kita yang tentunya akan sangat berbeda dengan para

    penganutnya, dimana tolok ukur agama berada pada religusitas umat dari agama

    itu sendiri.

    Sumber-sumber kebajikan bagi umat Tao tertuang dalam kitab suci yang

    menjadi pegangan hidup bagi umat Tao. Agama Tao juga mempercayai adanya

    kitab suci yang bernama “Tao Te Ching”. Kitab ini merupakan pemikiran Nabi

    Lao Zi yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika bagi umat manusia yang

    ditulis pada abad ke 6 SM. Penulisan kitab ini terdiri atas 5.000 kata, dan tersusun

    dalam 81 bab, yang terdiri atas dua bagian, yakni: 1). bagian pertama terdiri atas

    37 bab yang menerangkan tentang Tao, yang diyakini ada dimana-mana dan asal

    mula dari segala sesuatu yang di alam ini; 2). bagian kedua terdiri atas 44 bab

    yang menerangkan tentang Te (kebajikan), yakni daya dan atau kekuatan yang

    diperoleh dengan mengikuti Tao. Karena itu, isi kitab ini pada prinsipnya adalah

    mengembangkan jalan Tao agar selaras dengan kehidupan alam.

    Selain kitab Tao Te Ching tersebut, agama Tao juga mengenal kitab lain,

    yakni Kitab Chuangzi dan Kitab Liezi. Kitab Chuangzi merupakan kumpulan 33

    bab essai yang terdiri atas tiga bagian, yakni bab dalam, bab luar, dan bab lain-

    lain. Kitab ini lebih banyak diperuntukkan untuk rakyat jelata sebagai pedoman

    hidup mereka dibandingkan dengan para penguasa. Kitab Liezi merupakan

    kumpulan cerita-cerita dan hiburan-hiburan dalam filsafat. Kitab ini juga berisikan

    bahan-bahan yang ditulis selama 600 tahun, terutama yang berkaitan dengan

  • 79

    ajaran-ajaran untuk memahami agama Tao. Secara umum ajaran dari agama Tao

    bersumber dari Kitab Suci Tao De Jing (Kitab tentang Kebijakan dan Kebajikan),

    namun agama Tao juga memiliki sejumlah kitab suci lainnya yang harus diyakini

    oleh umatnya, antara lain:

    a. Dai Sang Lao Jun Zhen Jing (Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Jin);

    b. Er Lang Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Er Lang Shen);

    c. Fu Tek Zhen Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Fu Tek Zhen Shen);

    d. Wang Di Zhi Jing (Empat Kitab Kaisar Kuning(Huang Di);

    e. Dai Bing Jing (Kitab Dai Bing atau Kitab Aman Sentosa);

    f. Qing Jing Jing (Kitab Hening Tanpa Pamrih);

    g. Shen Tian De Tao Zhen Jing (Kitab Suci demi Mendapat Tao dan Naik Ke

    Langit).

    Kitab-kitab tersebut pada hakikatnya adalah tiga kitab klasik Tao yang

    saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Hal ini terlihat pada pembukaan

    kitab Tao Te Ching yang menyebutkan:

    “Tao yang dapat dijabarkan bukanlah Tao yang sejati; nama yang dapat

    diberikan pada Nya, bukanlah arti yang sesungguhnya. Dia adalah tak

    bernama, dan tak berwujud, serta tak terjangkau oleh pemikiran normal.

    Tao adalah sumber dari semua kehidupan, sesuatu yang bukan pribadi

    tetapi bukan Dewa/Roh. Tao adalah sesuatu yang tak bernama tetapi

    berada di belakang layar alam semesta ini. Kehidupan ini sinonim dengan

    Keberadaan, dengan Tuhan, dengan Allah” (Anand Krisna, 1998: xv)”.

    Selama ini banyak hal-hal negatif yang berhembus tentang agama Tao di

    Indonesia, selain karena pengaruh stigma yang diterima etnik Cina juga adanya

    kesesatan informasi tentang keberadaan agama Tao. Agama Tao sering pula

  • 80

    dianggap sebagai ajaran mistis, misterius, dan seolah-olah enggan bersentuhan

    dengan dunia luar, semua ini lebih karena minimya pemahaman masyarakat

    tentang bagaimana sebenarnya agama Tao. Orang cenderung menjustifikasi

    agama Tao hanya sebagai nilai-nilai filsafat karena tidak mampu menangkap

    essensi ajaran Tao yang tertuang pada Kitab Suci Tao De Jing, kitab suci ini berisi

    5000 kata bijak dari Lao Tzu yang sederhana namun memiliki makna yang dalam

    sehingga banyak orang menilai dengan subyektifitasnya sendiri

    (multiinterpretable) dan terkadang menimbulkan kesesatan pemahaman.

    3.4.3. Tao Ditinjau dari Definisi Peribadatan (Cult)

    Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed

    sebagai cara upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai

    tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki

    kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi.

    Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari

    hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk

    halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara ini terdiri atas beraneka-ragam

    upacara dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud,

    berkorban, makan bersama, dan sebagainya25

    Dalam agama Tao, sistim upacara

    yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk pemujaan atau sembahyang.

    Setiap tanggal 1 dan 15 bulan (Imlek), umat agama Tao senantiasa

    melaksanakan ritual keagamaan di kelenteng Sinar Tao. Pada tanggal-tanggal

    25

    Koentjaraningrat, Op.cit.138-139.

  • 81

    tersebut umat Tao berdatangan menuju ke Kelenteng Sinar Tao di jl. Madukoro

    Blok AA/BB Semarang. Sebagian diantara mereka datang secara individual

    (perorangan), dan sebagian diantara mereka datang dengan keluarganya, seperti

    anak dan isterinya. Ketika datang, mereka langsung masuk ke dalam klenteng

    untuk mengambil “hio” atau dupa yang telah disediakan oleh pengurus kelenteng.

    Kemudian mereka langsung melakukan pemujaan/sembahyang ke dewa/dewi

    agama Tao. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan pemujaan/sembahyang ini

    adakalana dilakukan secara perorangan, dan adakalanya dilakukan secara

    bersama/berkelompok.

    Pertama-tama, pemujaan/sembahyang dilakukan di hadapan Dewa Langit,

    sebagai manifestasi Tian Kong, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pemujaan/

    sembahyang di hadapan Maha Dewa Lao Zi, lalu secara berturut-turut melakukan

    pemujaan/sembahyang di hadapan dewa/dewi agama Tao, sebagai-mana tersebut

    di atas. Setelah itu, mereka berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk

    saling bertegur sapa, bercerita, berdiskusi, dan sebagainya. Pada saat inilah

    pengurus yayasan atau tokoh-tokoh agama tao memberikan informasi-informasi

    penting kepada umat, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun masalah-

    masalah lainnya, seperti: tata cara ibadah, bakti sosial, dan sebagainya. Kemudian

    pertemuan diakhiri dengan pemujaan/sembahyang bersama yang dipimpin oleh

    tokoh-tokoh agama Tao.

    Selain itu, pemujaan/sembahyang dewa/dewi juga dilakukan pada hari-hari

    kebesaran agama Tao, seperti perayaan hari kebesaran Sang Maha Dewa Lao Zi.

    Di kelenteng Sinar Tao, perayaan hari kebesaran dilakukan pada tanggal 15 bulan

  • 82

    5 Imlek. Pada saat ini diselenggarakan upacara pemujaan/sembahyang bersama,

    sebagaimana pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Hanya saja, masyarakat Tao

    yang mengikutinya berjumlah lebih banyak. Jika pada pemujaan/sembahyang

    tanggal 1 dan 15 bulan Imlek hanya diikuti sekitar 100 – 150 orang, maka pada

    kebesaran ini diikuti oleh umat Tao sekitar 500 – 600 orang. Hal ini disebabkan

    peserta ritual keagamaan tidak hanya berasal darai kota Semarang, melainkan dari

    umat Tao di luar kota Semarang, seperti; Solo, Jepara, Kudus, Woonosobo,

    Magelang, dan Temanggung.

    Agama Tao dalam menghitung hari menggunakan penanggalan “Imlek”

    yang merupakan hasil karya dari Khuang Cheng Zi sejak ±2703 tahun yang lalu.

    Penanggalan Imlek ini menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran bulan.

    Penanggalan ini selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga dalam

    menentukan hari-hari besar kegamaan dalam agama Tao, hari-hari besar yang

    dirayakan oleh umat Tao sebagai berikut:

  • 83

    Tabel 1:

    Hari-Hari Besar Agama Tao Yang Diperingati Oleh Umat Tao

    Tanggal Bulan (Imlek) Keterangan Nama Dewa-Dewi

    15 5 Imlek Maha Dewa Tao Thay Shang Lao Jun

    19 2 Imlek Kelahiran Dewi Gwan

    Yin

    Gwan Yin (Welas Asih)

    19 6 Imlek Naik Ke Surga

    19 9 Imlek Wafatnya Dewi Gwan

    Yin

    9 9 Imlek Pelindung Anak Li Na Zha

    24 6 Imlek Dewa Kesetiaan Gwan Gong

    3 3 Imlek Penjaga Langit Xuan Thian Zhang Di

    2 2 Imlek Penjaga Bumi Fu De Zheng Shen

    22 4 Imlek Dewa Kekayaan Chai Shen Ye

    22 2 Imlek Dewa Petani Gong De Jun Ong

    23 3 Imlek Dewi Penjaga Laut Thien Shang Shen Mu

    28 8 Imlek Dewa Pelindung Er Lang Zhen

    9 9 Imlek Pelindung Wanita Ciu Thian Xian Nie

    19 7 Imlek Penguasa Waktu Tai Su Ye

    15 3 Imlek Dewa Pengobatan Bao Sheng Da Di

    3 2 Imlek Dewa Pendidikan Wan Chang Tee Cin

  • 84

    Dalam menjalankan pemujaan/sembahyang kepada dewa/dewi, umat Tao

    harus melaksanakan “San Li Jiu Kou”, yakni membungkuk tiga kali dan bersujud

    tiga kali hingga menyentuhkan jidadnya ke matras atau lantai. Bersujud dan

    membungkuk merupakan tradisi Cina untuk menunjukkan penghormatan yang

    paling tinggi. Penghormatan dilakukan dengan cara melipat dua tangan di depan

    perut dan menurunkannya selagi membungkukkan badan ke depan. Pada

    umumnya, saat menghormati para dewa hendaknya dilakukan dengan membakar

    dan memasang dupa atau hio, karena hal ini memiliki makna bahwa asap dupa

    merupakan sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para

    dewa/dewi.

  • 85

    Foto: Peribadatan Umat Tao

  • 86

    3.4.4. Tao Ditinjau dari Definisi Komunitas (Community)

    Antara Khonghucu dengan Tao sama-sama tergabung dalam Tridharma

    sebagai satu organ kesatuan hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah

    mempunyai hubungan ke negara lain. Tridharma lahir karena dahsyatnya misi-

    misi Agama Nasrani yang berorientasi menyedot Umat Buddha keturunan

    Tionghoa pada akhir abad 19. Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee

    setelah Tiong Hoa Hwee Koan gagal memelihara dan mengembangkan ajaran

    Khong Hu Cu dan Beliau menganggap Khong Kauw Hwee yang didirikan di Solo

    pada tahun 1918 dan di kota-kota lain kurang memasyarakat atau kurang

    memberikan harapan.

    Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma karena klenteng-

    klenteng di Jawa Timur terancam punah sebagai akibat dari persepsi yang kurang

    lengkap dari Penguasa Perang Daerah terhadap klenteng yang dianggapnya

    sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965. Tahun

    1954 lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI)

    yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah

    Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di

    Bandung.

    Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari Sam Kauw (dari bhs.

    Hokkian: Sam = tiga, Kauw = agama, maklum nama yang berbau Cina harus ganti

    nama). Sam Kauw Hwee didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan

    tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang-orang Tionghoa. Karena

    perubahan agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur

  • 87

    kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri. Dalam pandangan Sam Kauw

    Hwee, tiga agama ini dapat disebut sebagai agama Tionghoa.

    “itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling

    lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa

    jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe”.

    (tulisan Kwee Tek Hoay di Sam Kauw Gwat Po edisi Feb 1939).

    Konsep Tridharma/SamKauw/Sanjiao/Tiga Agama bukan hanya ada di

    Indonesia, tetapi sudah berakar mulai abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan

    sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme)

    yang ada. Banyak bagian kebudayaan Tionghoa yang sudah tercampur-baur

    dengan unsur dari ketiga agama ini.

    Tridharma (Hanzi: hanyu pinyin: sanjiao) adalah sebuah kepercayaan yang

    tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma disebut Samkau

    dalam dialek Hokkian, berarti harfiah tiga ajaran. Tiga ajaran yang dimaksud

    adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.

    Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan

    tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang

    mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu.

    Tridharma adalah Sam Kauw / San Jiao.

    Sam Kauw / San Jiao adalah Tiga Agama/Ajaran yang merupakan keimanan yang

    dianut secara merata umum oleh orang Tionghoa yang oleh orang orang Barat

    dikatakan sebagai Chinese Religion atau Agama Tionghoa. Bila sampai saat ini

    banyak orang di luar mengatakan bahwa Tridharma itu bagian dari Buddha maka

  • 88

    secara organisatoris memang benar bahwa organisasi Tridharma berada di bawah

    Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama RI.

    Lao Tze mengajarkan bahwa Tao adalah sumber misteri, kedalaman dasar

    dari ada. Konsep Tao tersebut mempunyai makna metafisik sebagai kebenaran

    absolut, realitas terakhir, dasar yang kekal dari ada. Dalam Konfusianisme konsep

    Tao mempunyai makna etis. Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, ketiga

    agama tersebut hidup berdampingan saling melengkapi dan isi mengisi, disamping

    memang sejalan dengan praktek kesalehan Cina. Seorang penganut

    Konfusianisme, misalnya, akan meminta seorang pendeta agama Buddha untuk

    membacakan doa bagi orang yang mati karena Buddha memberikan perspektif

    yang menarik tentang orang mati. Selain itu ia juga akan mempraktekan ajaran-

    ajaran Tao untuk menentukan tempat penguburan yang baik. Konfusianisme

    mengajarkan bagaimana belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dunia

    filsafat, inilah yang merupakan inti dari ajaran etika.

    Community yakni umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan

    Cult yang sama. Adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam

    kepercayaan itu. Secara organisatoris, umat Tao di Kota Semarang dipimpin oleh

    pengurus yayasan Sinar Tao yang sudah mengalami beberapa kali perubahan

    kepengurusan. Pada awal berdirinya, yayasan Sinar Tao ini diajukan oleh

    beberapa