Upload
vankhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB III
KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 NOMOR 30
TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
A. Latar Belakang dan Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999
Sebelum membahas lebih lanjut tentang latar belakang dan proses
pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, sebagai penambah
wawasan tentang arbitrase ada baiknya kita melihat ke belakang sejarah
perkembangan arbitrase dari masa ke masa. Peradaban manusia dewasa ini
merupakan hasil dari pembangunan peradaban sebelumnya. Sejarah manusia
di muka bumi ini diwarnai dengan konflik antar indvidu, perselisihan, perang,
sampai pada pemusnahan etnik antar negara yang menimbulkan tragedi umat
manusia. Demikian pula arbitrase tumbuh karena adanya perselisihan antar
para pihak yang membuat perjanjian, dimana pihak ketiga diperlukan untuk
membantu menyelesaikan tanpa ada campur tangan pengadilan resmi.
Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya
telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah
menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman
Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi
dan Yahudi serta terus berkembang teerutama di negara-negara dagang di
Eropa, seperti Inggris dan negeri Belanda, kemudian cara penyelesaian
28
sengketa ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Penyebaran di Prancis
berlangsung pada 1250, di Skotlandia 1695, di Irlandia 1700 dan Denmark
1795.1
Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam
bentuknya yang sederhana. Bentuk sederhana pada masa ini mempunyai tiga
ciri. Ciri yang pertama, yakni bahwa pada masa itu orang baru menggunakan
arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum
menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah
yang akan menyelesaikan. Ciri kedua, arbitrase ini digunakan untuk
menyelesaikan sengketa di antara kerabat, tetangga atau mereka yang
hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka
terjaga dengan baik. Ciri ketiga, arbitrator yang dipilihnyapun adalah mereka
yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-
ikatan tertentu.2
Peran arbitrase sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa
dagang yang berskala Internasional, dimulai pada penghujung abad ke-18
yang ditandai dengan lahirnya Jay Treaty pada tanggal 19 November 1794.
Perjanjian ini terjadi antara Amerika dan Inggris, dengan perjanjian ini, terjadi
tata cara perubahan mendasar mengenai penyelesaian sengketa dagang.
Permasalahan penanganan sengketa internasional, dalam era global
dihadapkan pada persoalan yang komplek, khususnya mengenai Coalotion Of
Norm. Mengapa demikian, hal ini banyak faktor berperan yang perlu
1 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (edisi revisi), Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1991, hlm. 2
2 Ibid, hlm. 3
29
dicarikan jalan keluar apabila timbul satu sengketa antar pihak. Di Negara
industri seperti Amerika Serikat. Peran lawyer sangat menentukan dan
merupakan suatu profesi yang sangat disegani di Amerika, rasio perbandingan
antara lawyer dan penduduk adalah 1:300. Sedangkan di Indonesia belum ada
data yang valid yang pasti jauh di bawah kebutuhan masyarakat.3
Di Indonesia arbitrase sebenarnya juga mempunyai sejarah yang
panjang, hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan
perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda, yaitu
sejak berlakunya Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering (RV).
Sungguhpun begitu sejarah institusional sejarah perkembangan arbirase kita
mendapatkan momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional
pada tanggal 3 Desember 1977.4
Pada waktu pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia,
penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan, yang mendasarinya
131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut
ditetapkan bahwa golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku
hukum Negeri Belanda yang juga disebut hukum barat, sedangkan bagi
golongan bumi putra (Indonesia) berlaku hukum adatnya masing-masing.
Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya adalah
adanya perbedaan dalam badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.5
3 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta; Ghalia
Indonesia, 2002, hlm. 76 4 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2003, hlm. 27 5 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis; Hukum Arbitrase, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 10
30
Dan yang terakhir adalah golongan timur asing (yang dibagi atas
golongan timur asing Tionghoa dan timur asing bukan Tionghoa seperti;
Arab, India dan lain-lain). Telah ditetapkan pada tahun 1925 bahwa bagi
mereka berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian.6 Sedangkan
dasar hukum arbitrase pada zaman kolonial Belanda pasal 377 HIR/ pasal 705
RBG. Kemudian Jepang menggantikan kedudukan Hindia Belanda, peradilan
pada masa pendudukan Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan peradilan
yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan
peradilan ini merupakan kelanjutan Landraad, hukum acaranya tetap
mengacu pada HIR dan RBG.7
Mengenai berlakunya arbitrase ini pemerintah Jepang masih mengakui
keabsahan Undang-undang dari pemerintah dahulu, yaitu Pemerintah Hindia
Belanda untuk sementara, asal undang-undang yang ada tidak bertentangan
dengan Undang-undang pemerintah Jepang.
Untuk mencegah kefakuman hukum pada waktu Indonesia merdeka,
diberlakukanlah pasal 11 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945
tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan8:
“Segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Berdasarkan kata-kata tersebut jadi jelaslah peraturan yang diwarisi
dari zaman Hindia Belanda dianggap sebagai pedoman dan dapat
6 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 130 7 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 13 8 Sudargo Gautama, Op, Cit, hlm. 31
31
dikesampingkan oleh pengadilan jika pasal-pasal dari peraturan tersebut
dipandang bertentangan dengan undang-undang dasar.
Ketika berlakunya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951
tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada
tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri Pengadilan Tingkat
Pertama, Pengadilan Tinggi Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi.9
Pada zaman Hindia Belanda arbitrase dipakai oleh pedagang, baik
sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya, pada saat itu
adalah arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.10Arbitrase
sering dipraktekkan di Indonesia, ada beberapa badan arbitrase tetap dibidang
perdagangan, badan-badan itu didirikan oleh berbagai perkumpulan dari
organisasi-organisasi perdagangan, sebagai contoh dapat disebutkan di sini11:
1. Organisasi eksportir hasil bumi Indonesia di Jakarta
2. Organisasi asuransi kebakaran Indonesia di Jakarta
3. Organisasi asuransi kecelakaan Indonesia di Jakarta
Arbitrase juga sangat populer di bidang perdagangan internasional,
menghadapi suatu sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara, maka
para pedagang pada umumnya cenderung menyerahkan penyelesaiannya
kepada badan-badan arbitrase bisnis Internasional. London umpamanya
terkenal sebagai pusat arbitrase untuk masalah maritim, asuransi serta barang-
9 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 14 10 Ibid, hlm. 13 11 Sudargo Gautama, Op,Cit, hlm. 131
32
barang hasil bumi.12 Dan tidak hanya mengenai jual beli perniagaan, akan
tetapi dalam perjanjian perburuhan dan dalam dunia makelar tidak jarang
diadakan wasit.13
Namun tidak semua sengketa hukum dapat diselesaikan melalui
arbitrase, adalah diperkenankan pada siapa saja yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berbeda dalam penguasaan untuk
melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut pada
seseorang atau beberapa arbiter (pasal 615 RV)14.
Melihat perkembangan dunia usaha sekarang ini mungkin pada saat
pembuataanya pada tahun 1849 (landasan umum arbitrase pasal 615-651 RV)
sudah memenuhi praktek pada saat itu, akan tetapi melihat lagi pertumbuhan
dan perkembangan yang sangat pesat dan beraneka ragam sudah saatnya
dipikirkan dan diusahakan pembangunan dan pembaharuan hukum di bidang
arbitrase yang lebih utuh dan terpadu, meliputi segala segi yang menyangkut
arbitrase asing yang diputus di luar negeri, sebab ketentuan arbitrase yang
diatur dalam Reglement Acara Perdata belum meliputi hal-hal yang meliputi
berkenaan dengan pengakuan dan ekskusi putusan arbitrase asing, bahkan
bentuk-bentuk klausula pactum de compromittendo yang diatur dalam pasal
615 ayat 3 mengenai pengangkatan arbitrator dapat dikatakan sudah
12 Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Bandung, Alumni.
1992, hlm. 2 13 Sukardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 1991, hlm. 2 14 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 10
33
ketinggalan zaman. Begitu pula dalam pasal 641 mengenai upaya banding
atau putusan arbitrase bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.15
Mengapa ketentuan arbitrase yang lama yang diatur dalam RV harus
diganti ? Dengan semakin berkembangnya dunia usaha dan perkembangan
lalu lintas dunia perdagangan baik Nasional maupun Internasional serta
perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam
reglement acara perdata yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak
sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang
bersifat Internasional sudah merupakan kebutuhan conditiosine quanon
sedangkan hal tersebut tidak diatur ke dalam reglement acara perdata.16
Hal demikian sangat diperlukan pencegahan untuk menghindari
persaingan yang tidak sehat, oleh karena itu ada beberapa hal yang harus
dilakukan untuk menetapkan lembaga dan hukum alternatif penyelesaian
sengketa di negara kita, yaitu17 :
a) Memasyarakatkan lembaga arbitrase dikalangan masyarakat umum,
khususnya masyarakat pengusaha.
b) Memperluas pelajaran dan penyebaran pengetahuan tentang alternatif
penyelesaian sengketa di perguruan tinggi.
c) Membentuk lembaga–lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang
sifatnya permanen di daerah-daerah.
15 Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991, hlm. 23 16 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 6 17 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Jakarta, Gramerdia
Pustaka Utama, 2000, hlm. 12
34
d) Membuka pelatihan-pelatihan alternatif penyelesaian sengketa untuk
mencari negosiator, arbitrator, dan lain-lain.
Perubahan mendasar di atas dan untuk mengantisipasi perkembangan
tersebut telah diterbitkan Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, adapun falsafah yang melatar
belakangi pengesahan Undang-undang tersebut adalah18 :
1) Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
penyelesaian sengketa disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga
dapat diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
2) Bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembagnan dunia usaha dan hukum pada umumnya.
3) Bahwa berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan tersebut maka perlu
membentuk Undang-undang tentang arbitrase dan altenatif penyelesaian
sengketa.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut dengan sendirinya
ketentuan yang mengatur arbitrase yang ada dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 81 undang-undang nomor 30
tahun 1999 yang berbunyi :
“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 615-651 reglement acara
perdata (Reglement Op De Burgerlijke Reehtsvordering (RV) Staatsblad,
18 Rahmadi Usman, Op,Cit, hlm. 12
35
1847:52} dan pasal 377 reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine
Indonesich Reglement, Staatsblad, 1941:44) dan Pasal 705 reglement acara
untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad, 1927:227) dinyatakan tidak berlaku”19
B. Materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Model arbitrase yang diatur dalam Undang–undang nomor 30 tahun
1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Akan tetapi,
tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yag
bersengketa atas dasar kesepakatan mereka20
Adapun susunan atau sistematika Bab dari Undang-undang No 30
tahun 1999, terdiri atas :
Bab I : Ketentuan umum (pasal 1-5)
Bab II : Alternatif penyelesaian sengketa (pasal 6)
Bab III : Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar (pasal 7-
26)
Bab IV : Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase (pasal 27-51)
Bab V : Pendapat dan putusan arbitrase (pasal 52-58)
Bab VI : Pelaksanaan putusan arbitrase (59-69)
Bab VII : Pembatalan putusan arbitrase (pasal 70-72)
19 Pasal 81 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa 20 Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase, Jakarta : PT
Ghalia Indonesia,2000, hlm 21
36
Bab VIII : Berakhirnya tugas arbiter (pasal 73-75)
Bab IX : Biaya arbitrase (pasal 76-77)
Bab X : Ketentuan peralihan (pasala 78-80)
Bab XI : Ketentuan penutup (pasal 81-82)
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda
pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yanhg telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari
hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau
melalui alternatif penyelesaian sengketa.21
Dalam Undang-undang no 30 tahun 1999, disebutkan bahwa alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Undang-undang tersebut memberikan
kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar
pengadilan yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan
memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan
mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri serta
mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul.22
Dengan demikian, sungguhpun Undang-undang arbitrase kelihatannya
lebih menekankan kepada penyelesaian alternatif melalui kesepakatan para
21 hadi setia tunggal , Undang-undang No 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (pasal 2), Jakarta, harvarindo, 2002, hlm 3
22 Suyud Margono, Op cit, Hlm 107
37
pihak sendiri, mediasi, penggunaan tenaga ahli atau arbitrase tetapi sebenarnya
dimaksudkan dengan alternatif penyelesaian sengketa tersebut termasuk
semua jenis penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan23
Dari kerangka Undang-undang ini dapat dikemukakan bahwa
alternatif penyelesaian sengketa dibahas dalam pasal 6, yang terdiri dari 9 ayat
dan dalam bab III juga dibahas tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter,
dan hak ingkar. Adapun bagian tersebut meliputi :
1. Bagian pertama tentang syarat arbitrase (pasal 7-11)
2. Bagian kedua tentang syarat pengangkatan arbiter (pasal 12-21)
3. Bagian ketiga tentang hak ingkar (pasal 22-26)
Dibandingkan dengan pemeriksaan oleh pengadilan biasa, yang
terbuka secara umum dan dapat dihadiri oleh semua orang yang hendak
mendengar sekarang ini dalam acara arbitrase, untuk memelihara
konfidensialitas dan tetap memelihara iklim tidak terpengaruhi oleh dunia luar
atau oleh pers, maka pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Menurut memori
penjelasan ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup ini adalah
menimpang dari memeriksa acara perdata yang berlaku di pengadilan negeri.
Pada prinsipnya pengadilan negeri memeriksa satu perkara secara terbuka
untuk umum.untuk lebih mengedepankan kerahasiaan dan konfidensialitas
dari penyelesaian arbitrase ini maka ditegaskan bahwa dilakukan
pemeriksaannya dengan cara pintu tertutup.24Keharusan sidang pemeriksaan
23 Munir Fuady, Op cit, hlm 4 24 Sudargo gautama, Undang-undang arbitrase baru 1999, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1999, hlm 85
38
perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu ciri dari prosedur
arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari para pihak tetap terjamin.
Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu
sengketa hukum sehingga meyebabkan cukup banyak pihak yang merasa tidak
enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu
sengketa. Pasala 27 dari Undang-undang no 30 tahun 1999 tidak memberikan
pengecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses
arbitrase.25
Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, acara yng berlaku
dihadapan majelis arbitrase dibahas menjadi dua bagian yang diatur dari pasal
27 sampai dengan pasal 51 dengan rincian sebagai berikut :
a. Bagian pertama tentang acara arbitrase (pasal 27-48)
b. Bagian kedua tentang saksi dan saksi ahli (pasal 49- 51)
Dapat kita ketahui bahwa Undang-undang nomor 30 tahun 1999 juga
mengenal istilah pendapat ahli sebagai bagian dari alternatif penyelesaian
sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak
hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat
maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian
pokok melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau
pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak
terbatas pada para pihak dalam perjanjian.26
25 Munir Fuady, Op cit, hlm 146 26 Gunawan Widjaya,Alternatif Penyelesaian Sengketa (Seri Hukum Bisnis), Jakarta, Raja
Grafindo, 2002, hlm 95
39
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang
berlaku, kecuali dalam klausula atau perjanjian arbitrase tersebut telah
diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut
kebijaksanaan (ex aequo et bono) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang
diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut
amar putusannya, yang disertai dengan alasan dan dasar pertimbangan yang
dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan, tanggal diambil
putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para)
arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan hak
ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan
sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 Jo
pasal 633 Rv).27
Kalau pasal 633 ditafsir secara analogis putusan arbitrase sah apabila
putusan diambil berdasar mayoritas. Cukup bagian mayoritas yang
menandatangani putusan sudah sah, dan dianggap seperti ditanda tangani oleh
semua arbiter. Dari penafsiran analogis tersebut, sistem pengambilan putusan
menurut Rv berdasar suara mayoritas. Apabila terdapat suara mayoritas, yang
minoritas harus mengalah dan takluk menerima putusan yang diambil.
Terserah apakah dia mau atau tidak menandatangani putusan. Bagian
minoritas boleh menandatangani, tapi boleh juga tidak menandatangani,
meskipun bagian minoritas menolak untuk ikut menandatangani putusan yang
diambil oleh mayoritas, tetap sah. Mau atau tidak mau menandatangani, pasal
27 Ibid, hlm 23
40
633 Rv menganggap putusan ditanda tangani oleh semua arbiter.28Dalam bab
V Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 pendapat dan putusan arbitrase
diatur dalam pasal 52 sampai dengan 58.29
Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan
catatan yang merupakan akta pendaftaran arbiter atau kuasanya wajib
menyerahkan putusan dan lembar asli, pengangkatan sebagai arbiter atau
salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. Hal ini merupakan
syarat dan jika tidak dipenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan.30
Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan
harus perlu memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1) Para pihak menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase
2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
28 Yahya harahap, Op Cit, hlm 231 29 Lihat Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, hlm 22-24 30 Rahmat Rosyadi dan Ngatimo, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif ,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 86
41
3) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan
4) Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.31
Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tidak dirumuskan
pengertian putusan arbitrase nasional, yang ada rumusan pengertian putusan
arbitrase Internasional. Didalamnya disebutkan, putusan arbitrase
Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut
ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase Internasional. Secara penafsiran (argumentum a contrari) dapat
dirumuskan putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan
diwilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum
Republik Indonesia. Sepanjang putusan tersebut dibuat berdasarkan dan
dilakukan di Indonesia, maka putusan arbitrase ini termasuk dalam arbitrase
Nasional.32
Sedangkan dalam pasal 70 Undang-undang nomor 30 tahun 1999
disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
31 Suyud margono, Op Cit, hlm 132 32 Rachmadi Usman , Op Cit, Hlm 101
42
permohonan pembatalan apabila keputusan arbitrase diduga mengandung
unsur-unsur antara lain :33
(a) Surat atau dokumen diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan palsu
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang sifatnya menentukan,
yang disembunyikan salah satu pihak lawa
(c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 hari, sejak hari penyerahan hingga
pendaftaran putusan arbitrase pada panitera pengadilan negeri, dalam pasal
59 Undang-undang nomor 30 tahun 1999, diatur berkaitan dengan
pelaksanaan putusan arbitrase (ekskusi), pelaksanaan putusan dilakukan
dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan ditetapkan, lembar
asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera
diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.34
Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 putusan arbitrase dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yang diatur dari pasal 59 sampai dengan 69,
sedangkan pembatalan putusan arbitrase diatur dari pasal 70 sampai dengan
72 dengan rincian sebgai berikut :
(1) Bagian pertama tentang arbitrase nasional (pasal 59-64)
(2) Bagian kedua tentang arbitrase internasional (pasal 65-69) dan
33 Rahmat Rasyadi, Op cit, hlm 89 34 ibid, hlm 86
43
(3) Bagian tentang pembatalan putusan arbitrase (pasal 70- 72)
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, maka
kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas
dan kuat. Dalam hukum adat juga dikenal adanya badan-badan pemutus yang
dalam bekerjanya menggunakan prinsip-prinsip musyawarah. Badan-badan
pemutus secara adat ini menggunakan juga prinsip-prinsip yang serupa
dengan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa altenatif yang modern.
Contohnya Tohapuet dalam masyarakat Aceh, kerapatan adat Negeri di
Minangkabau.35
Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa latin
yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim
(arbitator) atau para hakim berdasarkan satu persetujuan bahwa mereka
tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim
yang mereka pilih tersebut.36
Menurut ketentuan pasal umum pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999, arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.37
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase adalah usaha
perantara dalam meleraikan sengketa.38
35 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 13-14 36 Ridhwan Khairandi, dkk, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Yogyakarta, Gama
Media, 1999, hlm 276 37 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm 42 38 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1994, hlm 55
44
Sedang dalam kamus bahasa Inggris Indonesia, arbitrate artinya
mengadili atau mengambil keputusan sesudah mendengarkan keterangan dari
kedua belah pihak.39
Dalam kamus Belanda, arbitrage artinya perdamaian atau
perwasitan.40
Dalam bahasa Perancis, arbitre artinya penengah.41
Selain pengertian arbitrase di atas, juga perlu kita memperkaya
pemahaman tentang arbitrase dengan mengutip beberapa pendapat para ahli
hukum terkemuka diantaranya sebagai berikut :42
1. Subekti dalam bukunya “aneka perjanjian” mengemukakan bahwa
arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh seseorang atau beberapa
orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sendiri, di luar
hakim atau pengadilan.
2. Z. Asikin Kusumaatmadja, arbitration is the business community
regulatory of disputes settlement (arbitrase adalah aturan komunitas bisnis
dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka)43
3. Sudikno Martokusuma mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu
prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan
39 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia,
1976, hlm 36 40 A.L.N. Kramer , Kamus Belanda, Den Haag, G.B. Vaan Goor Zoneis, 1966, hlm 22 41 Farida Soemargono, Kamus Dasar Perancis Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1990,
hlm 18 42 Ade Maman Suherman, Op, Cit, hlm 79 43 Ibid, hlm 79
45
persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang
wasit.44
4. Chappel mendefinisikan arbitrase sebagai satu penyelesaian sengketa
yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang menginginkan
sengketanya diputus oleh hakim yang netral dan dipilih oleh mereka, yang
keputusannya berdasarkan pokok sengketa yang mereka setujui
sebelumnya untuk menerima keputusan tersebut sebagai final dan
mengikat.45
Berdasarkan sejumlah pengertian arbitrase kita mendapatkan
gambaran yang memadai tentang esensi arbitrase, namun ada pernyataan yang
lain apakah semua perkara dapat dibawa ke pengadilan arbitrase? Dalam
Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 82 pasal hanya menegaskan
secara umum dalam pasal 5 yang berbunyi46 :
(1) Sengketa yang dapat diselesaiakan melalui arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam
ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tersebut,
44 Ibid 45 Huala Adolf, Ibid, hlm 11 46 Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa
46
namun jika kita melihat penjelasan pada pasaal 66 Undang-undang Nomor 30
tahun 1999 yang berhubungan dengan putusan Internasional dimana
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ruang lingkup hukum perdagangan”
adalah kegiatan antara lain47
a) Perniagaan
b) Perbankan
c) Keuangan
d) Penanaman modal
e) Industri
f) Hak kekayaan intelektual
H.M.N. Purwosucipto memberikan ulasan terhadap sengketa bidang
apa saja yang dapat selesaikan dalam arbitrase, dengan melihat sejarah yang
dibentuk untuk kepentingan pedagang, adapun sengketa tersebut dapat berupa
penyelesaian mengenai48 :
(1) Jual beli perusahaan
(2) Perjanjian perburuhan
(3) Perjanjian pengangkutan dan lain-lain
(4) Makelar dan komisioner
Sejalan dengan itu pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun
1999, menyebutkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian, secara penafsiran argumentum a contratio, obyek sengketa yang
47 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 45 48 Ademaman Suherman, Op, Cit, hlm. 80
47
menjadi kewenangan lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc adalah sengketa
dibidang perdagangan dan hak yang menurut perundang-undang dapat
diadakan perdamaian sepanjang penyelesaian sengketa perdagangan dan hak
tersebut dapat diserahkan pada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.49
C. Karakteristik Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
Menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-undang Nomor 30 tahun
1999, dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang
mengikat maupun perdamaain tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Ini berarti
arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyeesaian sengketa
terakhir dan final bagi para pihak.
Dalam hukum acara, kita mengenal adanya kompetensi relatif dan
kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut diatas berhubungan dengan
masalah kewenangan dari pranata peradilan atau pengadilan yang berwenang
untuk menyelesaiakan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para
pihak pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan
lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut
mempersoalkan kewenangan dari pranata penyelesaian sengketa yang
berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.
49 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 22
48
Berdasarkan pada ketentuan pasal 3 Undang-undang Nomor 30 tahun
1999 kita ketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui
pranata arbitrase memiliki “kompetensi absolut” terhadap penyelesaian
perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti bahwa setiap
perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau suatu perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari
pengadilan (Negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa
yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang
telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.
Jika kita lihat definisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat kita katakan bahwa pada
dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan
berupa :
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa
Sebagai salah satu bentuk perjanjian sah tidaknya perjanjian arbitrase
digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320
Undang-undang hukum perdata.50
50 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op, Cit, hlm. 43-44
49
D. Ketentuan syarat arbitrase dalam pasal 7-11 Nomor 30 tahun 1999
sebagaimana komitmen para pihak dalam menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase, diharapkan mereka memperoleh kebebasan dan menentukan
wasit yang adil dan keputusannya pun akan ditaaati dan mengikat para pihak,
unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam arbitrase yaitu :
a) Peradilan perdamaian
Lembaga peradilan arbitrase itu terletak di luar pengadilan umum.
Arbitrase diselenggarakan oleh pihak swasta.
b) Para pihak
Para pihak biasanya terdiri dari pengusaha-pengusaha
c) Kesepakatan para pihak
Hal ini merupakan unsur mutlak bagi adanya arbitrase
d) Hak yang dipersengketakan
Hak yang dipersengketakan haruslah hak pribadi yang dapat dikuasai
sepenuhnya. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999,
“sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa”
e) Arbitrator
Arbitrator ini dapat ditunjuk oleh pihak yang bersengketa atau badan
arbitrase atau dapat pula ditunjukan oleh Pengadilan Negeri, Untuk
50
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase
f) Putusan peradilan arbitrase
Karena para pihak sengketa menunjuk arbitrator sendiri maka logisnya
putusan arbitrator harus ditaati kedua belah pihak.
g) Putusan arbitrase adalah putusan akhir
Termasuk dalam kesepakatan kedua belah pihak, bahwa putusan wasit
adalah putusan terakhir maka tidak ada banding.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian arbitrase
tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang
mensyaratkan persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
harus dimuatkan dalam dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.51
Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak dinyatakan syarat-
syarat arbitrase meliputi apa saja, sedangkan dalam kompilasi hukum Islam
dinyatakan bahwa syarat arbitrase bila dipandang dari obyeknya terdiri atas
harta benda yang halal, maka tidak sah perdamaian atas khamar, mayat, darah
dan berburu yang diharamkan, sedang dalam Undang-undang tidak ada
pernyataan seperti itu.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak serta merta dapat
dilangsungkan ketika sengketa telah terjadi, salah satu pihak harus
memberitahukan (notice) kepada pihak lainnya bahwa syarat-syarat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah berlaku. Adapun cara
51 Pasal 4 angka 2 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa
51
pemberitahuannya diatur lebih lanjut dalm pasal 8 Undang-undang Nomor 30
tahun 1999.
Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pemohon harus memberitahukan
kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku, dalam hal timbul sengketa dengan salah satu cara di bawah
ini :
a. Surat tercatat
b. Telegram
c. Teleks
d. Faksimile
e. E-mail
f. Buku ekspedisi.52
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase dimaksudkan
haruslah memuat dengan jelas hal-hal sebagai berikut :
1. Nama dan alamat para pihak
2. Penunjukan pada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
3. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa
4. Dasar tuntutan atau jumlah yang dituntut apabila ada
5. Cara penyelesaian yang dikehendaki
6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
52 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 30-31
52
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.
Setelah pemberitahuan sengketa kepada para pihak dilakukan, para
pihak segera melakukan pemilihan atau penunjukan arbiter yang akan
ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.53
Dari definisi yang diberikan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun
1999, kita mengenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu :
1. Pactum De Compromittendo
Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan
menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi
perselisihan yang nyata.
Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam pasal 7
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan altrnatif
penyelesaian sengketa. Pasal tersebut berbunyi :
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”
Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara yaitu :
a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam
perjanjian pokok, cara ini adalah cara yang paling lazim
b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta
tersendiri
53 Ibid, hlm. 31
53
2. Akta kompromis
Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 akta kompromis diatur
dalam pasal 9 yang berbunyi :
(1) “Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”
(2) ”Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris”
(3) ”Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketakan; b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. Nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis
arbitrase d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e. Nama lengkap sekretaris f. Jangka waktu penyelesaian sengketa g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. Penyediaan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
i. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.
Perbedaan antara de compromittendo dan akta kompromis hanya
terletak pada “saat” pembuatan perjanjian. Bila pactum de compromittedo
dibuat sebelum perselisihan terjadi, akta kompromis dibuat setelah
perselisihan atau sengketa terjadi. Dari segi perjanjian antara keduanya
tidak ada perbedaan.
Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti yang telah
disebutkan di atas perjanjian tersebut dapat merupakan bagian dari suatu
kontrak yang terpisah. Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak biasa
54
disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase dapat berupa perjanjian yang
sederhana untuk melaksanakan arbitrase, tetapi dapat juga berupa
perjanjian yang lebih komprehensif, yang memuat syarat-syarat arbitrase.
Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan
Fatmah Jatim, klausula-klausula arbitrase akan mencakup :
a. Komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrse;
b. Ruang lingkup arbitrase;
c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc;
apabila memilih bentuk ad hoc, maka klausula tersebut harus merinci
metode penunjukan arbiter atau mejelis arbitrase;
d. Aturan prosedural yang berlaku;
e. Tempat dan bahasa yang digunakan;
f. Pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase;
g. Klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika
relevan.54
Dalam pasal 10 dari Undang-undang arbitrase baru tahun 1999 telah
dinyatakan bahwa perjanjian tidak menjadi batal disebabkan oleh :
(1) Kematian salah satu pihak
Karena meninggalnya salah satu pihak. Hal ini adalah logis, karena
walaupun satu pihak telah meninggal dunia, maka ia masih
mempunyai ahli waris atau penerus dalam hukum sebagai pihak yang
telah memperoleh hak (Rechtsverkrijgenelen). Maka sudah jelas bahwa
54 Gunawan Widjaja Dan Ahmad Yani, Op-Cit , Hlm 47-50
55
apabila para pihak yang telah menandatangani klausula arbitrase ini
telah meninggal, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase ini
menjadi batal.
(2) Faillisemen salah satu pihak
Juga apabila salah satui pihak menjadi bangkrut ( pailit ) maka tidak
dengan sendirinya klausula arbitrase ini menjadi batal.
Sebagai dasar dapat dikemukakan bahwa tidak batalnya perjanjian
arbitrase ini adalah disebabkan karena perjanjian arbitrase telah dibuat
sebelum “yang bersangkutan dinyatakan pailit”. Semua tindakan
hukum yang telah dilakukan sebelum dinyatakan pailit, dengan
sendirinya berlangsung terus, walaupun kemudian ia telah dinyatakan
pailit.
(3) Novasi
Karena “novasi”, perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal. Yang
dimaksud “novasi” adalah pembaharuan hutang.
Tentunya yang dimaksud adalah apa yang diatur dalam Bab III
daripada hukum perjanjian seperti termaktub dalam BW. Yaitu salah
satu cara untuk berakhirnya satu perjanjian adalah dengan “novasi”.
Sekarang ini ditegaskan bahwa dengan adanya pembaharuan hutang
yang disebut ”novasi”, maka tidak akan menjadi bubar suatu perjanjian
arbitrase yang sudah dinyatakan dalam perjanjian pokok terdahulu.
56
(4) Insolvensi
Dalam pasal 10 d dinyatakan bahwa perjanjian arbitrase ini juga tidak
menjadi batal karena insolvensi dari salah satu pihak.
Insolvensi ini dianggap keadaan tidak dapat membayar. Kalau
dinyatakan dalam keadaan insolvensi, sama seperti dinyatakan pailit
(bangkrut) maka tidak mempengaruhi klausula arbitrase yang telah
dibuat sebelum keadaan itu terjadi.
(5) Pewarisan
Pasal 10 sub f kecil menyatakan bahwa pewarisan juga tidak
mengakibatkan klausula arbitrase menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini
sudah jelas dalam prinsip umum hukum perdata bahwa seorang ahli
waris akan memperoleh (mewarisi) segala hak dan kewajiban daripada
si pewaris yang telah meninggal dunia itu. Dengan demikian maka
akan tetap berlakulah perjanjian klausula arbitrase yang telah
ditandatangani oleh si pewaris pada saat ia masih hidup.55
Penegasan tentang tidak berwenangnya pengadilan biasa jika
terdapat arbitrase termaktub dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) dan (2)
yaitu :
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui abitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.56
55 Sudargo Gautama, Op, Cit, hlm 19-21 56 Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternaif penyelesaian sengketa
57
Apabila terdapat satu perjanjian arbitrase tertulis maka ditiadakan
hak daripada pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
pendapat mereka ke Pengadilan Negeri. Dinyatakan secara jelas bahwa
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
Perkecualian terhadap hal ini adalah jika dalam hal tertentu campur tangan
pengadilan diperbolehkan.57
57 Sudargo Gautama, Op, cit, hlm 23