31
27 BAB III KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA A. Latar Belakang dan Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Sebelum membahas lebih lanjut tentang latar belakang dan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, sebagai penambah wawasan tentang arbitrase ada baiknya kita melihat ke belakang sejarah perkembangan arbitrase dari masa ke masa. Peradaban manusia dewasa ini merupakan hasil dari pembangunan peradaban sebelumnya. Sejarah manusia di muka bumi ini diwarnai dengan konflik antar indvidu, perselisihan, perang, sampai pada pemusnahan etnik antar negara yang menimbulkan tragedi umat manusia. Demikian pula arbitrase tumbuh karena adanya perselisihan antar para pihak yang membuat perjanjian, dimana pihak ketiga diperlukan untuk membantu menyelesaikan tanpa ada campur tangan pengadilan resmi. Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi serta terus berkembang teerutama di negara-negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan negeri Belanda, kemudian cara penyelesaian

BAB III KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1...di muka bumi ini diwarnai dengan konflik antar indvidu, perselisihan,

Embed Size (px)

Citation preview

27

BAB III

KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 NOMOR 30

TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

A. Latar Belakang dan Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999

Sebelum membahas lebih lanjut tentang latar belakang dan proses

pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, sebagai penambah

wawasan tentang arbitrase ada baiknya kita melihat ke belakang sejarah

perkembangan arbitrase dari masa ke masa. Peradaban manusia dewasa ini

merupakan hasil dari pembangunan peradaban sebelumnya. Sejarah manusia

di muka bumi ini diwarnai dengan konflik antar indvidu, perselisihan, perang,

sampai pada pemusnahan etnik antar negara yang menimbulkan tragedi umat

manusia. Demikian pula arbitrase tumbuh karena adanya perselisihan antar

para pihak yang membuat perjanjian, dimana pihak ketiga diperlukan untuk

membantu menyelesaikan tanpa ada campur tangan pengadilan resmi.

Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya

telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah

menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman

Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi

dan Yahudi serta terus berkembang teerutama di negara-negara dagang di

Eropa, seperti Inggris dan negeri Belanda, kemudian cara penyelesaian

28

sengketa ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Penyebaran di Prancis

berlangsung pada 1250, di Skotlandia 1695, di Irlandia 1700 dan Denmark

1795.1

Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam

bentuknya yang sederhana. Bentuk sederhana pada masa ini mempunyai tiga

ciri. Ciri yang pertama, yakni bahwa pada masa itu orang baru menggunakan

arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum

menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah

yang akan menyelesaikan. Ciri kedua, arbitrase ini digunakan untuk

menyelesaikan sengketa di antara kerabat, tetangga atau mereka yang

hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka

terjaga dengan baik. Ciri ketiga, arbitrator yang dipilihnyapun adalah mereka

yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-

ikatan tertentu.2

Peran arbitrase sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa

dagang yang berskala Internasional, dimulai pada penghujung abad ke-18

yang ditandai dengan lahirnya Jay Treaty pada tanggal 19 November 1794.

Perjanjian ini terjadi antara Amerika dan Inggris, dengan perjanjian ini, terjadi

tata cara perubahan mendasar mengenai penyelesaian sengketa dagang.

Permasalahan penanganan sengketa internasional, dalam era global

dihadapkan pada persoalan yang komplek, khususnya mengenai Coalotion Of

Norm. Mengapa demikian, hal ini banyak faktor berperan yang perlu

1 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (edisi revisi), Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1991, hlm. 2

2 Ibid, hlm. 3

29

dicarikan jalan keluar apabila timbul satu sengketa antar pihak. Di Negara

industri seperti Amerika Serikat. Peran lawyer sangat menentukan dan

merupakan suatu profesi yang sangat disegani di Amerika, rasio perbandingan

antara lawyer dan penduduk adalah 1:300. Sedangkan di Indonesia belum ada

data yang valid yang pasti jauh di bawah kebutuhan masyarakat.3

Di Indonesia arbitrase sebenarnya juga mempunyai sejarah yang

panjang, hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan

perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda, yaitu

sejak berlakunya Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering (RV).

Sungguhpun begitu sejarah institusional sejarah perkembangan arbirase kita

mendapatkan momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional

pada tanggal 3 Desember 1977.4

Pada waktu pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia,

penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan, yang mendasarinya

131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut

ditetapkan bahwa golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku

hukum Negeri Belanda yang juga disebut hukum barat, sedangkan bagi

golongan bumi putra (Indonesia) berlaku hukum adatnya masing-masing.

Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya adalah

adanya perbedaan dalam badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.5

3 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta; Ghalia

Indonesia, 2002, hlm. 76 4 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2003, hlm. 27 5 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis; Hukum Arbitrase, Jakarta, PT

Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 10

30

Dan yang terakhir adalah golongan timur asing (yang dibagi atas

golongan timur asing Tionghoa dan timur asing bukan Tionghoa seperti;

Arab, India dan lain-lain). Telah ditetapkan pada tahun 1925 bahwa bagi

mereka berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian.6 Sedangkan

dasar hukum arbitrase pada zaman kolonial Belanda pasal 377 HIR/ pasal 705

RBG. Kemudian Jepang menggantikan kedudukan Hindia Belanda, peradilan

pada masa pendudukan Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan peradilan

yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan

peradilan ini merupakan kelanjutan Landraad, hukum acaranya tetap

mengacu pada HIR dan RBG.7

Mengenai berlakunya arbitrase ini pemerintah Jepang masih mengakui

keabsahan Undang-undang dari pemerintah dahulu, yaitu Pemerintah Hindia

Belanda untuk sementara, asal undang-undang yang ada tidak bertentangan

dengan Undang-undang pemerintah Jepang.

Untuk mencegah kefakuman hukum pada waktu Indonesia merdeka,

diberlakukanlah pasal 11 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945

tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan8:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.

Berdasarkan kata-kata tersebut jadi jelaslah peraturan yang diwarisi

dari zaman Hindia Belanda dianggap sebagai pedoman dan dapat

6 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 130 7 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 13 8 Sudargo Gautama, Op, Cit, hlm. 31

31

dikesampingkan oleh pengadilan jika pasal-pasal dari peraturan tersebut

dipandang bertentangan dengan undang-undang dasar.

Ketika berlakunya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951

tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada

tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri Pengadilan Tingkat

Pertama, Pengadilan Tinggi Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah

Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi.9

Pada zaman Hindia Belanda arbitrase dipakai oleh pedagang, baik

sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya, pada saat itu

adalah arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.10Arbitrase

sering dipraktekkan di Indonesia, ada beberapa badan arbitrase tetap dibidang

perdagangan, badan-badan itu didirikan oleh berbagai perkumpulan dari

organisasi-organisasi perdagangan, sebagai contoh dapat disebutkan di sini11:

1. Organisasi eksportir hasil bumi Indonesia di Jakarta

2. Organisasi asuransi kebakaran Indonesia di Jakarta

3. Organisasi asuransi kecelakaan Indonesia di Jakarta

Arbitrase juga sangat populer di bidang perdagangan internasional,

menghadapi suatu sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara, maka

para pedagang pada umumnya cenderung menyerahkan penyelesaiannya

kepada badan-badan arbitrase bisnis Internasional. London umpamanya

terkenal sebagai pusat arbitrase untuk masalah maritim, asuransi serta barang-

9 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 14 10 Ibid, hlm. 13 11 Sudargo Gautama, Op,Cit, hlm. 131

32

barang hasil bumi.12 Dan tidak hanya mengenai jual beli perniagaan, akan

tetapi dalam perjanjian perburuhan dan dalam dunia makelar tidak jarang

diadakan wasit.13

Namun tidak semua sengketa hukum dapat diselesaikan melalui

arbitrase, adalah diperkenankan pada siapa saja yang terlibat dalam suatu

sengketa yang mengenai hak-hak yang berbeda dalam penguasaan untuk

melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut pada

seseorang atau beberapa arbiter (pasal 615 RV)14.

Melihat perkembangan dunia usaha sekarang ini mungkin pada saat

pembuataanya pada tahun 1849 (landasan umum arbitrase pasal 615-651 RV)

sudah memenuhi praktek pada saat itu, akan tetapi melihat lagi pertumbuhan

dan perkembangan yang sangat pesat dan beraneka ragam sudah saatnya

dipikirkan dan diusahakan pembangunan dan pembaharuan hukum di bidang

arbitrase yang lebih utuh dan terpadu, meliputi segala segi yang menyangkut

arbitrase asing yang diputus di luar negeri, sebab ketentuan arbitrase yang

diatur dalam Reglement Acara Perdata belum meliputi hal-hal yang meliputi

berkenaan dengan pengakuan dan ekskusi putusan arbitrase asing, bahkan

bentuk-bentuk klausula pactum de compromittendo yang diatur dalam pasal

615 ayat 3 mengenai pengangkatan arbitrator dapat dikatakan sudah

12 Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Bandung, Alumni.

1992, hlm. 2 13 Sukardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 1991, hlm. 2 14 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 10

33

ketinggalan zaman. Begitu pula dalam pasal 641 mengenai upaya banding

atau putusan arbitrase bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.15

Mengapa ketentuan arbitrase yang lama yang diatur dalam RV harus

diganti ? Dengan semakin berkembangnya dunia usaha dan perkembangan

lalu lintas dunia perdagangan baik Nasional maupun Internasional serta

perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam

reglement acara perdata yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak

sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang

bersifat Internasional sudah merupakan kebutuhan conditiosine quanon

sedangkan hal tersebut tidak diatur ke dalam reglement acara perdata.16

Hal demikian sangat diperlukan pencegahan untuk menghindari

persaingan yang tidak sehat, oleh karena itu ada beberapa hal yang harus

dilakukan untuk menetapkan lembaga dan hukum alternatif penyelesaian

sengketa di negara kita, yaitu17 :

a) Memasyarakatkan lembaga arbitrase dikalangan masyarakat umum,

khususnya masyarakat pengusaha.

b) Memperluas pelajaran dan penyebaran pengetahuan tentang alternatif

penyelesaian sengketa di perguruan tinggi.

c) Membentuk lembaga–lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang

sifatnya permanen di daerah-daerah.

15 Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991, hlm. 23 16 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 6 17 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Jakarta, Gramerdia

Pustaka Utama, 2000, hlm. 12

34

d) Membuka pelatihan-pelatihan alternatif penyelesaian sengketa untuk

mencari negosiator, arbitrator, dan lain-lain.

Perubahan mendasar di atas dan untuk mengantisipasi perkembangan

tersebut telah diterbitkan Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang

arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, adapun falsafah yang melatar

belakangi pengesahan Undang-undang tersebut adalah18 :

1) Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

penyelesaian sengketa disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga

dapat diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

2) Bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembagnan dunia usaha dan hukum pada umumnya.

3) Bahwa berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan tersebut maka perlu

membentuk Undang-undang tentang arbitrase dan altenatif penyelesaian

sengketa.

Dengan berlakunya undang-undang tersebut dengan sendirinya

ketentuan yang mengatur arbitrase yang ada dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 81 undang-undang nomor 30

tahun 1999 yang berbunyi :

“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai

arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 615-651 reglement acara

perdata (Reglement Op De Burgerlijke Reehtsvordering (RV) Staatsblad,

18 Rahmadi Usman, Op,Cit, hlm. 12

35

1847:52} dan pasal 377 reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine

Indonesich Reglement, Staatsblad, 1941:44) dan Pasal 705 reglement acara

untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,

Staatsblad, 1927:227) dinyatakan tidak berlaku”19

B. Materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Model arbitrase yang diatur dalam Undang–undang nomor 30 tahun

1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang

didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Akan tetapi,

tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa

mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yag

bersengketa atas dasar kesepakatan mereka20

Adapun susunan atau sistematika Bab dari Undang-undang No 30

tahun 1999, terdiri atas :

Bab I : Ketentuan umum (pasal 1-5)

Bab II : Alternatif penyelesaian sengketa (pasal 6)

Bab III : Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar (pasal 7-

26)

Bab IV : Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase (pasal 27-51)

Bab V : Pendapat dan putusan arbitrase (pasal 52-58)

Bab VI : Pelaksanaan putusan arbitrase (59-69)

Bab VII : Pembatalan putusan arbitrase (pasal 70-72)

19 Pasal 81 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa 20 Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase, Jakarta : PT

Ghalia Indonesia,2000, hlm 21

36

Bab VIII : Berakhirnya tugas arbiter (pasal 73-75)

Bab IX : Biaya arbitrase (pasal 76-77)

Bab X : Ketentuan peralihan (pasala 78-80)

Bab XI : Ketentuan penutup (pasal 81-82)

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda

pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yanhg telah

mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua

sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari

hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau

melalui alternatif penyelesaian sengketa.21

Dalam Undang-undang no 30 tahun 1999, disebutkan bahwa alternatif

penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak,

yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Undang-undang tersebut memberikan

kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar

pengadilan yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan

memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan

mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri serta

mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul.22

Dengan demikian, sungguhpun Undang-undang arbitrase kelihatannya

lebih menekankan kepada penyelesaian alternatif melalui kesepakatan para

21 hadi setia tunggal , Undang-undang No 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (pasal 2), Jakarta, harvarindo, 2002, hlm 3

22 Suyud Margono, Op cit, Hlm 107

37

pihak sendiri, mediasi, penggunaan tenaga ahli atau arbitrase tetapi sebenarnya

dimaksudkan dengan alternatif penyelesaian sengketa tersebut termasuk

semua jenis penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan23

Dari kerangka Undang-undang ini dapat dikemukakan bahwa

alternatif penyelesaian sengketa dibahas dalam pasal 6, yang terdiri dari 9 ayat

dan dalam bab III juga dibahas tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter,

dan hak ingkar. Adapun bagian tersebut meliputi :

1. Bagian pertama tentang syarat arbitrase (pasal 7-11)

2. Bagian kedua tentang syarat pengangkatan arbiter (pasal 12-21)

3. Bagian ketiga tentang hak ingkar (pasal 22-26)

Dibandingkan dengan pemeriksaan oleh pengadilan biasa, yang

terbuka secara umum dan dapat dihadiri oleh semua orang yang hendak

mendengar sekarang ini dalam acara arbitrase, untuk memelihara

konfidensialitas dan tetap memelihara iklim tidak terpengaruhi oleh dunia luar

atau oleh pers, maka pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Menurut memori

penjelasan ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup ini adalah

menimpang dari memeriksa acara perdata yang berlaku di pengadilan negeri.

Pada prinsipnya pengadilan negeri memeriksa satu perkara secara terbuka

untuk umum.untuk lebih mengedepankan kerahasiaan dan konfidensialitas

dari penyelesaian arbitrase ini maka ditegaskan bahwa dilakukan

pemeriksaannya dengan cara pintu tertutup.24Keharusan sidang pemeriksaan

23 Munir Fuady, Op cit, hlm 4 24 Sudargo gautama, Undang-undang arbitrase baru 1999, Bandung, Citra Aditya Bakti,

1999, hlm 85

38

perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu ciri dari prosedur

arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari para pihak tetap terjamin.

Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu

sengketa hukum sehingga meyebabkan cukup banyak pihak yang merasa tidak

enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu

sengketa. Pasala 27 dari Undang-undang no 30 tahun 1999 tidak memberikan

pengecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses

arbitrase.25

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, acara yng berlaku

dihadapan majelis arbitrase dibahas menjadi dua bagian yang diatur dari pasal

27 sampai dengan pasal 51 dengan rincian sebagai berikut :

a. Bagian pertama tentang acara arbitrase (pasal 27-48)

b. Bagian kedua tentang saksi dan saksi ahli (pasal 49- 51)

Dapat kita ketahui bahwa Undang-undang nomor 30 tahun 1999 juga

mengenal istilah pendapat ahli sebagai bagian dari alternatif penyelesaian

sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak

hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat

maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian

pokok melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau

pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak

terbatas pada para pihak dalam perjanjian.26

25 Munir Fuady, Op cit, hlm 146 26 Gunawan Widjaya,Alternatif Penyelesaian Sengketa (Seri Hukum Bisnis), Jakarta, Raja

Grafindo, 2002, hlm 95

39

Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang

berlaku, kecuali dalam klausula atau perjanjian arbitrase tersebut telah

diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut

kebijaksanaan (ex aequo et bono) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang

diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut

amar putusannya, yang disertai dengan alasan dan dasar pertimbangan yang

dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan, tanggal diambil

putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para)

arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan hak

ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan

sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 Jo

pasal 633 Rv).27

Kalau pasal 633 ditafsir secara analogis putusan arbitrase sah apabila

putusan diambil berdasar mayoritas. Cukup bagian mayoritas yang

menandatangani putusan sudah sah, dan dianggap seperti ditanda tangani oleh

semua arbiter. Dari penafsiran analogis tersebut, sistem pengambilan putusan

menurut Rv berdasar suara mayoritas. Apabila terdapat suara mayoritas, yang

minoritas harus mengalah dan takluk menerima putusan yang diambil.

Terserah apakah dia mau atau tidak menandatangani putusan. Bagian

minoritas boleh menandatangani, tapi boleh juga tidak menandatangani,

meskipun bagian minoritas menolak untuk ikut menandatangani putusan yang

diambil oleh mayoritas, tetap sah. Mau atau tidak mau menandatangani, pasal

27 Ibid, hlm 23

40

633 Rv menganggap putusan ditanda tangani oleh semua arbiter.28Dalam bab

V Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 pendapat dan putusan arbitrase

diatur dalam pasal 52 sampai dengan 58.29

Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan

otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau

kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan

catatan yang merupakan akta pendaftaran arbiter atau kuasanya wajib

menyerahkan putusan dan lembar asli, pengangkatan sebagai arbiter atau

salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. Hal ini merupakan

syarat dan jika tidak dipenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat

dilaksanakan.30

Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan

harus perlu memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi

kriteria sebagai berikut :

1) Para pihak menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan

melalui arbitrase

2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam

suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

28 Yahya harahap, Op Cit, hlm 231 29 Lihat Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, hlm 22-24 30 Rahmat Rosyadi dan Ngatimo, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif ,

Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 86

41

3) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa

dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan

4) Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.31

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tidak dirumuskan

pengertian putusan arbitrase nasional, yang ada rumusan pengertian putusan

arbitrase Internasional. Didalamnya disebutkan, putusan arbitrase

Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase

atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, atau

putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut

ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan

arbitrase Internasional. Secara penafsiran (argumentum a contrari) dapat

dirumuskan putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan

diwilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum

Republik Indonesia. Sepanjang putusan tersebut dibuat berdasarkan dan

dilakukan di Indonesia, maka putusan arbitrase ini termasuk dalam arbitrase

Nasional.32

Sedangkan dalam pasal 70 Undang-undang nomor 30 tahun 1999

disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

31 Suyud margono, Op Cit, hlm 132 32 Rachmadi Usman , Op Cit, Hlm 101

42

permohonan pembatalan apabila keputusan arbitrase diduga mengandung

unsur-unsur antara lain :33

(a) Surat atau dokumen diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan palsu

(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang sifatnya menentukan,

yang disembunyikan salah satu pihak lawa

(c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara

tertulis dalam waktu paling lama 30 hari, sejak hari penyerahan hingga

pendaftaran putusan arbitrase pada panitera pengadilan negeri, dalam pasal

59 Undang-undang nomor 30 tahun 1999, diatur berkaitan dengan

pelaksanaan putusan arbitrase (ekskusi), pelaksanaan putusan dilakukan

dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan ditetapkan, lembar

asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh

arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera

diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.34

Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 putusan arbitrase dibagi

menjadi 2 (dua) bagian yang diatur dari pasal 59 sampai dengan 69,

sedangkan pembatalan putusan arbitrase diatur dari pasal 70 sampai dengan

72 dengan rincian sebgai berikut :

(1) Bagian pertama tentang arbitrase nasional (pasal 59-64)

(2) Bagian kedua tentang arbitrase internasional (pasal 65-69) dan

33 Rahmat Rasyadi, Op cit, hlm 89 34 ibid, hlm 86

43

(3) Bagian tentang pembatalan putusan arbitrase (pasal 70- 72)

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, maka

kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas

dan kuat. Dalam hukum adat juga dikenal adanya badan-badan pemutus yang

dalam bekerjanya menggunakan prinsip-prinsip musyawarah. Badan-badan

pemutus secara adat ini menggunakan juga prinsip-prinsip yang serupa

dengan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa altenatif yang modern.

Contohnya Tohapuet dalam masyarakat Aceh, kerapatan adat Negeri di

Minangkabau.35

Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa latin

yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim

(arbitator) atau para hakim berdasarkan satu persetujuan bahwa mereka

tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim

yang mereka pilih tersebut.36

Menurut ketentuan pasal umum pasal 1 angka 3 Undang-undang

Nomor 30 tahun 1999, arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.37

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase adalah usaha

perantara dalam meleraikan sengketa.38

35 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 13-14 36 Ridhwan Khairandi, dkk, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Yogyakarta, Gama

Media, 1999, hlm 276 37 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm 42 38 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,

Balai Pustaka, 1994, hlm 55

44

Sedang dalam kamus bahasa Inggris Indonesia, arbitrate artinya

mengadili atau mengambil keputusan sesudah mendengarkan keterangan dari

kedua belah pihak.39

Dalam kamus Belanda, arbitrage artinya perdamaian atau

perwasitan.40

Dalam bahasa Perancis, arbitre artinya penengah.41

Selain pengertian arbitrase di atas, juga perlu kita memperkaya

pemahaman tentang arbitrase dengan mengutip beberapa pendapat para ahli

hukum terkemuka diantaranya sebagai berikut :42

1. Subekti dalam bukunya “aneka perjanjian” mengemukakan bahwa

arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh seseorang atau beberapa

orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sendiri, di luar

hakim atau pengadilan.

2. Z. Asikin Kusumaatmadja, arbitration is the business community

regulatory of disputes settlement (arbitrase adalah aturan komunitas bisnis

dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka)43

3. Sudikno Martokusuma mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu

prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan

39 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia,

1976, hlm 36 40 A.L.N. Kramer , Kamus Belanda, Den Haag, G.B. Vaan Goor Zoneis, 1966, hlm 22 41 Farida Soemargono, Kamus Dasar Perancis Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1990,

hlm 18 42 Ade Maman Suherman, Op, Cit, hlm 79 43 Ibid, hlm 79

45

persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang

wasit.44

4. Chappel mendefinisikan arbitrase sebagai satu penyelesaian sengketa

yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang menginginkan

sengketanya diputus oleh hakim yang netral dan dipilih oleh mereka, yang

keputusannya berdasarkan pokok sengketa yang mereka setujui

sebelumnya untuk menerima keputusan tersebut sebagai final dan

mengikat.45

Berdasarkan sejumlah pengertian arbitrase kita mendapatkan

gambaran yang memadai tentang esensi arbitrase, namun ada pernyataan yang

lain apakah semua perkara dapat dibawa ke pengadilan arbitrase? Dalam

Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 82 pasal hanya menegaskan

secara umum dalam pasal 5 yang berbunyi46 :

(1) Sengketa yang dapat diselesaiakan melalui arbitrase hanya sengketa

dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan

perdamaian.

Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam

ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tersebut,

44 Ibid 45 Huala Adolf, Ibid, hlm 11 46 Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa

46

namun jika kita melihat penjelasan pada pasaal 66 Undang-undang Nomor 30

tahun 1999 yang berhubungan dengan putusan Internasional dimana

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ruang lingkup hukum perdagangan”

adalah kegiatan antara lain47

a) Perniagaan

b) Perbankan

c) Keuangan

d) Penanaman modal

e) Industri

f) Hak kekayaan intelektual

H.M.N. Purwosucipto memberikan ulasan terhadap sengketa bidang

apa saja yang dapat selesaikan dalam arbitrase, dengan melihat sejarah yang

dibentuk untuk kepentingan pedagang, adapun sengketa tersebut dapat berupa

penyelesaian mengenai48 :

(1) Jual beli perusahaan

(2) Perjanjian perburuhan

(3) Perjanjian pengangkutan dan lain-lain

(4) Makelar dan komisioner

Sejalan dengan itu pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun

1999, menyebutkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase

adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan

perdamaian, secara penafsiran argumentum a contratio, obyek sengketa yang

47 Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 45 48 Ademaman Suherman, Op, Cit, hlm. 80

47

menjadi kewenangan lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc adalah sengketa

dibidang perdagangan dan hak yang menurut perundang-undang dapat

diadakan perdamaian sepanjang penyelesaian sengketa perdagangan dan hak

tersebut dapat diserahkan pada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.49

C. Karakteristik Undang-undang Nomor 30 tahun 1999

Menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-undang Nomor 30 tahun

1999, dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang

mengikat maupun perdamaain tidak dapat dicapai, maka para pihak

berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha

penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Ini berarti

arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyeesaian sengketa

terakhir dan final bagi para pihak.

Dalam hukum acara, kita mengenal adanya kompetensi relatif dan

kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut diatas berhubungan dengan

masalah kewenangan dari pranata peradilan atau pengadilan yang berwenang

untuk menyelesaiakan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para

pihak pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan

lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut

mempersoalkan kewenangan dari pranata penyelesaian sengketa yang

berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.

49 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 22

48

Berdasarkan pada ketentuan pasal 3 Undang-undang Nomor 30 tahun

1999 kita ketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui

pranata arbitrase memiliki “kompetensi absolut” terhadap penyelesaian

perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti bahwa setiap

perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau suatu perjanjian

arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari

pengadilan (Negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa

yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang

telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.

Jika kita lihat definisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam

Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat kita katakan bahwa pada

dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan

berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa

Sebagai salah satu bentuk perjanjian sah tidaknya perjanjian arbitrase

digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320

Undang-undang hukum perdata.50

50 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op, Cit, hlm. 43-44

49

D. Ketentuan syarat arbitrase dalam pasal 7-11 Nomor 30 tahun 1999

sebagaimana komitmen para pihak dalam menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase, diharapkan mereka memperoleh kebebasan dan menentukan

wasit yang adil dan keputusannya pun akan ditaaati dan mengikat para pihak,

unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam arbitrase yaitu :

a) Peradilan perdamaian

Lembaga peradilan arbitrase itu terletak di luar pengadilan umum.

Arbitrase diselenggarakan oleh pihak swasta.

b) Para pihak

Para pihak biasanya terdiri dari pengusaha-pengusaha

c) Kesepakatan para pihak

Hal ini merupakan unsur mutlak bagi adanya arbitrase

d) Hak yang dipersengketakan

Hak yang dipersengketakan haruslah hak pribadi yang dapat dikuasai

sepenuhnya. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999,

“sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa”

e) Arbitrator

Arbitrator ini dapat ditunjuk oleh pihak yang bersengketa atau badan

arbitrase atau dapat pula ditunjukan oleh Pengadilan Negeri, Untuk

50

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase

f) Putusan peradilan arbitrase

Karena para pihak sengketa menunjuk arbitrator sendiri maka logisnya

putusan arbitrator harus ditaati kedua belah pihak.

g) Putusan arbitrase adalah putusan akhir

Termasuk dalam kesepakatan kedua belah pihak, bahwa putusan wasit

adalah putusan terakhir maka tidak ada banding.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian arbitrase

tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang

mensyaratkan persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase

harus dimuatkan dalam dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.51

Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak dinyatakan syarat-

syarat arbitrase meliputi apa saja, sedangkan dalam kompilasi hukum Islam

dinyatakan bahwa syarat arbitrase bila dipandang dari obyeknya terdiri atas

harta benda yang halal, maka tidak sah perdamaian atas khamar, mayat, darah

dan berburu yang diharamkan, sedang dalam Undang-undang tidak ada

pernyataan seperti itu.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak serta merta dapat

dilangsungkan ketika sengketa telah terjadi, salah satu pihak harus

memberitahukan (notice) kepada pihak lainnya bahwa syarat-syarat

penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah berlaku. Adapun cara

51 Pasal 4 angka 2 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa

51

pemberitahuannya diatur lebih lanjut dalm pasal 8 Undang-undang Nomor 30

tahun 1999.

Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pemohon harus memberitahukan

kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau

termohon berlaku, dalam hal timbul sengketa dengan salah satu cara di bawah

ini :

a. Surat tercatat

b. Telegram

c. Teleks

d. Faksimile

e. E-mail

f. Buku ekspedisi.52

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase dimaksudkan

haruslah memuat dengan jelas hal-hal sebagai berikut :

1. Nama dan alamat para pihak

2. Penunjukan pada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku

3. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa

4. Dasar tuntutan atau jumlah yang dituntut apabila ada

5. Cara penyelesaian yang dikehendaki

6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau

apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat

52 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 30-31

52

mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah

ganjil.

Setelah pemberitahuan sengketa kepada para pihak dilakukan, para

pihak segera melakukan pemilihan atau penunjukan arbiter yang akan

ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.53

Dari definisi yang diberikan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun

1999, kita mengenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu :

1. Pactum De Compromittendo

Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan

menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi

perselisihan yang nyata.

Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam pasal 7

Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan altrnatif

penyelesaian sengketa. Pasal tersebut berbunyi :

“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”

Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara yaitu :

a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam

perjanjian pokok, cara ini adalah cara yang paling lazim

b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta

tersendiri

53 Ibid, hlm. 31

53

2. Akta kompromis

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 akta kompromis diatur

dalam pasal 9 yang berbunyi :

(1) “Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”

(2) ”Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris”

(3) ”Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :

a. Masalah yang dipersengketakan; b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. Nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis

arbitrase d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e. Nama lengkap sekretaris f. Jangka waktu penyelesaian sengketa g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. Penyediaan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk

menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

i. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.

Perbedaan antara de compromittendo dan akta kompromis hanya

terletak pada “saat” pembuatan perjanjian. Bila pactum de compromittedo

dibuat sebelum perselisihan terjadi, akta kompromis dibuat setelah

perselisihan atau sengketa terjadi. Dari segi perjanjian antara keduanya

tidak ada perbedaan.

Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti yang telah

disebutkan di atas perjanjian tersebut dapat merupakan bagian dari suatu

kontrak yang terpisah. Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak biasa

54

disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase dapat berupa perjanjian yang

sederhana untuk melaksanakan arbitrase, tetapi dapat juga berupa

perjanjian yang lebih komprehensif, yang memuat syarat-syarat arbitrase.

Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan

Fatmah Jatim, klausula-klausula arbitrase akan mencakup :

a. Komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrse;

b. Ruang lingkup arbitrase;

c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc;

apabila memilih bentuk ad hoc, maka klausula tersebut harus merinci

metode penunjukan arbiter atau mejelis arbitrase;

d. Aturan prosedural yang berlaku;

e. Tempat dan bahasa yang digunakan;

f. Pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase;

g. Klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika

relevan.54

Dalam pasal 10 dari Undang-undang arbitrase baru tahun 1999 telah

dinyatakan bahwa perjanjian tidak menjadi batal disebabkan oleh :

(1) Kematian salah satu pihak

Karena meninggalnya salah satu pihak. Hal ini adalah logis, karena

walaupun satu pihak telah meninggal dunia, maka ia masih

mempunyai ahli waris atau penerus dalam hukum sebagai pihak yang

telah memperoleh hak (Rechtsverkrijgenelen). Maka sudah jelas bahwa

54 Gunawan Widjaja Dan Ahmad Yani, Op-Cit , Hlm 47-50

55

apabila para pihak yang telah menandatangani klausula arbitrase ini

telah meninggal, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase ini

menjadi batal.

(2) Faillisemen salah satu pihak

Juga apabila salah satui pihak menjadi bangkrut ( pailit ) maka tidak

dengan sendirinya klausula arbitrase ini menjadi batal.

Sebagai dasar dapat dikemukakan bahwa tidak batalnya perjanjian

arbitrase ini adalah disebabkan karena perjanjian arbitrase telah dibuat

sebelum “yang bersangkutan dinyatakan pailit”. Semua tindakan

hukum yang telah dilakukan sebelum dinyatakan pailit, dengan

sendirinya berlangsung terus, walaupun kemudian ia telah dinyatakan

pailit.

(3) Novasi

Karena “novasi”, perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal. Yang

dimaksud “novasi” adalah pembaharuan hutang.

Tentunya yang dimaksud adalah apa yang diatur dalam Bab III

daripada hukum perjanjian seperti termaktub dalam BW. Yaitu salah

satu cara untuk berakhirnya satu perjanjian adalah dengan “novasi”.

Sekarang ini ditegaskan bahwa dengan adanya pembaharuan hutang

yang disebut ”novasi”, maka tidak akan menjadi bubar suatu perjanjian

arbitrase yang sudah dinyatakan dalam perjanjian pokok terdahulu.

56

(4) Insolvensi

Dalam pasal 10 d dinyatakan bahwa perjanjian arbitrase ini juga tidak

menjadi batal karena insolvensi dari salah satu pihak.

Insolvensi ini dianggap keadaan tidak dapat membayar. Kalau

dinyatakan dalam keadaan insolvensi, sama seperti dinyatakan pailit

(bangkrut) maka tidak mempengaruhi klausula arbitrase yang telah

dibuat sebelum keadaan itu terjadi.

(5) Pewarisan

Pasal 10 sub f kecil menyatakan bahwa pewarisan juga tidak

mengakibatkan klausula arbitrase menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini

sudah jelas dalam prinsip umum hukum perdata bahwa seorang ahli

waris akan memperoleh (mewarisi) segala hak dan kewajiban daripada

si pewaris yang telah meninggal dunia itu. Dengan demikian maka

akan tetap berlakulah perjanjian klausula arbitrase yang telah

ditandatangani oleh si pewaris pada saat ia masih hidup.55

Penegasan tentang tidak berwenangnya pengadilan biasa jika

terdapat arbitrase termaktub dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) dan (2)

yaitu :

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui abitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.56

55 Sudargo Gautama, Op, Cit, hlm 19-21 56 Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan

alternaif penyelesaian sengketa

57

Apabila terdapat satu perjanjian arbitrase tertulis maka ditiadakan

hak daripada pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau

pendapat mereka ke Pengadilan Negeri. Dinyatakan secara jelas bahwa

Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam

suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.

Perkecualian terhadap hal ini adalah jika dalam hal tertentu campur tangan

pengadilan diperbolehkan.57

57 Sudargo Gautama, Op, cit, hlm 23