(2)arbitrase (1)

Embed Size (px)

Citation preview

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)PEMBATALAN KEPUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat)Oleh: H. Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.1ABSTRAKSI Arbitration becomes one alternative legal institution for dispute resolution outside the Court jurisdiction. By choosing an arbitral forum, parties agree not to have their disputes resolved in national Courts. It is because the characteristic of the Arbitral award are final and binding. However, there are two exceptions for the possibility to suit an objection toward the arbitral award, such as: the refusal and the annulment of the enforcement of foreign arbitral award. The refusal of the enforcement of foreign arbitral award shall be submitted before the Enforcing Court with particular reasons in accordance with the article V of New York Convention 1958. The Convention also permit the annulment of foreign arbitral award by a competent authority of the country in which, or under the law of which, the award was made. Swiss law was determined to be the procedural law used in the case between Karaha Bodas Company V. Pertamina. Thus, Switzerland is the competent authority to annul the arbitral award because Switzerland was the situs of the award. Therefore, District Court of Central Jakarta did not have jurisdiction to annul the Geneva arbitral award. Pendahuluan1 Penulis adalah Mahasiswa S-2 Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia dan juga Kepala Bidang Pelatihan PUSDIKLAT FH-UII;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel3Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)Perkembangan sistem pasar bebas dan persaingan sempurna antar negara mengakibatkan transaksi bisnis berkembang sangat pesat sehingga perekonomian domestik pun terpicu untuk berusaha bersaing dengan pelaku bisnis asing. Dalam satu hari bisa jadi terjadi lebih dari ribuan transaksi antar pelaku bisnis didunia ini baik transaksi yang berskala nasional maupun internasional. Mengingat meningkatnya jumlah aktivitas kerjasama bisnis setiap tahunnya, maka akan sangat rentan sekali terjadi sengketa hukum. Dan dalam era globalisasi seperti saat ini, arbitrase menjadi suatu wadah penyelesaian sengketa yang paling digemari para pelaku bisnis. Ketika para pihak dalam sebuah perjanjian sepakat bahwa mereka terikat pada klausula arbitrase, maka lembaga pengadilan tidak berwenang lagi untuk mengadili sengketa tersebut. Namun pengadilan juga mempunyai peranan penting bagi institusi arbitrase agar putusan yang telah dihasilkan dapat berjalan efektif. Campur tangan pengadilan tersebut juga dijelaskan oleh Konvensi New York 1958 bahwa the Court of Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.2 Namun demikian, tidak jarang para businessman khususnya bagi mereka yang memenangkan perkara (victor party) merasakan frustasi apabila berhadapan dengan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase yang melibatkan institusi peradilan nasional. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa aturan yang membatasi implementasi putusan arbitrase asing, seperti misalnya alasan ketertiban umum, unsur tipu muslihat dalam memutuskan putusan arbitrase, dan lainnya sesuai dengan perangkat hukum yang ada. Salah satu kasus pembatalan putusan arbitrase internasional melalui badan peradilan (yang tidak menjadi kompetensinya) adalah kasus antara Karaha Bodas Company V. PT. Pertamina. Kasus ini memunculkan debatable di antara para ahli hukum, apa benar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa? Oleh karena itu, penulis akan mencoba menganalisis kompetensi Pengadilan Negeri dalam mekanisme peaksanaan putusan arbitrase nasional baik melalui pembatalan maupun penolakan melalui tulisan ini. Karaha Bodas V. PT. Pertamina Kasus antara Karaha Bodas Company3 v. Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) ini mengejutkan masyarakat internasional tatkala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase yang dibuat di Jenewa, Swiss (Geneva Arbitral Award, Switzerland). Arbitrase Jenewa memutuskan agar Pertamina membayar ganti rugi sebesar 261.000.000 US$ kepada Karaha Bodas Company sebagai kompensasi atas penundaan proyek pembangunan energi listrik tahun 1998, pada saat terjadi krisis yang melanda wilayah Asia.4 Atas dasar putusan Final Award tersebut, Pertamina menolak untuk mematuhi putusan tersebut dan mengajukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa di Pengadilan Swiss. Namun hanya saja, upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court oleh Pertamina.5 Sementara itu, KBC mulai mengajukan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa di beberapa negara2 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, 10 Juni 1958, 330 U.N.T.S. 38., psl.II(3) [selanjutnya Konvensi New York 1958]; 3 Karaha Bodas Company adalah suatu peseroan terbatas yang didirikan menurut hukum Caymand Island yang pemegang sahamnya terdiri dari Caithness Resources Inc. (40,5% saham), Florida Power and Light (40,5% saham), Tomen Japan Corporation (9% saham), dan PT. Sumarah Daya Sakti (10% saham) 4 Noah Rubins, The Enforcement and Annulment of International Arbitral Awards in Indonesia, 20 Am. U. Intl L. Rev. 359, 2005, hlm 363; 5 Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional, dalam Varia Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, November 2002, hlm 69;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel4Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)dimana asset Pertamina tersimpan, seperti di Amerika, Hongkong, Kanada, dan Singapura. Pertamina berusaha juga untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa di kandang-nya sendiri, berdasarkan hukum Indonesia, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada kasus Karaha Bodas ini, yang menjadi pusat permasalahan adalah kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena membatalkan putusan arbitrase Jenewa. Majelis Hakim berpendapat bahwa Majelis Hakim Arbitrase Jenewa telah melampaui kewenangannya karena tidak menggunakan hukum Indonesia seperti yang sudah tertuang dalam Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company maupun Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara.6 Akibat putusan ini reputasi negara Indonesia di mata Internasional menurun drastis, tidak hanya bagi para pihak dalam perkara arbitrase tetapi juga para investor asing. Padahal sejak akhir 1980an negara Indonesia secara signifikan menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar di support baik investor domestic maupun asing. Putusan Arbitrase Jenewa Adalah Putusan Arbitrase Asing Sudah tentu bahwa arbitrase internasional mempunyai perbedaan dengan arbitrase nasional, dan umumnya arbitrase internasional harus mengandung unsur asing diantara para pihak sebagai salah satu persyaratannya.7 Pelembagaan arbitrase internasional dilakukan oleh badan-badan arbitrase internasional8 yang dalam prakteknya selalu terjadi persaingan antar arbitrase internasional itu sendiri untuk mendapatkan pengaruh sebagai akibat adanya keinginan dari lembaga untuk menyelesaian sengketa, misalnya penyusunan perjanjian arbitrase dagang internasional, yang bisa dipengaruhi oleh Lex Arbitri, penyelesaian sengketa pada penanaman modal asing,9 ketentuan perwasitan dalam perjanjian jaminan penanaman modal,10 bank remedies,11 perwasitan menurut konvensi penyelesaian perselisihan mengenai penanaman modal antara negara dan warga asing,12 peranan arbitrase luar negeri dalam perdagangan internasional,13 dan prosedur arbitrase internasional. Ciri-ciri internasional dimaksudkan dalam hal ini, adalah sebagai berikut:14 a. Internasional menurut organisasinya, contoh ICSID merupakan organisasi yang anggotanya adalah beberapa negara.6 Sudargo Gautama, Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, PT. Citra Adhitya Bakti, Bandung, 2004, hlm 36&127; 7 Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Cet.ke-1, Binacipta, Bandung, 1972, hlm 204-205.; Convention for the Pacific Settlement of International Dispute (1899); Convention for the Pacific Settlement of International Dispute (1907); Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Indonesia, 24 Pebruary 1976 Manila Declaration on the Peaceful Settlement of Internasional Dispute; 8 Katherine Lynch, International Commercial Dispute Resolution in Greater China: The Prospects and Problems for International Commercial Arbitration: One Country, Three Systems, dalam Norbert Horn & Joseph J. Norton, Non-Judicial Dispute Settlement in International Financial Transactions Volume 13, Boston, London, Kluwer Law International, 2000, hlm 95-134; 9 Napitupulu, Joint Ventures di Indonesia, Cet.ke-1, Erlangga, Jakarta, 1975, hlm 98-101; lihat UU No.5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal; Convention on Conflicts of Law Relating to Companies, ILA, Report of the Forty-ninth Conference, Hamburg, 1960 (9395) 10 Sunarjati Hartono, Op.cit, hlm 205-211; 11 George Walker, Bank Remedies: Judicial and Arbitral Recovery, dalam Norbert Horn & Joseph J. Norton, NonJudicial Dispute Settlement in International Financial Transactions Volume 13, Boston, London, Kluwer Law International, 2000, hlm 27-52; 12 Sunarjati Hartono, Op.cit, hlm 211-270 13 Huala Adolf, Peranan Arbitrase Internasional dan Lex Mercatoria dalam Menyelesaian Sengketa, Bandung: Majalah Padjadjaran, No.1-2 Jilid: XVIII, 1988, hlm 42-52; 14 Huala Adolf, Arbitrase Komersil Internasional, edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 36;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel5Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)b. Internasional menurut struktur/prosedurnya. Menurut prosedurnya arbitrase ini terlepas dari sistem hukum suatu negara, bebas dari yurisdiksi negara dimana tempat arbitrase dilakukan, dan dilaksanakan menurut ketentuan yang disepakati oleh para anggotanya. Misalnya badan arbitrase di bawah ICC Paris. c. Internasional menurut faktanya, karena arbitrase dapat berdasarkan hubungan dengan lebih dari satu jurisdiksi meskipun diorganisir dan dilaksanakan menurut hukum nasional disuatu negara tertentu. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum RI, atau yang menurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional,15 sehingga masalah teritorial mendapatkan tempat pertama untuk menentukan ciri suatu putusan arbitrase asing yang efektif berlaku apabila pengakuan dan eksekusi dimintakan kepada negara lain di luar negara dimana diputuskan. Mengenai hukum yang dipakai oleh arbiter untuk perjanjian yang bersifat internasional berdasarkan Pasal 33 UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak sendiri. Demikian pula dalam Pasal 28 ayat (1) Model Hukum tentang Arbitrase Internasional (UNCITRAL Model Law in International Commercial Arbitration) ditegaskan bahwa hukum yang dipakai untuk Arbitrase Dagang Internasional adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak16. Territorial factor tidak tergantung pada persyaratan kewarganegaraan atau perbedaan sistem hukum. Walaupun semua pihak adalah berdomisili di Indonesia, dan berkewarganegaraan Indonesia, jika putusan arbitrase diputuskan diluar wilayah Indonesia, secara otomatis berdasarkan hukum, putusan tersebut dikategorikan sebagai International Arbitral Award. Pada tahun 28 November 1994, KBC sepakat untuk terikat pada Joint Operation Contract dengan Pertamina. Dalam kontrak JOC ini KBC berkewajiban untuk mengembangkan energi geothermal dan untuk membangun dan menjalankan fasilitas generating (pembangkitan) tenaga listrik. Pada tanggal yang sama juga, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pertamina dengan KBC menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Dalam kontrak ESC ini PT PLN setuju untuk membeli dari Pertamina yaitu pasokan tenaga listrik yang dihasilkan oleh fasilitas pembangkitan listrik yang telah dibangun oleh KBC sebagai kontraktor dari Pertamina. Pasal 13 ayat 2 dalam kontrak JOC memuat klausul penyelesaian sengketa yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak akan diselesaikan melalui forum arbitrase yang tunduk pada ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules, yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.17 Baik kontrak JOC (pada pasal 20) dan ESC (pada pasal 12) sepakat untuk memakai15 Lihat Pasal 1 angka 9 UU No.30 Thn 1999; demikian juga halnya terdapat pada Perma No.1 Tahun 1990.; bandingkan dengan Pasal I ayat (1) New York Convention yang menyatakan: This convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral awards made in territory of a state than the State where the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out differences between persons, whether physical or legal. It shall apply to arbitral awards not considered as domestic awards in the State where their recognition and enforcement are sought. 16 Dalam system hukum di Indonesia ada pula maksud para pihak sebagai titik taut yang menentukan hukum yang harus dipakai. Dalam hubungan Hukum Antar Tata Hukum Intern, terutama dalam system yang dahulu disebut Hukum Antar Golongan (Hukum Intergentil, ada serangkaian putusan pengadilan yang dengan jelas menentukan bahwa hukum yang harus dipakai adalah hukum yang dikehendaki sendiri oleh para pihak. Jelaslah bahwa prinsip pilihan hukum sudah diterima bukan saja dalam dunia internasional, tetapi juga dalam praktek hukum maupun pendapat para sarjana di dalam bidang Hukum Indonesia. Oleh karena itu, adalah bermanfaat apabila dalam kontrak dagang internasional, para pihak menentukan sendiri secara jelas hukum yang mereka kehendaki. Dengan demikian tidak timbul keragu-raguan dan tidak perlu buang waktu banyak untuk mempelajari apa yang sebenarnya menjadi maksud para pihak apa yang dikehendaki para pihak sebagai hukum yang berlaku untuk perjanjian mereka, dalam Sudargo Gautama, Hukum Yang Berlaku untuk Perjanjian Dagang Internasional, Jakarta: Tulisan pada harian Suara Pembaruan, Kamis tgl. 17 Januari 1991; 17 Putusan Pengadilan Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST, hlm 2-4;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel6Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)hukum Indonesia sebagai applicable law. Kedua kontrak tersebut menjadi pokok permasalahan ketika terjadi penundaan proyek energi listrik dikarenakan adanya krisis ekonomi pada tahun 1998. Badan arbitrase Jenewa menyatakan bahwa Pertamina bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh KBC sebagai akibat dari penundaan proyek pembangunan energi listrik. Putusan arbitrase Jenewa tersebut dikeluarkan di Jenewa, negara Swiss, yakni diluar wilayah Republik Indonesia sehingga dapat disimpulkan bahwa award tersebut merupakan international arbitral award. Dari putusan tersebut maka negara Indonesia (dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) hanya boleh menitik beratkan pada masalah registration dan enforcement dari putusan tersebut. Final And Binding Award Sesuai aturan pada umumnya, putusan arbitrase, baik putusan yang berasal dari badan arbitrase domestik maupun internasional, bersifat hukum tetap/final dan mengikat.18 Dan Konvensi New York 1958 juga secara jelas mewajibkan negara-negara anggota yang terikat konvensi tersebut untuk mengakui (recognize) putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan berlaku bagi mereka.19 Para pihak yang terkait diwajibkan melaksanakan putusan yang telah dikeluarkan oleh badan arbitrase yang menjadi rujukan sengketa. Kalau tidak melaksanakan putusan tersebut maka akan dianggap cidera janji (wanprestasi). Putusan arbitrase tidak bisa dimintakan banding atau kasasi. Penegasan ini bemakna pengadilan tidak berwenang lagi untuk mempermasalahkan materi putusan. Tugas pokok pengadilan dalam menjalankan fungsi eksekutor, hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas yang dilarang dan aturan formal yang bersifat mendasar. Putusan arbitrase Jenewa dalam sengketa antara KBC dan Pertamina sudah final, mengikat, dan mempunyai daya eksekutor setelah diputuskan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18 Desember tahun 2000. Akan tetapi pada suatu kondisi tertentu, sifat final and binding award dapat dikesampingkan dengan mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase. Jika permohonan pembatalan tersebut diterima oleh pengadilan yang berwenang, maka sifat final and binding ini tidak akan melekat lagi pada putusan arbitrase Jenewa, dan akan dianggap tidak pernah ada. Namun jika putusan arbitrase ditolak (refused) oleh pengadilan yang berwenang, maka sifat final dan binding ini tetap melekat. Jadi penolakan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Federal Swiss terhadap putusan arbbitrase Jenewa antara KBC dan Pertamina, tidak akan menghilangkan sifat final and binding putusan ini. Putusan ini masih mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap bagi para pihak yang bersengketa walaupun Pengadilan Swiss secara tegas menolak atas pembatalan putusan arbitrase Jenewa, Kewenangan Pn Jakarta Pusat Dalam Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa a. Pembatalan Putusan Arbitrase Asing (Anulment atau Set Aside) Berdasarkan Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan dengan alasan: (a) dokumen diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) dokumen disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat.20 Pada penjelasan UU No. 30 tahun 1999 khususnya pasal 70 menjelaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan, alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut diajukan harus terlebih dahulu dibuktikan dengan Pengadilan. Apabila pengadilan menyertakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak18 UU No. 30 Tahun 1999, psl.60; Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, State Gazzete Tahun 1981 No. 20 tanggal 5 Agustus 1981. 19 Konvensi New York 1958, psl.III. 20 UU No. 30 Tahun 1999, psl.70;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel7Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)permohonan.21 Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis dalam waktu tiga puluh (30) hari22 kepada Pengadilan wilayah hukum dimana keputusan arbitrase diambil, hal ini didasarkan pada syarat putusan arbitrase asing (internasional), yang apabila permohonan dikabulkan, maka dalam waktu 30 hari ketua Pengadilan Negeri akan menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.23 Untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak lawan, berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) UU No.30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa terhadap putusan pembatalan dari Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Akan tetapi Undang-undang Arbitrase tidak mengatur tentang ketentuan mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding, maka hal ini harus didasarkan kepada ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan memori banding oleh Pemohon Banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. Sejak permohonan banding diterima paling lama tiga puluh hari kemudian sudah harus diputus. Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 UU No.30 Tahun 1999 hanya memberi wewenang kepada Pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase yang dibuat di Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan pembatalan tersebut bukan sebagai dasar bagi Pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional. Hal ini terlihat dari penggunaan kata Putusan Arbitrase Internasional dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 yang dibedakan dengan kata Putusan Arbitrase seperti tercantum dalam Pasal 70. Jadi Pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan Putusan Arbitrase Internasional, sedangkan Putusan Arbitrase yang dibuat di dalam negeri hanya dapat dibatalkan dengan melihat peryaratan limitatif dalam Pasal 70 UU No.30 Tahun 1999. b. Penolakan Putusan Arbitrase (refusal) Penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan tidak berarti menafikkan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain terdapat aset pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.24 Konvensi New York telah menegaskan bahwa Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: (a) The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or (b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.25 Alasan permohonan penolakan pengakuan dan pemberian exequatur putusan arbitrase asing, disebut secara limitative dalam pasal V ayat (2) Konvensi New York 1958. Ada sebanyak lima alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar permohonan penolakan dan alasan-alasan tersebut bersifat alternative, yakni:26 1. Perjanjian Arbitrase tidak sah 2. Tidak memperoleh kesempatan melakukan pembelaan 3. Putusan tidak sesuai dengan penugasan 4. Susunan atau penunjukan arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan yang dijanjikan para pihak.21 Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, psl.70; 22 UU No.30 Tahun 1999, psl.71; 23 Ibid, psl.72 (1) & 72 (2); 24 Hikmahanto Juwana, op.cit. hlm 68. 25 Konvensi New York 1958, psl.V (2); 26 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, dan Perma No. 1 Tahun 1990, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 355-368;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel8Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)5. Putusan belum mengikat bagi para pihak. c. Pengadilan yang berwenang membatalkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa secara prinsip hanya pasal VI jo. V (1) (e) Konvensi New York 1958 yang menyatakan Pengadilan yang memiliki wewenang (competent authority) untuk memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah Pengadilan di negara mana putusan tersebut dibuat atau Pengadilan berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat. Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berdasarkan interpretasi kedua sebagai pengadilan berdasarkan hukum mana putusan arbitrase dibuat,27 padahal semenjak proses arbitrase di Mahkamah Agung Swiss dan pengadilan Texas mencerminkan bahwa kedua belah pihak setuju bahwa competent authority yang dimaksud dalam pasal V (1) (e) Konvensi New York adalah Pengadilan Federal Swiss. Interpretasi competent authority dari pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 hanya merujuk pada satu otoritas yang berwenang (one competent authority). Hanya ada satu Pengadilan yang berwenang dalam membatalkan putusan arbitrase internasional yaitu Pengadilan dimana putusan arbitrase dibuat.28 d. Lex Arbitri Lex Arbitri merupakan hukum yang berkaitan dengan arbitrase dari negara tempat arbitrase dilangsungkan. Lex Arbitri nantinya akan menentukan apakah terhadap putusan arbitrase dapat diajukan keberatan atau pembatalan atau eksaminasi ulang terhadap pokok sengketa.29 Oleh karena itu maka Lex Arbitri menentukan apakah: Perjanjian arbitrase sah; Sengketa tertentu dapat diseesaikan melalui arbitrase; c. Pengadilan akan memberikan upaya hukum provisional/sementara; d. Harus ada putusan yang berdasarkan pertimbangan yang berasalasan; e. Keputusan arbitrase dapat ditinjau kembali mengenai materinya atau dasar-dasar lainnya. Ada tiga jenis hukum yang berlaku dan terkait dengan proses arbitrase, yaitu:30 1. Hukum Materiil (substantive law) Hukum ini degunakan para arbiter untuk memutus perkara. Hukum materiil ini bisa ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dalam kontrak yang umumnya dikenal dengan istilah Governing Law, atau apabila tidak disepakati oleh para pihak maka akan ditentukan oleh arbiter. 2. Hukum Acara (procedural law/crurial law) Hukum prosedural ini mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan. 3. Lex Arbitri Lex Arbitri yaitu hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Putusan PN Jakarta Pusat sangat tidak konsisten dengan ketiga jenis hukum tersebut dengan menunjukkan tidak adanya pembedaan secara terpisah antara substantive law dan27 Bermann, Competence to Set Aside An Award and Procedural Grounds for Refusing Enforcement: the Viewpoint and Role of Arbitration Law Expert, 3Am.Rev.Intl.Arb., 1992, hlm 93; 28 Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Vo.21, Jakarta, 2002, hlm 71; 29 Menyoal Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan, at http://www.hukumonline.com/detail.asp? id=6566&cl=Fokus. 30 Hikmahanto Juwana, op.cit. hlm 69;a. b.Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel9Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)Lex Arbitri. Padahal pembedaan dari kedua hukum ini sangat penting dalam konteks hukum arbitrase internasional. Setiap negara mempunyai Lex Arbitri masing-masing. Dan Lex Arbitri sangat erat kaitannya dengan seat yaitu negara dimana tempat arbtrase dilaksanakan.31 Redfern dan Hunter menegaskan bahwa It is a feature of international commercial arbitration that it usually takes place in country that is neutral in the sense that neither party has a place of business or residence there. This means that in practice the law of the place of arbitration, Lex Arbitri, will often be different from the law that governs the substance matters in dispute. Konsep hubungan seat dengan Lex Arbitri sudah diterima secara teori dan praktek dalam arbitrase perdagangan internasional. Ini dipengaruhi oleh beberapa aturan dalam konvensi-konvensi internasional dari Protokol Jenewa 1923 sampai Konvensi New York 1958. Protokol Jenewa 1923 menyebutkan bahwa the arbitral procedure, including the constitution of the arbitral tribunal, shall be governed by the will of the parties and by the law of the country in whose territory the arbitration takes place.32 Dan Konvensi New York 1958 juga mempertahankan aturan tersebut dalam the law of the country where the arbitration took place.33 Beberapa contoh kaitan antara seat dengan Lex Arbitri ini misalnya saja apabila para pihak menentukan seat mereka di ICC Paris maka Lex Arbitri nya adalah hukum Perancis. Dan jika para pihak menentukan tempat arbitrase mereka di Singapore International Center, maka Lex Arbitri yang dipakai adalah hukum Singapura. Apalagi ketika para pihak menentukan tempat arbitrase mereka di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, maka Lex Arbitri yang dipakai adalah hukum Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan apabila KBC dan Pertamina telah menentukan seat di Arbitrase Jenewa, maka Lex Arbitri yang dipakai adalah hukum negara Swiss. Putusan MA Sebagai bentuk perlawanan terhadap putusan PN Jakarta Pusat, pihak Karaha Bodas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Salah satu butir memori kasasinya mengatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak bisa membedakan antara pembatalan dan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.34 Dalam kasus Pertamina v. KBC yang diajukan pembatalannya kepada PN Jakarta Pusat terdaftar No.86/Pdt.G/2002/PN.JKT PST dan telah diputus, maka dalam proses pemeriksaan banding di MA, dengan Putusan No.01/Banding/Wasit.Int/2002 tgl. 8 Maret 2004 Majelis Hakim Agung memberikan beberapa pertimbangan yang intisarinya adalah sebagai berikut: (1) Mengenai Arbitrase Internasional, Undang-undang No.30 Tahun 1999 hanya mengaturnya dalam Pasal 65 s/d Pasal 69 yang selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut; (2) Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 telah disahkan dan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981; (3) Kuasa Hukum Pertamina dan PLN telah mengajukan permohonan banding terhadap putusan arbitrase yang disengketakan kepada Mahkamah Agung Swiss sesuai dengan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional Negara Swiss. (4) Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan31 Hikmahanto Juwana, loc.cit.; 32 Geneva protocol of 1923, psl.3; 33 Konvensi New York, psl.VII (2); 34 Karaha Bodas Ajukan Kasasi terhadap http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=6528&cl=Berita;PutusanPembatalanArbitraseJenewa,lihatPembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel10Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Penggugat.35 Amar Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional. Oleh karena itu, Majelis Hakim Agung menilai bahwa putusan arbitrase diputus oleh para arbiter di negara Swiss, maka gugatan pembatalannya seharusnya diajukan ke Swiss Federal Court. A. PENUTUP Putusan arbitrase internasional memang bersifat final dan mengikat. Namun terhadap putusan ini masih dimungkinkan untuk dilakukan dua upaya hukum yakni penolakan dan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Kedua upaya hukum ini mempunyai dua implikasi yang berbeda dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Munculnya dua upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa baik di Swiss Federal Court dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menimbulkan banyak perdebatan mengenai pengadilan mana yang berwenang dalam pembatalan putusan arbitrase Jenewa. Dengan ditunjuknya Jenewa sebagai place of arbitration (seat) dan hukum yang mendasari penyelesaian sengketa arbitrase (Lex Arbitri), maka yang berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa adalah Swiss Federal Court. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili upaya pembatalan putusan arbitrase Jenewa.35 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 01/BANDING/WASIT-INT/2002, tanggal 8 Maret 2004;Pembatalan Keputusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Pembatalan Keputusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Jakarta Pusat). Warta Hukum Edisi V, Juli-Agustus 2009 Artikel11