Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB III
KONSELING PASTORAL ANTARBUDAYA
BAGI JEMAAT GMI WESLEY JAKARTA
A. Profil Jemaat GMI Wesley Jakarta
1. Eksistensi Jemaat GMI Wesley Jakarta
Gereja Methodist Indonesia (GMI) Wesley Jakarta secara
geografis terletak di Jakarta Utara, Jalan Pluit Raya Nomor 18-19.
Kepemimpinan jemaat ini berada di tangan pendeta dan Majelis
Jemaat. Secara struktural terdiri dari: 1 orang pendeta, 1 orang
asisten pendeta dan 13 orang anggota Majelis Jemaat. Adapun
bidang pelayanan yang menjadi tugas dan tanggung jawab dari
Majelis Jemaat, antara lain: bidang penatalayanan dan keuangan,
inventaris gereja, komunikasi dan multimedia, keanggotaan, sosial,
Pendidikan Agama Kristen, misi, Sekolah Minggu, remaja dan
ibadah.1
Secara kuantitas jumlah jemaat GMI Wesley Jakarta sebanyak
268 orang. Keberadaan jemaat ini dapat diuraikan berdasarkan
kategori kelompok bina umat, antara lain: jemaat yang termasuk
dalam usia Sekolah Minggu berjumlah 51 orang (sudah termasuk
anak di bawah usia 3 tahun), usia remaja berjumlah 15 orang, usia
1 Buletin Jemaat GMI Wesley Jakarta, hlm. 8.
2
pemuda 35 orang, usia dewasa (pasangan muda) berjumlah 147
orang, dan usia lanjut berjumlah 20 orang.2
Secara demografi keberadaan jemaat ini tidak mendiami satu
wilayah teritorial, tetapi tersebar di beberapa wilayah, antara lain:
Jakarta, Bogor dan Tangerang. Tersebarnya jemaat di beberapa
wilayah itu cukup berdampak kepada jangkauan pelayanan jemaat
dimana pelayanan terhadap jemaat tidak bisa dilakukan setiap hari.
Di samping itu, sebagian besar dari mereka cukup sibuk dengan
pekerjaan hari-hari sebagai pengusaha.3
Oleh karena sulitnya jangkauan pelayanan dan tidak bisa
berlangsung rutin setiap hari, maka aktifitas pelayanan jemaat
berfokus pada hari Minggu, lewat kegiatan ibadah jemaat. Ibadah
jemaat GMI Wesley berlangsung sebanyak 3 kali. Pelayanan ibadah
pertama pukul 08.00-09.30 WIB menggunakan bahasa Mandarin-
Indonesia; ibadah kedua pukul 10.30-12.00 WIB merupakan
pelayanan berbahasa Inggris; dan pelayanan ibadah ketiga adalah
ibadah pemuda dengan berbahasa Indonesia. Selain pelayanan
Ibadah Minggu, terdapat juga kegiatan pelayanan kelompok sel (126
Life Group) yang berdasarkan pada kategori usia (kelompok lansia,
remaja, ibu-ibu muda, dan pemuda), kategori teritori yang terdiri
dari 2 kelompok (kelompok Pantai Indah Kapuk, Pluit Timur), dan
kelompok lainnya meliputi kelompok Wesley 1 dan 2, kelompok
majelis, dan persekutuan doa. Jadi total kelompok sel (126 Life
2 Lihat buku data keanggotaan jemaat GMI Wesley Jakarta, op.cit. 3 Hasil observasi partisipatoris di GMI Wesley Jakarta.
3
Group) yang dimiliki oleh jemaat GMI Wesley adalah 10 kelompok.
Kelompok-kelompok sel ini yang menjadi tempat pembinaan
kerohanian jemaat sekaligus tempat menjalin persahabatan yang
lebih akrab satu dengan yang lainnya.4
Selain aktifitas pelayanan di atas, terdapat juga pelayanan
rutin lainnya yang berlangsung di gereja yaitu Sekolah Minggu dan
persekutuan remaja yang berlangsung pada hari Minggu. Raker
Majelis Jemaat yang berlangsung selama setahun sekali. Retreat
yang berlangsung 2 tahun sekali untuk jemaat dan kebaktian
padang/rekreasi bersama semua jemaat setiap 1 tahun sekali. Di
samping itu, terdapat juga aktifitas pelayanan lainnya untuk
menumbuhkan spiritualitas jemaat yang bersifat tidak rutin, yaitu
dalam bentuk ministry camp untuk jangkau waktu 6 bulan dan
beberapa kegiatan seminar pelayanan jemaat.5
Selain pelayanan jemaat yang bersifat rohani, terdapat juga
satu jenis pelayanan sosial jemaat yang dikoordinir oleh Majelis
Jemaat, komisi sosial, yaitu Wesley English Teaching Outreach
Program (WETOP), pembagian sembako gratis dan pengobatan gratis.
Adapun program WETOP ini berisikan tentang pengajaran bahasa
Inggris dan komputer secara gratis yang ditujukan kepada
masyarakat, khususnya anak-anak SD di daerah Penjaringan, yang
4 Lihat Buletin Jemaat GMI Wesley Jakarta 2011-2013. 5 Ibid.
4
tinggal di sekitar gereja. Anak-anak yang mengikuti program WETOP
tersebut adalah mereka yang berasal dari agama Islam.6
2. Keadaan Ekonomi
Secara ekonomis kehidupan jemaat GMI Wesley Jakarta sangat
baik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar dari mereka yang
berusia produktif memiliki mata pencaharian sebagai pengusaha,
dengan presentasenya 80%. Sementara itu, 20% sisanya bekerja
sebagai guru, mahasiswa, dan pegawai kantor.7
Pekerjaan jemaat yang sangat baik itu membuat pendapatan
ekonomi mereka juga sangat baik dan mereka juga sangat
berkontribusi untuk kondisi keuangan gereja yang sehat. Sebagian
besar dari mereka memberikan kontribusi dalam bentuk pengadaan
fasilitas gereja yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran
pelayanan gereja. Dengan demikian, jemaat ini boleh dikatakan
sebagai jemaat yang sejahtera secara ekonomi.8
3. Keadaan Pendidikan
Status pendidikan jemaat GMI Wesley Jakarta sangat baik.
Secara statistik, tingkat pendidikan pendidikan jemaat dapat
dikemukakan sebagai berikut: untuk tingkat TK-SD sebanyak 51
orang (20,8%). Tingkat SMP-SMA sebanyak 15 orang (6%). Tingkat
sarjana (S1) sebanyak 132 orang (53%), tingkat S2 sebanyak 50
6 Ibid. 7 Hasil observasi partisipatoris di GMI Wesley Jakarta. 8 Ibid.
5
orang (20%), dan S3 sebanyak 2 orang (0,8%). Sebagian besar jemaat
yang berpendidikan ini memilih kuliah lanjut untuk S1 dan S2 di
luar negeri, antara lain: di Inggris, Amerika, Australia, Singapura,
Filipina dan Paris.9
4. Dinamika Sosial dan Budaya
Jemaat GMI Wesley Jakarta memiliki kehidupan sosial budaya
yang majemuk (multikultural/plural). Mereka berasal dari berbagai
daerah di Indonesia dan dari luar Indonesia. Jemaat-jemaat yang
berasal dari Indonesia adalah mereka yang datang dari latar
belakang suku dan budaya yang berbeda-beda, yaitu Tionghoa (225),
Batak (11 orang), Jawa (4 orang), Manado (1 orang), Papua (2 orang),
Ambon (3 orang) dan Nias (4 orang), juga ada yang berasal dari luar
negeri, seperti dari India (7 orang), Singapura (5 orang), Amerika (2
orang), Filipina (1 orang) dan Zimbabwe (3 orang). Dengan latar
belakang asal-usul yang berbeda-beda, maka keragaman bahasa,
budaya, cara komunikasi dan pola berperilaku jemaat pun beragam.
Ada jemaat yang berbahasa Mandarin, Inggris, Indonesia, dan juga
ada yang memakai bahasa daerah, seperti: bahasa Batak, Jawa,
Papua, dan Nias saat bersama-sama di gereja dengan keluarga dan
sesama rekan mereka.10
Dari keragaman jemaat di atas, jumlah jemaat yang dominan
berasal dari keturunan Tionghoa. Oleh karena itu, ibadah Minggu
9 Ibid. 10 Lihat buku data keanggotaan, op.cit.
6
diadakan dengan menggunakan bahasa Mandarin untuk menjawab
kebutuhan jemaat yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia
secara baik. Namun ibadah yang dilakukan dalam bahasa Mandarin
tersebut tidak hanya diikuti oleh jemaat keturunan Tionghoa tetapi
juga oleh jemaat yang berasal dari suku lainnya dan fasih berbahasa
Indonesia. Oleh karena itu, solusi yang diambil adalah khotbah
disampaikan oleh pelayan firman dalam bahasa Mandarin, lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, demikian pula
sebaliknya.11 Persoalan keterbatasan kemampuan berbahasa ini juga
menyebabkan relasi satu dengan yang lainnya terbatas, hanya di
permukaan dan tidak mendalam untuk saling membangun. Di
samping muncul ketidakpercayaan diri karena sulit mengerti bahasa
rekan-rekan yang lain, muncul juga pengelompokan-pengelompokan
jemaat berdasarkan bahasa yang biasa dan nyaman mereka
gunakan, yakni: kelompok jemaat berbahasa Inggris, kelompok
jemaat berbahasa Mandarin, dan kelompok jemaat berbahasa
Indonesia. Seringkali juga ditemukan saat kelompok jemaat
berbahasa tertentu sedang bersama-sama, jemaat yang tidak bisa
menggunakan bahasa yang sama hanya terdiam karena tidak
mengerti sama sekali.12 Jemaat lainnya seperti yang berasal dari:
Zimbabwe, India, Amerika, dan Singapura jarang sekali bergabung
untuk berkumpul bersama jemaat lainnya setelah ibadah
11 Hasil observasi partisipatoris pelayanan di GMI Wesley Jakarta; juga hasil
keputusan rapat Majelis Jemaat, 13 November 2011 tentang penerjemahan
khotbah dalam ibadah Minggu dari bahasa Mandarin ke Indonesia dan sebaliknya. 12 Ibid.
7
berlangsung, sewaktu makan bersama karena mereka kesulitan
mengerti bahasa Indonesia yang digunakan oleh sebagian besar
jemaat dalam berelasi.13
Tidak hanya dialami dalam relasi antar jemaat,
keanekaragaman bahasa itu juga menyulitkan pendeta dalam
melakukan konseling pastoral terhadap jemaat yang dialaminya.
Antara pendeta dengan jemaat seringkali mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi karena keterbatasan pemahaman kedua belah pihak
terhadap bahasa yang digunakan. Terutama bagi jemaat keturunan
Tionghoa yang berusia lanjut yang umumnya susah mengutarakan
apa yang hendak dikatakannya selain dengan bahasa Mandarin dan
pendeta tidak dapat sama sekali berbahasa Mandarin. Oleh sebab itu
dibutuhkan pihak keluarga untuk membantu menerjemahkan apa
yang diutarakan dari kedua belah pihak. Akibatnya komunikasi
konseling pastoral yang dilakukan tidak terjalin dengan leluasa,
nyaman, efektif dan mendalam.14 Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa konseling pastoral yang dilakukan tidak terjadi seperti yang
diinginkan, yaitu adanya saling feed back (timbal balik) untuk
mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi jemaat.
Dalam hal saling menyapa, jemaat yang terpengaruh dengan
budaya Barat sering menggunakan kata-kata yang tidak bisa
diterima oleh jemaat lainnya yang kuat dengan budaya ketimuran,
13 Hasil wawancara dengan responden 1, op.cit.; juga hasil observasi sepanjang
tahun 2011-2013. 14 Hasil observasi partisipatoris pelayanan di GMI Wesley Jakarta, sepanjang tahun
2011-2013.
8
misalnya ada anggota jemaat yang lebih muda menyapa orang yang
lebih tua darinya dengan menggunakan nama saja, tanpa sebutan
„Bapak‟, „Ibu‟, „Kakak‟, atau „Abang‟ lebih dahulu.15 Ketersinggungan
dalam hal sapaan di antara sesama jemaat seperti ini dialami oleh
jemaat dari Zimbabwe dan India. Bagi mereka, sapaan dengan nama
tidak sopan karena itu bukan kebiasaan menyapa dalam budaya
mereka. Menurut mereka, untuk saling menyapa satu dengan yang
lain biasanya sebutan yang digunakan adalah „Bapak‟ atau „Ibu‟ (Mr
and Ms).16
Masalah sapaan lainnya adalah ada jemaat dan majelis jemaat
memanggil pendeta dengan sebutan nama saja. Sementara itu, di
budaya timur lebih santun dengan menyebut sapaan „Bapak
Pendeta‟ atau „Ibu Pendeta‟ baru disusul dengan nama pendetanya.
Hal seperti ini cenderung menciptakan culture shock dari pendeta
atau jemaat baru yang menghadapi realitas seperti demikian. Kasus
seperti ini terjadi pada pendeta dengan beberapa jemaat, dimana
mereka memanggil pendeta hanya dengan menyebutkan nama saja.
Bagi pendeta, secara psikologis hal itu tidak bagus dan ia tidak mau
sapaan seperti itu diberikan kepadanya. Pendeta menganggap
kebiasaan tersebut disebabkan oleh ketidakrendahatian mereka. 17
Adapun sikap dari jemaat dimaksud seperti demikian karena respons
mereka terhadap pendeta adalah berdasarkan perspektif mereka
15 Ibid 16 Hasil wawancara dengan responden 1, op.cit., dan responden 3, tanggal 16
Maret 2012. 17 Hasil wawancara dengan pendeta di GMI Wesley Jakarta.
9
yang berbeda-beda, seperti: menurut responden 4, pendeta
merupakan teman sebayanya dahulu;18 menurut responden 5,
pendeta lebih muda usianya;19 menurut responden 6 dan 7,
menyapa seseorang dengan sebutan nama adalah hal yang biasa
dalam budaya Barat dimana Wesley sendiri dianggap sebagai gereja
yang berkiblat kebarat-baratan karena merupakan gereja berbahasa
Inggris.20 Selain itu, bagi mereka lainnya yang tidak senang dengan
sebutan „Bapak‟ atau „Ibu‟ untuk orang lain ataupun kepada diri
mereka adalah karena hal itu dianggap sesuatu yang bersifat formal
dan kaku, serta bukan kebiasaan mereka. 21
Dari perbedaan-perbedaan dan terciptanya kelompok-
kelompok yang cenderung mengakibatkan ketidaknyamanan,
kesenjangan, benturan bahkan konflik di antara sesama jemaat, dan
jemaat dengan pendeta di GMI Wesley Jakarta di atas nampak jelas
masalah kebudayaan dan implikasi negatifnya bagi individu bahkan
persekutuan jemaat sangat kuat. Padahal gereja seharusnya selalu
menekankan kepada aspek persekutuan tanpa membeda-bedakan
asal-usul yang dimiliki sebagaimana yang diinginkan oleh Yesus
sebagai Kepala Gereja.
Dalam hal berpakaian juga menjadi masalah di tengah konteks
jemaat GMI Wesley yang beragam. Ada sebagian yang
mempersalahkan cara berpakaian gereja yang agak terbuka bagi
18 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, 19 Oktober 2011. 19 Hasil wawancara dengan responden 5, 9 Oktober 2011. 20 Hasal wawancara dengan responden 6 dan 7, 17 September 2011. 21 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, op.cit.
10
perempuan ketika masuk gereja, sementara sebagian jemaat lainnya
tidak mempermasalahkan soal berpakaian yang terbuka itu. Di
tengah kondisi seperti demikian, pendeta mengalami kesulitan untuk
bersikap sesuai dengan pola kehidupan bergereja yang sebenarnya.
Bagi mereka yang berpakaian agak terbuka atau santai (celana
pendek dan kaos, dan glamour untuk beribadah di gereja itu
merupakan suatu hal yang biasa karena konteks jemaat yang
berbahasa Inggris dan sifatnya kebarat-baratan. 22
Muncul juga persoalan lainnya, yaitu pembedaan berdasarkan
bakat dan status sosial antar jemaat dalam gereja sehingga
menghasilkan kesenjangan berelasi. Pengelompokan dalam jemaat
berdasarkan bakat sangat menguat, seperti tim musik sering
menutup diri untuk berelasi dengan rekan yang baru ataupun orang
yang tidak mempunyai talenta musik. Kemudian orang yang berasal
dari kalangan ekonomi atas sulit berelasi dengan orang-orang yang
memiliki ekonomi lemah.23
Persoalan lain menyangkut latarbelakang sosial-budaya yang
berbeda-beda di antara jemaat GMI Wesley yang pada satu sisi
memperkaya eksistensi jemaat tetapi di sisi lain membawa kepada
pengelompokkan jemaat adalah persoalan ekonomi. Seperti yang
jelas terjadi di jemaat GMI Wesley bahwa jemaat yang memiliki
ekonomi sangat mapan lebih akrab dengan sesama mereka saja dan
jemaat yang ekonomi rendah juga lebih akrab dengan sesama
22 Hasil observasi sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley Jakarta. 23 Ibid.
11
mereka saja. Sementara itu, pada keduanya tidak tercipta hubungan
yang akrab. Malahan jemaat ekonomi rendah merasa segan terhadap
orang yang ekonomi sangat mapan sehingga kerap menimbulkan
kesenjangan di antara mereka.24 Bahkan orang-orang yang berasal
dari ekonomi lemah itu, jika terlibat dalam pelayanan dengan
penampilan apa adanya dianggap tidak merepresentasikan wajah
GMI Wesley yang menurut jemaat ekonomi atas berskala
internasional dan modern.25
B. Konseling Pastoral Antarbudaya di Kalangan Jemaat GMI
Wesley Jakarta
Konseling pastoral sebagai cara efektif dan persuasif untuk
menolong orang-orang yang memiliki masalah individu atau antar
individu sangat penting untuk diterapkan dalam gereja. Hal ini
dikarenakan dalam gereja terdapat orang-orang yang banyak
memiliki masalah dan membutuhkan sentuhan pastoralia atau
jamahan kerohanian untuk memperkuat diri mereka. Selain itu,
melalui konseling pastoral warga gereja dapat diarahkan untuk
menjadi orang Kristen yang benar-benar taat dan setia sebagai murid
Kristus sekaligus anggota gereja, ketika berhadapan dengan
persoalan hidupnya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas
kependetaannya dengan menggunakan konseling pastoral, pendeta
24 Ibid. 25 Bahan pembahasan rapat Majelis Jemaat, 9 Oktober 2011.
12
harus bijaksana berperan dalam penanganan masalah-masalah yang
dihadapi jemaatnya.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa
tugas pendeta GMI secara konstitusi diatur dalam disiplin GMI pasal
61, poin 5 dan 7,26 dalam melaksanakan tugas kependetaannya
dengan menggunakan konseling pastoral, pendeta GMI di Jemaat
GMI Wesley Jakarta telah melakukan tugas pendampingan melalui
pendekatan konseling pastoral kepada anggota jemaatnya yang
menghadapi masalah. Namun dalam peran pendampingan yang
dilakukan bagi jemaatnya, kehadiran pendeta tidak memberi
kenyamanan kepada jemaat tertentu sehingga kerap menimbulkan
kesenjangan antara jemaat dengan pendeta pasca pendampingan.
Proses pendampingan seperti yang disebutkan di atas terjadi
pada kasus yang meliputi dua jemaat etnis Tionghoa (responden 8
dan 9). Ketika mereka didampingi oleh pendeta, ada pihak yang tidak
senang dengan proses itu. Pendekatan pendeta terhadap kasus
mereka tidak bersifat holistik dimana pendeta tidak bisa mengambil
sikap netral dan berusaha memberi solusi untuk menyelesaikan
permasalahan yang dialami keduanya, tetapi sebaliknya adalah
sikap keberpihakan yang ditunjukkan. Hal ini nampak melalui
pernyataan yang dikemukakan oleh pendeta ketika konseling
pastoral berlangsung yaitu responden 9 adalah seorang yang idealis
26 Lihat Tiandi Lukman, (dkk)., op.cit., 69.
13
dan memiliki kecurigaan, sementara responden 8 adalah orang yang
tulus dan soal pelayanan tidak bisa diragukan lagi dari padanya”.27
Dari sikap yang tunjukkan oleh pendeta dalam melaksanakan
tugas kependetaannya dengan menggunakan konseling pastoral
terhadap kasus yang terjadi di antara responden 8 dan 9 subjektif
dan memojokkan satu pihak. Akibat sikap seperti demikian
membuat responden 9 tidak lagi berperan sebagai pengurus ibadah
pemuda, ia mengundurkan diri dan kehadirannya beserta keluarga
dalam kegiatan ibadah jemaat sangat jarang, jika dibandingkan
dengan keaktifannya sebelumnya.28 Keberpihakan dari pendeta
dengan jemaat yang kebudayaannya sama ataupun dominasi sikap
like and dislike terhadap jemaat tertentu sedemikian tidak sehat.
Penonjolan sikap seperti itu dapat membuat terjadinya perpecahan
di dalam jemaat. Oleh karena itu, agar dapat menghindari terjadinya
masalah seperti demikian, maka dibutuhkan seseorang yang bersifat
netral untuk menjadi penengah atau pengarah bagi pencarian
sebuah solusi atas masalah yang dihadapi oleh jemaat yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda.29
Bagi pendeta, terhadap masalah responden 8 dan 9, ia tidak
bersikap sepihak tetapi ia merasa mengenal responden 8 lebih dekat,
sementara responden 9 adalah orang baru dibandingkan responden
8. Pendeta mengakui bahwa ia merasa dirinya tidak bisa
27 Hasil observasi partispatoris konseling pastoral terhadap responden 8 dan 9, 20
November 2012. 28 Ibid. 29 Hasil wawancara dengan responden 10, 29 Juni 2014.
14
menggembalakan secara intensif seluruh anggota jemaat yang secara
kuantitatif banyak jumlahnya sehingga yang lebih efektif adalah
melayani untuk mempersiapkan pemimpin, terutama di kemajelisan
seperti pola pelayanan Yesus. Dengan demikian, ketika ia mutasi
pelayanan sekalipun, orang-orang yang sudah disiapkan menjadi
pemimpin-pemimpin di gereja dapat menjaga kestabilan pelayanan di
gereja dan menjadi patner hamba Tuhan untuk memberi pengaruh
kepada jemaat lainnya.30 Terhadap pandangan pendeta ini, bagi
beberapa jemaat diantaranya: responden 11, 12, dan 13,
mengatakan cara itu merupakan suatu model pelayanan yang
bersifat pilih-pilih kasih dan tidak seharusnya dilakukan.31
Berkaitan dengan pelayanan dan relasinya dengan anak-anak
Sekolah Minggu, pendeta menganggap pelayanannya kepada anak-
anak bukanlah fokus tugasnya dan telah mendelegasikan tugas
pelayanan, pendampingan dan pembinaan tersebut kepada guru-
guru Sekolah Minggu saja. Persoalan yang muncul disini adalah
guru-guru Sekolah Minggu ini belum pernah mengikuti pelatihan
khusus konseling untuk anak-anak. Padahal bagi mereka konseling
bagi anak-anak di gereja adalah penting, sebagaimana yang mereka
laporkan dalam Laporan Konferensi Resort GMI Wesley. Hal yang
lebih banyak ditekankan oleh pendeta adalah perihal mendengar
untuk selanjutnya memberitakan Injil dalam melakukan konseling
30 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, 4 Desember 2012. 31 Hasil wawancara dengan responden 11, 10 Februari 2013; juga hasil wawancara
dengan responden 12 dan 13, 22 Februari 2013.
15
pastoral. Pola tersebut menempatkan jemaat sebagai obyek yang
diinjili daripada subyek yang setara dengan diri pendeta.32
Masalah lainnya yang dialami adalah ketika menghadapi
persoalan dengan rekan-rekan sepelayanan di dalam tubuh Majelis
Jemaat, pendekatan terhadap masalah yang seringkali dilakukan
adalah pendekatan institusional dan struktural daripada pendekatan
interelasional. Hal ini nampak pada kasus yang dialami oleh
responden 2, seperti yang dikemukakan berikut ini:
“Pelayanan sang pendeta adalah pelayanan yang tidak mau turun takhta, dimana proses pendampingan yang dilakukan terlalu menekankan pada aspek struktural sebagai seorang pimpinan dan bukan gembala umat.” 33
Hal senada juga disampaikan oleh responden 14 bahwa
sebagai gembala, pendeta sering menggunakan disiplin organisasi
GMI ketika berhadapan dengan masalah-masalah gereja. Oleh
karena itu, formalitas kepemimpinan sangat ditekankan selain aspek
fungsional pelayanan yang memberdayakan umat yang dilakukan.34
Kasus budaya lainnya seperti yang dialami responden 2 adalah
ketika dia memakai jeans untuk menjadi liturgos ibadah Minggu
(pengaruh budaya Barat) dan hal itu tidak diperbolehkan
berdasarkan kesepakatan rapat Majelis Jemaat. Ketika ia bertanya
kepada pendeta melalui pesan pendek via handphone, apakah hal itu
tidak diperbolehkan, jawaban langsung dalam bentuk pesan pendek
via handphone yang ia dapatkan dari pendeta. Dengan tegas pendeta
32 Materi Pelatihan Konseling Pastoral Jemaat GMI Wesley Jakarta, 14 Oktober
2012. 33 Hasil wawancara dengan responden 2, 6 September 2011. 34 Ibid.
16
mengatakan bahwa pelayan mimbar tidak boleh menggunakan jeans
pada saat menjadi pelayan ibadah Minggu. Setelah itu, pendeta tidak
lagi melakukan pendampingan pribadi kepada responden 2 dan
responden 14 hingga masalah dan proses itu membuat mereka
beserta keluarga tidak lagi bergereja di GMI Wesley. 35
Terkait dengan persoalan responden 2 dan 14, pendeta
berpandangan bahwa sikap responden 2 yang tidak menerima
arahan untuk mengenakan pakaian resmi bagi para pelayan
pelayanan ibadah Minggu adalah sikap yang tidak menghormati
Tuhan. Sementara itu, untuk persoalan kepemimpinan pendeta yang
dipersoalkan responden 14, bagi pendeta hal itu menunjukkan sikap
arogannya karena merasa dirinya sebagai seorang pimpinan
perusahaan yang tidak mau untuk dibatasi ruang geraknya padahal
GMI memiliki aturan pelayanan sendiri sebagaimana yang termuat di
dalam disiplin GMI. Selain itu, Pendeta memandang responden 2 dan
14 bersikap demikian karena merasa diri sudah mapan secara
ekonomi dan juga merasa sudah banyak memberi untuk gereja.36
Masalah lainnya adalah muncul kesenjangan antara pendeta
dan beberapa Majelis karena terjadi perselisihan di antara mereka
tentang keuangan gereja. Lewat informasi yang didapatkan dari
responden 2, diketahui bahwa tidak ada langkah yang baik untuk
penyelesaian masalah itu karena pendeta cenderung menutup
ruang-ruang untuk mengkomunikasikan setiap persoalan secara
35 Ibid. 36 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, 3 November 2013.
17
terbuka dengan mereka dan lebih mengutamakan keeksklusifitasan
kepemimpinannya.37
Sebenarnya masalah kesenjangan antara pendeta dengan
jemaat akibat pendekatan konseling pastoral pendeta yang tidak
diterima oleh mereka dan membuat mereka tidak bergereja lagi
sampai sekarang, terjadi pada 11 kepala keluarga yang menjadi
anggota jemaat penuh38 dan aktif terlibat dalam pelayanan gereja.
Hal ini tampak pada data daftar keanggotaan jemaat tahun 2011-
2013. Terkait dengan kemunduran mereka dari gereja, ketika Majelis
Jemaat melakukan rapat bulanan dan membahas tentang hal
tersebut, pendeta yang melaksanakan tugas konseling pastoral
antarbudaya tidak menempuh langkah relasional yang intensif,
tetapi mengatakan bahwa itu merupakan suatu pemurnian yang
Tuhan lakukan di dalam gerejaNya.39 Sikap pendeta terhadap jemaat
demikian karena jemaat tersebut tidak terbuka untuk didampingi
dan diarahkan oleh pendeta. Selain itu, mereka memiliki tuntutan
pelayanan yang tinggi terhadap pendeta untuk dapat mengimbangi
intelektualitas mereka dan mengharapkan supaya kebutuhan-
kebutuhan rohani mereka ketika diminta kapan saja dan dalam hal
37 Hasil wawancara dengan responden 2, op.cit. 38 Anggota jemaat penuh yang dimaksudkan di sini adalah sesuai dengan Disiplin
Gereja Methodist Indonesia pasal 8, poin 1 yang mengatur tentang anggota jemaat
penuh Gereja Methodist Indonesia, yaitu: 1) Semua orang yang diterima dari kelas sidi. 2) Semua orang yang diterima melalui baptisan dewasa. 3) Yang pindah dari
gereja lain. 4) Yang diterima kembali dengan pertobatan. 5) Yang diterima dari
orang Kristen yang tidak jelas status keanggotaan gerejanya. Lihat Tiandi Lukman, (dkk)., op.cit., 35-36. 39 Bahan rapat Majelis Jemaat 11 September 2011.
18
apa saja dapat terpenuhi. Sampai-sampai ada sebutan bahwa
pendeta itu ibarat „baby sitter’ bagi jemaatnya.40
Selain itu, penggunaan pilihan kata (diksi) adalah masalah
prinsipil dalam konseling pastoral antarbudaya. Penggunaan kata
yang halus atau santun tentunya akan membuat konseli merasa
nyaman di tengah masalah yang dihadapinya. Sebaliknya jika kata
yang digunakan adalah kata-kata kasar, maka suasana hati konseli
tidak akan nyaman dan membuat ia menjadi introvert dengan
masalah yang dihadapinya. Hal seperti itu yang dirasakan oleh
responden 15, dimana ketika ia didampingi oleh pendeta, terlontar
kata kasar yang keluar dari pendeta adalah “bebal”. Hal ini terjadi
karena responden 15 tidak mau mendengar arahan dan
pendampingan pendeta sebelumnya dimana beliau merasa dirinya
sebagai orangtua yang sudah banyak “makan asam garam” dalam
hidupnya.41 Kata seperti itu membuat kondisi psikis beliau
terganggu. Apalagi dalam budaya Tionghoa penghormatan terhadap
orangtua adalah hal utama yang ditekankan, karena itu anak-anak
sangat menjaga sikap dan kata-kata mereka yang dapat
menyinggung atau meresahkan hati orangtua seperti yang dialami
oleh responden 15. Akibat kata yang dikeluarkan oleh pendeta
40 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, 9 Februari 2012. 41 Hasil observasi partisipatoris konseling pastoral bersama Pendeta, 15 November
2011.
19
terhadapnya itu, responden 15 langsung tersentak dan terdiam
sejenak.42
C. Pentingnya Konseling Pastoral Antarbudaya Bagi Jemaat GMI
Wesley
Berdasarkan pada uraian di atas tentang konteks jemaat GMI
Wesley Jakarta yang multikultural/plural dengan masalah-masalah
yang muncul dalam konteks pelayanan bergereja, maka konseling
pastoral antarbudaya adalah suatu pilihan yang penting untuk
diterapkan demi suatu keutuhan jemaat baik secara individu
maupun korporat. Pengakuan terhadap pentingnya pemberlakuan
konseling pastoral antarbudaya dalam konteks jemaat GMI Wesley
Jakarta itu berasal langsung dari jemaat sendiri, seperti: responden
16. Adapun pandangan jemaat untuk diberlakukannya konseling
pastoral antarbudaya adalah sebagai berikut:
“Jemaat GMI Wesley terdiri dari orang-orang yang berlatarbelakang budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, konseling pastoral antarbudaya penting diberlakukan supaya dapat memperluas wawasan dari kehidupan budaya masing masing jemaat dan menghindari culture
shock di antara jemaat ketika berhadapan dengan masalah tertentu.” 43
Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh responden 17
bahwa konseling pastoral antarbudaya penting untuk diterapkan
karena jemaat GMI Wesley Jakarta berlatarbelakang multikultur.44
Pernyataan itu semakin mendapat penegasan dari responden 11
bahwa konseling pastoral antarbudaya adalah kebutuhan jemaat
42 Ibid. 43 Hasil wawancara dengan responden 16, 23 Mei 2014. 44 Hasil wawancara dengan responden 17, 24 Mei 2014.
20
GMI Wesley karena jemaat terdiri atas suku dan budaya yang
berbeda-beda.45 Senada dengan itu responden 18 mengemukakan
bahwa konseling pastoral antarbudaya itu penting karena jemaat
hidup di dalam satu komunitas yang masing-masingnya datang dari
perbedaan asal agama dan adat istiadat.46 Ketika terdapat masalah
di tengah perbedaan jemaat itu, responden 19 mengemukakan
bahwa konseling pastoral antarbudaya penting untuk diterapkan
kepada jemaat. Melalui konseling pastoral itu jemaat akan
mendapatkan pendampingan dan dapat saling sharing (bertukar
pikiran) dengan orang yang dapat diandalkan, seperti pendeta. Selain
itu, menururt responden 20, lewat konseling pastoral jemaat bisa
memperoleh masukan yang positif dengan perspektif yang berbeda
dari pendeta.47
Selanjutnya menurut responden 21, jemaat Wesley yang
berbeda budaya memiliki banyak masalah yang berat pada zaman
sekarang dan jemaat tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri.48 Apalagi kalau masalah yang
dihadapi adalah masalah antarbudaya yang sangat sensitif dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, konseling pastoral
45 Hasil wawancara dengan responden 11, 15 Juni 2014. 46 Hasil wawancara dengan responden 18, 29 Juni 2014. 47 Hasil wawancara dengan responden 20, 15 Juni 2014 dan responden 19, 29
Juni 2014. 48 Hasil wawancara dengan responden 21, 29 Juni 2014.
21
antarbudaya penting untuk diberlakukan sehingga jemaat dapat
ditolong untuk keluar dari persoalan yang dihadapi.49
Pentingnya konseling pastoral antarbudaya diakui juga oleh
anggota jemaat lainnya, seperti responden 8, dimana tidak hanya
untuk persoalan pribadi saja tetapi juga antar jemaat di saat ada
perselisihan antar jemaat yang berbeda budaya. Ketika perselisihan
itu terjadi, maka pendekatan konseling pastoral antarbudaya untuk
merekonsiliasi kedua pihak sangat diperlukan.50
Selain itu, menurut responden, dengan pendekatan
antarbudaya dalam suatu konseling pastoral juga dapat menghindari
terjadinya misunderstanding antar jemaat maupun pendeta dengan
jemaat.51 Apalagi karakter/perilaku seseorang dalam suatu
komunitas /jemaat seringkali dipengaruhi oleh budaya yang
bersangkutan. Dengan demikian, konseling pastoral antarbudaya
sangat diperlukan oleh jemaat.52 Pentingnya penerapan konseling
pastoral antarbudaya bagi jemaat, menurut responden 24, sangat
positif bukan hanya di kalangan jemaat secara internal, tetapi juga
membantu jemaat untuk nantinya dapat berelasi dengan orang lain
di luar gereja bagi terciptanya suatu kebersamaan yang harmonis.53
Sementara itu, menurut pendeta konseling pastoral
antarbudaya adalah hal yang penting karena melihat persoalan
49 Hasil wawancara dengan responden 19, op.cit. 50 Hasil wawancara dengan responden 8, 29 Juni 2014 51 Hasil wawancara dengan responden 22, 15 Juni 2014. 52 Hasil wawancara dengan responden 23, 15 Juni 2014. 53 Hasil wawancara dengan responden 24, 15 Juni 2014.
22
jemaat yang kompleks, seperti: hati yang terluka , persoalan yang
tidak terselesaikan dan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Oleh
karena itu, untuk menerapkan konseling pastoral tersebut kepada
jemaat, pendeta terlebih dahulu mengikuti training konseling
pastoral di Amerika dan Australia.54 Hal yang penting bagi pendeta
untuk diperhatikan dalam pelayanan konseling pastoral antarbudaya
yang dilakukannya, yaitu: mengamati (observe), fleksibel (flexible),
berusaha untuk memahami (try to understand), dan menerima
perbedaan-perbedaan (accepting differences).55 Selain itu, relasi
dengan Tuhan melalui kontak dengan Roh kudus, mengajarkan
Firman Tuhan, mentransfer nilai-nilai alkitabiah, tidak bersikap
emosional, membuat batasan yang mendidik, dan lebih menekankan
pada nilai-nilai kebenaran adalah sejumlah aspek penting yang
harus diperhatikan dalam melakukan konseling pastoral
antarbudaya bagi pendeta tersebut.56
54 Hasil wawancara dengan Pdt. Sonny Cornelius, 18 Maret 2012. 55 Ibid., 29 Agustus 2012. 56 Ibid., 2 Mei 2012.