Click here to load reader
Upload
nurul-fuadi-pratiwi
View
13
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
3 METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010.
Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses
preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu
dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak
dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat
Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak
dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di
laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipong-
ipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,
asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl
red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a),
larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong,
kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT
(Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer,
pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat
(uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan
HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),
peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),
pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat
yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen,
timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur
pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas
lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu
Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,
homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas
piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes,
tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan
sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong
berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut
asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas
antioksidan dan uji fitokimia
3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku
Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di
pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang
ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut
kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal
ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama
proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian
Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata
dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian
sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:
Daging-daging keong ipong-ipong yang telah dipisahkan dari
cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging
dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut
asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)
Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100%
dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji
aktivitas antioksidannya dan fitokimia.
3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.
1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau
hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut
dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya
ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air :
% Kadar air = B - C x 100%
B - A
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak
berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% Kadar abu = C - A x 100%
B - A
Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium
dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih
1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu
Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam
labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan
2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda.
Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka
proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko
dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100%
Mg contoh x faktor koreksi alat *
*) Faktor koreksi alat = 2,5
% Kadar protein = % N x faktor konversi *
*) Faktor Konversi = 6,25
4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada
kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus
dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan
disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena).
Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu
lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi
pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak
kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya
konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong:
% Kadar lemak = (W3- W2) x 100%
W3
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak kosong (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
5) Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000
(BSN 2000)
Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan
25 ml HCl 10%. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring
bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan
kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring
dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya
kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600⁰C. Setelah dilakukan
pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang
beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:
Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100%
Berat sampel awal (g)
3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988)
Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi
bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan
yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan
panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk
mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa
air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses
pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama
dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka aw
akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat
dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau
oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia
(Winarno 2008).
Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat
dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah,
air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang
cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat
sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu
rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan
menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka
komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak
oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah
yang kecil pada larutan ekstrak.
Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering
tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang
halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat
memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut,
sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini
digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform
p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut
ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air,
sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg,
50 ºC). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih
sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak
dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh
lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC (Lehninger 1988).
Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat
adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses
ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian
ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang
terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi
bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel
yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif
tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini
diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol.
Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non
polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat
dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan
ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu,
dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan
pelarut polar (metanol p.a.).
Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan
menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian
disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu.
Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml
selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm,
sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut
memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada
suhu 50 ºC.
Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas
Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak
100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan
orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi
sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum
evavorator pada suhu 50 ºC.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua
pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu
50 ºC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan
ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses
ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong
(Fasciolaria salmo) (Sumber: Quinn 1988)
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958)
Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat
menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi
polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan
konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan
sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam
25 gr Sampel
Maserasi dengan kloroform
selama 48 jam
Penyaringan
Residu
Maserasi dengan etil
asetat selama 48 jam
Penyaringan
Evaporasi
Ekstrak kloroform
Maserasi dengan
metanol selama 48 jam
Residu
Penyaringan
Residu
Filtrat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak etil asetat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak metanol
pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang
akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol
dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan
dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah
dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800
pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur
untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan
mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam
tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,
aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding
BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:
% inhibisi = (A blanko – A sampel) x 100%
A blanko
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)
dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan
regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan
y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari
masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang
akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan
sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk
mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.
3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984)
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji
steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict,
Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).
a. Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff,
pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan
pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan
pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan
0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml
dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan
cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram
kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml
dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat
dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan
40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium
iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan
dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi
ini berwarna jingga.
b. Steroid/ triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes
asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali
kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
c. Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)
dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d. Saponin (uji busa)
Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya
senyawa fenol dalam bahan.
f. Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan.
g. Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya
warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula
pereduksi.
h. Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu
menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.
i. Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin
0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya
larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.