Upload
riskawati-iskandar
View
103
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
TRAUMA TRAKTUS URINARIA
3.1 Trauma ginjal
Cedera ginjal adalah cedera yang paling umum dari sistem genitourinaria. Ginjal
dilindungi oleh otot-otot punggung di sebelah posterior, tulang vertebra, tulang costa bagian
bawah, dan organ abdomen di sebelah anterior. Patah tulang costa dan prosessus transversus
vertebra mungkin menembus parenkim ginjal atau pembuluh darah. Sebagian besar cedera
terjadi karena kecelakaan mobil atau kecelakaan saat olahraga, terutama pada pria dan anak
laki-laki. Ginjal dengan kondisi patologis yang ada seperti hidronefrosis atau tumor ganas
lebih mudah pecah jika terkena trauma ringan. Karena 25% curah jantung (cardiac outflow)
berjalan melalui ginjal, makan trauma ginjla dapat mengakibatkan kehilangan darah yang
cepat.
a) Etiologi
1. Trauma langsung ke abdomen, pinggang, dan panggul
2. Trauma tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan
ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Contohnya : tabrakan
kendaraan pada kecepatan tinggi dapat mengakibatkan trauma ginjal karena cepat
perlambatan dan menyebakan cedera pembuluh darah utama.
Trauma dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian,
jatuh, dan olahraga. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul,
luka tembus (luka tusuk, luka tembakan), setiap luka seperti di daerah panggul harus
dianggap sebagai penyebab cedera ginjal sampai terbukti sebaliknya. Terdapat cedera
viseral abdomen dalam 80% luka tembus pada ginjal.
b) Patologi dan klasifikasi
Laserasi dari trauma tumpul biasanya terjadi pada bidang melintang ginjal.
Mekanisme cedera dianggap sebagai kekuatan yang ditransmisikan dari pusat yang
berdampak pada parenkim ginjal. Dalam cedera deselerasi cepat, goncangan ginjal di
dalam rongga retroperitoneum (ginjal bergerak ke atas atau ke bawah), menyebabkan
peregangan mendadak pada pedikel ginjal dan kadang-kadang terjadi avulsi parsial
atau total. Peregangan mendadak pedikel ginjal tersebut, dapat menimbulkan robekan
tunika intima arteri renalis. Robekan ini memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah
yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-
cabangnya.
Gambar 8. Mekanisme cedera ginjal. Gambar kiri: pukulan langsung ke perut. Gambar kecil
menunjukkan kekuatan yang memancar dari hilus ginjal. Gambar kanan: Jatuh pada bokong dari
ketinggian (contrecoup ginjal). Gambar kecil menunjukkan arah gaya yang bekerja pada ginjal
dari atas, dapat terjadi robekan dari pedikel ginjal.
Klasifikasi patologis cedera ginjal awal, sesuai dengan hasil pemeriksaan pencitraan maupun
hasil eksplorasi ginjal, adalah sebagai berikut :
Grade 1 (the most common) : kontusio ginjal atau hematoma perirenal (parenkim ginjal).
Terdapat hematuria mikroskopik (paling umum terjadi), gross hematuria (jarang).
Pencitraan normal
Grade 2 : laserasi parenkim ginjal terbatas pada cortex ginjal. Hematoma perirenal
biasanya kecil
Grade 3 : laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri
segmentalis
Grade 4 : laserasi ginjal sampai mengenai sistem kalises ginjal, mungkin terdapat
trombosis arteri renalis karena trauma tumpul, dan vena segmentalis
Grade 5 : - avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi tormbosis arteri renalis
- Ginjal terbelah (shatered)
Gambar 9. Klasifikasi cedera ginjal. Kelas I dan II yang kecil. Kelas III, IV, dan V adalah utama. A: Grade
I-mikroskopik atau gross hematuria, terdapat temuan normal pada studi radiografi, kontusio atau terkandung
hematoma subcapsular tanpa laserasi parenkim. B: Kelas II-nonexpanding, terbatas hematoma perirenal atau
laserasi kortikal kurang dari 1 cm tanpa ekstravasasi kemih. C: Kelas III-laserasi lebih dari 1 cm ke dalam
korteks sampai medula ginjal tanpa ekstravasasi kemih. D: Kelas IV-laserasi parenkim memanjang melalui
corticomedullary dan ke dalam kalises. Mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis. E: Kelas IV-
trombosis dari arteri segmentalis tanpa laserasi parenkim. Perhatikan iskemia parenkim yang
sesuai. F: Kelas V-trombosis dari arteri renalis. menunjukkan tunika intima dan trombosis
distal. G: Kelas V-beberapa luka besar, menghasilkan "hancur" ginjal. H: Kelas V-avulsi arteri
renalis utama atau vena atau keduanya.
c) Kelainan patologi lanjut
1. Urinoma
Robekan dalam yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan ekstravasasi urin dan
komplikasi akhir dari perinephric massa ginjal yang besar, dan pada akhirnya
terjadi hidronefrosis
2. Hidronefrosis
Hematoma besar di retroperitoneum dan ekstravasasi urin dapat menyebabkan
fibrosis inperinephric pada persimpangan ureteropelvis, menyebabkan
hidronefrosis. Tindak lanjut eksretoris urography diindikasikan pada semua kasus
trauma ginjal.
3. Arteriovenous fistula
Fistula arteriovenosa mengkin terjadi setelah luka tembus tetapi tidak umum
4. Renal vascular hypertension
Fibrosis dari trauma dapat menyempitkan arteri ginjal dan dapat menyebabkan
hipertensi vaskular ginjal (kurang dari 1% kasus).
Gambar 10. Temuan patologis akhir trauma ginjal. Kiri : stenosis ureteropelvis dengan
hidronefrosis sekunder untuk fibrosis dari ekstravasasi darah dan urin. Kanan : atrofi ginjal
yang disebabkan oleh cedera (stenosis) dari suplai darah arteri.
d) Temuan klinis
Mikroskopis hematuria atau gross hematuria pada trauma abdomen menunjukkan
cedera pada saluran kemih. Beberapa kasus cedera vaskular ginjal ada yang tidak
berhubungan dengan hematuria. Bila tidak ada hematuria, kemungkinan cedera berat
seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal tetap ada. Kasus-kasus
tersebut hampir selalu akibat cedera deselerasi dan merupakan indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan pencitraan. Tingkat cedera ginjal tidak sesuai dengan derajat hematuria,
karena gross hematuria dapat teradi di trauma ginjal ringan dan dapat hanya hematuria
ringan pada trauma ginjal berat.
Namun tidak semua pasien dewasa dengan trauma tumpul memerlukan evaluasi
pencitraan ginjal. Miller dan McAninch (19950 membuat rekomendasi berikut
berdasarkan temuan lebih dari 1800 trauma tumpul ginjal : pasien dengan gross hematuria
atau hematuria mikroskopik dengan syok (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) harus
menjalani penilaian radiografi; pasien dengan hematuria mikroskopis tanpa syok tidak
perlu. Namun, jika pemeriksaan fisik atau cedera terkait mengarah kecurigaan dari trauma
ginjal, pencitraan ginjal harus dilakukan. Hal ini terutama berlaku pada pasien dengan
trauma deselerasi, yang mungkin terjadi trauma ginjal tanpa adanya tanda klinis
hematuria.
e) Tanda dan gejala
Tanda-tanda perlu dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat :
1. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah karena perdarahan retroperitoneal
2. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya ekimosis pada daerah tersebut
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosessus spinosus vertebra
4. Cedera deselerasi yang berat akibat terjatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas
5. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
6. Nyeri abdomen difus pada pemeriksaan palpasi, umumnya ditemukan pada pada
daerah pinggang atau perut bagian atas, akut abdomen yang biasanya
menunjukkan perdarahan di rongga peritoneal.
7. Teraba massa mungkin merupakan tanda hematoma retroperitoneal atau
ekstravasasi urin
8. Jika retroperitoneum telah robek, darah dapat masuk ke dalam rongga peritoneal
tapi tidak teraba ada massa, menimbulkan gejala rangsang peritoneum. Bising
usus negatif
9. Pemeriksaan laboratorium : hematuria makroskopik atau mikroskopik
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal bervariasi tergantung
pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya.
Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang
terjadi.
Pada trauma derajat ringan mengkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang,
terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik atau mikroskopik.
Pada trauma major atau ruptur pedikel ginjal seringkali pasien datang dalam keadaan
syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin
membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan
IVP, karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan
hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera
dilakukan eksplorasi laparatomi untuk menghentikan perdarahan.
f) Pemeriksaan penunjang
1. IVP (Intravena Pyelography)
Pemeriksaan dilakukan dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi ± 2
ml/kgBB, guna melihat tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal
kontralateral. Pemeriksaan ini dilakukan jika diduga ada :
Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal
Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik
Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik
dengan disertai syok
Adanya trauma ginjal akan terlihat pada IVP berupa eksresi kontras yang
berkurang (bandingkan dengan kontralateral), garis psoas atau kontur ginjal yang
menghilang karena tertutup oleh ekstravasasi urin atau hematoma. Pemeriksaan IVP
pada kontusio ginjal sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal.
Dalam keadaan ini pemeriksaan USG abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma
parenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih
utuh.
Kadang kala kontusio ginjal yang cukup luas menyebabkan hematoma dan
edema parenkim ginjal yang hebat sehingga memberikan gambaran sistem
pelvikalises yang spesifik atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem
pelvikalises yang tak tampak pada IVP dapat pula terjadi pada ruptur pedikel, robekan
intima yang disertai trombosis dan kadang-kadang karena spasme atau pasien yang
berada dalam keadaan syok berat saat menjalani IVP. Pada derajat IV adanya
ekstravasasi kontras, hal ini karena robeknya sistem pelvikalises ginjal. Ekstravasasi
ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalami fragmentasi (terbelah)
pada cedera derajat V.
Gambar 11. Radiografi antero-psoterior ureter dan pelvis renalis setelah suntikan
IV senyawa yodium yang dieksresikan oleh ginjal. Terlihat calises renales.
Gambar 11. Trauma tumpul ginjal kiri menunjukkan ekstravasasi (tanda panah)
pada urogram intravena
2. CT scan abdomen
Jika IVP belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal
nonvisualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Penilaian
dimulai dengan Ct scan abdomen, merupakan cara yang paling langsung dan efektif
untuk mengetahui adanya trauma ginjal. Teknik ini noninvasif dan jelas dalam
mendefinisikan laserasi parenkim dan eksktravasasi urin, menunjukkan luasnya
hematoma retroperitoneal, mengidentifikasi jaringan nonviable, dan menguraikan
cedera organ sekitarnya seperti pankreas, limpa, hati dan usus. Jika CT scan tidak
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan IVP (intravena pyelogram).
Gambar 12. Computed tomography scan ginjal setelah pisau menusuk luka. Laserasi
dengan terlihat adanya ekstravasasi urin dan hematom retroperitoneal.
3. Arteriografi
Arteriografi dapat menilai arteri renalis dan cedera parenkim. Trombosis arteri
dan avulsi ginjal yang terbaik didagnosis dengan arteriografi dan mungkin ketika
ginjal tidak divisualisasikan pada studi pencitraan.
Gambar 13. Arteriogram mengikuti trauma tumpul abdomen, menunjukkan temuan
khas trombosis akut arteri ginjal (panah) dari ginjal kiri
4. Radionuklida
Radionuklida scan ginjal telah digunakan dalam penilaian trauma ginjal. Namun,
dalam manajemen darurat, teknik ini kurang sensitif dibandingkan arteriografi atau
CT scan.
g) Komplikasi
1. Komplikasi awal
Perdarahan
Berat perdarahan retroperitoneal dapat menyebabkan exanguination cepat.
Pasien harus diperhatikan dengan seksama, dengan pengawasan yang teliti
terhadap tekanan darah dan hematokrit. Langkap penanganan awal harus
di lakukan sejak dini. Ukuran dan perluasan massa yang teraba harus
dipantau dengan hati-hati. Perdarahan berhenti spontan dalam 80-85%
kasus. Perdarahan retroperitoneal persisten atau gross hematuria berat
mungkin memerlukan tindakan laparatomi segera.
Ekxtravasasi urin
Ekstravasasi urin dari ginjal mungkin menunjukkan adanya fraktur,
timbul massa yang memperluas (urinoma) di retroperitoneum. Hal tersebut
rentan terhadap pembentukan abses dan sepsis. Sebuah hematom
peritoneal dapat menyebabkan demam ringan (38,3 ° C), tetapi suhu yang
lebih tinggi menunjukkan adanya infeksi. Abses perinephric dapat
menyebabkan nyeri abdomen dan nyeri panggul
2. Komplikasi lanjut
Hipertensi, hidronefrosis, fistula arteriovenosa, pembentukan kalkulus,
pielonefritis merupakan komplikasi akhir yang penting. Hati-hati pemantauan
tekanan darah beberapa bulan perlu diwaspadai untuk hipertensi. Di 3-6 bulan,
urogram eksretoris lanjutan atau CT scan harus diperoleh untuk memastikan
bahwa jaringan parut perinephric tidak menyebabkan hidronefrosis, atrofi ginjal
dan terdeteksi oleh urography tindak lanjut. Perdarahan berat akhir mungkin
muncul 1-4 minggu setelah cedera.
h) Pengelolaan
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan untuk
melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak
memerlukan tindakan operasi.
1. Tindakan konservatif
Tindakan konservatif berupa istirahat di tempat tidur, analgesik untuk
menghilangkan nyeri, serta observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi
lokal, kadar hemoglobin, hematokrit, serta endapan urin.
2. Tatalaksana darurat
Tujuan dari manajemen dini pengobatan yang tepat dari keadaan syok dan
perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera yang terkait.
3. Pembedahan darurat
Cedera tumpul
Cedera tumpul pada ginjal 85% biasanya tidak memerlukan tindakan
pembedahan. Perdarahan berhenti secara spontan dengan istirahat dan
hidrasi. Kasus dimana operasi diindikasikan termasuk yang terkait dengan
adanya perdarahan retroperitoneal yang persisten, ekstravasasi urin, bukti
nonviable parenkim ginjal, dan cedera pedikel ginjal (kurang dari 5% dari
semua cedera ginjal)
Gambar 14. Alogaritma untuk penanganan trauma tumpul pada orang dewasa
Gambar 15. Alogaritma untuk penanganan trauma tumpul pada anak-anak
Luka tembus
Pada luka tembus harus dilakukan eksplorasi pembedahan. Sebuah
perkecualian yang jarang untuk aturan tersebut, ketika pada pemeriksaan
penunjang yang lengkap didapatkan hanya sedikir parenkim yang cedera,
dan tanpa ekstravasasi urin. Dalam 80% dari kasus cedera penetrasi (luka
tembus), yang terkait cedera organ membutuhkan tindakan operasi
laparatomi.
Gambar 15. Alogaritma untuk penanganan trauma tembus pada orang dewasa
4. Pengobatan pada keadaan komplikasi
Pada urinoma retroperitoneal atau abses perinephric dilakukan tindakan
drainase. Hipertensi maligna membutuhkan perbaikan pembuluh darah atau
nephrectomy. Hidronefrosis mungkin memerlukan koreksi bedah atau nefrektomi.
i) Prognosis
Dengan follow up yang cermat, kebanyakan trauma ginjal mempunyai prognosis yang
sempurna dengan penyembuhan spontan dan pengembalian fungsi ginjal. Follow up,
urografi eskretori dan monitoring tekanan darah dapat memastikan deteksi dan
manajemen yang tepat untuk hidronefrosis akhir dan hipertensi.
3.2 Trauma ureter
Trauma ureter jarang terjadi, merupakan 1% dari seluruh cedera traktus urogenitalia,
karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal
dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Cedera ini dapat
terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau trauma
iatrogenik. Kecelakaan deselerasi dapat mengavulsi ureter dari pelvis ginjal. Operasi
endourologi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu, atau litotripsi
batu ureter) dan orepasi di dareah pelvis (diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah
digestif atau bedah vaskular) dapat menyebabkan cedera ureter iatrogenik. Cedera ureter
umumnya tidak berdiri sendiri, sering disertai cedera organ lain, sperti duodenum, kolon,
pembuluh darah besar, atau organ intrabdomen.
a) Gejala
Jika ureter telah sepenuhnya atau sebagian diligasi selama operasi, pasca operasi
biasanya ditandai dengan demam 38,3C- 33,8 C, nyeri di panggul dan tubuh bagian
bawah
Pasien tersebut sering mengalami ileus paralitik dengan mual dan muntah
Terdapat ureterovaginal atau fistula kulit, biasanya terjadi pada 10 hari pasca operasi
Cedera ureter akibat kekerasan eksternal harus di curigai pada pasien yang telah
mengalami tusukan atau tembakan sampai ke retroperitoneum
Bagian pertengahan dari ureter, paling umum tertembus cedera, biasanya terkait
pembuluh darah dan cedera perut bagian viseral lainnya.
b) Tanda
Hidronefrosis akut dari hasil ureter yang diligasi menyebabkan nyeri pelvis yang
terasa sangat nyeri dan nyeri abdomen dengan mual dan muntah di awal perjalanan
pasca operasi dan di sekitar ileus
Mungkin terdapat tanda dan gejala peritonitis akut jika ada ekstravasasi vesica
urinaria ke rongga peritoneal
Jika diduga terdapat kebocoran urin, cairan yang keluar dari luka operasi, pipa
drainase atau vagina mungkin diindentifikasi sebagai urin dengan menentukan
konsentrasi kreatinin yang memperlihatkan konsentrasi kreatinin yang sama kadarnya
dengan yang berada di dalam urin. Selain itu pemeriksaan dengan pemberian zat
warna (injeksi 10 mL indigo carmine IV) yang dieksresikan lewat urin, akan
memberikan warna biru gelap pada cairan di dalam pipa drainase atau pada luka
operasi.
Pemeriksaan laboratorium : hematuria mikroskopis (90% kasus)
Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria
c) Diagnosis
Pada cedera ureter akibat trauma tajam biasanya ditemukan hematuria mikroskopik.
Obstruksi usus pasca operasi dan peritonitis mungkin dapat menyebabkan gejala
yang sama pada mereka yang mengalami obstruksi ureter akut. Demam, "perut
akut," dan mual terkait dan muntah setelah operasi pelvis, merupakan indikasi untuk
skrining sonografi atau ekskretoris urography untuk menentukan apakah telah terjadi
cedera ureter .Infeksi dari luka yang dalam harus dipertimbangkan setelah operasi
pada pasien dengan demam, ileus, dan nyeri lokal.
Temuan yang sama konsisten dengan ekstravasasi dari urin dan pembentukan
urinoma.
Pielonefritis akut pada periode awal pasca operasi mungkin juga menghasilkan
temuan serupa dengan cedera ureter. Sonografi menunjukkan hasil yang normal, dan
urografi tidak menunjukkan bukti obstruksi.
Pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.
Pada pemeriksaan BNO- IVP, setelah injeksi bahan kontras, tertundanya ekskresi
merupakan tanda adanya hidronefrosis,tampak ekstravasasi kontras, lokasi cedera
ureter atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma..
Ureterography Retrograde menunjukkan tempat yang tepat dari obstruksi atau
ekstravasasi. Apabila IVP tidak memberi keterangan yang jelas, pielografi retrograd
dapat menunjukkan cedera serta letaknya.
Gambar 16. ekstravasasi urin (panah) pada ureter kanan
Pemeriksaan USG menguraikan hidroureter atau ekstravasasi urin yang
berkembang menjadi urinoma, dapat mengesampingkan cedera ureter pada awal
periode setelah operasi.
Radionuklida scanning menunjukkan tertundanya ekskresi pada sisi yang
terluka, dengan bukti meningkatnya jumlah karena akumulasi urin di pelvis ginjal.
Yang besar keuntungannya, namun hal tersebut berada dalam penilaian dari fungsi
ginjal setelah koreksi bedah.
d) Komplikasi
Cedera ureter mungkin terlihat rumit karena pembentukan striktur dengan hasil
hidronefrosis di daerah cedera.
Ekstravasasi urin kronis dari cedera yang belum diketahui dapat menyebabkan
pembentukan urinoma retroperitoneal yang besar.
Pielonefritis dari hidronefrosis dan infeksi saluran kencing mungkin memerlukan
drainase proksimal cepat.
e) Pengobatan
Pengobatan yang tepat dari cedera ureter diperlukan. Jika cedera tidak
diketahui sampai 7-10 hari setelah kejadian dan tidak ada infeksi, abses, atau
komplikasi lain ada, diindikasikan reexploration segera dan
perbaikan. Yang paling penting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi
dan menghilangkan obstruksi. Rekonstruksi ureter bergantung pada jenis, bentuk, luas
serta letak cedera. Tujuan dari perbaikan saluran kemih dapat
mencapai debridement lengkap, bebas dari ketegangan spatulated
anastomosis, kedap penutupan, isolasi anastomosis dari kontaminasi bila disertai
cedera usus, pemamakian bidai dalam anastomosis bila perlu, stenting ureter (pada
kasus tertentu), dan drainase retroperitoneal.
Untuk cedera bagian atas, dapat dilakukan uretero-ureterostomi, nefrostomi,
uretero-kutaneostomi, autotransplantasi, dan nefrektomi bila rekonstruksi tidak
memungkinkan. Pada cedera ureter bagian tengah dapat dilakukan uretero-
ureterostomi atau transuretero-ureterostomi.
Gambar 17. Pemulihan cedera ureter. A. (1) jarak defek pendek, (2) anastomosis
ureteroureterostomi langsung; B (1) jarak defek panjang, (2) transuretero-
ureterostomi; C defek distal; ureterosistostomi dengan tabung yang dibuat dari
sebagian dinding buli-buli menurut boari : (1) ujung ureter, (2) tabung boari, (3) luka
dinding kandung kemih (yaitu tempat plastik boari) di jahit. D defek panjang:
autotransplantasi ke fosa iliaka. E : diversi arus urin : (1) Nefrostomi, (2) pielostomi,
(3) dinding perut. F ureterostomi sementara: (1) kateter ureter, (2)
ureterokutaneostomi.
Alternatif rekonstruksi ureter distal adalah uretero-urreterostomi, uretero-
neosistostomi, misalnya melalui tabung yang dibuat dari dinding kandung kemih yang
disebut boari flap atau nefrostomi.
f) Prognosis
Prognosis untuk cedera ureter sempurna pada dianosis yang dibuat lebih awal dan
bedah korektif telah dilakukan
3.3 Trauma Vesica Urinaria
Trauma vesica urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan
penatalaksanaan segera. Trauma pada vesica urinaria seringkali merupakan daya eksternal
yang berhubungan dengan fraktur pelvis (sekitar 15% dari semua fraktur pelvis berkaitan
dengan trauma vesica urinaria atau trauma ureter), dapat menimbulkan kontusio atau ruptur
vesica urinaria. Pada kontusio hanya terjadi memar pada dinding vesika urinaria dengan
hematuria tanpa ekstravasasi urin. Trauma iatrogenik dapat disebabkan karena prosedur
ginekologi dan prosedur ekstensif pelvis lainnya. Juga hasil dari operasi hernia dan operasi
transuretra.
a) Patogenesis
Tulang pelvis melindungi vesica urinaria dengan baik, ketika pelvis mengalami fraktur
karena trauma benda tumpul, fragmen dari tempat fraktur akan berperforasi ke vesica
urinaria. Perforasi ini biasanya menghasilkan ruptur ekstraperitoneal, jika urinnya
terinfeksi, perforasi vesica urinaria ekstraperitoneal mungkin menghasilkan abses pelvis
yang dalam, dan inflamasi pelvis yang hebat.
Ketika vesica urinaria terisi hampir melebihi kapasitasnya, sebuah pukulan langsung
pada abdomen bagian bawah akan mengakibatkan gangguan pada vesica urinaria. Tipe
gangguan ini biasanya adalah intraperitoneal, urin akan mengalir ke kavitas abdominal.
Gambar 18. (1) (a) cedera pada abdomen bagian bawah sewaktu kandung kemih penuh
menyebabkan ruptur vesica urinaria intraperitoneal, (2) (b) fraktur tulang panggul
menyebabkan ruptur vesica urinaria ekstraperitoneal
b) Temuan klinis
Fraktur pelvis biasanya terjadi dengan ruptur vesica urinaria dalam 90% kasus.
Diagnosis fraktur pelvis bisa dibuat awal dalam ruang gawat darurat dengan kompresi
lateral pada tulang pelvis, karena tempat fraktur akan memperlihatkan krepitasi dan
terasa nyeri terhadap sentuhan.
c) Gejala
Pasien biasanya tidak bisa berkemih
Hematuria
Kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada pelvis, abdomen bagian bawah.
d) Tanda
Perdarahan hebat berkaitan dengan fraktur pelvis menyebabkan syok hemorragic
Tusukan pada abdomen bagian bawah dugaan trauma pada vesica urinaria
yang ditandai dengan lunaknya area suprapubik dan abdomen bagian bawah
Ekstravasasi urin atau darah ke intraperitoneal akut abdomen
Pada pemeriksaan rectal, tandanya mungkin tidak dapat dicermati karena
luasnya hematoma pelvis.
e) Temuan laboratorium
Katerisasi biasanya diperlukan pada pasien dengan trauma pelvis tetapi tidak perlu
jika pemberhentian perdarahan ureteral telah dilakukan. Pemberhentian perdarahan ureter
mengindikasikan luka uretral dan urethrogam diperlukan sebelum katerisasi. Urin di ambil
dari vesica urinaria pada katerisasi inisial yang harusnya dikultur untuk memastikan apakah
infeksi ada atau tidak ada.
f) X-ray
Pemeriksaan x-ray abdominal memperlihatkan fraktur pelvis, terdapat tanda
kekaburan pada abdomen bagian bawah tanda adanya ekstravasasi urin dan darah. CT scan
abdomen seharusnya dilakukan untuk mendapatkan kepastian apakah terdapat cedera ginjal
dan ureter.
Gangguan vesica urinaria terlihat pada cystografi. Vesica urinaria diisi dengan 300 ml
kontras material, dan dilakukan pencitraan pada abdomen bagian bawah. Medium kontras
harus bisa keluar semuanya dan pada pencitraan kedua abdomen bagian bawah di dapatkan
vesica urinaria yang kosong. Pencitraan ini penting karena mendemonstrasikan area yang
mengalami ekstravasasi extraperitoneal urin dan darah.
g) Komplikasi
Ekstravasasi urin ke extraperitoneal dapat menyebabkan abses pelvis, jika urin
menjadi terinfeksi, hematoma pelvis dapat menjadi terinfeksi juga. Ruptur vesica urinaria
dengan ekstravasasi intraperitoneal dapat menjadi kavitas abdominal yang mengakibatkan
peritonitis
h) Penanganan
1. Tindakan pembedahan
Insisi abdominal harus dibuat pada garis tengah. Adanya hematoma pelivis di
arah lateral haruslah dihindari, karena dapat mengakibatkan perdarahan dari
terlepasnya tampon dan adnya infeksi pada hematoma dengan lanjutannya berupa
abses pelvis. Vesica urinaria harus dibuka pada garis tengah dengan hati-hati. Setelah
perbaikan, tabung kistostomi suprapubis biasanya diletakkan pada tempatnya untuk
memenuhi drainase urin dan mengontrol perdarahan.
Pada ruptur vesica urinaria ektraperitoneal, dilakukan tindakan drainase kateter
ureter (10 hari akan terjadi penyembuhan yang adekuat) blood clot yang luas pada vesica
urinaria atau tempat cedera yang melibatkan leher vesica urinaria harus dirawat.
Sedangkan untuk vesica urinaria yang dibuka dibagian midline, harus secara cermat di
inspeksi dan laserasi ditutup dari dalam. Laserasi ekstraperitoneal vesica urinaria
biasanya meluas sampai ke leher kandung kemih dan harus diperbaiki dengan cermat.
Beberapa cedera dirawat dengan katerisasi yang tertanam dan diversi suprapubik.
Pada ruptur vesica urinaria intraperitoneal, vesica urinaria harusnya diperbaiki
dengan pendekatan transperitoneal setelah inspeksi transvesikal dengan hati-hati dan
penutupan berbagai perforasi lainnya. Semua cairan ekstravasasi dari kavitas peritoneal
dikeluarkan. Vesica urinaria kemudian ditutup sempurna diatas area yang luka, dengan
dilakukan cistostomi suprapubik
i) Prognosis
Dengan perawatan yang sesuai, prognosisnya sempurna. Sistostomi suprapubik dapat diangkat
dalam waktu 10 hari dan pasien seringkali dapat buang air dengan normal. Dilakukan kultur
urin untuk memastikan apakah infeksi memerlukan perawatan lebih lanjut.
3.4 Trauma Uretra
Cedera uretra jarang terjadi dan seringkali terjadi pada laki-laki dan jarang pada
wanita, biasanya berhubungan dengan fraktur pelvis atau jatuh yang mengangkang. Berbagai
bagian dari uretra mungkin dapat terjadi laserasi, transeksi atau konfusi. Manajemen
tergantung dari tingkat cedera. Uretra dipisahkan menjadi 2 divisi anatomis. Uretra posterior
terdiri dari uretra prostatika dan uretra membranosa. Uretra anterior terdiri dari uretra
pendulous dan bulbous.
a) Gejala
Pasien biasanya mengeluh nyeri abdominal bagian bawah dan
ketidakmampuan untuk berkemih
b) Tanda
Terdapat darah pada meatus uretral, mnegindikasikan bahwa perlu dilakukan
urethrografi
Terdapat suprapubik yang lunak, fraktur pelvis, pada palpasi dapat ditemukan
hematoma, vesica urinaria yang penuh
Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematoma pada penis
dan skrotum
Pada pemeriksaan rectal, hematoma pelvis dapat menyerupai prostat pada
palpasi
c) Diagnosis
Ruptur uterta posterior harus dicurigai bila terdapat sedikit darah di meatus uretra
disertai patah tulang pelvis, selain itu pada pemeriksaan colok dubur ditemukan
prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital.
Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke kranial. Pada ruptur
uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan darah
yang menetes dari meatus uretra
d) Terapi
bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau
organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan
kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga
tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya di pasang
kateter secara langsir
pada ruptur uretra anterior totak, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silikon
selama 3 minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan
kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang
cedera. Kateter sistostomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem
tenyata penderita bisa buang air kecil.