21
55 BAB IV ANALISIS A. Substansi Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Kebahagiaan Ibn Miskawaih merupakan salah seorang tokoh muslim di bidang filsafat akhlak yang juga sejarawan yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450H). perlu dipahami bahwa pemikiran Ibn Miskawaih tentang kebahagiaan kurang banyak dikenal oleh bangsa Indonesia, akan tetapi dikalangan tokoh tertentu seperti Muhammmad Natsir 1 dan Ahmad Azhar Basyir 2 telah mengkaji sebagian pemikirannya. Para pemikir Islam umumnya memberikan penilaian bahwa pemikiran akhlak Ibn Miskawaih ini antara lain didasarkan pada dua asumsi pokok yaitu pertama : jiwa manusia yang dianalisis secara filosofis dan kedua : analisis teori doktrin jalan tengah dalam akhla, selain itu juga didasarkan kesaman analisisnya dengan etika Aristoteles 3 . Sebagai seorang tokoh Ibn Miskawaih memperoleh banyak gelar, Abd al- Aziz Izzat misalnya menyatakan bahwa Ibn Miskawaih adalah pemikir Islam pertama di bidang akhlak, karena itu ia dapat digolongkan sebagai guru ketiga setelah al Farabi dan Aristoteles 4 . MS Khan menilai Ibn Miskawaih telah berhasil dengan baik mengkombinasikan pemikiran Yunani dengan al Qur’an dan Sunnah 5 . Majid Fakri memberikan gelar kepada Ibn Miskawaih sebagai Chief Moral Philoshopher of Islam 6 . Secara garis besar konsep kebahagiaan menurut Ibn Miskawaih merupakan konsep yang unik, tetapi untuk dunia sufi, pemikiran ini merupakan hal yang sangat biasa. Ini dikarenakan pemikiran Ibn Miskawaih tentang 1 Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bandung, Sumur bandung, 1961, hlm. 10-11 2 Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih : Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta : Nur Cahaya, 1983, hlm.8 3 Ahmad Abd al Hamid al Syair, Manahaj al Bahs al Khuluqi fi al Islami, Kairo, Dar al Thiba alt al Mahmudiyyat, Kairo, 1978, hlm. 28-29 4 Abd al Aziz Izzat, Ibn Miskawaih : Falsafatuhu al Akhlaqiyyat wa Mashadiruha, Kairo, Mustafa al Babi Halaqi, 1946, hlm. 361 5 MS. Khan, An Unpublied Treatise of Miskawaih on Justice or Risala fi Mahiyyat al Adl li Miskawaih, Leiden, Ej. Brill, 1964, hlm. 9 6 Majid Fakri, Ethical Theories is Islam, Leiden, Ej. Brill, 1991, hlm. 107

BAB IV ANALISIS A. Substansi Pemikiran Ibn Miskawaih ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1-2004-mushonnef4-833-Bab... · merupakan konsep yang unik,

Embed Size (px)

Citation preview

55

BAB IV

ANALISIS

A. Substansi Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Kebahagiaan

Ibn Miskawaih merupakan salah seorang tokoh muslim di bidang filsafat

akhlak yang juga sejarawan yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi

(320-450H). perlu dipahami bahwa pemikiran Ibn Miskawaih tentang

kebahagiaan kurang banyak dikenal oleh bangsa Indonesia, akan tetapi

dikalangan tokoh tertentu seperti Muhammmad Natsir1 dan Ahmad Azhar

Basyir2 telah mengkaji sebagian pemikirannya. Para pemikir Islam umumnya

memberikan penilaian bahwa pemikiran akhlak Ibn Miskawaih ini antara lain

didasarkan pada dua asumsi pokok yaitu pertama : jiwa manusia yang dianalisis

secara filosofis dan kedua : analisis teori doktrin jalan tengah dalam akhla,

selain itu juga didasarkan kesaman analisisnya dengan etika Aristoteles3.

Sebagai seorang tokoh Ibn Miskawaih memperoleh banyak gelar, Abd al-

Aziz Izzat misalnya menyatakan bahwa Ibn Miskawaih adalah pemikir Islam

pertama di bidang akhlak, karena itu ia dapat digolongkan sebagai guru ketiga

setelah al Farabi dan Aristoteles4. MS Khan menilai Ibn Miskawaih telah

berhasil dengan baik mengkombinasikan pemikiran Yunani dengan al Qur’an

dan Sunnah5. Majid Fakri memberikan gelar kepada Ibn Miskawaih sebagai

Chief Moral Philoshopher of Islam6.

Secara garis besar konsep kebahagiaan menurut Ibn Miskawaih

merupakan konsep yang unik, tetapi untuk dunia sufi, pemikiran ini merupakan

hal yang sangat biasa. Ini dikarenakan pemikiran Ibn Miskawaih tentang

1 Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bandung, Sumur bandung, 1961, hlm. 10-11 2 Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih : Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta

: Nur Cahaya, 1983, hlm.8 3 Ahmad Abd al Hamid al Syair, Manahaj al Bahs al Khuluqi fi al Islami, Kairo, Dar al

Thiba alt al Mahmudiyyat, Kairo, 1978, hlm. 28-29 4 Abd al Aziz Izzat, Ibn Miskawaih : Falsafatuhu al Akhlaqiyyat wa Mashadiruha, Kairo,

Mustafa al Babi Halaqi, 1946, hlm. 361 5 MS. Khan, An Unpublied Treatise of Miskawaih on Justice or Risala fi Mahiyyat al Adl li

Miskawaih, Leiden, Ej. Brill, 1964, hlm. 9 6 Majid Fakri, Ethical Theories is Islam, Leiden, Ej. Brill, 1991, hlm. 107

57

kebahagiaan yang berorientasi pada “penyaksian” Tuhan menjadi hal yang

mudah ditemukan dalam konsep, Ibn al-Arabi, al-Hallaj dan Robiah al-

Adawiyah. Berikut ini hal-hal menarik dari pemikiran Ibn Miskawaih tentang

kebahagiaan.

“Kebahagiaan seperti kami utarakan sebelumnya adalah kebaikan. Kebahagiaan merupakan kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Sesuatu bisa kita sebut sempurna kalau saja sesuatu itu, setelah berhasil kita peroleh, maka kita tidak akan memerlukan sesuatu yang lainnya lagi. Oleh karena itu kebahagiaan merupakan kebaikan yang paling utama diantara seluruh kebaikan lainnya, akan tetapi untuk memperoleh kesempurnaan ini, kita memerlukan kebahagiaan lain, tingkatan terakhir dalam kebajikan adalah apabila seluruh perbuatan manusia bersifat Ilahi. Seluruh perbuatannya merupakan kebaikan mutlak. Kalau sudah menjadi kebaikan mutlak, niscaya perbuatan itu dilakukan pelakunya demi sesuatu yang bukan perbuatan itu sendiri. Karena kebaikan mutlak merupakan tujuan yang diupayakan demi tujuan itu sendiri. Sedangkan tujuan, terutama jika tujuan itu amat mulia, maujud karena tujuan itu sendiri. Perbuatan manusia, kalau seluruhnya sudah menjadi perbuatan Ilahi, maka seluruh perbuatannya ini keluar dari diri sejatinya, yang merupakan akalnya yang bersifat Ilahi, dan esensi realnya berarti esensi-Nya juga. Seluruh hawa nafsunya akan pupus melalui berbagai kejadian yang menimpa dua jiwa binatang serta imajinasi, yang timbul dari dua jiwa binatang tersebut dan dari jiwa akal. Akibatnya, pada tahap ini dia melakukan apa yang ingin diperbuatnya tanpa keinginan apa pun, kecuali demi perbuatan itu sendiri. Tujuannya berbuat adalah demi perbuatan itu sendiri. Inilah pola aktifitas Ilahi. Maka kondisi semacam ini merupakan akhir dari tingkatan-tingkatan kebajikan dimana tindakan manusia menyerupai tindakan prinsip pertama, yaitu pencipta alam semesta. Maksud saya, bahwa apa saja yang dilakukannya tanpa disertai dengan harapan memperoleh untung, imbalan, ataupun tambahan, akan tetapi perbuatannya itu merupakan tujuannya itu sendiri. Dia melakukan perbuatan itu demi esensi perbuatan itu sendiri dan esensinya sendiri, atau dengan kata lain, dia melakukan demi perbuatan itu sendiri dan demi esensinya sendiri. Esensinya sendiri itu tak lain adalah akal Ilahiah itu sendiri.7

Gagasan kebahagiaan dalam perspektif Ibn Miskawaih, sebenarnya

bukanlah untuk konsumsi umum, tetapi ia mengharapkan semangat pencapaian

kebahagiaan itu masuk kepada keinginan setiap orang.

7 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat

Etika, terj. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 98

58

Adapun saya sendiri (Ibn Miskawaih), mengatakan bahwa tujuan saya membeberkan tingkatan terakhir ini dari kebahagiaan bukanlah agar para remaja mencapainya, tetapi agar mereka mendengarnya dan mengetahui bahwa tingkatan ini adalah tingkatan kearifan yang dicapai hanya oleh orang-orang yang menduduki tingkatan tertinggi (saya menyebutkannya juga), agar siapa pun yang membaca tulisan ini dapat mengupayakan tingkatan pertama kebahagiaan dengan mengolah akhlak yang sudah saya kemukakan. Jika dia berhasil setelah itu dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dan seluruh yang pernah saya cuplik dari Aristoteles, supaya dia menapaki langkah-langkah filsafat dan berupaya mendakinya, dan Allah Swt akan menolongnya dan memberikan keberhasilan kepadanya. Sekiranya manusia mencapai tingkatan kebahagiaan semacam itu, lalu bersama jasad kasarnya dia meninggalkan dunia rendah ini, dan hanya bersama jiwanya yang baik yang telah diupayakan untuk disucikan dari kotoran fisik demi kehidupan akhirat yang tinggi, maka dia akan berhasil dan menyiapkan spiritualitas untuk bertemu dengan pencipta Allah Swt. Dia akan bebas dari menginginkan fakultas-fakultas yang menghalanginya dari kebahagiaan, lantaran dia akan bersih dan bebas dari itu semua. Dia akan mensucikan diri untuk bertemu dengan Tuhan-Nya, Tuhan alam semesta dan siap menerima karunia dan pancaran sinar-Nya, yang tadinya belum siap diterimanya. Pada tahap inilah orang yang bertaqwa dan beramal saleh, sesuatu yang senantiasa ditunjukkan melalui firman-Nya yang berbunyi: “Tak seorangpun pernah tahu apa yang disembunyikan untuk mereka, berupa macam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mereka”. Atau sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Yang tak sebelah matapun pernah melihat, tak sebuah telingapun sempat mendengar, dan tak sekalipun pernah terbesit di hati manusia”. Setelah membahas, secara ringkas dua tingkatan dari kebahagiaan puncak ini, cukup jelas bahwa satu dari keduanya berkenaan dengan kita8.

Konsep kebahagiaan Ibn Miskawaih yang secara garis besar berorientasi

pada ma’rifat kepada Allah sebagai kebahagiaan hakiki akan semakin lengkap

apabila dipadukan dengan “perjalanan cinta” Rabi’ah al-Adawiyah, pemikiran al

Ghazali, Mansur al-Hallaj, dan Maulay al-Arabi ad-Darqowi.

1. Rabiah al-Adawiyah

Rabiah al-Adawiyah (wafat 801) adalah satu diantara para sufi

Basrah (sekarang Iraq) yang paling terkenal. Dia dilahirkan dalam keluarga

8 Ibn Miskawaih, ibid., hlm. 101

59

yang sangat miskin. Ketika kedua orang tuanya meninggal, dia dijual sebagai

budak, tetapi akhirnya dibebaskan oleh tuannya karena kesufian dan

kesalehannya. Cinta dan gairah Rabiah kepada Allah sangat mendalam

hingga tidak ada satupun ruangan yang tersisa dan tertinggal di hati atau

pikirannya untuk pikiran atau kepentingan lain. Ia tidak menikah, dan dunia

tidak ada artinya baginya. Ia menutup jendela kamarnya di musim semi tanpa

melihat keluar pada bunga-bungaan, namun larut dalam kontemplasi kepada

yang meliput semuanya, Sang Khaliq. Kepada Tuhan, dalam bahasa puitis,

dia ungkapkan:

“O..Kekasihku hatiku, aku tidak mempunyai sesuatu pun seperti

Engkau

Maka di hari ini, kasihanilah para pendosa yang datang kepada-Mu

O Harapan-ku, saudaraku, dan Kegembiraanku

Hati ini tidak dapat mencintai apa pun kecuali Engkau”.9

Bagi Rabiah, satu-satunya yang penting dan berarti baginya adalah

kekhusukannya dalam melebur dirinya dengan Allah Swt, meletakkan semua

harapannya pada Tuhan dan meleburkan dirinya dalam puji-Nya. Shalat

malam baginya menjadi percakapan yang manis dan membahagiakan antara

ia dan kekasihnya.

Suatu ketika, Rabiah bertanya pada Sufyan ath-Thawri, seorang sufi

Basrah, “Apa yang engkau ketahui tentang kemurahan?” dia menjawab, bagi

penduduk dunia ini, kemurahan berarti memberikan milik seseorang, sedang

bagi alam nanti, kemurahan mencakup pengorbanan diri seseorang. Rabiah

sangat tidak setuju, dan berkata bahwa hal itu salah. Menurut Rabiah

kemurahan adalah untuk menyembah Allah karena cinta kepada Dia saja,

dan bukan untuk menerima balasan atau manfaat apa pun pada akhirnya.

9 Lihat dalam Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, terj.Ibnu Burdah, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 170

60

Dalam sejarah sufisme, Rabiah telah menjadi legenda melambangkan

kesetiaan dan ketaatan karena cinta sejati sepanjang jalan asketisisme dan

cinta10.

2. Al-Ghazali

Kebahagiaan menurut al-Ghazali11 secara garis besar hampir sama

dengan yang dikonsepkan oleh Aristoteles yang dalam hal ini juga identik

dengan pendapat Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali kebahagiaan

merupakan kebaikan utama manusia yang terdiri atas dua macam

kebahagiaan utama yaitu kebahagiaan ukhrowi dan kebahagiaan duniawi.

Kebahagiaan ukhrowi adalah kebahagiaan sejati sedangkan kebahagiaan

duniawi adalah kebahagiaan yang bersifat metaforis12. Keasyikan dengan

kebahagiaan ukhrowi bagaimanapun tidak akan memalingkan perhatian

manusia dari jenis-jenis kebahagiaan atau kebaikan lainnya.

Menurutnya kebahagiaan ukhrowi itu tidak dapat dicapai tanpa

kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk mencapainya yang

terdiri dari pertama ; empat kebaikan utama yang pada intinya merupakan

dasar-dasar agama, kedua ; kebaikan-kebaikan jasmaniah seperti kesehatan,

kekuatan, hidup teratur dan panjang umur, ketiga : kebaikan-kebaikan

10 A.J. Arbery dalam hal ini memberikan deskripsi menarik. Menurutnya ungkapan-

ungkapan puitis Rabi’ah adalah sebuah nada zuhud, ia selalu menolak lamaran beberapa pria salih dengan mengatakan “akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa sedangkan aku, hal itu tak ada karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujut dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya, aku hidup dalam naungan firman-Nya, bukan darinya” Rabiah tenggelam dalam kesadaran adakan kedekatan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada seorang tamu yang menanyakan tentang sakitnya. “Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati dan aku merasa Tuhanku cemburu kepadaku lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia”. Nama Rabi’ah merupakan maskot dalam konsep “Cinta Ilahi” syair pendeknya tentang hal ini sering dikutip dalam literatur sufi.

Kucintai Engkau lantaran aku cinta Dan lantaran Engkau patut dicintai Cintakulah yang membuatku rindu kepada-Mu Demi cinta suci ini, sibaklah Tabir penutup tatapan sembahku Janganlah engkau puji aku lantaran itu Bagi-Mulah segala puja dan puji

Lebih lanjut tentang kajian ini lihat A.J. Arbery, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj. Bambang Herawan, Mizan, Bandung, 1985, hlm. 49-50

11 Pemikiran al-Ghozali secara sekilas dapat dilihat dalam Abdul Mujib, Biografi Imam al Ghozali Beserta Karya-Karyanya, Bintang Remaja, Surabaya, 1996

12 Wacana ini juga dapat ditemukan dalam Jurnal Paramadina Vol.1 No.1 Juli - Desember 1999

61

eksternal, seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial dan kehormatan,

keempat : kebaikan-kebaikan Tuhan seperti petunjuk dan pertolongan.

Al-Ghazali juga berpendapat bahwa ada korelasi antara kebahagiaan

dan kesenangan. Ini bisa dilihat dari tipologi kebaikan yang menurutnya ada

dua, pertama : kebaikan yang bermanfaat baik secara terus menerus maupun

sewaktu-waktu, dan kedua : kebaikan yang diinginkan dalam dirinya sendiri

maupun untuk mencari sesuatu yang lain. Sedangkan kesenangan menurut

al-Ghazali dibagi menjadi tiga, pertama : kesenangan intelektual, seperti

kesenangan pengetahuan dan kebijaksanaan, kedua ; kesenangan biologis

yang ada pada manusia dan binatang seperti makan, minum dan seks, ketiga :

kesenangan sosial dan politik. Kesenangan yang paling terhormat dan hanya

dimiliki oleh manusia adalah kesenangan pertama yang bersifat abadi13.

3. Mansur al-Hallaj

Mansur al-Hallaj, dilahirkan di propinsi Fars di Persia, tahun 858.

Ayahnya seorang pemintal kapas, yang merupakan arti kata Hallaj. Ia adalah

murid setia beberapa sufi terkenal di masanya, termasuk Sahal al-Tustari dari

Basrah, Amr al-Makki dan Imam Junaid dari Baghdad. Bagaimanapun di

kemudian hari sebagai pertanggungjawaban atas ucapannya “ana” Haqq"”

yang berarti Akulah kebenaran, dia dituduh menyebarkan sebuah klaim

religius yang berbahaya dan tidak diterima dan karenanya dia dieksekusi

oleh pemerintahan ortodoks, tahun 992. Dari fragmen karyanya yang

selamat, kita dapat menduga bahwa ia adalah seorang sufi yang dimabukkan

oleh cinta Ilahiyah. Puisinya yang sangat lembut dan penuh ekspresi

mendalam tentang kerinduan dan cinta spiritual. Misalnya, ia melagukan:

Bunuhlah aku, Oh sahabat terpercayaku

Karena dalam kematianku kutemukan kehidupanku.14

Cinta, dalam kenyataannya adalah kandungan utama dari doa dan

ucapan Mansur al-Hallaj yang menjelaskan cinta Ilahiyah, ia berkata :

13 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhawi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

1996, hlm. 137 14 Syaikh Fadhlallah, op.cit., hlm. 175

62

Cinta adalah ketika kamu tetap berdiri di depan Kekasihmu;

Ketika engkau kehilangan semua sifatmu

Lalu sifatNya menjadi sifatmu.15

Para sufi belakangan sampai masa sekarang, telah menetapkan

Mansur al-Hallaj sebagai lambang orang yang mabuk karena cinta

ketuhanan.

4. Moulay Al-Arabi Ad-Darqowi

Syekh Moulay Al-Arabi Ad-Darqowi dilahirkan di sekitar

pertengahan abad kedelapan di sebuah desa dekat Fes di Maroko. Dia belajar

al-Qur’an dan hukum Islam dibawah bimbingan guru tradisional didesanya,

kemudian pergi ke Fes tempat ia bertemu banyak ulama hukum Islam, juga

dengan banyak guru spiritual dalam ilmu kebatinan, tetapi belum menjadi

gurunya yang sebenarnya, ketika menyadari bahwa dirinya membutuhkan

seorang guru spiritual untuk membimbingnya, Moulay Arabi pergi ke

makam Moulay Idris, seorang sufi besar yang dimakamkan di Fes, dan

memulai mengaji al-Qur’an dengan tujuan agar mendapatkan pertolongan

dari Tuhan dalam mencari guru dan pembimbing spiritualnya. Setelah enam

kali mengkhatamkan al-Qur’an dan tidak ada patah hati dan sedih. Namun,

pertolongan Allah akhirnya datang kepadanya dan dia bertemu dengan

Moulay al-Imrani, yang terkenal dengan nama Sidi Ali Jamal, tahun 1767.

Dia berkata; “Oh guru, saya telah lama sekali mencari seorang Syekh”.

Diantara jawaban sufi Ali al-jamal yang dikutip Syekh ad-Darqowi dalam

tulisannya antara lain:

Inginkah kamu berada dalam kemanisan sedangkan hidup ini penuh dengan kepahitan. Inginkah kamu bersenang-senang sedang orang lain kelaparan. Yang kamu inginkan berada di antara kamu dan aku Ketika terpenuhi dan berjalan baik, dan bahwa Apa yang ada diantara aku dan dunia adalah sebuah kehancuran.

15 Ibid., hlm. 175

63

Jika cintamu benar-benar terbukti, Maka semuanya akan mudah, dan semua yang ada di bumi seperti adanya. Jika tidak ada api dan sengatan lebah Kenikmatan dari madu dan madunya Tidaklah akan sempurna. Ketika orang disibukkan dengan peribadatan, Maka kamu harus sibuk dengan yang disembah Ketika mereka disibukkan dengan cinta, Sibukkanlah dirimu dengan sang Kekasih.16

Ketiga pemikir ini memiliki korelasi pemikiran yang sama bahwa

hakekat kebahagiaan dan esensi dari kenikmatan adalah tercapainya sebuah

strata mistik yang memungkinkan manusia begitu dekat dengan Tuhan. Dalam

posisi ini tidak ada hal lain yang dibutuhkan kecuali tetap terlena dengan

keadaan tersebut tanpa ada niatan untuk mengakhirinya, tetapi bagaimanapun

juga ini adalah wilayah dan prestasi bagi orang-orang yang berhasil melalui

tahapan-tahapan spiritual secara sempurna. Tahapan ini menurutnya ada tiga

tingkatan, tingkatan dimana manusia mengarahkan kehendak dan upayanya

menuju kemaslahatan dirinya.

Aristoteles berkata: “Tingkatan kebajikan yang pertama yang dinamakan kebahagiaan adalah tingkatan dimana manusia mengarahkan kehendak dan upayanya menuju kemaslahatan dirinya di dunia inderawi ini termasuk perkara-perkara jiwa, tubuh, maupun keadaan jiwa yang berkaitan erat dengannya. Dalam kasus ini, perilaku manusia dalam keadaan-keadaan inderawi tidak berlebihan tapi sesuai dengan keadaan ini. Ini merupakan satu kondisi dimana manusia kiranya dipengaruhi hawa nafsu, tetapi dalam batas yang wajar, tidak berlebihan. Pada posisinya yang wajar seperti ini, dia lebih mungkin melakukan perbuatan yang benar atau tidak menyimpang dari penilaian nalar, dalam kehidupan sehari-harinya yang banyak bergelut dengan perkara-perkara inderawi. Setelah itu tingkatan kedua, pada tingkatan ini manusia mengarahkan kehendak dan upayanya untuk berbuat baik terhadap jiwa dan tubuhnya tanpa terpengaruh dengan hawa nafsu dan memperhatikan harta benda kecuali bila terpaksa. Setelah itu, tingkatan manusia dalam kebajikan ini terus meningkat, karena derajat dan tingkatan dalam kebajikan seperti itu banyak jumlahnya. Sebagian lebih tinggi dari pada sebagian lainnya. Dan sebab itu semua adalah karena berbeda-bedanya manusia; pertama dalam tabiat, kedua dalam kebiasaan, ketiga dalam peringkat, ilmu

16 Op. Cit, hlm. 198

64

pengetahuan, dan pemahaman, keempat dalam cita-cita dan terakhir dalam keinginan dan perhatian dan ada juga yang berpendapat dalam nasib baik. Kemudian pada akhir dari tingkatan kebajikan ini, orang melangkah menuju kebajikan Ilahi murni, yang di dalam tingkatan ini orang tak merindukan sesuatu yang akan datang, tak menoleh ke sesuatu yang telah lewat, tak mengharapkan yang jauh, tak terpaku dengan yang dekat, tak takut pada keadaan tertentu, tak mengharapkan nasib baik dan keberuntungan jiwa, bahkan kebutuhan tubuhnya, fakultas fisiknya, fakultas jiwanya. (dalam tingkatan ini) sisi akal (manusia) berupaya menumpahkan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai tingkatan kebajikan yang paling tinggi, yaitu menghabiskan seluruh waktunya untuk persoalan-persoalan Ilahi, menekuni dan mendalami tanpa menuntut balasan apa pun. Tegasnya upaya inisiatif serta ketekunan yang dilakukannya untuk mendalami persoalan-persoalan Ilahi itu hanya untuk esensi persoalan-persoalan itu sendiri, tingkatan ini terus meningkat pada diri manusia, sesuai dengan motivasi, kecenderungan, upaya dan tekadnya dan tergantung pada kesiapan orang yang telah mencapai tingkatan kebajikan itu, dengan kondisi yang telah kami tuturkan untuk mengikuti contoh sebab pertama17..

Tahapan-tahapan mencapai kebahagiaan ini semakin jelas apabila

dipadukan dengan konsep mistik Ronggowarsito dalam Serat Wirid Hidayat Jati.

Tingkatan kebahagiaan menurut Ibn Miskawaih dimulai dari kebahagiaan

tingkat rendah menuju kebahagiaan tingkat tinggi (Ma’rifat). Kebahagiaan

tingkat rendah adalah kebahagiaan manusia biasa yang masih terkait dengan

hedonisme duniawi sedangkan kebahagiaan hakiki adalah milik orang-orang

khusus yang menyucikan diri melalui thariqoh. Persoalannya adalah ia tidak

menjelaskan secara detail tingkatan itu dan pemikiran ini dapat ditemukan dalam

ajaran mistik Ronggowarsito.

Mistik adalah suatu kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan

komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tahapan batin

di dalam meditasi.18 Ajaran mistik yang diusahakan oleh segolongan umat Islam

dan disesuaikan dengan ajaran Islam disebut tasawuf.19 Tasawuf timbul pada

17 Ibn Miskawaih, op.cit, hlm. 97 18 Lihat dalam Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, Bentang,

Yogyakarta, 1995, hlm. 195 19 Abu Bakar Acjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik, Ramadani, Solo,

1985, hlm. 29

65

pertengahan abad ke-2 H. (Abad ke-8 M), sesudah agama Islam menyebar dan

dipeluk pula oleh para pecinta ajaran mistik yang berada di daerah-daerah luar

Jazirah Arab. Tujuan utama menjalankan tasawuf untuk menetapkan keyakinan

agamanya dengan menyaksikan langsung Dzat Tuhan yang dalam ajaran tasawuf

disebut Hakekat atau Kasunyatan. Orang yang dapat mencapai tingkat ini

disebut Makrifat. Alat untuk melihat Tuhan atau makrifat, bukan panca indera

atau akal, akan tetapi adalah kalbu (mata hati, indera batin). Dalam paradigma

tasawuf, hati ini diibaratkan cermin. Apabila cermin hatinya dibersihkan dari

segala kotoran atau ikatan keduniaan, dan diarahkan ke hadirat Tuhan dengan

meditasi (dzikir), akan dapat menerima nur gaib dari alam gaib dan dari Tuhan,

sehingga Tuhan dapat terlihat dalam cermin hatinya. Itulah yang disebut dengan

makrifat. Dengan penghayatan makrifat, para sufi (pengikut ajaran tasawuf)

keyakinan agamanya menjadi semakin mantap. Yakni dapat mencapai tingkat

haqul yakin, bukan hanya ainul yaqin atau ilmu yaqin saja. Jalan untuk mencapai

penghayatan makrifat itu disebut tarekat. Tarekat ini pada dasarnya terdiri dari

dua bagian, yaitu penyucian hati dari segala bentuk ikatan keduniaan yang

dicapai melalui tujuh taraf peningkatan suasana batin yang dinamakan maqam.

Yaitu maqam taubat, wara (perwira, wirangi), zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan

rela. Penyucian hati melalui tujuh maqam ini atau tujuh langkah ini pada

hakikatnya merupakan pembinaan ke arah budi luhur.

Sesudah hatinya menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan

dunia, (apa-apa selain Tuhan), baru melangkah ke bagian kedua, yaitu meditasi

dan samadi (manekung), ialah mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan

kesadaran untuk merenungkan keagungan Tuhan dengan melalui membaca

dzikir. Meditasi atau dzikir pada hakikatnya berusaha mengalihkan kesadaran

terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin. Apabila usaha ini mendapat

hasil (mendapat keanugrahan), di dalam dzikir tersebut ia akan dapat melihat nur

gaib di dalam kaca hatinya. Dengan sinar gaib itu bermulalah penghayatan alam

gaib, maka seluruh kesadarannya telah berpusat ke alam batin, sehingga

66

kesadaran terhadap alam luar fana’ (lenyap).20 Penghayatan makrifat kepada

Tuhan yang merupakan tujuan utama yang dicita-citakan oleh para penganut

mistik, tidak dapat dinkmati oleh setiap orang, karena penyucian hati yang

menjadi syarat mutlak bagi tercapainya penghayatan makrifat atau penghayatan

kesatuan dengan Tuhan, adalah cukup berat. Oleh karena itu penghayatan

makrifat kepada Tuhan hanya bisa dicapai dan dinikmati oleh segolongan kecil

orang-orang pilihan. Orang awam tidak bisa mencapainya dan tidak akan bisa

memahaminya.21

Adapun mengenai puncak penghayatan makrifat dalam tasawuf terdapat

dua paham. Satu sisi mayoritas penganut tasawuf mempertahankan konsep

dualisme dalam ajaran Islam, menarik garis perbedaan yang tegas antara Tuhan

sebagai Dzat yang wajibul wujud dan bersifat transecendent (mengatasi alam).

Penganut paham ini menyatakan bahwa makrifat yang tertinggi hanyalah sampai

kehadirat Tuhan, Insan Kamil menurut paham ini adalah manusia yang hidupnya

diimbasi sifat-sifat Ketuhanan, laksana bayang-bayang Tuhan di atas alam.

Tokoh golongan ini adalah al-Ghozali (wafat 1111 M). Di samping itu terdapat

segolongan kecil para penganut tasawuf yang cenderung ke arah paham

pantheisme dan monisme. Aliran ini memandang Tuhan bersifat immanent atau

bersemayam dalam diri manusia atau alam semesta. Golongan ini mengatakan

bahwa dalam puncak kesatuan pengayatan makrifat manusia mengalami

penghayatan kesatuan dengan Tuhan atau Manunggaling Kawulo Gusti. Di

dalam penghayatan manunggaling dengan Tuhan, manusia merasa sama dengan

Tuhan. Dalam keadaan manunggal seperti ini timbul ungkapan yang mengaku

dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya Husain bin Mansur al-Hallaj, mengatakan

“Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan). Akibat ungkapan yang mengagetkan dan

menggegerkan masyarakat Islam ini al-Hallaj akhirnya dijatuhi hukuman mati

pada tahun 922 M, atas tuntutan ulama-ualama pembela syariat. Bagi para

penganut paham ini, batas antara manusia dengan Tuhan berbaur. Banyak

20 Lihat Zoelmolder, Manunggaling Kawulo Gusti; Pantheisme dan Monisme dalam Sastra

Sulur Jawa, Suatu Studi Filsafat, terj.Dick Hartono, Gramedia, Jakarta, 1990 21 Lihat dalam Abdul Munir Mulchan dkk., Bisnis Kaum Sufi; Studi Tarekat dalam

Masyarakat Industri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 21-30

67

ungkapan tentang Tuhan bersifat Anthropomorphisme. Muhammad Ibnu

Fadlillah (seorang sufi Gujarat wafat 1620 M) mengajarkan bahwa alam dan

manusia tercipta dari tajalli (penampakan keluar) Dzat Tuhan sebanyak tujuh

martabat. Paham Martabat Tujuh ini mempengaruhi pemikiran-pemikiran ulama

sufi Aceh abad ke-17 (Hamzah Fansuri, Syamsudin Pase, Abdurrauf Singkel,

Ar-Raniri). Paham inilah yang kemudian mempengaruhi ajaran mistik

R.Ng.Ranggawarsito dalam Wirid Hidayat Jati.22

Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu paham ketuhanan dalam

tasawuf yang cenderung ke arah pantheisme-monis. Suatu paham yang

mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir

dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan, Tuhan sebagai Dzat yang mutlak

(kadim) tidak dapat diketahui oleh panca indera, kalaupun khayal (waham).

Tuhan sebagai wujud mutlak baru bisa dikenal setelah bertajalli (menampakkan

keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat itu berurutan sebagai berikut:

Alam ahadiyat yaitu martabat Dzat yang bersifat la’ta’yun atau martabat sepi. Yaitu Dzat yang bersifat mutlak, tiada dapat dikenal oleh siapa pun. Martabat Wahdat dan disebut pula Hakikat Muhammadiyah (Nur Muhammad), yaitu permulaan ta’yun (nyata yang pertama) merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman dimana belum ada pemisahan satu terhadap lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim dan maklum. Atau ibarat biji belum ada pemisah antara akar, batang dan daun. Martabar wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia, wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta’yun kedua dimana setiap bagian telah nampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap Dzat, sifat, asma, serta segala perwujudan telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah martabat lahir dan merupakan a’yan kharijah, yaitu martabat alam arwah (ibarat segala sesuatu yang masih mujarrad dan basit. Martabat alam mitsal, yaitu ibarat segala sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi dan tak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Martabat alam ajsam, ibarat segala sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya dan dapat dibagi-bagi. Martabat insan kamil, mencakup keenam martabat yang terdahulu, yaitu tiga martabat batin (ahadiyat, wahdat dan wahidiyat) dan tiga martabat lahir (alam arwah, alam mitsal, dan alam ajsam)23.

22 Lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi; Jejak-jejak Sufi, Pengembangan Insan Kamil Ibn

Arabi oleh Konsep al-Jili, Paramadina, Jakarta, 1997 23 Simuh, op. cit., hlm 196

68

B. Konfigurasi Kebahagiaan Ibn Miskawaih Dalam Perspektif Filsafat Moral

Filsafat moral dalam perspektif Puspoprojo secara umum dapat

dikelompokkan menjadi empat yaitu, hedonisme, utilitarianisme, stoisisme dan

evolusimisme.24 Pertanyaan menarik yang layak untuk dikedepankan dalam hal

ini adalah dimanakah orang dapat menemukan kebahagiaan sempurna yang

menentukan arah baginya? Apakah tujuan terakhir objektif manusia?

Hedonisme secara garis besar menyatakan bahwa kenikmatan atau

kesenangan egoistis adalah tujuan terakhir tanpa perlu memperhatikan hidup

setelah hidup ini. Utilitarianisme memilih kesenangan altroisme dalam mencari

kesenangan tersebar dari jumlah yang terbanyak dan mengukur moralitas

menurut kegunaannya dalam memajukan kebaikan bersama. Stoisime

berpendapat bahwa kebajikan adalah tujuan terakhir manusia, memandang hina

kesenangan, mengendalikan emosi dengan apatis dan membina rasa pasrah

kepada sang nasib yang tidak dapat dibelokkan. Sedangkan evolusianisme

memandang taqdir manusia sebagai evolusi ke arah suatu keadaan yang tidak

diketahui, tetapi lebih tinggi, dimana ras manusia akan menemukan penyelesaian

atas konflik. Konfliknya dalam merealisasikan diri yang penuh, inilah

kebahagiaan. Dari keempat aliran ini pemikiran kebahagiaan Ibn Miskawaih

tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori salah satunya. Hal ini dikarenakan

secara ajaran dan tipologi berbeda, tetapi bagaimanapun juga konsep Ibn

Miskawaih dapat didekatkan dengan konsep hedonisme etis yang digagas Franz

Magnis Suseno.25 Gagasan in didasarkan pada pemahaman bahwa manusia

adalah makhluk dengan banyak nilai,26 jadi kebahagiaan tentu tidak tercapai

kalau manusia hanya mencari salah satu saja. Apalagi kalau nilai-nilai itu

24 Puspoprojo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Pustaka Grafika,

Bandung, 1999, hlm. 59-79 25 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,

Yogyakarta, 1987, hlm. 113 26 Manusia yang memiliki banyak dimensi ini dalam perspektif Louis Leahy disebut sebagai

sebuah misteri, semakin banyak dikaji, banyak hal yang belum diketahui semakin beragam. Lihat Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri; Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1985. Wacana tentang dimensi manusia juga dapat ditemukan dalam Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, dan Thoyibi, Psikologi Islam, UMS Press, Surakarta, 1996

69

bersifat inderawi dan terbatas. Pluralisme nilai itu tidak berarti bahwa manusia

seakan-akan harus berusaha untuk mencapai semua nilai itu, tetapi manakah di

antara nilai-nilai bukan jasmani perlu diberikan prioritas, sehingga jelaslah

bahwa orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani

tidak asing baginya yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan,

tanggung jawab, moral, estetis, dan religius.

Konsep hedonisme etis ini dikorelasikan dengan pemikian kebahagiaan

Ibn Miskawaih pada tahap pertama, yaitu pencapaian kebahagiaan orang-orang

biasa yang belum sampai pada kebahagiaan haqiqi yang selalu berorientasi

dengan nilai-nilai ketuhanan.

C. Spiritual Quotient; Aktualisasi Pemikiran Kebahagiaan Ibn Miskawaih

Pemikiran Ibn Miskawaih tentang kebahagiaan secara umum dapat

diaplikasikan kepada masyarakat dalam bentuk spiritual quotient (kecerdasan

spiritual). Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang

bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar

ego atau jiwa dasar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk

mengetahui nilai-niai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan

nilai-nilai baru. Menurut Sinetar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang

mendapat dorongan dan efektifitas yang terinspirasi, penghayatan ketuhanan

yang di dalamnya kita semua menjadi bagian. Menurut Khalil Khavari,

kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kuta (ruh

manusia). Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya, kita

harus mengenalinya apa adanya, menggosoknya, sehingga berkilab dengan tekad

yang besar dan mengunakannya untuk memperoleh kebahagiaan. Kecerdasan

spiritual ini dapat diturunkan dan ditingkatkan, tetapi kemampuannya untuk

ditingkatkan nampaknya tidak terbatas. Sedangkan menurut Muhammad Zuhri,

kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk

berhubungan dengan Tuhan.27

27 Definisi-definisi ini dapat ditemukan dalam Agus Noermanto, Quantum Quotient; Cara

Pikir Melejitkan IQ, EQ dan SQ Yang Harmonis, Nuansa, Bandung, 2001, hlm. 15-17

70

Menurut Sukidi,28 ada tiga kunci dasar dari spiritual quotient yang

berkorelasi dengan kebahagiaan. Ketiga kunci dasar tersebut adalah pertama,

cinta, cinta adalah perasaan (love is feeling), yang lebih menekankan kepekaan

emosi dan sekaligus menjadi energi kehidupan, maksudnya hidup ini menjadi

energik atau tidak. Sedikit banyak tergantung dari energi cinta. Energi ini

bersifat netral, jika kita pandai-pandai memaknai cinta secara positive, maka ia

akan menuntun hidup ini lebih bahagia, dan sebaliknya. Menurut Profesor Cholil

Khavari, energi cinta dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, positive love

dan negative love. Cinta positif mengalir secara konstruktif dan dipersembahkan

untuk kebajikan (the servis of the good), sedangkan cinta negatif berlangsung

secara destruktif dan diinvestasikan pada kerja-kerja yang buruk. Kunci

kecerdasan spiritual untuk meraih kebahagiaan didasarkan pada cinta sang

pencipta (love of creator). Inilah level tertinggi cinta (the highest of love). Pola

seperti inilah yang salah satunya ditampilkan oleh sufi besar, Jalaluddin Rumi.

Kedua, doa (prayer). Doa yang ekspresi spiritualnya menjelma dalam

bentuk doa, shalat, dzikir, meditasi dan yang lain menjadi medium sentral

kecerdasan spiritual untuk menjadikan hidup lebih bermakna dan bahagia secara

spiritual. Ketiga, kebajikan (virtues), berbuat kebajikan menjadi penting

dikarenakan dapat membawa hidup pada kebenaran dan kebahagiaan hidup.

Hidup dengan cinta dan kasih sayang akan mengantarkan kita pada kebajikan

yang menjadikan kita lebih bahagia.

Dalam perspektif Amin Syukur, spiritual quotient yang bermuara pada

kebahagiaan ini dapat dipelajari melalui seni mendidik hati.29 Secara garis besar

kondisi hati dapat dikelompokkan ke dalam 3 bagian yaitu pertama, hati yang

sehat, hati yang mati dan hati yang sakit. Pertama, hati yang shahih, yang dapat

menjadi salam (selamat), ini yang dijanjikan akan dapat bertemu dengan Allah.

28 Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih

Penting Daripada IQ dan EQ, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 101-125 29 Seni mendidik hati menurut Amin Syukur, dapat dilihat dalam Paket Pelatihan Seni

Menata Hati, Insan Kamil di Gedung Dewan Riset Daerah, Jateng tgl 6-7 Maret 2004. Oleh Lembaga Bimbingan dan Konsultasi tasawuf yang diketuai oleh Prof. Amin Syukur. Paket ini berisi tentang : mengenal tasawuf, memahami fitrah manusia, mengubah virus hati menjadi aset diri, oleh raga dzikrullah, cinta rasulullah, dzikir dan penguatan hati, meredam konflik dari hati ke hati, keluarga yang harmonis, insan kamil sebuah proses dan dzikrul maut.

71

Ia memiliki tanda-tanda, antara lain imannya kokoh, mensyukuri nikmat, tidak

serakah, hidupnya tenteram, khusyu, banyak berdzikir, kebaikannya selalu

meningkat, segera sadar jika lalai atau berbuat salah.

Kedua, hati yang mayyit, yang telah mengeras dan membatu karena

banyak kerak (akibat dosa-dosa yang dilakukan), sehingga menghalangi jalannya

dan datangnya petunjuk Allah Swt. Tanda-tandanya antara lain tidak ada atau

tipisnya iman, keras kepala, egois, tak pernah merasa bersalah, dan tak

berperikemanusiaan.

Ketiga, hati yang maridl (sakit), yang di dalamnya ada iman, ada ibadah,

ada pahala, tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa (kecil atau besar). Tanda-

tandanya ialah hati gelisah, suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah

menghargai orang lain, serba tidak nyaman lahir dan batin dan tidak bahagia.

Guna mendidik hati dan mejadikannya bening, tasawuf memiliki banyak

ajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang berminat, dalam hal ini akan

dikemukakan sembilan shufiyah yang harus diamalkan sebagai berikut :

a. Bertaubat, siapapun dan kapanpun, seorang salik harus melakukannya,

karena taubat adalah modal dasar baginya, manfaatnya juga untuk dirinya.

Guna menjaga kelestarian taubatnya, ada bebarapa hal yang perlu dilakukan

terus menerus seperti muhasabah, menjaga tujuh anggota badan dari kerja

mereka yang dapat mendorong kepada maksiat dan dosa, tekun beribadah,

ibaratnya taubat adalah pondasi dan ibadah ialah bangunan diatasnya.

Keinginan setiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus

seindah mungkin.

b. Qana’ah, yaitu perasaan rela menerima pemberian yang sedikit, maka dia tak

pernah rakus ataupun tamak dalam kehidupannya. Yang menyebabkan

berhasilnya qana’ah dalam mencari ‘hidup akhirat’, rela meninggalkan

sesuatu yang amat menarik dan membanggakannya dari duniawi.

c. Zuhud al-dunya, artinya adalah menentang keinginan atau kesenangan,

makna zuhud adalah berpaling dari mencintai dunia menuju cinta Ilahi, maka

yang perlu dilakukan zuhud ialah menghilangkan rasa cinta dunia dari dalam

72

hatinya, tapi tidak perlu menghilangkan dunianya, karena jika hati dipenuhi

oleh duniawi, akan susah untuk memasukkan Allah ke dalam hatinya.

d. Mempelajari syariat guna meningkatkan kualitas takwanya, secara garis

besar ada tiga kandungan syariat Islam yaitu ibadah, aqidah dan akhlaq.

Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti

kesempurnaan iman seseorang.

e. Memelihara sunnah Nabi, baik dalam pengertian melaksanakan amalan

ibadah sunah maupun mencontoh adab (budi pekerti) Nabi.

f. Tawakkal, arti bahasanya ialah penyerahan dan penyandaran, maka makna

tawakkal ialah menyandarkan hati dan segala urusan hidupnya sepenuhnya

hanya kepada Yang Maha Esa, Allah..

g. Ikhlas semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati dan sebagai

pusat seluruh ibadah, maka yang harus dihindari ialah riya, ujub, takabur

dan sum’ah.

h. ‘Uzlah, yaitu menyendiri dari kehidupan sesama manusia, memang ada yang

memahaminya secara pisik, tapi sebenarnya yang lebih utama ialah tetap al-

julus (berdampingan), dan bergaul dengan masyarakat umum namun

bersikap uzlah, menjaga diri, maka untuk itu dibutuhkan kesabaran,

ketabahan, kebesaran jiwa dan kedewasaan.

i. Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun

perbuatannya.30

Dengan berbagai amalan tersebut di atas diharapkan seorang salik dapat

menempuh perjalanan spiritualnya dengan baik dan benar, benar-benar sampai

pada kondisi ma’rifatullah dengan hati yang mukasyafah (terbukanya hijab).

Diakhir kajian ini menurut Agus Noermanto, kecerdasan spiritual dapat

ditempuh melalui tahapan-tahapan yang spesifik. Langkah pertama, kita harus

menyadari dimana kita sekarang, misalnya bagaimana situasi kita saat ini?

Apakah konsekuensi dan reaksi yang ditimbulkannya?. Apakah anda

30 Pola semacam ini juga dapat ditemukan dalam Yunahar Ilyas, Kuliyah Akhlaq, LPPI,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1999

73

membahayakan diri sendiri atau orang lain?. Langkah ini menuntut kita untuk

menggali kesadaran diri, yang pada gilirannya menuntut kita menggali kebiasaan

merenungkan pengalaman. Banyak di antara kita tidak pernah merenung. Kita

hanya hidup dari hari ke hari, dari aktifitas ke aktifitas dan seterusnya. SQ yang

lebih tinggi berarti sampai pada kedalaman dari segala hal, memikirkan segala

hal, menilai diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu. Paling baik dilakukan

setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan menyisihkan beberapa saat untuk

berdiam diri, bermeditasi setiap hari, bekerja dengan penasehat atau ahli terapi,

atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum anda jauh tertidur di malam hari.

Langkah kedua, jika renungan kita mendorong kita untuk merasa bahwa

kita dapat lebih baik, kita harus ingin berubah, berjanji dalam hati untuk

berubah. Ini akan menuntut kita memikirkan secara jujur apa yang harus kita

tanggung demi perubahan itu dalam bentuk energi dan pengorbanan. Apakah

kita siap berhenti untuk minum-minum atau merokok? Memberikan perhatian

lebih besar untuk mendengarkan diri sendiri atau orang lain? Menjalankan

disiplin sehari-hari, seperti membaca atau olah raga atau merawat seekor hewan?

Langkah ketiga, kini dibutuhkan tingkat perenungan yang lebih

mendalam, kita harus mengenali diri sendiri, letak pusat kita dan motivasi kita

yang paling dalam. Jika kita ingin bisa katakan mengenai apa yang telah kita

capai atau sumbangkan dalam kehidupan? Jika kita diberi waktu setahun lagi,

apa yang akan kita lakukan dengan waktu tersebut.

Langkah keempat, apakah penghalang yang merintangi kita, apa yang

mencegah kita sehingga menjalani kehidupan di luar pusat kita? Kemarahan?

Kerakusan? Rasa bersalah? Sekedar kemalasan? Kebodohan? Pemanjaan diri?

Kini buatlah daftar hal yang menghambat dan menyingkirkan penghalang-

penghalang ini. Mungkin itu berupa tindakan sederhana, seperti kesadaran atau

ketetapan hati atau perasaan memuncak dari apa yang disebut oleh kaum

Budhisme perubahan perasaan yang muak terhadap diri sendiri, akan tetapi

mungkin itu juga suatu proses yang panjang dan lambat, dan akan membutuhkan

pembimbing atau ahli terapi, sahabat, atau penasehat spiritual. Langkah ini

74

sering diabaikan, namun sangat penting dan membutuhkan perhatian terus

menerus.

Langkah kelima, praktik atau dispilin apa yang seharusnya kita ambil?

Jalan apa yang seharusnya kita ikuti? Komitmen apa yang akan bermanfaat?

Pada tahap ini, kita perlu menyadari berbagai kemungkinan untuk bergerak

maju. Curahkan usaha mental dan spiritual untuk menggali sebagian

kemungkinan ini, biarkan mereka bermain dalam imajinasi kita, temukan

tuntutan praktis yang dibutuhkan dan putuskan kelayakan setiap tuntutan

tersebut bagi kita.

Langkah keenam, kini kita harus menetapkan hati pada satu jalan dalam

kehidupan dan berusaha menuju pusat sementara kita melangkah di jalan itu.

Sekali lagi, renungkan setiap hari apakah kita berusaha sebaik-baiknya demi diri

kita sendiri dan orang lain, apakah kita rela mengambil manfaat sebanyak

mungkin dari setiap situasi, apakah kita merasa damai dan puas dengan keadaan

sekarang, apakah ada makna bagi kita di sini. Menjalani hidup di jalan menuju

pusat berarti mengubah pikiran dan aktifitas sehari-hari menjadi ibadah terus-

menerus dan memunculkan kesucian alamiah yang ada dalam setiap situasi yang

bermakna.

Langkah ketujuh, dan akhirnya sementara kita melangkah di jalan yang

kita pilih sendiri, tetaplah sadar bahwa masih ada jalan-jalan yang lain.

Hormatilah mereka yang melangkah di jalan-jalan tersebut dan apa yang ada

dalam diri kita sendiri yang di masa mendatang mungkin perlu mengambil jalan

lain.31

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang berkorelasi dengan realitas upaya

pencapaian kebahagiaan ini bagi manusia diantaranya adalah ;

31 Agus Noermanto, op.cit., hlm. 143-147, Gagasan ini juga dapat ditemukan dalam Hanna

Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam; Menuju Psikologi Insani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 155

75

Ketahuilah bahwa sesunguhnya kehidupan di dunia hanyalah permainan dan hiburan, perhiasan, bermegah-megah dan adu kesombongan. Berlomba-lomba mencari kekayaan dan keturunan. Tidak ubahnya seperti hujan di mana para petani bangga dan kagum akan tanam-tanamannya, yang kemudian menjadi kering dan kuning, lalu layu. Di akhirat nanti ada azab yang pedih dan ada pula ampunan dan keridhaan Allah. Kehidupan di dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang semu dan tipuan. (Qs. al Hadid : 20-21) Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta kepada berbagai obyek hawa nafsu, yaitu wanita, anak, harta dari emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Semuanya itu adalah kesenangan hidup di dunia, tetapi Allah adalah tempat adalah tempat untuk kembali (Qs. Ali Imran : 14).

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Qs. al-Baqarah : 201)

D. Kelebihan dan Kekurangan Konsep Kebahagiaan Ibn Miskawaih

Menurut Anwar Jundi32 Kelebihan dari pemikiran Kebahagiaan Ibn

Miskawaih ini adalah sikap dia yang mempraktekkan secara langsung wacana

32 Anwar Jundi, Pancaran Pemikiran Islam terj. Afif Muhammad, Pustaka, Bandung, 1985,

hlm. 130-131

76

itu menurutnya Ibn Miskawaih adalah salah seorang diantara tokoh pemikir yang

mengamalkan pikiran-pikirannya. Ia selalu menganjurkan menutup mulut disaat

hati ingin bicara sampai saatnya otak mengisaratkan untuk berbicara.

Keutamaan pemikirannya yang lain adalah ia termasuk sedikit pemikir Islam

klasik yang mengkaji tentang moral sehingga pemikirannya menjadi rujukan dan

kajian pemikir berikutnya.

Kelemahan pemikiran Ibn Miskawaih adalah tidak adanya hal baru

dalam mengkonsepkan wacana tentang kebahagiaan bahkan terkesan sangat

simple. Dan gagasan gagasannya merupakan konsep yang lumrah dalam dunia

tasawuf.