Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
���
�
BAB IV
ANALISIS DATA
4.1. Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku
GPM berawal dari ibadah perdana Gereja
Protestan Calvinis dari orang-orang Belanda, mereka
merupakan pegawai VOC di Ambon pada 27 Februari
1605. Gereja ini terus berkembang di masa
pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja
Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandse Zendeling
Genotschaap (NZG). Hingga tahun 1930, daerah
pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku.
Pada 6 September 1935 GPM berdiri sebagai
gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi,
keuangan, dan kepemimpinan. GPM memelihara,
membina dan mengembangkan struktur dan fungsi
kepemimpinan gereja dengan menganut sistem
Presbiterial Sinodal yang secara dinamis dan kreatif
menekankan pada peranan para presbiter (Efesus 4:
11-12), Pengelolaan dan penatalayanan kehidupan
���
�
gereja atas dasar persekutuan dan kasih (Filipi 2:1-
4),serta hubungan yang selaras, serasi, utuh, terpadu,
dan dinamis penyelenggaraan pelayanan gereja,
jenjang-jenjang kepemimpinan gereja, serta umat gereja
secara menyeluruh. Sistem ini menekankan pada
prinsip kebersamaan yang terwujud dalam tindakan
yaitu berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja, dan
berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam
mengisi persekutuan untuk melayani dan bersaksi
sebagai misi Kristus. Menjalankan organisasinya GPM
memiliki pola organisasi yang tergambar berikut ini.
Gambar 4.1 : Pola Organisasi GPM (TAP SINODE No. 1 tahun 1978)
SINODE
Badan Pekerja Lengkap
Departemen
Biro
Badan Pekerja Harian Sinode Badan Pertimbangan
Sekretariat Umum Lembaga non Departemen
Biro
Sidang Klasis
Sidang Jemaat
���
�
Keterangan:
:GarisKomando : Garis hub. fungsional
: Garis Staff
: Garis koordinasi
Sumber: Peraturan organik GPM hal. 99
Sebagai organisasi GPM mempunyai visi
yaitumenjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan
karya secara utuh untuk bersama-sama dengan
sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan
kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Visi ini diterjemahkan dalam misi gereja yaitu
mendidik, membina, membangun, memberdayakan
jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain
menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju,
mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat, sehingga mereka dapat bersama-sama
turut berperan serta dalam misi pembebasan dan
penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik.
Pelayanan holistik ini mencakup seluruh aspek hidup
���
�
manusia, aspek ritual, kelembagaan, sosio-etis,
jasmani-rohani, sosial-ekonomi-politik-budaya, dan
ekologi. Visi dan misi ini dijalankan dalam kegiatan-
kegiatan utama gereja (core activities), yang memberi
tekanan pada penguatan karakter dan kapasitas
pelayanan dalam hidup berjemaat, bergereja,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Merchant dan Van der Stede (2007)
bahwa visi dan misi suatu organisasi mesti jelas dan
dapat diukur sehingga organisasi dapat mengetahui
apakah mereka telah mencapai tujuan organisasinya.
Berdasarkan visi dan misi GPM yang telah
dikemukakan, dapat dianalisis bahwa terdapat dua
syarat untuk mencapaiannya, serta bagaimana visi ini
diterjemahkan dalam misi dan tanggapan indikator
pengukurnya, dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
���
�
Tabel 4.1 Penjabaran visi dalam misi serta tanggapan indikator pencapaian.
No. Visi Penjabaran pada misi
Tanggapan indikator
pencapaian 1. Menjadi gereja
yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh.
kualitas iman dan karya pada visi dapat dicapai dalam misi untuk mendidik, membina, membangun, dan memberdayakan jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju, mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
Pada penjabaran misi, tidak dikemukakan adanya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tercapainya kualitas iman dan karya secara utuh. Kegiatan mendidik, membina, membangun dan memberdayakan merupakan rangkaian kegiatan utama dalam implementasi visi.
2. Untuk bersama-sama dengan sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan sejahtera, sebagai tanda-tanda kerajaan Allah.
Mewujudkan visi dengan cara bersama-sama turut berperan serta dalam misi pembebasan dan penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik.
Indikator untuk mengukur bagaimana kehidupan berkeadilan, damai, setara, sebagai tanda-tanda kerajaan Allah tidak dijelaskan di dalam penjelasan misi.
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dikatakan bahwa
visi dan misi pada GPM masih abstrak, serta tidak
���
�
memiliki indikator yang jelas untuk mengukur konsep-
konsep besar yang digambarkan sebagai visi. Kondisi
ini sesuai dengan karakter gereja sebagai organisasi
non-profit yang dikemukakan oleh Merchant dan Van
der Stede (2007) di mana organisasi non-profit tidak
memiliki kejelasan sasaran. Keabstrakan visi yang
berdampak pada kesulitan dalam membuat indikator-
indikator pencapaian tujuan membuat sistem
pengendalian manajemen pada GPM menjadi menjadi
sulit.
4.2. Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Deskripsi sistem pengendalian di GPM akan
diuraikan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Merchant dan Van der Stede (2007) bahwa terdapat
tiga jenis kontrol yaitu results controls, action
controls dan people controls.
4.2.1 Results Controls
Results controls adalah tipe kontrol yang
dilakukan dengan memberikan rewards untuk kinerja
���
�
terbaik atau memberikan punishing untuk kinerja yang
buruk. Terdapat empat syarat dalam pelaksanaan
results controlsyaitu: (1) mendefenisikan dimensi-
dimensi yang mana hasil yang diinginkan atau tidak
diinginkan seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan
atau cacat produk; (2) mengukur kinerja berdasarkan
dimensi ini; (3) pengaturan target kinerja untuk
karyawan upayakan, dan (4) memberikan penghargaan
untuk mendorong perilaku yang dapat mengarah pada
hasil yang diinginkan. Berdasarkan keempat syarat
tersebut, maka berikut akan dijelaskan mengenai
bentuk results controls dan bentuk pelaksanaannya
yang telah dijalankan pada GPM dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Pelaksanaan bentuk Results Controls di GPM.
No. Bentuk-bentuk Result Kontrol Ada Keterangan
1. Pengukuran Kinerja x Dilakukan di GPM dalam bentuk DP3
2. Pengaturan target kinerja
3. Sistem insentif x Dilakukan di GPM dalam bentuk Kenaikan pangkat
��
�
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa
terdapat dua bentuk results controls yang telah
dilakukan oleh GPM yaitu pengukuran kinerja dan
sistem insentif. Pengukuran kinerja dilakukan
berdasarkan DP3. DP3 adalah daftar yang digunakan
untuk menilai setiap pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai/pelayan gereja.
DP3 dimuat dalam Keputusan Sidang nomor:
09/BPL/XXV/2003 bab II pasal 4 tentang daftar
pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar
untuk melakukan kenaikan pangkat. Unsur-unsur
yang dinilai dalam DP3 ini adalah
kesetiaan/pengabdian, prestasi kerja, tanggung-jawab,
ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan
kreatifitas, kehidupan moral, serta kepemimpinan.
Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dinyatakan
dengan sebutan dan angka-angka sebagai berikut.
��
�
Tabel 4.3. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan.
Skor Predikat 91 - 100 76 - 90 61 - 75 51 - 60
50 – ke bawah
Amat baik Baik
Cukup Sedang Kurang
Insentif diberikan berdasarkan persyaratan yang
tertuang dalam peraturan pelaksanaan kenaikan
pangkat, yang secara lengkap dijelaskan dalam
Keputusan Sidang nomor: 09/BPL/XXV/2003.
Penjelasan mengenai hal ini digambarkan dalam tabel
4.4 berikut.
Tabel 4.4. Jenis kepangkatan dan target kinerja yang dicapai.
No. Jenis Kenaikan Pangkat (insentif) Persyaratan
1. Kenaikan pangkat regular
• Telah empat tahun dalam pangkat yang dimiliki, dan setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan, sekurang-kurangnya bernilai baik.
• Telah lima tahun dalam pangkat yang dimiliki dan setiap unsur penilaian sekurang-kurangnya bernilai cukup.
2. Kenaikan pangkat pilihan
• Telah empat tahun dalam jabatan struktural dan fungsionalnya, serta setiap unsur pekerjaannya bernilai baik selama dua tahun terakhir.
• Telah lima tahun dalam jabatan yang dimiliki, penilaian pelaksanaan pekerjaan bernilai baik dan tidak ada unsur penilaian yang bernilai kurang.
���
�
3. Kenaikan pangkat istimewa
• Menunjukkan prestasi kerja luar biasa baik dan menjadi teladan selama dua tahun yang dinyatakan dengan surat keputusan Sinode GPM.
• Setiap unsur pelaksanaan kerja bernilai amat baik.
• Menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi GPM.
Penting untuk diperhatikan bahwa DP3 ini belum
rill results controls-nya. Penilaian kinerja staf itu dapat
diinterpretasikan dalam dua hal yaitu sebagai aturan
organisasi tetapi bisa juga diartikan sebagai results.
DP3 diinterpretasikan sebagai results controls, akan
tetapi di dalamnya belum dituangkan pengaturan
target. Sehingga insentif yang diberikan tidak
bergantung pada target melainkan hasil penilaian
pelaksanaan pekerjaan. Kondisi ini membedakannya
dengan perusahaan yang memiliki keterkaitan diantara
pengukuran kinerja dan pengaturan target kerja
dengan tujuan organisasi sangat kuat (misalnya dengan
laba, ROI, dll), tetapi untuk gereja agak sulit karena
tujuan dan indikatornya tidak jelas serta tidak terukur.
���
�
Kalau di dunia bisnis pengukuran kinerja dan
target bisa dikaitkan secara langsung dengan tujuan
perusahaan. Akan tetapi karena gereja adalah
organisasi non-profit dimana visi dan misinya tidak
memiliki indikator yang jelas maka agak sulit untuk
mengaitkan antara tujuan gereja dengan pengukuran
dan target kinerja.
Belum diaturnya target kinerja, serta pengukuran
kinerja dan insentif yang belum dapat didasarkan pada
tujuan organisasi menimbulkan masalah di dalam
gereja, antara lain yang diidentifikasi dalam tabel 1.1.
Masalah-masalah itu yaitu, belum terwujud dengan
baik optimalisasi dalam menterjemahkan dan
melakukan implementasi tugas pokok dan fungsi atas
dasar aturan; perbedaan persepsi antara suprastruktur
dan umat dalam memahami keterpanggilannya;
pelaksanaan tugas yang belum maksimal disebabkan
oleh orientasi gereja pada kegiatan rutin; Aturan yang
tersedia tidak mengatur dengan jelas setiap bidang dan
tugasnya, yang berorientasi pada pengembangan dan
���
�
pencapaian tujuan; lemahnya pemahaman dan
kesadaran tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
bidang kelembagaan; (lih. Tabel 1.1, masalah nomor
1,2,6,7,11,13).
GPM mempunyai finance responsibility centre
yang mayoritasnya adalah cost centre, yakni pada
departemen keesaan dan pembinaan umat, departemen
pekabaran injil dan komunikasi, departemen pelayanan
dan pembangunan.Sedangkan departemen finansial
dan ekonomi merupakan revenue centre. Bidang ini
bertugas untuk melakukan kegiatan-kegiatan
pendanaan untuk organisasi. Terdapat beberapa
bentuk kegiatan pendanaan yang dilakukan oleh GPM
antara lain dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.5 Kegiatan pendanaan GPM
Kegiatan Pendanaan Keterangan Dana onderstanfons Dana onderstanfons
merupakan sejumlah dana yang disimpan di Belanda sejak tahun 1969, yang diperuntukkan untuk para pensiun pendeta. Dana ini hanya bisa digunakan pada saat emergensi, untuk mencukupi atau membantu
���
�
mengatasi persoalan keuangan pensiun GPM, tidak untuk digunakan pada setiap tahun. Secara lengkap penggunaan dana ini dituang dalam pedoman pemanfaatan dana onderstanfons.
Dana Lestari Dana lestari merupakan dana bantuan dari KVR di Belanda. Dana ini digunakan dalam permainan saham di Belanda, dan oleh kesepakatan KVR di Belanda, dana ini dikembalikan kepada GPM. Penggunaan dana ini diatur dalam pedoman pemanfaatan dana lestari GPM.
Penggunaan Aset gereja Terdapat beberapa asset gereja yang disewakan yaitu tanah (tanah tersebut terdapat di daerah Pulo Gangsa, Urimeseng, batu gantong, dll), gedung (sewa baileo oikumene).
Dana THT Dana THT adalah dana perorangan yang dipotong dari gaji setiap pegawai organik GPM.
4.2.2 Action Controls
Kontrol ini melibatkan pengambilan langkah-
langkah untuk memastikan bahwa karyawan bertindak
sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi dengan
menjadikan tindakan mereka sendiri sebagai fokus
kontrol. Kontrol ini memiliki empat bentuk yang
pelaksanaan digambarkan dalam tabel 4.6 berikut.
���
�
Tabel 4.6 Bentuk-bentuk action controls dan pelaksanaannya di GPM.
Bentukaction controls Bentuk pelaksanaannya di GPM Ada Behavioral constraints • Password pada komputer yang
menyimpan data rahasia. • Kunci lemari dan meja kantor. • Pembatasan wewenang
pengambilan keputusan • Pemisahan tugas
x x x x
Preaction reviews • Persetujuan program kerja dan anggaran.
• Sidang-sidang • Persetujuan RENSTRA • Persetujuan pengelolaan hak
milik gereja. • Persetujuan pimpinan gereja.
x x x x x
Action Accountability • Aturan kerja • Kebijakan dan prosedur • Ketentuan kontrak • Kode etik • MONEVA • Verifikasi • Visitasi
x x x x x x
Redudancy Menyediakan pelayan/pegawai organik cadangan
x
Bentuk behavioral constraints dilakukan oleh
GPM dengan cara memberikan kendala-kendala fisik
berupa password pada komputer yang menyimpan
data-data rahasia, memberikan kunci pada lemari dan
meja kerja. Sedangkan untuk pembatasan wewenang
dalam pengambilan keputusan dilakukan gereja
dengan berpedoman pada tata GPM pasal 27 tentang
���
�
wewenang dan perwakilan dalam pengambilan
keputusan.
Mengenai pemisahan tugas, pada umumnya
gereja memiliki bidang-bidang pelayanan (bidang
PELPEM, Finansial ekonomi, kerumahtanggaan dan
PIKOM� Masing-masing bidang mempunyai tugas
tersendiri yang memisahkannya dengan bidang yang
lain. Bidang PELPEM hanya dapat mengerjakan tugas
bidangnya tanpa mencampuri tugas bidang yang lain.
Demikian halnya bendahara hanya dapat mengerjakan
tugasnya sebagai bendahara tanpa mengerjakan tugas
sekretaris.
Preaction reviews secara sederhana dapat
diartikan sebagai bentuk persetujuan sebelum action
(tindakan, kebijakan, dll) dilaksanakan. Bentuk ini
ditemui di GPM dalam bentuk program kerja dan
anggaran melalui tiga aras (jemaat, klasis, dan sinode).
Dimana program kerja dari komisi harus meminta
persetujuan dari persidangan.
���
�
Bentuk action controls yang paling kuat pada
gereja terlihat dalam sidang-sidang yang dilaksanakan
oleh gereja pada masing-masing aras kepemimpinan.
Tabel 4.7 berikut ini akan menjelaskan tentang jenis
persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu
pelaksanaan.
Tabel 4.7 Jenis persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu pelaksanaan
Jenis Persidangan Jenjang organisasi
Waktu Pelaksanaan
Sidang Sinode Sinode 5 tahun sekali Sidang BPL Sinode Sinode 1 tahun sekali Sidang klasis Klasis 1 tahun sekali Sidang jemaat Jemaat 1 tahun sekali
Sedangkan mengenai jenis persidangan serta
tugas dan wewenang tiap-tiap persidangan dijelaskan
dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8 Jenis persidangan serta tugas dan wewenangnya.
Jenis Persidangan Tugas dan wewenang Sidang Sinode • Menetapkan tata gereja
• Menetapkan peraturan-peraturan pokok GPM dan atau peraturan lainnya yang dipandang prinsipil.
• Menetapkan pokok-pokok pengakuan dan ajaran gereja.
• Menetapkan PIP & RIPP GPM untuk dipedomani oleh seluruh perangkat dan pelayan dan warga gereja untuk waktu
���
�
5 (lima) tahun. • Mengevaluasi dan meninjau kembali
pokok-pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh seluruh perangkat dan warga GPM.
• Menetapkan pola induk pelayanan GPM sebagai dasar pelaksanaan Amanat pelayanan GPM.
• Memilih dan mengangkat BPH sinode dan Badan Pertimbangan BPH Sinode untuk masa bakti 5 (lima) tahun.
Sidang BPL Sinode • Menetapkan peraturan organik. • Mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan
keputusan persidangan sinode dan persidangan BPL sinode.
• Mengawasi pelaksanaan pelayanan gereja dan pelaksanaan Amanat pelayanan GPM.
• Menjabarkan keputusan-keputusan dan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh persidangan sinode menjadi program-program yang bersifat operasional untuk dilaksanakan di semua jenjang pelayanan gereja.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja GPM untuk tahun berikutnya.
Sidang klasis • Menilai dan mengesahkan laporan pertanggungjawaban pelayanan dan keuangan klasis.
• Menetapkan garis-garis kebijakan mengenai pelaksanaan keputusan persidangan Sinode dan BPL Sinode dalam bidang-bidang pelayanan gereja.
• Mengesahkan anggaran pendapatan dan belanja tahunan dari klasis.
• Mengawasi dan membina proses perkembangan jemaat-jemaat menuju kepada satuan pelayanan yang lebih besar.
• Memilih utusan-utusan klasis ke persidangan sinode dan BPL.
• Mengawasi segala harta milik gereja yang bergerak maupun yang tidak bergerak sesuai peraturan GPM.
Sidang Jemaat • Mengevaluasi laporan pertanggungjawaban pelayanan dan keuangan jemaat.
��
�
• Menetapkan program-program pelayanan jemaat.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja jemaat.
• Menjabarkan keputusan persidangan sinode, persidangan BPL sinode dan persidangan klasis.
• Membicarakan dan menetapkan masalah-masalah keumatan yang relevan.
Program kerja dan anggaran dari jemaat mengacu
pada isu strategis. Ini dikarenakan organisasi
mempunyai tujuan, dan agar jemaat-jemaat dapat
mendukung tujuan ini maka penting untuk dijabarkan
melalui rencana strategi. Rencana strategi (RENSTRA)
merupakan bagian yang sangat penting di dalam gereja.
Bentuk ini disetujui pelaksanaannya dalam
persidangan BPL tahun 2011, dan baru disosialisasi
serta diimplementasi pada tahun 2012. Berikut akan
dijelaskan tahapan pembuatan RENSTRA pada GPM.
1) Pengumpulan data base jemaat yang lengkap.
2) Melihat gambaran profil jemaat dan profil desa.
3) Berdasarkan data base, profil jemaat, dan profil
desa, dilakukan identifikasi isu-isu yang muncul.
��
�
Di samping itu identifikasi isu dapat dilakukan
dengan menggunakan telaah terhadap dokumen-
dokumen hasil persidangan jemaat tahun-tahun
sebelumnya untuk melakukan analisa
kelembagaan gereja.
4) Di samping data-data yang ada, tim RENSTRA
juga melakukan focus group discussion (FGD)
mengenai masalah-masalah di jemaat.
5) Melakukan klarifikasi terhadap isu-isu yang ada
untuk melihat isu yang mana yang benar-benar
menjadi masalah dan isu yang mana yang hanya
bersifat kasuistik.
6) Berdasarkan klarifikasi, maka isu hubungan
sebab-akibat disatukan untuk mendapatkan isu
utama.
7) Karena keterbatasan kapasitas dan waktu, maka
dari isu-isu utama dilakukan perengkingan
untuk melihat isu mana yang mendesak untuk
diselesaikan berdasarkan kapasitas gereja.
���
�
8) Menentukan isu strategi. Isu strategi ialah isu
dimana gereja punya kapasitas untuk bisa
menyelesaikannya.
9) Berdasarkan isu strategi dibuat rencana strategi.
Di dalam persidangan pada masing-masing aras
(jemaat, klasis, sinode) rencana strategi ini
dibahas dan dilakukan persetujuan. Rencana
strategi akan dijadikan acuan dalam organisasi.
Bentuk yang berikut ialah persetujuan
pengelolaan harta milik. Hal ini tertuang dalam
peraturan pokok GPM tentang perbendaharaan gereja
pasal 3, di mana pihak yang ingin mengelola harta
milik gereja diharuskan untuk meminta persetujuan
dari sinode sebagai pemegang hak. Sedangkan
menyangkut persetujuan anggaran oleh jenjang
kepemimpinan yang berwenang, diatur dalam pasal 5,
yakni APB jemaat disahkan oleh klasis, dan APB klasis
disahkan oleh sinode.
���
�
Bentuk lain dari preaction reviews dapat ditemui
dalam bentuk persetujuan-persetujuan yang diberikan
untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Seperti
persetujuan untuk pelaksanaan kegiatan, persetujuan
untuk sekolah lanjut, persetujuan untuk keluar jemaat,
persetujuan untuk mutasi dan lain-lain.
Bentuk-bentuk action accountability di GPM itu
dilakukan dengan cara:
1) Merumuskan aturan kerja, kebijakan dan prosedur,
dan ketentuan kontrak. Sedangkan untuk kode etik
tidak dimiliki oleh GPM.
2) Mengkomunikasikan melalui kegiatan sosialisasi,
rapat sinode, rapat klasis, perkunjungan ke jemaat-
jemaat.
3) Melakukan monitoring dan evaluasi (MONEVA),
supervisi, dan verifikasi.
4) Memberikan rewards dan punishments misalnya
pemberhentian.
���
�
Aturan kerja mengatur tentang cara dalam
pelaksanaan suatu tugas atau pekerjaan dengan
mengingat segi-segi tujuan gereja, peralatan, fasilitas,
tenaga kerja, waktu, ruang dan biaya yang tersedia
seefisien mungkin. Berikut akan dijelaskan tentang
bentuk-bentuk aturan kerja di GPM dalam tabel 4.9.
Tabel 4.9 Penjelasan jenis peraturan kerja
Jenis Peraturan kerja Keterangan
Peraturan pokok GPM
Peraturan ini didalamnya ditetapkan hal-hal yang sifatnya pokok pada tiga aras (sinode, klasis, jemaat).
Peraturan pokok perbendaharaan GPM
Peraturan ini didalamnya memuat tentang perbendaharaan gereja, tata usaha perbendaharaan gereja, pengurusan komptabel, perhitungan dan pertanggungjawaban perbendaharaan, pembentukan tim verifikasi dan pengawasan, inventaris, penyimpanan dan memperbungakan keuangan gereja, penertiban penyelewengan dan tuntutan ganti rugi, serta serah terima jabatan.
Peraturan tentang penggembalaan dan disiplin gereja
Peraturan ini memuat tentang kewajiban dan tanggung jawab anggota, pegawai, dan pelayan khusus gereja, tugas dan wewenang badan gereja, tindakan disiplin bagi anggota, pegawai, dan pelayan khusus gereja.
Peraturan organik GPM
Peraturan ini memuat tentang pola organisasi GPM, uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan GPM, pengangkatan pegawai/pejabat organik GPM, pemberhentian pegawai/pejabat organik GPM, cuti pegawai/pejabat GPM, pensiun pegawai/pejabat GPM, struktur tugas pimpinan harian majelis jemaat (PHMJ) GPM, dan pemilihan majelis jemaat
���
�
GPM.
Kebijakan dan prosedur kerja memperlihatkan
rangkaian dari tata kerja yang saling berhubungan satu
dengan yang lain. Dimana terlihat adanya suatu urutan
tahap demi tahap, dan jalan yang harus ditempuh oleh
pelayan/pegawai gereja dalam rangka menyelesaikan
suatu bidang tugas yang diberikan oleh pimpinan pada
ketiga aras (sinode, klasis, jemaat). Kebijakan dan
prosedur di gereja menyangkut dengan kebijakan dan
prosedur pemilihan pendeta, majelis jemaat, dan
lainnya.
Ketentuan kontrak memuat kesediaan
pegawai/pelayan organik untuk bersedia di tempatkan
di mana saja dalam tugas pelayanan. Ketentuan
kontrak dilakukan di dalam proses recruitments calon
pegawai/pelayan organik gereja.
Verifikasi merupakan pemeriksaan setiap laporan
yang dibuat oleh bendaharawan sebelum laporan itu
dijadikan laporan pertanggung jawaban dalam sidang-
���
�
sidang. Ketentuan mengenai verifikasi dituang dalam
peraturan pokok tentang perbendaharaan gereja pasal
19. Jika terdapat pelanggaran terhadap penggunaan
anggaran maka akan dikenakan sanksi sebagai mana
tertulis dalam aturan organisasi.
Tentang monitoring dan evaluasi GPM
melakukannya dalam tiga cara, yaitu MONEVA,
supervisi, dan verifikasi. MONEVA merupakan kegiatan
monitoring dan evaluasi atas setiap aksi yang
dilakukan oleh gereja dalam berbagai jenjang. Kegiatan
ini dilakukan secara rutin oleh pihak klasis maupun
sinode. GPM baru melakukan kegiatan ini sebagai
tindak lanjut dari RENSTRA yang dijalankan. MONEVA
dilakukan oleh pihak BALITBANG GPM, Klasis, dan tim
asistensi di seluruh wilayah pelayanan GPM.
Visitasi dilakukan setiap 3 bulan sekali. Visitasi
dijalankan oleh gereja secara formal maupun non
formal. Secara formal dilakukan gereja dengan
mengirimkan surat, sedangkan secara non formal
���
�
dilakukan tanpa surat atau dadakan. Dalam
wawancara dengan Pdt. Yan Matatula mengemukakan
bahwa:
“Visitasi dadakan kami lakukan untuk mengecek secara langsung informasi-informasi yang telah kami dapatkan dari jemaat setempat terkait dengan kinerja yang kurang baik maupun yang baik yang dilakukan oleh pendeta setempat. Ini berguna untuk menjadi bukti bagi kami mengenai apa yang disampaikan umat, dan jika ada pendeta jemaat yang kedapatan membuat kesalahan dengan meninggalkan jemaat tanpa pemberitahuan kepada kami, akan kami kenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.”1
Hal ini menjadi jelas bahwa GPM telah
melakukan kegiatan visitasi namun kendalanya adalah
belum adanya format yang baku dalam melakukannya.
Kode etik tidak dimiliki oleh gereja. Dalam
persidangan BPL tahun 2011 di Dobo, hal ini sudah
diangkat tetapi belum disetujui karena terdapat alasan
yang terkait dengan karakteristik pelayanan di gereja.
Bentuk redundancy dilakukan gereja dengan
menyediakan tenaga pelayan/pegawai organik
cadangan yang dapat menggantikan pelayan jika
���������������������������������������� ��������������������Hasil wawancara ketua klasis kairatu tanggal 18 januari 2013�
���
�
sewaktu-waktu berhalangan dalam pelaksanaan tugas
pelayanan gereja. Pada beberapa jemaat hal ini
dilaksanakan dengan mempersiapkan majelis jemaat
bertugas untuk memimpin pelayanan ibadah jika
sewaktu-waktu pendeta bertugas secara tiba-tiba
berhalangan datang. Walaupun harus disadari bahwa
belum semua jemaat melakukan itu.
4.2.3 People/Culture Controls
People controls membangun kecenderungan alami
karyawan untuk mengendalikan diri. Hal ini
disebabkan oleh kebanyakan orang memiliki hati
nurani yang membuat mereka melakukan apa yang
benar, menemukan kepuasan diri ketika mereka
melakukan pekerjaan dengan baik, dan melihat
organisasi mereka berhasil. Terdapat tiga metode
utama untuk melaksanakan people controls yaitu
seleksi dan penempatan karyawan, training, serta
desain pekerjaan dan penyediaan sumberdaya yang
���
�
diperlukan. Tabel berikut akan menjelaskan bagaimana
ketiga metode ini dijalankan di GPM.
Tabel 4.10 Metode People Controls dan bentuknya di GPM.
Metode Realisasi di GPM Cross chek
Seleksi dan penempatan karyawan
GPM melakukan seleksi dan penempatan karyawan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
x
Training Melakukan training bagi para pegawai/pelayan organik. x
Desain pekerjaan dan sumber daya yang diperlukan
Uraian tugas dan uraian kerja x
Proses seleksi dan penempatan dilakukan oleh
gereja dengan merekrut calon pendeta (vikaris) melalui
beberapa tahapan yaitu : pendaftaran yang dibuka
untuk setiap lulusan fakultas teologi, dengan tahun
lulus tertentu; tes calon vikaris berupa tes tertulis dan
psiko tes; pemberkasan yang berfungsi untuk
menyeleksi calon vikaris berdasarkan berkas-berkas
yang telah dikumpulkan dan hasil tes; pegumuman
hasildan penempatan calon vikaris di daerah pelayanan
yang ditentukan. Syarat-syarat yang digunakan dalam
penilaian calon vikaris adalah ijasah teologi, sertifikat-
��
�
sertifikat kegiatan yang digunakan, surat keterangan
berkelakuan baik dari kepolisian (SKCK), dan surat
keterangan keterlibatan dalam pelayanan di jemaat asal
calon. Kriteria penilaian yang digunakan gereja dalam
menilai calon vikaris menekankan pada aspek etika dan
moralitas, pendidikan teologi, kognitif, pengalaman
berorganisasi, serta kesehatan jasmani dan rohani.
Sebelum ada dalam masa vikariat, calon vikaris
diwajibkan mengikuti training yang di dalamnya
terdapat materi-materi yang berfungsi mengasah
kecakapan dan melengkapi kemampuan vikaris untuk
melakukan pelayanan di jemaat tempat tugasnya. Di
dalam proses vikaris calon pendeta dimonitoring dan
dinilai oleh mentor setempat, jika kedapatan berbuat
kesalahan maka akan diberikan punishment sesuai
aturan dan dipertimbangkan kembali untuk dapat
diangkat menjadi pendeta ataukah tidak. Di masa akhir
vikaris terdapat tes yang berguna untuk mengevaluasi
kehadiran dan daya kritis vikaris dalam menghadapi
masalah-masalah di jemaat tempat tugasnya. Evaluasi
��
�
ini berguna untuk mengukur kapasitas vikaris serta
menjadi bahan pertimbangan dalam penempatan
pendeta.
Bentuk training dilakukan oleh GPM terkait
dengan pengembangan kapasitas pelayan melalui
muatan-muatan materi kontekstual. Trainingyang
dilakukan melibatkan pegawai/pelayan organik yang
difasilitasi oleh gereja, namun kadang-kadang juga
difasilitasi oleh organisasi-organisasi lain yang
bekerjasama dengan gereja.
Desain pekerjaan dilakukan oleh gereja dalam
uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan yang
tertuang dalam Keputusan BPL Sinode Nomor :
10/BPL/XX/1998. Di sini terdapat pembagian tugas
dalam pelayanan di semua tingkat organisasi. Dalam
melakukan pelayanan di jemaat-jemaat pelaksanaan
pembagian tugas melibatkan majelis jemaat dan
jemaat. Pembagian peran dilakukan berdasarkan
bidang tugas dan juga daerah pelayanan. Ini
���
�
memudahkan tugas pendeta dalam melakukan
pelayanannya.
Culture controls dirancang untuk mendorong
saling pemantauan, dan merupakan bentuk kuat dari
group pressure pada individu yang menyimpang dari
norma-norma kelompok. Terdapat lima bentuk
pendekatan yang digunakan dalam kontrol ini yaitu
kode etik, penghargaan kelompok, transfer
intraorganisasi (rotasi karyawan), pengaturan fisik, dan
tone at the top. Berikut ini akan dijelaskan apakah
kelima pendekatan ini telah dilaksanakan di GPM
dalam tabel 4.11.
Tabel 4.11. Bentuk pendekatan culture controls dan realisasinya di GPM.
Bentuk pendekatan Realisasi di GPM Cross check
Kode etik GPM belum memiliki kode etik Penghargaan Kelompok
Pendekatan ini belum dilakukan di GPM
Transfer intraorganisasi (rotasi karyawan)
GPM telah melakukan pendekatan ini x
Pengaturan fisik GPM melakukan dalam bentuk perencanaan kantor, arsitektur, dan dekorasi gereja.
x
Tone at the top GPM melakukan ini dalam bentuk tone at the top x
��
�
Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa bentuk pendekatan
yang dilakukan di gereja adalah transfer organisasi,
pengaturan fisik, dan tone at the top. Sedangkan untuk
kode etik dan penghargaan kelompok belum diadakan.
Kode etik memang telah diperbincangkan untuk
diadakan dalam sidang BPL di Dobo, namun belum
disetujui karena terdapat beberapa alasan yang penting
untuk dipertimbangkan dalam penyusunan formatnya.
Untuk pendekatan penghargaan kelompok belum
dilakukan di GPM. Transfer intraorganisasi (rotasi
karyawan) telah dilakukan oleh gereja dalam bentuk
mutasi pegawai/pelayan organik. Mutasi adalah
pertukaran pegawai/pelayan organik, dengan tujuan
untuk memperkaya pengalaman melayaninya di
jemaat. Mutasi pendeta dilakukan setiap lima tahun
sekali yang mekanisme penempatan pendetanya diatur
oleh sekretaris sinode. Arsitektur gereja menjadi ciri
khas tersendiri dari organisasi kerohanian ini. Gereja
sangat kuat dengan simbolis seperti salib, lonceng
gereja, dan lain-lain.
��
�
Tone at the top dipraktekan di gereja, dan ini
menjadi budaya yang sangat kuat di jemaat. Tone at the
top berhubungan dengan teladan pendeta di jemaat.
Teladan pendeta di jemaat dilakukan sesuai dengan
pola pelayanan gereja (Tata GPM pasal 8) yang
berpolakan kehidupan Yesus Kristus sebagai:
1) HAMBA yang taat dan mengkosongkan diriNya
untuk melayani bukan untuk dilayani.
2) IMAM yang rela berkorban tanpa pamrih demi
tugas-tugas pelayanan pendamaian di antara
gereja, masyarakat, dan sesama manusia.
3) NABI yang menaklukan segala sesuatu ke bawah
penilaian firman Allah terutama untuk
menegakan keadilan, kebenaran dan
kesejahteraan umat manusia, gereja,
masyarakat, bangsa dan negara.
4) GEMBALA yang menjalankan tugas-tugas,
kepemimpinan, dan pelayanan gereja di bawah
arahan dan tuntunan Gembala Yang Baik.
��
�
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut
maka secara ringkas sistem pengendalian di GPM dapat
dijelaskan dalam tabel 4.12 berikut ini.
Tabel 4.12 Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Jenis Kontrol Bentuk-bentuk Ada Keterangan
Results controls
• Pengukuran kinerja
• Pengaturan target
• Sistem insentif
x x
DP3 Tidak ada Kenaikan pangkat
Action controls
• Behavioral constraints
• Preaction
reviews • Action
accountability • Redudancy
x x x x
Password, kunci, pembatasan wewenang & otoritas pengambilan keputusan. rencana Program kerja & anggaran, sidang-sidang, renstra, persetujuan-persetujuan lain. Peraturan kerja, ketentuan kontrak, verivikasi, moneva, visitasi; Kode etik tidak ada. Penyediaan tenaga pelayan cadangan
People/ culture controls
• Seleksi & penempatan.
• Training • Desain kerja &
SDM yang diperlukan
• Kode etik • Penghargaan
kelompok • Transfer
x
x x x
Seleksi tenaga calon pendeta (vikaris)& penempatan tenaga pendeta. Uraian tugas & tata laksana, pembagian tugas. Belum dimiliki Belum dimiliki Mutasi pendeta
��
�
intraorganizational
• Pengaturan fisik
• Tone at the top
x x
Arsitektur, dekorasi gereja Sesuai dengan pola pelayanan gereja
4.3. Implementasi Sistem Pengendalian
Manajemen pada GPM
GPM telah melakukan sistem pengendalian
manajemen dengan menggunakan jenis kontrol yang
dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007)
antara lain results controls,action controls, dan
people/culture controls, namun dalam implikasinya
terdapat beberapa bentuk kontrol yang tidak sesuai
dengan sistemnya. Berikut akan dijelaskan tentang
impementasi sistem pengendalian manajemen dalam
ketiga jenis kontrol.
1. Results Controls
Implementasi kontrol ini dilakukan oleh GPM
dalam bentuk DP3 yang diberikan kepada para
��
�
pegawai/pelayan organik penilai pelaksanaan
pekerjaan untuk diisi daftar penilaiannya. Dari daftar
tersebut gereja dapat melakukan evaluasi terhadap
kinerja yang dilakukan apakah telah sesuai dengan
tujuan organisasi gereja atau belum.
Oleh karena tidak adanya keterkaitan antara
pengukuran kinerja, target kerja dan tujuan organisasi,
maka results controls yang diberikan bersifat subjektif.
Sehingga daftar penilaian kinerja pegawai (DP3) turut
dipengaruhi oleh subjektifitas mereka yang ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan.
2. Action Controls
Kontrol ini di GPM menemui beberapa masalah
dalam implementasinya, yang akan dijelaskan dalam
penjelasan berikut.
Bentuk preaction reviews di GPM berupa
persetujuan program melalui persidangan-persidangan
dan jenjang kepemimpinan di semua jenjang dilakukan
GPM setiap tahun pelayanan. Di dalam persidangan
��
�
juga terdapat evaluasi terhadap program-program yang
dijalankan oleh gereja selama satu tahun pelayanan.
Mengenai persetujuan RENSTRA, hal ini baru
dilakukan oleh GPM pada tahun 2012. Di temui dalam
penelitian dalam wawancara dengan tim BALITBANG
GPM, disampaikan bahwa ada juga jemaat yang belum
melakukan RENSTRA. Ini disebabkan lemahnya
sosialisasi, tetapi juga pemahaman mereka tentang
pelaksanaan RENSTRA itu sendiri. Mengenai apakah
RENSTRA telah sesuai dengan tujuan organisasi,
ditegaskan oleh tim BALITBANG bahwa visi dan misi
GPM yang lama masih abstrak dan karena itu sulit
untuk membuat renstra berdasarkan itu. Sehingga
mereka melakukannya dari awal dengan menggali isu-
isu strategis dari tiap jemaat di GPM. Lebih lanjut Pdt.
Vebby Songopnuan, S.Si sebagai sekretaris tim
mengemukakan bahwa:
“kami masih melakukan penggodokan untuk membuat visi dan misi yang sesuai dengan isu-isu strategis yang didapat dari tiap jemaat di GPM. Sehingga kita dapat menentukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pencapaian visi dan misi. Sebab dengan demikian kita bisa
��
�
membuat RENSTRA dengan indikator-indikator terukur sesuai dengan visi dan misi gereja. ”2
Persetujuan pengelolaan harta milik gereja telah
dilakukan organisasi. Namun dalam realitasnya
kegiatan pengelolaan harta milik gereja belum
sepenuhnya maksimal, bahkan ada yang dihapuskan
karena alasan-alasan tertentu. Karena itu penting juga
untuk merancang mekanisme yang baik dalam hal
pemberian persetujuan pengelolaan harta milik gereja,
yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi mereka
yang menggunakan hak pengelolaan harta milik gereja.
Preaction reviews merupakan hal yang sangat
ditekankan pada GPM. karena persetujuan apapun
yang diberikan oleh pimpinan sangat berhubungan erat
dengan eksistensi GPM. Misalnya untuk menjalankan
proposal kegiatan, panitia harus meminta persetujuan
dari pimpinan pada aras gereja yang menugaskannya.
Sebab dalam kenyataan di lapangan masih ada saja
���������������������������������������� ��������������������Wawancara dengan sekretaris Tim BALITBANG GPM tertanggal 16 Januari 2013
�
�
orang-orang tertentu yang membawa nama gereja
untuk mendapatkan uang dari instansi-instansi
tertentu untuk kepentingan pribadinya. Untuk
kegiatan-kegiatan organisasi yang bersifat eksternal,
dalam hal ini berhubungan dengan organisasi eksternal
gereja, maka aras jemaat harus meminta persetujuan
dari klasis, dan aras klasis harus meminta persetujuan
dari sinode.
Bentuk action accountabilitydilakukan gereja
dalam aturan kerja yang berfungsi untuk mengatur
bagaimana pegawai/pelayan organik dalam melakukan
pelayanannya. Dalam kenyataannya pegawai/pelayan
organik juga menyimpang dari aturan organisasi.
Seperti tindakan pegawai/pelayan organik
meninggalkan jemaat dalam waktu yang sangat lama
untuk kepentingan keluarga. Hal ini kadang-kadang
terpaksa dilakukan oleh pegawai/pelayan organik
karena jarak yang jauh antara pegawai/pelayan organik
dengan keluarga (suami atau isteri dan anak-anak).
Akibatnya ketika terjadi masalah dalam jemaat pada
�
�
waktu pegawai/pelayan organik meninggalkan jemaat,
masalah yang ada menjadi tidak dapat ditangani atau
terlambat dalam penanganannya. Hal ini secara tegas
dijelaskan oleh ketua klasis kairatu yaitu:
“Ketika pendeta meninggalkan jemaat tanpa memberitahu kepada kami maka pada saat terjadi masalah dalam jemaat waktu pendeta itu pergi, akan menyulitkan kami dalam berkoordinasi untuk penyelesaian masalah. Padahal maksud kami adalah baik, yaitu ketika pegawai/pelayan organik meminta izin akan memberi signal kepada kami untuk membantu memonitoring jemaat pada saat dia tidak ada di jemaat.”3
Kondisi ini dimungkinkan oleh masalah-masalah
yang telah dideskripsikan pada tabel 1.1 diantaranya
ialah: belum berfungsinya tata gereja sebagai pedoman
organisasi, serta lemahnya fungsi kontrol terhadap aras
struktur di bawahnya, lemahnya pemahaman dan
rendahnya kesadaran terhadap tugas pokok dan fungsi
yang menjadi tanggung-jawab bidang, minimnya
pemahaman tentang job description (lih. Tabel 1.1
nomor 3, 11, 16).
���������������������������������������� ��������������������������
��
�
Kontrak kerja dilakukan oleh gereja dengan para
pegawai/pelayan organik gereja di dalam proses
recruitments, yang di dalamnya menekankan kesediaan
mereka untuk ditempatkan di mana saja untuk tugas
pelayanan. Dalam kenyataannya terdapat
pegawai/pelayan organik yang tidak pergi ke tempat
tugasnya karena alasan-alasan intrinsik dan ini
menimbulkan banyak masalah-masalah dalam jemaat.
Verifikasi telah dilaksanakan di GPM. Hasil
pemeriksaan dari tim ini dituang dalam laporan yang
disebut laporan hasil pemeriksaan (LPH). Dalam Focus
Group Discussion (FGD) yang dilakukan Pdt. A.
Latupeirissa, S.Th menyampaikan bahwa:
“Belum ada format yang baku yang disertai dengan indikator-indikator terukur yang digunakan oleh tim verivikasi dalam melakukan kegiatan visitator. Hal ini disebabkan tenaga-tenaga yang direkrut di dalam tim ini hanya berdasarkan pengalaman semata bukan profesionalitas.”4
Proses perekrutan yang didasarkan atas
pengalaman ini berpengaruh dalam penanganan
terhadap berbagai masalah tata kelola keuangan di ���������������������������������������� �������������������
�Hasil FGD tertanggal 18 Januari 2013 di Kantor Klasis Kairatu
��
�
gereja. Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Pdt. Rinto M
yang mengemukakan bahwa:
“Metode perekrutan berdasarkan pengalaman ini membuat jika ada temuan-temuan penting dalam pengelolaan keuangan di gereja seperti masalah jumlah uang kolekta jemaat tertentu yang minim dibarengi dengan beban tagihan tapel 30% yang harus distorkan kepada sinode, tim verifikasi tak dapat memberikan solusi alteratif dan ini membuat pendeta setempat terpaksa menggunakan uangnya sendiri untuk membayar tapel supaya pendeta bisa dapat gaji.” 5
Hingga saat ini gereja masih menggunakan
format tata kelola keuangan anggaran berimbang, yang
mengharuskan seluruh anggaran dipakai secara
berimbang. Padahal dalam pelaporan keuangan di
masing-masing jemaat sering terdapat saldo-saldo kas
dalam angka yang tinggi. Kondisi ini dimungkinkan
disebabkan oleh masalah tata kelola keuangan yang
belum diatur dengan baik, tidak ada sistem pada
pengendalian keuangan gereja, serta sistem rekruitmen
tim verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1
nomor 9, 18, 19).
���������������������������������������� �������������������5Ibid
��
�
Disamping verifikasi, bentuk action accountability
juga dilakukan GPM melalui implementasi RENSTRA
yang di dalamnya terdapat kegiatan monitoring dan
evaluasi (MONEVA). Kegiatan monitoring dan evaluasi
ini sangat membantu dalam mengontrol kinerja
pendeta di jemaat-jemaat, hal ini sangat terlihat dari
penjelasan Pdt. Yan. Matatula, S.Th bahwa:
“Tapi sekarang setelah ada RENSTRA dan PROLITA monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting dan tentunya apa yang dilihat, diamati dan diteliti kita akan diskusikan dalam proses evaluasi dengan komisi, dengan sub komisi tetapi juga dengan kasubid dan MKM. Ini yang dimaksudkan dengan rapat koordinasi, teknis, dan ruang ini yang akan dipakai untuk melakukan evaluasi.”6
Kegiatan MONEVA masih dalam tahap implikasi
awal karena baru disosialisasikan untuk dijalankan di
masing-masing jemaat.
Kegiatan visitasi dilakukan GPM secara formal
dan non formal, namun yang menjadi kendala adalah
pada format dari visitasi itu sendiri.
���������������������������������������� �������������������6 Wawancara dengan Ketua Klasis kairatu tertanggal 18 januari 2013 di ruangan Ketua Klasis Kairatu GPM
��
�
Bentuk redundancy dilakukan GPM dengan
menyediakan tenaga-tenaga cadangan. Berdasarkan
hasil FGD yang dilakukan, kenyataan yang ditemui di
lapangan tidak semua jemaat mempersiapkan tenaga
pelayanan cadangan dengan baik, kebanyakan hanya
dibekali dengan materi LPJ tanpa ada penjelasan
mendalam tentang implementasinya dengan kehidupan
jemaat. Hal yang lebih fatal lagi ialah LPJ yang dibuat
menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang kadang-
kadang tak dapat dimengerti oleh jemaat yang memiliki
latar pendidikan yang rendah.
3. People/culture controls
Dalam proses seleksi dan penempatan
pegawai/pelayan organik kebanyakan berorientasi pada
tugas kependetaan sehingga menimbulkan
keterbatasan tenaga-tenaga profesi. Realitas ini
berdampak pada masalah keterbatasan SDM yang tidak
merata di semua daerah pelayanan; belum tersedianya
tenaga profesional dalam tugas-tugas struktural,
��
�
penelitian, maupun fasilitator, sistem rekruitmen tim
verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1 nomor
15,17,19).
GPM melakukan training kepada para
pegawai/pelayan organik gereja untuk meningkatkan
kemampuannya di jemaat. Namun kegiatan training
yang dilakukan belum maksimal bahkan ada yang
tidak diimplementasikan oleh sebagian
pegawai/pelayan organik dalam tugasnya di jemaat. Ini
dipengaruhi oleh cara pandang dan pemahaman
mereka tentang materi-materi trainingyang diikuti.
Belum adanya mekanisme yang baku dalam
mengontrol implementasi training yang diikuti oleh para
pegawai/pelayan GPM, serta lemahnya kontrol
terhadap implementasi training berdampak pada
masalah belum tertatanya data dan sistem informasi
data karena rendahnya kemampuan dan SDM,
keterbatasan sumber daya manusia yang tidak merata
di semua daerah pelayanan (lih. tabel 1.1 nomor 12,15).
��
�
Tentang desain pekerjaan dan sumber daya yang
diperlukan, aspek ini sudah cukup maksimal dilakukan
di GPM. Dalam melakukan tugas di jemaat-jemaat
pendeta diberikan fasilitas berupa rumah (pastori
jemaat) tetapi juga untuk jemaat-jemaat yang berada di
kota dan memiliki sumber dana yang banyak, biasanya
jemaat menyediakan kendaraan berupa mobil atau
motor yang berfungsi membantu mobilisasi pendeta
dan pelayan ke tempat tugas.
Selain itu untuk menjamin kesejahteraan
pegawai/pelayan organisasi diberikan gaji dan pensiun.
Sistem penggajian berdasarkan atas golongan dan lama
masa kerja pegawai/pelayan organik. Pemberian
pensiun diberikan berdasarkan keputusan sidang XXV
BPL SINODE GPM nomor 13/BPL/XXV/2003. Dasar
pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya
pensiun adalah gaji pokok. Pada saat pegawai/pelayan
organik memasuki masa pensiun mereka diberikan
kompensasi sebesar tiga puluh juta rupiah. Jaminan
yang diberikan sangat bermanfaat sehingga
��
�
pegawai/pelayan organik menjadi tenang dalam
pelayanannya tanpa memikirkan sesuap nasi untuk
keluarganya. Di samping itu ada jaminan kesehatan
yang disiapkan gereja untuk para pegawai/pelayan
organik.
Namun, pada jemaat-jemaat yang terdapat di
daerah-daerah pelayanan yang masih ada di
pedalaman, peralatan pendukung belum tersedia.
Misalnya penyediaan sound sistem untuk ibadah,
tranportasi pendeta, maupun rumah pastori. Belum
terlaksananya metode ini secara maksimal berdampak
pada masalah tidak dimilikinya sarana dan prasarana
yang mendukung pengembangan sistem informasi data;
peralatan pendukung tidak terkelola dengan baik;
ketersediaan sarana dan prasarana belum diarahkan
dalam mendukung tercapainya tujuan pada masing-
masing bidang kelembagaan (lih. Tabel 1.1 nomor
7,8,13).
��
�
Di samping tiga metode yang digunakan dalam
implementasinya gereja mengandalkan peranan Roh
Kudus untuk menuntun dan mengontrol perilaku
pegawai/pelayan organik gereja. Hal ini menjadi dasar
keyakinan pegawai/pelayan organik gereja bahwa tugas
pelayanan yang dilakukan merupakan bentuk dari
keterpanggilan iman mereka. Hal ini dikemukakan
secara tegas oleh ketua sinode GPM bahwa:
“Harus diakui gereja ini dipimpin oleh Roh Kudus, semua nggak bisa kita atur begitu saja. Ada peranan Roh untuk memimpin gereja ini, dan disitu sebenarnya uniknya organisasi keagamaan. Tugas pelayanan gereja merupakan bentuk keterpanggilan iman dan ini yang mendorong para pelayan gereja untuk tetap melakukan tugasnya.”7
Berdasarkan tabel 4.12 Kode etik dan
penghargaan kelompok belum dilakukan di GPM.
Kondisi ini berdampak pada masalah belum optimalnya
penguasaan aturan gereja; minimnya pemahaman
tentang job description (lih. tabel 1.1 no.4,16).
���������������������������������������� �������������������7 Wawancara dengan ketua sinode GPM tertanggal 10 januari 2013
�
�
Implementasi bentuk tone at the top belum
dilakukan secara maksimal oleh semua
pegawai/pelayan organik. Ini dikarenakan masih
terdapat pegawai/pelayan organik yang belum
melakukan hal ini dengan baik, karena apa yang
dikatakan atau yang diajarkannya berbeda dengan apa
yang diimplementasikan. Atau dengan kata lain pola
hidup mereka belum sepenuhnya sesuai dengan pola
pelayanan gereja yang terdapat dalam tata gereja pasal
8. Pola hidup yang bertentangan itu antara lain adalah
masih adanya perilaku miras, kekerasan, dan beberapa
kasus lainnya. Terhadap pelanggaran ini terdapat dua
bentuk punishmentyang dilakukan oleh gereja. Bentuk
yang pertama adalah bentuk tindakan penggembalaan
dan disiplin gereja yang diberikan kepada
pegawai/pelayan organik yang tidak melaksanakan
kewajiban dan tanggung-jawabnya sebagaimana
termaktub dalam ketetapan sinode GPM pasal 2 tahun
1995. Bentuk yang kedua adalah bentuk
pemberhentian pegawai yang tertuang dalam
�
�
Keputusan Sidang BPL nomor 11/BPL/XXV/2003 yang
disebabkan atas tindakan menyimpang dari ajaran
gereja, menyebarluaskan ajaran sesat, memecah-
belahkan persekutuan umat, melakukan tindakan yang
terang-terangan merugikan gereja.
Berdasarkan penjelasan tentang implementasi
sistem pengendalian manajemen pada GPM, maka
secara ringkas hal tersebut akan digambarkan dalam
tabel 4.13.
Tabel 4.13 Implementasi Sistem pengendalian Manajemen pada GPM
Jenis Kontrol Implementasi Kendala Implementasi Results Controls Pelaksanaan DP3 Subjektifitas dalam
penilaian DP3 Action Controls • RENSTRA
• Persetujuan pengelolaan harta milik gereja.
• Kontrol ketat dalam persetujuan.
• Aturan kerja • Verivikasi
Sosialisasi & indikator Mekanisme pemberian persetujuan. Masih ada pegawai/ pelayan organik yang menyimpang dari aturan kerja. Rekruitmen tenaga verifikasi berdasarkan pengalaman.
��
�
• MONEVA • Penyediaan
tenaga pelayan cadangan
Berorientasi pada penggunaan bahan-bahan LPJ.
People/culture controls
• Seleksi dan penempatan
• Training • Pendeta
diberikan fasilitas (rumah, kendaraan, jaminan kesehatan, gaji, pensiun)
• Tone at the top • Gereja
menekankan peranan Roh Kudus yang menuntun & mengontrol perilaku pelayan sebagai wujud panggilan iman.
Lebih mengedepankan pada tenaga pedeta, sedangkan tenaga profesional kurang mendapat perhatian. Hasil training kurang diimplementasi dalam kerja. Untuk jemaat pedalaman peralatan pendukung tidak memadai (sound sistem, rumah pastori, transportasi). .Perilaku pelayan menyimpang dari pola pelayanan gereja.
�
�