13
BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 4.1. Kondisi Wilayah Kota Bogor (Kota Buitenzorg yang artinya “Kota tanpa kesibukan”) terletak diantara 106 derajat 43’30”BT 106 derajat 51’00”BT dan 30’30”LS - 6 derajat 41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 kilometer, dengan luas wilayah 11.850 ha, merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 0 sampai dengan > 350 m diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen (datar) seluas 1.763,94 ha, 2-15 persen (landai) seluas 8.091,27 ha, 15-25 persen (agak curam) seluas 1.109,89 ha, 25-40 persen (curam) seluas 764,96 ha dan > 40 persen (sangat curam) seluas 119,94 ha. Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun1950 Kota Bogor ditetapkan menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2 wilayah Kecamatan 22 kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1992, perwakilan kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan, kini terdapat 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Lokasi Kota Bogor yang dekat dengan ibukota negara dan kedudukannya diantara jalur tujuan Puncak-Cianjur merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. 4.2. Keadaan Penduduk Tren jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu. Tahun 1961, saat sensus pertama kali diselenggarakan, jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 154,1 ribu jiwa. Angka tersebut terus naik, dan sempat terjadi lonjakan penduduk pada tahun 1990-2000 ketika wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1995. Jumlah

BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

BAB IV

GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4.1. Kondisi Wilayah

Kota Bogor (Kota Buitenzorg yang artinya “Kota tanpa kesibukan”)

terletak diantara 106 derajat 43’30”BT 106 derajat 51’00”BT dan 30’30”LS - 6

derajat 41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter,

maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 kilometer, dengan

luas wilayah 11.850 ha, merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan

ketinggian yang bervariasi antara 0 sampai dengan > 350 m diatas permukaan laut

dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen (datar) seluas 1.763,94 ha, 2-15

persen (landai) seluas 8.091,27 ha, 15-25 persen (agak curam) seluas 1.109,89 ha,

25-40 persen (curam) seluas 764,96 ha dan > 40 persen (sangat curam) seluas

119,94 ha.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun1950 Kota Bogor ditetapkan

menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2 wilayah Kecamatan 22

kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1992, perwakilan kecamatan Tanah

Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan, kini terdapat 6 kecamatan dan

68 kelurahan. Lokasi Kota Bogor yang dekat dengan ibukota negara dan

kedudukannya diantara jalur tujuan Puncak-Cianjur merupakan potensi yang

strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun

Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang

menarik.

4.2. Keadaan Penduduk

Tren jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu.

Tahun 1961, saat sensus pertama kali diselenggarakan, jumlah penduduk Kota

Bogor mencapai 154,1 ribu jiwa. Angka tersebut terus naik, dan sempat terjadi

lonjakan penduduk pada tahun 1990-2000 ketika wilayah Kota Bogor bertambah

46 kelurahan dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1995. Jumlah

Page 2: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

penduduk Kota Bogor terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga

menimbulkan tingkat kepadatan yang makin besar pula. Laju pertumbuhan

penduduk Kota Bogor selama 12 tahun (1995-2007) adalah sebesar 2,82 persen,

dengan laju pertumbuhan tertinggi terdapat di Kecamatan Bogor Utara yang

mencapai 4,30 persen. Sementara, di Kecamatan Bogor Tengah, terjadi

pertumbuhan terendah sebesar 0,39 persen. Dalam periode 1999-2006,

pertumbuhan penduduk Kota Bogor memperlihatkan fluktuasi dengan

pertumbuhan terendah sebesar 0,38 persen (1996-1997) dan pertumbuhan tertinggi

sebesar 6,38 persen (2000-2001).

Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bogor sekitar 760.329 jiwa,

kemudian pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006 jumlah penduduk Kota

Bogor menjadi 789.423,820.707,831.751,855.184 dan 855.085 jiwa. Akan tetapi

secara persentase laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tidak begitu stabil.

Pertumbuhan penduduk Kota Bogor antara tahun 2000-2001 sebesar 1.83 persen,

akan tetapi perkembangan penduduk Kota Bogor pada tahun 2001-2002 menjadi

1.79 persen, selanjutnya pertumbuhan penduduk Kota Bogor pada tahun 2002-

2003 relatif sama dengan tahun sebelumnya yakni 1.76 persen dan kemudian

pertumbuhannya naik pada tahun 2003-2004 yakni menjadi 3.41 persen, tahun

2004-2005 1.71 persen dan perkembangan pada tahun 2005-2006 meningkat

kembali menjadi 2.02 persen, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan

penduduk Kota Bogor tidaklah stabil nilainya. Perbedaan laju perkembangan

penduduk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor alamiah (kelahiran dan

kematian) serta migrasi masuk dan keluar.

Page 3: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

Tabel 10. Jumlah Penduduk Kota Bogor Per Kecamatan Menurut Jenis Kelamin

Tahun 2006

Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah

Bogor Selatan 77.254 73.881 151.135

Bogor Timur 38.307 38.958 77.265

Bogor Utara 64.148 61.710 125.858

Bogor Barat 86.496 84.148 170.644

Bogor Tengah 46.235 46.620 92.855

Tanah Sareal 67.006 65.487 132.493

Jumlah 379.446 370.804 750.250

Sumber : BPS Kota Bogor

Keberagaman menjadi salah satu khas penduduk Kota Bogor, baik dari sisi

budaya maupun potensi ekonomi. Kedekatan dengan Jakarta turut memberikan

warna kehidupan masyarakat Kota Bogor. Kepadatan penduduk per km2 sebesar

7.017 jiwa dan sex ratio penduduk Kota Bogor adalah 104 yang artinya 104

penduduk laki-laki berbanding dengan 100 penduduk perempuan. Kecamatan

Bogor Barat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu

195.808 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor

Timur yaitu 89.237 jiwa. Untuk Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan

terpadat dengan jumlah penduduk 13.047 jiwa/km2, hal ini disebabkan karena

pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi banyak berada di kecamatan

ini. Sedangkan kecamatan yang paling rendah kepadatannya adalah Bogor Barat

dan Bogor Selatan. Di dua kecamatan inilah yang masih berpotensi tinggi

terjadinya migrasi penduduk masuk ke Kota Bogor.

Page 4: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

Sumber : BPS, 2006

Gambar 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bogor

Tahun 2000 - 2006

Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 sebanyak 981.000 jiwa dan

di tahun 2010 diprediksi akan menjadi lebih dari satu juta jiwa dengan asumsi

rata-rata pertumbuhan dua persen per tahun. Hasil sensus penduduk 2010, jumlah

penduduk Kota Bogor mencapai 949.066 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar

2,39 persen, diantaranya 484.648 laki-laki dan 464.418 perempuan dan laju

pertumbuhan penduduk sebesar 2,8 persen, Kota Bogor memiliki sumberdaya

manusia yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modal

pembangunan.

4.3. Kondisi Perekonomian

Untuk mengetahui perkembangan perekonomian di Kota Bogor, salah satu

indikatornya adalah diukur dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dikelompokkan menjadi tiga periode

yang berbeda, yaitu : 1993-1998, 2000-2004, 2002-2006. Hal ini mengingat

adanya perbedaan harga konstan dari data PDRB yang diperoleh.

• Pada periode 1993-1998, ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan

sebesar 6,42 persen yang didukung oleh sektor-sektor yang tumbuh tinggi

seperti industri pengolahan (18,38 persen) serta listrik, gas dan air bersih (9,19

persen)

Page 5: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

• Dalam periode 2000-2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 5,91

persen. Pertumbuhan ini didukung sektor-sektor ekonomi yang mengalami

pertumbuhan tinggi seperti industri pengolahan (6,53 persen), listrik, gas dan

air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (7,18 persen),

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,58 persen).

• Pada periode 2002-2006, perekonomian Kota Bogor tumbuh sebesar 6,08

persen. Pertumbuhan ekonomi pada periode ini ditopang oleh sektor-sektor

ekonomi yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (6,38 persen), listrik,

gas dan air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (6,99 persen),

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,91 persen)

Dalam kurun waktu 1993-2006, kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor atas dasar harga berlaku

yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat adalah sektor perdagangan,

hotel dan restoran per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08 persen terhadap

PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya

terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24,13

persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi yang

stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Dalam kurun waktu tersebut,

kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74 persen pada tahun 1993 menjadi

24,13 persen pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel

dan restoran adalah sebesar 28,75 persen, pada tahun 1993 kemudian menjadi

41,08 persen.

Perkembangan perekonomian Kota Bogor tahun 2002 menunjukan

pertumbuhan sebesar 5,78 persen meningkat menjadi 6,07 persen tahun 2003.

Pertumbuhan yang cukup baik ini merupakan modal yang baik untuk pemulihan

ekonomi Kota Bogor. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor

tahun 2002 berdasarkan harga berlaku Rp.3,2 Trilyun pada tahun 2003 meningkat

menjadi Rp.3,6 Trilyun dengan pendapatan perkapita Rp.4.227.462,01 pada tahun

2002 menjadi Rp.4.605.734,59 pada tahun 2003. Pada tahun 2006 PDRB harga

konstan sebesar Rp.1.209.642,71, harga berlaku Rp.2.954.164,95. Tahun 2007

harga konstan sebesar Rp.1.279.881,96 harga berlaku sebesar Rp.3.282.218,41

Page 6: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

meningkat 6,07 persen menjadi sebesar Rp.1.357.633,57 tahun 2003 berdasarkan

harga konstan, sedangkan harga berlaku sebesar Rp.3.645.650,79 meningkat 11,07

persen.

Dilihat dari perekonomiannya, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor

seiring dengan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan, sektor

yang memberikan sumbangan terbesar bagi kenaikan kinerja perekonomian di

Kota Bogor, yaitu :

1. Perdagangan, Hotel & Restoran

2. Industri Pengolahan

3. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

4. Pengangkutan & Komunikasi

5. Jasa-jasa

Sektor ekonomi yang kompetitif di Kota Bogor, adalah sektor :

1. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

2. Jasa-jasa

3. Pertambangan & Penggalian (khususnya sektor penggalian)

Struktur perekonomian Kota Bogor dalam kurun waktu 2007-2008

didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri

pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor tersier

merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap PDRB disusul sektor

sekunder dan sektor primer. Kegiatan perekonomian di Kota Bogor memberikan

indikator-indikator yang positif dan Kota Bogor dapat mengadakan spesialisasi

kegiatan perekonomiannya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor

industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yang

dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.

4.4. Prioritas Pembangunan Daerah

Berdasarkan analisis lingkungan strategis, terdapat beberapa isu strategis

yang perlu mendapat prioritas untuk ditanggulangi dalam 5 (lima) tahun kedepan.

Isu-isu strategis ini berkaitan dengan permasalahan perkotaan meliputi masalah

transportasi dan kemacetan lalu lintas kota, Pedagang Kaki Lima

Page 7: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

(PKL) kebersihan kota dan lingkungan hidup dan kemiskinan yang masih

melanda sebagian warga Kota Bogor.

4.4.1. Masalah Transportasi

Penanganan yang menjadi prioritas pertama untuk segera ditanggulangi

adalah permasalahan transportasi khususnya di dalam kemacetan lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas di Kota Bogor terjadi kedalam beberapa permasalahan

antara lain : 1) Tingginya jumlah angkutan kota sebanyak 3.506 unit ditambah

angkutan kota dari Kabupaten sebanyak 6.895 unit dan angkutan antar kota/antar

propinsi sebanyak 900 unit; 2) Terkonsentrasinya kegiatan jasa, perdagangan,

terminal, obyek wisata dan lain-lain di pusat kota; 3) Terdapatnya sepuluh pintu

masuk yang menuju ke jantung kota; 4) Pola jaringan yang bersifat radial; 5) Pola

jaringan trayek yang tumpang tindih antara angkutan kota dan lintasan trayek

yang cukup pendek; 6) Keberadaan PKL yang memanfaatkan badan jalan; 7)

Kurang tegasnya penegakan hukum oleh aparatur, sehingga menyebabkan

kurangnya disiplin pengemudi dan pengguna jalan; 8) Adanya ruas-ruas jalan

yang bottle neck dan ruas-ruas jalan yang sulit dilebarkan; 9) Beroperasinya rel

ganda kereta api yang mengakibatkan tingginya (rata-rata 8 menit) frekuensi

kereta api, sehingga diperlukan jembatan layang; 10) Terbatasnya sarana dan

prasarana transportasi; 11) Aturan, mekanisme, dan prosedur pemberian izin

trayek tidak sesuai dengan kebutuhan; 12) Belum adanya keterpaduan sistem

manajemen transportasi regional (Bubulak, Laladon, Darmaga, Jalan Sholeh

Iskandar dan Simpang Pomad). Kesemua permasalahan tersebut mengakibatkan

kemacetan lalu lintas yang tersebar di 31 titik kemacetan di Kota Bogor dengan

titik kemacetan yang terparah di sekitar keliling luar Kebun Raya (Pertigaan eks

Pasar Ramayana, Pasar Bogor, Tugu Kujang, Depan Istana Bogor - semuanya

pertigaan), sekitar Terminal Baranangsiang, Pasar Gembrong (Sukasari), Kawasan

Jembatan Merah, Pasar Mawar dan Pasar Anyar, Merdeka-Salmun dan Jalan

Sholeh Iskandar. Penyebab kemacetan pada titik-titik terparah tersebut umumnya

karena pelanggaran aturan berlalu lintas oleh angkot dan PKL yang menggunakan

badan jalan.

Page 8: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

4.4.2. Masalah Pedagang Kaki Lima (PKL)

Penanganan prioritas yang kedua adalah permasalahan Pedagang Kaki

Lima (PKL). Seperti di kota lainnya pertumbuhan sektor ini di kota Bogor

semakin mendapati momennya setelah terjadinya krisis ekonomi mulai

pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh pemerintah daerah, pada tahun

1996 tercatat pedagang kaki lima dititik-titik pusat keramaian berjumlah 2.140

pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei pusat

Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali

lipat menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi

menjadi 10.350 Pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 persen dari

para pedagang tersebut berasal dari luar Kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50

lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL.

Pedagang Kaki Lima (PKL) disatu sisi sebagai sektor informal harus

diberi hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya namun di sisi lain

keberadaan PKL yang tersebar di pusat kota menjadi gangguan kepada kegiatan

lainnya dikarenakan pada umumnya menggunakan ruang publik (fasilitas

umum/hak publik seperti trotoar dan badan jalan). Disamping itu juga disebabkan

belum adanya ketentuan yang mengatur PKL, belum ada konsistensi dan

ketegasan dalam penertiban PKL oleh petugas, belum ada kajian tentang PKL,

belum adanya persepsi bahwa PKL merupakan masyarakat kecil Bogor yang

secara ekonomis potensial belum ada ruang untuk pedagang kecil dan PKL dan

belum ada keterpaduan antara pedagang besar dengan pedagang kecil atau PKL.

Disisi lain perkembangannya sulit dikendalikan sesuai dengan perencanaan dan

penataan kota. Kota terkesan menjadi semerawut dan kumuh serta keberadaan

mereka mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya. Beragamnya latar

belakang pendidikan, kultur sosial dan budaya mereka serta ketidakpeduliannya

aturan dan pada saat petugas tata tertib beroperasi PKL menghilang dan pada saat

petugas tata tertib pergi PKL pun datang dan marak lagi. Pedagang Kaki Lima

(PKL) yang ada di Kota Bogor secara umum digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis,

yaitu PKL yang bersifat musiman, PKL perpanjangan tangan bandar atau

Page 9: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

tergantung kiriman barang (order) dan PKL lama. PKL di sekitar pasar,

khususnya Pasar Anyar dan Pasar Bogor merupakan PKL “pasar tumpah“.

Model penanganan dengan penertiban PKL ini bagi pemerintah sendiri

sebenarnya sangat mahal harganya. Tetapi posisi Pemerintah Daerah memang

sangat dilematis. Di satu sisi Pemerintah Kota adalah regulator yang berfungsi

menegakkan peraturan daerah yang dibuat bersama DPRD (rakyat). Didalam

kasus ini, sesuai Perda No. 1 Tahun 1990 tentang Kebersihan, Keindahan dan

Ketertiban (K3) keberadaan PKL ternyata melanggar aturan itu, tetapi disisi lain

dalam penegakan peraturan daerah secara normatif pemerintah tidak dapat

mengesampingkan faktor sosiologi, seperti perilaku masyarakat dalam pemenuhan

kebutuhan dasar, artinya penegakan hukum yang dilaksanakan harus

memperhatikan segi sosiologis.

Secara umum aktivitas PKL ini memiliki sisi positif dan negatif. Sebagai

wadah kegiatan ekonomi yang digeluti oleh banyak orang, kegiatan pedagang kaki

lima merupakan salah satu potensi ekonomi rakyat yang memiliki fungsi positif

seperti sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, memberi kontribusi

pendapatan bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan

dan ikut berkontribusi dalam mendorong pemerataan ekonomi lokal. Sisi positif

lainnya adalah memberikan harga lebih rendah kepada masyarakat kelas

menengah ke bawah dalam hal pengadaan barang dan jasa yang tidak terjangkau

atau terlayani oleh sektor ekonomi formal. Untuk itu diperlukan adanya peraturan

daerah tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan perlu ada revisi perda

lain yang berkaitan dengan PKL.

4.4.3. Masalah Kebersihan

Penanganan prioritas yang ketiga adalah permasalahan kebersihan yang

mengakibatkan terganggunya kebersihan dan keindahan kota. Permasalahan

sampah yang terjadi adalah akibat dari timbulan sampah yang belum sepenuhnya

dapat terangkut/ dimusnahkan di TPA (baru terangkut sekitar 68 persen dari

jumlah produksi sampah/hari atau sebanyak 1.457 m3/hari dari 2.124 m

3 timbunan

sampah perharinya). Hal ini disebabkan :

Page 10: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

1. Ketersediaan armada angkutan baik dilihat dari kuantitas (52 dump truck, 17

amroll) dengan kondisi yang masih baik 52 persen, 46 persen kurang baik dan

2 persen rusak berat) serta keterbatasan kemampuan alat berat di TPA yang

hanya didukung oleh 2 unit buldozer (1 unit dalam kondisi baik dan 1 unit

rusak), 1 unit truck loader (kurang baik), 1 unit wheel loader (baik) dan 1 unit

excavator (baik), padahal untuk mengelola sampah sebanyak 1.457 m3/hari

idealnya 5 unit alat berat tersebut mempunyai kemampuan yang sama baiknya.

2. Keterbatasan tenaga operasional petugas kebersihan (pengumpul, penyapu,

petugas angkut dan TPA) hanya ada 578 orang bila dibandingkan dengan

kebutuhan 2 orang/penduduk.

3. Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya

dan membayar retribusi.

4. Keterbatasan dalam penyediaan sarana pewadahan (tong/bak sampah) dan

pengumpulan (gerobak) ke seluruh wilayah.

5. Belum memasyarakatnya budaya pengurangan sampah sejak dari sumbernya

dan pengelompokkan sampah organik dan anorganik.

6. Keberadaan TPA Galuga yang statusnya sangat tergantung kepada Pemerintah

Kabupaten Bogor setelah tahun 2005 nanti.

4.4.4. Masalah Kemiskinan

Penanganan prioritas yang keempat adalah permasalahan kemiskinan.

Kriteria miskin berdasarkan BKKBN meliputi 1) Tidak bisa makan 2 kali sehari

atau tidak mampu makan protein hewani satu kali dalam seminggu; 2) Tidak

mempunyai penghasilan tetap minimal sebesar Rp.150.000,00/kapita/bulan; 3)

Tidak mampu menyekolahkan anak usia 7-15 tahun; 4) Tidak mampu berobat dan

KB ke Puskesmas; dan 5) Kondisi rumah berlantai tanah 75 persen dari luas

rumah. Faktor penyebab kemiskinan adalah gabungan faktor internal dan

eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan pembangunan yang

keliru dan juga adanya korupsi yang mengakibatkan berkurangnya alokasi

anggaran kegiatan pembangunan. Faktor internal penyebab kemiskinan antara lain

keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos

kerja yang rendah.

Page 11: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

Akar masalah kemiskinan di Kota Bogor disebabkan oleh beberapa hal

antara lain orang miskin tidak mampu menjangkau pasar kerja (serapan tenaga

kerja yang rendah), terbatasnya lapangan kerja baru (rendahnya investasi padat

karya dan promosi investasi di Kota Bogor belum optimal), alokasi APBD untuk

penanganan tenaga kerja orang miskin belum optimal, kurang terampilnya

masyarakat dalam mengelola asset produktif, kurangnya pengembangan SDM

masyarakat miskin, biaya pendidikan yang terus meningkat, pelayanan kesehatan

masih terlalu mengandalkan dana pemerintah, belum efektifnya pengelolaan

Zakat, Infak, Shodaqoh (ZIS) dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Perkembangan jumlah keluarga miskin yang ada di Kota Bogor dan sebaran

kemiskinan per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut :

Tabel 11. Perkembangan Jumlah KK Miskin di Kota Bogor

Tahun Jumlah KK Miskin Persentase Penurunan/Peningkatan

(%)

2000 31.657 19,50 - 0.83

2001 28.703 17,57 - 1.93

2002 20.956 12,37 - 5.20

2003 17.947 10,27 - 2.10

2004 21.914 14,83 4.56

2005 39.162 23,05 8.22

2006 41.398 21,30 - 1.75

Sumber : BPS Kota Bogor, 2006

4.4.5. Penanganan masalah mendasar

Selain isu-isu tersebut diatas yang menjadi prioritas pembangunan, juga

terdapat permasalahan yang perlu penanganan berkaitan dengan kewenanganan

wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor, antara lain sebagai

berikut :

1. Belum meratanya informasi rencana tata ruang bagi masyarakat dalam

melakukan investasi dan pembangunan, sehingga tidak terkendalinya

perkembangan fisik baik dari segi tata ruang dan tata bangunan.

Page 12: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

2. Cukup besarnya proporsi tanah yang belum memiliki sertifikat dikarenakan

biaya administrasi sertifikat tanah masih memberatkan sebagian besar

penduduk, juga prosedur persertifikatan masih menyulitkan masyarakat.

3. Masih rendahnya tekanan publik terhadap pemanfaatan sumber daya alam

sungai yang disebabkan tidak tegasnya penegakan hukum dan rendahnya

kesadaran masyarakat.

4. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan hidup, yang mengakibatkan kerusakan sumber daya alam serta

beban pencemaran akibat limbah cair dan sampah rumah tangga.

5. Walaupun masyarakat telah menyelenggarakan sebagian jasa prasarana

lingkungan seperti pembangunan jalan, jembatan dan lainnya, namun masih

diperlukan peran pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana khususnya

yang bersifat keperintisan guna mendorong berkembangnya perekonomian

dan membuka keterisolasian wilayah yang bersangkutan.

6. Permasalahan dibidang pendidikan masih banyak anak usia sekolah dasar

yang rawan putus sekolah dan belum tertanganinya anak putus sekolah. Pada

kelompok usia pendidikan SMP dan SMA faktor ekonomi keluarga

merupakan penyebab yang paling menonjol sehingga banyak diantaranya yang

memilih bekerja dibanding melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi.

Sedangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, guru memegang

peranan yang sangat menentukan. Oleh karena itu untuk meningkatkan

akademik dan profesionalisme guru perlu ditingkatkan.

7. Dibandingkan dengan sekolah umum, madrasah relatif tertinggal baik dari

segi mutu, manajemen maupun kelembagaan. Rendahnya kualitas pendidikan

di madrasah umumnya disebabkan oleh kurangnya sarana prasarana dan

minimnya fasilitas pendukung serta mutu tenaga kependidikan.

8. Di bidang kesehatan, walaupun persebaran sarana kesehatan khususnya

puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar secara fisik telah dikatakan

merata, namun demikian belum sepenuhnya dengan peningkatan mutu

pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan

dalam upaya kesehatan masih kurang mengutamakan pendekatan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit.

Page 13: BAB IV Gambaran Umum Kota Bogor

9. Di bidang kependudukan, yaitu kondisi kependudukan belum optimal antara

lain besarnya jumlah penduduk secara absolut dan tingkat kesejahteraan

keluarga relatif rendahnya produktivitas, sehingga keluarga sebagai wahana

pertama untuk meningkatkan kualitas penduduk akan berpengaruh pada

peningkatan kualitas penduduk.

10. Walaupun untuk menunda memiliki anak dan menjarangkan jumlah anak

cukup tinggi di kalangan masyarakat, namun hanya berkisar tentang alat dan

obat kontrasepsi belum kepada peningkatan kualitas kesehatan reproduksi.

11. Jumlah angkatan kerja yang sangat besar belum diimbangi dengan

peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Disisi lain terdapat

ketidakseimbangan antara angkatan kerja dengan pasar kerja, sehingga

jumlah pengangguran cukup tinggi. Disamping itu masih terdapatnya

hubungan antara pekerja dan pengusaha yang belum harmonis sehingga dapat

menimbulkan gejolak ketenagakerjaan.