Upload
dokien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Ir. Soekarno Sukoharjo merupakan
satu satunya rumah sakit yang dimiliki pemerintah daerah Sukoharjo dan
menjadi rujukan bagi kurang lebih 21 Puskesmas (12 UPT DKK
Sukoharjo). Sejarah singkat cikal bakal berdirinya rumah sakit ini berawal
dengan dibentuknya Djawatan Kesehatan Rakyat (DKR) pada tahun
1960. Pertama kali didirikan, bentuk pelayanan di DKR ini meliputi Juru
Imunisasi, BKIA, BP dan Juru Malaria.
Seiring dengan berjalannya waktu pada tahun 2008 sesuai perda
nomer 4 tahun 2008 maka berganti nama menjadi RSUD Kabupaten
Sukoharjo dengan penambahan dibidang pelayanan dan fasilitas
kesehatan. Sampai pada ahirnya tahun 2017 berganti nama lagi menjadi
RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo dengan keputusan Bupati nomor 445/605
tahun 2017, lebih tepatnya tertanggal 2 November 2017. Salah satu misi
rumah sakit ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal dan
dengan motto kerja yaitu “kesembuhan dan kepuasan anda adalah
komitmen pelayanan kami” .(RSUD Ir.Soekarno Sukoharjo, 2011).
Kondisi saat ini, RSUD Ir. Soekarno memiliki jumlah tempat tidur
285 TT dan BOR 72,02%. Untuk keperluan rawat inap pasien, jumlah
ruang atau bangsal yang dimiliki rumah sakit ini kurang lebih 8 bangsal,
dan untuk kelas III ada sebanyak 7 ruangan. Khusus untuk ruang
37
cempaka atas memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 39 TT yang terdiri
dari kelas III dan 4 kamar isolasi. Bangsal cempaka atas dan dahlia atas
sering digunakan untuk keperluan penelitian dengan focusan pada
gangguan penyakit tidak menular (PTM) dan vasculer, selain itu juga
kedua ruangan ini termasuk kelas III.
B. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pekerjaan dan Tingkat Pendidikan
Tabel 6. Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur,
tingkat pendidikan dan pekerjaan.
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Jenis kelamin Laki laki 10 41,7 Perempuan 14 58,3 Total 24 100,0 Umur
Usia pertengahan 12 50,0 Lansia 8 33,3 Lansia tua 4 16,7 Total 24 100,0 Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah 5 20,8 SD 10 41,5 SLTP 3 12,5 SLTA 6 25,0 Total 24 100,0 Pekerjaan Tidak bekerja 5 20,8 Petani 4 16,7 Buruh 10 41,7 Pedagang 5 20,8 Total 24 100
Berdasarkan tabel 6, penyakit hipertensi lebih banyak di derita
dengan jenis kelamin perempuan yaitu 58,3% jika dibanding dengan laki
laki sebesar 41,7%. Penelitian yang dilakukan di RSUP DR. M. Djamil
Padang, ditemukan hasil yang sama bahwa penyakit hipertensi primer
paling banyak diderita oleh perempuan 64,3% jika dibanding dengan laki
laki (Sedayu.,dkk, 2015). Hipertensi juga banyak diderita penduduk
38
Uganda, hasil penelitian di negara tersebut mengungkapkan sekitar
59,8% penyakit hipertensi diderita oleh perempuan (Guatude.,dkk, 2015).
Hal semacam ini dapat terjadi karena proporsi lansia di Indonesia
banyak didominasi oleh perempuan 8,2%, dari pada laki laki 6,9%
(Kemenkes RI, 2013). Selain itu juga terdapat pengaruh dari faktor
hormonal pada tubuh perempuan, yaitu hormon estrogen yang semakin
berkurang saat memasuki masa menapouse. Hormon estrogen berfungsi
untuk mengendalikan kadar LDL dan mengatur HDL pada pembuluh
darah, selain itu perubahan hormonal estrogen yang semakin berkurang
juga berpengaruh terhadap kenaikan berat badan dan tekanan darah
menjadi lebih reaktif terhadap konsumsi natrium (Lita, 2017).
Berdasarkan karakteristik usia pada tabel 6, Usia responden
digolongkan menjadi 3 bagian menurut WHO yaitu golongan usia
pertengahan dengan rentang umur 45-59 tahun, golongan usia lanjut
antara umur 60-74 tahun dan usia lanjut tua yaitu 75-90 tahun. Hasil
penelitian ini menunjukkan pasien hipertensi lebih banyak diderita pada
kategori usia pertengahan atau middle age yaitu antara umur 45-59
tahun sebanyak 50,0%. Sedangkan usia lansia dan lansia tua berturut-
turut yaitu 33,3% dan 16,7%. Hal ini dapat terjadi karena usia harapan
hidup penduduk Indonesia rata rata hanya mencapai umur 70 tahun dan
menurut data badan statistik pada tahun 2015 jumlah populasi lansia
dengan umur diatas 60 tahun sebesar 8,3% dari total seluruh penduduk (
BPS, 2015).
Penelitian lain mengatakan bahwa penyakit hipertensi banyak
diderita pada umur diatas 50 tahun (Agustina, 2014; Arifin, 2016).
39
Penyakit hipertensi di Nepal juga akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur disemua populasi (Mehta dan Shrestha, 2018). Usia
sangat mempengaruhi tingkat elastisitas pembuluh darah seseorang.
Semakin tua usia maka terjadi perubahan struktur pembuluh darah besar
sehingga terjadi penyempitan dan kekakuan pada dinding pembuluh
darah, juga semakin banyak tumpukan plak disekitar aliran darah dan
akan beresiko menjadi ateroklerosis. Jika hal ini terjadi dalam kurun
waktu lama maka aliran darah menjadi terhambat sehingga
memunculkan sifat vasokonstruksi pembuluh darah yang akan berujung
pada penyakit hipertensi (Price dan Wilson, 2006).
Berdasarkan tabel 6, karakteristik responden berdasarkan tingkat
pendidikan digolongkan menjadi tidak sekolah, Tamat SD, SLTP, SLTA
dan perguruan tinggi. Hasil penelitian didapatkan tingkat pendidikan
responden sebanyak 41,5% merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD).
Sedangkan responden yang telah menempuh pendidikan tingkat lanjut
(SLTP dan SLTA) tidak lebih dari 40%. Pendidikan sangat penting
peranannya dalam membentuk perilaku sehat. Penelitian di Aceh
menyebutkan seseorang dengan pendidikan rendah akan berisiko 5,6
kali menderita hipertensi jika dibanding dengan dengan pendidikan
menengah dan tinggi (Fitria dan Marissa, 2016).
Penyakit hipertensi dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarat tentang bahanya dan cara menanggulangi penyakit tersebut.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh terhadap perilaku sebagai
hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan (Fitria dan Marissa,
2016). Tingginya tingkat pendidikan seseorang juga harus dibarengi
40
dengan mudahnya akses terhadap informasi kesehatan untuk
menjalankan hidup sehat, karena penelitian lain mengatakan pendidikan
tidak selamanya ikut berperan terhadap timbulnya penyakit hipertensi,
selain diderita dari kalangan berpendidikan rendah hipertensi ternyata
juga banyak diderita dari kalangan berpendidikan tinggi karena
kurangnya informasi yang mereka dapat dari tenaga kesehatan
(Ramdhani dkk., 2013).
Distribusi frekuensi karakterstik responden berdasarkan pekerjaan
dapat dilihat dalam tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut profesi responden
paling banyak adalah sebagai buruh 41,7% dan paling sedikit adalah
berprofesi sebagai petani yaitu 16,7%.
Berdasarkan keadaan geografis sebagian besar wilayah sukoharjo di
manfaatkan sebagai lahan pertanian, namun juga terdapat dua
perusahan besar yang beroprasi dalam bidang tekstil di kabupaten
Sukoharjo. Sebagain besar karyawan pabrik adalah penduduk sekitar,
sehingga banyak masyarakat yang memilih bekerja menjadi
karyawan/buruh di pabrik tersebut. Seseorang dengan pekerjaan sebagai
buruh pabrik cenderung dituntut untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
sesuai dengan apa yang dikehendaki atasan atau target perusahaan, jika
hal ini berlangsung dalam kurun waktu cukup lama akan dapat memicu
timbulnya tekanan pada psikis seseorang dan akan berujung pada
depresi atau stress.
Pada kondisi tersebut akan terjadi resistensi pembuluh darah perifer
dan peningkatan vasokrontruksi karena adanya peningkatan produksi
hormon adrenalin yang distimulus dari syaraf simpatis (Lita, 2017).
41
Banyaknya tuntutan pekerjaan seperti target uang setoran juga dapat
memicu stress pada sebagian besar sopir bus mini di Jakarta (Prima G
dkk, 2017). Penyakit hipertensi dapat timbul karena salah satunya
adanya paparan stress yang berpepanjangan, seperti yang terjadi di
Magetan, sebanyak 80% subjek depresi mengalami kenaikan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik (Priyoto, 2017).
C. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Hari Perawatan
Stadium hipertensi pada penelitian ini diklasifikasikan
berdasarkan JNC-7 menjadi dua bagian yaitu stage 1 dengan rentan
sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg. Sedangkan stage
dua dengan rentan sistolik ≥60 mmHg atau diastolik ≥100 mmHg.
Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan stadium
hipertensi dengan lama hari perawatan dapat dilihat dalam tabel 7.
Tabel 7. Distribusi subjek penelitian berdasarkan stadium hipertensi dengan
lama hari perawatan
Stadium Hipertensi
Lama Hari Perawatan Total
Pendek Sedang
n (%) N (%) n (%)
Stage 1 3 60 2 40 5 100 Stage 2 9 47 10 52,6 19 100
Berdasarkan tabel 7. Pasien dengan stadium hipertensi stage 2
yang mengalami lama hari perawatan pendek sebanyak 47%.
Sedangkan pasien dengan stadium hipertensi stage 2 yang mengalami
lama hari perawatan sedang sebanyak 52%.
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa stadium hipertensi
dapat menjadi salah satu faktor pemicu pasien mendapatkan perawatan
lebih lama. Penelitian di Semarang menyebutkan stage hipertensi yang
semakin tinggi akan menyebabkan pasien mengalami masa rawat lebih
42
panjang yaitu 4-6 hari (Tyashapsari dan Zulkarnain, 2012; Mehta dan
Shrestha, 2018). Lama rawat inap pendek jika rentang perawatan 1-3
hari sedangkan lama rawat inap panjang jika rentang perawatan 4-7
hari.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian sebanyak 79%
responden ketika masuk rumah sakit sudah dalam kondisi hipertensi
stage 2 seperti terlihat dalam lampiran 8. Pasien yang masuk rumah sakit
dengan tingkat keparahan cukup tinggi akan memerlukan masa
perawatan lebih panjang dibanding dengan pasien datang dengan
penyakit sederhana atau stag 1 (Tedja, 2012).
Status malnutrisi pada penderita hipertensi stage 2 pada
peneltian ini, sebanyak 31,2% beresiko atau malnutrisi. Beberapa pasien
yang menderita hipertensi stage 2 mengeluhkan pusing, berat ditengkuk
sampai mual dan muntah. Penurunan nafsu makan akan terjadi pada
kondisi seperti ini. Jika terjadi dalam kurun waktu lama akan
mengakibatkan penurunan berat badan dan deplesi massa otot.
Faktor lain yang menyebabkan lama hari perawatan pasien
dirumah sakit lebih lama adalah kepatuhan diet terhadap penyakit dan
peran keluarga sebagai pihak pendukung (Ismansyah.,dkk, 2012). Selain
itu jenis dignosis penyerta, dan jenis penyakit yang diderita pasien,
tingkat keparahan penyakit, faktor psikis seperti kecemasan juga menjadi
faktor penentu lama hari perawatan pasien (Nurlindayanti., dkk, 2015).
D. Gambaran Status Malnutrisi Berdasarkan SGA
Penilaian Status malnutrisi dalam penelitian ini menggunakan
metode SGA. Hasil ahir dari penilaian ini digolongkan menjadi status
43
SGA baik, kurang dan buruk. Status SGA baik mempunyai arti bahwa
pasien tidak berisiko malnutrisi, sedangkan status SGA kurang dan buruk
berarti pasien beresiko malnutrisi dan perlu mendapatkan penanganan
khusus dari ahli gizi rumah sakit. Frekuensi karakteristik responden
berdasarkan SGA dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 8.
Tabel 8 Distribusi subjek penelitian berdasarkan status SGA
Stadium Hiperten
si
Status SGA Total
Baik Kurang Buruk
N (%) N (%) N (%) n (%)
Stage 1 2 40 3 40 0 0 5 100
Stage 2 13 68,4 4 21,1 2 10,5 19 100
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa pasien hipertensi
stage 1 dengan status SGA kurang sebayak 40%. Sedangkan pasien
hipertensi stage 2 yang mengalami status SGA kurang dan buruk berturut-
turut sebesar 22,1% dan 10,5%. Prevalensi malnutrisi dirumah sakit masih
cukup tinggi, terbukti dari penelitian di tiga rumah sakit yang berbeda
menyatakan 56,9% menderita malnutrisi saat masuk rumah sakit
(Budiningsari dan Hadi, 2004). Kejadian malnutrisi akan berdampak
negatif pada pasien, selain mempengaruhi masa rawat yang cukup lama,
dampak secara tidak langsung adalah terhadap peningkatan biaya yang
dikeluarkan pasien semakin tinggi (Budiningsari dan Hadi, 2004).
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa resiko malnutrisi pada
pasien lebih banyak diderita pada usia lansia tua. Semakin tua umur
pasien maka semakin banyak beresiko malnutrisi seperti yang terlihat
dalam lampiran 8. Selain terjadi pada lansia tua, resiko malnutrisi juga
banyak dialami oleh pasien dengan jenis kelamin perempuan (lampiran 8).
Perempuan lebih beresiko untuk menderita malnutrisi dibanding laki laki
44
karena perubahan nafsu makan pada gender tersebut lebih cepat berubah
kearah negatif jika dibanding dengan laki laki, sehingga mempengaruhi
asupan makan (Hardinsyah dkk., 2014) dan indikator asupan makan
merupakan salah satu indikator dalam penialain SGA.
Penilaian SGA pada penelitian ini menggunakan 11 indikator.
indikator-indikator tersebut antara lain Indikator pertama dan kedua adalah
kehilangan berat badan selama 6 bulan dan adanya perubahan berat
badan selama 2 minggu terahir. Indikator ke-tiga dan ke-empat adalah
perubahan dan jumlah asupan makan dan lamanya derajat perubahan
asupan makan. Indikator ke-lima dan ke-enam yaitu gejala gastrointestinal
dan kapasitas fungsional tubuh. Indikator ke-tujuh dan ke-delapan adalah
penyakit yang berhubungan dengan kebutuhan gizi dan kehilangan lemak
subkutan. Sedangkan indikator ke-sembilan dan sepuluh adalah
kehilangan massa otot dan odema. Dan indikator terahir adalah adanya
asites. Hasil distribusi indikator SGA pada pasien dapat dilihat dalam tabel
10.
Tabel 9 Distribusi indikator SGA
Indikator SGA
Skore SGA Total
A B C
N (%) n (%) N (%) n (%)
1 20 83,3 1 4,2 3 12,5 24 100 2 3 12,5 12 50,0 5 28,8 3 7 29,2 12 50,0 5 20,8 4 17 70,0 5 20,8 2 8,3 5 19 79,2 4 16,7 1 4,2 6 0 0,0 24 100,0 0 0,0 7 0 0,0 24 100,0 0 0,0 8 13 54,2 4 16,7 7 29,2 9 13 54,2 8 33,3 3 12,5 10 22 91,7 2 8,3 0 0,0 11 20 83,3 3 12,5 1 4,2
45
Berdasarkan tabel 9. Dapat diketahui bahwa indikator ke-satu
atau kehilangan berat badan selama 6 bulan terahir skore A lebih
dominan 83,3% dibanding skore B dan C berturut turut 4,2% dan 12,5%.
Artinya bahwa pasien selama 6 bulan terahir tidak mengalami perubahan
berat badan atau ada perubahan baik beratambah atau menurun namun
masih kurang dari 5%.
Pada indikator ke-2 yaitu perubahan berat badan selama 2
minggu terahir, didapatkan skore A paling sedikit 12,5% jika dibanding
dengan skore B (50,0%) dan Skore C (28,8). Hal ini berarti sebagian
besar pasien selama 2 minggu terhir mengalami penurunan berat badan,
meskipun ada kenaikan tetapi berat badan belum normal atau dibawah
berat badan ideal.
Indikator ke-3 adalah perubahan asupan makan sehari-hari
dibandingkan dengan kebiasaan. Hasil dari wawancara mendalam
sebagian besar pasien mengalami penurunan asupan makan tetapi
masih dalam tingkat ringan, terbukti dengan lebih banyak skore B 50,0%
dan C 28% dibanding skore A 29,2%. Penurunan asupan makan pada
pasien meskipun masih tingkat ringan namun tetap menjadi
permasalahan yang harus di selesaikan agar kondisi pasien tidak
semakin memburuk karena asupan makan sangat penting untuk
menunjang pasien dalam kesembuhan (Kasim dkk., 2016).
Indikator selanjutnya adalah lamanya derajat dari perubahan
asupan makan tersebut. Sebanyak 70,0% adalah skore A, sedangkan
skore B dan C berturut-turut 20,8% dan 8,3%. Walapun terjadi
penurunan asupan makan namun perubahan tersebut tidak lebih dari 2
46
minggu. Perubahan asupan makan terjadi hanya dalam waktu tertentu
yaitu saat pasien mengeluhkan adanya gejala-gejala dari hipertensi.
Indikator ke-5 SGA adalah perubahan gastroitestinal dan
didapatkan skore A 79,2%; skore B 16,7%; dan skore C 4,2%.
Berdasarkan wawancara dengan pasien dan keluarga, banyak
ditemukan pasien mengalami penurunan asupan makan, bahkan sampai
mual dan muntah namun frekuensi tidak setiap hari dan kurang dari 2
minggu. Pasien akan merasakan gejala tersebut tatkala tekanan darah
meningkat yang diikuti dengan pusing dan rasa berat ditungkuk.
Indikator ke-6 adalah kapasitas fungsional tubuh pasien.
Sebagian besar pasien hipertensi yang masuk rumah sakit akan terjadi
penurunan aktifitas tahap ringan. Pada umumnya kondisi pasien kompos
mentis. Mobilisasi diri hanya dilakukan saat pasien pergi ke kamar mandi
dan duduk untuk makan siang. Pada indikator ini sebanyak 100% pasien
berada pada skore B.
Indikator ke-7 yaitu hubungan penyakit dengan kebutuhan gizi.
Penyakit hipertensi dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit
dengan stres metabolik tingkat ringan bersamaan dengan penyakit
jantung kongesif, hernia inguinal dan infeksi. Sedangkan penyakit
dengan stres metabolik tinggi salah satunya adalah kanker dan ulceratif
colitis + diare. Pada penyakit ini akan terjadi katabolisme lebih tinggi,
sehingga diperlukan asupan yang adequat untuk dapat menyeimbangkan
proses metabolisme dalam tubuh sehingga tidak terjadi penurunan berat
badan lebih lanjut (Champe dkk., 20210). Pada penelitian ini semua
47
responden adalah pasien dengan diagnosis hipertensi primer sehingga
didapat hasil skore B sebanyak 100% atau stres metabolik tingkat ringan.
Indikator ke-8 dan ke-9 merupakan kehilangan lemak pada
subkutan dan massa otot pasien. Setelah diukur dengan skindfod
calliper, sebagian besar 54,2% adalah skore A yang mempunyai arti
tidak ada kehilangan pada lemak subkutan pada bagian bisep dan trisep
pasien. Sedangkan pada penurunan massa otot juga didapatkan hasil
yang sama skore A sebanyak 54,2%. Pengukuran massa otot dilakukan
dibagian tulang selangka, tulang scapula, tulang rusuk dan betis.
Indikator ke-10 dan 11 adalah ada atau tidak adanya edama dan
asites. Edema adalah penumpukan cairan pada lapisan bawah kulit,
biasanya terjadi pada kaki dan tubuh. Sedangakan asites adalah
penumpukan cairan khusus yang terjadi pada bagian perut. Kondisi
edema dan asites pasien pada penelitian ini semua mengarah pada
skore A yaitu berturut turut sebanyak 91,7% dan 83,3%. Hal ini
menandakan bahwa pasien hipertensi hanya sedikit yang didapati
menderita edema dan asites. Beberapa pasien saat masuk rumah sakit
menderita asites (skore B 12,5% dan C 4,5%) namun telah ditangani
oleh dokter. Kejadian edema dan asites pada penyakit hipertensi dapat
terjadi karena adanya ketidak seimbangan antar natrium dan kalium
dengan diperantarai adanya proses osmosis dalam sel ketika asupan Na
Lebih Tinggi dari pada asupan Kalium sehingga cairan sel akan tertarik
keluar dan memenuhi volume darah. Selain meningkatkan curah jantung
peningkatan cairan ekstraseluler tersebut juga dapat mengganggu
kinerja dari organ ginjal (Murray dkk., 2014).
48
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat keseluruhan skore SGA
A, B maupun C. Skore A pada penelitian ini lebih dominan jika dibanding
dengan skore yang lainnya. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar
status malnutrisi pasien dapat dikatan tidak beresiko malnutrisi.
E. Internalisasi Nilai Keislaman
Dalam pandangan islam juga disebutkan bahwa penyakit
seseorang dapat timbul lantaran dari manjemen qolbu yang kurang
benar. selain itu juga sebagai ujian, karena sesungguhnya tidaklah Allah
menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya
(HR Bukori). Manajemen qolbu yang kurang baik dapat menyebabkan
stress dan depresi. Hal ini akan mendorong tubuh untuk memproduksi
hormon adrenalin yang berujung pada hipertensi dan kesakitan.
Manajemen stres dalam alquran dijelaskan dalam Surah Al Qoshash (72)
menjelaskan “ terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu
siang itu terus menerus sampai pada hari kiamat, siapakah Tuhan selain
Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu dapat
beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”. Jadi
pada hakikatnya manusia yang diberi cobaan sakit dalam waktu panjang
merupakan cobaan sekaligus pengampunan dosa.
F. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada pengkategorian
umur responden tidak dilakukan secara spesifik. Kriteria inklusi umur
dalam penelitian ini adalah pasien dengann usia dewasa >19 tahun.
Seharusnya pengkategorian umur dilakukan pada rang tertentu karena
proses fisiologi dan metabolisme pada setiap umur berbeda beda.