23
27 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo pertama kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang terdiri dari 4 (empat) ruangan, yaitu : Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap. Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai Rumah Sakit Kelas C yang memenuhi persyaratan 4 (empat) Spesialis Dasar.Pada tanggal 17 September tahun 1987 Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987. Nama tersebut diambil dari nama salah seorang perintis kemerdekaan Putera Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang Kesehatan. Pada Tahun 1991 - 1992 Rumah Sakit Umum Prof. DR. H. Aloei Saboe ketambahan jenis pelayanan yaitu Spesialis Mata dan Tahun 1995 ketambahan Spesialis Telinga Hidung Tenggerokan (THT).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ...eprints.ung.ac.id/5000/9/2013-1-14201-841409013-bab4-30072013023944.pdf4.1.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Berdasarkan

Embed Size (px)

Citation preview

27

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo pertama

kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama

Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang

terdiri dari 4 (empat) ruangan, yaitu : Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap.

Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo ditetapkan dengan Surat Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai

Rumah Sakit Kelas C yang memenuhi persyaratan 4 (empat) Spesialis Dasar.Pada

tanggal 17 September tahun 1987 Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo

berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe Gorontalo

berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987.

Nama tersebut diambil dari nama salah seorang perintis kemerdekaan Putera

Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang Kesehatan. Pada Tahun 1991 - 1992

Rumah Sakit Umum Prof. DR. H. Aloei Saboe ketambahan jenis pelayanan yaitu

Spesialis Mata dan Tahun 1995 ketambahan Spesialis Telinga Hidung Tenggerokan

(THT).

28

Pada tanggal 31 Agustus 1995 Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya

Gorontalo mengusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe

dari kelas C ke kelas B Non Pendidikan.

Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315

tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H. Aloei Saboe

merupakan bagian dari Organisasi Tata Kerja Pemerintah Kota Gorontalo yaitu

Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H .Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Pada tanggal 29 Januari 2009 Rumah Sakit Prof. Dr.H. Aloei Saboe Kota

Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas B berdasarkan SK MENKES Nomor

084 / MENKES/SK/I/2009.

4.1.1.1 Gambaran Umum Ruangan Perawatan Bedah

1. Denah Ruangan Perawatan Bedah

Denah Ruangan Perawatan Bedah adalah sebagai berikut :

1) Timur : Jalan khusus pasien ke lantai 1

2) Barat : Tangga khusus pengunjung kelantai 1

3) Utara : Ruang Interna

4) Selatan : Ruang perawatan bedah atas

29

1. Fasilitas Untuk Pasien

Ruang Perawatan Bedah atas terdiri dari: Ruang kelas I terdiri dari 2 ruangan

dan 2 tempat tidur, Ruang Kelas II terdiri dari 5 ruangan dengan kapasitas 22 tempat

tidur, Kelas III terdiri dari 10 ruangan dengan kapasitas 34 tempat tidur dan 1 ruangan

khusus untuk perawatan pasien.

2. Fasilitas untuk petugas kesehatan

Fasilitas untuk petugas adalah sebagai berikut :

1) Nurse Station berada diantara ruang kelas II dan kelas III dengan fasilitas :

- 1 kamar unutk gudang/inventaris

- 1 kamar mandi / wastafel

- 8 kursi untuk perawat associate

- 1 buah lemari obat/BHP untuk trolley

- 2 meja dan 2 kursi untuk Ketua Tim

2) Ruang administrasi disamping Nurse Station dengan 4 buah kursi, 1 meja dan

2 buah lemari.

3) Ruang Manager Unit dengan fasilitas 1 meja dan 1 kursi kerja, 1 set kursi

tamu, dan satu buah lemari.

4) Ruang perawat dengan fasilitas 3 buah tempat tidur, 2 buah meja, AC, 1 buah

televisi, 1 buah dispenser, 1 buah locker petugas dan kamar mandi.

30

3. Fasilitas alat dan bahan kesehatan

Fasilitas alat dan bahan kesehatan terdiri dari : E C G, Tensi Meter, Steteskop

, Termometer, Oksigen manometer, Bak instrumen, Bak injeksi, Minor surgensi set,

Bengkok, Standar infus, Pispot, Urinal, Baskom mandi, Tabung oksigen, Gunting

verband, Korentang, Timbangan , Tromol besar, dan Tromol kecil

4. Sumber Daya/Ketenagaan

1) Tenaga Keperawatan

Tenaga Keperawatan diruang Perawatan Bedah atas berjumlah 18 orang

dengan rincian

- Manager Unit : 1 orang

- Perawat primer : 3 orang (D III Keperawatan : 3 orang)

- Perawat Asociate : 22 orang (D III Keperawatan : 11 orang, S1

2, dan Ners 1 orang )

2) Dokter : 3 orang

3) Tenaga Non Keperawatan

- Tenaga administrasi : 3 orang ( SLTA)

- Tenaga Evakuasi : 3 orang (2orang SLTP, 1 orang SLTA)

- Tenaga inventaris : 1 orang (SLTA)

31

5. Jenis Penyakit di tahun 2012

Adapun jenis-jenis penyakit yang terbanyak di tahun 2012 yaitu :

Appendisitis, Ca. Mamae, Fraktur, Tumor Coli, Vesikolitiasis, Hemoroid, Hernia,

Diabetes Melitus.

4.1.2 Karakteristik Responden

Data responden dalam penelitian ini diperoleh dari lembar observasi yang

dilakukan peneliti pada saat penelitian pada pasien yang berada di ruang G2 (bedah)

RSUD.Prof.dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Adapun data responden meliputi, Jenis

Kelamin, Umur, Pekerjaan, Diagnosa Medis. Berdasarkan hasil observasi didapatkan

data sebagai berikut :

4.1.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut jenis kelamin yang dapat

dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diruang G2 (Bedah)

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo

Jenis kelamin Frekuensi ( % )

Laki-laki 16 45.7

Perempuan 19 54.3

Total 35 100

32

Berdasarkan hasil Penelitian dapat dilihat dari 35 responden, yang

berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang dengan presentase 54.3% dan laki-

laki sebanyak 16 orang dengan presentase 45.7%

4.1.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut umur yang di golongkan

menjadi 3 yang dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2

Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Diruang G2 ( Bedah )

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Kelompok Usia Frekuensi ( % )

17-21 3 8.6

22-40 18 51.4

41-60 14 40.0

Total 35 100

Berdasarkan hasi penelitian dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden

diruang bedah yang berjumlah 35 responden (100%). Dimana yang paling banyak

berada pada golongan usia 22-40 tahun berjumlah 18 orang (51.4%) dan yang paling

sedikit berada pada golongan usia 17-21 tahun berjumlah 3 orang (5.7%)

33

4.1.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

kota gorontalo diperoleh distribusi responpden menurut penyakit ( Diangonas Medis )

yang dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.3

Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis) Diruang G2

(Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Diagnosa medis Frekuensi ( % )

Appendisitis 13 37.1

Batu Urine 2 5.7

Luka Bakar 1 2.9

BPH 3 8.6

STT 1 2.9

Diabetes Melitus 7 20.0

Leparatomi 1 2.9

Hemoroid Internal 2 5.7

Trauma Otak 1 2.9

Hematuria 1 2.9

Hemoroid Eksternal 1 2.9

Spondilitis TB 1 2.9

Limfagioma 1 2.9

Total 35 100

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 35 responden (100%) yang berdah

diruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota Gorontalo bahwa diagnoasa

medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%) dan yang

paling sedikit yaitu dengan diagnoasa medis luka bakar,STT,leparatomi,trauma

otak,hematuria,hemoroid eksternal,spondilitis TB, dan limafagioma masing

berjumlah 1 orang (2.9%).

34

4.1.3 Variabel Penelitian

Pelaksanaan penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang

kejadian flebitis diruan G2 ( bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo

tahun 2013

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 20 mei sampai pada tanggal

5 juni 2013 maka didapatkan data sebagai berikut :

4.1.3.1 Distribusi Kejadian Flebitis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis yang dapat dilihat pada tabel 4.5

berikut ini :

Tabel 4.4

Distribusi Kejadian Flebitis Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe

Kota Gorontalo Tahun 2013

Kejadian flebitis Frekuensi ( % )

Tidak Flebitis 24 68.6

Flebitis 11 31.4

Total 35 100

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kejadian flebitis di ruang

G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo yaitu tinggi, dengan

menderita flebitis sebanyak 11 orang dengan presentase 31.4% dan tidak flebitis

sebanyak 24 orang dengan presentase 68.6 % dikatakan tinggi karena masih diatas >

5 % sesuai standar yang di berlakukan oleh INS.

35

4.1.3.2 Distribusi kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan ukuran kateter infus

yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini :

Tabel 4.5

Distribusi Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus Diruang G2 (Bedah)

Rsud.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo

Ukuran kateter

infus

Kejadian Flebitis

Total Flebitis Tidak Flebitis

Ukuran 20 G (gauge) 9 7 16

% 56.25 43.75 100

Ukuran 22G (gauge) 2 17 19

% 10.53 89.47 100

Total 11

31.4

24

68.6

35

100

Berdasrkan hasil penelitian, bahwa dari 35 respoden, Responden yang

mengalami flebitis lebih banyak terjadi pada Responden yang terpasang infus dengan

ukuran 20 G berjumlah 9 orang dengan presentase 56.25 %, kemudian Responden

yang terpasang infus dengan ukuran 22 G berjumlah 2 orang dengan presentase 10.53

% dan Responden yang tidak mengalami Flebitis dengan memakai ukuran kateter

infus 22 G sebanyak 17 orang dengan presentase 89.47 %, responden yang memakai

ukuran kateter infus 20 G sebanyak 7 orang dengan presentase 43.75 %

36

4.1.3.3 Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan letak pemasangan

infus yang dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini :

Tabel 4.6

Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus diruang G2 ( Bedah )

RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahu n 2013

Letak pemasangan

infus

Kejadian Flebitis

Total Flebitis Tidak Flebitis

Vena Pergelangan

Tangan

3 13 16

% 18.8 81.2 100

Vena Punggung tangan 8 11 19

% 42.1 57.9 100

Total 11

31.4

24

68.6

35

100

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari 35 responden, letak

pemasangan infus yang paling banyak terjadi flebitis yaitu divena pergelangan

tangan sebanyak 3 orang dengan presentase 18.8%. vena punggung tangan atau

metakarpal sebanyak 8 orang dengan presentase 42.1%, Kemudian yang tidak

mengalami flebitis sebanyak 13 orang dengan presentase 81.2% yaitu vena

pergelangan tangan, dan vena pergelangan tangan yaitu berjumlah 11 orang dengan

presentase 57.9%.

37

4.1.3.4 Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan fiksasi kateter infus

yang dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini :

Tabel 4.7

Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus diruang G2 ( Bedah )

RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahun 2013

Fiksasi kateter

infus

Kejadian Flebitis Total

Flebitis Tidak Flebitis

Tidak adekuat 7 8 15

% 46.7 53.3 100

adekuat 4 16 20

% 20.0 80.0 100

Total 11

31.4

24

68.6

35

100

Berdasarkan hasil penelitian ditunjukan dimana responden yang paling

banyak mengalami flebitis yaitu Responden yang fiksasi kateter infus yang tidak

adekuat sebanyak 7 orang dengan presentase 46.7%, dan fiksasi kateter infus yang

adekuat sebanyak 4 orang dengan presentase 20.0%. Kemudian Responden yang

tidak mengalami flebitis lebih banyak pada Responden yang memiliki fiksasi kateter

yang adekuat berjumlah 16 orang dengan presentase 80.0% dan yang tidak

mengalami flebitis pada responden yang memiliki fiksasi kateter yang tidak adekuat

berjumlah 8 orang dengan presentase 53.3%

38

4.1.3.5 Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan faktor usia yang

dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini :

Tabel 4.8

Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Reponden Diruang G2 ( Bedah )

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo

Usia Kejadian Flebitis Total

Flebitis Tidak Flebitis

17-21 1 2 3

% 33.3 66.7 100

22-40 4 14 18

% 22.2 77.8 100

41-60 6 8 14

% 42.9 57.1 100

Total 11

31.4

24

68.6

35

100

Berdasarkan hasil penelitian dari 35 responden setelah dilakukan observasi

responden yang mengalami flebitis paling banyak berusia 41-60 tahun sebanyak 6

orang dengan presentase 42.9%,responden yang berusia 22-40 tahun sebanyak 4

orang dengan presentase 22.2% dan responden yang berusia 17-21 berjumlah 1 orang

dengan presentase 33.3%. Kemudian responden yang tidak mengalami Flebitis paling

banyak berusia 22-40 tahun sebanyak 14 orang dengan presentase 77.8%, responden

yang berusia 41-60 tahun berjumlah 8 orang dengan presentase 57.1% dan usia 10-20

sebanyak 2 orang dengan presentase 66.7%

39

4.1.3.6 Distribusi Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Infus.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan hari infeksi yang

dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini :

Tabel 4.9

Distribusi Flebitis Berdasarkan lama Pemasangan Infus Diruang G2 ( Bedah )

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo

Lama

pemasangan infus

Kejadian Flebitis Total

Flebitis Tidak Flebitis

Hari ke 1 0 3 3

% 0.0 100 100

Hari ke 2 3 3 6

% 50.0 50.0 100

Hari ke 3 3 6 9

% 33.3 66.7 100

> 3 hari 5 12 17

% 29.4 70.6 100

Total 11

31.4

24

68.6

35

100

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruang G2 (bedah)

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo bahwa yang paling banyak kejadian

flebitis terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari yaitu sebanyak 5 orang

29.4%. Hari ke 3 sebanyak 3 orang 33.3% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% hari

pertama tidak ada kejadian flebitis, kemudian yang tidak flebitis paling banyak terjadi

pada lama pemasangan infus di atas 3 hari sebanyak 12 orang 70.6% pada hari ke 3

40

sebanyak 6 orang 66.7% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% dan hari pertama

sebanyak 3 orang 100%.

4.2.Pembahasan

Flebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang merupakan

komplikasi pada pemberian terapi intra vena (IV) dan ditandai dengan gejala khas

peradangan yaitu: bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada

daerah insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Brooker,et all dalam

Sugiarto, 2006). Flebitis yaitu daerah yang mengalami bengkak, panas, dan nyeri

pada kulit tempat kateter intravaskuler dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis

disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demarn dan pus yang keluar dari

tempat tusukan, ini dapat digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Saifuddin,

2004). Dalam kejadian flebitis telah diberlakukan standard oleh INS ( Infusion Nurses

Society ) dimana kejadian flebitis harus dibawah dari 5%

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe

kota gorontalo di dapatkan hasil sebagai berikut :

4.2.1 Karakteristik Responden.

Berdasrkan hasil analisis bahwah dari 35 responden yang dilihat berdasarkan

jenis kelamin yang paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang

(54.3%), kemudian diagnosa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak

13 orang (37.1%).

41

4.2.2 Kejadian Flebitis

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kejadian flebitis dirumah

sakit.Prof.Dr.Aloei Saboe yaitu Tinggi dengan menghitung kejadian flebitis dari

aplikasi SPSS. Maka didapatkan hasil infeksi flebitis sebesar 31.4% dikatakan tinggi

dimana insiden flebitis di RSUD. Prof.Dr.Aloei Saboe masih tinggi di atas 5%.

sesuai standar yang diberlakukan oleh INS harus dibawah 5 %.

Peneliti berpendapat bahwa tingginya infeksi flebitis di sebebabkan oleh

beberapa faktor/domain seperti : ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi

infus, faktor usia dan lama pemasangan infus. Bukan dari jenis kelamin dan diagnosa

medis, karena hal ini disebabkan oleh yang berkaitan langsung dengan flebitis yaitu

terapi intravena (ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus) dan usia,

hal ini karena usia berpengaruh langsung pada flebitis dimana dilihat dari segi fungsi

vena pasien.

flebitis terjadi karena faktor mekanik yaitu ukuran kateter infus, letak

pemasangan infus, fiksasi infus (Gabriel, et al, 2005), hal yang sama juga dinyatakan

oleh INS bahwa kejadian flebitis di sebabkan oleh pemasangan infus yang terlalu

lama, dan flebitis terjadi karena faktor umur sesuai yang di nyatakan oleh ( Phillips,

2010).

Sesuai data yang di dapatkan peneliti bahwa Selama tahun 2012 telah tercatat

infeksi flebitis sebanyak 7.51% di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo

42

Pencegahan flebitis dapat dilakukan dengan cara bagaimana perawat bisa

memilih ukuran yang tepat untuk vena pasien, letak pemasangan yang jauh dari

daerah yang banyak dilakukan pergerakan oleh pasien sehingga meminimalkan

trauma pada tunika intima, diberikan fiksasi yang adekuat dan fiksasi yang jauh dari

letak pemasangan infus yang dekat dengan persendian yang dapat membuat plester

dapat kendur akibat pergerakan yang berlebihan, kemudian faktor umur dimana

perawat harus jeli melakukan terapi intravena, dari pemilihan ukuran kateter infus

sampai pada perawatan infus karena yang sudah lanjut usia mengalami penurunan

fungsi vena, dan lama pemasangan infus harus dibawah dari 3x24 jam disesuaikan

dengan standar yang diberlakukan oleh INS.

Adapun domain/ faktor-faktor yang berdistribusi pada kejadian flebitis yang

digambarkan oleh peneliti yaitu pemasangan infus, ukuran kateter infus, fiksasi

infus,umur pasien dan lama pemasangna infus.

1. Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Infus

Berdasarkan hasil penelitian di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe

kota gorontalo. Bahwa yang mengalami flebitis paling banyak disebabkan oleh

ukuran kateter infus 20 G berjumlah 9 orang, ( 56.25 %) dan yang tidak mengalami

flebitis pada ukuran 22G sebanyak 17 orang (89.47%)

Peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ukuran kateter 20 G, lebih

besar dari ukuran kateter 22 G, dimana resiko mencedrai vena cukup tinggi di ukuran

43

kateter 20 G, yang bisa menyebabkan flebitis, atau hal ini dikarenakan bahwa perawat

tidak mempertimbangkan ukuran kateter dengan ukuran vena pasien sehingga

mencendrai vena pasien dapat terjadi karena tidak sesuai dengan vena pasien, atau hal

ini bisa saja terjadi karena keterbatasan stok kateter infus sehingga perawat tidak ada

pilihan lain selain menjalankan tindakan keperawatan dengan kateter yang

tersedia/ada yang diberikan sesuai fungsi dari setiap ukuran kateter infus yaitu untuk

terapi intravena. jadi ukuran yang digunakan untuk terapi intravena yaitu yang

berukuran 22G untuk mengurangi resiko terjadi flebitis.

Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwah ada kaitannya ukuran

kateter infus dengan angka kejadian flebitis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh

Asrin (2006), dengan judul analisis faktor-faktor terjadinya flebitis di dapatkan hasil

dari 74 responden yang mengalami flebitis sebanyak 17 (22,9 % ) dikarenakan ukuran

kateter 20 G (gauge).

Flebitis yang disebabkan oleh ukuran kateter infus bisa di minimalisir jika

perawat mempunyai pengetahuan tentang flebitis atau cara meminimalisir yaitu dari

cara mempertimbangkan ukuran kateter infus dengan vena pasien, menyesuaikan

ukuran infus sesuai fungsinya yaitu misalnya untuk usia lanjut harus memakai ukuran

22G karena kondisi vena yang sudah buruk akibat penurunan fungsi fisiologis pasien

itu sendiri sehingga dapat mengurangi resiko cederanya vena pasien dan tentunya

dapat meminimalisir inseden flebitis.

44

2. Kejadian Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diruang G2 (bedah)

RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan bahwa kejadian flebitis lebih

banyak terjadi di vena punggung tangan/metakarpal yaitu berjumlah 8 orang, (42.1%)

dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak di vena pergelangan tangan

sebanyak 13 orang (81.2%).

Peneliti berpendapat bahwa hal ini terjadi karena lokasi punggung tangan

/metakarpal dan vena pergelangan tangan ini merupakan alat gerak yang paling

dominan dan memiliki nila yang tidak jauh berbeda maka bisa menyebabkan

flebitis, pada lokasi ini juga terdapat Sendi pelana dimana sering terjadi pergerakan

akibat aktivitas pasien misalnya digunakan sebagai penopang saat posisi tidur untuk

duduk, dan dari posisi duduk untuk berdiri.

Sesuai teori yang dikemukakan oleh potter dan perry (2010, hlm. 141-142)

bahwa posisi ekstremitas yang berubah, khususnya pada pergelangan tangan atau siku

dapat mengurangi kecepatan aliran infus dan mempengaruhi aliran dalam darah. Hal

ini juga dinyatakan oleh (Rocca, 1998). Yaitu dimana lokasi-lokasi yang sering

menyebabkan komplikasi seperti flebitis, infiltrasi dll adalah seperti vena digitalis

sampai vena dorsalis. Vena dorsalis (metacarpal/punggung tangan) berasal dari

gabungan vena digitalis, dimana kerugiannya tempat/letak digunakan untuk aktivitas

sehari-hari seperti makan, minum, cuci tangan dll, hal inilah yang dapat menimbulkan

komplikasi flebitis.

45

Di lihat dari penelitian sebelumnya yang di laukan oleh Mulyani (2010),

bahwa dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak

pada vena sefalika dan tidak terjadi flebitis sebanyak 11 responden (91,7%).

Sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi flebitis

sebanyak 20 responden (41,7%).

Kejadian flebitis yang disebabkan oleh letak pemasang infus bisa di

minimalisirkan dengan menggunakan vena yang lokasinya jauh dari pergelangan

tangan/persendian sebagai lokasi untuk pemasangan terapi intravena yang bagus,

untuk mengurangi kejadian flebitis yaitu seperti median antebrachial vein (Smeltzer,

2010)

3. Kejadian Flebitis Berdasarkan Fiksasi Infus

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD. Prof.Dr Aloei Saboe, di dapatkan

bahwa flebitis tinggi pada fiksasi kateter yang tidak adekuat yaitu sebanyak 7 orang,

(46.7%) dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada fiksasi yang adekuat

sebanyak 16 orang (80.0%).

Peneliti berpendapat bahwa fiksasi kateter yang tidak adekuat dilihat dari

plester yang digunakan tidak merekat dengan kuat dikulit, hal ini dikarenakan

lembabnya permukaan kulit pasien karena berkeringat sehingga lama-kelamaan

plester tidak merekat dengan baik dikulit dan didukung lagi dengan letak pemasangan

infus didaerah persendian atau didaerah yang sering dilakukan pergerakan oleh pasien

untuk kebutuhan sehari-harinya maka dengan ini plester akan mudah terlepas atau

46

kendur sehingga dengan mudah kateter infus keluar masuk divena dimana resiko

mencendrai vena dapat terjadi dan resiko terpaparnya kateter infus dengan

lingkungan luar yang bisa masuknya bakteri dalam vena. yang mengakibatkan

flebitis.

Menurut teori yang di kemukakan oleh (Pujasari dalam Sugiarto, 2006),

bahwa flebitis terjadi diakibatkan karena pengaruh kanul yang tidak terfiksasi adekuat

pada vena di area persendian yang memungkinkan pasien melakukan pergerakan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Gayatri dan Handayani di

rumah sakit siti khadijah Palembang menyatakan bahwa 35% dari 60 responden

mengalami flebitis dengan Hal ini disebabkan karena kurangnya fiksasi ( tidak

adekuat ) dan dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian lainnya.

Flebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus yang tidak adekuat bisa di

minimalisir dengan memilih letak pemasangan infus yang jauh dari area persendian

atau menghindari letak pemasangan yang sering digunakan pasien untuk beraktivitas.

4. Kejadian Flebitis Berdasarkan Faktor Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe

Kota Gorontalo, bahwah kejadian flebitis paling banyak terjadi pada usia41-60 tahun

yaitu sebanyak 6 orang, (42.9%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak

pada usia 22-40 sebanyak 14 orang (77.8%).

Peneliti berpendapat bahwa orang yang sudah berusia lanjut/lansia sudah

tidak memiliki fungsi vena yang baik karena penurunan fungsi fisologis sehingga

47

resiko cederanya vena yang disebabkan oleh kateter infus itu bisa terjadi dan dapat

menyebabkan flebitis, hal ini juga bisa dikarenakan oleh ukuran kateter infus,

dimana jika ukuran kateter infus lebih besar di pakai pada pasien yang sudah

menurun fungsi venanya, maka dapat terjadi resiko kerusakan pembuluh darah vena

yang bisa menyebabkan terjadinya flebitis

Sesuai pernyataan dari Phillips (2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi

flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang yang berusia

lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini juga yang menyebabkan

semakin sulit untuk dipasang terapi intravena/resiko mencedrai vena itu bisa terjadi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamma (2010) di

RSUD Tugurejo Semarang, berjudul hubungan antara pemasangan infus dan tingkat

usia dengan kejadian flebitis . Di dapatkan dari 100 responden yang mengalami

flebitis pada usia yang sudah tua yaitu 35-65 sebesar 46,7 %.

Faktor umur merupakan salah satu penyumbang insiden flebitis, hal ini bisa di

minimalisir kejadian flebitisnya dengan menggunakan ukuran kateter infus yang

sesuai dengan vena pasien atau ukuran infus yang digunakan sesuai kondisi vena

pasien yang sudah lanjut usia yaitu menggunakan ukuran kateter yang berukuran

22G sebagaiman yang direkomndasikan oleh INS dalaam penggunakan kateter infus

untuk lansia dan anak-anak.

48

2. Kejadian Flebitis Berdasrkan Lama Pemasangan Infus

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang paling

banyak mengalami flebitis yaitu dengan lama pemasangan diatas 3 hari sebanyak 5

orang (29.4%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada lama

pemasangan 3 hari sebanyak 6 orang (66.7%).

lama pemasangan infus sering dikaitkan juga dengan insiden flebitis, Peneliti

berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi karena pada awalnya vena mungkin

meradang karena kateter infus yang terlalu besar, atau mungkin karena terpaparnya

kateter infus dengan bakteri-bakteri dari luar akibat fiksasi yang tidak adekuat

sehingga semakin lama pemasangan infus dengan diawali oleh hal-hal seperti

awalnya terjadi peradangan kemudian terpaparnya kateter infus dengan kuman-

kuman dan di dukung oleh lama pemasangan infus tanpa dilakukan perawatan maka

semakin tinggi bakteri berkembangbiak sehingga resiko terjadi flebitis juga semakin

tinggi.

Sesuai pernyataan oleh perry and potter, 2005, Di katakan bahwa hal ini

dikarenakan pada hari pertama penusukan terjadi kerusakan jaringan, di mana apabila

ada jaringan yang terluka atau terbuka akan memudahkan mikroorganisme masuk.

Dengan masuknya mikroorganisme tersebut maka tubuh akan merespon dan ditandai

adanya proses inflamasi. Proses inflamasi yang merupakan reaksi tubuh terhadap luka

dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama 3 hari atau lebih setelah

cedera.

49

Hal ini juga di lihat dari penelitian sebelumnya oleh Masiyati di dapatkan

angka kejadian flebitis paling tinggi dengan lama pemasangan infus 96-120 jam

sebesar 60 % dari 30 sampel.

Flebitis yang didasarkan oleh lama pemasangan infus bisa di minimalisir

dengan cara menerapkan prosedur yang diterapkan oleh INS, bawah pergantian set

infus dilakukan 3x24 jam atau kurang, jika terjadi kontaminasi atau komplikasi.