Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1 Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
4.1.1.1 Sejarah Perkembangan Kota Sawahlunto
Kota Sawahlunto merupakan kota tambang, yang dimulai sejak ditemukannya
cadangan batu bara di kota ini pada pertengahan abad ke-19 oleh Ir. de Greve. Sejak 1
Desember 1888 pemerintah Hindia-Belanda mulai melakukan investasi, yaitu ketika uang
sebesar 5.5 juta gulden ditanamkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk membangun
berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara, dalam memenuhi
kebutuhan industri dan transportasi masa itu. Kemudian hari peristiwa ini diabadikan
sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.
Van Lier (1917) maupun Gedenkboek der Staatssoor en Tramvegen dalam
Nederlandsch Indie 1875-1925, terbitan tahun 1925 menulis perkataan Sawahlunto yang
terdiri dari dua suku kata yaitu “Sawah dan Lunto”. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan
daerah pertambangan Ombilin itu sendiri.
Di dalam daerah pertambangan Sungai Durian (daerah pertambangan yang pertama)
terdapat sebuah negeri bernama Lunto. Membelah kota Sawahlunto dari Selatan ke Utara
terdapat sebuah sungai bernama Batang Lunto. Daratan yang sekarang menjadi perumahan
dan pasar sampai ke Timur (Rumah Sakit) dahulunya adalah persawahan. Jadi Sawahlunto
berasal dari daerah persawahan, negeri Lunto dan Batang Lunto. Nama kota Sawahlunto
dikembalikan seperti dahulu yang terdiri dari dua suku kata: Sawah dan Lunto.
Dalam Bahasa Belanda Ir.R.J.Van Lier (1971) menyatakan ”In October 1892 began
men met de werkzaamheden in het Soengel Doerlan kolenveld, enn onderdeel van het
geheele kolenbekken, en zoo ontstond op natte sawahs en tegen ontstond op natle sawahs en
tegen stele bergwanden het nu nijvere minjbouwplastsje Sawahlunto.
Menurut Ir.R.J.Van Lier dalam Onze Kolonial Mijnbouw III de Steeen-
kolenindustrie” 1917. Pada bulan Oktober 1892 mulailah orang mengerjakan ladang batubara
di Sungai Durian, yang merupakan sebagian dari seluruh pekerjaan membuat pintu-pintu
lubang penggalian
2
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
batubara yang terletak di sawah-sawah yang berair dan di lereng-lereng bukit yang terjal yang
sekarang menjadi kota kecil pertambngan Sawahlunto”.
Tiga hal dapat disimpulkan dari keterangan Van Lier ini :
1. Daerah tambang batubara yang pertmana dibuka adalah di Sungai Durian.
2. Pembukaan tambang batubara Ombilin yang pertama dimulai pada bulan Oktober
1892.
3. Sejak semula Sawahlunto sudah merupakan kota tambang yang kecil.
Rusli Amran juga mencatat dalam buku, ”Sumatera Barat sampai Pelakat Panjang,
jilid II, menyebutkan, bahwa Negeri Lunto termasuk konsesi Sungai Durian 70 Ha. Rusli
Amran juga mencatat tambang Ombilin yang pertama dibuka adalah di Sungai Durian pada
tahun 1892. Dalam “Gedenkboek der Staatsspoor en Tramvegen In Nederlandsch Indie 1875-
1925, terbitan tahun 1925 (Buku Peringatan Kereta Api Pemerintah dan tram di Hindia
Belanda 1875-1925) dituliskan, bahwa pembuatan jalan kereta api di Sumatera Barat
bersambung dari tahun-tahun. Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Air sampai ke Padang
Panjang (71 KM) selesai dalam bulan Juli 1891, Padang Panjang Bukittinggi (19 KM) selesai
pada 1 Nopember 1891. Padang Panjang Solok (53 KM) selesai pada 1 Juli 1892, Solok
Muara Kalaban (23 KM) dan Padang Teluk Bayur (7 KM) keduanya pada tanggal yang sama
yaitu pada 1 Oktober 1892. Jalan kereta Api dari Muara Kalaban ke Sawahlunto dengan
menembus sebuah bukit yang kemudian bernama “Lubang Kalam” selesai pada 1 Januari
1894.
Pembukaan jalan kereta api ke Sawahlunto menembus lubang kalam ini pada 1
Januari 1894 dapat dijadikan alternatif tahun pembukaan tambang batubara. Kereta api adalah
alat transportasi yang dinamis yang dapat membawa tidak saja batubara melainkan juga orang
yang kemudian menjadi penduduk Kotamadya Sawahlunto. Kota-kota di Indonesia pada
umumnya adalah warisan sejarah Islam dan jaman kolonial Belanda. Kota-kota kolonial
khususnya berkembang dari kombinasi tipe kota administrasi dan komersial. Sebagai warisan
sejarah kolonial, Kota Sawahlunto memiliki ciri yang lebih khusus, bukan saja karena raison
d’ere (alasan keberadaannya), tetapi juga dari segi fisik kota dan pertumbuhannya dalam arti
luas.
Asal mula Kota Sawahlunto tidak terlepas dari kebijakan ekonomi regional
pemerintah Belanda di Sumatera Barat. Pada akhir abad ke 19, Belanda menyusun sebuah
proyek pembangunan ekonomi, yang akan memainkan peran sentral sebagai pilar
3
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
perekonomian kolonial dimasa datang. Proyek itu lebih dikenal “proyek tiga serangkai”
berkenaan dengan pembangunan (i) Tambang Batu bara Ombilin (TBO), (ii) Jaringan Kereta
Api dan (iii) Teluk Bayur. Ketiga “pilot project” tersebut waktu merupakan suatu “sistemic
linkage”. Artinya jika salah satu gagal dikerjakan, maka hilanglah fungsinya. Karena itu,
siapa yang akan mengerjakannya, harus mengerjakannya sekaligus.
Keberadaan TBO, karenanya tidak terlepas dari proyek kolonial tersebut. Demikian
pula kehadiran Kota Sawahlunto sebagi sebuah kota tambang juga tidak terlepas dari TBO.
Bermula dari hasil survey geologis sejak tahun 1856, pemerintah kolonial telah meyakini
adanya endapan batu bara di Ombilin, dekat Sawahlunto tetapi survey yang lebih yang lebih
mendalam baru terjadi sejak akhir 1880-an. Salah seorang perintis eksplorasi TBO ialah Ir.
W.H. de Greve. Sayangnya ia tewas tenggelam di Batang Kuantan, dekat Durian Gadang,
sewaktu menjalankan tugas mengadakan survey guna kepentingan pengangkutan batu bara
Ombilin menuju jalur pantai timur.
Baru pada bulan Maret 1891, usaha itu dilanjutkan oleh seorang Insinyur tambang
bernama Ijzermann. Dia menyelidik trayek sepanjang 300 km dari Muara Kalaban menuju
pantai timur dalam rangka membangun jaringan lalu lintas alternatif untuk pengangkutan
batu bara keluar Ombilin.
Hingga 1899 investasi pemerintah yang dikeluarkan untuk membangun proyek ”tiga
serangkai” (TBO, jalur kereta api dan pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur) mencapai
35.034.000 Gulden. Keuntungan yang akan diperoleh dari penghasilan penambangan TBO
dapat menutup semua biaya yang dikeluarkan. Sejak berproduksi efektif tahun 1892, TBO
mulai memetik keuntungan dengan rata-rata produksi sekitar 1.758 setahun. Kesulitan utama
dalam memacu produksi terkendala oleh alat pengangkut batu bara keluar Ombilin. Pada
waktu itu batu bara diangkut dengan kuda beban sampai Muara ke Kalaban dan dari sana
selanjutnya dengan kereta api ke Teluk Bayur.
Dengan dibangunnya sarana jalan kereta api dari Muara Kalaban ke Sawahlunto sejak
1894, maka kapasitas produksi dapat ditingkatkan sekian kali lipat pada tahun-tahun
berikutnya sehingga mencapai 200.000 ton pada tahun 1901 dan pada saat itu pemerintah
masih terus berupaya meningkatkan produksi tidak kurang dari 360.000 ton setahun. Sampai
berakhirnya kekuasaan kolonial, kapasitas produksi maksimal TBO mencapai 0.5 juta ton dan
kondisi ini mengalami kemerosotan pada tahun-tahun setelah Jepang dan Indonesia merdeka,
4
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kecuali sejak 1985 TBO dapat bangkit kembali dengan mengenjot produksi mencapai diatas
0.5 juta ton seperti dijaman kolonial. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Realisasi Produksi Batu bara UPO Periode Tahun 1985 s/d 2002
TAHUN PRODUKSI (TON)
1985 770,751.88
1986 710,149.25
1987 506,176.75
1988 558,807.18
1989 610,390.61
1990 650,589.49
1991 517,229.00
1992 884,467.94
1993 1,026,068.46
1994 1,059,138.24
1995 1,201,846.11
1996 1,102,905.45
1997 1,107,561.53
1998 806,616.89
1999 1,091,346.80
2000 736,736.31
2001 560,894.67
2002 357,900.14
Kemajuan pesat yang dialami TBO juga berdampak besar terhadap pertumbuhan fisik
Kota Sawahlunto. Pada tahun 1918 Sawahlunto dijadikan sebagai Gemeente (daerah
kotapraja) dengan luas wilayah 779 Ha dengan penduduk sebanyak 43.579 (sensus 1930).
Sejak itu pemerintah mulai mengembangkan sarana perkotaan, termasuk gedung perkantoran,
bangunan tambang, sekolah dan saran publik. Berada disebuah lembah berbentuk kuali
(wajan) yang dikeliling oleh areal perbukitan batu-batuan , Sawahlunto berkembang menjadi
5
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
semacam pola kantong (enclave), dimana berbagai macam kelompok etnis tinggal dan
bekerja untuk tambang atau sektor pemerintahan dan sektor perdagangan.
Sebagai kota tambang tertua di Indonesia, Sawahlunto mewarisi peninggalan sejarah
yang unik, tidak hanya dari segi fisik, tetapi warisan sosial budayanya yang beraneka ragam.
Puluhan bangunan fisik yang kini keberadaannya kurang terawat dan sebagian sudah runtuh,
sesungguhnya dapat menjadi aset sejarah yang berharga bagi pengembangan pariwisata kota
ini dimasa depan. Demikian juga komposisi penduduknya yang unik karena keberagaman
kelompok etnis yang tinggal disana juga tak terlepas dari sejarah tambang.
Dewasa ini, Kota Sawahlunto (105 km dari kota Padang) diprediksikan menjadi kota
mati, ”mati” oleh banyak kalangan karena pilar utama perekonomian setempat yang
bergantung pada batu bara selama lebih dari 100 tahun TBO, terancam oleh karena
penyusutan drastis kapasitas produksinya. Meskipun bukan termasuk kota besar untuk ukuran
Sumatera Barat, Sawahlunto dengan luasnya sekarang sekitar 273.45 km persegi dengan
penduduk 56.086 (tahun 2000) yang tersebar di 4 (empat) wilayah kecamatan, 20 (dua puluh)
kelurahan dan 27 (dua puluh tujuh) desa harus berbenah diri dari hanya sebuah kota tambang
yang mengantungkan hidupnya kepada sektor tambang menjadi kota pariwisata yang
memungkinkan dibukanya potensi ekonomi setempat dalam rangka menyikapi otonomi
daerah.
Kebijakan untuk menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata tambang tampaknya
merupakan pilihan yang tepat, bukan saja dengan itu kota ini dapat mempertahankan
indentitas sejarahnya, tetapi juga semakin membuka peluang untuk memacu pertumbuhan
ekonominya dari sektor non tambang. Meskipun yang terakhir ini bukanlah hal yang baru
sama sekali bagi Sawahlunto, namun dengan penegasan peranan yang akan dimainkannya
sebagai kota wisata tambang, Sawahlunto sebetulnya memiliki keunggulan komparatif yang
amat strategis dalam pembangunan dimasa depan penduduknya. Pembenahan aset fisik kota
dengan melakukan inventarisasi dan konservasi bangunan bersejarah merupakan langkah
yang tepat, kecuali karena aset ini mendesak dilakukan karena terancam runtuh atau
penyalahgunaan fungsinya, juga karena memang aset fisik itulah salah satu primadona yang
paling khas dari profil historis Kota Sawahlunto.
4.1.1.2 Kota Tambang Sawahlunto
Sawahlunto adalah salah satu diantara sejumlah kota yang terletak di Lingkungan
Bukit Barisan di Sumatera Barat, tetapi mempunyai riwayat kehadiran yang berbeda dengan
6
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kota-kota lain di Sumatera Barat seperti Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Padang
Panjang dan Solok yang terbuntuk oleh perkembangan komunitas Minang, sedangkan
Sawahlunto oleh usaha tambang pada zaman pemerintah Belanda. Tahun 1887, Sawahlunto
mulai menjadi permukiman bagi pekerja tambang ketika uang sebesar 5.5 juta gulden
ditanamkan oleh pemerintah Belanda untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan
tambang Batu Ombilin. Pemukiman ini terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan
penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.
Dengan selesainya pembangunan jalur kereta api, Sawahlunto-Padang pada tahun
1894, usaha penambangan batubara terus meningkat dari hanya puluhan ribu ton menjadi
ratusan ribu ton pertahun, dari usaha yang rugi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4.6
juta golden dalam setahun pada tahun 1920. Ketika pada tahun 1918 Sawahlunto
dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeente dengan luas wilayah 779 ha, hal
ini karena ada kaitannya dengan puncak keberhasilan kegiatan pertambangan tersebut. Pada
tahun 1930 wilayah ini berpenduduk 43.576 jiwa, diantaranya 564 jiwa adalah orang Belanda
(Eropa). Walaupun demikian Sawahlunto belum sempat menjadi Stadsgemeente, yang
penyelenggaraan kotanya dilakukan oleh Stadsgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeente
(Walikota).
Sejak tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara Ombilin
merosot, kembali hanya puluhan ribu ton pertahun. Sawahlunto pun mengalami kemerosotan
yang diindikasikan dari merosotnya jumlah penduduk menjadi hanya 13.561 jiwa pada sensus
tahun 1980. Dengan menambah beberapa fasilitas, perubahan manajemen dan penerapan
teknologi baru, usaha penambangan meningkat kembali sejak awal tahun 80-an, bahkan
produksinya menjadi 15.279 menurut sensus tahun 1980, walaupun demikian laju
pertumbuhan penduduk yang hanya 1.2% pertahun ini masih dibawah rata-rata laju
pertumbuhan penduduk Sumatera Barat yang mencapai 1.62% dan tidak tampak mempunyai
koreksi dengan peningkatan produksi batubara.
Tahun 1990 wilayah administrasi Sawahlunto diperluas dari hanya 779 ha menjadi
27.344 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Berdasarkan hasil
survey penduduk antar sensus 1995, penduduk Sawahlunto menjadi 55.090 jiwa. Walaupun
demikian Sawahlunto tidak dengan sendirinya menjadi kota yang lebih besar, seperti yang
terjadi pada kota yang umumnya dimekarkan. Oleh bentang alamnya pemekaran Sawahlunto
menjadikan semacam federasi beberapa kota kecil dan mukiman perdesaaan. Pertumbuhan
7
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
penduduk ternyata bersifat sementara karena berdasarkan sensus tahun 2000, penduduk
Sawahlunto menunjukkan gejala menurun.
Selain itu penyelenggaraan pertambangan batubara ini juga sedang mengalami
reorientasi oleh perkembangan semangat desentralisasi. Apapun yang terjadi dengan
penambangan batubara Ombilin ini, pemerintah dan masyarakat Sawahlunto bertekad
menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata berbasis pertambangan. Ini merupakan tata
kaitan antara pertambangan Ombilin dan Kota Sawahlunto baru yang masih harus
dikembangkan.
4.1.1.3 Geografi Wilayah Kota Sawahlunto
Bentang alam kota Sawahlunto terbentuk oleh perbukitan terjal, landai dan dataran
dengan ketinggian 250 – 650 m di atas permukaan laut. Bentangan alam dengan perbukitan
terjal merupakan faktor pembatas dalam pengembangan tata wilayah kota ini, dimana
sebelumnya pusat kota lama terletak pada daerah yang landai dan sempit serta memanjang
dengan luas 5.8 km². Sedangkan kawasan datar yang relatif lebar terdapat pada
kecamatanTalawi, wilayah ini terbentang dari utara ke selatan, sementara pada bagian utara
yang bergelombang dan relatif datar, kawasan berpenduduk banyak berada pada kawasan
dengan ketinggian 100 – 500 m di atas permukaan laut. Sedangkan kawasan yang terletak
pada bagian timur dan selatan, memiliki topografi wilayah yang relatif curam (kemiringan
lebih dari 40%).
Kota Sawahlunto terdiri dari kawasan hutan lindung (26,5%) dan kawasan budidaya
(73,5%). Sedangkan untuk penggunaan tanah yang dominan adalah untuk perkebunan
campuran (34,1%), hutan lebat dan belukar (19,5%), serta kawasan danau akibat bekas galian
penambangan batu bara (0,2%). Seperti daerah lainnya di provinsi Sumatera Barat, kota
Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar anatara 22 °C. Sepanjang tahun
terdapat dua musim yaitu musim hujan pada bulan November sampai Juni dan musim
kemarau pada bulan Juli sampai bulanOktober. Curah hujan rata-rata lebih kurang sebesar
1.071,6 milimeter per tahun dan curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Tanah Datar
Selatan : Kabupaten Solok
8
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Barat : Kabupaten Solok
Timur : Kabupaten Sijunjung
4.1.1.4 Kependudukan
Kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh etnis Minangkabau dan Jawa. Sejak
tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara kota ini merosot menjadi
hanya puluhan ribu ton pertahun. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk kota ini pun
mengalami penurunan menjadi 13.561 jiwa pada sensus tahun 1980. Setelah pemerintah
menambah beberapa fasilitas, dan melakukan perubahan manajemen serta penerapan
teknologi baru, maka sejak awal tahun 80-an, produksi batu bara kembali meningkat, dan
pada akhir tahun 90-an, produksinya melampaui 1 juta ton pertahun. Sehingga jumlah
penduduk kota Sawahlunto juga meningkat menjadi 15.279 jiwa menurut sensus tahun1990,
walaupun demikian laju pertumbuhan penduduk yang hanya 1,2% pertahun ini masih
dibawah rata-rata laju pertumbuhan pendudukSumatera Barat yang mencapai 1,62% dan
tidak tampak mempunyai korelasi langsung dengan peningkatan produksi batu bara.
Pada tahun 1990 wilayah administrasi Kota Sawahlunto diperluas dari hanya 778 ha
menjadi 27.345 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat.
Berdasarkan hasil sensus 1995, jumlah penduduk kota Sawahlunto berubah menjadi 55.090
jiwa. Namun pertumbuhan jumlah penduduk kota ini hanya bersifat sementara karena
berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah penduduk kota Sawahlunto menunjukan gejala
menurun, dimana tercatat jumlah penduduk adalah 50.668 jiwa, artinya selama lima tahun
telah terjadi penurunan 8%. Hal ini diantaranya disebabkan karena sebagian perumahan
pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) dipindahkan keluar daerah kota Sawahlunto.
Sehingga dari segi ini tampak kaitannya antara usaha pertambangan batu bara dengan
pertambahan jumlah penduduk Kota Sawahlunto.
Tabel Jumlah Penduduk Kota Sawahlunto sampai dengan Tahun 2008
Tahun 1930 1980 1990 1995 2000 2005 2008
Jumlah penduduk 43.576 13.561 15.279 55.090 50.668 52.457 54.310
9
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.1.5 Pemerintahan
Walaupun kota Sawahlunto pada tahun 1930 telah memiliki penduduk yang banyak
namun belum sempat menjadi Stadsgemeente, yang penyelenggaraan kotanya dilakukan
oleh Stadsgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeester (Walikota). Kemudian pada tanggal 10
Maret 1949, kota ini sebagai Stadgemeente Sawahlunto menjadi bagian daerah Afdeeling
Solok, dimana beserta kawasan kabupaten Solok, Kota Solok, kabupaten
Sijunjung dan kabupaten Dharmasraya sekarang, dibawah pemerintahan Bupati
Sawahlunto/Sijunjung.
Selanjutnya dengan keluarnya Undang-undang nomor 18 tahun 1965 status kota ini
berubah menjadi daerah tingkat II dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto di
bawah Walikota, dan terhitung mulai tanggal 11 Juni 1965 berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 8 Maret 1965 nomor 15/2/13-227 ditunjuk sebagai
pejabat Walikota Sawahlunto adalah Achmad Noerdin, S.H.
4.1.1.6 Perekonomian
Kota Sawahlunto termasuk kota dengan pendapatan per kapita tertinggi sesudah Kota
Padang di Provinsi Sumatera Barat, dimana mata pencarian penduduk sebagian besar
ditopang oleh sektor pertambangan dan jasa. Selain itu sektor lain
seperti pertanian dan peternakan juga masih diminati masyarakat. Selain itu, beberapa
kawasan sedang dikembangkan untuk menjadi daerah sentral industri kerajinan dan makanan
kecil.
Selama seratus tahun lebih batu bara telah dieksploitasi mencapai sekitar 30 juta ton,
dan masih tersisa cadangan lebih dari 100 juta ton. Namun masa depan penambangan batu
bara Ombilin ini masih belum jelas, karena cadangan yang tersisa hanya bisa dieksploitasi
sebagai tambang dalam. Dan dapat tidaknya eksploitasi tersebut sangat bergantung kepada
penguasaan teknologi serta harga dan permintaan pasar batu bara, selain itu penyelenggaraan
pertambangan batu bara ini juga sedang mengalami re-orientsi oleh berkembangnya semangat
desentralisasi atau tuntuntan otonomi daerah, yang membangkitkan keinginan masyarakat
setempat untuk melakukan penambangan sendiri.
10
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.1.7 Pariwisata
Penemuan cadangan batubara di Kota Sawahlunto mendorong Pemerintah Hindia
Belanda waktu itu, untuk membangun rel kereta api menuju Kota Padang dalam
mendistribusikan batubara, melalui Kota Padang Panjang sekarang dan diselesaikan pada
tahun 1896. Pemerintah dan masyarakat kota Sawahlunto saat ini, bertekad menjadikan kota
ini sebagai kota wisata berbasis pertambangan.
Salah satu objek wisata yang ditawarkan kota ini adalah atraksi wisata tambang,
dimana pengunjung dapat melakukan napak tilas pada areal bekas penambangan yang telah
dibangun sejak zaman Belanda, dimana lokasi wisata tersebut dinamai Lobang Suro yang
diambil dari nama Mbah Suro seorang mandor pada zaman dahulu yang juga dikenal dengan
julukan mandor orang rantai. Kota ini juga memiliki kebun binatang, yang merupakan lahan
bekas tambang yang telah direklamasi menjadi lahan berbentuk seperti hutan dengan luas 40
ha.
4.1.1.8 Latar Belakang Kantor Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman
Cagar Budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman
dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan. Oleh karena itu,
cagar budaya perlu dilindungi dan dilestarikan demi memupuk kesadaran jati diri bangsa dan
kepentingan nasional. Upaya pelestarian terhadap cagar budaya sampai saat ini masih terus
dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas.
Salah satu upaya awal untuk pelestarian adalah Penyusunan Database Cagar Budaya
Kota Sawahlunto. Hal ini karena kegiatan penyusunan database cagar budaya merupakan
sebuah aktivitas yang dapat dipakai sebagai sarana pokok sebagai pangkalan data pada cagar
budaya terkait. Selanjutnya, data-data yang terkumpul tersebut dapat dijadikan bahan dan
acuan untuk penanganan cagar budaya yang bersangkutan, baik yang berhubungan dengan
aspek perlindungan, pemeliharaan, pemugaran, maupun pemanfaatannya.
Setelah reinventarisir cagar budaya di Kota Sawahlunto oleh Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Batusangkar tahun 2011 sesuai yang ditetapkan SK Walikota
Sawahlunto cagar budaya Kota Sawahlunto berjumlah 74 buah. Cagar budaya tersebut
tersebar ke dalam 4 Kecamatan di wilayah Kota Sawahlunto. Kota Sawahlunto merupakan
salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Barat yang mengandung tinggalan budaya bendawi
11
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang bernilai cukup tinggi dari berbagai perspektif. Tinggalan budaya bendawi yang
dimaksud terutama berupa peninggalan dari masa Islam dan kolonial.
Sebagai sebuah tinggalan budaya masa lampau yang mempunyai karakteristik yang
khas dan unik, cagar budaya sangat membutuhkan penanganan yang berkelanjutan dan
monitoring secara berkala untuk memastikan kondisi kelestariannya. Pada sisi lain, cagar
budaya merupakan sumber daya budaya yang tak dapat diperbaharui sehingga lambat atau
cepat pasti mengalami kerusakan dan pelapukan. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya
pelestarian yang tepat guna dan berhasil guna sehingga cagar budaya terkait dapat
dipertahankan sebagai modal perkuatan jati diri bangsa dan dapat dimanfaatkan oleh segenap
pihak yang berkepentingan, baik oleh kalangan pemerintah, akademik, maupun masyarakat.
Oleh karena itu, ditahun 2013 ini untuk kesinambungan tugas dan fungsi Kantor
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman yang salah satu tugas dan fungsi pokoknya
mengelola kekayaan cagar budaya Kota Sawahlunto, dipandang perlu terus melakukan
monitoring secara berkesinambungan. Updeting data terhadap berbagai sistuasi, kondisi, dan
perkembangan cagar budaya sebagai sebuah kekayaan warisan masa lampau Kota
Sawahlunto kembali dilakukan, sehingga ketersediaan data dan monitoring dapat sejalan dari
waktu ke waktu.
4.1.1.9 Dasar Hukum
Kegiatan Penyusunan Database Cagar Budaya Kota Sawahlunto dilaksanakan berdasar
kepada:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang RI
Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
3. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49/UM.001/MKP/2009
tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs;
4. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 087/P/1993 tentang Pendaftaran
Benda Cagar Budaya;
5. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 062/U/1995 tentang Pemilikan,
Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs;
6. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 063/U/1995 tentang
Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya;
7. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 064/U/1995 tentang Penelitian
dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs;
12
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8. Database Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Sawahlunto tahun 2011 berdasarkan hasil
kerjasama Pemerintah Kota Sawahlunto Nomor : 197.1/33/HUK-ORG/SWL/2011 dengan
BP3 Batusangkar Nomor : KS.001/218/BP3.BS/DKP/2011 tentang Pelestarian Cagar
Budaya Kota Sawahlunto.
9. Program kerja Kantor Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto.
4.1.2 Hasil Penelitian dan Identifikasi Masalah
4.1.2.1 Pengakuan Aset Bersejarah
4.1.2.1.1 Makna Aset Bersejarah
Tahap awal dalam proses ini peneliti mencoba untuk mendalami bagaimana
pandangan masing-masing informan tentang makna aset bersejarah, setelah berangkat dari
makna tersebut barulah akhirnya aset bersejarah dapat digolongkan ke dalam aset atau
kewajiban dan ataupun kedua golongan tersebut bisa memenuhi makna dari aset bersejarah.
Sugiharta, Rahmat Gino dan Sumadi ketika ditanya tentang makna aset bersejarah
mengatakan bahwa:
“Aset bersejarah itu adalah benda cagar budaya termasuk juga barang-barang
seni. Aset bersejarah ini kembali kepada identitas suatu bangsa dan menjadi
perjalanan suatu bangsa yang menjadi titipan untuk anak cucu kita bahwa
inilah sejarah bangsa yang harus dipelihara”.
Pernyataan Sugiharta, Rahmat Gino dan Sumadi menggambarkan bahwa semua aset
bersejarah baik itu berupa bangunan, museum, benda koleksi, galeri dan barang-barang seni
merupakan benda cagar budaya. Selain itu aset bersejarah adalah identitas bangsa yang
menjadi titipan untuk anak cucu bangsa agar selalu dipelihara kelestariannya. Hal ini
diperjelas dan dipertegas oleh Anis Chariri, dimana ketika ditanya tentang makna aset
bersejarah Anis Chariri mengatakan:
“Aset bersejarah adalah aset yang memiliki keunikan, keunikannya tidak
didasarkan pada substansi ekonomi. Keunikan yang melekat disini adalah sisi
edukasi, kultural dan historis yang mengingatkan manusia pada suatu masa
lampau dimana disitu ada nilai-nilai sejarah dan budaya yang bisa dipelajari
dari aset tersebut”.
Selanjutnya dalam proses memaknai aset bersejarah ini peneliti mencoba mengaitkan
apakah aset bersejarah ini tergolong aset atau kewajiban dan ataupun makna aset bersejarah
ini mampu memenuhi substansi kedua-duanya. Mastur, Sumadi dan Neni Yunitri mengatakan
bahwa:
13
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Aset bersejarah masuk ke dalam golongan aset karena dia tetap memenuhi
karakteristik dari aset. Meskipun tidak semuanya masuk kedalam aktifitas
operasional pemda dan ada yang terukur serta tidak terukur tetapi ada wujud
barang dan wujud fisik aset tersebut”.
Rahmat Gino dan Sugiharta sepakat bahwa selain tergolong ke dalam aset, aset
bersejarah juga memiliki kewajiban untuk dipelihara, kedua informan ini berkata:
“Kalau dari segi aset memang merupakan aset bangsa, tetapi kita memiliki
kewajiban untuk memelihara, karena kalau dalam transaksinya kita harus
mengeluarkan biaya untuk pelestarian”.
Selanjutnya Anis Chariri mempunyai pendapat yang tidak jauh berbeda dengan
kelima informan tersebut yang mengatakan selain sebagai aset bangsa aset bersejarah juga
memenuhi konteks kewajiban yaitu adanya biaya yang harus dikeluarkan dalam hal
pemeliharaan dan pelestarian, Anis Chariri mempertegas bahwa:
“Aset bersejarah mampu memberikan manfaat masa mendatang seperti
retribusi dan sebagainya. Dalam hal kewajiban kalau dalam konteks ekonomi
memang sulit tetapi lebih kepada kewajiban untuk merawat serta kewajiban
untuk mempertahankan keberlangsungan aset tersebut, jadi ada jumlah rupiah
yang harus dikorbankan untuk masa sekarang demi masa mendatang”.
Berdasarkan pemaparan diatas maka terlihat bahwa semua informan memberikan
keterangan yang sama bahwa aset bersejarah adalah benda cagar budaya yang merupakan
aset bangsa dan menjadi identitas suatu bangsa yang terjadi pada suatu masa lampau, selain
menjadi perjalanan suatu bangsa juga merupakan titipan untuk anak cucu kita bahwa inilah
peninggalan bersejarah yang harus dipelihara dan dipertahankan keberadaannya.
4.1.2.1.2 Karakteristik Aset Bersejarah
Tahap selanjutnya dalam proses pengakuan aset bersejarah ini peneliti mencoba
mengetahui tentang karakteristik dari aset bersejarah, apakah karakteristik dari aset
bersejarah ini mampu ditemukan pada aset lainnya ataukah murni memang bawaan spesifik
tersendiri sehingga aset bersejarah ini memang terkesan sebagai barang yang langka dan
mempunyai keunikan tersendiri. Dalam kesempatan ini ketika ditanya mengenai karakteristik
aset bersejarah Neni Yunitri dan Sumadi mengatakan bahwa:
“Karakteristik aset bersejarah tidak bisa ditemukan pada aset lain karena aset
bersejarah lebih kepada kultur-kulturnya yang memiliki nilai sejarah dan
budaya. disamping itu juga ada bawaan spesifik yang unik dan tidak bisa di
replika. Yang membedakannya dengan aset lain adalah nilai intrinsik dan
ektrinsik. Nilai intrinsiknya inilah yang utama karena berkaitan dengan
momen-momen penting sehingga tidak bisa dinilai dan cenderung tak
14
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
terhingga. Sedangkan aset non bersejarah hanya memiliki nilai ektrinsik yang
suatu saat akan habis atau nol”.
Sementara itu informan lain seperti Sugiharta dan Mastur mempunyai pendapat
berbeda yaitu:
“Karakteristik umum dari aset bersejarah bisa saja ditemukan pada aset lain,
tapi intinya antara aset bersejarah dan non bersejarah itu ada penanda khusus
yang bisa membedakan. Yang terpenting aset bersejarah itu harus ada nilai
penting yaitu kebudayaan, sejarah, pendidikan, agama dan nilai sosial
lainnya”.
Terlepas dari karakteristik aset bersejarah yang telah disampaikan beberapa informan
tersebut apakah itu bisa ditemukan pada aset lainnya atau tidak, yang terpenting adalah aset
bersejarah itu harus memiliki nilai penting yaitu sejarah, budaya, pendidikan dan nilai sosial
lainnya. Hal ini dipertegas oleh Desismon, Rahmat Gino dan Anis Chariri yang mengatakan
bahwa:
“Aset bersejarah harus memiliki nilai budaya, sejarah, lingkungan, agama dan
nilai sosial lainnya sehingga dapat digunakan untuk tujuan pendidikan.
Desain, material dan tata letaknya memiliki keunikan sehingga aset bersejarah
tidak terdefinisi dengan nilai moneter meskipun nilainya terus bertambah
seiring berjalannya waktu dan masa manfaat yang umumnya sangat panjang”.
Tabel 4.1 Karakteristik Aset Bersejarah
No. Informan Nilai Penting Pembeda Dengan Aset Lainnya
1 Neni Yunitri dan
Sumadi
Sejarah, budaya, tidak bisa di replika
dan berkaitan dengan momen penting
Aset Bersejarah memiliki nilai
intrinsik sedangkan aset non
bersejarah hanya memiliki nilai
ektrinsik
2 Sugiharta dan Mastur Kebudayaan, sejarah, pendidikan,
agama dan nilai sosial lainnya
Bisa saja ditemukan pada aset lain,
tetapi ada penanda khusus yang bisa
membedakan
3 Desismon, Rahmat
Gino dan Anis Chariri
Budaya, sejarah, agama, lingkungan
dan sosial
Digunakan untuk tujuan pendidikan.
Desain, material dan tata letaknya
memiliki keunikan
Sumber : Diolah (2017)
Berdasarkan informasi yang dikatakan oleh informan tersebut meskipun ada yang
berpendapat bahwa karakteristik aset bersejarah bisa ditemukan pada aset lainnya ataupun
tidak bisa ditemukan, yang terpenting adalah karakteristik aset bersejarah haruslah
15
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mempunyai nilai penting. Nilai penting itu adalah nilai sejarah, budaya, agama dan beberapa
nilai sosial lainnya yang dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas dapat digunakan demi
tujuan pendidikan. Nilai penting tersebut tidak terdefinisi dalam nilai moneter karena masa
manfaat dari aset bersejarah ini umumnya sangat panjang.
4.1.2.1.3 Umur Aset Bersejarah
Proses selanjutnya adalah mengetahui umur aset bersejarah. Dalam tahap ini peneliti
mencoba mendalami bagaimana pemahaman informan terkait umur aset bersejarah. Apakah
aset bersejarah mempunyai batasan umur tertentu sehingga dalam proses pengakuan aset
bersejarah diperlukan sebuah tolak ukur tentang kriteria umur yang harus disepakati dalam
mengakuinya. Desismon, Mastur, Rahmat Gino dan Sugiharta mengatakan bahwa :
“Dari segi umur sebenarnya patut diduga saja itu sebenarnya sudah dilindungi
oleh Undang-Undang. Memang ada dua persepsi, dalam Undang-Undang
Cagar Budaya minimal harus berusia 50 tahun. Namun ini hanya kondisional
saja karena hal tersebut tidak bisa juga dijadikan syarat mutlak. Kriteria umur
tersebut bisa terlanggar karena memenuhi kriteria yang lain seperti nilai
penting sejarah dan budaya yang berkaitan dengan memori kolektif bangsa
dimana bertujuan untuk penyelamatan agar tidak rusak dan harus
dilestarikan”.
Sementara itu di sisi lainnya beberapa informan berseberangan dengan pendapat
tersebut terkait hal umur. Neni Yunitri, Anis Chariri dan Sumadi menganggap bahwa aset
bersejarah tidak harus memiliki batasan umur, hal ini dipertegas dengan pernyataan mereka
tentang umur aset bersejarah sebagai berikut:
“Kita tidak tahu kapan pasti aset bersejarah ini dibangun jadi untuk batasan
umur itu tidak terbatas. Karena yang terpenting adalah benda tersebut harus
membawa kultur budaya dan nilai sejarah. Dalam hal harus berumur berapa
harus diakui itu kembali kepada sebuah kesepakataan, karena sejarah itu
dimensi waktunya tidak sekedar apa yang terjadi. Kaitannya harus kepada
momen yang terjadi di mana peristiwa penting pernah terjadi disitu”.
Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh beberapa informan tersebut terdapat dua
pendapat yang berbeda tetapi tidak harus memaksakan mana yang harus mutlak dipakai
sebagai patokan umur aset bersejarah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2010 memang disitu mengatakan bahwa benda cagar budaya minimal harus berumur
50 tahun. Tetapi hal ini hanya kondisional saja mengingat beberapa informan menganggap
yang terpenting itu adalah aset bersejarah harus memiliki momen-momen yang berkaitan
dengan nilai penting yang kuat yaitu nilai sejarah, budaya, pendidikan dan beberapa nilai
sosial lainnya.
16
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.2.1.4 Nilai Yang Terkandung Dalam Aset Bersejarah
Peneliti mencoba menggali pemahaman informan terkait nilai yang terkandung dalam
aset berejarah. Mengingat sebelumnya peneliti menemukan adanya isu tentang penilaian
ekonomi untuk aset bersejarah. Apakah aset bersejarah hanya sekedar nilai sejarah dan
budaya saj atau perlu adanya nilai-nilai lain yang perlu dilekatkan. Dalam hal ini Neni
Yunitri, Mastur dan Sumadi mengatakan :
“Benda bersejarah lebih kepada nilai apresiasinya yaitu nilai budaya, sejarah,
estetika yang mengangkut banyak kultur-kultur yang berkembang di
masyarakat tentang perjalanan sejarah dan budaya yang berkembang”
Kemungkinan ada nilai ekonomi bisa saja dilekatkan mengingat manfaat dari aset
bersejarah dari segi ekonomi juga tidak bisa dipungkiri. Tapi apakah nilai ekonomi lebih
penting daripada nilai yang menjadi ciri khas unik karakteristik aset bersejarah, berikut
penjelasan dari Anis Chariri, Desismon, Rahmat Gino dan Sugiharta:
“Bisa dikatakan benda bersejarah ini tidak ternilai karena nilai pentingnya
lebih besar daripada aspek ekonominya. Nilai utama dari aset bersejarah
adalah nilai budaya, sejarah dan pendidikan sehingga aset bersejarah
dilindungi pemerintah dan Undang-Undang untuk dipelihara dan
dipertahankan kelestariannya. Memang ada nilai tambah dalam manfaat
ekonomi, tapi itu hanya efek samping yang menjadi feedback. Karena setelah
mengutamakan nilai sejararah dan budaya maka nilai ekonomi akan mengikut
saja nantinya”.
Para informan sepakat bahwa nilai penting yang diutamakan adalah nilai sejarah,
budaya dan pendidikan, meskipun ada manfaat nilai ekonomi yang bisa didapatkan. Tetapi
yang lebih utama adalah memelihara dan mempertahankan keberlangsungan dari aset
bersejarah tersebut agar nilai penting tetap terjaga dan akhirnya manfaat ekonomi selalu bisa
didapatkan.
4.1.2.1.5 Jenis-Jenis Aset Bersejarah
Berdasarkan PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap, aset bersejarah
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aset bersejarah operasional dan non operasional.
Tetapi peneliti menemukan pengklasifikasian yang berbeda di tempat objek penelitian, sesuai
yang dikatakan oleh Desismon:
“Disini kita mengklasifikasikan kepada aset bergerak dan aset tidak bergerak,
jadi dari sisi operasional dan non operasional belum tepat diterapkan disini”.
17
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Terlepas dari hal tersebut peneliti mencoba mendalami apakah aset bersejarah
memang perlu untuk dibedakan pengklasifikasiannya. Dari sisi pelestarian Rahmat Gino dan
Sugiharta menjelaskan bahwa:
“Ketika sebuah aset sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, bagaimanapun
harus dilestraikan dalam arti harus dikeluarkan biaya-biaya untuk memugar
apapun kategorinya apakah dia masuk operasional ataupun non operasional.
Karena kedua-duanya aset bersejarah juga”.
Anis Chariri dan Mastur mencoba menjelaskan dengan melihat dari sudut pandang
dalam pemanfaatan sebagai objek wisata, Anis Chariri mengatakan :
“Yang jadi masalah itu jenis operasional cenderung diabaikan karena dianggap
tidak unik lagi setelah dimanfaatkan oleh pemerintah demi tujuan tertentu.
Selama ini justru aset bersejarah yang diakui adalah yang dijadikan sebagai
tempat kunjungan wisata. Padahal kedua jenis tersebut aset bersejarah juga,
jadi tidak perlu dibedakan”.
Sementara itu Mastur menjelaskan :
“Perbedaannya living monumen dengan death monumen itu sama-sama mau
hancur, tetapi perlakuan terhadap living monumen itu harus lebih hati-hati
karena dipakai setiap hari untuk orang mondar-mandir, yang death monumen
itu walaupun batu karena orangnya berjuta-juta naik turun naik turun, apakah
tidak perlu ada perlakuan khusus juga? sama saja, benda cagar budaya juga”.
Mastur mengistilahkan jenis aset bersejarah operasional dan non operasional dengan
istilah living monumen dan death monumen. Dimana living monumen yang dimaksud adalah
aset bersejarah yang dipakai untuk aktifitas perkantoran. Sedangkan untuk death monumen
yang dimaksud Mastur adalah bangunan-bangunan tua seperti candi, monumen dll yang
digunakan untuk tujuan wisata. Lalu Neni Yunitri dan Sumadi melihatnya dari sisi
pemanfaatan dalam pemerintahan, keduanya mengatakan bahwa:
“Operasional dan non operasional ini ada dua ketentuan, yang satu masalah
aset bersejarah dan yang satunya masalah aset. Antara keduanya kan
sebenarnya yang satu dipergunakan dan yang satunya tidak. Meskipun ada
perlakuan akuntansi yang membedakan tetapi keduanya sama-sama aset
bersejarah juga”.
Berdasarkan pemaparan dari berbagai sisi sudut pandang yang dijelaskan oleh
beberapa informan tersebut sebetulnya tidak perlu membedakan antara aset bersejarah
operasional dan non operasional. Mengingat kedua-duanya sama-sama aset bersejarah yang
memerlukan perlakuan khusus dalam mempertahankan pelestariannya.
18
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.2.1.6 Perolehan Aset Bersejarah
Terkait dengan perolehan aset bersejarah, peneliti mencoba mengkonfirmasi kepada
informan darimana saja aset bersejarah diperoleh. Karena aset bersejarah berasal dari
perolehan yang bermacam-macam, ada yang peninggalan, warisan, dibangun, atau bahkan
dibeli. Secara umum Anis Chariri dan Sugiharta menggambarkan darimana perolehan aset
bersejarah berasal, mereka mengatakan:
“Aset bersejarah itu bisa muncul karena warisan, rampasan perang, hibah,
pembelian dan bisa juga dibangun pada masa lalu dengan biaya-biaya tertentu
dengan teknologi yang unik. Esensi utamanya adalah bagaimana nilai penting
dari aset bersjarah dapat dilestarikan, karena mau itu milik pemerintah ataupun
milik masyarakat negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pemeliharaan”.
Sementara itu fakta yang terjadi di tempat objek penelitian adalah terdapat beberapa
aset bersejarah yang memang ada biaya ganti rugi kepada masyarakat dan ada juga yang
masih sewa pakai dengan PT.Bukit Asam (PT.BA) dan PT.Kereta Api Indonesia (PT.KAI).
Sesuai dengan hal tersebut semua informan yang terkait langsung dengan aset bersejarah di
Sawahlunto yaitu Neni Yunitri, Desismon, Rahmat Gino dan Sumadi mengatakan bahwa:
“Di Sawahlunto banyak yang berasal dari zaman belanda, tetapi itu semua
rata-rata masih milik PT.BA dan PT.KAI dan rata-rata tanahnya masih milik
tanah ulayat, sedangkan pemerintah Sawahlunto hanya sewa pakai. Ada juga
beberapa aset bersejarah yang diperoleh dari ganti rugi kepada masyarakat”.
Menurut peneliti temuan di lapangan ini cukup menarik, karena fakta terkait darimana
perolehan aset bersejarah tersebut seperti sewa pakai dan ganti rugi tentunya akan
mempengaruhi kebijakan akuntansi yang dibuat demi perlakuan akuntansi yang baik untuk
aset bersejarah. Bisa saja beberapa hal bertabrakan dengan peraturan yang ada tentang aset
bersejarah, tetapi peneliti merasa hal itu bukanlah tanpa tujuan. Karena tujuan utama adalah
tetap pada pemeliharaan dan pelestarian aset bersejarah dengan baik.
4.1.2.1.7 Pengakuan Aset Bersejarah
Setelah mengetahui makna, karakteristik, umur, nilai yang terkandung, jenis dan
berasal darimana saja perolehan aset bersejarah, barulah dapat dipastikan apakah aset atau
benda cagar budaya tersebut dapat diakui sebagai aset bersejarah. Dalam proses ini, peneliti
mencoba mendalami apakah pengakuan aset bersejarah sama dengan proses pengakuan aset
tetap pada umumnya. Secara umum Anis Chariri menjelaskan bahwa:
“Jika berbicara aset konvensional, pengakuan itu bisa dilakukan kalau pertama
memenuhi definisi aset, yang kedua dapat diukur. Aset bersejarah tidak bisa
19
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
memakai konsep tersebut karena pengakuannya lebih kepada karakteristik
unik dan nilai penting tadi. Jika mengikuti konsep pengakuan konvensional itu
tidak akan bisa diakui semua”.
Pernyataan dari Anis Chariri menggambarkan bahwa pengakuan aset bersejarah tidak
bisa disamakan seperti halnya pengakuan aset tetap pada umumnya. Didalam PSAP No.7
Tahun 2010 aset bersejarah diatur dalam bab aset tetap. Tentu hal ini mendorong persepsi
peneliti bahwa sebenarnya aset bersejarah juga termasuk kedalam aset tetap. Fakta aset
bersejarah sejauh ini mirip dengan aset tetap, akan tetapi proses pengakuaannya justru tidak
sama dengan aset tetap pada umumnya. Bisa saja dalam hal ini dibutuhkan institusi
berwenang yang mampu menentukan apakah sebuah aset/benda dapat diakui sebagai aset
bersejarah. Neni Yunitri dan Desismon mengatakan:
“Aset bersejarah tidak semata-mata langsung diakui, bagaimana suatu aset
tetap diakui sebagai aset sosial jika mempunyai bukti dan kategori sebagai
barang atau bangunan bersejarah. Dalam hal ini kajian dan penelitian
dilakukan oleh tim ahli dari Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman”.
Tim ahli yang dimaksud oleh Neni Yunitri dan Desismon tersebut adalah tim ahli
cagar budaya yang berkompeten terkait benda cagar budaya dan telah memiliki sertifikasi
nasional profesi. Hal ini dipertegas oleh Mastur, Sugiharta dan Sumadi yang mengatakan:
“Pengakuan aset bersejarah tidak sama dengan pengakuan aset pada
umumnya. Proses pengakuan aset bersejarah dilakukan oleh tim ahli cagar
budaya dengan kode etik dan profesionalitas berdasarkan Undang-Undang.
Ketika dilakukan kajian apakah memenuhi kriteria aset bersejarah atau tidak
setelah itu baru diakui”.
Selanjutnya Rahmat Gino sebagai Kepala Seksie Peninggalan Bersejarah Dinas
Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto menjelaskan lebih
detail bagaimana proses pengakuan sebuah benda atau aset menjadi aset bersejarah. Rahmat
Gino menjelaskan:
“Penetapan cagar budaya dimulai ketika suatu barang atau bangunan yang
diduga sebagai benda cagar budaya itu akan dilakukan kajian. Dilakukan
pengumpulan data mulai dari data sejarah, ukuran, dimensi, tata letak,
koordinat dan letak geografis. Kajian tersebut dilaksanakan oleh Tim ahli
cagar budaya yang telah bersertifikasi nasional profesi”.
Memang aset bersejarah memenuhi klasifikasi aset tetap. Akan tetapi berdasrkan fakta
yang peneliti temukan di lapangan justru proses pengakuannya memerlukan perlakuan yang
khusus dan tidak sama dengan proses pengakuan aset tetap pada umumnya. Mengingat dalam
20
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
proses pengakuan ini diperlukan Tim Ahli Cagar Budaya yang dengan sertifikasi profesinya
dirasa berkompeten melakukan proses pengakuan tersebut. Peneliti berasumsi apakah hal ini
telah diterapkan pada seluruh aset bersejarah yang ada di Indonesia mengingat dari sisi
perlakuan yang baik justru harus didukung dengan pedoman aturan yang baik terutama dari
sisi pencatatan dalam akuntansi.
4.1.2.2 Pengukuran dan Penilaian Aset Bersejarah
4.1.2.2.1 Apakah Aset Bersejarah Harus Diukur dan Dinilai
Proses selanjutnya dalam mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi yang baik untuk
aset bersejarah adalah mengetahui bagaimana proses pengukuran dan penilaian aset
bersejarah. Dalam hal ini apakah aset besejarah yang membawa atribut-atribut unik dirasa
perlu untuk dilakukan pengukuran dan penilaian peneliti mencoba mengetahui pandangan-
pandangan informan secara mendalam tentang keharusan untuk menerapkan pengukuran dan
penilaian untuk aset bersejarah. Desismon mengatakan bahwa:
“Di Indonesia mungkin teknik penilaian diterapkan untuk jenis operasional
heritage asset sedangkan untuk jenis non operasional itu sulit diukur karena
tidak ditemukannya metode yang tepat untuk mengukur jenis non operasional
ini”.
Desismon mengatakan masih sulit untuk menemukan metode yang tepat dalam
melakukan pengukuran dan penilaian aset bersejarah. Tetapi Desismon mengatakan untuk
jenis operasional bisa diterapkan penilaian. Sementara itu Sugiharta mengganggap benda
cagar budaya pada hakikatnya bisa dinilai meskipun dalam pernyataan tersebut Sugiharta
masih meragukan hal tersebut, berikut Sugiharta mengatakan:
“Pada hakikatnya benda cagar budaya yang berwujud, bisa dilihat, bisa diraba
atau ditimbang sebenarnya dapat dinilai. Cuma mau dinilai dengan angka
berapa, pakai metode bagaimana, itulah yang sebenarnya belum ada aturan
baku sampai sekarang. Ketika dilakukan penilaian oleh tim ahli, misalnya tim
ahli disini dengan berbeda tempat bisa saja berbeda, makanya nilai tak
terhingga itu sebenarnya ketika orang tidak mampu melakukan nominalisasi”.
Yang dimaksud oleh Sugiharta adalah ketika nominalisasi itu bisa dilakukan dan
masing-masing ahli memiliki nominal yang berbeda-beda dalam melakukan penilaian,
akhirnya cenderung menyepakati bahwa aset bersejarah itu nilainya tak terhingga. Misalnya
ketika sebuah bangunan yang bermakna sama dan dibangun pada tahun yang sama pada dua
21
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
daerah berbeda. Hal ini menurut Sugiharta bisa saja menghasilkan penaksiran yang berbeda,
padahal dalam ukuran konteks budaya dan sejarahnya tadi memiliki esensi yang sama.
Sementara itu Rahmat Gino dan Anis Chariri hampir sependapat bahwa sebenarnya
pengukuran dan penilaian untuk aset bersejarah bukanlah sesuatu yang dianggap sangat
urgent, mereka menganggap bahwa pertanggungjawaban memperbaiki/renovasi dalam hal ini
pengelola aset bersejarah itulah yang lebih utama. Rahmat Gino dan Anis Chariri
mengatakan:
“Pengukuran dan penilaian bukan kriteria utama untuk melaporkan aset
bersejarah, karena banyak sekali aset bersejarah yang tidak ternilai secara
ekonomi karena aspek keunikan, aspek sejarah dan budayanya. Mungkin ada
beberapa metode menilai menggunakan appraiser atau kurator tapi itu
bukanlah isu utama, isu utamanya adalah bagaimana menampilkan informasi
aset bersejarah sehingga itu bisa digunakan sebagai bagian untuk
pertanggungjawaban memperbaiki/renovasi dari pengelola aset tersebut”.
Berseberangan pendapat dengan Rahmat Gino dan Anis Chariri, Mastur dan Sumadi
justru menganggap bahwa pengukuran dan penilaian terhadap aset bersejarah harus
dilakukan. Karena selain merupakan aset kekayaan bangsa, aset bersejarah juga masuk ke
dalam laporan keuangan, karena setiap yang masuk ke dalam laporan keuangan itu harus
tercermin dalam satuan rupiah. Mereka mengatakan bahwa:
“Aset bersejarah ini harus ada penilaian karena masuk dalam angka-angka
laporan keuangan. Karena setiap yang masuk kedalam laporan keuangan itu
harusnya ada satuan rupiahnya. Seharusnya bisa diukur dan dinilai sebab
bagaimanapun aset bersejarah ini adalah kekayaan bangsa, tidak mungkin
kekayaan bangsa tidak ada nilainya. Meskipun ada nilai yang tak terhingga
tapi setidaknya ada patokan harga dan ada kesepakatan bersama terkait hal
ini”.
Terlepas dari perbedaan pendapat antar beberapa informan tersebut, peneliti
menemukan fakta di lapangan bahwa ada aset bersejarah yang dilakukan penilaian. Meskipun
pada umumnya sulit untuk melakukan penilaian karena tidak adanya metode yang pasti dan
hak kepemilikan aset yang juga masih menjadi kendala, tetapi untuk jenis aset bersejarah
koleksi bisa dilakukan penilaian berdasarkan harga perolehan yang berasal dari biaya ganti
rugi kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Rahmat Gino dan Neni
Yunitri:
“Karena tidak ada metode pasar atau metode wajar untuk menilai aset
bersejarah, di Sawahlunto tidak dilakukan pengukuran dan penilaian. Selain
sulitnya untuk mengukur aset tersebut selama ini Sawahlunto hanya sewa
pakai aset tersebut kepada PT.BA dan itu hanya dilakukan penghitungan
22
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
beban saja. Tetapi untuk benda cagar budaya jenis koleksi itu dinilai sebesar
harga perolehan. Dalam hal ini ada semacam biaya ganti rugi jika ada
masyarakat yang menawarkan”.
Pentingnya untuk melakukan pengukuran dan penialaian terhadap aset bersejarah
masih menjadi polemik hingga saat ini. Ada yang menganggap perlu dilakukan dan ada yang
menganggap tidak perlu. Berdasarkan informasi dari beberapa informan di atas peneliti
berasumsi jika pada dasarnya hal penilaian dan pengukuran bisa diterapkan, kenapa tidak
dilakukan keberagaman terhadap semua jenis aset bersejarah. Inilah yang menarik dengan
aset bersejarah mengingat karakteristik unik yang membawa kultur sejarah dan budaya
membuat orang untuk berhati-hati untuk memperlakukannya. Namun rasa hati-hati ini justru
masih berdampak pada keraguan dan perbedaan dalam melakukan keseragaman.
Keseragaman yang dimaksud adalah bagaimana kehati-hatian tersebut tersimbol dengan
perlakuan yang pasti dan sebagaimana mestinya.
4.1.2.2.2 Metode Penilaian dan Perumus Metode Penilaian
Selanjutnya peneliti mencoba menggali pemahamaan informan tentang bagaimana
metode penilaian yang dirasa tepat dalam melakukan penilaian aset bersejarah. Disamping itu
peneliti juga mengkonfirmasi tentang siapa pihak-pihak yang dirasa pantas dalam melakukan
perumusan dalam membuat metode penilaian tersebut. Secara umum Anis Chariri dan
Sugiharta mengatakan bahwa:
“Kalau mencari metode yang lebih tepat itu sulit karena setiap aset bersejarah
memiliki karakteristik unik dan berbeda-beda, intinya adalah kembali kepada
sebuah kesepakatan. Untuk memenuhi kesepakatan ini harus melibatkan
banyak pihak dan banyak ahli. Metode-metode yang pernah dirumuskan para
ahli selama ini kan sebenarnya merupakan jembatan instrumen. Problemnya
sampai sekarang belum ada pedoman standar atau prosedur yang baku untuk
metode penilaian aset bersejarah”.
Sementara itu Desismon, Neni Yunitri dan Mastur sepakat bahwa metode penilaian
dilakukan oleh tim ahli yang disebut juga dengan kurator dalam melakukan penilaian aset
bersejarah. Mereka beranggapan bahwa aset bersejarah tidak bisa disama-ratakan
penilaiannya dengan benda lain karena aset bersejarah harus dikaitkan dengan nilai sejarah
dan budaya.
“Metode wajar dilakukan oleh tim ahli yang berkompeten dalam menaksir
benda cagar budaya. karena benda bersejarah ini tidak bisa disama ratakan dan
harus dikaitkan dengan nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada disitu. Hal ini
dilakukan dengan beberapa kajian yang dilakukan oleh kurator. Jadi kurator
23
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ini memiliki keahlian untuk memperkirakan dengan tepat nilai aset
bersejarah”.
Mungkin siapa yang merumuskan atau yang melakukan metode penilaian sudah
terjawab yaitu dilakukan oleh tim penilai yang disebut kurator. Peneliti mencoba mendalami
lebih jauh tentang metode apa yang diterapkan oleh kurator yang diberikan kewenangan oleh
Pemerintah Kota Sawahlunto. Apakah ada metode khusus mengingat aset bersejarah harus
dikaitkan dengan kultur bawaan yang melekat yaitu sejarah dan budaya. Dalam kesempatan
ini Rahmat Gino dan Sugiharta menjelakan:
“Dalam hal ini penilaian dan penaksiran dilakukan oleh kurator, kurator bukan
tim ahli cagar budaya. dalam hal pengakuan dilakukan oleh tim ahli cagar
budaya dan penilaian dilakukan oleh kurator. Metode yang dipakai kurator
hanya berdasarkan pengalaman dan jam terbang saja. Dan penilaian basic
insting yang dilakukan oleh kurator karena pengalamannya itu lebih kepada
kemampuan alamiah”.
Apakah begitu besarnya kewenangan seorang kurator dalam melakukan penilaian aset
bersejarah sehingga metode yang pasti pun tidak ditemukan. Karena dalam pernyataan
tersebut penilaian dilakukan berasaskan metode yang hanya lebih kepada pengalaman dan
jam terbang saja. Apakah kemampuan basic insting tersebut mendefinisikan kebebasan yang
leluasa kepada seorang kurator. Sumadi mempertegas hal ini dengan mengatakan bahwa:
“Menilai suatu aset bersejarah merupakan penilaian berdasarkan ilmu prediksi,
tapi prediksi secara profesional oleh kurator berdasarkan kode etik nya. Dalam
hal ini kurator maha penting untuk diberi kewenangan yang luas”.
Berdasarkan pemaparan dari beberapa informan, peneliti menganggap bahwa ada
kemungkinan yang bisa dilakukan dalam membuat suatu metode penilaian yang pasti untuk
aset bersejarah. Artinya tidak menutup kemungkinan sebuah metode penilaian aset bersejarah
dapat dihasilkan berdasarkan jam terbang, pengalaman yang alamiah serta basic insting para
kurator tadi. Karena bisa saja hal tersebut dapat dituangkan dan dirumuskan satu per satu
secara ilmiah berdasarkan pemahaman para ahli yang berkecimpung dalam dunia aset
bersejarah atau benda cagar budaya.
4.1.2.2.3 Kapan Penilaian Aset Bersejarah
Selanjutnya pada tahap ketiga ini peneliti menanyakan kepada informan tentang
kapan penilaian aset bersejarah dilakukan. Apakah penilaiaan aset bersejarah dilakukan
24
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
hanya satu kali ketika saat awal diakui saja ataukah ada periode tertentu untuk dilakukan
penilaian ulang. Secara umum Desismon, Mastur dan Sugiharta mengatakan bahwa:
“Penilaian aset bersejarah dilakukan satu kali saja oleh tim ahli pada saat awal
diperoleh. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dinilai ulang, dikaji dulu
urgensinya apa dan tergantung kondisional tertentu”.
Hal tersebut diperjelas oleh Rahmat Gino selaku kepala seksie peninggalan
bersejarah, beliau mengatakan bahwa:
“Penilaian aset bersejarah bisa dilakukan setelah ditetapkan sebagai cagar
budaya dan bisa juga sebelum ditetapkan, fleksibel dan kondisional. Sebab
aturan baku yang harus menilai berdasarkan periode tertentu itu tidak ada. Jika
diperlukan untuk dinilai ulang oleh kurator mungkin ini lebih bersifat by
request”.
Meskipun dalam keadaan normal tidak ada jangka waktu tertentu dalam melakukan
penilaian ulang Neni Yunitri menyampaikan bahwa di Sawahlunto pernah dilakukan dua kali
penilaian untuk aset bersejarah, berikut Neni Yunitri menjelaskan:
“Kalau di Sawahlunto itu pernah dilakukan dua kali, pertama tahun 2011
karena ada temuan BPK, yang kedua tahun 2014 karena terkait administrasi
untuk Unesco. Dalam keadaan normal tidak ada jangka waktu tertentu,
mungkin lebih bersifat karena kebutuhan”.
Dalam hal penilaian kembali, Anis Chariri selaku akademisi justru berbeda pendapat
dengan semua informan, Desismon sebagai kepala bidang aset kota Sawahlunto juga sepakat
agar penilaian kembali terhadap aset bersejarah tidak dipekenankan. Anis Chariri dan
Desismon mengatakan:
“Tidak dipekenankan untuk melakukan penilaian kembali sebab jika berbicara
penilaian kembali berarti hal tersebut terkait dengan menampilkan angka. Aset
bersejarah tidak berbicara seperti itu masing-masing punya karakteristik
sendiri secara umum. Kalau untuk update informasi setiap tahun justru
kualitas informasi yang dilaporkan terkait kontribusi, manfaat atau kalau
diberi dana pengelolaan mampu atau tidak untuk meningkatkan kualitas aset”.
Memang dalam PSAP No.7 Tahun 2010 sendiri aset bersejarah tidak diperbolehkan
untuk dilakukan penilaian ulang, akan tetapi hal yang dilakukan oleh praktisi aset bersejarah
di Kota Sawahlunto tersebut belum tentu tanpa alasan. Peneliti merasa ada hal-hal yang
penting kenapa harus dilakukan penilaian ulang. Mungkin saja para informan tersebut tidak
hanya berpatokan kepada PSAP, mungkin ada produk hukum yang lain sehingga mendorong
mereka untuk melakukan peniaian ulang berdasarkan kondisional tertentu.
25
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.2.3 Pengungkapan Aset Bersejarah
4.1.2.3.1 Apakah Aset Bersejarah Harus Dilaporkan Dalam Laporan Keuangan
Di dalam PSAP No.7 tahun 2010 dijelaskan bahwa aset bersejarah diungkapkan
dalam laporan keuangan pada pos CaLK dalam jumlah unit tanpa nilai, untuk aset bersejarah
yang digunakan dalam kegiatan operasional akan diperlakukan sama seperti aset tetap pada
umumnya. Peneliti mencoba menggali pemahaman informan terkait apakah aset bersjarah
harus dilaporkan dalam pelaporan keuangan atau tidak. Selain itu peneliti juga menanyakan
apakah aset bersejarah dilaporkan oleh entitas pengelola saja atau juga dilaporkan oleh
pemerintah daerah. Neni Yunitri, Sumadi dan Desismon mengatakan bahwa:
“Karena ada uang pemerintah yang dikeluarkan untuk memperolehnya,
merawatnya dan memeliharanya aset bersejarah harus dilaporkan dalam
laporan keuangan. Dilaporkan dalam laporan keuangan entitas pengelola”.
Selain harus diungkapkan di laporan keuangan entitas pengelola, nanti juga bisa
dihimpun oleh pemda. Pelaporan aset bersejarah harrus terkait tentang detail-detail
pelestariannya, sesuai dengan Anis Chariri dan Mastur katakan bahwa:
“Aset bersejarah dan pelaporan nya itu sebaiknya di dinas pengelola, nanti
bisa dihimpun oleh pemda. Dilaporkan pada pos khusus mengenai detail
pengelolaannya yang harus menyajikan biaya-biaya pelestarian”.
Akan tetapi ada juga aset bersejarah yang tidak masuk dalam laporan keuangan
meskipun ada uang yang dikeluarkan dalam pelestariannya, karena aset bersejarah tersebut
dimiliki oleh masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Sugiharta sebagai koordinator
perencanaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar:
“Perlu untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. Tapi ada juga yang tidak
masuk dalam aplikasi kita itu uang nya kita serah terimakan, jadi itu tidak
masuk dalam laporan keuangan kita karena itu milik masyarakat”.
Sementara itu Rahmat Gino justru memiliki pandangan yang berbeda, beliau
menganggap hal pelestarian lebih utama ketimbang mengutamakan apakah aset bersejarah
harus dilaporkan dalam laporan keuangan atau tidak. Rahmat Gino Mengatakan bahwa:
26
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Kalau pribadi saya tidak perlu dilaporkan dalam laporan keuangan karena
akan terbentur dalam pelestarian kedepannya. Untuk aset bersejarah kita
berbicara kualitasnya bukan masalah administrasi keuangan”.
Pelaporan aset bersejarah dalam laporan keuangan tentu masih menjadi isu yang
sangat hangat, karena dalam praktiknya ada yang menganggap tidak perlu dilaporkan dalam
laporan keuangan. Jikapun dilaporkan dalam laporan keuangan detailnya harus memuat
tentang biaya-biaya pelestarian. Karena sebagai aset kekayaan sekaligus identitas bangsa
tentu hal pelestarian lebih utama daripada mempermasalahkan apakah harus dilaporkan
dalam laporan keuangan atau tidak. Tetapi peneliti menganggap bukan tidak perlu juga untuk
melaporkannya dalam laporan keuangan, karena ini menyangkut entitas publik sebagai pihak
pengelola aset bersejarah agar dapat memperlakukan aset bersejarah lebih transparan dan
akuntabel sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
4.1.2.3.2 Pos Laporan Keuangan Yang Tepat Untuk Aset Bersejarah
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap telah mengatur bahwa untuk jenis aset
bersejaarah jenis non operasional diungkapkan pada pos CaLK dalam jumlah unit tanpa nilai.
Sedangkan untuk aset bersejarah jenis operasional itu bisa diungkapkan di neraca dan akan
diperlakukan sama seperti aset tetap pada umumnya. Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa
jika jenis operasional bisa diungkapkan di neraca kenapa tidak untuk jenis non operasional
juga bisa dilakukan hal yang sama ataupun sebaliknya. Mengingat kedua-duanya sama sama
aset bersejarah yang dilindungi oleh pemerintah dan Undang-Undang sehingga memerlukan
perlakuan yang khusus. Dalam hal ini Anis Chariri secara umum mengatakan bahwa:
“Kalau aset bersejarah itu bisa diukur dalam tanda petik berdasarkan harga
perolehan atau ganti rugi tadi mungkin itu bisa masuk dalam pos neraca, untuk
yang tidak bisa memunculkan nilai karena tidak ada transaksinya itu bisa saja
masuk di CaLK. Tapi bagi saya yang penting itu bukan nilai rupiahnya, karena
sampai kapanpun nilai rupiah tidak mencerminkan nilai aset bersejarah yang
sebenarnya. Yang terpenting adalah informasi mengenai mengelola dana
untuk memperbaiki dan merenovasi dalam rangka mempertahankan aset
bersejarah”.
Sementara itu Mastur dan Sumadi memiliki pendapat yang hampir sama, karena hal
ini berkaitan dengan peran kurator yang mampu memberikan nilai pada aset bersejarah.
Mastur dan Sumadi menganggap adanya sebuah keharusan untuk mengungkap aset
bersejarah di neraca jika pada aset bersejarah tersebut terdapat nilai rupiah yang melekat. Dan
27
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
setelah itu untuk nilai yang tak tergambarkan oleh rupiah juga harus diungkap di dalam
CaLK. Mastur mengatakan bahwa:
“Saya pribadi menginginkan ada nilai rupiah disitu, selain ada nilai rupiah
harus dijelaskan di CaLK terkait informasi-informasi yang tidak bisa
digambarkan dengan angka”.
Peneliti berasumsi hal yang disampaikan Mastur bisa saja ada kaitannya dengan yang
dikatakan oleh Anis Chariri bahwa yang terpenting dalam pelaporannya harus ada memuat
tentang pengelolaan dana untuk memperbaiki dan renovasi dalam rangka mempertahankan
aset bersejarah. Hampir senada dengan Mastur, Sumadi mengatakan:
“Untuk nilai intrinsiknya itu harus di CaLK dan nilai ekstrinsiknya seperti
harga perolehan itu bisa di neraca. Tapi berdasarkan tadi harusnya semua
diungkapkan di neraca sebagai aset lainnya”.
Yang dimaksud Sumadi dalam hal ini adalah harus ada kemaksimalan peran seorang
kurator dalam memberikan nominalisasi agar aset bersejarah tersebut semuanya bisa
diungkap di neraca. Jika melihat kepada kebijakan akuntansi yang dibuat oleh pemerintah
Sawahlunto terdapat fakta menarik bahwa aset yang digunakan untuk kegiatan operasional
pun diungkapkan dalam CaLK. Meskipun kebijakan ini berseberangan dengan PSAP No.7
Neni Yunitri sebagai kepala seksie akuntansi pemerintah kota Sawahlunto menegaskan
bahwa:
“Kalau untuk aset bergerak seperti koleksi yang ada harga perolehannya itu
dilaporkan di neraca pada pos aset tetap lainnya. Untuk gedung yang
merupakan aset tidak bergerak meskipun dipakai untuk operasional itu
dilaporkan di CaLK”.
Kebijakan akuntansi pemerintah kota Sawahlunto memaang sangat berbeda dengan
apa yang telah digariskan oleh PSAP. Tapi hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat pada
pembahasan sebelumnya peneliti menemukan fakta bahwa aset bersejarah di kawasan Kota
Lama Sawahlunto tidak semuanya dimiliki oleh pemkot Sawahlunto. Mungkin hal tersebut
memaksa pemkot Sawahlunto untuk membuat kebijakan yang berbeda dengan PSAP. Atau
bisa saja ada alasan-alasan lain terkait hal tersebut.
28
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.1.2.3.3 Biaya Memugar Aset Bersejarah
Pada proses ini selain menanyakan bagaimana tentang biaya untuk memugar aset
bersejarah, peneliti juga menanyakan apakah biaya untuk memugar tersebut juga dilaporkan
pada pos yang sama dalam melaporkan aset bersejarah. Ataukah ada pos lain dalam
mengungkapkan biaya untuk memugar aset bersejarah. Peneliti juga menanyakan berasal
darimana saja biaya untuk memugar aset bersejarah tersebut. Sugiharta dan Mastur secara
umum mengatakan bahwa:
“Biaya memugar yang kita anggarkan sesuai dengan alokasi anggaran yang
diberikan oleh pemerintah dan terserah anggaran darimana saja, yang jelas
disini kita sebagai perwakilan institusi Kemendikbud pusat kita
mengalokasikan anggaran yang telah dialokasikan oleh pusat untuk
pelestarian. Ini masuknya ke beban pemeliharaan dan pelestarian. Yang
dipugar bukan hanya milik negara saja yang milik masyarakat juga itu
berdasarkan kebutuhan karena tidak setiap tahun kita memugar aset yang
sama”.
Dalam melestarikan dan mempertahankan aset bersejarah melakukan pemugaran
merupakan hal yang sangat penting. Bahkan biaya pemugaran tersebut harus disusutkan
setiap tahun agar ada suatu periode yang dimana mengharuskan entitas pengelola untuk terus
melakukan pemugarannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Anis Chariri:
“Yang penting dalam aset bersejarah itu adalah biaya pemugaran,
mempertahankan aset bersejarah supaya bisa bertahan lama. Bisa juga ini
dilakukan penyusutan tetapi penyusutan untuk biaya memugarnya bukan
bangunannya. Dalam hal ini untuk biaya pemugarannya itu dipisah dengan
posisi pengungkapan aset nya”.
Sementara itu meskipun pemerintah kota Sawahlunto tidak sepenuhnya memiliki aset
bersejarah yang ada di kawasan kota lama tersebut, namun pemkot Sawahlunto tetap
mengedepankan pelestarian dengan melakukan pemugaran tanpa harus menambah nilai aset
tersebut. Neni Yunitri dan Sumadi mengatakan bahwa:
“Kita mengakomodir itu meskipun aset bersejarah disini rata-rata bukan milik
kita semua, untuk biaya memugar itu tidak menambah nilai aset. Kalaupun ada
uang yang dikeluarkan itu dianggap sebagai uang operasional yang hilang
sebagi beban pemeliharaan saja”.
Lalu Desismon dan Rahmat Gino juga menambahkan lebih jelas tentang anggaran
untuk memugar aset bersejarah dan pemilihan aset bersejarah yang dipugar berdasarkan skala
prioritas yang telah ditentukan, Desismon mengatakan:
29
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Setiap tahun ada kita anggarkan biaya untuk memugar aset bersejarah, dalam
pemugaran itu kita membuat skala prioritas mana yang paling utama untuk
dipugar”.
Rahmat Gino mempertegas hal yang disampaikan Desismon dengan mengatakan:
“Kita menterjemahkan undang-undang, barang yang diduga sebagai cagar
budaya itu perlindungannya sama seperti benda cagar budaya. instansi kita
punya anggaran untuk revitalisasi, konservasi pemugaran ada dana nya
walaupun aset bersejarah itu bukan milik kita. Dana pemugaran tersebut bisa
berasal dari APBN dan APBD, ada juga yang kita mengajukan proposal dulu.
Nanti aset bersejarah yang akan dipugar itu dipilih berdasarkan urgensinya”.
Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto
selalu membuat anggaran setiap tahunnya untuk memugar aset bersejarah. Nantinya aset
bersejarah yang akan dipugar dipilih berdasarkan skala prioritas yang telah ditentukan. Aset
bersejarah sebagai aset bangsa yang membawa karakteristik unik serta membawa unsur
kultural dan sejarah yang melekat memang perlu untuk selalu dilestarikan. Dalam hal ini
pihak pengelola aset bersejarah terus membuat anggaran untuk melakukan pemugaran demi
keberlangsungan aset bersejarah. Agar nantinya aset bersejarah ini bisa dinikmati oleh anak
cucu bangsa bahwa memang inilah sejarah bangsa yang harus selalu dijaga.
4.1.2.4 Permasalahan Dengan Standar Akuntansi Yang Berlaku
4.1.2.4.1 Apakah PSAP No.7 Dapat Mengcover Aset Berejarah
PSAP No.7 selaku standar akuntansi yang berlaku saat ini memang mengatur
bagaimana perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah dalam bagian aset tetap. Akan tetapi
peneliti merasa standar ini belum mengatur terlalu detail bagaimana aset bersejarah
seharusnya diperlakukan. Dalam kesempatan ini peneliti mencoba menanyakan kepada
informan apakah standar tersebut telah mampu mengcover segala permasalahan tentang aset
bersejarah. Mastur menerangkan bahwa “Menurut saya PSAP ini belum bisa mengcover
segala permasalahan aset bersejarah”. Pernyataan Mastur lalu dipertegas oleh Anis Chariri
dengan mengatakan:
“Untuk aset bersejarah mungkin sulit. Terkait aset bersejarah mengangkut
unsur pendidikan, budaya dan sejarah salah satunya berkaitan dengan
pengelolaan aset bersejarah. Jika standar tersebut belum mengatur terlalu
detail berarti belum”.
30
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Lalu peneliti mencoba mengkonfirmasi kepada Neni Yunitri selaku kepala seksie
akuntansi Pemerintah Kota Sawahlunto yang merupakan tempat objek penelitian ini
dilakukan. Berdasarkan pengalaman yang dialami, Neni mengatakan bahwa:
“Karena PSAP No.7 terlalu sedikit mengatur mengenai aset bersejarah
otomatis permasalahaan di Sawahlunto tidak tercover”.
Berseberangan dengan pendapat tiga informan sebelumnya Sumadi merasa justru
bukan standar nya yang salah, melainkan keterjadiannya lah yang dirasa Sumadi lemah.
Sumadi yang pernah menjabat sebagai kepala divisi keuangan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Sawahlunto sebelum akhirnya Dinas tersebut dipecah menjadi dua bagian
yang terpisah berpendapat bahwa:
“Selaku standar akuntansi selagi pemerintah bersifat transparan dan
accountable tidak ada yang salah, yang lemah itu transaksinya dan
keterjadiannya”.
Pendapat dari Sumadi sangat menarik ditengah pendapat banyak informan yang
mengeluhkan tentang standar akuntansi ini. Tentu hal tersebut bukan hanya pendapat buta
semata, mengingat pengalaman Sumadi yang dulu sempat di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sebelum akhirnya menjabat sebagai kepala keuangan Dinas Pemuda dan
Pariwisata Kota Sawahlunto. Terkait masalah kesesuaian dengan standar ini peneliti hanya
memang menanyakan kepada informan yang hanya berkaitan dengan keuangan dan pihak
akademisi saja. Karena informan yang menjabat di bagian keuangan dan akademisi lah yang
dirasa berkompeten untuk memberikan keterangan berdasarkan pemahaman dan pengalaman
mereka.
4.1.2.4.2 Kesulitan Menerapkan PSAP No.7
Dalam tahap ini peneliti hanya mengkonfirmasi kepada tiga orang informan saja yang
dimana informan tersebut memang terlibat langsung dalam membuat kebijakan akuntansi
serta menjalankan kegiatan akuntansi sesuai dengan tupoksi nya pada entitas masing-masing.
Peneliti mencoba mendalami apakah ada kesulitan yang dialami dalam hal menyesuaikan
PSAP No.7 dalam memperlakukan aset bersejarah. Serta permasalahan-permasalahan
kondisional yang terjadi di Sawahlunto sehingga menyulitkan informan dalam menerapkan
PSAP No.7. Secara umum Mastur mengatakan bahwa:
31
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Harusnya ada perlakuan yang pasti. Karena ketika ada orang yang nanya
seperti ini seharusnya saya bisa menjawab, berarti kan ini belum sesuai”.
Neni Yunitri kembali mengeluhkan PSAP No.7 yang belum terlalu detail dalam
memperlakukan aset bersejarah. Karena menurut Neni sendiri setiap daerah pasti berbeda-
beda kasusnya. Sesuai dengan itu Neni menjelaskan bahwa:
“Karena PSAP tadi belum terlalu detail mengatur aset bersejarah otomatis
perlakuan akuntasinya juga jadi rancu, masih di awang-awang belum
menyentuh ke inti permasalahan yang dihadapi, karena setiap daerah mungkin
permasalahannya berbeda-beda”.
Selanjutnya Sumadi kembali mempermasalahkan peran kurator yang harusnya
sebagai aktor utama dalam menilai aset bersejaraah mesti berperan lebih dalam agar
permasalahan dalam perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah ini bisa berjalan dengan
semestinya. Sumadi menjelaskan bahwa:
“Dalam proses pengakuan, pengukuran, penilaian dan pengungkapan. Pada
proses pengukuran dan penilaian lah yang lemah. utama disini aktornya yaitu
kurator. Kalau kurator nya benar otomatis PSAP benar”.
Berdasarkan pemahaman informan tersebut peneliti beranggapan bahwa perlunya ada
sebuah standar akuntansi untuk aset bersejarah yang bersifat mutlak. Karena permasalahan
yang berbeda-beda harusnya dengan ada standar yang mutlak bisa membuat keseragaman
dalam memperlakukan aset bersejarah yang selama ini perlakuannya hanya bersifat normatif
saja.
4.1.2.4.3 Apakah PSAP No.7 Perlu Untuk Dikaji Ulang
Mengingat pembahasan-pembahasan identifikasi masalah sebelumnya, peneliti
menemukan jawaban unik yang berbeda –beda dari beberapa informan. Peneliti berinisiatif
menanyakan kepada semua informan apakah PSAP No.7 perlu untuk dikaji ulang. Sugiharta
dan Rahmat Gino mengeluhkan tentang pengklasifikasian aset bersejarah opersional dan non
operasional dengan mengatakan bahwa:
“Kalau dalam hal ini masih mengkategorisasikan aset bersejarah yang artinya
masih memisahkan antara operasional dan non opersional berarti itu belum
tercover. Kendalanya mungkin di pemanfaatan operasional dan non
operasional tadi. Harusnya standar itu lebih memudahkan kita dalam
melakukan pemugaran dan pemeliharaan. Agar standar tersebut lebih berpihak
32
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kepada kualitas bukan sekedar memenuhi kebutuhan pertanggung jawabannya
saja”.
Hal tersebut dipertegas oleh Desismon terkait apakah standar tersebut lebih besar
diterapkan di Sawahlunto atau tidak, sangat sulit menerapkannya karena aset bersejarah di
Sawahlunto tidak sepenuhnya milik pemerintah Kota Sawahlunto. Desismon mengatakan:
“Dari sisi apakah standar akuntansi lebih besar kita terapkan atau tidak ini
nampaknya belum sesuai. Karena disini juga masih bingung sebab aset
bersejarahnya sebagian besar juga bukan punya kita”.
Sementara itu Mastur mempertimbangkan dari sisi bahwa harus ada tolak ukur pasti
tentang nilai aset bersejarah. Karena nilai aset menurut Mastur sangat erat kaitannya dengan
pemeliharaan aset itu sendiri. Mastur mengatakan bahwa:
“Jadi nilai sebuah barang atau aset itu harus ada ketentuan kuartalnya,
maksudnya ada nilainya. Karena ini terkait tentang nilai aset dengan masalah
pemeliharaannya. Makanya harus ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli
yang berkompeten di bidangnya”.
Lalu Sumadi mengisyaratkan lebih mengedepankan para ahli untuk menyempurnakan
kode etik sang kurator agar standar akuntansi yang berlaku bisa berjalan dengan semestinya.
Agar kode etik tersebut bisa menjadi sebuah keseragaman yang dijalani dan dipatuhi
bersama. Sesuai dengan itu Sumadi menyatakan:
“Dalam konteks ini yang perlu dibenahi adalah bagaimana supaya standar
akuntansinya bisa berjalan. Untuk itu para ahli budaya, arkeolog, sejarah,
arsitektur dll itu harus satu pandangan dulu dalam menyempurnakan sebuah
kode etik untuk dibangun bersama dan dipatuhi bersama”.
Apakah sebuah standar ini sangat wajib dan perlu untuk diperbaiki, Neni Yunitri
membenarkan hal tersebut agar nantinya masing-masing daerah tidak memiliki pemahaman
yang berbeda-beda lagi terkait tentang perlakuan aset bersejarah. Neni Yunitri menginginkan
sebuah aturan yang lebih detail mengenai perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah. Senada
dengan hal itu Neni Yunitri memperjelas bahwa:
“Memang perlu dan wajib untuk diperbaiki karena beberapa diantaranya juga
beda pemahaman tentang apa yang seharusnya dikatakan sebagai aset
bersejarah. Dalam hal ini perlu keterlibatan bersama dalam meluruskan segala
permasalahan aset bersejarah secara lebih detail”.
Sebagai seorang akademisi yang berkompeten dalam studi aset bersejarah, Anis
Chariri memang menginginkan sebuah standar akuntansi yang khusus mengatur tentang
33
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bagaimana perlakuan untuk aset bersejarah. Akan tetapi badan pembuat standar juga harus
mempertimbangkan cost dan benefitnya, apakah lebih banyak manfaatnya untuk bisa dipakai
menjadi sebuah keseragaman. Anis Chariri mengatakan bahwa:
“Harusnya ada aturan khusus atau standar akuntansi khusus untuk pengelolaan
aset besejarah karena kurang tepat jika disama-ratakan mengingat aset
bersejarah ini punya karakteristik khusus. Tapi dalam pembuatan standar
khusus ini juga harus memperrtimbangkan cost dan benefitnya”.
Berdasarkan pernyataan dari beberapa informan tersebut peneliti berasumsi bahwa
memang perlunya sebuah standar akuntansi yang berlaku saat ini untuk dikaji ulang.
Mengingat perlakuan yang berbeda-beda disetiap daerah tentu memunculkan sebuah tanda
tanya apakah standar ini telah memperlaakukan dengan baik sebuah aset kekayaan bangsa
yaitu benda cagar budaya atau aset bersejarah. Selanjutnbya juga perlu keterlibatan bersama
para ahli dalam merumuskan bagaimana aturan khusus untuk aset bersejarah ini, yang
tentunya tidak hanya melibatkan ahli akuntansi atau ekonomi saja. Ahli seperti sejarah,
budaya, arkeologi, arsitektur dll juga perlu dilibatkan untuk duduk bersama dalam mencari
sebuah kesepakatan.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengakuan Aset Bersejarah
Praktik pengakuan aset bersejarah dalam laporan keuangan memiliki pola pemikiran
yang berbeda-beda di setiap negara. Menurut Agustini (2011) standar yang dijadikan
pedoman dalam praktik pengakuan aset bersejarah juga disesuaikan dengan standar yang
dimiliki oleh masing-masing negara. Hal ini juga berpengaruh pada pengunaan istilah aset
bersejarah yang berbeda di masing-masing negara. Misalnya saja untuk menunjukkan aset
tetap digunakan istilah Property, Plant and Equipment (PPE), Fixed Assets, Non-Current
Assets, Capital Assets, dan sebagainya.
Sebelum diakui menjadi aset bersejarah, peneliti menempuh enam tahapan proses
dalam menggali informasi kepada semua informan sebelum menentukan apakah aset tersebut
memenuhi kriteria pengakuannya sebagai aset bersejarah. Enam tahap proses ini dilakukan
peneliti berdasarkan tinjauan riset-riset sebelumnya yang dilakukan dalam mengetahui
perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah. Enam tahap tersebut adalah:
1. Mengetahui makna aset bersejarah
2. Apa saja yang menjadi karakteristik unik aset bersejarah
34
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3. Umur aset bersejarah
4. Nilai yang terkandung dalam aset bersejarah
5. Jenis-jenis aset bersejarah
6. Berasal darimana saja perolehan aset bersejarah
Setelah melewati enam tahap proses tersebut barulah bisa ditentukan apakah sebuah
aset atau benda bisa diakui sebagai aset bersejarah. Menurut Aversano dan Christiaens (2012)
aset bersejarah berbeda dengan aset pada umumnya, karena aset tersebut tidak dapat
diproduksi ulang, digantikan dan juga tidak memungkinkan kondisinya untuk
diperdagangkan. Oleh karena itu perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah ini cenderung
bervariasi tergantung pada sifat entitas yang menaunginya dan juga sifat bawaan dari aset
tersebut.
4.2.1.1 Makna Aset Bersejarah
Pemahaman tentang makna aset bersejarah memainkan peranan penting dalam
menganalisa perlakuan akuntansi pada Kawasan Kota Lama Sawahlunto. Hal ini beralasan
karena makna atau definisi aset bersejarah dapat mempengaruhi aspek pengakuan,
pengukuran, penilaian dan pengungkapannya. Setelah berangkat dari makna tersebut barulah
akhirnya aset bersejarah dapat digolongkan ke dalam aset atau kewajiban dan ataupun kedua
golongan tersebut bisa memenuhi makna dari aset bersejarah.
PSAP No.7 (2010) tentang aset tetap menyebutkan bahwa aset bersejarah merupakan
aset tetap yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah yang karena umur dan kondisinya aset
tetap tersebut harus dilindungi oleh peraturan yang berlaku dari segala macam tindakan yang
dapat merusak aset tetap tersebut. Selanjutnya Anis Chariri menjelaskan bahwa:
“Aset bersejarah adalah aset yang memiliki keunikan, keunikannya tidak
didasarkan pada substansi ekonomi. Keunikan yang melekat disini adalah sisi
edukasi, kultural dan historis yang mengingatkan manusia pada suatu masa
lampau dimana disitu ada nilai-nilai sejarah dan budaya yang bisa dipelajari
dari aset tersebut”.
Anis Chariri cenderung memaknai aset bersejarah sebagai segala sesuatu yang
memiliki nilai budaya dan nilai sejarah yang muncul pada masa lalu. Aset bersejarah pada
akhirnya dapat di manfaatkan untuk tujuan pendidikan tujuan kultural dan tujuan historis,
sehingga mendorong orang-orang untuk belajar dari masa lalu. Konteks aset bersejarah
bukanlah sesuatu yang serta merta dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan secara riil.
35
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Memang beberapa diantaranya mendatangkan pendapatan setelah dimanfaatkan sebagai
objek wisata, akan tetapi itu bukanlah esensi utama dari aset bersejarah.
Para ahli budaya atau orang yang berkecimpung langsung dalam pelestarian Cagar
Budaya cenderung mengaitkan aset bersejarah dengan definisi benda cagar budaya. Hal ini
sesuai dengan yang dipaparkan oleh Sugiharta, Rahmat Gino dan Sumadi bahwa
“Aset bersejarah itu adalah benda cagar budaya termasuk juga barang-barang
seni. Aset bersejarah ini kembali kepada identitas suatu bangsa dan menjadi
perjalanan suatu bangsa yang menjadi titipan untuk anak cucu kita bahwa
inilah sejarah bangsa yang harus dipelihara”.
Pernyataan Sugiharta, Rahmat Gino dan Sumadi menggambarkan bahwa semua aset
bersejarah baik itu berupa bangunan, museum, benda koleksi, galeri dan barang-barang seni
merupakan benda cagar budaya. Selain itu aset bersejarah adalah identitas bangsa yang
menjadi titipan untuk anak cucu bangsa agar selalu dipelihara kelestariannya. Pernyataan
ketiga orang ahli ini sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan definisi cagar budaya
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.
Dalam Bab I Ketentuan Umum beberapa definisi benda cagar budaya dijelaskan pada pasal 1
yang berbunyi:
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/ atau benda buatan manusia, baik
bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-
bagiannya, atau sisa-sisanya memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah
perkembangan manusia.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau
benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/ atau tidak
berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/
atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang
menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
36
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/ atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/ atau Struktur
Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar
Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/ atau memperlihatkan ciri tata ruang
yang khas.
Berdasarkan pemahaman beberapa informan dan definisi dari Undang-Undang Cagar
Budaya, dapat dikatakan bahwa aset bersejarah merupakan identitas suatu bangsa yang
membawa unsur sejarah, budaya dan pendidikan yang harus dijaga kelestariannya dan
dipertahankan keberlangsungannya dalam waktu yang tidak terbatas. Hal pelestarian terus
dikedepankan jika berbicara tentang aset bersejarah. Terlepas dari multi-makna yang
terkandung dalam aset bersejarah, disampingnya harus beriringan dengan pentingnya sebuah
pelestarian. Selain itu aset bersejarah haruslah dipayungi oleh hukum dan perundang-
undangan yang berlaku. International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) 17-
Property, Plant and Equipment menyatakan bahwa suatu aset dinyatakan sebagai heritage
assets karena bernilai budaya, lingkungan atau arti sejarah. Heritage assets diharapkan untuk
dipertahankan dalam waktu yang tak terbatas serta dapat dibuktikan legalitasnya sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi aset bersejarah yang berbeda-beda cenderung mempengaruhi para ahli dalam
mengklasifikasikan aset bersejarah apakah aset bersejarah ini tergolong aset atau kewajiban
dan ataupun makna aset bersejarah ini mampu memenuhi substansi kedua-duanya. Micallef
dan Peirson (1997) mengatakan aset bersejarah tergolong dalam aset dan dapat dimasukan ke
dalam neraca. Pernyataan ini berseberangan dengan yang dikatakan oleh Carnegie dan
Wolfnizer (1995) yang mengatakan bahwa aset bersejarah bukanlah aset dan akan lebih tepat
diklasifikasikan sebagai liabilitas, atau secara alternatif disebut sebagai fasilitas dan
menyajikannya secara terpisah.
Pandangan berbeda tentang pengklasifikasian aset bersejarah dapat dilihat pada objek
penelitian Museum Kota Lama Sawahlunto. Informan yang dilibatkan oleh peneliti dalam hal
ini memberikan cara pandang yang berbeda dan menarik, baik itu informan akademisi atau
informan yang terkait langsung dengan pengelolaannya. Akan tetapi cara pandang yang
berbeda ini tetaplah pada tujuan yang pasti yaitu mempertahankan keberlangsungan aset
bersejarah. Mastur, Sumadi dan Neni Yunitri mengatakan bahwa:
37
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Aset bersejarah masuk ke dalam golongan aset karena dia tetap memenuhi
karakteristik dari aset. Meskipun tidak semuanya masuk kedalam aktifitas
operasional pemda dan ada yang terukur serta tidak terukur tetapi ada wujud
barang dan wujud fisik aset tersebut”.
Selain tergolong ke dalam aset, Rahmat Gino dan Sugiharta selaku tim ahli Cagar
Budaya Sawahlunto menambahkan bahwa aset bersejarah juga memiliki kewajiban untuk
dipelihara, kedua informan ini mengatakan:
“Kalau dari segi aset memang merupakan aset bangsa, tetapi kita memiliki
kewajiban untuk memelihara, karena kalau dalam transaksinya kita harus
mengeluarkan biaya untuk pelestarian”.
Meskipun Rahmat Gino dan Sugiharta melihat aset bersejarah sebagai aset, namun
tidak jelas alasan yang digunakan untuk mengakui aset bersejarah tersebut sebagai aset. Bagi
mereka aset bersejarah lebih dikaitkan kepada kewajiban. Artinya ketika aset dimiliki oleh
entittas, maka entitas mempunyai kewajiban untuk mengelolanya. Selanjutnya Anis Chariri
selaku akademisi yang juga merupakan guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis di salah
satu perguruan tinggi negeri Jawa Tengah mempunyai pendapat yang melengkapi pandangan
dari kelima informan sebelumnya. Terlepas apakah itu pengklasifikasiannya masuk ke dalam
aset atau pun kewajiban, hal yang utama adalah bagaimana keberlangsungan aset tersebut
dapat dipertahankan. Selain sebagai aset bangsa, aset bersejarah juga memenuhi konteks
kewajiban. Hal ini dipertegas Anis Chariri dengan mengatakan bahwa:
“Aset bersejarah mampu memberikan manfaat masa mendatang seperti
retribusi dan sebagainya. Dalam hal kewajiban kalau dalam konteks ekonomi
memang sulit tetapi lebih kepada kewajiban untuk merawat serta kewajiban
untuk mempertahankan keberlangsungan aset tersebut, jadi ada jumlah rupiah
yang harus dikorbankan untuk masa sekarang demi masa mendatang”.
Meskipun sekilas cara pandang dari beberapa informan ini cukup berbeda, akan tetapi
esensi utamanya tetaplah satu makna yaitu mempertahankan keberlangsungan aset bersejarah.
Adapun cara pandang yang berbeda ini saling melengkapi satu sama lain terkait tentang
makna aset bersejarah. Yang dikedepankan dalam hal ini memang terkait bagaimana hal
pelestarian dan merawat aset bersejarah tetap dijagaa sebagai aset kekayaan bangsa.
Aset bersejarah adalah benda cagar budaya yang merupakan aset bangsa dan menjadi
identitas suatu bangsa yang terjadi pada masa lampau, yang menggambarkan perjalanan suatu
bangsa dan menjadi titipan untuk generasi mendatang bahwa inilah peninggalan bersejarah
yang harus dipelihara dan dipertahankan keberadaannya. Apabila konteksnya dikaitkan
38
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dengan manfaat masa mendatang, maka benda cagar budaya memenuhi kategori aset.
Apabila dikaitkan dengan konteks kewajiban, maka kewajibannya adalah untuk merawat
serta memelihara, karena setiap tahun pemerintah menganggarkan untuk memelihara aset
bersejarah. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menganggarkan pemeliharaan, jadi
pemerintah harus mengeluarkan jumlah rupiah untuk aset bersejarah agar manfaatnya dapat
dinikmati oleh masyarakat dimasa sekarang dan masa akan datang.
Tabel 4.2 Definisi dan Penggolongan Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Neni Yunitri Menurut saya sesuai dengan PSAP asset bersejarah
masuk kedalam aset, walaupun itu aset bersejarah
tapi tetap kita golongkan kedalam aset karena dia
tetap memenuhi karakteristik dari aset. Walaupun
tidak semuanya digunakan ke dalam aktifitas
operasional pemda pun tetap dihitung sebagai aset.
Meskipun ada yang terukur dan ada yang tidak
tetapi ada wujud barang dan wujud fisik aset
tersebut.
Aset bersejarah masuk ke dalam
golongan aset, karena memenuhi
karakteristik dari aset. Tidak semua
aset bersejarah masuk kedalam
aktifitas operasional pemda dan ada
yang terukur serta tidak terukur,
tetapi wujud barang dan wujud fisik
aset tersebut tetaplah ada.
Aset bersejarah adalah benda cagar
budaya dan termasuk juga barang-
barang seni. Aset bersejarah
merupakan identitas suatu bangsa
Mastur Aset bersejarah ini barangnya itu nilainya belum
tau, menurut saya masuk ke dalam aset.
Sumadi Kalau di Sawahlunto aset bersejarah ini adalah
benda cagar budaya termasuk juga barang-barang
seni. Ini masuk dalam golongan aset.
Rahmat Gino Aset bersejarah ini kan kembali kepada identitas
suatu bangsa yang menunjukan jati diri kita,
memang peninggalan kolonial tetapi ini dibangun
oleh pribumi darah dan keringat orang asli
Indonesia. Selain menjadi perjalanan sebuah bangsa
juga menjadi titipan dan cerita untuk anak cucu kita
bahwa inilah peninggalan sejarah yang harus
dipelihara. Memang kalau dari segi aset merupakan
aset bangsa tapi kami memiliki kewajiban untuk
memelihara.
39
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sugiharta Aset bersejarah itu adalah benda cagar budaya,
cagar budaya itu tidak ternilai dari segi
ekonominya. Tapi intinya masuk kategori
kewajiban kalau dalam transaksinya, kita harus
mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan.
dan menjadi perjalanan suatu
bangsa, sehingga menjadi titipan
untuk generasi mendatang bahwa
inilah sejarah bangsa yang harus
dipelihara
Anis Chariri Aset bersejarah adalah aset yang memiliki
keunikan, keunikannya tidak didasarkan pada
substansi ekonomi. Keunikan yang melekat disini
adalah sisi edukasi, kultural dan historis yang
mengingatkan manusia pada suatu masa lampau
dimana disitu ada nilai-nilai sejarah dan budaya
yang bisa dipelajari dari aset tersebut. Dalam hal
kewajiban kalau dari konteks ekonomi memang
sulit tetapi lebih kepada kewajiban untuk merawat
serta kewajiban untuk mempertahankan
keberlangsungan aset bersejarah tersebut. Jadi kalau
dikaitkan dengan definisi liabilitas ada jumlah
rupiah yang harus dikorbankan demi masa
mendatang karena pada masa sekarang aset
bersejarah dapat memberi manfaat seperti retribusi
dan sebagainya, tetapi isu utama bukanlah pada
tatanan ekonomi.
Aset bersejarah tidak selalu harus
melekat pada sebuah substansi
ekonomi, karena aset bersejarah
merupakan aset yang memiliki
keunikan. Keunikan yang melekat
pada aset bersejarah adalah sisi
edukasi, kultural dan historis. Jika
dikaitkan dengan definisi liabilitas,
maka ada sebuah kewajiban
terhadap jumlah rupiah yang harus
dikorbankan demi keberlangsungan
aset bersejsarah tersebut.
Lampiran Coding (xxii-xxiii)
4.2.1.2 Karakteristik Aset Bersejarah
Aset bersejarah memang memiliki karakteristik unik dan menarik. Apakah
karakteristik dari aset bersejarah ini mampu ditemukan pada aset lainnya ataukah murni
memang bawaan spesifik tersendiri sehingga aset bersejarah ini memang terkesan sebagai
barang yang langka dan mempunyai keunikan tersendiri. International Public Sector
Accounting Standard (IPSAS) 17- Property, Plant and Equipment menyebutkan untuk dapat
dikatakan sebagai aset bersejarah maka aset tersebut harus memiliki karakteristik berikut :
a. Nilai kultural, lingkungan, pendidikan, dan sejarahnya tidak mungkin secara penuh
dilambangkan dengan nilai keuangan berdasarkan harga pasar.
b. Peraturan dan hukum yang berlaku melarang atau membatasi secara ketat
pelepasannya untuk dijual.
c. Tidak mudah untuk diganti dan nilainya akan terus meningkat selama waktu berjalan
walaupun kondisi fisiknya semakin menurun.
d. Sulit untuk mengestimasi masa manfaatnya. Untuk beberapa kasus mencapai ratusan
tahun.
40
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Unsur paling utama dalam karakteristik aset bersejarah memanglah harus memiliki
nilai kultural, lingkungan, pendidikan dan sejarahnya yang tidak bisa ditemukan pada aset
lain. Selain itu aset bersejarah harus dilindungi oleh peraturan yang berlaku mengingat tidak
mudah untuk menggantinya dan sulit untuk mengestimasi masa manfaatnya. Hal ini
dipertegas oleh Neni Yunitri dan Sumadi yang mengatakan bahwa:
“Karakteristik aset bersejarah tidak bisa ditemukan pada aset lain karena aset
bersejarah lebih kepada kultur-kulturnya yang memiliki nilai sejarah dan
budaya. disamping itu juga ada bawaan spesifik yang unik dan tidak bisa di
replika. Yang membedakannya dengan aset lain adalah nilai intrinsik dan
ektrinsik. Nilai intrinsiknya inilah yang utama karena berkaitan dengan
momen-momen penting sehingga tidak bisa dinilai dan cenderung tak
terhingga. Sedangkan aset non bersejarah hanya memiliki nilai ektrinsik yang
suatu saat akan habis atau nol”.
Sementara itu tidak dapat dipungkiri juga bahwa aset bersejarah memiliki kesamaan
dengan aset tetap. Menurut Agustini (2011) adapun kesamaan antara aset bersejarah dan aset
tetap adalah sebagai berikut:
a. Berwujud
b. Berharga atau bernilai
c. Keduanya memiliki manfaat ekonomik atau potensi jasa
d. Timbul atas kejadian masa lalu
e. Dikuasai atau dikendalikan entitas
Jika secara umum aset bersejarah memiliki kesamaan dengan aset tetap dan bisa sajaa
karakteristik aset bersejarah ditemukan pada aset lainnya. Lantas hal apa yang paling
mendasar dalam menentukan karakteristik aset bersejarah ini. Sugiharta dan Mastur
menjelaskan bahwa:
“Karakteristik umum dari aset bersejarah bisa saja ditemukan pada aset lain,
tapi intinya antara aset bersejarah dan non bersejarah itu ada penanda khusus
yang bisa membedakan. Yang terpenting aset bersejarah itu harus ada nilai
penting yaitu kebudayaan, sejarah, pendidikan, agama dan nilai sosial
lainnya”.
Karakteristik utama dari aset bersejarah haruslah memiliki nilai penting. Penjelasan
atas Peraturan Daerah Kota Sawahlunto No.9 Tahun 2016 Tentang Pelestarian dan
Pengelolaan Cagar Budaya Pasal 2 Ayat 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan nilai
penting cagar budaya adalah sesuatu yang dipandang penting, berharga, yang diprioritaskan
atau yang diutamakaan terkait dengan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan
kebudayaan. Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun
41
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2010 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi cagar budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan
kebudayaan melalui proses penetapan. Di Indonesia, yang termasuk karakteristik aset
bersejarah menurut PSAP No.7 tentang aset tetap adalah sebagai berikut:
a. Nilai kultural, lingkungan, pendidikan dan sejarahnya tidak mungkin secara
penuh dilambangkan dengan nilai keuangan berdasarkan harga pasar;
b. Peraturan dan hukum yang berlaku melarang atau membatasi secara ketat
pelepasannya untuk dijual;
c. Tidak mudah untuk diganti dan nilainya akan terus meningkat selama waktu
berjalan walaupun kondisi fisiknya semakin menurun;
d. Sulit untuk mengestimasikan masa manfaatnya. Untuk beberapa kasus dapat
mencapai ratusan tahun.
Terlepas dari karakteristik aset bersejarah yang telah disampaikan beberapa informan
tersebut apakah itu bisa ditemukan pada aset lainnya atau tidak, yang terpenting adalah aset
bersejarah itu harus memiliki nilai penting yaitu sejarah, budaya, pendidikan dan nilai sosial
lainnya. Hal ini dipertegas oleh Desismon, Rahmat Gino dan Anis Chariri yang mengatakan
bahwa:
“Aset bersejarah harus memiliki nilai budaya, sejarah, lingkungan, agama dan
nilai sosial lainnya sehingga dapat digunakan untuk tujuan pendidikan.
Desain, material dan tata letaknya memiliki keunikan sehingga aset bersejarah
tidak terdefinisi dengan nilai moneter meskipun nilainya terus bertambah
seiring berjalannya waktu dan masa manfaat yang umumnya sangat panjang”.
Anis Chariri juga menjelaskan bahwa karakteristik aset bersejarah juga bisa
membawa manfaat ekonomi masa mendatang, tetapi itu bukanlah hal yang utama untuk
ditonjolkan. Karena nantinya jika berbicara laporan keuangan pemerintah daerah dengan
laporan keuangan entitas bisnis akan berbeda. Pembuatan laporan keuangan entitas bisnis
berorientasi kepada pengambilan keputusan ekonomi bagi investor. Laporan keuangan
pemerintah lebih berorientasi kepada aset pertanggungjawaban, artinya akuntabilitas lebih
penting daripada profitabilitas. Laporan keuangan pemerintah orientasinya bukan kepada sisi
ekonomi, karena nilai rupiah itu hanya refleksi dari pertanggungjawaban yang baik.
Tabel 4.3 Karakteristik Aset Bersejarah
No. Informan Nilai Penting Pembeda Dengan Aset Lainnya
1 Neni Yunitri dan Sejarah, budaya, tidak bisa di replika Aset Bersejarah memiliki nilai
42
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sumadi dan berkaitan dengan momen penting intrinsik sedangkan aset non
bersejarah hanya memiliki nilai
ektrinsik
2 Sugiharta dan Mastur Kebudayaan, sejarah, pendidikan,
agama dan nilai sosial lainnya
Bisa saja ditemukan pada aset lain,
tetapi ada penanda khusus yang bisa
membedakan
3 Desismon, Rahmat
Gino dan Anis Chariri
Budaya, sejarah, agama, lingkungan
dan sosial
Digunakan untuk tujuan pendidikan.
Desain, material dan tata letaknya
memiliki keunikan
Sumber : Diolah (2017)
Berdasarkan informasi yang dikatakan oleh informan tersebut, meskipun ada yang
berpendapat bahwa karakteristik aset bersejarah bisa ditemukan pada aset lainnya ataupun
tidak bisa ditemukan, yang terpenting adalah karakteristik aset bersejarah haruslah
mempunyai nilai penting. Nilai penting itu adalah nilai sejarah, budaya, agama dan beberapa
nilai sosial lainnya yang dalam ruang dan waktu tidak terbatas dapat digunakan demi tujuan
pendidikan. Nilai penting tersebut tidak terdefinisi dalam nilai moneter karena masa manfaat
dari aset bersejarah ini umumnya sangat panjang.
Tabel 4.4 Karakteristik Menarik Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Neni
Yunitri
Karakteristik aset bersejarah tidak bisa kita
temukan pada aset lain karena aset bersejarah
ini lebih kepada kultur-kulturnya yang
memiliki nilai sejarah dan budaya. Disamping
itu juga ada bawaan spesifik yang unik dan
tidak bisa di replika.
Karakteristik aset bersejarah tidak bisa
ditemukan pada aset lain karena aset
bersejarah lebih kepada kultur-kulturnya yang
memiliki nilai sejarah dan budaya. disamping
itu juga ada bawaan spesifik yang unik dan
tidak bisa di replika. Yang membedakannya
dengan aset lain adalah nilai intrinsik dan
ektrinsik. Nilai intrinsiknya inilah yang utama
karena berkaitan dengan momen-momen
penting sehingga tidak bisa dinilai dan
cenderung tak terhingga. Sedangkan aset non
bersejarah hanya memiliki nilai ektrinsik yang
suatu saat akan habis atau nol
Sumadi Karakteristiknya memiliki nilai sejarah. Yang
membedakan dengan aset lainnya adalah nilai
intrinsik dan ekstrinsiknya. Aset bersejarah
memiliki nilai intrinsik yang tidak bisa dinilai
dan cenderung tak terhingga sedangkan non
bersejarah hanya memiliki nilai ektrinsik yang
suatu saat habis atau nol. Nilai intrinsik inilah
yang utama dimana ada nilai sejarahnya yang
berkaitan dengan momen-momen penting
yang pernah terjadi.
Mastur Karakteristik aset bersejarah ada juga sebagian
yang dimiliki aset lain, tapi yang terpenting
aset bersejarah tersebut harus memiliki nilai
penting yaitu kebudayaan, sejarah, pendidikan
agama dan nilai sosial lainnya, nah nilai
penting inilah yang tidak bisa ditemukan pada
Karakteristik umum dari aset bersejarah bisa
saja ditemukan pada aset lain, akan tetapi ada
penanda khusus yang membedakan antara aset
bersejarah dan aset non bersejarah. Hal yang
utama dari aset bersejarah adalah harus
memiliki nilai penting yaitu kebudayaan,
43
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
aset lainnya.
sejarah, pendidikan, agama dan nilai sosial
lainnya
Sugiharta Aset bersejarah memiliki kriteria menarik
misalkan keunikan dan kelangkaan. Tapi
intinya ada nilai-nilai yang berhubungan
dengan sejarah, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Karakteristik umum mungkin
bisa saja ditemukan pada aset lainnya, tapi
intinya ada karakteristik tertentu yang beda
antara aset bersejarah dan non bersejarah. Aset
bersejarah punya penanda khusus yang bisa
membedakan.
Desismon Aset bersejarah memiliki nilai budaya,
lingkungan, pendidikan dan sejarah. Aset
bersejarah tidak terdefinisi dengan nilai
moneter meskipun nilai nya terus bertambah
seiring berjalannya waktu dan masa manfaat
yang umumnya sangat panjang.
Aset bersejarah harus memiliki nilai budaya,
sejarah, lingkungan, agama dan nilai sosial
lainnya sehingga dapat digunakan untuk
tujuan pendidikan. Desain, material dan tata
letak aset bersejarah memiliki keunikan
sehingga tidak terdefinisi dengan nilai
moneter meskipun nilainya terus bertambah
seiring berjalannya waktu dan aset bersejarah
memiliki masa manfaat yang umumnya sangat
panjang Rahmat
Gino
Desain dan material aset bersejarah memiliki
karakter dari segi ketahanan dan kontruksi kita
dapat banyak belajar dari aset bersejarah ini,
karena sudah berumur ratusan tahun masih
tidak apa, kemudian dari tata letaknya aset
bersejarah ini memiliki keunikan.
Anis
Chariri
Aset bersejarah harus memiliki unsur historis,
terjadi pada masa lalu kemudian memiliki
nilai-nilai budaya sehingga nanti aset tersebut
dapat digunakan untuk tujuan pendidikan. Tap
kalau karakteristik yang berkaitan dengan
manfaat ekonomi itu bukan kategori utama
aset bersejarah, manfaat ekonomi itu hanya
kategori aset dalam konteks tatanan
konvensional yaitu akuntansi kapitalis.
Manfaat ekonomi masa mendatang memang
ada tapi bukan itu yang ditonjolkan. Karena
jika berbicara laporan keuangan pemerintah
dengan laporan keuangan entitas bisnis kan
beda, kalau bsnis lebih berorientasi untuk
keputusan ekonomi bagi investor, sedangkan
pemerintah lebih kepada pertanggungjawaban
dan akuntabilitas.
Lampiran Coding (xxiii-xxvi)
44
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Karakteristik umum aset bersejarah bisa saja ditemukan pada aset tetap lainnya.
Setiap aset bersejerah harus memiliki karakter khusus yaitu sebuah nilai penting. Nilai
penting itu adalah nilai sejarah, budaya, agama, pendidikan dan nilai sosial lainnya. Nilai
penting inilah yang tidak dapat ditemukan pada aset tetap lainnya sehingga dapat dikatakan
aset bersejarah memiliki karakter atau penanda khusus yang tidak bisa ditemukan pada aset
lainnya.
4.2.1.3 Umur Aset Bersejarah
Pembahasan selanjutnya adalah mengetahui umur aset bersejarah. Nilai aset
bersejarah dapat dikaitkan dengan perjalanan sejarah. Akibatnya, muncul pertanyaan apakah
aset bersejarah mempunyai batasan umur tertentu sehingga dalam proses pengakuan aset
bersejarah diperlukan sebuah tolak ukur tentang kriteria umur yang harus disepakati dalam
mengakuinya. PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap tidak mengatur mengenai umur
minimal dalam mengakui sebuah aset bersejarah. Desismon, Mastur, Rahmat Gino dan
Sugiharta mengatakan bahwa :
“Dari segi umur sebenarnya patut diduga saja itu sebenarnya sudah dilindungi
oleh Undang-Undang. Memang ada dua persepsi, dalam Undang-Undang
Cagar Budaya minimal harus berusia 50 tahun. Namun ini hanya kondisional
saja karena hal tersebut tidak bisa juga dijadikan syarat mutlak. Kriteria umur
tersebut bisa terlanggar karena memenuhi kriteria yang lain seperti nilai
penting sejarah dan budaya yang berkaitan dengan memori kolektif bangsa
dimana bertujuan untuk penyelamatan agar tidak rusak dan harus
dilestarikan”.
Kriteria batasan umur aset bersejarah sebenarnya tidak harus bersyarat mutlak.
Memang didalam Undang-Undang Cagar Budaya Tahun 2010 Pasal 5 ayat pertama
menyebutkan bahwa sebuah benda cagar budaya harus berusia 50 tahun atau lebih. Pihak
yang terkait dalam pengelolaan langsung aset bersejaraah memang berpatokan kepada
Undang-Undang Cagar Budaya, akan tetapi bisa saja hal tersebut terlanggar berdasaran
situasi dan kondisi yang terjadi. Situasi dan kondisi yang dimaksud disini adalah tergantung
kepada nilai penting dari benda bersejarah dan bertujuan untuk penyelamatan agar tidak
punah dan harus dilestarikan. Sugiharta memberi contoh seperti ini:
“Contohnya yang sudah diakui sebagai aset bersejarah itu misalnya lubang
buaya di jakarta peristiwa G30S PKI kalau tidak salah mungkin belum 50
tahun. Tapi dia sudah menjadi cagar budaya karena memenuhi kriteria yang
lain yang berhubungan dengan memori kolektif bangsa tentang sejarah kolektif
Indonesia. Jadi umur 50 tahun itu hanya salah satu kriteria saja bukan kaku”.
45
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sementara itu di sisi lainnya beberapa informan berseberangan dengan pendapat
tersebut terkait hal umur. Neni Yunitri, Anis Chariri dan Sumadi menganggap bahwa aset
bersejarah tidak harus memiliki batasan umur, hal ini dipertegas dengan pernyataan mereka
tentang umur aset bersejarah sebagai berikut:
“Kita tidak tahu kapan pasti aset bersejarah ini dibangun jadi untuk batasan
umur itu tidak terbatas. Karena yang terpenting adalah benda tersebut harus
membawa kultur budaya dan nilai sejarah. Dalam hal harus berumur berapa
harus diakui itu kembali kepada sebuah kesepakataan, karena sejarah itu
dimensi waktunya tidak sekedar apa yang terjadi. Kaitannya harus kepada
momen yang terjadi di mana peristiwa penting pernah terjadi disitu”.
Sulit sekali dalam menentukan patokan umur untuk mengakui sebuah aset bersejarah.
Jika ada patokan umur yang ditetapkan nanti setiap benda yang sudah melewati patokan
tersebut akan dijadikan sejarah sendiri, aset bersejarah tidak segampang itu menentukannya.
Karena harus berkaitan dengan peristiwa masa lampau yang pernah terjadi sehingga membuat
orang-orang merasa penasaran untuk berkunjung, selain itu unsur kultur dan sejarahnya juga
membuat orang tertarik belajar banyak dari aset bersejarah tersebut.
Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh beberapa informan tersebut terdapat dua
pendapat yang berbeda tetapi tidak harus memaksakan mana yang harus mutlak dipakai
sebagai patokan umur aset bersejarah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2010 tentang cagar budaya memang disitu mengatakan bahwa benda cagar budaya
minimal harus berumur 50 tahun. Tetapi hal ini hanya kondisional saja mengingat beberapa
informan menganggap yang terpenting itu adalah aset bersejarah harus memiliki momen-
momen yang berkaitan dengan nilai penting yang kuat yaitu nilai sejarah, budaya, pendidikan
dan beberapa nilai sosial lainnya. Karena jika muncul pertanyaan kenapa harus 50 tahun
tentunya juga tidak ada alasan yang pasti kenapa harus 50 tahun. Intinya adalah kembali
kepada sebuah kesepakatan yang diatur dalam Undang-Undang atau peraturan yang berlaku.
Tabel 4.5 Umur Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Neni Yunitri Kita tidak tau dengan pasti kapan aset
bersejarah ini dibangun, jadi tidak ada
batasan umur atau unlimited. Meskipun ada
beberapa koleksi dan galeri kita yang baru
diperoleh tetapi tetap dikategorikan aset
bersejarah karena yang terpenting adalah
Batasan umur aset bersejarah tidak dapat
ditentukan karena pada beberapa kasus tidak
dapat diketahgui kapan pembangunan aset
bersejarah. Karena yang terpenting adalah
benda tersebut harus membawa kultur
budaya dan nilai sejarah. Dalam hal harus
46
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
benda tersebut mengangkut kultur budaya
dan nilai sejarah.
berumur berapa harus diakui itu kembali
kepada sebuah kesepakataan, karena sejarah
memiliki dimensi waktu dan tidak sekedar
apa yang terjadi. Kaitannya harus kepada
momen yang terjadi di mana peristiwa
penting pernah terjadi pada aset bersejarah
tersebut..
Anis Chariri Kalau kita bicara konteks umur berarti kita
berbicara tentang masa manfaat yang
melekat sepanjang pemakaian aset. Justru
aset bersejarah ini dilindungi, ketika rusak
diperbaiki dan direnovasi. Berarti batasan
umur tidak berlaku dalam aset bersejarah.
Dalam hal harus berumur berapa harus
diakui itu kembali kepada sebuah
kesepakatan, karena sejarah itu dimensi
waktunya tidak hanya sekedar apa yang
terjadi. Nanti orang-orang malah bikin
sejarah sendiri dengan membuat sesuatu
yang dianggap bersejarah. Saya lebih
melihat kepada peristiwa masa lalu yang
memiliki historis dan kultural yang kuat.
Sumadi Aset bersejarah tidak harus ada batasan,
misalnya harus lebih dari 100 tahun baru
bisa dikatakan sebagai aset bersejarah.
Kaitannya harus kepada momen yang terjadi
dimana peristiwa penting pernah terjadi
disitu. Undang-Undang hanya standar, tidak
harus juga terikat pada hal itu karena situasi
kondisional lebih berbicara pada sebuah aset
bersejarah.
Rahmat Gino Dari segi umur berapa harus diakui
sebenarnya patut diduga saja itu sudah
dilindungi oleh Undang-Undang. Memang
ada 2 persepsi, dalam Undang-Undang
Cagar Budaya minimal berusia 50 tahun.
Tetapi untuk dibawah 50 tahun bisa juga, ini
hanya kondisional saja menurut para ahli
cagar budaya karena ini tergantung pada
nilai sejarah yang dimana disitu bertujuan
untuk penyelamatan agar tidak rusak dan
harus dilestarikan.
Undang-Undang Cagar Budaya mengatakan
aset bersejarah minimal harus berusia 50
tahun, namun hal tersebut hanya bersifat
kondisional saja karena tidak bisa juga
dijadikan syarat mutlak. Kriteria umur
tersebut bisa terlanggar karena memenuhi
kriteria yang lain, seperti nilai penting
sejarah dan budaya yang berkaitan dengan
memori kolektif bangsa dimana bertujuan
untuk penyelamatan agar tidak rusak dan
harus dilestarikan.
Mastur Aset bersejarah harus berumur 50 tahun
keatas tapi kalaupun belum yang penting
harus ada nilai sejarahnya.
Sugiharta Dalam Undang-Undang cagar budaya
minimal harus berusia 50 tahun, itu bisa
menjadi salah satu syarat tetapi tidak bisa
juga dijadikan syarat mutlak. Kriteria umur
tersebut bisa terlanggar karena memenuhi
47
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kriteria yang lain yang berkaitan dengan
memori kolektif bangsa.
Desismon Masa manfaat aset bersejarah sangat panjang
dan dibeberapa kasus tidak bisa di
definisikan, untuk Sawahlunto sendiri
semuanya berumur 50 tahun keatas.
Lampiran Coding (xxvi-xxx)
4.2.1.4 Nilai Yang Terkandung Dalam Aset Bersejarah
Aspek penting lainnya adalah nilai-nilai apa saja yang termakna dalam aset
bersejarah. Aset bersejarah sangat erat hubungannya dengan peristiwa masa lalu yang
membawa kultur sejarah dan budaya. lantas apakah aset bersejarah hanya seputar nilai
pentingnya saja atau ada nilai-nilai lain yang perlu dilekatkan seiring berkembangnya zaman
dan teknologi. Mengingat sebelumnya peneliti menemukan adanya isu tentang penilaian
ekonomi untuk aset bersejarah. Seberapa pentingkah nilai-nilai lain tersebut sehingga sangat
dirasa perlu untuk bersanding dengan nilai penting dari aset bersejarah. Dalam hal ini Neni
Yunitri, Mastur dan Sumadi mengatakan :
“Benda bersejarah lebih kepada nilai apresiasinya yaitu nilai budaya, sejarah,
estetika yang mengangkut banyak kultur-kultur yang berkembang di
masyarakat tentang perjalanan sejarah dan budaya yang berkembang”
Kembali disini ditegaskan bahwa unsur utama aset bersejarah hanyalah berupa nilai
penting. Nilai penting tersebut dapat di apresiasi dengan bagaimana kita harus menjaga
kelestariannya. Selain itu, kita juga bisa mengapresiasi manfaat yang bisa dipelajari dari aset
bersejarah. Misalnya, memanfaatkan dalam hal bagaimana arsitekturnya, bagaimana sebuah
sejarah perjalanan bangsa telah terjadi sehingga hal tersebut mendorong orang untuk
mengambil hikmah dari sebuah kejadian masa lalu. Kemungkinan ada nilai ekonomi bisa saja
dilekatkan mengingat manfaat dari aset bersejarah dari segi ekonomi juga tidak bisa
dipungkiri. Tapi apakah nilai ekonomi lebih penting daripada nilai yang menjadi ciri khas
unik karakteristik aset bersejarah, berikut penjelasan dari Anis Chariri, Desismon, Rahmat
Gino dan Sugiharta:
“Bisa dikatakan benda bersejarah ini tidak ternilai karena nilai pentingnya
lebih besar daripada aspek ekonominya. Nilai utama dari aset bersejarah
adalah nilai budaya, sejarah dan pendidikan sehingga aset bersejarah
48
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dilindungi pemerintah dan Undang-Undang untuk dipelihara dan
dipertahankan kelestariannya. Memang ada nilai tambah dalam manfaat
ekonomi, tapi itu hanya efek samping yang menjadi feedback. Karena setelah
mengutamakan nilai sejararah dan budaya maka nilai ekonomi akan mengikut
saja nantinya”.
Manfaat ekonomi bisa didapatkan dari aset bersejarah ketika aset bersejarah tersebut
dimanfaatkan dalam sektor pariwisata. Misalnya ada retribusi yang didapat dari tiket yang
dijual ataupun para pedagang yang berjualan disekitar. Akan tetapi pendapatan dari hal
tersebut bukan berarti tersimbol dengan nilai ekonomi dari aset bersejarah. Pelestarian yang
baik dari aset bersejarah akan mendorong pemanfaatan hasil ekonomi yang baik juga, baik itu
untuk pemerintah ataupun masyarakat sekitar.
Dalam hal ini memang nilai penting yang diutamakan adalah nilai sejarah, budaya dan
pendidikan, meskipun ada manfaat nilai ekonomi yang bisa didapatkan. Tetapi yang lebih
utama adalah memelihara dan mempertahankan keberlangsungan dari aset bersejarah tersebut
agar nilai penting tetap terjaga dan akhirnya manfaat ekonomi selalu bisa didapatkan.
Tabel 4.6 Nilai Yang Terkandung Dalam Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Sugiharta 3 nilai pokok yang harus terkandung dalam
aset cagar budaya yaitu sejarah, kebudayaan
dan ilmu pengetahuan. Apakah nilai sejarah
budaya saja yang bisa dilekatkan tentu tidak,
apakah barang yang bersangkutan harus ada
nilai ekonomi atau tidak itu bukanlah menjadi
kriteria utama, tapi itu akan menjadi feedback.
Benda bersejarah umumnya tidak ternilai
karena nilai pentingnya lebih besar
daripada aspek ekonominya. Nilai utama
dari aset bersejarah adalah nilai budaya,
sejarah dan pendidikan sehingga aset
bersejarah dilindungi pemerintah dan
Undang-Undang untuk dipelihara dan
dipertahankan kelestariannya. Nilai
tambah dalam manfaat ekonomi juga
termakna dalam aset bersejarah, tapi itu
hanya efek samping yang menjadi
feedback. Karena setelah mengutamakan
nilai sejararah dan budaya maka nilai
ekonomi akan mengikut dengan
sendirinya.
Anis
Chariri
Nilai utama dari aset bersejarah adalah nilai
budaya, nilai sejarah dan pendidikan sehingga
mendorong orang untuk melestraikannya dan
belajar banyak dari situ, nilai ekonomio
hanyalah efek samping dari aset bersejarah
dimana setelah yang utama tadi ada nilai
tambah kemungkinan ada manfaat ekonomi.
49
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Desismon Aset bersejarah merupakan aset berwujud yang
didalmnya terkandung nilai seni budaya,
pendidikan, sejarah dan karakteristik unik
lainnya. Sehingga aset bersejarah ini
dilindungi pemerintah dan undang-undang
untuk dipelihara dan dipertahankan
kelestariannya. Memang untuk nilai ekonomi
nya cukup penting juga, tapi setelah nilai
sejarah dan budaya tadi lebih diutamakan maka
nilai ekonomi akan mengikut saja nanti.
Rahmat
Gino
Nilai yang paling utama adalah nilai penting
yaitu sejarah, budaya, pendidikan, teknologi
dll. Bisa dikatakan benda bersejarah ini tidak
ternilai karena nilai penting itu lebih besar
daripada aspek ekonomi nya.
Mastur Sampai sekarang menurut saya bukan lebih ke
nilai barangnya, tapi nilai apresiasinya. Itu
nilai apresiasinya banyak seperti sejarah,
budaya, teknologi, pendidikan, arkeologi,
arsitektur dll.
Benda bersejarah lebih menekankan
kepada nilai apresiasinya yaitu nilai
budaya, sejarah, estetika yang mengangkut
banyak kultur-kultur yang berkembang di
masyarakat tentang perjalanan sejarah dan
budaya yang berkembang
Neni
Yunitri
Kebanyakan aset bersejarah ini nilai yang
terkandungnya adalah nilai budaya, historis,
estetika yang mengangkut banyak kultur-
kultur.
Sumadi Nilai aset bersejarah itu luas, terkadang nilai
yang tercatat hanyalah nilai yang dimiliki saja.
Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
itulah yang lebih utama tentang sejarah
perjalanan, budaya yang berkembang itu
sebenarnya.
Lampiran Coding (xxx-xxxiii)
4.2.1.5 Jenis-Jenis Aset Bersejarah
Penggunaan aset bersejarah akan berpengaruh pada pengukuran dan penilaian aset
bersejarah itu sendiri. Meskipun aset bersejarah memenuhi kriteria pengakuan aset tetap,
belum berarti bahwa semua aset bersejarah harus diakui dalam laporan keuangan. Ada
beberapa aspek yang perlu dipertimbangakan dalam pengakuan aset bersejarah. Seperti yang
telah diatur dalam PSAP No.7 tentang aset tetap, aset bersejarah terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Operational Heritage Assets
Aset bersejarah ini merupakan jenis aset yang memiliki fungsi ganda yaitu selain
sebagai bukti peninggalan sejarah, aset ini juga memiliki fungsi sebagai tempat
50
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kegiatan operasi pemerintah sehari-hari, misalnya digunakan sebagai aktifitas
perkantoran. Jenis aset bersejarah ini perlu dikapitalisasi dan dicatat dalam neraca
sebagai aset tetap.
b. Non-operational Heritage Assets
Aset jenis ini merupakan aset yang murni digunakan karena nilai estetika dan nilai
sejarah yang dimiliki. Berbeda halnya dengan aset bersejarah yang digunakan untuk
kegiatan operasional. Aset ini tidak memiliki nilai ganda dan tidak harus dicatat
dalam neraca. Jenis non-operational heritage assets dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu :
1. Tanah dan Bangunan Bersejarah (Cultural Heritage Assets)
2. Karya Seni (Collection Type Heritage Assets)
3. Situs-situs Purbakala (Natural Heritage Assets)
Berdasarkan PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap, aset bersejarah
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aset bersejarah operasional dan non operasional.
Tetapi fakta di lapangan justru berbeda dengan yang telah diatur oleh PSAP.
Pengklasifikasian yang berbeda di tempat objek penelitian yaitu kawasan kota lama
Sawahlunto tergambar berdasarkan aset bergerak dan aset tidak bergerak, sesuai yang
dikatakan oleh Desismon:
“Disini kita mengklasifikasikan kepada aset bergerak dan aset tidak bergerak,
jadi dari sisi operasional dan non operasional belum tepat diterapkan disini”.
Di Sawahlunto pengklasifikasian berdasarkan jenis operasional dan non operasional
belum tepat untuk diterapkan. Karena aset bersejarah yang ada di Sawahlunto tidak semuanya
dimiliki oleh Pemerintah Kota Sawahlunto. Aset bersejarah di Sawahlunto rata-rata dimiliki
oleh PT.BA, PT.KAI dan masyarakat. Bahkan beberapa aset bersejarah tersebut masih ada
yang berdiri diatas tanah ulayat. Tanah ulayat di Sumatera Barat adalah tanah pusaka tinggi
yang dimiliki oleh kaum, yang secara turun temurun dipakai dan dikuasai oleh kaum. Dalam
hal ini tanah tersebut sangat dilarang untuk dijual atau berpindah kepemilikan kecuali jika
terjadi hal berikut:
1. Mayat terbujur diatas rumah :
Apabila ada dari keluarga yang meninggal dunia namun tidak ada keluarga atau
orang kampung yang akan menyelenggarakan jenazahnya.
2. Gadis atau janda tidak punya suami :
51
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Kalau ada saudara atau keluarga permpuan baik dia gadis atau janda yang tidak
punya suami dan tidak ada orang yang mau mengawini dia sedangkan usianya
sudah lanjut, karena aib di minangkabau jika ada perempuan yang tidak punya
suami apabila sudah sampai waktunya.
3. Rumah gadang rusak berat :
Apabila rumah gadang rusak berat dan tidak ada laki-laki yang kuiat untuk
memperbaikinya, karena rumah gadang di minangkabau adalah lambang
kesatuan suku yang kuat dan kokoh, mencerminka kehidupan yang harmonis
penuh kekeliuargaan dalam suatu kaum.
4. Mengangkat kepala adat yang telah lama tidak ada :
Apabila ada gelar penghulu adat dalam suku yang tidak terpasang, sedangkan
anak keponakan semakin tumbuh berkembang dan memerlukan bimbingan
seorang penghulu adat sementara penghulu adat telah lama tidak dikukuhkan
karena tidak mempunyai biaya untuk menyelenggarakan penobatan penghulu.
5. Anak dan keponakan yang butuh biaya sekolah :
Anak dan keponakan yang sekolahnya sedang tergantung karena tidak memiliki
biaya untuk melanjutkan sekolahnya.
6. Keluarga yang sakit keras :
Ada keluarga yang sakit keras dan tidak mempunyai biaya untuk melakukan
pengobatan.
Dalam hal ini yang termasuk dalam bagian aset bergerak adalah koleksi, barang-
barang seni, galeri, patung yang bisa dipindahkan dan arsip-arsip masa lalu. Sedangkan yang
temasuk kedalam aset tidak bergerak adalah tanah dan bangunan bersejarah. Didalam
Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 6 tertulis bahwa benda cagar budaya dapat:
1. Berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh
manusia, serta sisa sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia
dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia
2. Bersifat bergerak atau tidak bergerak
3. Merupakan kesatuan atau kelompok
Meskipun beberapa aset bersejarah di Sawahlunto ada yang dipakai untuk aktifitas
perkantoran, tetap saja pemerintah Sawahlunto mengklasifikasikannya tidak berdasarkan
yang diatur oleh PSAP. Begitupun halnya dengan koleksi dan barang-barang seni lainnya,
pemerintah Sawahlunto tidak mengklasifikasikan aset tersebut kepada jenis aset non
52
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
operasional. Terlepas dari hal tersebut kembali kita kepada konteks apakah aset bersejarah
memang perlu untuk dibedakan pengklasifikasiannya. Dari sisi pelestarian Rahmat Gino dan
Sugiharta menjelaskan bahwa:
“Ketika sebuah aset sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, bagaimanapun
harus dilestraikan dalam arti harus dikeluarkan biaya-biaya untuk memugar
apapun kategorinya apakah dia masuk operasional ataupun non operasional.
Karena kedua-duanya aset bersejarah juga”.
Kembali ditegaskan oleh informan dalam hal ini bahwa aset bersejarah sebenarnya
tidak perlu untuk diklasifikasikan, meskipun pemerintah Saawahlunto berpatokan pada
Undang-Undang Cagar Budaya dalam hal mengkategorisasikan aset bersejarah. Anis Chariri
dan Mastur mencoba menjelaskan dengan melihat dari sudut pandang dalam pemanfaatan
sebagai objek wisata, Anis Chariri mengatakan :
“Yang jadi masalah itu jenis operasional cenderung diabaikan karena dianggap
tidak unik lagi setelah dimanfaatkan oleh pemerintah demi tujuan tertentu.
Selama ini justru aset bersejarah yang diakui adalah yang dijadikan sebagai
tempat kunjungan wisata. Padahal kedua jenis tersebut aset bersejarah juga,
jadi tidak perlu dibedakan”.
Sementara itu Mastur menjelaskan :
“Perbedaannya living monumen dengan death monumen itu sama-sama mau
hancur, tetapi perlakuan terhadap living monumen itu harus lebih hati-hati
karena dipakai setiap hari untuk orang mondar-mandir, yang death monumen
itu walaupun batu karena orangnya berjuta-juta naik turun naik turun, apakah
tidak perlu ada perlakuan khusus juga? sama saja, benda cagar budaya juga”.
Mastur mengistilahkan jenis aset bersejarah operasional dan non operasional dengan
istilah living monumen dan death monumen. Dimana living monumen yang dimaksud adalah
aset bersejarah yang dipakai untuk aktifitas perkantoran. Sedangkan untuk death monumen
yang dimaksud Mastur adalah bangunan-bangunan tua seperti candi, monumen dan lain-lain
yang digunakan untuk tujuan wisata. Lalu Neni Yunitri dan Sumadi melihatnya dari sisi
pemanfaatan dalam pemerintahan, keduanya mengatakan bahwa:
“Operasional dan non operasional ini ada dua ketentuan, yang satu masalah
aset bersejarah dan yang satunya masalah aset. Antara keduanya kan
sebenarnya yang satu dipergunakan dan yang satunya tidak. Meskipun ada
perlakuan akuntansi yang membedakan tetapi keduanya sama-sama aset
bersejarah juga”.
Pada umumnya jenis operasional cenderung lebih dikatakan sebagai aset karena
dipakai untuk aktifitas perkantoran dan perlakuan akuntansinya sama seperti aset tetap
53
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
lainnya. Jenis aset bersejarah non operasional meskipun tidak dipakai sebagai aktifitas
perkantoran, pada hakikatnya dalam keseharian tetap dipakai dalam fungsi lainnya. Misalnya
dipakai untuk museum pendidikan, atau perayaan umat beragama dan yang lebih banyaknya
dimanfaatkan untuk tempat pariwisata. Berdasarkan pemaparan dari berbagai sisi sudut
pandang yang dijelaskan oleh beberapa informan tersebut sebetulnya tidak perlu
membedakan antara aset bersejarah operasional dan non operasional. Mengingat keduanya
merupakan aset bersejarah yang memerlukan perlakuan khusus dalam mempertahankan
kelestariannya.
Tabel 4.7 Jenis-Jenis Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Desismon Disini kita mengklasifikasikan kepada aset bergerak
dan tidak bergerak, jadi dari sisi operasional dan
non operasional belum tepat diterapkan disini.
Klasifikasi aset bersejarah
berdasarkan aset bergerak dan
tidak bergerak
Anis Chariri Yang jadi masalah itu yang operasional cenderung
diabaikan karena dianggap tidak lagi unik setelah
dimanfaatkan oleh pemerintah demi tujuan tertentu.
Selama ini justru aset bersejarah yang diakui itu
yang dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata
padahal kedua jenis tersebut kan aset bersejarah
juga. Kalau dari sisi substansi sebenarnya tidak
perlu dibedakan, mungkin dari segi pemanfaatan
perbedaan perlakuan nya hanya kepada lebih
memudahkan dalam mengelola dan melaporkan
informasi.
Tidak perlu membedakan aset
bersejarah dari sisi substansi,
sebab jenis operasional
cenderung tidak dianggap
bersejarah lagi karena telah
dimanfaatkan untuk operasional.
Mastur Perbedaannya begini living monumen dengan death
monumen itu sama-sama mau hancur, tetapi
perlakuan terhadap living monumen itu harus lebih
hati-hati karena dipakai setiap hari untuk orang
mondar-mandir, yang death monumen itu walaupun
batu karena orangnya berjuta-juta naik turun naik
turun, apakah tidak perlu ada perlakuan khusus
juga? Bagi saya sama saja, benda cagar budaya
juga.
Aset bersejarah living monumen
dan death monumen pada
dasrnya sama-sama aset
bersejarah, seharusnya tidak ada
perlakuan yang berbeda.
Rahmat Gino Kedua duanya aset bersejarah juga, cuma kalau
saya boleh memilih antara operasional dan non
operasional saya memilih non operasional. Karena
akan lebih fleksibel dalam pemeliharaan nya.
Ketika sebuah aset sudah
ditetapkan sebagai cagar
budaya, bagaimanapun harus
dilestraikan dalam arti harus
dikeluarkan biaya-biaya untuk
memugar apapun kategorinya
apakah dia masuk operasional
ataupun non operasional.
Karena keduanya merupakan
aset bersejarah.
Sugiharta Ketika sebuah aset ditetapkan sebagai aset
bersejarah sudah ditetapkan sebagai cagar budaya,
bagaimana pun harus dilestarikan dalam arti harus
dikeluarkan biaya merawat memugar apapun
kategorinya apakah dia masuk operasional apakah
masuk non operasional, jadi dua-duanya sebetulnya
sebetulnya tidak perlu dibedakan.
54
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Neni Yunitri Antara operasional dan non operasional kan
sebenarnya yang satu dipergunakan dan yang
satunya tidak. Tapi kedua-duanya kan sama-sama
aset bersejarah juga. Yang membedakan adalah
perlakuan akuntansi terhadap kedua jenis aset
tersebut.
Terdapat dua ketentuan dalam
jenis operasional dan non
operasional, yang satu masalah
aset bersejarah dan yang
satunya masalah aset. Antara
kedua jenis aset tersebut
sebenarnya yang satu
dipergunakan dan yang satunya
tidak. Meskipun ada perlakuan
akuntansi yang membedakan
tetapi keduanya sama-sama aset
bersejarah.
Sumadi Operasional Heritage aset dan non operasional
Heritage aset ini ada dua ketentuan yang satu
masalah aset bersejarah yang satu aset. Kalau yang
operasional heritage aset itu biasanya iya di anggap
aset. Kalau yang non operasional heritage aset itu
ya tidak, ada yang tidak terkait langsung dengan
keberadaan aset itu. Tapi menurut saya antara
operasional dan non operasional ya sama saja, aset
bersejarah juga.
Lampiran Coding (xxxiii-xxxv)
4.2.1.6 Perolehan Aset Bersejarah
Isu yang sedang berkembang saat ini adalah sulitnya menentukan penilaian yang pasti
untuk aset bersejarah. Terkait dengan berasal darimana saja perolehan aset bersejarah, apakah
sesulit dalam menentukan metode penilaian ekonomi aset bersejarah tersebut. Menurut
Agustini (2011) aset bersejarah tergolong sebagai aset yang cukup khas karena cara
perolehannya yang bermacam-macam, tidak selalu dari hasil pembangunan tapi ada juga
melalui pembelian, donasi, warisan, rampasan maupun sitaan. Secara umum Anis Chariri
dan Sugiharta menggambarkan darimana perolehan aset bersejarah berasal, mereka
mengatakan:
“Aset bersejarah itu bisa muncul karena warisan, rampasan perang, hibah,
pembelian dan bisa juga dibangun pada masa lalu dengan biaya-biaya tertentu
dengan teknologi yang unik. Esensi utamanya adalah bagaimana nilai penting
dari aset bersjarah dapat dilestarikan, karena mau itu milik pemerintah ataupun
milik masyarakat negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pemeliharaan”.
Aset bersejarah bisa saja tidak semuanya dimiliki oleh pemerintah, akan tetapi yang
perlu dalam hal ini adalah bagaimana pemerintah terus menjaga kelestarian aset bersejarah
tersebut. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 Cagar Budaya Bab
4 tentang pemilikan dan penguasaan Pasal 12 menyebutkan bahwa:
1. Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya,
bangunan cagaar budaya, struktur cagar budaya, dan/atau situs cagar budaya
dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
55
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2. Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai cagar budaya apabila jumlah
dan jenis bneda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya ,
dan/atau situs cagar budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.
3. Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dapat diperoleh
melalui pewarisan, hibah, tukar menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan
atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai oleh negara
4. Pemilik benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya,
dan/atau situs cagar budayaa yang tidak ada ahli warisnya atau tidak
menyerahkan kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah
pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya di dalam Pasal 13 Undang-Undang Cagar Budaya disebutkan bahwa
kawasan cagar budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh negara, kecuali yang
secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Sementara itu fakta yang terjadi
di Sawahlunto adalah terdapat beberapa aset bersejarah yang memang ada biaya ganti rugi
kepada masyarakat dan ada juga yang masih sewa pakai dengan PT.Bukit Asam (PT.BA) dan
PT.Kereta Api Indonesia (PT.KAI). Sesuai dengan hal tersebut semua informan yang terkait
langsung dengan aset bersejarah di Sawahlunto yaitu Neni Yunitri, Desismon, Rahmat Gino
dan Sumadi mengatakan bahwa:
“Di Sawahlunto banyak yang berasal dari zaman belanda, tetapi itu semua
rata-rata masih milik PT.BA dan PT.KAI dan rata-rata tanahnya masih milik
tanah ulayat, sedangkan pemerintah Sawahlunto hanya sewa pakai. Ada juga
beberapa aset bersejarah yang diperoleh dari ganti rugi kepada masyarakat”.
Di dalam Undang-Undang Cagar Budaya juga tidak mengatur perihal sewa pakai
terhadap benda cagar budaya. Masyarakat Sawahlunto juga turut berpartisipasi dalam
mengalihkan kepemilikan benda cagar budaya kepada pemerintah kota Sawahlunto, maka
dari itu masyarakat berhak mendapatkan biaya ganti rugi atas benda cagar budaya yang
diserahkan kepemilikannya kepada pemerintah kota Sawahlunto. Terkait pemindahan
kepemilikan ini diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 16:
1. Cagar budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan kepemilikannya
kepada negara atau setiap orang lain
2. Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didahulukan atas pengalihan
kepemilikan cagar budaya
56
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3. Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan
dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti
rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan
4. Cagar budaya yang telah dimiliki oleh negara tidak dapat dialihkan
kepemilikannya.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan cagar budaya
sebagaimana dimaksud ayat 1, 2, dan 3 diatur dalam peraturan pemerintah
Mengingat Kawasan Kota Lama Sawahlunto merupakan kawasan cagar budaya, maka
tidak sepantasnya pemerintah kota Sawahlunto melakukan sistem sewa pakai. Seharusnya
PT.BA dan PT.KAI berkewajiban melepas status kepemilikan beberapa aset bersejarah yang
dimilikinya kepada pemerintah kota Sawahlunto, karena hal tersebut memang menjadi hak
pemerintah yang diatur oleh undang-undang.. Masyarakat yang memiliki aset bersejarah bisa
terus menguasai atau memiliki aset bersejarah tersebut dalam waktu yang tidak terbatas,
karena didalam Undang-Undang Cagar Budaya tidak mengharuskan masyarakat untuk
mengalihkan kepemilikan kepada pemerintah. Akan tetapi jika ingin mengalihkan
kepemilikan kepada pemerintah, masyarakat bisa saja menjualnya dan mendapatkan biaya
ganti rugi dari pemerintah, karena hal tersebut memang hak masyarakat yang diatur dalam
undang-undang. Tabel 4.7 merupakan pandangan informan tentang perolehan aset bersejarah.
Tabel 4.8 Perolehan Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Sugiharta Ada yang dibeli, pemberian hibah, ada juga warisan.
Ada juga yang milik kaum kita bantu untuk
melestarikannya. Karena mau itu milik kaum atau
milik pemerintah negara wajib mengeluarkan
anggaran untuk pemeliharaan.
Aset bersejarah itu bisa muncul
karena warisan, rampasan perang,
hibah, pembelian dan bisa juga
dibangun pada masa lalu dengan
biaya-biaya tertentu dengan
teknologi yang unik. Esensi
utamanya adalah bagaimana nilai
penting dari aset bersjarah dapat
dilestarikan, karena mau itu milik
pemerintah ataupun milik
masyarakat negara wajib
mengeluarkan anggaran untuk
pemeliharaan
Anis
Chariri
Aset bersejarah itu bisa muncul karena warisan,
karena rampasan perang, bisa juga dibangun pada
masa lalu dengan biaya-biaya tertentu dengan
teknologi yang unk. Tapi itu sebetulnya bukan esensi
utama, nilai penting nya adalah aspek sejarah,
pendidikan dan kultural yangharus melekat disitu.
Desismon Sebagian besar di sawahlunto memang peninggalan
zaman kolonial Belanda, ada juga yang diserahkan
masyarakat dan ganti rugi kepada masyarakat. Artinya
pemerintah dan masyarakat sama-sama berpartisipasi
dalam melestarikan.
Aset bersejarah di Sawahlunto
banyak yang berasal dari zaman
belanda, tetapi itu semua rata-rata
masih milik PT.BA dan PT.KAI
dan rata-rata tanahnya masih milik
tanah ulayat, sedangkan pemerintah
Sawahlunto hanya sewa pakai. Ada
juga beberapa aset bersejarah yang
diperoleh dari ganti rugi kepada
masyarakat
Rahmat
Gino
Untuk di Sawahlunto ada yang dihibahkan, warisan,
ada yang pinjam pakai, ada yang sewa, ada yang ganti
rugi. Ada juga yang punya PT.bukit Asam dan
PT.KAI tapi kita yang mengelola.
57
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Mastur Perolehan aset bersejarah bermacam-macam ada yang
memangsudah ada sejak jaman dahulunya, ada yang
hibah dari warga dan ada juga yang kita ganti rugi
dari warga.
Neni
Yunitri
Menurut sejarah yang saya tahu di Sawahlunto
kebanyakan warisan dari Belanda, rata-rata itu milik
PT.Bukit asam dan tanah nya rata-rata masih milik
ulayat. Pemerintah Sawahlunto hanya sewa pakai.
Sumadi Di Sawahlunto banyak yang berasal dari warisan
jaman belanda, ada juga yang ganti rugi. Ada yang
sewa pakai ke PT.Bukit Asam yang tanah nya ada
yang masih milik tanah ulayat.
Lampiran Coding (xxxv-xI)
Berdasarkan tabel tersebut dapat dikatakan bahwa aset bersejarah di Sawahlunto rata-
rata berasal dari warisan jaman dulu, sewa pakai dan biaya ganti rugi dari masyarakat. Fakta
terkait darimana perolehan aset bersejarah tersebut seperti sewa pakai dan ganti rugi tentunya
akan mempengaruhi kebijakan akuntansi yang dibuat demi perlakuan akuntansi yang baik
untuk aset bersejarah. Bisa saja beberapa hal bertabrakan dengan peraturan yang ada tentang
aset bersejarah, tetapi peneliti merasa hal itu bukanlah tanpa tujuan. Karena tujuan utama
adalah tetap pada pemeliharaan dan pelestarian aset bersejarah dengan baik.
4.2.1.7 Pengakuan Aset Bersejarah
Setelah mengetahui makna, karakteristik, umur, nilai yang terkandung, jenis dan
berasal darimana saja perolehan aset bersejarah, barulah dapat dipastikan apakah aset atau
benda cagar budaya tersebut dapat diakui sebagai aset bersejarah. Apakah pengakuan aset
bersejarah sama dengan proses pengakuan aset tetap pada umumnya, secara umum Anis
Chariri menjelaskan bahwa:
“Jika berbicara aset konvensional, pengakuan itu bisa dilakukan kalau pertama
memenuhi definisi aset, yang kedua dapat diukur. Aset bersejarah tidak bisa
memakai konsep tersebut karena pengakuannya lebih kepada karakteristik
unik dan nilai penting tadi. Jika mengikuti konsep pengakuan konvensional itu
tidak akan bisa diakui semua”.
Pernyataan dari Anis Chariri menggambarkan bahwa pengakuan aset bersejarah tidak
bisa disamakan seperti halnya pengakuan aset tetap pada umumnya. Di dalam PSAP No.7
Tahun 2010 tentang aset tetap aset bersejarah diatur dalam bab aset tetap. Hal ini membangun
persepsi peneliti bahwa sebenarnya aset bersejarah juga termasuk kedalam aset tetap. Kenapa
tidak, karena dalam pembahasan karakteristik sebelumnya ada sifat-sifat aset bersejarah yang
mirip sekali dengan aset tetap. Fakta aset bersejarah sejauh ini mirip dengan aset tetap, akan
58
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tetapi proses pengakuaannya justru tidak sama dengan aset tetap pada umumnya didalam
laporan keuangan. Didalam PSAP hanya aset bersejarah jenis operasional lah yang
perlakuannya sama seperti aset tetap lainnya, yaitu diakui dalam neraca. Kenapa aset
bersejarah non operasional tidak dapat diakui di neraca. Menurut Agustini (2011), selama ini
alasan yang digunakan untuk tidak mencatat non-operational heritage assets dalam neraca
adalah sangat sulit untuk memperoleh nilai yang andal, hal ini dikarenakan :
a. Tidak ada data atau catatan atau bukti yang menunjukkan harga perolehan
sehingga entitas pemerintah sulit untuk menentukan nilai yang dilekatkan pada
objek atau aset bersejarah yang berumur tua. Keandalan untuk menentukan nilai
tersebut adalah dengan mengetahui ketepatan dalam mengestimasi harga atau
nilai yang dimiliki aset bersejarah tersebut.
b. Jika kita sulit untuk menentukan keandalan nilai pada objek tersebut maka aset
bersejarah juga tidak bisa dicatat dalam neraca.
c. Adanya pertimbangan biaya dan manfaat untuk memperoleh estimasi nilai wajar
aset bersejarah yang diperoleh pada periode sebelumnya. Bukan hal yang
mudah untuk menentukan nilai yang dilekatkan pada suatu objek. Apalagi jika
dikaitkan dengan nilai sejarah yang dimiliki. Butuh waktu yang lama dan biaya
yang tinggi. Nilai sejarah yang dikapitalisasi juga kurang berguna dan kurang
dapat diperbandingkan dengan entitas lainnya karena ketidakmampuan
mengukur aset bersejarah yang memiliki atribut yang unik untuk
diperbandingkan dengan nilai yang andal.
Sebelum menentukan bagaimana seharusnya aset bersejarah non operasional dicatat
dalam laporan keuangan, tentunya harus diketahui dahulu bagaimana proses semula dalam
mengakui aset bersejarah. Bisa saja dalam hal ini dibutuhkan institusi berwenang yang
mampu menentukan apakah sebuah aset/benda dapat diakui sebagai aset bersejarah. Neni
Yunitri dan Desismon mengatakan:
“Aset bersejarah tidak semata-mata langsung diakui, bagaimana suatu aset
tetap diakui sebagai aset sosial jika mempunyai bukti dan kategori sebagai
barang atau bangunan bersejarah. Dalam hal ini kajian dan penelitian
dilakukan oleh tim ahli dari Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman”.
Tim ahli yang dimaksud oleh Neni Yunitri dan Desismon tersebut adalah tim ahli
cagar budaya yang berkompeten terkait benda cagar budaya dan telah memiliki sertifikasi
nasional profesi. Hal ini dipertegas oleh Mastur, Sugiharta dan Sumadi yang mengatakan:
59
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Pengakuan aset bersejarah tidak sama dengan pengakuan aset pada
umumnya. Proses pengakuan aset bersejarah dilakukan oleh tim ahli cagar
budaya dengan kode etik dan profesionalitas berdasarkan Undang-Undang.
Ketika dilakukan kajian apakah memenuhi kriteria aset bersejarah atau tidak
setelah itu baru diakui”.
Institusi berwenang yang dimaksud adalah Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah
dan Permuseuman Kota Sawahlunto. Hal ini diatur dalam Peraturan Walikota Sawahlunto
No.28 Tahun 2013 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas
Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman. Susunan Organisasi Dinas
Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman, Terdiri Dari:
1. Kepala Kantor
2. Sub. Bagian Tata Usaha
3. Seksi Peninggalan Bersejarah
4. Seksi Registrasi, Penetapan dan Permuseuman
5. Seksi Sejarah dan Nilai Budaya; dan
6. Kelompok Jabatan Fungsional
Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman kota Sawahlunto
memiliki tugas sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Walikota Sawahlunto No.4 Tahun
2013 Pasal 4 yang berbunyi, kantor mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan benda cagar
budaya dan menyelenggarakan ketertiban umum serta ketentraman permuseuman.
Selanjutnya Rahmat Gino sebagai Kepala Seksie Peninggalan Bersejarah Dinas Kebudayaan
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto menjelaskan lebih detail
bagaimana proses pengakuan sebuah benda atau aset menjadi aset bersejarah. Rahmat Gino
menjelaskan:
“Penetapan cagar budaya dimulai ketika suatu barang atau bangunan yang
diduga sebagai benda cagar budaya itu akan dilakukan kajian. Dilakukan
pengumpulan data mulai dari data sejarah, ukuran, dimensi, tata letak,
koordinat dan letak geografis. Kajian tersebut dilaksanakan oleh Tim ahli
cagar budaya yang telah bersertifikasi nasional profesi”.
Seksi peninggalan bersejarah merupakan ujung tombak dalam menentukan kebijakan
untuk pendataan serta proses pengakuan benda cagar budaya di Sawahlunto. Di dalam
Peraturan Walikota Sawahlunto No.28 Tahun 2013 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman, seksi
peninggalan bersejarah mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Penyusunan perencanaan pengelolaan peninggalan bersejarah
60
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2. Pelaksanaan pendataan dan memelihara peninggalan bersejarah
3. Pelaksanaan penentuan bentuk, benda dan bangunan peninggalan bersejarah
bersama penyusunan kebijakan dalam pengelolaan kawasn yang perlu
dilindungi dan dilestarikan
4. Pelaksanaan pembangunan yang bersifat pelestarian kawasan bersejarah sebagai
keberlanjutan dari pembangunan kota pusaka
5. Pelaksanaan pengawasan, pemantauan dan evaluasi terhadap pelestarian cagar
budaya serta proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang atau
musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya
6. Penyampaian laporan secara rutin dan berkala kantor Dinas Kebudayaan
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman
7. Pembagian tugas kepada bawahan dalam pelaksanaan tugas sesuai ketentuan
yang berlaku dengan memberi arahan sesuai bidang tugasnya
8. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan pimpinan sesuai dengan bidang
tugasnya.
Dalam melaksanakan tugas tersebut pengumpulan data terhadap benda yang diduga
merupakan benda cagar budaya, seksi peninggalan bersejarah dibantu oleh seksi registrasi,
penetapan dan permuseuman yang dimana dalam seksi tersebut terdapat tim pendaftaran
cagar budaya yang diberi kewenangan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Peninggalan
Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto. Dalam melaksanakan tugasnya tim
pendaftaran cagar budaya bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kebudayaan Peninggalan
Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto. Tim pendaftaran juga dapat membantu
masyarakat dalam melaksanakan proses pendaftaran benda cagar budaya yang dimilikinya.
Didalam surat keputusan Kepala Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman Kota Sawahlunto No. 189.2/09/DKPBP-SWL/2017 Tim Pendaftaran Cagar
Budaya Kota Sawahlunto berwenang melakukan:
1. Menerima kelengkapanpersyaratan pendaftaran objek meliputi identitas
pendaftar, keterangan pemilik atau penguasa objek pendaftaran, data
pendukung objek pendaftaran dan objek pendaftaran apabila memungkinkan
untuk dibawa
2. Menerima dan bertanggung jawab terhadap penitipan objek yang didaftarkan
3. Memeriksa kelayakan data objek yang didaftarkan sebagai cagar budaya
61
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4. Mengelola data objek yang didaftarkan dengan mendeskripsikan objek dan
pendokumentasian objek
5. Melakukan verifikasi dan klarifikasi berkas pendaftaran cagar budaya
6. Menyiapkan berkas pendaftaran untuk diajukan kepada tim ahli cagar budaya
untuk memperoleh rekomendasi
7. Memperbaiki berkas ususlan penetapan cagar budaya hasil koreksi tim ahli
cagar budaya
8. Mendokumentasikan hasil rekomendasi tim ahli cagar budaya dan berkas
pendaftaran cagar budaya
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya tim pendaftaran cagar budaya mengajukan
kepada tim ahli cagar budaya agar dilakukan kajian. Kajian ini bertujuan untuk memutuskan
apakah benda cagar budaya tersebut bisa diakui sebagai benda cagar budaya atau tidak.
Didalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 1 ayat 13 mengatakan bahwa tim ahli cagar
budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat
kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan dan penghapusan
cagar budaya. Proses pengkajian ini diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 31
sebagai berikut:
1. Hasil pendaftaran diserahkan kepada tim ahli cagar budaya untuk dikaji
kelayakannya sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya
2. Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan melakukan
identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi dan
satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya
3. Tim ahli cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan:
a. Keputusan menteri untuk tingkat nasional
b. Keputusan gubernur untuk tingkat provinsi
c. Keputusan bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota
4. Dalam melakukan kajian, tim ahli cagar budaya dapat dibantu oleh unit
pelaksana teknis atau satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab
di bidang cagar budaya
5. Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur atau lokasi hasil
penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai cagar
budaya
62
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Rahmat Gino yang juga menjabat sebagai sekretaris tim ahli cagar budaya kota
Sawahlunto mengatakan bahwa:
“Ditjen kebudayaan memfasilitasi untuk pelatihan dan ikut ujian sertifikasi tim
ahli cagar budaya. Nantinya diuji oleh tim ahli cagar budaya nasional apakah
layak jadi tim ahli cagar budaya kota atau provinsi. Setelah dinyatakan layak,
barulah Ditjen Kebudayaan memberikan rekomendasi kepada Badan
Sertifikasi Nasional Profesi untuk ditetapkan sebagai tim ahli cagar budaya
kota atau provinsi tersebut. Tim ahli cagar budaya ini harus bersertifikasi yang
dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi Nasional Profesi. Ketentutannya adalah
harus ada minimal 5 orang ahli cagar budaya untuk tingkat kabupaten/kota dan
tingkat provinsi minimal 9 orang. Untuk kota Sawahlunto sendiri memiliki 7
orang ahli cagar budaya dan semuanya telah bersertifikasi”.
Dalam melaksanakan tugasnya, tim ahli cagar budaya kota Sawahlunto bertanggung
jawab kepada walikota Sawahlunto. Surat Keputusan Walikota Sawahlunto
Nomor:188.45/98/WAKO-SWL/2017 tentang pembentukan tim ahli cagar budaya kota
Sawahlunto menyebutkan bahwa tugas dan wewenang tim ahli cagar budaya kota
Sawahlunto adalah sebagai berikut:
1. Melakukan kajian atas berkas yang diusulkan sebagai cagar budaya oleh tim
pendaftaran
2. Menyusun dan menetapkan mekanisme kerja
3. Melakukan penyesuaian operasional sesuai dengan kebijakan pemerintah
dan/atau pemerintah daerah
4. Melakukan klasifikasi atas ragam jenis cagar budaya sesuai dengan pedoman
pemerintah
5. Meminta keterangan dari pemerintah, pemerintah daerah, setiap orang, atau
masyarakat hukum adat yang mendaftarkan benda cagar budaya dan/atau situs
cagar hudaya dan/atau objek cagar budaya yang diduga cagar budaya
6. Mengusulkan perbaikan berkas kepada tim pendaftaran cagar budaya
7. Merekomendasikan objek pendaftaran yang memenuhi kriteria untuk
dinyatakan tetaap sebagai cagar budaya kepada walikota
8. Merekomendasikan peringkat kepentingan cagar budaya
9. Merekomendasikan pencatatan kembali cagar budaya yang hilang dan telah
dihapus dari register nasional
10. Merekomendasikan penghapusan cagar budaya
63
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
11. Merekomendasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan segera terhadap
kemungkinan terjadinya kerusakan kepada walikota
Setelah dilakukan kajian oleh tim ahli cagar budaya, selanjutnya tim ahli cagar
budaya memberikan rekomendasi kepada Walikota Sawahlunto untuk ditetapkan sebagai
benda cagar budaya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 33 sebagai
berikut:
1. Bupati/Walikota mengeluarkan penetapan status cagar budaya paling lama 30
hari setelah rekomendasi diterima dari tim ahli cagar budaya yang menyatakan
benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang
didaftarkan layak sebagai cagar budaya
2. Setelah tercatat dalam register nasional cagar budaya, pemilik cagar budaya
berhak memperoleh jaminan hukum berupa surat keterangan status cagar
budaya dan surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah
3. Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai
benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya
berhak mendapat kompensasi
Biaya kompensasi inilah yang dimaksud dalam biaya ganti rugi kepada masyarakat
yang dilakukan oleh pemerintah kota Sawahlunto. Pada pembahasan sebelumnya tentang
perolehan aset bersejarah di Sawahlunto terdapat beberapa koleksi yang perolehannya berasal
dari masyarakat dan sebagai kompensasinya ada semacam biaya ganti rugi yang dikeluarkan
oleh pemerintah kota Sawahlunto. Setelah ditetapkan, cagar budaya tersebut dapat dilakukan
pemeringkatan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 41 yang
berbunyi: Pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan pemeringkatan cagar budaya
berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi dan peringkat
kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi tim ahli cagar budaya.
Pemeringkatan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 untuk tingkat
nasional ditetapkan dengan keputusan menteri, tingkat provinsi dengan keputusan gubernur,
atau tingkat kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota (Pasal 45 UU Cagar Budaya,
2010). Cagar budaya peringkat nasional yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional
dapat diusulkan oleh pemerintah menjadi warisan budaya dunia (Pasal 46 UU Cagar Budaya,
2010).
64
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Saat ini Kawasan Kota Lama Sawahlunto telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya
peringkat nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No.345/M/2014 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Kota Lama Tambang
Batubara Sawahlunto Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Selain itu,
Kawasan Kota Lama Sawahlunto telah masuk dalam Tentative List di Unesco sebagai salah
satu warisan budaya dunia. Segala proses keberlangsungan dalam mengusulkan sebagai salah
satu warisan budaya dunia tersebut sedang dilakukan dan menunggu ketetapan dari Unesco.
Menurut Rahmat Gino (2017) saat ini satu-satunya kawasan cagar budaya di Indonesia yang
masuk dalam Tentative List Unesco sebaagai salah satu warisan budaya dunia hanyalah
Kawasan Kota Lama Sawahlunto saja. Mengingat Kawasan Kota Lama lain yang ada di
Indonesia masih belum berperingkat sebagai cagar budaya tingkat nasional. Tabel 4.9
menggambarkan persamaan dan perbedaan kriteria pengakuan aset tetap pada umumnya dan
aset bersejarah.
Tabel 4.9 Persamaan dan Perbedaan Kriteria Pengakuan Aset Tetap dan Aset
Bersejarah
Aset Tetap Pada Umumnya Aset Bersejarah
Memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun Memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun
Biaya perolehan dapat diukur secara handal Tidak semua aset bersejarah dapat diukur biaya
perolehannya
Tidak dimaksudkan untuk dijual Tidak Dimaksudkan untuk dijual
Diperoleh dan dibangun untuk digunakan Diperoleh dan dibangun untuk digunakan
Proses pengakuannya berdasarkan rekomendasi tim
ahli cagar budaya
Sumber : Diolah (2017)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pengakuan aset bersejarah tidak sama
dengan pengakuan aset tetap pada umumnya. Tidak semua aset bersejarah dapat diukur biaya
perolehannya, selain itu pengakuan aset bersejarah juga memerlukan rekomendasi dari tim
ahli cagar budaya. gambar 4.1 merupakan alur pengakuan aset bersejarah pada kawasan Kota
Lama Sawahlunto.
65
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Gambar 4.1 Alur Proses Pengakuan Aset Bersejarah Kawasan Kota Lama Sawahlunto
Gambar diatas merupakan gambaran alur dari proses pengakuan aset bersejarah yang
telah dijelaskan sebelumnya oleh peneliti. Aset bersejarah yang berasal dari masyarakat
ataupun yang menjadi temuan akan didaftarkan kepada tim pendaftaran cagar budaya.
Selanjutnya, berkas dari tim pendaftaran akan diserahkan kepada tim ahli cagar budaya untuk
dilakukan pengkajian dan uji kelayakan. Peran tim ahli cagar budaya sangat penting dalam
merekomendasikan kepada walikota untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Setelah
tim ahli cagar budaya merekomendasikan kepada walikota, barulah walikota melakukan
penetapan cagar budaya melalui sebuah surat keputusan dari walikota. Tabel 4.8
menggambarkan pemahaman informan dalam proses pengakuan aset bersejarah.
66
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tabel 4.10 Pengakuan Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Jika berbicara aset konvensional, pengakuan
itu bisa dilakukan kalau pertama memenuhi
definisi aset, yang kedua dapat diukur. Aset
bersejarah tidak bisa memakai konsep
tersebut karena pengakuannya lebih kepada
karakteristik unik dan nilai penting tadi. Jika
mengikuti konsep pengakuan konvensional
itu tidak akan bisa diakui semua.
Pengakuan aset bersejarah tidak bisa
dilakukan menggunakan konsep
pengakuan aset pada umumnya, karena
pengakuan aset bersejarah lebih kepada
nilai pentingnya.
Neni Yunitri Aset bersejarah tidak semata-mata langsung
diakui, kita menunggu pendataan dari Dinas
kebudayaan peninggalan bersejarah dan
permuseuman apakah itu masuk aset
bersejarah atau tidak setelah itu baru diakui.
Aset bersejarah tidak semata-mata
langsung diakui. Suatu aset tetap diakui
sebagai aset sosial jika mempunyai bukti
dan kategori sebagai barang atau
bangunan bersejarah. Dalam hal ini
kajian dan penelitian dilakukan oleh tim
ahli dari Dinas Kebudayaan Peninggalan
Bersejarah dan Permuseuman Desismon Untuk hal ini bagaimana suatu aset tetap
diakui sebagai aset sosial jika mempunyai
bukti dan kategori sebagai barang atau
bangunan bersejarah. Dalam hal ini kajian
dan penelitian dilakukan oleh tenaga ahli di
Dinas kebudayaan peninggalan bersejarah
dan permuseuman apakah masuk aset
bersejarah atau tidak.
Sumadi Pengakuan aset bersejarah tidak sama
dengan pengakuan aset pada umumnya,
proses pengakuan dilakukan oleh kurator
atau tim ahli cagar budaya dengan kode etik
dan profesionalitas berdasarkan undang-
undang.
Pengakuan aset bersejarah tidak sama
dengan pengakuan aset pada umumnya.
Proses pengakuan aset bersejarah
dilakukan oleh tim ahli cagar budaya
dengan kode etik dan profesionalitas
berdasarkan Undang-Undang. Ketika
dilakukan kajian apakah memenuhi
kriteria aset bersejarah atau tidak setelah
itu baru diakui
Mastur Benda cagar budaya memenuhi klasifikasi
dan ciri-ciri aset tetap, tetapi diperlakukan
seperti aset tetap atau tidak itu yang masih
bingung. Untuk proses pengakuan mungkin
tim ahli cagar budaya yang lebih mengerti.
Sugiharta Proses pengakuan dilakukan oleh tim ahli
cagar budaya, ketika dinilai apakah
memenuhi kriteria aset bersejarah/cagar
budaya atau tidak setelah itu baru diakui.
Rahmat Gino Penetapan cagar budaya dimulai ketika suatu
barang atau bangunan yang diduga sebagai
benda cagar budaya itu akan dilakukan
kajian. Dilakukan pengumpulan data mulai
dari data sejarah, ukuran, dimensi, tata letak,
koordinat dan letak geografis. Kajian
tersebut dilaksanakan oleh Tim ahli cagar
budaya yang telah bersertifikasi nasional
profesi.
Pengakuan Cagar Budaya diawali ketika
sebuah benda diduga sebagai Cagar
Budaya. Setelah itu, dilakukan
pengumpulan data dan proses pengkajian
oleh Tim Ahli Cagar Budaya.
Lampiran Coding (xI-xIiv)
Memang aset bersejarah memenuhi klasifikasi aset tetap. Akan tetapi berdasarkan
fakta yang peneliti temukan di lapangan justru proses pengakuannya memerlukan perlakuan
67
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang khusus dan tidak sama dengan proses pengakuan aset tetap pada umumnya. Mengingat
dalam proses pengakuan ini diperlukan Tim Ahli Cagar Budaya yang dengan sertifikasi
profesinya dirasa berkompeten melakukan proses pengakuan tersebut. Peneliti berasumsi
apakah hal ini telah diterapkan pada seluruh aset bersejarah yang ada di Indonesia mengingat
dari sisi perlakuan yang baik justru harus didukung dengan pedoman aturan yang baik
terutama dari sisi pencatatan dalam akuntansi.
4.2.2 Pengukuran dan Penilaian Aset Bersejarah
Aspek penting lain dari aset adalah aspek pengukuran dan penilaian. Pengukuran
(measurement) merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu penyelidikan ilmiah.
Pengukuran adalah proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk
merepresentasikan atribut-atribut konsep, sedangkan atribut adalah sesuatu yang melekat
pada suatu objek yang menggambarkan sifat atau ciri yang dikandung objek tersebut
(Suwardjono, 2010). Ghozali (2013:3) mengatakan bahwa pengukuran dan penilaian
merupakan suatu proses hal mana suatu angka atau simbol dilekatkan pada karakteristik atau
properti suatu stimuli sesuai dengan aturan atau prosedur yang telah ditetapkan.
Secara teoritis, penilaian merupakan penentuan jumlah rupiah suatu elemen laporan
keuangan yang akan disajikan dalam laporan keuangan. Meskipun secara konseptual banyak
metode yang dapat digunakan dalam penilaian aset, namun tidak semua aset mudah untuk
dinilai, salaah satunya adalah aset bersejarah.
4.2.2.1 Apakah Aset Bersejarah Harus Diukur dan Dinilai
Perlakuan akuntansi yang baik untuk aset bersejarah adalah mengetahui bagaimana
proses pengukuran dan penilaian aset bersejarah. Dalam hal ini apakah aset besejarah yang
membawa atribut-atribut unik dirasa perlu untuk dilakukan pengukuran dan penilaian. PSAP
No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap hanya memberikan penilaian terhadap aset bersejarah
jenis operasional saja, untuk jenis aset bersejarah non operasional tidak dilakukan metode
penilaian. Melakukan penilaian atas aset bersejarah memang tidak mudah untuk dilakukan.
Berbagai macam alasan melatarbelakangi adanya pernyataan tersebut. Desismon mengatakan
bahwa:
“Di Indonesia mungkin teknik penilaian diterapkan untuk jenis operasional
heritage asset sedangkan untuk jenis non operasional itu sulit diukur karena
tidak ditemukannya metode yang tepat untuk mengukur jenis non operasional
ini”.
68
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Desismon mengatakan masih sulit untuk menemukan metode yang tepat dalam
melakukan pengukuran dan penilaian aset bersejarah. Aset bersejarah jenis non operasional
sangat sulit dalam menetukan nilainya. Selain itu, juga membutuhkan biaya yang besar dan
waktu yang lama untuk mengetahui nilai aset bersejarah jenis non operasonal. Misalnya harus
melakukan kajian dari beberapa ahli yang benar-benra mengerti dengan bangunan bersejarah.
Tetapi Desismon mengatakan untuk jenis operasional bisa diterapkan penilaian. Sementara
itu Sugiharta mengganggap benda cagar budaya pada hakikatnya bisa dinilai meskipun dalam
pernyataan tersebut Sugiharta masih meragukan hal tersebut, berikut Sugiharta mengatakan:
“Pada hakikatnya benda cagar budaya yang berwujud, bisa dilihat, bisa diraba
atau ditimbang sebenarnya dapat dinilai. Cuma mau dinilai dengan angka
berapa, pakai metode bagaimana, itulah yang sebenarnya belum ada aturan
baku sampai sekarang. Ketika dilakukan penilaian oleh tim ahli, misalnya tim
ahli disini dengan berbeda tempat bisa saja berbeda, makanya nilai tak
terhingga itu sebenarnya ketika orang tidak mampu melakukan nominalisasi”.
Yang dimaksud oleh Sugiharta adalah ketika nominalisasi itu bisa dilakukan dan
masing-masing ahli memiliki nominal yang berbeda-beda dalam melakukan penilaian,
akhirnya cenderung menyepakati bahwa aset bersejarah itu nilainya tak terhingga. Misalnya
ketika sebuah bangunan yang bermakna sama dan dibangun pada tahun yang sama pada dua
daerah berbeda. Hal ini menurut Sugiharta bisa saja menghasilkan penaksiran yang berbeda,
padahal dalam ukuran konteks budaya dan sejarahnya tadi memiliki esensi yang sama.
Penaksiraan yang berbeda ini bergantung kepada pihak yang menilai, seberapa pentingkah
bagi pihak penilai makna dari benda tersebut. Seandainya bagi pihak yang menilai didaerah A
mengatakan bahwa nilainya sepuluh juta, bisa saja di daerah B pihak penilai yang sama
hanya menilai sebesar lima juta. Pada akhirnya hakikat penilaian ini kembali kepada sebuah
kesepakatan, untuk Indonesia saat ini belem ada sebuah kesepakatan yang pasti dalam
menilai aset bersejarah. Sementara itu Rahmat Gino dan Anis Chariri hampir sependapat
bahwa sebenarnya pengukuran dan penilaian untuk aset bersejarah bukanlah sesuatu yang
dianggap sangat urgent, mereka menganggap bahwa pertanggungjawaban
memperbaiki/renovasi dalam hal ini pengelola aset bersejarah itulah yang lebih utama.
Rahmat Gino dan Anis Chariri mengatakan:
“Pengukuran dan penilaian bukan kriteria utama untuk melaporkan aset
bersejarah, karena banyak sekali aset bersejarah yang tidak ternilai secara
ekonomi karena aspek keunikan, aspek sejarah dan budayanya. Mungkin ada
beberapa metode menilai menggunakan appraiser atau kurator tapi itu
bukanlah isu utama, isu utamanya adalah bagaimana menampilkan informasi
69
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
aset bersejarah sehingga itu bisa digunakan sebagai bagian untuk
pertanggungjawaban memperbaiki/renovasi dari pengelola aset tersebut”.
Bagi seseorang yang sudah bersinggungan langsung dengan aset bersejarah,
khususnya pihak pengelola aset bersejarah meyakini bahwa aset bersejarah memiliki nilai tak
terhingga. Menilai aset bersejarah dianggap terlalu tabu, karena suatu aset yang tak ternilai
harganya tersebut jika dinilai dalam bentuk moneter maka tidak akan ada nilai nominal yang
mampu mewakilinya. Yang terpenting adalah bagaimana aset bersejarah tersebut ditampilkan
dalam informasi pertanggungjawaban. Akuntabilitas dalam rangka renovasi aset bersejarah
merupakan hal yang utama. Dana yang digunakan dalam merenovasi aset bersejarah tersebut
apakah tepat sasaran atau tidak itulah yang perlu di evaluasi. Hooper (2005) meyakini bahwa
aset bersejarah lebih berkaitan dengan nilai kesejarahan yang ada didalamnya, bukan nilai
ekonomi yang tersimpan dalam aset bersejarah tersebut. Berseberangan pendapat dengan
Rahmat Gino dan Anis Chariri, Mastur dan Sumadi justru menganggap bahwa pengukuran
dan penilaian terhadap aset bersejarah harus dilakukan. Karena selain merupakan aset
kekayaan bangsa, aset bersejarah juga masuk ke dalam laporan keuangan, karena setiap yang
masuk ke dalam laporan keuangan itu harus tercermin dalam satuan rupiah. Mereka
mengatakan bahwa:
“Aset bersejarah ini harus ada penilaian karena masuk dalam angka-angka
laporan keuangan. Karena setiap yang masuk kedalam laporan keuangan itu
harusnya ada satuan rupiahnya. Seharusnya bisa diukur dan dinilai sebab
bagaimanapun aset bersejarah ini adalah kekayaan bangsa, tidak mungkin
kekayaan bangsa tidak ada nilainya. Meskipun ada nilai yang tak terhingga
tapi setidaknya ada patokan harga dan ada kesepakatan bersama terkait hal
ini”.
Aset bersejarah yang menjadi kekayaan bangsa sejatinya harus mempunyai nilai yang
dapat diukur secara pasti. Aset bersejarah dikelola oleh sebuah entitas yang mau tidak mau
harus melaporkannya dalam laporan keuangan. Meskipun cenderung memiliki nilai yang tak
terhingga, seharusnya ada sebuah patokan angka. Patokan angka yang dimaksud disini adalah
misalnya untuk jenis candi yang mewakili sejarah budaya dan berusia lebih dari 200 tahun
bisa dianggap bernilai sepuluh trilyun, untuk usia 100 tahun misalnya lima trilyun. Akan
tetapi melekatkan hal tersebut tidak mudah, karena ada pro dan kontra yang akan
mendampingi hal tersebut. Terlepas dari perbedaan pendapat antar beberapa informan
tersebut, ada beberapa aset bersejarah di kawasan kota lama Sawahlunto yang dilakukan
penilaian. Meskipun pada umumnya sulit untuk melakukan penilaian karena tidak adanya
metode yang pasti dan hak kepemilikan aset yang juga masih menjadi kendala, tetapi untuk
70
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
jenis aset bersejarah koleksi bisa dilakukan penilaian berdasarkan harga perolehan yang
berasal dari biaya ganti rugi kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Rahmat Gino dan Neni Yunitri:
“Karena tidak ada metode pasar atau metode wajar untuk menilai aset
bersejarah, di Sawahlunto tidak dilakukan pengukuran dan penilaian. Selain
sulitnya untuk mengukur aset tersebut selama ini Sawahlunto hanya sewa
pakai aset tersebut kepada PT.BA dan itu hanya dilakukan penghitungan
beban saja. Tetapi untuk benda cagar budaya jenis koleksi itu dinilai sebesar
harga perolehan. Dalam hal ini ada semacam biaya ganti rugi jika ada
masyarakat yang menawarkan”.
Meskipun tidak ditemukannya sebuah metode yang tepat dalam menilai aset
bersejarah, pemerintah kota Sawahlunto melakukan penilaian terhadap aset bersejarah jenis
koleksi. Ketika ada sebuah aset bersejarah milik masyarakat yang ingin diakui dan dimiliki
oleh pemkot Sawahlunto, maka pemkot sawahlunto akan mengeluarkan semacam biaya ganti
rugi kepada masyarakat tersebut. Biaya ganti rugi ini akan ditaksir oleh seorang kurator yang
memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mentaksir harga perolehan tersebut. Untuk aset
bersejarah selain koleksi tidak dilakukan metode penilaian. Sangat sulit melakukan penilaian
terhadap benda dan bangunan cagar budaya lainnya, selain itu aset bersejarah tersebut juga
tidak dimiliki oleh pemkot Sawahlunto.
Tabel 4.11 Apakah Aset Bersejarah Harus Diukur dan Dinilai
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Desismon Di Indonesia mungkin teknik penilaian diterapkan
untuk jenis operasional heritage asset sedangkan
untuk jenis non operasional itu sulit diukur karena
tidak ditemukannya metode yang tepat untuk
mengukur jenis non operasional ini.
Tidak ditemukan metode penilaian
yang tepat dalam mengukur dan
menilai aset bersejarah jenis non
operasional.
Sugiharta Pada hakikatnya benda cagar budaya yang
berwujud, bisa dilihat, bisa diraba atau ditimbang
kan sebenarnya bisa dinilai. Cuman mau dinilai
dengan angka berapa pakai metode bagaimana
itulah yang sebenarnya belum ada aturan baku
sampai sekarang. Ketika dilakukan penilaian oleh
tim ahli misalnya tim ahli disini dengan berbeda
tempat bisa saja berbeda, makanya nilai tak
terhingga itu sebenarnya ketika orang tidak
mampu melakukan nominalisasi.
Pada hakikatnya benda berwujud bisa
dinilai, tetapi metode penilaian yang
tepat untuk aset bersejarah belum
bisa ditemukan.
Sumadi seharusnya bisa diukur dan dinilai sebab
bagaimanapun aset bersejarah ini adalah
kekayaan bangsa, tidak mungkin kekayaan bangsa
tidak ada nilainya. Meskipun ada nilai yang tak
terhingga tapi setidaknya ada patokan harga dan
ada kesepakatan bersama terkait hal ini.
Aset bersejarah harus ada penilaian
karena masuk dalam angka-angka
laporan keuangan. Setiap yang masuk
kedalam laporan keuangan harus ada
satuan rupiahnya. Seharusnya aset
bersejarah bisa diukur dan dinilai
sebab bagaimanapun aset bersejarah
71
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Mastur Aset bersejarah ini harus ada penilaian karena
masuk dalam angka-angka laporan keuangan.
Karena setiap yang masuk kedalam laporan
keuangan itu harusnya ada satuan rupiahnya.
adalah kekayaan bangsa, tidak
mungkin kekayaan bangsa tidak ada
nilainya. Meskipun ada nilai yang tak
terhingga tapi setidaknya ada patokan
harga dan ada kesepakatan bersama
terkait hal ini.
Anis Chariri Pengukuran dan penilaian bukan kiteria utama
untuk melaporkan aset bersejarah, karena banyak
sekali aset bersejarah yang tidak ternilai secara
ekonomi karena aspek keunikan, aspek sejarah
dan budayanya. Mungkin ada beberapa metode
menilai menggunakan appraiser atau kurator tapi
itu bukanlah isu utama, isu utamanya adalah
bagaimana menampilkan informasi aset
bersejarah sehingga itu bisa digunakan sebagai
bagian dari pertanggungjawaban pengelola aset
tersebut.
Pengukuran dan penilaian bukan
kriteria utama untuk melaporkan aset
bersejarah. Isu utamanya adalah
bagaimana menampilkan informasi
aset bersejarah sehingga itu bisa
digunakan sebagai bagian untuk
pertanggungjawaban
memperbaiki/renovasi dari pengelola
aset tersebut.
Karena tidak ada metode pasar atau
metode wajar untuk menilai aset
bersejarah, di Sawahlunto tidak
dilakukan pengukuran dan penilaian.
Selain sulitnya untuk mengukur aset
tersebut selama ini Sawahlunto hanya
sewa pakai aset tersebut kepada
PT.BA dan itu hanya dilakukan
penghitungan beban saja. Tetapi
untuk benda cagar budaya jenis
koleksi itu dinilai sebesar harga
perolehan, dalam hal ini ada
semacam biaya ganti rugi jika ada
masyarakat yang menawarkan
Rahmat
Gino
Metode pengukuran dan penilaian dari segi
ekonomi tidak ada. Mungkin lebih kepada
pertanggungjawaban memperbaiki/renovasi.
Tetapi untuk benda cagar budaya jenis koleksi itu
ada semacam biaya ganti rugi jika ada masyarakat
yang menawarkan.
Neni
yunitri
Karena tidak ada metode pasar atau metod wajar
untuk menilai aset bersejarah, di Sawahlunto
tidak dilakukan pengukuran dan penilaian. Selain
sulitnya untuk mengukur aset tersebut selama ini
Sawahlunto hanya sewa pakai aset tersebut
kepada PT.BA dan itu hanya dilakukan
penghitungan beban saja. Kalau untuk jenis
koleksi itu dinilai sebesar harga perolehan yang
berasal dari biaya ganti rugi kepada masyarakat
tadi.
Lampiran Coding (xIv-xIviii)
Pentingnya untuk melakukan pengukuran dan penialaian terhadap aset bersejarah
masih menjadi polemik hingga saat ini. Ada yang menganggap perlu dilakukan dan ada yang
menganggap tidak perlu. Pada dasarnya hal penilaian dan pengukuran bisa diterapkan,
kenapa tidak dilakukan keberagaman terhadap semua jenis aset bersejarah. Inilah yang
menarik dengan aset bersejarah mengingat karakteristik unik yang membawa kultur sejarah
dan budaya membuat orang untuk berhati-hati untuk memperlakukannya. Namun rasa hati-
hati ini justru masih berdampak pada keraguan dan perbedaan dalam melakukan
keseragaman. Keseragaman yang dimaksud adalah bagaimana kehati-hatian tersebut
tersimbol dengan perlakuan yang pasti dan sebagaimana mestinya.
72
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.2.2.2 Metode Penilaian dan Perumus Metode Penilaian
Tujuan dari penilaian aset adalah untuk merepresentasikan atribut pos-pos aset yang
terpaut dengan tujuan laporan keuangan dengan menggunakan basis penilaian yang sesuai.
Menurut Financial Reporting Statements 30 (2009) penilaian aset bersejarah dapat dilakukan
dengan metode apapun yang tepat dan relevan. Pendekatan penilaian yang dipilih nantinya
diharapkan adalah suatu penilaian yang dapat menyediakan informasi yang lebih relevan dan
bermanfaat. Peneliti mencoba menggali pemahamaan informan tentang bagaimana metode
penilaian yang dirasa tepat dalam melakukan penilaian aset bersejarah. Disamping itu peneliti
juga mengkonfirmasi tentang siapa pihak-pihak yang dirasa pantas dalam melakukan
perumusan dalam membuat metode penilaian tersebut. Secara umum Anis Chariri dan
Sugiharta mengatakan bahwa:
“Kalau mencari metode yang lebih tepat itu sulit karena setiap aset bersejarah
memiliki karakteristik unik dan berbeda-beda, intinya adalaj kembali kepada
sebuah kesepakatan. Untuk memenuhi kesepakatan ini harus melibatkan
banyak pihak dan banyak ahli. Metode-metode yang pernah dirumuskan para
ahli selama ini kan sebenarnya merupakan jembatan instrumen. Problemnya
sampai sekarang belum ada pedoman standar atau prosedur yang baku untuk
metode penilaian aset bersejarah”.
Pendapat diatas menunjukan bahwa selama ini belum ditemukan metode penilaian
yang tepat dalam melakukan penilaian aset bersejarah, terutama aset bersejarah jenis non
operasional. Sebuah kesepakatan untuk menetapkan prosedur penilaian aset bersejarah belum
dilakukan, meskipun beberapa ahli telah merumuskan sebuah metode demi menjembatani
kesulitaan penilaian terhadap aset bersejarah. Misalnya seperti yang telah dirumuskan oleh
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dalam Handoko (2012) adalah sebagai berikut :
TEV = UV + NUV
UV = DUV + IUV + OV
NUV = XV + BV
Sehingga TEV = (DUV + IUV + BV) + (XV + BV)
Keterangan :
TEV = Total Economic Value (Total Nilai Ekonomi)
UV = Use Value (Nilai Penggunaan)
NUV = Non Use Value (Nilai Instrinsik)
73
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung)
IUV = Indirect Use Value (Nilai Penggunaan Tak Langsung)
OV = Option Value (Nilai Pilihan)
XV = Existence Value (Nilai Keberadaan)
BV = Bequest Value (Nilai Warisan/Kebanggaan)
Total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value). Selanjutnya
dijelaskan bahwa nilai penggunaan dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use
value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value).
Nilia penggunaan diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan. Nilai penggunaan
berhubungan dengan responden memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan dimasa
mendatang. Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi
lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi dan berkaitan dengan output yang langsung
dapat dikonsumsi. Misalnya makanan, biomas, kesehatan dan rekreasi. Nilai penggunaan
tidaak langsung ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam
mendukung aliran produksi dan konsumsi. Sedangkan nilai pilihan berkaitan dengan pilihan
pemanfaatan sumberdaya di masa datang.
Nilai intrinsik dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai warisan (bequest value) dan
nilai keberadaan (existence value). Nilai intrinsik berhubungan dengan kesediaan membayar
positif, jika responden tidak bermaksud memanfaatkannya dan tidak ada keinginan untuk
memanfaatkannya. Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk
melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai warisan bukan nilai
penggunaan untuk individu penilai, tetapi merupakan potensi penggunaan atau bukan
penggunaan di masa datang. Nilai keberadaan muncul karena adanya kepuasan atas
keberadaan sumberdaya meskipun penilai tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya.
Agustini dan Putra (2011) mencoba membandingkan bagaimana metode penilaian
terhadap aset bersejarah pada beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Swedia, Selandia
Baru, Indonesia dan Australia. Dalam hasil penelitian tersebut Agustini dan Putra
memberikan kesimppulan bahwa Australia dan Selandia Baru merupakan yang terbaik dalam
hal melakukan metode penilaian aset bersejarah. Karena kedua negara tersebut memberikan
kepastian terhadap nilai yang harus dilekatkan kepada semua jenis aset bersejarah. Penilaian
74
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
non operational heritage assets di Australia dan Selandia baru menggunakan kerangka yang
sama dengan operational heritage assets. Berikut penjelasan Agustini dan Putra (2011) :
a. Australia
Aset bersejarah mempunyai dua nilai yaitu yang berkaitan dengan pasar dan estika,
sosial atau lingkungan. Namun nilai estetika ini sulit sekali diukur nilainya sehingga
informasinya ditampilkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ketentuan-ketentuan
penilaian aset bersejarah di Australia adalah sebagai berikut:
1. Jika nilai suatu aset dapat di tentukan
Aset bersejarah harus dinilai dengan menggunakan kerangka nilai wajar. Kerangka
yang sama diterapkan untuk aset fisik lainnya. Item yang unik biasanya tidak dapat
dilakukan penilaian. Potensi jasa yang dimiliki untuk kepentingan budaya dapat
dibandingkan dengan item lain jika item tersebut memiliki tingkat potensi jasa atau
kepentingan budaya yang sama. Misalnya, aset pakaian dari periode tertentu mungkin
dapat diganti dengan pakaian pada periode yang sama. Namun jika pakaian tersebut
dilihat atau dinilai dari orang yang memakai maka item penggantinya harus berkaitan
dengan orang yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh penilaian pada biaya
yang reasonable yang akurat secara material. Untuk mencapai tujuan ini, harus ditempuh
tahap-tahap atau teknik random sampling untuk menilai koleksi lainnya. Yaitu dengan
melibatkan sejumlah tahap, seperti sampel dan ekstrapolasi untuk menentukan nilai
koleksi. Metode ini sangat mempertimbangkan lokasi, cara penyimpanan aset, atau
dimaksukkan dalam nilai aset basis baru revaluasi dan di buat penyusutannya selama sisa
manfaatnya.
2. Jika nilai suatu aset bersejarah tidak dapat ditentukan
Dalam hal ini pemerintah Australia dapat memperkerjakan pengukur (appraiser) dari
luar. Appraiser merupakan pihak yang memiliki keahlian untuk memperkirakan dengan
tepat nilai yang terdapat pada suatu objek. Pemerintah Australia memerlukan jasa penilai
karena di dalam pemerintahannya sendiri jika tidak terdapat penilai yang ahli di bidang
tersebut dan tidak terdapat objektivitas penilai internal.
3. Untuk Aset bersejarah yang tidak memiliki biaya atau nilai lain yang dapat ditentukan
secara andal maka akan dilaporkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan dan
dialokasikan masing-masing sebesar 1000 dolar.
75
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Metoda penilaianan aset bersejarah adalah dengan menggunakan nilai wajar. Australia
mencatat nilai aset bersejarah di dalam neraca baik untuk operational heritage asset maupun
non operational heritage assets.
b.Selandia Baru
Metoda nilai wajar yang digunakan tidak berbeda jauh dengan apa yang telah
diterapkan di negara Selandia Baru. Prosedur yang digunakan adalah:
1. Apabila terdapat pasar aktif dan likuid, maka nilai wajarnya adalah dengan
menggunakan harga pasar
2. Apabila tidak terdapat pasar aktif dan likuid tetapi ada bukti pasar untuk aset
serupa maka estimasi nilai wajarnya menggunakan bukti pasar.
3. Apabila tidak terdapat pasar atau harga beli dan harga jual pasar berbeda secara
material, nilai wajar ditentukan dengan referensi harga beli pasar dari aset
tersebut.
4. Apabila harga pasar tidak ada atau tidak dapat diperoleh dari aktivitas pasar, nilai
wajarnya ditentukan oleh apakah potensi jasa aset tersebut tergantung atau tidak
pada perolehan arus kas masuk bersih.
5. Apabila potensi jasa tidak tergantung pada perolehan arus kas masuk bersih,
maka nilai wajarnya ditentukan dengan menggunakan written down current cost (
jika aset akan diganti bila aset entitas hilang) atau market selling price (jika aset
tidak akan mengganti bila aset entitas hilang).
Metode penilaian aset bersejarah di Indonesia saat ini adalah dengan menggunakan
nilai wajar. PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap menyatakan barang berwujud yang
memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset dan dikelompokkan sebagai aset tetap
pada awalnya harus dinilai dengan biaya perolehan. Teknik penilaian di Indonesia saat ini
dterapkan untuk jenis aset bersejarah operasional. Sedangkan untuk jenis non operasional
tidak bisa diukur nilai yang andal. Menurut Agustini (2011) hal ini disebabkan karena masih
belum ditemukannya metode yang tepat untuk menilai aset bersejarah non operasional dan
juga biaya yang besar serta waktu yang lama. Sementara itu Desismon, Neni Yunitri dan
Mastur sepakat bahwa metode penilaian dilakukan oleh tim ahli yang disebut juga dengan
kurator dalam melakukan penilaian aset bersejarah. Mereka beranggapan bahwa aset
76
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bersejarah tidak bisa disama-ratakan penilaiannya dengan benda lain karena aset bersejarah
harus dikaitkan dengan nilai sejarah dan budaya.
“Metode wajar dilakukan oleh tim ahli yang berkompeten dalam menaksir
benda cagar budaya. karena benda bersejarah ini tidak bisa disama ratakan dan
harus dikaitkan dengan nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada disitu. Hal ini
dilakukan dengan beberapa kajian yang dilakukan oleh kurator. Jadi kurator
ini memiliki keahlian untuk memperkirakan dengan tepat nilai aset
bersejarah”.
Pernyataan tersebut sebenarnya telah menggambarkan hal yang tepat dalam PSAP
No.7, yaitu berdasarkan metode wajar. Mungkin siapa yang merumuskan atau yang
melakukan metode penilaian sudah terjawab yaitu dilakukan oleh tim penilai yang disebut
kurator. Akan tetapi didalam PSAP No.7 tidak menyebutkan bahwa kurator memiliki
kewenangan dan tugas sebagai tim penilai. Peneliti mencoba mendalami lebih jauh tentang
metode apa yang diterapkan oleh kurator yang diberikan kewenangan oleh Dinas
Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman kota Sawahlunto. Apakah ada
metode khusus mengingat aset bersejarah harus dikaitkan dengan kultur bawaan yang
melekat yaitu sejarah dan budaya. Dalam hal ini Rahmat Gino dan Sugiharta menjelakan:
“Dalam hal ini penilaian dan penaksiran dilakukan oleh kurator, kurator bukan
tim ahli cagar budaya. dalam hal pengakuan dilakukan oleh tim ahli cagar
budaya dan penilaian dilakukan oleh kurator. Metode yang dipakai kurator
hanya berdasarkan pengalaman dan jam terbang saja. Dan penilaian basic
insting yang dilakukan oleh kurator karena pengalamannya itu lebih kepada
kemampuan alamiah”.
Apakah begitu besarnya kewenangan seorang kurator dalam melakukan penilaian aset
bersejarah sehingga metode yang pasti pun tidak ditemukan. Karena dalam pernyataan
tersebut penilaian dilakukan berasaskan metode yang hanya lebih kepada pengalaman dan
jam terbang saja. Apakah kemampuan basic insting tersebut mendefinisikan kebebasan yang
leluasa kepada seorang kurator. Sumadi mempertegas hal ini dengan mengatakan bahwa:
“Menilai suatu aset bersejarah merupakan penilaian berdasarkan ilmu prediksi,
tapi prediksi secara profesional oleh kurator berdasarkan kode etik nya. Dalam
hal ini kurator maha penting untuk diberi kewenangan yang luas”.
Kurator bukanlah tim ahli cagar budaya, seharusnya kurator harus mempunyai
sertifikasi seperti tim ahli cagar budaya. Keterangan yang didapat oleh peneliti untuk saat ini
adalah belum ada Undang-Undang yang mengatur juklak-juknis perihal sertifikasinya. Hal ini
disebabkan karena PP belum turun dan Permen belum ada. Jadi selama ini kurator bekerja
77
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
hanya berdasarkan jam terbang dan pengalamannya saja dan di SK-kan oleh DKPBP
Sawahlunto berdasarkan keahlian bidang masing-masing. Rahmat Gino (2017) memperjelas
bahwa Sebenarnya kurator ini harus orang yang ahli di bidang nya dan memahami segala
seluk-beluk nya. Misalnya kurator songket, dia harus memahami songket itu sampai ke
makna-makna terpendam nya, apakah itu songket biasa saja atau luar biasa.
Sejauh ini hanya ada pelatihan-pelatihan kurator yang diselenggarakan oleh
Kemendikbud. Tetapi untuk mengatur sertifikasi keahliannya agar lebih mendalam belum
diatur oleh undang-undang. Sejauh ini Kemendikbud mencoba merancang sebuah kompetensi
dan sertifikasi kurator museum, seperti Workshop yang terakhir kali dilaksanakan di
Surabaya pada bulan Mei 2016. Didalam workshop tersebut Kemendikbud mencoba
merancang sebuah standar kompetensi khusus tentang sertifikasi kurator. Berikut beberapa
pembahasan dalam workshop tersebut, diantaranya adalah tujuan workshop sertifikasi kurator
museum:
1. Mengetahui peranan dan tugas kurator di museum
2. Memperoleh acuaan dalam penyusunan modul kurator museum dan standar
kompetensi khusus kurator museum
3. Memperoleh masukan dalam penyelenggaran sertifikasi/asesmen asesor kurator
museum, sertifikasi/asesmen kurator museum dan bimbingan teknis kurator
museum.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 tentang cagar
budaya, yang disebut dengan kurator adalah:
Pasal 18
(3) Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan koleksi museum berada dibawah
tanggung jawab pengelola museum
(4) Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) museum
wajib memiliki kurator
Pasal 32
Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan dilakukan oleh kurator dan
selanjutnya diserahkan kepada tim ahli cagar budaya
Dalam hal ini kurator harus membuktikan komepetensinya dalam menjalankan tugas
dan fungsi nya kedepan sebagai penilai benda cagar budaya. Apa yang digunakan untuk
membuktikan kompetensi dan bagaimanaa membuktikan kompetensi tersebut:
78
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1. Salah satunya dengan memiliki sertifikat kompetensi karena seseorang akan
mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasainya
2. Melalui sertifikasi kompetensi yaitu melalui proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi
yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional, khusus,
maupun iitnernasional
Demi mewujudkan standar kompetensi yang dimaksud maka dalam workshop
tersebut diusulkan beberapa standar kompetensi kurator. Adapun beberapa usulan standar
kompetensi kurator dalam workshop yang diselenggarakan oleh Kemendikbud pada bulan
mei 2016 adalah sebagaai berikut:
1. Menyusun dan mengevaluasi kebijakan pengelolaan museum
2. Melaksanakan kebijakan pengelolaan museum yang meliputi pengelolaan koleksi,
pameran (temporer) dan program publik
3. Memimpin dan mengelola kajian untuk pengadaan, peminjaman, pengalihan dan
penghapusan koleksi
4. Menyiapkan standar prosedur operasional pengadaan, pencatatan, penyimpanan,
peminjaman dan penghapusan koleksi
5. Melaksanakan pengadaan, pencatatan, penyimpanan, peminjaman, dan
penghapusan koleksi
6. Melakukan klasifikasi ragam jenis koleksi
7. Mengelola dan mengembangkan penyimmpanan koleksi di ruang penyimpanan
untuk kegiatan preservasi dan konservasi
8. Mengelola ruang penyimpanan untuk kepentingan pameran dan penelitian di
ruang penyimpanan
9. Menyussun konesp, merancang dan melaksanakan pameran (long term atau
temporary) serta program publik
10. Menguasai teori dan metode penelitian koleksi untuk menghasilkan pengetahuan
11. Mengembangkan kerjasama institusi untuk menghasilkan pengetahuan koleksi
dan pengembangan institusi museum
12. Membuat materi publikasi (di media cetak, elektronik dsan sosial)
13. Membuat materi pemasaran dan promosi
14. Memahami peraturan pemerintah tentang museum
15. Memahami dan melaksanakan tugas serta tanggung jawab kurator dalam
pengelolaan koleksi cagar budaya.
79
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Teknik penilaian sejatinya memiliki tujuan agar aset bersejarah dapat diukur dengan
baik. Penilaian aset bersejarah bukanlah tanpa tujuan, menurut Maurato dan Mazzanti (2002)
tujuan dari penilaian ekonomi sumberdaya arkeologi dalam hal ini aset bersejarah sebagai
warisan budaya adalah sebagai berikut :
1. Menilai keberadaan dan mengukur kebutuhan untuk akses, konservasi dan
perbaikan warisan budaya
2. Menganalisi kebijakan untuk menentukan harga demi tujuan budaya:
penyeragaman harga, diskriminasi harga interpersonal, diskriminasi harga
sukarela, diskriminasi harga antar waktu, dan lain-lain
3. Menyelidiki bagaimana harga yang siap atau sesuai untuk membayar dari
berbagai variasi kelompok sosial ekonomi masyarakay yang berbeda baik usia,
jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, dan lain-lain
4. Mengukur kesenjangan antara manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan warisan budaya
5. Memberikan informasi untuk pendanaan strategi multi sumber baik berdasarkan
pajak lokal dan nasional, sumbangan swasta, biaya masuk, dan kemitraan publik
atau swasta dalam merancang sistem insentif untuk memotivasi dan keuangan
konservasi
6. Menyelidiki apakah subsidi terhadap warisan budaya dibenarkan dan
menginformasikan berapa banyak mereka harus mengalokasikan sumber daya
7. Mengenali proses makro alokasi sumber daya, valuasi ekonomi dapat digunakan
untuk membantu memutuskan prioritas kebijakan
8. Mengalokasikan dana antara warisan budaya dan area lain belanja publik
9. Pengumpulan informasi penting kebijakan strategis tentang tingkat dukungan
publik (keuangan dan non keuangan) untuk sektor budaya atau budaya tertentu
untuk proses sumber daya
10. Mengalokasikan anggaran budaya dalam perimbangan dengan pemerintah
daerah
11. Mengukur kepuasan masyarakat dalam hal pelayanan budaya dan ketentuan
peringkat parameter lembaga
12. Penilaian dan peringkat intervensi dalam sektor budaya misalnya, untuk
kompetitif alokasi (hibah)
80
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
13. Mengalokasikan anggaran dalam satu lembaga atau wilayah dalam proyek-
proyek bersaing
14. Memutuskan apakah aset budaya yang diberikan untuk dilestarikan dan, jika
demikian, bagaimana dan pada tingkat apa
15. Menilai situs mana, di daerah kota atau kabupaten budaya, yang lebih layak
investasi dan dampak pembiayaan lebih signifikan dalam manajemen, pembiayaan,
dan alokasi sumber daya
Tabel 4.12 Metode Penilaian dan Perumus Metode
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Kalau mencari metode yang lebih tepat itu
sulit karena setiap aset bersejarah memiliki
karakteristik unik dan berbeda-beda, intinya
adalaj kembali kepada sebuah kesepakatan.
Untuk memenuhi kesepakatan ini harus
melibatkan banyak pihak dan banyak ahli.
Sangat sulit menentukan metode
penilaian yang tepat untuk aset
bersejarah. Dalam menetukan metode
penilaian yang tepat harus melibatkan
banyak pihak dan para ahli dalam
mencapai sebuah kesepakatan.
Desismon Hal ini dilakukan dengan beberapa kajian
yang dilakukan oleh tim penilai. Jadi tim
penilai ini memiliki keahlian untuk
memperkirakan dengan tepat nilai aset
bersejarah.
Metode wajar dilakukan oleh tim ahli
yang berkompeten dalam menaksir
benda cagar budaya. karena benda
bersejarah tidak bisa disama-ratakan
dan harus dikaitkan dengan nilai-nilai
sejarah dan budaya yang ada pada
aset tersebut. Hal ini dilakukan
dengan beberapa kajian yang
dilakukan oleh kurator. Jadi kurator
ini memiliki keahlian untuk
memperkirakan dengan tepat nilai
aset bersejarah
Neni Yunitri Metode wajar dilakukan oleh tim ahli yang
berkompeten dalam menaksir benda cagar
budaya. karena benda bersejarah ini tidak bisa
disama ratakan dan harus dikaitkan dengan
nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada disitu.
Mastur Mungkin yang lebih paham dengan penilaian
ini adalah tim ahli cagar budaya dan kurator
yang ada di Sawahlunto.
Sugiharta Metode-metode yang pernah dirumuskan para
ahli selama ini kan sebenarnya merupakan
jembatan instrumen. Dan penilaian basic
insting yang dilakukan oleh kurator karena
pengalamannya itu lebih kepada kemampuan
alamiah. Problemnya sampai sekarang belum
ada pedoman standar atau prosedur yang baku
untuk metode penilaian aset bersejarah.
Penilaian dan penaksiran dilakukan
oleh kurator, kurator bukan tim ahli
cagar budaya. dalam hal pengakuan
dilakukan oleh tim ahli cagar budaya
dan penilaian dilakukan oleh kurator.
Metode yang dipakai kurator hanya
berdasarkan pengalaman dan jam
terbang saja. Penilaian basic insting
yang dilakukan oleh kurator itu lebih
kepada kemampuan alamiah Sumadi Menilai suatu aset bersejarah merupakan
penilaian berdasarkan ilmu prediksi, tapi
prediksi secara profesional oleh kurator
berdasarkan kode etik nya. Dalam hal ini
kurator maha penting untuk diberi
kewenangan yang luas.
Rahmat Gino Dalam hal ini penilaian dan penaksiran
dilakukan oleh kurator, kurator bukan tim ahli
cagar budaya. dalam hal pengakuan dilakukan
oleh tim ahli cagar budaya dan penilaian
81
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dilakukan oleh kurator. Metode yang dipakai
kurator hanya berdasarkan pengalaman dan
jam terbang saja.
Lampiran Coding (xIviii-Iii)
Berdasarkan pemaparan dari beberapa informan dan sumber informasi lainnya,
peneliti menganggap bahwa ada kemungkinan yang bisa dilakukan dalam membuat suatu
metode penilaian yang pasti untuk aset bersejarah seperti yang telah dilakukan oleh negara
Australia dan Selandia Baru. Artinya tidak menutup kemungkinan sebuah metode penilaian
aset bersejarah dapat dihasilkan berdasarkan jam terbang, pengalaman yang alamiah serta
basic insting para kurator tadi. Karena bisa saja hal tersebut dapat dituangkan dan dirumuskan
satu per satu secara ilmiah berdasarkan pemahaman para ahli yang berkecimpung dalam
dunia aset bersejarah atau benda cagar budaya.
4.2.2.3 Kapan Penilaian Aset Bersejarah
Selanjutnya pada tahap ini peneliti menanyakan kepada informan tentang kapan
penilaian aset bersejarah dilakukan. Apakah penilaiaan aset bersejarah dilakukan hanya satu
kali ketika saat awal diakui saja ataukah ada periode tertentu untuk dilakukan penilaian ulang.
Secara umum Desismon, Mastur dan Sugiharta mengatakan bahwa:
“Penilaian aset bersejarah dilakukan satu kali saja oleh tim ahli pada saat awal
diperoleh. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dinilai ulang, dikaji dulu
urgensinya apa dan tergantung kondisional tertentu”.
Hal tersebut diperjelas oleh Rahmat Gino selaku kepala seksie peninggalan
bersejarah, beliau mengatakan bahwa:
“Penilaian aset bersejarah bisa dilakukan setelah ditetapkan sebagai cagar
budaya dan bisa juga sebelum ditetapkan, fleksibel dan kondisional. Sebab
aturan baku yang harus menilai berdasarkan periode tertentu itu tidak ada. Jika
diperlukan untuk dinilai ulang oleh kurator mungkin ini lebih bersifat by
request”.
Dalam keadaan normalnya aset bersejarah hanya dilakukan penilaian ulang satu kali
saja. Penilaian tersebut dilakukan pada saat awal diakui setelah mendapatkan rekomendasi
dari tim ahli cagar budaya. Penilaian awal tersebut hanya dilakukan terhadap benda cagar
budaya jenis koleksi yang perolehannya berasal dari masyarakat. Karena perolehannya dari
masyarakat, maka mau tidak mau kurator harus melakukan kajian demi mengeluarkan biaya
ganti rugi kepada masyarakat agar koleksi tersebut bisa dimiliki oleh pemkot sawahlunto.
82
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Akan tetapi, penilaian ulang juga bisa dilakukan dalam keadaan tertentu jika hal tersebut
memang perlu untuk dilakukan. Misalnya dalam menentukan tata letak pamer benda-benda
koleksi museum. Ada beberapa tata letak pamer benda koleksi museum yang diatur
berdasarkan tingkatan nilainya.
Meskipun dalam keadaan normal tidak ada jangka waktu tertentu dalam melakukan
penilaian ulang Neni Yunitri menyampaikan bahwa di Sawahlunto pernah dilakukan dua kali
penilaian untuk aset bersejarah, berikut Neni Yunitri menjelaskan:
“Kalau di Sawahlunto itu pernah dilakukan dua kali, pertama tahun 2011
karena ada temuan BPK, yang kedua tahun 2014 karena terkait administrasi
untuk Unesco. Dalam keadaan normal tidak ada jangka waktu tertentu,
mungkin lebih bersifat karena kebutuhan”.
Berdasarkan pemaparan Neni Yunitri tergambar bahwa aset bersejarah sangat
dimungkinkan untuk melakukan penilaian ulang. Dalam hal ini tidak dapat dipungkuri bahwa
penilaian ulang aset bersejarah di Sawahlunto pernah terjadi dua kali. Yang pertama karena
ada temuan BPK, ketika itu nilai aset nya membludak sementara tidak semua aset bersejarah
yang tercaatat dimiliki oleh pemkot sawahlunto. Aset bersejarah tersebut beberapanya ada
yang menjadi titipan masyarakat, PT.BA dan PT.KAI. Kondisi kedua adalah ketika
melakukan proses administrasi Unesco dalam hal memenuhi syarat sebagai salah satu
kawasan kota cagar budaya warisan dunia.
Dalam hal penilaian kembali, Anis Chariri selaku akademisi justru berbeda pendapat
dengan semua informan, Desismon sebagai kepala bidang aset kota Sawahlunto juga sepakat
agar penilaian kembali terhadap aset bersejarah tidak dipekenankan. Anis Chariri dan
Desismon mengatakan:
“Tidak dipekenankan untuk melakukan penilaian kembali sebab jika berbicara
penilaian kembali berarti hal tersebut terkait dengan menampilkan angka. Aset
bersejarah tidak berbicara seperti itu masing-masing punya karakteristik
sendiri secara umum. Kalau untuk update informasi setiap tahun justru
kualitas informasi yang dilaporkan terkait kontribusi, manfaat atau kalau
diberi dana pengelolaan mampu atau tidak untuk meningkatkan kualitas aset”.
Penilaian kembali akan berbicara kepada sebuah rutinitas. Aset bersejarah diharapkan
dapat dipertahankan dalam kondisi yang lama dengan melakukan sebuah rutinitas yang tidak
harus tercermin dalam penilaian kembali. Rutinitas yang dimaksud adalah bagaimana pihak
pengelola menampilkan informasi-informasi terkait evaluasi dalam melakukan renovasi dan
pemeliharaan. Selain itu penilaian ulang juga bisa dikaitkan tentang penyusutan. Agustini dan
83
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Putra (2011) mengatakan untuk semua jenis aset bersejarah seharusnya dilakukan
penyusutan. Meskipun pemerintah bermaksud untuk mempertahankannya dalam waktu yang
tidak terbatas, akan tetapi suatu bangunan tentunya memiliki daya tahan fisik yang terbatas.
Informasi mengenai besarnya penyusutan dapat membantu pemerintah dalam memutuskan
waktu perbaikan (renovasi), sehingga bangunan tersebut tetap dalam kondisi yang baik.
Tabel 4.13 Kapan Penilaian Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Mastur Penilaian sekali saja mungkin sudah cukup, tetapi
tidak menutup kemungkinan untuk dinilai ulang,
dikaji dulu urgensinya apa dan tergantung
kondisional tertentu.
Penilaian aset bersejarah dilakukan
satu kali saja oleh tim ahli pada saat
awal diperoleh. Tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk dinilai ulang,
dikaji dulu urgensinya apa dan
tergantung kondisional tertentu Desismon Penilaian aset bersejarah satu kali dan tidak
diperkenankan untuk melakukan penilaian
kembali.
Sugiharta dilakukan pada saat awal penilaian saja oleh tim
ahli, penilaian ulang dilakukan bila diperlukan.
Rahmat Gino Penilaian aset bersejarah bisa dilakukan setelah
ditetapkan sebagai cagar budaya dan bisa juga
sebelum ditetapkan, fleksibel dan kondisional.
Sebab aturan baku yang harus menilai
berdasarkan periode tertentu itu tidak ada. Jika
diperlukan untuk dinilai ulang oleh kurator
mungkin ini lebih bersifat by request.
Tidak ada aturan baku dalam menilai
aset bersejarah berdasarkan periode
tertentu.
Neni Yunitri Kalau di Sawahlunto itu pernah dilakukan dua
kali, pertama tahun 2011 karena ada temuan BPK,
yang kedua tahun 2014 karena terkait administrasi
untuk Unesco. Dalam keadaan normal tidak ada
jangka waktu tertentu, mungkin lebih bersifat
karena kebutuhan.
Dalam keadaan normal tidak ada
jangka waktu tertentu dalam menilai
aset bersejarah.
Sumadi Diatas satu tahun ketika setelah diakui sebenarnya
sudah bisa dinilai, terkait penilaian ulang atau
adanya periode tertentu untuk menilai itu kembali
kepada profesionalisme nya kurator.
Penilaian berdasarkan periode tertentu
tergantung kepada profesionalisme
seorang kurator.
Anis Chariri Jika berbicara penilaian kembali berarti hal
tersebut terkait dengan menampilkan angka. Aset
bersejarah tidak berbicara seperti itu masing-
masing punya karakteristik sendiri secara umum.
Kalau untuk update informasi setiap tahun justru
kualitas informasi yang dilaporkan terkait
kontribusi, manfaat atau kalau diberi dana
pengelolaan mampu atau tidak untuk
meningkatkan kualitas aset.
Penilaian kembali tidak tepat dilakukan
untuk aset bersejarah. Kualitas
informasi terkait kontribusi dan
pemanfaatan dana dalam mengelola
aset bersejarah harus di update setiap
tahunnya agar dapat meningkatkan
kualitas aset.
Lampiran Coding (Iii-Iiv)
84
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penilaian aset bersejarah dilakukan pada saat awal diperoleh pada proses pengakuan.
PSAP No.7 Tahun 2010 menyebutkan bahwa aset bersejarah tidak diperbolehkan untuk
dilakukan penilaian ulang, akan tetapi hal yang dilakukan oleh praktisi aset bersejarah di
Kota Sawahlunto tersebut belum tentu tanpa alasan. Ada beberapa hal penting yang menjadi
alasan kenapa harus dilakukan penilaian ulang. Aset bersejarah yang memiliki karakteristik
unik mendorong pihak pengelola untuk melakukan penilaian ulang lantaran ada kondisional
tertentu yang memaksa hal tersebut. Kondisional tertentu yang dimaksud misalnya dalam
mengatur tata letak koleksi di sebuah museum atau tata letak dalam sebuah pameran.
Penilaian ulang juga pernah dilakukan ketika pendataan ulang dari Unesco pada tahun 2011
ketika Kawasan Kota Lama Sawahlunto direkomendasikan menjadi Tentative List warisan
budaya dunia. Akan tetapi terlepas dari kapan harus dilakukan penilaian dan seberapa
pentingkah penilaian ulang harus diterapkan bukanlah menjadi isu utama dari aset bersejarah,
karena usaha pelestarian aset bersejarah agar tetap terjaga lebih penting untuk dilakukan.
4.2.3 Pengungkapan Aset Bersejarah
Pengungkapan merupakan salah satu unsur penting lainnya dalam pelaporaan
keuangan. Melalui pengungkapan, entitas dapat menyampaikan informasi penting bagi pihak
yang membutuhkan konsekuensinya. Pengungkapan aset bersejarah juga memainkan peranan
penting dalam pelaporan keuangan entitas pengelolanya.
Proses pngungkapan aset bersejarah adalah untuk melaporkan aset bersejarah dalam
laporan keuangan pemerintah. Pemerintah membuat laporan keuangan pemerintah sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan aset publik. Aset bersejarah merupakan salah
satu aset yang dimiliki oleh publik sehingga membutuhkan perhatian dari pemerintah agar
tetap dalam keadaan yang baik. Pengungkapan aset bersejarah dalam laporan keuangan
diharapkan dapat menampilkan aset bersejarah secara informatif, agar informasi tersebut
dapat menjadi pertimbangan dalam hal pengelolan yang lebih baik setiap tahunnya.
Pengelolaan yang baik akan menjamin keberlangsungan aset bersejarah, karena
mempertaahankan keberlangsungan aset bersejarah merupakan salah satu tujuan pemerintah.
4.2.3.1 Apakah Aset Bersejarah Harus Dilaporkan Dalam Laporan Keuangan
International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 17- plant, property and
equipment mengatakan aset bersejarah seharusnya disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan
dengan pengungkapan lengkap (full disclosure). Pengungkapan lengkap artinya laporan
85
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
keuangan secara lengkap menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna (user).
Menurut Agustini (2011) pemerintah membuat laporan keuangan untuk memberikan
informasi kepada publik, salah satunya adalah informasi akuntansi yang berupa laporan
keuangan. Informasi keuangan berfungsi memberikan dasar pertimbangan untuk
pengambilan keputusan dan merupakan alat untuk melaksanakan akuntabilitas pemerintah
secara efektif. Dalam proses penyajian aset bersejarah, diharapkan aset bersejarah dapat
disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Peneliti mencoba menggali pemahaman
informan terkait apakah aset bersjarah harus dilaporkan dalam pelaporan keuangan atau tidak.
Neni Yunitri, Sumadi dan Desismon mengatakan bahwa:
“Karena ada uang pemerintah yang dikeluarkan untuk memperolehnya,
merawatnya dan memeliharanya aset bersejarah harus dilaporkan dalam
laporan keuangan. Dilaporkan dalam laporan keuangan entitas pengelola”.
Pandangan diatas menunjukan bahwa aset bersejarah memang harus dilaporkan dalam
pelaporan keuangan. Aset bersejarah disajikan dalam laporan keuangan entitas pengelola,
dalam hal ini semua aset bersejarah yang berada dalam Kawasan kota lama Sawahlunto
dilaporkan dalam laporan keuangan Dinas Kebudayaaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman kota Sawahlunto. Entitas pengelola lebih mengetahui tentang bagaimana
perolehannya serta biaya yang dikeluarkan unntuk pelestariannya, maka dari itu aset
bersejarah harus dilaporkan dalam laporan keuangan entitas pengelola. Selain harus
diungkapkan di laporan keuangan entitas pengelola, nanti juga bisa dihimpun oleh pemda.
Pelaporan aset bersejarah harrus terkait tentang detail-detail pelestariannya, sesuai dengan
Anis Chariri dan Mastur katakan bahwa:
“Aset bersejarah dan pelaporan nya itu sebaiknya di dinas pengelola, nanti
bisa dihimpun oleh pemda. Dilaporkan pada pos khusus mengenai detail
pengelolaannya yang harus menyajikan biaya-biaya pelestarian”.
Anis chariri menganggap dinas pengelola haru melaporkan aset bersejarah tentang
detail-detail pengelolaannya. Laporan keuangan yang disajikan harus lebih informatif
mengenai anggaran yang digunakan dalam pelestariannya. Dana yang dikeluarkan dalam
pelestarian tersebut nantinya dapat di evaluasi. Sasaran evaluasi ini akhirnya dapat
mengetahui tentang serapan kunjungan dan perbaikan material yang dipakai apakah telah
sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi ada juga aset bersejarah yang tidak masuk dalam
laporan keuangan meskipun ada uang yang dikeluarkan dalam pelestariannya, karena aset
86
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bersejarah tersebut dimiliki oleh masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Sugiharta sebagai
koordinator perencanaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar:
“Perlu untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. Tapi ada juga yang tidak
masuk dalam aplikasi kita itu uang nya kita serah terimakan, jadi itu tidak
masuk dalam laporan keuangan kita karena itu milik masyarakat”.
Tidak semua daerah yang memiliki instansi pengelola aset bersejarah, jika ada aset
bersejarah yang terletak di daerah yang tidak mempunyai instansi pengelola tersebut, maka
Balai Pelestarian Cagar Budaya selaku instansi dibawah Kemendikbud bertugas melakukan
pengelolaan langsung terhadap aset bersejarah itu. Tidak semua aset bersejarah tercatat dalam
aplikasi BPCB, karena beberapa diantaranya dimiliki oleh masyarakat. Meskipun
kepemilikan dikuasai oleh masyarakat, tetapi pemerintah mempunyai kewajiban dalam
melestarikannya. Undang-Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 pasal 98 ayat 4
menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana cadangan untuk
penyelamatan cagar budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan
sebagai cagar budaya. Aset bersejarah yang dimiliki oleh masyarakat tidak bisa dimasukan
kedalam laporan keuangan, akan tetapi pemerintah tetap mempunyai tanggung jawab dalam
melakukan pelestarian. Dana perbaikan yang dikeluarkan akan diserah terimakan kepada
pemilik, yang dicatat hanyalah uang yang diserah terimakan tersebut.
Sementara itu Rahmat Gino justru memiliki pandangan yang berbeda, beliau
menganggap hal pelestarian lebih utama ketimbang mengutamakan apakah aset bersejarah
harus dilaporkan dalam laporan keuangan atau tidak. Rahmat Gino Mengatakan bahwa:
“Kalau pribadi saya tidak perlu dilaporkan dalam laporan keuangan karena
akan terbentur dalam pelestarian kedepannya. Untuk aset bersejarah kita
berbicara kualitasnya bukan masalah administrasi keuangan”.
Yang dimaksud Rahmat Gino diatas adalah tentang pelaporan dana yang dianggarkan
untuk pelestarian terkadang tidak sesuai dengan standar biaya yang dikeluarkan oleh Dinas
PU. Aset bersejarah membawa sifat yang fleksibel dan bergantung pada kondisional tertentu,
misalnya ketika pemilihan material kayu yang akan dipakai untuk suatu jenis bangunan,
Dinas PU mensyaratkan harga per kubik sebesar tiga juta rupiah. Pada beberapa jenis
bangunan bersejarah justru tidak bisa memakai kayu yang kelasnya sehargaa tiga juta rupiah
tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan Rahmat Gino bahwa aset bersejarah tidak perlu
87
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
diungkapkan dalam laporan keuangan karena terbentur dengan beberapa administrasi lainnya.
Aset bersejarah harus lebih kepada kualitasnya bukan tentang kuantitas administrasi yang
harus dipenuhi. Jika harus diungkapkan dalaam laporan keuangan harusnya pelestarian aset
bersejarah diberi kebebasan terkait administrasi dan aturan-aturan lainnya dengan catatan
entitas pengelola bekerja dengan baik dan benar serta transparan dan profesional. Berikut ini
adalah tabel 4.12 yang menggambarkan pandangan informan tentang keharusan aset
bersejarah untuk diungkapkan dalam laporan keuangan.
Tabel 4.14 Apakah Aset Bersejarah Harus Dilaporkan Dalam Laporan Keuangan
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Desismon Sesuai dengan PSAP No.7 aset bersejarah
memang perlu kita ungkapkan dalam laporan
keuangan daerah.
Karena ada uang pemerintah yang
dikeluarkan untuk memperoleh,
merawat dan memelihara aset
bersejarah, maka aset bersejarah
harus dilaporkan dalam laporan
keuangan. Dilaporkan dalam laporan
keuangan entitas pengelola
Neni Yunitri Aset bersejarah hanya dilaporkan di laporan
keuangan entitas pengelola.
Sumadi Karena ada uang pemerintah yang dikeluarkan
untuk memperolehnya, merawatnya dan
memeliharanya aset bersejarah harus dilaporkan
dalam laporan keuangan. Dilaporkan dalam
laporan keuangan entitas pengelola.
Sugiharta Perlu untuk diungkapkan dalam laporan
keuangan. Tapi ada juga yang tidak masuk dalam
aplikasi kita itu uang nya kita serah terimakan,
jadi itu tidak masuk dalam laporan keuangan kita
karena itu milik masyarakat.
Aset bersejarah yang dimiliki
pemerintah perlu diungkapkan dalam
laporan keuangan.
Mastur Saya rasa hanya di laporan keuangan pihak
pengelola saja nanti bisa dihiimpun oleh pemda.
Cuma kalau di BPCB kita hanya menyajikan
biaya-biaya pelestarian saja karena kita lebih
mengedepankan pelestarian.
Pelaporan aset bersejrah sebaiknya
dilaporkan oleh dinas pengelola,
nanti bisa dihimpun oleh pemda.
Dilaporkan pada pos khusus
mengenai detail pengelolaannya yang
harus menyajikan biaya-biaya
pelestarian
Anis Chariri Aset bersejarah dan pelaporan nya itu sebaiknya
di dinas pengelola. Dilaporkan pada pos khusus
mengenai detail pengelolaan nya.
Rahmat Gino Kalau pribadi saya tidak perlu dilaporkan dalam
laporan keuangan karena akan terbentur dalam
pelestarian kedepannya. Untuk aset bersejarah
kita berbicara kualitasnya bukan masalah
Aset bersejarah tidak perlu
dilaporkan dalam laporan keuangan
karena akan terbentur dengan usaha
88
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
administrasi keuangan. pelestarian.
Lampiran Coding (Iiv-Ivii)
Pelaporan aset bersejarah dalam laporan keuangan tentu masih menjadi isu yang
sangat hangat, karena dalam praktiknya ada yang menganggap tidak perlu dilaporkan dalam
laporan keuangan. Jikapun dilaporkan dalam laporan keuangan detailnya harus memuat
tentang biaya-biaya pelestarian. Karena sebagai aset kekayaan sekaligus identitas bangsa
tentu hal pelestarian lebih utama daripada mempermasalahkan apakah harus dilaporkan
dalam laporan keuangan atau tidak. Tetapi peneliti menganggap bukan tidak perlu juga untuk
melaporkannya dalam laporan keuangan, karena ini menyangkut entitas publik sebagai pihak
pengelola aset bersejarah agar dapat memperlakukan aset bersejarah lebih transparan dan
akuntabel sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
4.2.3.2 Pos Laporan Keuangan Yang Tepat Untuk Aset Bersejarah
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap telah mengatur bahwa untuk jenis aset
bersejaarah jenis non operasional diungkapkan pada pos CaLK dalam jumlah unit tanpa nilai.
Sedangkan untuk aset bersejarah jenis operasional itu bisa diungkapkan di neraca dan akan
diperlakukan sama seperti aset tetap pada umumnya. Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa
jika jenis operasional bisa diungkapkan di neraca kenapa tidak untuk jenis non operasional
juga bisa dilakukan hal yang sama ataupun sebaliknya. Mengingat kedua-duanya sama sama
aset bersejarah yang dilindungi oleh pemerintah dan Undang-Undang sehingga memerlukan
perlakuan yang khusus. Dalam hal ini Anis Chariri secara umum mengatakan bahwa:
“Kalau aset bersejarah itu bisa diukur dalam tanda petik berdasarkan harga
perolehan atau ganti rugi tadi mungkin itu bisa masuk dalam pos neraca, untuk
yang tidak bisa memunculkan nilai karena tidak ada transaksinya itu bisa saja
masuk di CaLK. Tapi bagi saya yang penting itu bukan nilai rupiahnya, karena
sampai kapanpun nilai rupiah tidak mencerminkan nilai aset bersejarah yang
sebenarnya. Yang terpenting adalah informasi mengenai mengelola dana
untuk memperbaiki dan merenovasi dalam rangka mempertahankan aset
bersejarah”.
Berdasarkan pemaparan tersebut Anis Chariri menganggap bahwa nilai rupiah yang
harus ditampilkan tentang aset bersejarah bukanlah menjadi hal yang utama dalam laporan
keuangan. Informasi-informasi terkait pengelolaan dana yang digunakan dalaam merenovasi
atau memperbaiki aset bersejarah harus dibahas lebih detail dalam laporan keuangan, agar
publik dapat melihat transparansi dan keseriusan pemerintah dalam mempertahankan aset
bersejarah. Aset bersejarah yang diungkapkan di neraca otomatis akan dilakukan
89
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
penyusutannya, akan tetapi penyusutan yang dimaksud bukan untuk mengurangi nilai dari
aset bersejarah tersebut. Penyusutan dilakukan agar pemerintah mendapatkan proses berkala
yang pasti dalam melakukan renovasi atau perbaikan aset bersejarah.
Sementara itu Mastur dan Sumadi memiliki pendapat yang hampir sama, karena hal
ini berkaitan dengan peran kurator yang mampu memberikan nilai pada aset bersejarah yang
dibahas pada proses pengukuran dan penilaian sebelumnya. Mastur dan Sumadi menganggap
adanya sebuah keharusan untuk mengungkap aset bersejarah di neraca jika pada aset
bersejarah tersebut terdapat nilai rupiah yang melekat. Dan setelah itu untuk nilai yang tak
tergambarkan oleh rupiah juga harus diungkap di dalam CaLK. Mastur mengatakan bahwa:
“Saya pribadi menginginkan ada nilai rupiah disitu, selain ada nilai rupiah
harus dijelaskan di CaLK terkait informasi-informasi yang tidak bisa
digambarkan dengan angka”.
Peneliti berasumsi hal yang disampaikan Mastur sangat memungkinkan sekali setiap
aset bersejarah bisa tergambar dalam satuan rupiah jika peran kurator telah dimaksimalkan
melalu peraturan pemerintah dan pelatihan-pelatihan khusus kurator. Hampir senada dengan
Mastur, Sumadi mengatakan:
“Untuk nilai intrinsiknya itu harus di CaLK dan nilai ekstrinsiknya seperti
harga perolehan itu bisa di neraca. Tapi berdasarkan tadi harusnya semua
diungkapkan di neraca sebagai aset lainnya”.
Yang dimaksud Sumadi dalam hal ini adalah harus ada kemaksimalan peran seorang
kurator dalam memberikan nominalisasi agar aset bersejarah tersebut semuanya bisa
diungkap di neraca. Nilai intrinsik yang diungkap didalam CaLK misalnya bagaimana proses
perolehannya, proses penilaiannya, berapa jangka waktu dalam merenovasinya dan nilai
penting apa yang terkandung didalam aset bersejarah tersebut. Pengungkapan pada dua pos
ini diharapkan dapat menampilkan informasi yang transparan dan akuntabel dalam pelaporan
aset bersejarah pada laporan keuangan.
Jika melihat kepada kebijakan akuntansi yang dibuat oleh pemerintah Sawahlunto
terdapat fakta menarik bahwa aset yang digunakan untuk kegiatan operasional pun
diungkapkan dalam CaLK. Meskipun kebijakan ini berseberangan dengan PSAP No.7 Neni
Yunitri sebagai kepala seksie akuntansi pemerintah kota Sawahlunto menegaskan bahwa:
90
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Kalau untuk aset bergerak seperti koleksi yang ada harga perolehannya itu
dilaporkan di neraca pada pos aset tetap lainnya. Untuk gedung yang
merupakan aset tidak bergerak meskipun dipakai untuk operasional itu
dilaporkan di CaLK”.
Hal ini menarik sekali, karena didalam PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap
untuk benda koleksi itu masuk dalam kategori aset bersejarah jenis non operasional dan
cukup diungkapkan didalam CaLK saja tanpa nilai. Aset bersejarah jenis operasional
merupakan aset bersejarah yang disamping mempunyai nilai sejarah dan budayanya, juga
dimanfaatkan dalam kegiatan operasional sehari-hari pemerintahan seperti gedung
perkantoran. PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap mensyaratkan aset jenis operasional
dicatat dalam neraca, akan tetapi pemerintah kota Sawahlunto mencatatnya didalaam CaLK
meskipun dipakai sebagai gedung perkantoran pemerintah. Termasuk dalam hal ini Kantor
Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman yang merupakan Museum
Gudang Ransoem juga dicatat di CaLK.
Didalam Kebijakan Akuntansi Kota Sawahlunto Bab 11 tentang aset tetap dan
penyusutan menyebutkan bahwa aset bersejarah harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya
jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monumen didalam Catatan atas Laporan
Keuangan dengan tanpa nilai. Biaya untuk perolehan, konstruksi, peningkatan, rekonstruksi
harus dibebankan dalam laporan operasional sebagai beban tahun terjadinya pengeluaran
tersebut. Beban tersebut termasuk seluruh beban yang berlangsung untuk menjadikan aset
bersejarah tersebut dalam kondisi dan lokasi yang ada pada periode berjalan.
Selanjutnya pada Bab 13 dijelaskan bahwa aset tidak berwujud yang berasal dari aset
bersejarah (heritage assets) tidak diharuskan untuk disajikan di neraca, namun aset tersebut
harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Namun apabila ATB bersejarah
tersebut didaftarkan untuk memperoleh hak paten, maka hak patennya dicatat di neraca
sebesar nilai pendaftarannya. Aset yang memenuhi definisi dan syarat pengakuan aset tak
berwujud, namun biaya perolehannya tidak dapat ditelusuri dapat disajikan sebesar nilai
wajar.
Sementara itu, didalam CaLK Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman Bagian 5.1.6 tentang aset bersejarah menyebutkan bahwa pada SKPD
Kantor Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman juga terdapat aset yang tidak dapat
diukur nilainya dengan uang karena faktor sejarah dan budaya, berupa aset bersejarah. Aset
bersejarah tersebut dikategorikan dalam 2 kategori yaitu koleksi berupa benda cagar
91
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
budaya bergerak dan benda cagar budaya tidak bergerak. Terkait aset bersejarah berupa
barang bergerak (koleksi) telah dicatat dalam aset tetap (aset tetap lainnya) dan telah
diregister dalam koleksi museum sesuai ketentuan Kementerian Bidang Kebudayaan.
Sedangkan aset bersejarah berupa barang tidak bergerak (Benda Cagar Budaya) tidak
seluruhnya dimiliki dan dikuasai dikuasai oleh Pemerintah Kota Sawahlunto. Berdasarkan
inventarisasai Balai Pelestarian Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar sampai dengan
tahun 2015, cagar budaya tidak bergerak di Kota Sawahlunto berjumlah 74 (tujuh puluh
empat) unit dan dalam tahun 2015 tidak dilakukan inventarisasi sehingga kondisi akhir
tahun 2015 masih sama dengan kondisi akhir tahun 2011 (tidak ada bertambah dan tidak
ada berkurang) sebagai berikut:
NO. KECAMATAN NAMA CAGAR BUDAYA
1. Barangin 1. Kantor Pusat UPO
2. Mess Bujangan I
3. Mess Bujangan II (W-1)
4. Kantor Polsekta
5. Kantor Periska
6. Gedung Pertemuan PT TBO (Gedung 100 Jendela)
7. Asrama Karyawan PT. TBO
8. Rumah Adat Kolok
9. Rumah Pak Jumalik
10. Rumah Pak Situmorang
11. Rumah Karyawan PT. TBO
12. Masjid Nurul Huda
13. Pasar Durian
14. Mess Canada
15. Mess Australia
16. Makam Belanda (Rumah Hunian W-30)
17. Rumah Hunian W-29
18. Rumah Hunian W-28
92
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
19. Lubang Terowongan Saringan
20. Rumah Absetter
21. Sizing Plant dan Bengkel Utama
22. Saringan Tua
23. Gedung Kompress II
24. Lubang Transport Cemara
2 Lembah Segar 1. Rumah Dina Kapolsek
2. Rumah Ibu Yanti
3. Rumah dr. Ichsan
4. Gedung Kebudayaan (eks. Bank Mandiri/ BDN)
5. Bank BRI (eks. Pegadaian)
6. Kantor Koperasi PT TBO
7. Gereja Katholik
8. Asrama Susteran St Lucia
9. Sekolah Santa Lucia
10. Asrama karyawan PT TBO
11. Bangunan Penjagalan Sapi
12. Rumah Dajmi Ismail
13. Mess Bujangan
14. Rumah Fak Sin Kek
15. Rumah Barisan Muka
16. Poliklinik Ombilin (Eks.)
17. RSUD Sawahlunto
18. Rumah Dinas Dokter RSUD/dr. Nyoman
19. Rumah Kel. Baini
20. Rumah Ketua Pengadilan
21. Rumah Ketua Kejaksaan
22. Rumah Dinas Walikota
23. Rumah Dinas Kejaksaan
93
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
24. Rumah Hanafi/Rumah Dinas Kesehatan
25. Rumah Karyawan PJKA
26. Stasiun Kereta Api Sawahlunto
27. Wisma Ombilin
28. Perpustakaan Adinegoro (Eks. Bioskop)
29. Eks. Gudang Ransum (Museum/Kantor DKPBP)
30. Masjid Agung Nurul Islam
31. Sentral Listrik Masjid Agung Nurul Islam
32. Rumah Dinas Kepala DKK
33. Rumah Dinas Pengadilan
34. Lubang Tambang Mbah Soero
3. Silungkang 1. Rumah Adat Silungkang
2. Tugu Silungkang
3. Komplek Makam Keramat Silungkang
4. Stasiun Kereta Api Silungkang
5. Terowongan KA (Lubang Kalam)
6. Stasiun KA Muaro Kalaban
4. Talawi 1. Makam Keramat Batu Tanjung
2. Bangunan Asrama (PLTU ?)
3. Rumah Tinggi/Karyawan PT TBO
4. Kompleks Sentral Lama (PLTU)
5. Poliklinik Tugu Mandiri
6. Rumah Pak Sofyan
7. Rumah Gadang Talawi
8. Makam Syech Kolok
9. Makam Syech Tumpok
Sumber : CaLK DKPBP (2015)
Berdasarkan daftar aset bersejarah yang diungkap dalam CaLK Dinas Kebudayaan
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto tersebut menunjukan bahwa
94
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
terdapat banyak sekali aset bersejarah yang digunakan sebagaai gedung perkantoran yang
seharussnya diungkap didalam neraca, termasuk museum gudang ransum sendiri yang
dipakai sebagaai kantor Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman.
Terkait aset bersejarah berupa barang bergerak (koleksi) telah dicatat dalam aset tetap (aset
tetap lainnya) dalam neraca dan telah diregister dalam koleksi museum sesuai ketentuan
Kementerian Bidang Kebudayaan. Tabel berikut merupakan potongan neraca Dinas
Kebudayaaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman.
Tabel 4.15 Potongan Neraca Dinas Kebudayaaan Peninggalan Bersejarah dan
Permuseuman Kota Sawahlunto
NO URAIAN RESTATEMENT 2014 2015
1 2 3 4
ASET TETAP
Tanah
Peralatan dan Mesin 1.909.337.157 130.928.538
Gedung dan Bangunan 1.320.844.605
Jalan, Irigasi dan Jaringan 46.805.000
Aset Tetap Lainnya 494.916.300 43.700.000
Konstruksi dan Pengerjaan
Akumulasi Penyusutan Aset Tetap
Jumlah Aset Tetap (s/d) 3.771.903.062
174.628.538
Sumber : Neraca DKPBP (2015)
Berdasarkan tabel tersebut benda bersejarah jenis koleksi dihimpun dalam aset tetap
lainnya karena mempunyai nilai yang berasal dari biaya ganti rugi sebagaimana dibahas
peneliti sebelumnya (tentang pengukuran dan penilaian serta pembahasan CaLK). Didalam
PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap benda koleksi bersejarah masuk dalam kategori
aset bersejarah jenis non operasional dan diungkap didalam CaLK. Kebijakan akuntansi
pemerintah kota Sawahlunto memang sangat berbeda dengan apa yang telah digariskan oleh
PSAP. Tapi hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat pada pembahasan sebelumnya (tentang
perolehan aset bersejarah) peneliti menemukan fakta bahwa aset bersejarah di kawasan Kota
Lama Sawahlunto tidak semuanya dimiliki oleh pemkot Sawahlunto. Hal tersebut memaksa
95
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pemkot Sawahlunto untuk membuat kebijakan yang berbeda dengan PSAP. Dalam hal ini
pemerintah kota Sawahlunto mengkategorisasikan aset berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagaaimana telah dibahas
sebelumnya (tentang klasifikasi aset bersejarah) yaitu pengklasifikasian berdasarkan aset
bergerak dan tidak bergerak, sedangkan didalaam PSAP No.7 Tahun 2010 pengklasifikasian
aset bersejarah berdasarkan operasional dan non operasional. Tabel 4.14 berikut
menggambarkan pemaahaman informan terkait tentang pengungkapan aset bersejarah dalam
laporan keuangan.
Tabel 4.16 Pengungkapan Aset Bersejarah Dalam Laporan Keuangan
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Kalau aset bersejarah itu bisa diukur dalam
tanda petik berdasarkan harga perolehan atau
ganti rugi tadi mungkin itu bisa masuk dalam
pos neraca, untuk yang tidak bisa memunculkan
nilai karena tidak ada transaksinya itu bisa saja
masuk di CaLK. Tapi bagi saya yang penting itu
bukan nilai rupiahnya, karena sampai kapanpun
nilai rupiah tidak mencerminkan nilai aset
bersejarah yang sebenarnya. Yang terpenting
adalah informasi mengenai mengelola dana
untuk memperbaiki dan merenovasi dalam
rangka mempertahankan aset bersejarah.
Jika aset bersejarah diketahui harga
perolehannya maka dapat
diungkapkan dalam pos neraca,
sedangkan untuk aset bersejarah yang
tidak ada nilai transaksinya bisa
dimunculkan pada pos CaLK.
Informasi menngenai detail
pengelolaan dan renovasi sangatlah
penting ditampilkan dalam laporan
keuangan.
Neni Yunitri Kalau untuk aset bergerak seperti koleksi yang
ada harga perolehannya itu dilaporkan di neraca
pada pos aset tetap lainnya. Untuk gedung yang
merupakan aset tidak bergerak meskipun
dipakai untuk operasional itu dilaporkan di
CaLK.
Untuk jenis koleksi yang diketahui
harga perolehannya ditampilkan di
neraca dan aset tidak bergerak
ditampilkan di CaLK.
Sumadi Untuk nilai intrinsiknya itu harus di CaLK dan
nilai ekstrinsiknya seperti harga perolehan itu
bisa di neraca. Tapi berdasarkan tadi harusnya
semua diungkapkan di neraca sebagai aset
lainnya.
Aset bersejarah harus diungkapkan di
neraca dengan nilai rupiahnya. Hal
lain yang tidak tergambarkan dengan
angka-angka yaitu nilai intrinsik, bisa
dijelaskan detailnya didalam CaLK
Mastur Saya pribadi menginginkan ada nilai rupiah
disitu, selain ada nilai rupiah harus dijelaskan di
CaLK terkait informasi-informasi yang tidak
bisa digambarkan dengan angka.
Lampiran Coding (Ivii-Iviii)
96
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Berdasarkan tabel diatas penulis beranggapan bahwa aset bersejarah masih menjadi
perdebataan para ahli atau praktisi dalam mengungkapkannya didalam laporan keuangan.
Selain itu PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap memang terbukti masih bersifat normatif
dalaam mengatur bagaaimanaa perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah, karena temuan di
lapangan sebagaaimanaa telah dibahas sebelumnya membuktikan bahwa perlakuan aset
bersejarah di Kawasan Kota Lama Sawahlunto berbedaa dengan yang diatur oleh PSAP.
4.2.3.3 Pelestarian Aset Bersejarah
Aset bersejarah merupakan barang publik yang berharga dan membawa atribut-atribut
unik yang berkaitan dengan budaya, sejarah, pendidikan, pengetahuan, dan lingkungan yang
dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya dalam waktu yang tidak terbatas. Melestarikan
dan mempertahankan aset bersejarah tentunya akan diperlukan proses pemugaran secara
berkesinambungan agar aset bersejarah tersebut tetap sesuai dengan kondisi semulanya.
Undang-Undang Republik Indonesia no.11 tahun 2010 pasal 1 disebutkan bahwa benda cagar
budaya perlu dilakukan pelestarian, perlindungan dan penyelamatan. Pelestarian adalah
upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Perlindungan adalah upaya mencegah
dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan,
pengamaanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya. Penyelamatan adalah
upaya menghindarkan, dan/atau menanggulangi cagaarbbudaya dari kerusakan, kehancuran
atau kemusnahan. Sugiharta dan Mastur secara umum mengatakan bahwa:
“Biaya memugar yang kita anggarkan sesuai dengan alokasi anggaran yang
diberikan oleh pemerintah dan terserah anggaran darimana saja, yang jelas
disini kita sebagai perwakilan institusi Kemendikbud pusat kita
mengalokasikan anggaran yang telah dialokasikan oleh pusat untuk
pelestarian. Ini masuknya ke beban pemeliharaan dan pelestarian. Yang
dipugar bukan hanya milik negara saja yang milik masyarakat juga itu
berdasarkan kebutuhan karena tidak setiap tahun kita memugar aset yang
sama”.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia no.11 tahun 2010 tentan cagar
budaya pasal 98 menyebutkan bahwa Pendanaan pelestarian cagar budaya menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Balai pelestarian cagar
budaya juga memfasilitasi biaya pemugaran cagar budaya yang dimiliki oleh masyarakat jika
masyarakat tersebut tidak mampu membiayai pemugaran aset bersejarah yang dimilikinya.
97
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Setiap tahun dilakukan pemugaran terhadap benda cagar budaya yang kondisinya memang
sangat memerlukan renovasi atau perbaikan.
Dalam melestarikan dan mempertahankan aset bersejarah melakukan pemugaran
merupakan hal yang sangat penting. Bahkan biaya pemugaran tersebut harus disusutkan
setiap tahun agar ada suatu periode yang dimana mengharuskan entitas pengelola untuk terus
melakukan pemugarannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Anis Chariri:
“Yang penting dalam aset bersejarah itu adalah biaya pemugaran,
mempertahankan aset bersejarah supaya bisa bertahan lama. Bisa juga ini
dilakukan penyusutan tetapi penyusutan untuk biaya memugarnya bukan
bangunannya. Dalam hal ini untuk biaya pemugarannya itu dipisah dengan
posisi pengungkapan aset nya”.
Berdasarkan pemaparan Anis Chariri, dapat dilihat bahwa biaya pemugaran harus
dipisah pengungkapaannya dengan pos pengungkapan aset bersejarah tersebut didalam
laporan keuangan. Nantinya biaya pemugaran tersebut dapat disusutkan setiap tahun agar
pemerintah memiliki patokan waktu dalam memugar aset bersejarah secara berkala. Hal ini
diharapkan dapat membantu pemerintah dalam melakukan pemugaran aset bersejarah secara
berkesinambungan agar aset bersejarah tetap dapat dijaga kelestariannya. Sementara itu
meskipun pemerintah kota Sawahlunto tidak sepenuhnya memiliki aset bersejarah yang ada
di kawasan kota lama tersebut, namun pemkot Sawahlunto tetap mengedepankan pelestarian
dengan melakukan pemugaran tanpa harus menambah nilai aset tersebut. Neni Yunitri dan
Sumadi mengatakan bahwa:
“Kita mengakomodir itu meskipun aset bersejarah disini rata-rata bukan milik
kita semua, untuk biaya memugar itu tidak menambah nilai aset. Kalaupun ada
uang yang dikeluarkan itu dianggap sebagai uang operasional yang hilang
sebagi beban pemeliharaan saja”.
Aset bersejarah menjadi tanggung jawab bersama dalam hal pelestarian. Pemerintah
kota Sawahlunto sangat bertanggungjawab dalam mempertahankan keberlangsungan aset
bersejarah, meskipun terdapat banyak aset bersejarah pada Kawasan Kota Lama Sawahlunto
tidak dimiliki oleh pemkot Sawahlunto. Uang yang dikeluarkan untuk melakukan
pemmugaran tersebut tidak berarti menambah nilai set bersejarah tersebut. Nantinya uang
yang dipakai dalam melakukan pemugaran dicatat dalam laporan operasional sebagai beban
pemeliharaan. Lalu Desismon dan Rahmat Gino juga menambahkan lebih jelas tentang
anggaran untuk memugar aset bersejarah dan pemilihan aset bersejarah yang dipugar
berdasarkan skala prioritas yang telah ditentukan, Desismon mengatakan:
98
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Setiap tahun ada kita anggarkan biaya untuk memugar aset bersejarah, dalam
pemugaran itu kita membuat skala prioritas mana yang paling utama untuk
dipugar”.
Rahmat Gino mempertegas hal yang disampaikan Desismon dengan mengatakan:
“Kita menterjemahkan undang-undang, barang yang diduga sebagai cagar
budaya itu perlindungannya sama seperti benda cagar budaya. instansi kita
punya anggaran untuk revitalisasi, konservasi pemugaran ada dana nya
walaupun aset bersejarah itu bukan milik kita. Dana pemugaran tersebut bisa
berasal dari APBN dan APBD, ada juga yang kita mengajukan proposal dulu.
Nanti aset bersejarah yang akan dipugar itu dipilih berdasarkan urgensinya”.
Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto
selalu membuat anggaran setiap tahunnya untuk memugar aset bersejarah. Nantinya aset
bersejarah yang akan dipugar dipilih berdasarkan skala prioritas yang telah ditentukan.
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto No.9 tahun 2016 tentang pelestarian dan pengelolaan
cagar budaya pasal 5 menyebutkan bahwa:
1. Pendanaan pelestarian cagar budaya menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
2. Pendanaan yang dimaksud pada ayat 1 berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daeraah
c. Hasil pemanfaatan Cagar Budaya
d. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pelestarian aset bersejarah di Sawahlunto dikaji dan dilakukan oleh tenaga ahli
pelestarian. Undang-Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 pasal 1 ayat 14
menyebutkan bahwa tenaga ahli pelestarian adalah orang yang karena kompetensi
keahliannya di bidang perlindungan, pengembangan, atau pemanfaatan cagar budaya.
Selanjutnya Peraturan Daerah Kota Sawahlunto No.9 tahun 2016 pasal 9 menerangkan
bahwa:
1. Pelestarian cagar budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif
99
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2. Pelestarian cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilaksanakan
atau dikoordinasikan oleh tenaga ahli pelestarian dengan memperhatikan etika
pelestarian
3. Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari
pemerintah daerah atas upaya pelestarian cagar budaya
Selanjutnya koordinasi pelestarian cagar budaya juga diatur dalaam Peraturan Daerah
Kota Sawahlunto No.9 tahun 2016 dalam pasal 11 :
1. Pemerintah daerah mengkoordinasikan pelestarian cagar budaya antar semua
pihak agar tercipta satu kesatuan pelestarian cagar budaya
2. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalm hal:
a. Penetapan batas situs dan kawasan cagar budaya
b. Pembangunan infrastruktur pada situs dan kawasan cagar budaya
c. Penyusunan pedoman peleestraian cagar budaya
d. Penyusunan rencana induk pelestraian cagar budaya
e. Penyelamatan cagar budaya dalam keadaan darurat atau bencana
Pelestarian aset bersejarah harus memperhatikan etika pelestarian cagar budaya dan
arahan pelestarian cagar budaya. Arahan pelestarian cagar budaya menyebutkan bahwa setiap
orang yangmemiliki dan/atau menguasai cagar budaya harus mengikuti arahan kebijakan
pelestraian. Arahan kebijakan pelestarian berisi hal-hal yang harus dipertimbangkan dalaam
pelestarian cagar budaya (Perda Sawahlunto No.9, 2016). Selanjutnya sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Daerah Kota Sawahlunto No.9 Tahun 2016 pasal 13 etika
pelestarian yang dimaksud adalah:
1. Pemerintah daerah menetapkan etika pelestarian cagar budaya
2. Etika Pelestarian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah:
a. Jujur dalam menyatakan kondisi yang sebenarnya dari cagar budaya terkait
dengan niklai penting, keaslian, dan/atau keutuhan cagar budaya
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, adat istiadat, nilai budaya serta
pamdangan masyarakat
c. Bersikap terbuka kepada pemerintah daerah, pemerintah kota dan masyarakat
dalam memberikan informasi cagar budaya
d. Tidak terlibat dalam perdagangan cagar buday secara ilegal
e. Menjaga kerahasiaan sumber informasi jika diperlukan
100
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
f. Menelusuri hasil kajian yang pernah dilakukan
g. Menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, keberagaman budaya,
kearifan lokal, dan citra keistimewaan daerah
h. Mengedepankan kepentingan masyarakat
i. Menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup
j. Memperhatikan standar/baku mutu penelitian akademis sesuai dengan bidang
kajian.
Aset bersejarah sebagai aset bangsa yang membawa karakteristik unik serta membawa
unsur kultural dan sejarah yang melekat memang perlu untuk selalu dilestarikan. Pelestarian
aset bersejarah harus mempertimbangkan beberapa aspek pelestarian yaang dituangkan
didalam peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Peraturan tersebut
bertujuan agar pelestarian aset bersejarah tetap dalam satu tujuan yaitu mempertahankan
keberlangsungan aset bersejarah dimasa mendatang. Tabel 4.15 berikut ini menghimpun
pandangan informan tentang bagaiman memugar aset bersejarah.
Tabel 4.17 Pemugaran Aset Bersejarah
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Yang penting dalam aset bersejarah itu adalah
biaya pemugaran, mempertahankan aset
bersejarah supaya bisa bertahan lama. Bisa juga
ini dilakukan penyusutan tetapi penyusutan
untuk biaya memugarnya bukan bangunannya.
Dalam hal ini untuk biaya pemugarannya itu
dipisah dengan posisi pengungkapan aset nya.
Biaya pemugaran dipisah dengan posisi
pengungkapan asetnya. Biaya
pemugaran yang dikeluarkan bisa
disusutkan, akan tetapi bangunannya
tidak boleh disusutkan.
Neni Yunitri Kita mengakomodir itu meskipun aset
bersejarah disini rata-rata bukan milik kita
semua, kalaupun ada pengeluaran untuk rehab
segala macam itu masuknya sebagai belanja
pemeliharaan.
Kita mengakomodir itu meskipun aset
bersejarah disini rata-rata bukan milik
kita semua, untuk biaya memugar itu
tidak menambah nilai aset. Kalaupun
ada uang yang dikeluarkan itu
dianggap sebagai uang operasional
yang hilang sebagi beban pemeliharaan
saja Sumadi Untuk biaya memugar itu tidak menambah nilai
aset, itu dianggap sebagai uang operasional
yang hilang sebagi beban pemeliharaan saja.
Sugiharta Biaya memugar yang kita anggarkan sesuai
dengan alokasi anggaran yang diberikan oleh
pemerintah. Yang dipugar bukan hanya milik
negara saja yang milik masyarakat juga itu
berdasarkan kebutuhan karena tidak setiap tahun
Biaya memugar yang dianggarkan
sesuai dengan alokasi anggaran yang
diberikan oleh pemerintah dan sumber
dananya bisa darimana saja dan masuk
ke beban pemeliharaan dan pelestarian.
101
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kita memugar aset yang sama.
Pemugaran berdasarkan kebutuhan
karena tidak setiap tahun aset yang
sama akan dipugar.
Mastur Masalah anggaran memugar terserah anggaran
darimana sajaa, yang jelas disini kita sebagai
perwakilan institusi Kemendikbud pusat kita
mengalokasikan anggaran yang telah
dialokasikan oleh pusat untuk pelestarian. Ini
masuknya ke beban pemeliharaan dan
pelestarian.
Rahmat Gino Kita menterjemahkan undang-undang barang
yang diduga sebagai cagar budaya itu
perlindungannya sama seperti benda cagar
budaya. instansi kita punya anggaran untuk
revitalisasi, konservasi pemugaran ada dana nya
walaupun aset bersejarah itu bukan milik kita.
Dana pemugaran tersebut bisa berasal dari
APBN dan APBD, ada juga yang kita
mengajukan proposal dulu. Nanti aset
bersejarah yang akan dipugar itu dipilih
berdasarkan urgensinya.
Barang yang patut diduga sebagai
benda cagar budaya akan sama
perlakuannya dengan benda cagar
budaya. Setiap tahun akan ada
anggaran untuk memugar aset
bersejarah. aset bersejarah yang akan
dipugar dipilih berdasarkan urgensinya.
Desismon Setiap tahun ada kita anggarkan biaya untuk
memugar aset bersejarah, dalam pemugaran itu
kita membuat skala prioritas mana yang paling
utama untuk dipugar.
Lampiran Coding (Iviii-Ix)
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pelestarian aset bersejaraah
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Biaya pemugaran
bisa bersumber darimana saja baik itu dari APBN, APBD ataaupun sumber dana lain yang
tidak mengikat dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Biaya memugar aset
bersejarah tidak dapat menambah nilai aset, pencatatannya harus dipisahkan dengan pos
pengungkapan aset bersejarah tersebut didalam laporan keuangan. Dalam hal ini pihak
pengelola aset bersejarah terus membuat anggaran untuk melakukan pemugaran demi
keberlangsungan aset bersejarah. Biaya pemugaran nantinya diharapkan dapat disusutkan
setiap tahun sebagai dasar patokan waktu pemugaran aset bersejarah secara berkala, agar
nantinya aset bersejarah ini bisa dinikmati oleh anak cucu bangsa bahwa memang inilah
sejarah bangsa yang harus selalu dijaga.
102
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4.2.4 Kesesuaian Dengan Standar Akuntansi Yang Berlaku
4.2.4.1 Apakah PSAP No.7 Tahun 2010 Dapat Mengcover Aset Berejarah
PSAP No.7 selaku standar akuntansi yang berlaku saat ini memang mengatur
bagaimana perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah dalam bagian aset tetap. Jika ditinjau
dari definisi, karakteristik, dan ciri-ciri dari aset bersejarah secara garis besar memiliki
kesamaan dengan aset tetap. Karena aset bersejarah memiliki potensi jasa dan manfaat
ekonomis masa depan. Pemerintah mengupayakan untuk melestarikan aset bersejarah
tersebut dengan cara memelihara, merawat, dan mempertahankan nilainya untuk kepentingan
pelayanan publik. Tujuan utama pemeliharaan ini bukan untuk memperoleh pendapatan atau
keuntungan sendiri bagi pemerintah, namun untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa
sejarah juga tidak boleh terlupakan dan aset bersejarah merupakan bukti bahwa telah terjadi
suatu kejadian penting yang mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara.
Peneliti merasa PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap belum mengatur terlalu
detail bagaimana aset bersejarah seharusnya diperlakukan. Mastur (2017) mengatakan bahwa
“menurut saya PSAP ini belum bisa mengcover segala permasalahan aset bersejarah”.
Pernyataan Mastur lalu dipertegas oleh Anis Chariri (2017) dengan mengatakan untuk aset
bersejarah mungkin sulit. Terkait aset bersejarah mengangkut unsur pendidikan, budaya dan
sejarah salah satunya berkaitan dengan pengelolaan aset bersejarah. Jika standar tersebut
belum mengatur terlalu detail berarti belum.
Anis chariri menganggap PSAP No.7 tentang aset tetap masih mengalami kesulitan
dalam mengcover aset bersejarah. Didalam PSAP tersebut tidak mengatur bagaimana proses
pengakuan aset bersejarah secara terperinci. Detail pengelolaan dan pendanaan renovasi aset
bersejarah seharusnya dijelaskan lebih detail didalam PSAP mengingat dalam hal ini aset
bersejarah tidak bisa disamakan dengan aset tetap pada umumnya meskipun ada kemiripan
antara aset tetap dan aset bersejarah, bahkan PSAP tidak memuat hal yang dimaksud oleh
Anis Chariri tersebut. Lalu peneliti mencoba mengkonfirmasi kepada Neni Yunitri selaku
kepala seksie akuntansi Pemerintah Kota Sawahlunto yang merupakan tempat objek
penelitian ini dilakukan. Berdasarkan pengalaman yang dialami Neni Yunitri (2017)
mengatakan PSAP No.7 terlalu sedikit mengatur mengenai aset bersejarah otomatis
permasalahaan di Sawahlunto tidak tercover.
103
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
PSAP memang sangat sedikit dalam menjelaskan detail bagaimana perlakuan
akuntansi untuk aset bersejarah. Neni Yunitri menganggap hal yang diatur tentang aset
bersejarah didalam PSAP hanya sekedar kulitnya saja sehingga permasalahan aset bersejarah
di Sawahlunto belum tercover secara maksimal. Berseberangan dengan pendapat tiga
informan sebelumnya Sumadi merasa justru bukan standar nya yang salah, melainkan
keterjadiannya lah yang dirasa Sumadi lemah. Sumadi yang pernah menjabat sebagai kepala
divisi keuangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sawahlunto sebelum akhirnya Dinas
tersebut dipecah menjadi dua bagian yang terpisah berpendapat bahwa, selaku standar
akuntansi selagi pemerintah bersifat transparan dan accountable tidak ada yang salah, yang
lemah itu transaksinya dan keterjadiannya (Sumadi, 2017)
Pendapat dari Sumadi sangat menarik ditengah pendapat banyak informan yang
mengeluhkan tentang standar akuntansi ini. Tentu hal tersebut bukan hanya pendapat buta
semata, mengingat pengalaman Sumadi yang dulu sempat di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sebelum akhirnya menjabat sebagai kepala keuangan Dinas Pemuda dan
Pariwisata Kota Sawahlunto. Keterjadian yang salah dimaksud Sumadi adalah peran kurator
yang belum berfungsi secara maksimal. Kurator mampu mmberikan nominalisasi terhadal
benda koleksi cagar budaya, seharusnya kurator juga harus mampu melakukan nominalisasi
untuk jenis benda cagar budaya yang lain. Peran kurator dapat dimaksimalkan dengan
mengadakan pelatihan-pelatihan yang di bisa diselenggarakan oleh pemerintah. Selama ini
inti permasalahan aset bersejarah terletak pada proses penilaiannya, sehingga menjadi sebuah
problem untuk mencatatnya karena ada aset bersejarah yang ternilai dan tak ternilai. Ketika
peran kurator telah maksimal dan mampu memberikan penilaian terhadap semua jenis aset
bersejarah, maka aset bersejarah akan mendapat perlakuan yang lebih pasti dalam hal
perlakuan akuntansi. Terkait masalah kesesuaian dengan standar ini peneliti hanya memang
menanyakan kepada informan yang hanya berkaitan dengan keuangan dan pihak akademisi
saja. Karena informan yang menjabat di bagian keuangan dan akademisi lah yang dirasa
berkompeten untuk memberikan keterangan berdasarkan pemahaman dan pengalaman
mereka.
Selanjutnya peneliti menanyakan tentang kesulitan menerapkan PSAP No.7 tahun
2010 tentang aset tetap yang dialami oleh praktisi keuangan pada kawasan Kota Lama
Sawahlunto. Peneliti hanya mengkonfirmasi kepada tiga orang informan saja yang dimana
informan tersebut memang terlibat langsung dalam membuat kebijakan akuntansi serta
104
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menjalankan kegiatan akuntansi sesuai dengan tupoksi nya pada entitas masing-masing.
Peneliti mencoba mendalami apakah ada kesulitan yang dialami dalam hal menyesuaikan
PSAP No.7 dalam memperlakukan aset bersejarah. Serta permasalahan-permasalahan
kondisional yang terjadi di Sawahlunto sehingga menyulitkan informan dalam menerapkan
PSAP No.7. Secara umum Mastur mengatakan bahwa:
“Harusnya ada perlakuan yang pasti. Karena ketika ada orang yang nanya
seperti ini seharusnya saya bisa menjawab, berarti kan ini belum sesuai”.
Mastur sebagai kepala keuangan Balai Pelestarian Cagar Budaya menyebutkan bahwa
seharusnya aset bersejarah harus diperlakukan secara lebih pasti oleh PSAP, karena PSAP
tidak begitu memperlakukan dengan baik tentang aset bersejarah. Neni Yunitri kembali
mengeluhkan PSAP No.7 yang belum terlalu detail dalam memperlakukan aset bersejarah.
Karena menurut Neni sendiri setiap daerah pasti berbeda-beda kasusnya. Sesuai dengan itu
Neni menjelaskan bahwa:
“Karena PSAP tadi belum terlalu detail mengatur aset bersejarah otomatis
perlakuan akuntasinya juga jadi rancu, masih di awang-awang belum
menyentuh ke inti permasalahan yang dihadapi, karena setiap daerah mungkin
permasalahannya berbeda-beda”.
PSAP No.7 masih berbicara secara normatif saja terkait perlakuannya terhadaap aset
bersejarah, karena hal-hal mendetail terkait bagaimana pengelolaan dan pelestarian belum
menyentuh kepada inti permasalahannya. Permasalahan di Sawahlunto yaitu tidak semua aset
bersejarah yang dimiliki oleh pemkot Sawahlunto dan pada akhirnya pemkot Sawahlunto
tidak memperlakukan aset bersejarah sebagaimana yang telah diatur oleh PSAP. Neni Yunitri
menganggap bahwa jika berpatokan kepada PSAP maka solusi dari permasalahan ini tidak
akan terjawab oleh PSAP, makanya kebijakan akuntansi yang dibuat pemkot Sawahlunto
terpaksa harus berseberangan dengan yang diatur oleh PSAP. Indonesia yang mempunyai
ragam kebudayaan yang berbeda-beda pastinya mempunyai problem yang berbeda-beda
disetiap daerah, oleh karena itu seharusnya PSAP bisa melakukan keseragaman dengan
memberikan perlakuan akuntansi yang pasti untuk aset bersejarah.
Selanjutnya Sumadi kembali mempermasalahkan peran kurator yang harusnya
sebagai aktor utama dalam menilai aset bersejaraah mesti berperan lebih dalam agar
permasalahan dalam perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah ini bisa berjalan dengan
semestinya. Sumadi menjelaskan bahwa:
105
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
“Dalam proses pengakuan, pengukuran, penilaian dan pengungkapan. Pada
proses pengukuran dan penilaian lah yang lemah. utama disini aktornya yaitu
kurator. Kalau kurator nya benar otomatis PSAP benar”.
Sumadi memandang peran kurator sangat membantu PSAP dalam memperlakukan
aset bersejarah jika peran tersebut benar-benar dimanfaatkan dan diatur dalam Undang-
Undang. Nantinya diharapkan kurator mampu memperjelas apa yang digariskan dalam PSAP.
Permasalahan saat ini adalah belum adanya peraturan yang menjadi payung kurator dalam
bekerja secara profesional. Seperti yang telah dibahas dalam proses pengukuran dan penilaian
sebelumnya, kurator hanya bekerja berdasarkan pengalaman jam terbang dan basic insting
saja. Jika kurator mampu memberikan penilaian yang pasti terhadap semua aset bersejarah,
maka sangat jelas sekali dimana seharusnya aset bersejarah diungkapkan dalam laporaan
keuanagn. Berikut ini adalah Tabel 4.16 yang menggambarkan kesulitan dalam menrapkan
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap.
Tabel 4.18 Kesulitan Menerapkan PSAP No.7 Tahun 2010 Tentan Aset Tetap
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Untuk aset bersejarah mungkin sulit. Terkait
aset bersejarah mengangkut unsur pendidikan,
budaya dan sejarah salah satunya berkaitan
dengan pengelolaan aset bersejarah. Jika
standar tersebut belum mengatur terlalu detail
berarti belum.
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap
masih sulit dalam mengcover aset
bersejaraah karena aset bersejarah
mengangkut unsur pendidikan, budaya
dan sejarah. PSAP belum mengatur
tentang detail pengelolaan dan
pelestarian yang seharusnya harus
dibahas secara detail agar pemerintah
dapat transparan dalam memperlakukan
aset bersejarah. PSAP belum menyentuh
kedalam inti permasalahan yang dihadapi
oleh setiap daerah yang memiliki ragam
budaya yang berbeda-beda.
Neni Yunitri Karena PSAP No.7 terlalu sedikit mengatur
mengenai aset bersejarah otomatis
permasalahaan di Sawahlunto tidak tercover.
Karena PSAP tadi belum terlalu detail
mengatur aset bersejarah otomatis perlakuan
akuntasinya juga jadi rancu, masih di awang-
awang belum menyentuh ke inti permasalahan
yang dihadapi, karena setiap daerah mungkin
permasalahannya berbeda-beda.
Mastur Menurut saya PSAP ini belum bisa mengcover
segala permasalahan aset bersejarah. Harusnya
ada perlakuan yang pasti. Karena ketika ada
orang yang nanya seperti ini seharusnya saya
bisa menjawab, berarti kan ini belum sesuai.
Sumadi Selaku standar akuntansi selagi pemerintah
bersifat transparan dan accountable tidak ada
yang salah, yang lemah itu transaksinya dan
keterjadiannya. Dalam proses pengakuan,
pengukuran, penilaian dan pengungkapan di
pengukuran dan penilaian lah yang lemah.
Tidak akan sulit menerapkan PSAP jika
transaksi dan keterjadian dalam
pengukuran dan penilaian aset bersejarah
dapat diperankan dengan baik oleh
seorang kurator.
106
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
utama disini yaitu aktornya kurator. Kalau
kurator nya benar otomatis PSAP benar.
Lampiran Coding (Ixi-Ixii)
Berdasarkan pemahaman informan pada tabel diatas peneliti beranggapan bahwa
perlunya ada sebuah standar akuntansi untuk aset bersejarah yang bersifat mutlak. Karena
dengan permasalahan yang berbeda-beda, seharusnya ada sebuah standar mutlak yang bisa
membuat keseragaman dalam memperlakukan aset bersejarah yang selama ini perlakuannya
hanya bersifat normatif saja. Permasalahan aset bersejaarah dalam perlakuan akuntansi
disetiap daerah diharapkan dapat terjawab dengan sebuah standar akuntansi yang mampu
memuat detail perlakuannya secara lebih tepat dan tidak menimbulkan tanda tanya bagi pihak
pengelola atau entitas yang menaunginya.
4.2.4.2 Apakah PSAP No.7 Perlu Untuk Dikaji Ulang
Mengingat pada pembahasan-pembahasan sebelumnya peneliti menemukan jawaban
unik yang berbeda-beda dari beberapa informan. Peneliti berinisiatif menanyakan kepada
semua informan apakah PSAP No.7 perlu untuk dikaji ulang. Di Indonesia meskipun standar
akuntansi untuk aset bersejarah telah ditetapkan seiring dengan dikeluarkannya Pedoman
Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 7 Tahun 2010 tentang aset tetap, tapi standar
ini dirasa hanya bersifat normatif saja. Karena standar yang telah ditetapkan belum tentu
sesuai dengan praktik yang terjadi di lapangan (Anggraini, 2014). Sugiharta dan Rahmat
Gino mengeluhkan tentang pengklasifikasian aset bersejarah opersional dan non operasional
dengan mengatakan bahwa:
“Kalau dalam hal ini masih mengkategorisasikan aset bersejarah yang artinya
masih memisahkan antara operasional dan non opersional berarti itu belum
tercover. Kendalanya mungkin di pemanfaatan operasional dan non
operasional tadi. Harusnya standar itu lebih memudahkan kita dalam
melakukan pemugaran dan pemeliharaan. Agar standar tersebut lebih berpihak
kepada kualitas bukan sekedar memenuhi kebutuhan pertanggung jawabannya
saja”.
Aset bersejarah tidak perlu diklasifikasikan berdasarkan operasional dan non
operasional, karena sebenarnya jenis non operasional meskipun nganggur alias tidak dipakai
aktifitas pemerintahan sebenarnya juga dipakai sehari-harinya yaitu dimanfaatkan dalam hal
pariwisata. Hal ini juga mendatangkan manfaat bagi pemerintahan, jadi pembeda dalam hal
ini tidak perlu dilakukan karena pembedaa ini juga mendorong perlakuan akuntansi yang
berbeda pula. Standar akuntansi seharusnya berpihak kepada kualitas aset bersejarah,
107
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
misalnya jenis operasional harus dicatat di neraca sehinga nanti ada penyusutan yang lama-
lama nilai aset bersejarah tersebut habis. Aset bersejarah harus dipertahankan dalam waktu
yang lama dan tidak terbaatas agar aset bersejarah tersebut dapat dinikmati oleh generasi
mendatang. Hal tersebut dipertegas oleh Desismon terkait apakah standar tersebut lebih besar
diterapkan di Sawahlunto atau tidak, sangat sulit menerapkannya karena aset bersejarah di
Sawahlunto tidak sepenuhnya milik pemerintah Kota Sawahlunto. Desismon mengatakan:
“Dari sisi apakah standar akuntansi lebih besar kita terapkan atau tidak ini
nampaknya belum sesuai. Karena disini juga masih bingung sebab aset
bersejarahnya sebagian besar juga bukan punya kita”.
Praktik PSAP pada Kawasan Kota Lama Sawahlunto hanya sedikit diterapkan dan
bahkan berseberangan dengan apa yang diatur oleh PSAP. Hal ini disebabkan karena
sebagian aseet bersejarah di kota Sawahlunto tidak dimiliki oleh pemkot Sawahlunto dan
PSAP belum mampu menjawab permasalahaan yang terjadi di Sawahlunto ini. Meskipun
demikian, pemkot Sawahlunto tetap melakukan upaya pelestarian sebagaimana yang
teramanat dalam Undang-Undang yang dibahas pada pembahasan pelestarian sebelumnya
bahwa pelestarian aset bersejarah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Sementara itu Mastur mempertimbangkan dari sisi bahwa harus ada tolak ukur
pasti tentang nilai aset bersejarah. Karena nilai aset menurut Mastur sangat erat kaitannya
dengan pemeliharaan aset itu sendiri. Mastur mengatakan bahwa:
“Jadi nilai sebuah barang atau aset itu harus ada ketentuan kuartalnya,
maksudnya ada nilainya. Karena ini terkait tentang nilai aset dengan masalah
pemeliharaannya. Makanya harus ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli
yang berkompeten di bidangnya”.
Nilai sebuah aset harus dapat ditentukan, minimal ada sebuah range yang menentukan
nilai aset bersejarah tersebut. Ketika nilai aset bersejarah tersebut diketaahui maka akan
mendorong pemeliharaan sesuai dengan nilai yang terkandung didalam aset bersejaraah
tersebut. Contohnya akan masuk akal jika sebuah aset bersejarah yang bernilai besar lalu
pemeliharaannya juga terdefinisi secara garis lurus mengikuti nilainya, sebaliknya akan tidak
masuk akaal jika nilai aset yang tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan nya yang terlalu
besar. Maka dari itu penilaian dari aset bersejarah harus dapat diketahui secara pasti. Lalu
Sumadi mengisyaratkan lebih mengedepankan para ahli untuk menyempurnakan kode etik
sang kurator agar standar akuntansi yang berlaku bisa berjalan dengan semestinya. Agar kode
108
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
etik tersebut bisa menjadi sebuah keseragaman yang dijalani dan dipatuhi bersama. Sesuai
dengan itu Sumadi menyatakan:
“Dalam konteks ini yang perlu dibenahi adalah bagaimana supaya standar
akuntansinya bisa berjalan. Untuk itu para ahli budaya, arkeolog, sejarah,
arsitektur dll itu harus satu pandangan dulu dalam menyempurnakan sebuah
kode etik untuk dibangun bersama dan dipatuhi bersama”.
Menyambung hal yang diutarakan oleh Mastur bahwa harus ada penilaian yang pasti
dari aset bersejarah, maka peran kurator sangat penting untuk dimaksimalkan. Sumadi
mendorong agar kode etik serta sertifikasi dan kompetensi keahlian kurator harus didudukan
bersama. Hal ini bertujuan agar ditemukan sebiuah kesepakatan daalaam menentukan nilai
aset bersejarah. Setelah aturan kurator ini disempurnakan maka standar PSAP dapat
terlaksana sebagaimana mestinya. Saat ini memang standar kerja kurator tidak begitu diatur
secara detail sebagaimana detailnya tim ahli cagar budaya bekerja menurut Undang-Undang
dan peraturaan pemerintah. Apakah sebuah standar ini sangat wajib dan perlu untuk
diperbaiki, Neni Yunitri membenarkan hal tersebut agar nantinya masing-masing daerah
tidak memiliki pemahaman yang berbeda-beda lagi terkait tentang perlakuan aset bersejarah.
Neni Yunitri menginginkan sebuah aturan yang lebih detail mengenai perlakuan akuntansi
untuk aset bersejarah. Senada dengan hal itu Neni Yunitri memperjelas bahwa:
“Memang perlu dan wajib untuk diperbaiki karena beberapa diantaranya juga
beda pemahaman tentang apa yang seharusnya dikatakan sebagai aset
bersejarah. Dalam hal ini perlu keterlibatan bersama dalam meluruskan segala
permasalahan aset bersejarah secara lebih detail”.
Sebuah standar harus diluruskan agar setiap orang yang terlibat dalam pelestaria aset
bersejarah memiliki pemahaman yang sama tentang makna aset bersejarah. Setelah standar
yang benar ditetapkan maka tidak akan ada lagi permasalahan yang terjadi dalaam perlakuan
akuntansi untuk aset bersejarah. Sebagai seorang akademisi yang berkompeten dalam studi
aset bersejarah, Anis Chariri memang menginginkan sebuah standar akuntansi yang khusus
mengatur tentang bagaimana perlakuan untuk aset bersejarah. Akan tetapi badan pembuat
standar juga harus mempertimbangkan cost dan benefitnya, apakah lebih banyak manfaatnya
untuk bisa dipakai menjadi sebuah keseragaman. Anis Chariri mengatakan bahwa:
“Harusnya ada aturan khusus atau standar akuntansi khusus untuk pengelolaan
aset besejarah karena kurang tepat jika disama-ratakan mengingat aset
bersejarah ini punya karakteristik khusus. Tapi dalam pembuatan standar
khusus ini juga harus memperrtimbangkan cost dan benefitnya”.
109
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Saat ini aset bersejarah diatur dalam bagian aset tetap didalam PSAP No.7 tahun
2010. Anis Chariri menganggap seharusnya aset bersejarah tidak dibahas dalam bagian aset
tetap karena aset bersejarah tidak bisa diperlakukan sama dengan aset tetap. Solusinya adalah
dibuat sebuah standar baru yang memang khusus membahas detail perlakuan tentang aset
bersejarah. Standar khusus aset bersejarah ini nantinya bisa melibatkan banyak ahli dari
berbagai bidang agar ditemukan sebuah kesepakatan yang pasti dalam mengatur aset
bersejarah. Akan tetapi pembuatan standar khusus ini juga harus perlu dipertimbangkan
apakah benar-benar mendatanagkan manfaat yang lebih kepada pemerintah dan masyarakat.
Maka dari itu perlu dilakukan banyak kajian-kajian terkait pentingnya memperlakukan aset
bersejarah dengan lebih baik. Tabel 4.17 memuat tentang saraan dari informan tentang
perlunya mengkaji ulang PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap.
Tabel 4.19 Saran Dalam Mengkaji Ulang PSAP No.7 Tahun 2010
Informan Informasi Hasil Reduksi Resume
Anis Chariri Harusnya ada aturan khusus atau standar akuntansi
khusus untuk pengelolaan aset besejarah karena
kurang tepat jika disama-ratakan mengingat aset
bersejarah ini punya karakteristik khusus. Tapi
dalam pembuatan standar khusus ini juga harus
memperrtimbangkan cost dan benefitnya.
Harus ada sebuah standar akuntansi
dan aturan yang khusus dalam
pengelolaan aset bersejarah.
Pembuatan standar tadi juga patut
dipertimbangkan cost dan benefitnya.
Neni Yunitri Memang perlu dan wajib untuk diperbaiki karena
beberapa diantaranya juga beda pemahaman
tentang apa yang seharusnya dikatakan sebagai aset
bersejarah. Dalam hal ini perlu keterlibatan
bersama dalam meluruskan segala permasalahan
aset bersejarah secara lebih detail.
Pemahaman yang berbeda dalam
memaknai aset bersejarah harus
memerlukan keterlibatan bersama
dalam meluruskan segala
permasalahan aset bersejarah secara
lebih detail.
Sumadi Dalam konteks ini yang perlu dibenahi adalah
bagaimana supaya standar akuntansinya bisa
berjalan. Untuk itu para ahli budaya, arkeolog,
sejarah, arsitektur dll itu harus satu pandangan dulu
dalam menyempurnakan sebuah kode etik untuk
dibangun bersama dan dipatuhi bersama.
Pembenahan standar harus bertujuan
dalam menentukan penilaian aset
bersejarah, karena problem utama
dari perlakuan akuntansi terhadap
aset bersejarah adalah proses
penilaian yang belum diatur oleh
sebuah standar atau peraturan
perundang-undangan. Mastur Jadi nilai sebuah barang atau aset itu harus ada
ketentuan kuartalnya maksudnya ada nilainya.
Karena ini terkait tentang nilai aset dengan masalah
pemeliharaannya. Makanya harus ditinjau ulang
dengan melibatkan para ahli yang berkompeten di
bidangnya.
Sugiharta Kalau dalam hal ini masih mengkategorisasikan
aset bersejarah yang artinya masih memisahkan
antara operasional dan non opersional berarti itu
belum tercover.
PSAP belum mampu mengcover jika
aset bersejarah masih
dikategorisasikan, artinya masih
memisahkan antara operasional dan
non opersional. Terdapat kendala
pada pemanfaatan operasional dan
non operasional. Sebuah standar
harusnya lebih memudahkan dalam
Rahmat Gino Kendalanya mungkin di pemanfaatan operasional
dan non operasional tadi. Harusnya standar itu lebih
memudahkan kita dalam melakukan pemugaran dan
110
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pemeliharaan. Agar standar tersebut lebih berpihak
kepada kualitas bukan sekedar memenuhi
kebutuhan pertanggung jawabannya saja.
melakukan pemugaran dan
pemeliharaan, agar standar tersebut
lebih berpihak kepada kualitas bukan
sekedar memenuhi kebutuhan
pertanggung jawabannya saja
Desismon Dari sisi apakah standar akuntansi lebih besar kita
terapkan atau tidak ini nampaknya belum sesuai.
Karena disini juga masih bingung sebab aset
bersejarahnya sebagian besar juga bukan punya
kita.
PSAP masih sulit diterapkan karena
standar akuntansinya sangat kecil
diterapkan di Sawahlunto.
Lampiran Coding (Ixiv-Ixviii)
Berdasarkan pernyataan yang digambarkan daalam tabel diatas peneliti berkesimpulan
bahwa memang dirasa sangat perlu untuk melakukan pengkajian ulang terhadap standar
akuntansi pemerintah yang berlaku saat ini. Mengingat perlakuan yang berbeda-beda disetiap
daerah tentu memunculkan sebuah tanda tanya apakah standar ini telah memperlaakukan
dengan baik sebuah aset kekayaan bangsa yaitu benda cagar budaya atau aset bersejarah. Jika
standar ini tidak perlu dikaji ulang, maka alternatif lainnya adalah dengan memaksimalkan
peran kurator dalam melakukan penilaian aset bersejarah. Dalam proses pengakuan, penilaian
dan pengungkapan problem utamanya adalah pada masalah penilaian. Jika penilaian yang
pasti telah disepakati maka permasalahan dalam PSAP No.7 tahun 2010 bisa terjawab. Akan
tetapi peran kurator belum begitu diatur dalam peraturan pemerintah dan perundang-
undangan. Selanjutnya dalam menemukan kata sepakat terhadap dua alternatif solusi ini
peneliti menyimpulkan bahwa juga perlu keterlibatan bersama antara para ahli dalam
merumuskan bagaimana aturan khusus untuk aset bersejarah ini, yang tentunya tidak hanya
melibatkan ahli akuntansi atau ekonomi saja. Ahli seperti sejarah, budaya, arkeologi,
arsitektur dll juga perlu dilibatkan untuk duduk bersama dalam mencari sebuah kesepakatan.
4.3 Konfirmasi Dengan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP)
Pada sub-bab konfirmasi dengan Komite Standar Akuntansi Pemeintahan (KSAP) ini
peneliti mencoba mengkonfirmasi hasil temuan-temuan pada pembahasan yang dirasa
berseberangan dengan apa yang telah diatur didalam PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset
tetap. Peneliti melakukan wawancara dengan Dwi Martani yang merupakan dosen
departemen akuntansi Universitas Indonesia dan juga menjabat sebagai Anggota Komite
Kerja di KSAP.
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap mengklasifikasikan aset bersejarah kepada
dua jenis yaitu aset bersejarah jenis operasional dan non operasional. Sementara itu kebijakan
akuntansi yang dibuat oleh Pemerintah Kota Sawahlunto mengklasifikasikan aset bersejarah
111
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berdasarkan jenis aset bergerak dan tidak bergerak. Yang masuk dalam kategori aset tidak
bergerak adalah bangunan bersejarah seperti monumen, gedung, museum dan lain-lain.
Untuk jenis aset bergerak adalah benda bersejarah yang sifatnya bisa berpindah tempat
seperti koleksi, galeri, lukisan, arsip dan lain-lain. Dalam hal ini Dwi Martani mengatakan
bahwa:
“Di dalam standar itu disebutkan yang namanya heritage aset itu sebenarnya
pada hakikatnya kalau dia tidak terkait atau tidak digunakan untuk kegiatan
operasi, itu tidak diakui atau tidak di catat dalam laporan keuangan. Heritage
aset yang dipakai untuk kegiatan operasi itu dicatat dalam laporan keuangan
sebagai aset tetap. Jadi pengklasifikasian dia bergerak atau tidak bergerak mau
operasi atau non operasi itu adalah keputusan dari masing-masing
pemerintahan daerah.
Dwi Martani dengan jelas mengatakan bahwa aset bersejarah yang dipakai untuk
kegiatan operasional harus dicatat dalam laporan keuangan, karena setelah aset bersejarah
tersebut digunakan untuk kegiatan operasi maka perlakuannya akan sama seperti aset tetap
lainnya. Atas dasar hal tersebut PSAP mengatur pengklasifikasian aset bersejarah
berdasarkan jenis operasional dan non operasional.
Pemerintah Kota Sawahlunto sendiri mengklasifikasikan aset bersejarah berdasarkan
aset bergerak dan tidak bergerak. Hal ini akan berpengaruh terhadap pencatatan dalam
laporan keuangan, Pemkot Sawahlunto mencatat gedung aktifitas perkantoran didalam CaLK.
Apakah gedung itu digunakan sebagai aktifitas perkantoran atau tidak, tetap dikategorikan
kepada jenis aset tidak bergerak. PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap mengatakan
bahwa untuk jenis gedung yang dipakai dalam aktifitas sehari-hari pemerintahan itu dicatat
dalam pos neraca. Sedangkan untuk jenis aset bergerak ada beberapa diantaranya yang dicatat
di neraca karena harga perolehan dari aset bersejarah tersebut dapat diketahui, contohnya
jenis koleksi. Untuk jenis koleksi, PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap mengatakan
bahwa kategori ini diklasifikasikan kepada jenis non operasional dan cukup diungkapkan
dalam CaLK saja dalam jumlah unit tanpa nilai. Dwi Martani berpendapat:
“kalau terkait dengan itu ya mungkin terkait dengan perlakuan bangunannya
berarti kan nilai bangunannya tidak di masukkan didalam laporan keuangan,
itu salah. Kalau berdasarkan standar aset bangunan, walaupun dia bersejarah
tapi dipakai untuk operasional itu harus masuk ke laporan posisi keuangan”.
Selama aset bersejarah dipakai untuk kegiatan pemerintahan, maka aset bersejarah
tersebut harus berlaku sebagai jenis klasifikasi operasional dan harus dicatat di neraca.
112
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Karena nantinya jika ada renovasi terhadap aset berejarah tersebut maka akan menambah
nilai bangunan tersebut. Dwi Martani menambahkan:
“Pemerintah kan memanfaatkan aset itu untuk kegiatan penyelenggaraan
pemerintah, tetapi kemudian aset tetapnya tidak ada, nanti kalau kamu mau
menganggarkan biaya pemeliharaan kantor misalnya nah aset mu mana kan ga
punya aset, kenapa menganggarkan biaya pemeliharaan kantor, kan ga
memiliki aset, mau renovasi gedung yang mana gedungnya kan ga ada
gedungnya. Karena gedungnya ga di catet, dari proses penganggaran juga
berat kalau anda ga nyatet itu sebagai aset, nanti apa alasan anda untuk
mengajukan biaya pemeliharaan mengajukan biaya renovasi karena aset nya
ga ada. Aset bersejarah yang digunakan untuk kegiatan operasional, kegiatan
pemerintahan, logikanya ya harus di akui juga di aset tetap”.
Berdasarkan hal tersebut, Pemkot Sawahlunto akan kesulitan dalam pengajuan
renovasi atau pemeliharaan jika tidak mencatat aset bersejarah yang dipakai untuk
operasional pemerintah kedalam neraca. Meskipun setiap pemerintah daerah
mengklasifikasikan dengan penamaan yang berbeda, akan tetapi perlakuannya haruslah
sesuai dengan standar yang telah diatur oleh PSAP.
Kesempatan berikutnya peneliti mengkonfirmasi tentang keberadaaan kurator dan
tim ahli cagar budaya. Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota
Sawahlunto melakukan nominalisasi atau pentaksiran nilai terhadap beberapa jenis aset
bersejarah bergerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengeluarkan biaya ganti rugi kepada
masyarakat yang ingin menawarkan koleksi benda bersejarah yang agar dimiliki oleh
pemerintah kota Sawahlunto. Dalam hal ini studi kelayakan dilakukan oleh tim ahli cagar
budaya dan yang melakukan penaksiran harga adalah kurator. Tim ahli cagar budaya ini
dengan kompetensi dan keahlian di beberapa bidang memiliki sertifikasi nasional profesi dari
Kemendikbud. Untuk kurator sendiri ditunjuk berdasarkan SK yang dikeluarkan oleh
pemerintah kota Sawahlunto.
Jika tim ahli cagar budaya telah diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya dan
Juklak-Juknis nya diatur oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Sedangkan untuk kurator hal
tersebut belum diatur didalam dasar hukum yang pasti dari kementerian pusat. PSAP No.7
tahun 2010 tentang aset tetap sendiri tidak mengatur tentang peran tim ahli cagar budaya dan
kurator. Karena jenis koleksi yang ada biaya ganti rugi tersebut, akhirnya pemerintah kota
sawahlunto mencatatnya dalam pos neraca. Dwi Martani berpendapat bahwa:
“Yang masuk ke dalam neraca itu hanyalah aset yang dipakai untuk kegiatan
operasi, sehingga aset yang tidak untuk kegiatan operasi itu hanya di catatan
113
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
atas laporan keuangan. jadi begini, kurator itu kan biasanya untuk menentukan
nilainya itu kayak lukisan kayak benda-benda artefak gitu ya, sementara di
dalam standar sendiri kan untuk yang seperti itu kan tidak juga di catat. Jadi
mau dinilai setepat apapun juga tidak akan masuk kedalam laporan keuangan”.
Pernyataan dari Dwi Martani tersebut menjelaskan pertimbangan kenapa PSAP No.7
tahun 2010 tidak terlalu fokus mengatur peran kurator atau tim ahli cagar budaya karena
untuk klasifikasi aset bersejarah yang dilakukan penilaian tersebut tergolong kepada jenis non
opersional. Jenis aset bersejarah non operasional pada akhirnya juga tidak akan dicatat di
neraca, karena mau dinilai setepat apapun aset bersejarah tersebut tidak dipakai pada
operasional pemerintah.
Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa kedepannya akuntansi untuk aset bersejarah
ini memerlukan peranan penting dari tim ahli cagar budaya dalam proses pengakuan dan
kurator dalam proses penilaian. Dalam hal ini Dwi Martani berpendapat bahwa:
“kalau menurut saya tidak perlu, karena didalam standar sendiri kita hanya
menilai aset yang sifatnya operasional. Kalau aset operasional itu nilai
pakainya bukan dari nilai historisnya, tapi nilai pakai dari bangunan itu. Jadi
tetap kalau kita menilai aset itu dari appraisal, dari penilai. Tapi penilainya itu
mendapatkan informasi dari siapa.. ya di aturan profesi penilai pasti ada juga
ketentuan. jadi artinya profesi penilai lah yang akan mencari siapa yang ahli di
bidangnya untuk diminta penjelasan pengetahuan. Jadi gak perlu kita sebutkan
nanti penilainya harus minta pendapatnya dari kurator gitu. Itu pekerjaannya
profesi penilai dan penilai kalau dia ga bisa menetukan nilai itu pasti dia akan
mendapatkan opini dari kurator, jadi gak perlu kuratornya dimasukkan di
dalam standar”.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa peran kurator ataupun tim
ahli cagar budaya memang penting, tetapi bukan berarti hal tersebut diatur semuanya didalam
sebuah standar akuntansi pemerintahan. Untuk melakukan proses penilaian bisa dilakukan
oleh appraisal atau tim penilai yang memang sudah memiliki keahlian profesi sebagai penilai.
Nantinya tim penilai juga bisa meminta pendapat kepada kurator atau tim ahli cagar budaya
yang memang berkompeten dalam membantu tim penilai tersebut. Melakukan penilaian
bukanlah fokus utama pada aset bersejarah, nilai historis pada aset bersejarah tidak harus
tersimbol dalam angka-angka. Dwi Martani menjelaskan:
“Barang peninggalan kan kita ga bisa ngaku-ngaku juga kan gitu. Kalau toh
mau dinilai sih sebenernya ya buat apa sih karena memang tujuannya tidak
untuk dijual gitu loh. saya punya nih saya ngaku wah saya punya aset, asetnya
nilainya 500 triliun tapi aset 500 triliun itu isinya heritage apakah heritage bisa
di lelang untuk jadi pendapatan, sehingga pendapatan menjadi value buat
pemda, engga juga kan gitu. Kalau toh ada manfaatnya, manfaatnya di simpen
114
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ke museum, oke sekarang kita lihat penerimaan museum dalam 20 tahun
apakah ke cover dengan nilai barang yang ada di situ? biaya operasional aja ga
ketutup, tuh kan. Iya karena laporan keuangan itu kan bicaranya kan dari sisi
arti ekonomis ya, makanya kita minta jika tidak mampu melakukan penilaian,
disclosure aja bentuknya apa aja silahkan aja di tulis, gitu”.
Fokus utama aset bersejarah adalah bagaimana nilai pakai aset bersejarah tersebut
dapat diprediksi dan dapat dipertahankan kelestariannya, karena aset bersejarah bukan
menjadi fokus pendapatan untuk pemda dan aset bersejarah juga tidak akan dilelang ataupun
dijual. Nantinya nilai pakai untuk masa depan aset bersejarah dapat ditentukan ketika awal
pengakuan aset bersejarah tersebut. Setelah melewati masa pakainya akan dilakukan
revitalisasi agar aset bersejarah tersebut terus-menerus dapat dipertahankan.
Proses selanjutnya peneliti mengkonfirmasi tentang pendapat informan yang
memandang perlunya sebuah instantsi khusus yang mengelola aset bersejarah disetiap daerah,
seperti yang dilakukan pemerintah kota Sawahlunto dalam membentuk Dinas Kebudayaan
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman. Tetapi, hal ini belum dirasa cukup puas
mengingat Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman bertanggung jawab
kepada Walikota Sawahlunto. Hal yang dinginkan informan adalah sebuah instansi dibawah
Balai Pelestarian Cagar Budaya yang nantinya instansi tersebut akan bertanggung jawab
kepada Kemendikbud. Apakah diperlukan sebuah Instansi Khusus di setiap daerah dalam
mengelola aset bersejarah, Dwi Martani mengatakan bahwa:
“accounting itu kan prinsipnya cost and benefit kalau bicara tentang aset
bersejarah dalam satu daerah itu cukup banyak…terus kemudian tujuan untuk
itu dalam artian untuk menginvetarisir untuk ke wisata dan seterusnya ya
silahkan aja, tapi kalau misalnya daerah itu tidak punya aset bersejarah khusus
misalnya ya ga perlu ada juga. jadi apakah perlu khusus menurut saya juga
tergantung dari signifikansi gitu”.
Setiap daerah mempunyai kebutuhan masing-masing dan memiliki kondisional
tertentu, jadi semuanya tergantung dari seberapa besar aset daerah yang dikelola oleh masing-
masing daerah. Jika pengelolaannya bisa nempel dengan instansi yang relevan, maka tidak
harus ada sebuah instansi khusus. Misalnya aset bersejarah tersebut related dengan
pariwisata, maka aset bersejarah tersebut bisa diurus oleh dinas pariwisata. Kalau aset
bersejarahnya itu terkait dengan related aset budaya bisa diurus oleh dinas kebudayaan.
Proses terakhir peneliti mencoba mengkonfirmasi tentang saran-saran dari beberapa
informan. Hasil wawancara peneliti dengan semua informan baik itu informan yang
bersinggungan langsung dengan aset bersejarah ataupun informan dari pihak akademisi/dosen
115
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mendorong agar dibuatnya sebuah standar akuntansi baru yang khusus mengatur tentang
perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah. Informan beranggapan bahwa PSAP No.7 belum
dapat mengcover permasalahan pada perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah, karena
Indonesia merupakan negara dengan banyak budaya dan keberagaman sehingga setiap daerah
bisa saja permasalahannya beragam dan berbeda-beda.
Aset bersejarah merupakan benda cagar budaya yang menjadi kekayaan dan identitas
suatu bangsa, sehingga perlunya sebuah aturan pasti tentang bagaimana perlakuan yang baik
untuk aset bersejarah ini demi melestarikan dan mempertahankan keberlangsungannya.
Pemerintah kota sawahlunto lebih memakai Undang-Undang Cagar Budaya No.11 tahun
2010 dalam memperlakukan aset bersejarah. Jika berbicara hal pelaporan keuangan
pemerintah tentu akan lebih tepat jika berpatokan kepada PSAP no.7 tahun 2010 tentang aset
tetap. Apakah kedepannya hal ini perlu ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli sejarah,
budaya, arkeologi, arsitektur dan beberapa ahli lainnya terkait perlakuan akuntansi untuk aset
bersejarah, Dwi Martani mengatakan bahwa:
“iya kami juga sudah mengkaji, karena praktik ini kan kita juga lihatnya
secara umum, soalnya kalau tidak kita pantau terus kan nanti aneh juga. saya
berfikirnya standar akuntansi kita itu kan tidak hanya untuk sawahlunto ya,
untuk sabang sampai merauke dan kita melihat juga bagaimana best practice
sekarang ini yang berjalan gitu ya harus diikuti, jadi ga dipertentangkan.
karena pada titik tertentu standar itu kadang ditetapkan karena ada faktor
politik, karena ada faktor karena kita ingin menjaga aset negara kenapa itu
harus tetap ada dan seterusnya begitu. Oleh sebab itu terkadang standar bukan
sesuatu yang ideal”.
Standar adalah sebuah kesepakatan yang ditetapkan melalui proses yang cukup
panjang dan mempertimbangkan banyak aspek demi menemukan sebuah aturan yang dirasa
baik untuk bersama. Jadi jika sebuah standar telah mengatur hal yang pasti, seharusnya
standar tersebut harus diikuti dan dipatuhi bersama. Bisa saja menggugat untuk mengkaji
ulang sebuah standar karena tidak sesuai dengan penerapannya. Selama standar tersebut
masih berlaku dan belum dirubah, maka ada sebuah keharusan dalam mematuhi aturan
tersebut.
Peneliti mencoba menghimpun beberapa praktik perlakuan akuntansi untuk aset
bersejarah yang diterapkan pada kawasan Kota Lama Sawahlunto, PSAP No.7 Tahun 2010
tentang aset tetap dan praktik pada negara Australia yang peneliti anggap sebagai Best
Practice nya perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah sebagai berikut:
116
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tabel 4.20 Komparasi Praktik Perlakuan Akuntansi Aset Bersejarah
Perlakuan
Akuntansi
Tanah Dan Bangunan
Australia PSAP No.7 Tahun 2010 Sawahlunto
Pengakuan Diakui Sebagai aset Operasional : Diakui
Non operasional : tidak diakui
Diakui
Pengklasifikasian Non Current Asset Non operasional dan Operasional Aset Tidak Bergerak
Penilaian Nilai Wajar Nilai Wajar Tidak Dinilai
Pencatatan Neraca Neraca dan CaLK CaLK
Sumber: Diolah (2017)
Tabel 4.21 Komparasi Praktik Perlakuan Akuntansi Aset Bersejarah
Perlakuan
Galeri, Koleksi, Karya Seni dan Situs Bersejarah
Australia PSAP No.7 Tahun 2010 Sawahlunto
117
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Akuntansi
Pengakuan Diakui Tidak Diakui Diakui
Pengklasifikasian Non Current Asset Non Operasional Aset Bergerak
Penilaian Nilai Wajar Tidak Dinilai Nilai Wajar
Pencatatan Neraca CaLK Neraca dan CaLK
Sumber: Diolah (2017)
Berdasarkan tabel 4.18 dapat dikatakan bahwa ketiga jenis perlakuan tersebut praktik
perlakuan akuntansinya terhadap aset bersejarah berbeda-beda. Untuk tanah dan bangunan
aset bersejarah terdapat persamaan pengakuan antara Australia dan Sawahlunto yaitu semua
aset bersejarahnya sama-sama diakui, sedangkan PSAP No.7 hanya mengakui aset bersejarah
jenis opersioal saja. Dalam hal penilaian tanah dan bangunan bersejarah Australia dan PSAP
No.7 memiliki kesamaan dalam menilai aset bersejarah yaitu dengan menggunakan nilai
wajar, sedangkan Sawahlunto tidak melakukan penilaian terhadap hal tersebut. Selanjutnya
dalam hal pengklasifikasian dan pencatatan tanah dan bangunan bersejarah praktis ketiga
produk hukum ini memiliki praktik yang berbeda satu-sama lainnya.
Untuk jenis galeri dan koleksi bersejarah kembali Australia dan Sawahlunto mengakui
semua jenis aset bersejarahnya, sedangkan PSAP No.7 tidak mengakui jenis aset bersejarah
tersebut karena PSAP No.7 hanya mengakui jenis aset bersejarah operasional saja. Dalam hal
penilaian Australia dan Sawahlunto juga melakukan hal yang sama dalam menilai aset
bersejarah yaitu dengan menggunakan metode nilai wajar. Ketiga produk hukum ini kembali
memiliki hal yang berbeda dalam pengklasifikasian dan pencatatan aset bersejarah jenis
galeri dan koleksi.
Perlakuan akuntansi yang berbeda-beda terhadap aset bersejarah mengartikan bahwa
aset bersejarah sejatinya tidak sama dengan aset pada umumnya, sehingga mendorong sebuah
perlakuan akuntansi yang beragam demi satu tujuan yaitu melestarikan dan mempertahankan
keberlangsungan dari aset bersejarah tersebut. Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa
kekayaan dan identitas suatu bangsa akan sosial dan budaya harus terus terjaga demi
mencerdaskan semua aspek kehidupan generasi penerus bangsa. Berdasarkan hasil
pembahasan yang telah dibahas oleh peneliti dalam bab IV ini, maka analisis yang dapat
dipetik adalah:
118
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1. Aset bersejarah merupakan benda cagar budaya yang menjadi identitas suatu
bangsa dan memiliki nilai penting yaitu sejarah, budaya, agama , pendidikan dan
nilai sosial lainnya yang melekat pada aset bersejarah tersebut, sehingga wajib
dijaga dan dipelihara kelstariannya. Sebagian besar informan memiliki
kecenderungan memaknai aset bersejarah bukan kepada persepsi PSAP No.7
tahun 2010 tentang aset tetap. Informan tersebut memaknai aset bersejarah lebih
kepada benda cagar budaya yang definisinya sudah jelas diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
2. Aset bersejarah termasuk kedalam golongan aset, dalam hal kewajiban/liabilitas
pemerintah memiliki kewajiban dalam memelihara dan mempertahankan
keberlangsungan aset bersejarah tersebut. Artinya, penyajian aset bersejarah harus
dikaitkan juga dengan akuntabilitas pengelolaannya. Undang-Undang Republik
Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa
memelihara dan mempertahankan keberlangsungan aset bersejarah merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
3. Pengklasifikasian aset bersejarah sebagaimana telah diatur dalam PSAP no.7
tahun 2010 menyebutkan bahwa aset bersejarah dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis operasional dan non operasional. Pemerintah Kota Sawahlunto
belum mengklasifikasikan aset bersejarah berdasarkan PSAP no.7 tahun 2010,
karena Pemerintah Kota Sawahlunto lebih mengklasifikasikan aset bersejarah
menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya yaitu berdasarkan jenis aset bergerak dan tidak bergerak. Pemerintah Kota
sawahlunto tidak mengklasifikasikan berdasarkan operasional dan non operasional
karena merasa belum tepat dalam mempraktekan hal tersebut, karena beberapa
aset bersejarah di Kawasan Kota Lama sawahlunto dimiliki oleh PT. Bukit Asam,
PT. Kereta Api Indonesia dan milik masyarakat. Pengklasifikasian tersebut juga
dikarenakan faktor Kawasan Kota Lama Sawahlunto yang merupakan kawasan
cagar budaya peringkat nasional sehingga kaidah pengklasifikasiannya harus
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya.
4. Aset bergerak merupakan benda koleksi dan galeri yang sifatnya dapat
dipindahkan. Beberapa aset bersejarah jenis koleksi dan galeri dapat diketahui
119
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
harga perolehannya yang berasal dari biaya ganti rugi kepada masyarakat. Harga
perolehannya ditaksir oleh seorang kurator yang berpengalaman dan memiliki jam
terbang yang tinggi dalam memahami benda cagar budaya. Koleksi dan galeri ini
diungkapkan pada pos neraca karena dapat diketahui harga perolehannya. Hal ini
berseberangan dengan yang diatur oleh PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap,
karena koleksi dan galeri masuk kedalam jenis non operasional yang
pengungkapannya cukup dilaporkan pada pos CaLK saja dalam jumlah unit tanpa
nilai. Untuk jenis koleksi dan galeri yang tidak dapat diketahui harga
perolehannya, pemerintah kota Sawahlunto mengungkapkan pada pos CaLK.
5. Aset tidak bergerak merupakan bangunan yang bersifat tidak dapat dipindahkan,
dalam hal ini pemerintah Kota Sawahlunto mengungkapkan pada pos CaLK.
Bangunan yang dipakai untuk operasional pemerintahan sehari-hari tetap
diungkapkan didalam pos CaLK. Hal ini berseberangan dengan yang diatur oleh
PSAP No.7 tahun 2010 tentang aset tetap. PSAP No.7 tahun 2010 menyebutkan
bahwa bangunan yang dipakai untuk operasional sehari-hari pemerintahan
perlakuannya akan sama seperti aset tetap lainnya yaitu diungkapkan pada pos
neraca.
6. Pemerintah kota Sawahlunto mengklasifikasikan aset bersejarah pada pemahaman
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Akibatnya pemerintah Kota Sawahlunto keliru dalam proses pencatatan aset
bersejarah yang tidak sesuai dengan kaidah pencatatan sebagaimana diatur oleh
PSAP No.7 Tahun 2010 tentang aset tetap. Hal ini dibenarkan oleh Komite
Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), seharusnya pemerintah kota
Sawahlunto mengikuti aturan pencatatan berdasarkan standar akuntansi yang
berlaku saat ini. Pemahaman pengklasifikasian berdasarkan Undang-Undang
Cagar Budaya boleh saja diterapkan asalkan pada proses pengungkapan dan
pencatatan tidak berseberangan dengan yang diatur oleh PSAP No.7 Tahun 2010
tentang aset tetap.
7. Proses pengakuan aset bersejarah di Kawasan Kota Lama Sawahlunto memiliki 3
tahap yaitu : pendaftaran cagar budaya, rekomendasi dari tim ahli cagar budaya
dan penetapan oleh Walikota Sawahlunto.
120
Rizki Shofi Zhelbina, 2017 PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BERSEJARAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8. Penilaian terhadap semua jenis aset bersejarah memang sulit untuk dilakukan,
akan tetapi penilaian bisa saja dilakukan terhadap semua jenis aset bersejarah agar
nilai yang terukur tersebut dapat dijadikan sebuah landasan dalam melakukan
renovasi secara berkala dan berkelanjutan.
9. Penelitian ini menunjukan bahwa akuntansi memiliki pendalamaan yang luas
dalam praktik pengungkapan laporan keuangan sebuah entitas, karena tidak hanya
sekedar mengikuti sebuah pedoman pencatatan lalu diungkapkan sedemikian rupa.
Tidak semua aspek yang dimiliki sebuah entitas khususnya aset dapat
diungkapkan berdasarkan standar yang berlaku. Jika berbicara tentang sebuah
standar maka akan kembali kepada sebuah kesepakatan. Sebuah kesepakatan
ditetapkan pada muatan dan kondisional tertentu yang belum tentu bisa mewakili
kebutuhan setiap entitas.
121