Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
111
BAB IV
KESALAHAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
MEMENGARUHI ARAH KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
Muatan pada bab empat tesis ini merupakan data penelitian yang
berhubungan dengan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kaimana, serta tanggapan masyarakat terhadap
implementasi kebijakan yang dibuat.
Upaya mewujudkan pembangunan daerah, sesungguhnya harus
dimulai dari kecermatan menganalisis masalah lapangan. Hal ini
bertujuan agar kebijakan yang terimplementasi dapat menjadi jawaban
atas masalah sosial. Bukan sebaliknya, implementasi kebijakan
mengeruh situasi sosial dan melahirkan ketegangan antara masyarakat
dan pemerintah, sebab dampak ketegangan dapat menjadi indikator
penyulut konflik sosial.
Indikator penyulut konflik tentu memiliki sejumlah aktor. yang
turut memainkan peran dengan beragam cara dan tujuan yang
berbeda-beda. Ada aktor yang menginginkan suasana pembangunan
berjalan sesuai prosedur kebijakan, tetapi ada pula aktor yang
menyalahi ketentuan kebijakan yang berlaku. Kita dapat menemukan
sejumlah aktor tersebut disetiap “arena”, baik dalam dunia birokrasi
pemerintah, adat maupun kehidupan sosial masyarakat.
Berangkat dari konteks pelaksanaan PILKADA (Pemilihan
Kepala Daerah) Kabuapaten Kaimana, masyarakat telah terbentuk
menjadi beberapa kelompok, akibat dari hasil akhir pelaksanaan
PILKDA. Dalam situasi seperti ini, aktor memainkan peran pada
“arena” masing-masing. Maasing-masing aktor bisa ditemukan dalam
“arena birokrasi”, “arena tokoh masyarakat”, dan “arena tokoh adat”,
serta “arena media masa”. Dari masing-masing “arena” setiap aktor
112
mulai membentuk komunitas menjadi dua kelompok, yang oleh
penulis menyebutnya dengan istilah “arena oposisi” dan “arena kualisi”.
Tujuannya sama, “membela rakyat dan menyuarakan aspirasi rakyat”,
tetapi terkadang cenderung mempolitisir situasi untuk tujuan yang
ingin dicapai.
Kedewasaan perpolitikan di daerah saat ini terasa sangat jauh
dari apa yang diharapkan dan yang hendak dicapai. Konteks ini bisa
diukur dari fenomena politik yang terjadi di “Negeri 1001 Senja”. Cara
bertindak para elit politik yang tidak sejalan, terkadang
membingungkan rakyat. Pada konteks ini, rakyat ikut terseret dalam
beragam kepentingan para elit, padahal seharusnya kebutuhan rakyat
diberi perhatian serius dan tidak perlu untuk dipolitisasi. Gaya dan cara
bertindak elit politik belum bisa membedakan mana kepentingan
pribadi, kelompok, suku dan agama. Keadaan ini tentu memiliki
konsekwensi tersendiri pada pelaksanaan pembangunan yang gencar
dilakukan pemerintah (pusat, provinsi dan daerah).
Pemerintah pada setiap jenjang memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan. Akan tetapi kebijakan yang dibuat tidak selalu
didasarkan pada otoritas, karena kebijakan tidak identik dengan
otoritas, tetapi selalu menjadi bagian dari mandat rakyat yang diterima,
dan bertujuan menjawab permasalahan sosial yang dihadapi oleh
masyarakat. Jika kebijakan secara penuh dipahami sebagai otoritas,
maka kebijakan tidak akan pernah menjawab konteks riil masyarakat
dan hal itu akan berdampak buruk.
Kewenangan dan kedaulatan pemerintah bukan sebuah anugerah
yang jatuh dari langit dan menimpah birokrasi. Kewenangan dan
kedaulatan pemerintah dalam sejarahnya, bersumber dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang menyerahkan
kewenangan dan kedaulatan itu kepada pemerintah. Fenomena
penyerahan kedaulatan tersebut selalu muncul dalam sistem PEMILU
(Pemilihan Umum) yang diselenggarakan lima tahun sekali.
Penyerahan kewenangan dan kedaulatan rakyat tersebut sesungguhnya
memiliki makna positif, bahwa pada pihak rakyat, ada sejumlah
masalah yang tidak bisa mereka atasi sendiri, misalnya: masalah
113
kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamana dll. Berangkat dari realitas
rakyat inilah, maka rakyat memberi kepercayaan kepada pemerintah
dengan harapan, kebijakan pemerintah akan selalu dimulai dari
realitas. Dalam berbagai istilah, penerima mandat rakyat lebih tepat
disebut “abdi dalem” (pelayan rakyat) atau orang yang sehari-harinya
mengabdikan dirinya bagi kepentingan dan kebutuhan rakyat, hal ini
sangat bertentangan dengan sikap menjadi tuan atas rakyatnya.
Karena kondisi rakyat menjadi indikator utama lahirnya
kebijakan, maka sudah selayaknya tujuan kebijakan diarahkan untuk
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari tujuan
kebijakan tersebut, maka sikap kebijakan pemerintah harus berada
pada rel demokrasi, bahwa rakyat yang dilayani. Lain hal, jika
kebijakan tersebut diimplementasikan dan menemui sejumlah kendala,
hal tersebut bisa saja terjadi karena berbagai faktor, namun yang pasti
jika kebijakan dipolitisir oleh para eksekutor, maka di situlah letak
kesalahan fatal dari sebuah kebijakan yang diimplementasi.
Lanjutan uraian bab empat ini akan menjelaskan temuan peneliti
terkait dengan implementasi kebijakan atas realitas sosial masyarakat di
“Negeri 1001 Senja”.
Gambaran Masalah Sosial dan Kebijakan Pemerintah
Pada bagian ini, peneliti akan memberi gambaran terkait degan
beberapa masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat adat di
Kabupaten Kaimana, dan sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: pertama,
masalah pendidikan; kedua, penerimaan dan mutasi ASN (Aparatur
Sipil Negera) dan pegawai kontrak; ketiga, CJH (Calon Jemah Haji) asal
Kabupaten Kaimana; keempat, kebijakan Pemerintah Pusat tentang
MIGAS (Minyak dan Gas) dan Pelebaran Bandara Udara UTAROM
Kaimana; kelima, Akses Jalan Darat.
Dari sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah, penulis
menemukan lima kebijakan tersebut mendapat tantangan dari
114
masyarakat. Yang menarik dari kelima kebijakan yang dibuat
pemerintah Kabupaten Kaimana adalah, pada saat implementasi
kebijakan, barulah muncul bentuk sikap demonstrasi massa
menggunakan simbol-simbol adat. Dari temuan data yang lain, penulis
tidak melihat kalau pergerakan demonstrasi masyarakat adat dilakukan
pada proses terjadinya kebijakan, melainkan demonstrasi massa
dilakukan ketika kebijakan itu diimplementasikan.
Berangkat dari konteks tersebut, yang harus dilihat adalah
bagaimana masyarakat memainkan perannya sebagai pihak yang
mengharapkan sebuah keadilan dalam implementasi kebijakan. Untuk
kejelasannya, penulis akan menguraikan kelima tersebut pada bagian
bab empat, dan pada bab lima, penulis akan menjelaskan sikap
masyarakat menggunakan simbol-simbol adat sebagai bentuk
perlawanan terhadap implementasi kebijakan.
Kebijakan Pemerintah Pada Bidang Pendidikan
Undang Undang Republik Indonesia Tahun 2003 Tentang:
Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pada Bab XIX Pasal 66 ayat 1 dijelaskan “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah/ Madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing”1.
Pada bagian penjelasan dikatakan “manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses 1 Lihat PP RI Nomor 47 dan 48 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Ronal Siahaan Jakarta Navindo Pustaka Mandiri, 2008.hlm.84.
115
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan, “bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) menegaskan “bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indoensia”2.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut
diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip
tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada proses dan
manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pendidikan dan
teknologi berkembang pesat dan memunculkan ketentuan baru dalam
segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan, di
antaranya pembaharuan kurikulum untuk melayani peserta didik dan
potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang
dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan
yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi
setempat; menyusun standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan
tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar
pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-
prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan
berbasis sekolah dan otonomi daerah perguruan tinggi; serta
penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pembaruan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi
antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang
2 Lihat PP RI Nomor 47 dan 48 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Ronal Siahaan Jakarta Navindo Pustaka Mandiri, 2008.hlm.120.
116
dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan
dan pendidikan umum.3
Karena pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara
sadar, terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, maka sangatlah
tepat jika proses pendidikan harus melalui suatu mekanisme kebijakan
dalam ruang kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah.
Namun secara prinsip sebuah kebijakan yang dilakukan haruslah
memenuhi kriteria yang berujung pada tujuan dari pendidikan itu
sendiri.
Pada bagian ini, akan diuraikan kebijakan Pemerintah Daerah
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabuaten Kaimana,
menyangkut permasalahan pendidikan dasar dan kebijakan mengirim
delapan putra asli Kaimana ke Jerman oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Kaimana.
Guru jangan tinggalkan kami
Untuk mendapatkan data pendidikan dasar, maka peneliti
menemui salah satu pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Kabupaten Kaimana yang berinisial ARP, di ruang kerjanya yang
beralamat di Jalan Casuarina Krooy. Saat bertemu dengan ARP di
ruang kerjanya, beliau menjelaskan banyak hal berkaitan dengan
kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Kaimana, secara
khusus kebijakan pendidikan dijelaskan sebagai berikut:
“pendidikan yang berlangsung di negeri ini, tidak bisa kita samaratakan, sebab ada wilayah-wilayah tertentu yang boleh dikatakan pendidikannya sudah agak membaik, tetapi ada pula di wilayah-wilayah tertentu yang masih perlu diberi perhatian
3 Lihat PP RI Nomor 47 dan 48 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Ronal Siahaan Jakarta Navindo Pustaka Mandiri, 2008.hlm.121.
117
ekstra oleh pemerintah. Mengapa saya katakan demikian, karena dari sejumlah usul saran yang kami terima saat MUSDIS (Musyawarah Distrik) di setiap distrik, setiap usul saran berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, pada wilayah tertentu, kalau tidak ada guru, mereka langsung temui instansi terkait dan melaporkan situasi terkini, bahwa guru-guru tidak ada di kampung. Melalui laporan masyarakat, pemerintah langsung mengambil langkah-langkah, itu konteks pertama. Yang kedua, walaupun pemerintah telah hadirkan guru, tetapi orang tuanya datang dan mengambil anak-anak mereka disekolah untuk dibawa masuk hutan berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Konteks ini yang saya katakan tadi bahwa tidak bisa kita ukur standar rata-rata pendidikan di Kabupaten Kaimana, sebab masalah pendidikan yang dialami sangat berbeda-beda, jadi, kalau kita memberi perhatian pada satu wilayah untuk mendongkrak pendidikan dasar diwilayah tersebut untuk bisa sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil”.
Dari penjelasan tersebut ditemukan dua permasalahan pokok
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dasar di wilayah terpencil
antara lain: pertama, memiliki kaitan dengan tingkat kesadaran orang
tua tentang tujuan pendidikan; dan kedua, memiliki kaitan dengan
kesadaran tenaga pendidik/guru yang tidak betah menjalan tugas di
tempat tugas.
Menghadapi permasalahan pendidikan yang tidak merata dialami
oleh pemerintah, maka dalam penentuan kebijakan untuk
menyelesaikan sejumlah masalah tersebut, dibutuhkan kejelian dan
pertimbangan yang matang, sebab pendidikan dasar menurut PP
(Peraturan Pemerintah) Nomor: 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar
Bab I Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa “Pendidikan dasar adalah
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah,
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat” Ayat 3
“Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum
pada jenjang pendidikan dasar”. UU (Undang-Undang) Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ayat 11
118
menjelaskan bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”.
Dari PP Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar dan UU
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tercermin
hakikat mulia dari jenjang pendidikan dasar. Itu berarti, masalah yang
melilit dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar di “Negeri 1001
Senja” sudah seharusnya ditangani secara cepat dan tepat pada sasaran
masalah.
Berhadapan dengan kondisi pendidikan seperti ini, sejumlah
kebijakan diambil pemerintah dengan cara membangun infrastruktur
pendidikan (sekolah, rumah guru dan asrama dll), khusus di wilayah-
wilayah terpencil yang masih sangat rentan dengan masalah
pendidikan. Fenomena orang tua menjemput anak di sekolah, untuk
dibawa meramu hasil hutan menjadi pergumulan berat pemerintah
daerah Kabupaten Kaimana. Menjawb konteks ini, pemerintah
membangun sarana pendidikan dengan sistem SATAP (Satu Atap),
keseriusan pemerintah tersebut sesungguhnya memberi gambaran
bahwa pemerintah daerah bertujuan untuk menjawab dua persoalan
utama yang diuraikan oleh ARP pada poin “A” alinea kedua.
Dari sikap yang dimunculkan masyarakat tersirat pesan yang
ingin disampaikan kepada pemerintah, bahwa pendidikan masih belum
dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk masa depan anak-anak
mereka. Sebab dalam konsep masyarakat adat, anak masih dilihat
sebagai tulang punggung dan tenaga kerja dalam keluarga, yang bisa
didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena
itu, pendidikan hanyalah sebuah kegiatan yang menyita waktu anak-
anak untuk membantu orang tua. Di sinilah letak perbedaan
pandangan antara pemerintah dengan masyarakat.
Berdasarkan data penelitian yang ditemukan di beberapa sekolah
yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni dan Teluk
Arguni Bawah, ternyata masalah pendidikan yang ditemui peneliti
sangat berhubungan dengan kinerja kepala sekolah. Penyebab
munculnya persoalan pada lingkup kepemimpinan SD (Sekolah Dasar)
119
berkaitan dengan kebiasaan kepala sekolah seringkali meninggalkan
tempat tugas, hal tersebut berdampak pada proses penyelenggaraan
pendidikan (belajar mengajar). Menghadapi konteks seperti ini,
masyarakat mengambil sikap menurut cara pandang mereka. Sikap
yang dilakukan masyarakat setempat adalah dengan melakukan
pemalangan pada rumah kepala sekolah, dan menyampaikan kondisi
yang mereka alami kepada pihak instansi terkait. Menjawab hasil
laporan masyarakat tersebut, pemerintah melalui instansi terkait
mengambil lengkah-langkah dengan melakukan mutasi alih tempat
tugas terhadap para kepala sekolah yang tidak taat melaksanakan tugas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen, Bab IV, Pasal 28, Ayat 1 dijelaskan bahwa “Guru yang
diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antar-
kecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan
satuan pendidikan dan/atau promosi”; Ayat 2 “Guru yang diangkat oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan
antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun
antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Kebijakan pemerintah untuk memutasikan beberapa kepala
sekolah di Distrik Teluk Arguni dan Teluk Arguni Bawah telah sesuai
dengan prosedur, namun jika dihubungkan dengan substansi mutasi
UU Nomor 15 Tahun 2005 ayat 1, yang memberi penekanan pada
“kebutuhan dan/atau promosi” maka hal tersebut masih sangat jauh
dari harapan.
Pada prinsipnya, pemindahan/mutasi tenaga guru dari satu
tempat ke tempat yang lain merupakan kewenangan Pemerintah
Daerah melalui instansi teknis. Namun yang harus diperhatikan juga
adalah, bahwa pemindahan/mutasi guru bertujuan untuk menjawab
“kebutuhan dan/atau promosi”. Hal ini jika dibiarkan maka kualitas
guru dan hasil pendidikan tidak akan bisa dicapai, karena
pemindahan/mutasi tenaga guru kepala sekolah yang terjadi pada SD
YPK Jawera, SD YPK Barari dan SD Inpres (Instruksi Presiden)
120
Bofuwer selalu berawal dari masalah ketidakbetahan seorang guru di
tempat tugas.
Menjawab masalah pendidikan dasar di Kabupaten Kaimana,
yang berada pada wilayah-wilayah terpencil, pemerintah memiliki
sikap yang sangat jelas dalam mengatasi masalah pendidikan. Sikap
pemerintah tersebut dilansir oleh surat kabar Online Radar Sorong
Jumat, 05 Januari 2018 | 10:46 sebagai berikut:
KAIMANA- Guru tidak melaksanakan tugas mengajar, terlebih yang terjadi di kampung-kampung, maka Kepala Dinas Pendidikannya akan dicopot. Karena menjadi kepala dinas harus mampu mengatur dan memimpin bawahannya. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma dalam closing statementnya pada acara penutupan kegiatan siraman rohani bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berlangsung di Aula Gereja Katolik St. Monika Kampung Baru, belum lama ini.
“Nanti besok ketika saya melantik Kepala Dinas Pendidikan, saya akan turun ke lapangan dan cek sendiri. Kalau pertama saya turun ke Kampung Ure dan tidak ada satu pun guru yang mengajar di sana, maka Kepala Dinasnya akan saya beri peringatan pertama. Berikutnya, ketika saya ke Egarwara juga tidak ada guru, maka surat peringatan kedua. Kalau sampai ketiga, di Wasukono juga tidak ada guru yang mengajar, maka saya pulang dan bersama Wakil Bupati mengeluarkan SK pencopotan dari Kepala Dinas Pendidikan,” tegas Bupati Mairuma. Orang Nomor Satu di Kaimana ini menegaskan, lebih baik secepatnya menyelamatkan Negeri ini, dari pada Negeri ini akan hancur. Karena menurut Bupati, ketika persoalan pendidikan ini tidak segera diatasi dengan baik, maka ke depannya yang akan bertanggungjawab adalah Bupati dan Wakil Bupati. “Yang akan bertanggungjawab kepada masyarakat adalah saya dan Wakil Bupati. Bukan hanya bertanggungjawab kepada masyarakat saja, tetapi juga bertanggungjawab kepada Tuhan. Olehnya, sebagai Kepala Dinas harus bisa melaksanakan tugas dengan baik, memiliki rasa tanggungjawab yang besar untuk memajukan Kaimana ke depan. Membangun Kaimana ini, bukan hanya tugas dan tanggungjawab saya dan Wakil Bupati saja,
121
tetapi kita semua memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama,” kata Bupati Mairuma...(nic)4
Dari informasi yang dilansir media semakin memperjelas
komitmen pemerintah dalam membangun pendidikan sebagai
jembatan emas menuju masa depan Kaimana yang jauh lebih baik.
Karena itu, setiap unsur yang memiliki kaitan langsung dengan
penyelenggaraan pendidikan di “Negeri 1001 Senja” wajib diberi
teguran secara bertahap hingga pada tahapan pencopotan jabatan.
Pada bebera kasus yang berkaitan dengan kebiasaan guru
meninggalkan tempat tugas hingga berbulan-bulan, hal itu diketahui
oleh pemerintah melalui instansi teknis, jika ada masyarakat yang
mengambil inisiatif untuk melaporkan kondisi tersebut. Dalam konteks
seperti ini muncul pertanyaan, apakah instansi yang berwenang tidak
memiliki biaya operasional untuk melakukan pemantauan terhadap
para guru yang bertugas di daerah-daerah terpencil? Adalah benar
bahwa masyarakat memiliki tanggungjawab bersama mengawasi dan
mengawal penyelenggaraan pendidikan di setiap kampung, namun
dalam konteks seperti ini, hubungan guru dengan masyarakat pada
akhirnya mengalami kerenggangan karena terkadang masyarakat dicap
sebagai pihak yang suka melapor para guru kepada pemerintah. sikap
yang diambil pemerintah melalui instansi teknis adalah melakukan
mutasi pindah.
Dari temuan data di lapangan penelitian berkaitan dengan
pergantian pimpinan sekolah dasar di wilayah Distrik Teluk Arguni
dan Teluk Arguni Bawah, menurut hemat peneliti, pergantian kepala
sekolah dasar tidak didahului dengan sebuah kajian riset yang baik.
Sebab dari sejumlah responden yang ditemui peneliti, informasi yang
diberikan kepada peneliti rata-rata sama. Komentar masyarakat yang
diwakili oleh Sekretaris Kampung Jawera MR beliau katakan begini:
“kita di Kampung Jawera ini mungkin dapat musibah apa, sampai-
sampai setiap pergantian kepala sekolah, yang satu datang ganti yang
lama, hasilnya tetap sama saja. Mereka (kepala sekolah) selalu tidak
4 Sumber http://www.radarsorong.com/read/2018/01/05/56956/Bupati-tak-Segan-Copot-Pimpinan-SKPD diunduh pada tanggal 10 Januari 2018
122
betah di kampung, sampai-sampai kami sudah bosan pergi lapor terus
di Dinas Pendidikan”. Hal ini menunjukan bahwa hasil kajian yang
berhubungan dengan penempatan figur pimpinan sekolah dasar di
wilayah-wilayah terpencil belum dikaji secara maksimal. Paling tidak,
ketika seorang guru yang akan ditugaskan pada satuan unit kerja yang
baru, sudah seharusnya instansi teknis melakukan kajian lebih
mendalam. Kegunaan hasil kajian dengan pertimbangan konteks sosial
masyarakat setempat, jika dilakukan dengan baik maka persoalan
penolakan masyarakat terhadap guru bisa diminimalisir, karena yang
diinginkan masyarakat adalah kesetiaan seorang guru berada di tempat
tugas bersama masyarakat. Jika hal ini tidak diberi perhatian serius,
maka akan berakibat pada sikap masyarakat setempat yang terkadang
melakukan perbandingan antara pimpinan sekolah masa lalu dengan
masa sekarang5. Sikap perbandingan yang dibuat oleh masyarakat
merupakan hal yang normal, sebab yang diinginkan masyarakat adalah
bagaimana seorang guru dapat menyesuaikan diri dengan mereka.
Karena itu, ketika tenaga guru pengganti tidak memiliki kemampuan
menyesuaikan diri, dengan masyarakat setempat maka reaksi
masyarakat akan berubah6.
Dari beberapa responden yang ditemui, peneliti mendapat
informasi bahwa pergantian kepala sekolah di SD YPK Barari - Urisa,7
SD YPK Manggera - Jawera,8 dan SD Inpres Bofuwer.9 Kebijakan
5 Masyarakat selalu melakukan perbandingan bahwa kepala SD masa lalu jauh lebih layak karena selalu betah berada di tempat tugas. 6 Dalam penjelasan kepala dinas saat diwawancara menjelaskan bahwa: terkadang masyarakat ketika melakukan perbandingan antara pimpinan sekolah SD masa lampau dan masa sekarang. Di saat masyarakat merasa tidak cocok karena kepala SD mungkin seringkali meninggalkan tempat tugas maka datang menghadap di kantor dinas dan melapor untuk dilakukan pergantian. Jika kami tidak cepat-cepat menanggapi apa yang mereka sampaikan, maka bisa saja mereka mengusir petugas guru yang mengajar di kampung mereka. 7 Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni Bawah. Di kampung Urisa terdapat satu SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen). 8 Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni Bawah. Di kampung Jawera terdapat satu SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen). 9 Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni dan merupakan pusat pemerintahan Distrik Teluk Arguni. di Kampung Bofuwer terdapat satu SD Inpres.
123
pergantian kepala sekolah di ketiga SD tersebut mengalami
permasalahan yang hampir sama, artinya pimpinan sekolah tidak
berada di tempat tugas berbulan-bulan, dengan demikian pada titik
akhir kesabaran masyarakat terjadi penolakan terhadap pimpinan
sekolah dasar masing-masing.
Menurut cerita orang tua dari salah satu kampung di bawah
gunung Genova berinisial AN saat dilakukan wawancara menjelaskan
sebagai berikut:
“masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-guru masa sekarang ini, paling berbeda dengan guru-guru pada waktu dulu. Waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan dorang (mereka) bisa lakukan les pelajaran pagi dan malam hari di rumah pastori10. Sekarang ini, guru-guru yang Dinas Pendidikan kasih untuk kitorang (kita) di kampung-kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak sama dengan pace-pace11 (bapa-bapa) guru dulu. Pace-pace (bapa-bapa) guru itu mengajar di depan kelas, mereka ajar masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra (sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, kitorang pung (kita punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat ada beberapa keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota untuk sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada satu tenaga guru yang dapat honor dari kampung, dia itu yang mengajar sendiri”.12
Apa yang disampaikan merupakan sebuah realitas yang dirasakan
oleh masyarakat. Kebijakan penempatan tenaga guru, baik menyangkut
pimpinan SD maupun para guru bantu, terkadang tidak melewati
10 Pada waktu dulu, rumah pastori (rumah yang ditempati guru jemaat) selalu digunakan sebagai tempat mengajar anak-anak saat menjelang sore dan subuh. Tradisi ini sudah tidak ada di sekolah-sekolah berbasis Kristen. 11 Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya bapa. 12 Wawancara tanggal 27 Desember 2016
124
tahapan seleksi oleh pihak yang memiliki kewenangan. Ada
kemungkinan, yang menjadi tolok ukur dalam menempatkan tenaga
guru hanya untuk memenuhi tuntutan kuantitas tanpa dilihat
kualitasnya serta keseriusan untuk mengabdi.
Kualitas yang diharapkan tidak sebatas pada kemampuan
intelektualitas seorang guru, sebab yang menjadi tolok ukur adalah
keseriusan mengabdi dan memahami panggilan untuk melayani dan
menjadi guru bagi anak didik di perkampungan. Berangkat dari
konteks tersebut, salah satu tokoh adat dengan inisial SA memberi
mejelaskan bahwa:
“guru-guru kontrak yang pemerintah bawa dari Toraja awal-awalnya mereka masuk kampung itu paling betah sekali, jarang turun kota, bahkan sampai satu tahun baru mereka turun, tetapi lama-lama juga mereka mulai tidak betah di kampung, saya sebagai kepala suku, saya juga seringkali jalan di kampung-kampung dan lihat keadaan seperti itu saya menangis. Ada apa sebenarnya, mungkin kami punya orang tua terlalu biking kampung jauh dari kota kha?13 Tetapi di kampung ini sudah, kami punya kehidupan ada di sini, jadi mau buat bagaimana lagi, kami tetap akan ada di kampung14.”
Untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Kabupaten
Kaimana yang dijuluki “Negeri 1001 Senja” itu, pemerintah membuat
kebijakan mendatangkan tenaga guru kontrakan dari Tanah Toraja.
Solusi ini awalnya dianggap merupakan terobosan yang baik, namun
13 Pada saat menjelaskan beliau sempat menangis dan mengatakan kepada peneliti; “mohon maaf anak, bapak menangis ini karena bapak ingat orang tua-tua penginjil, dorang (mereka) datang sampai masuk ke pedalaman yang sangat jauh, hanya untuk kami orang Papua ini, mereka punya gaji tidak ada, apa yang orang kampung makan, itu juga yang mereka makan, tetapi mereka setia tinggal di kampung-kampung yang jauh. Sekarang ini, pemerintah kasih uang banyak untuk pegawai guru-guru ini, tapi toh tidak betah. Kami kira guru-guru kontrak ini bisa sama dengan orang tua-tua penginjil, pada hal sama saja”. Bapa sudah buat keputusan, bapa akan menghadap bupati Matias Mairuma untuk mau bilang kepada bapak Bupati “ko tutup distrik Teluk Etna dan Yamor sudah, lalu kasih pindah akang (dia) ke pantai sebab mungkin terlalu jauh kah, jadi petugas tidak tidak. sambil menyapa penulis “anak bapa punya anak-anak ini dorang, bapa sudah tidak kasih sekolah di Kampung, percuma saja, mereka tambah bodoh, bapa mau kasih sekolah di Kaimana ini saja”. 14 Wawancara tanggal 6 Januari 2017
125
dalam perjalanan maju, dunia pendidikan di wilayah-wilayah terpencil,
kembali pada persoalan yang sama.
Kembali pada permasalahan penempatan kepala sekolah yang
ditolak oleh masyarakat, sebenarnya akar permasalahan berada pada
fasilitas infrastruktur (perumahan guru) yang ada. Karena itu, menurut
Kepala Dinas Pendidikan di “Negeri 1001 Senja”, menjelaskan bahwa
“kebanyakan penolakan masyarakat terhadap guru yang bertugas di
kampung-kampung disebabkan juga pada ketersediaan fasilitas seperti
perumahan guru serta kebutuhan-kebutuhan lain yang dibutuhkan di
daerah pedalaman terkadang tidak terpenuhi”. Lebih jauh dijelaskan
bahwa, hal inilah yang mengakibatkan para guru tidak betah berada di
tempat tugas. Menyangkut akomodasi, beliau menjelaskan juga bahwa,
kita sama-sama tahu, kalau perumahan guru yang dibangun oleh
kontraktor terkadang tidak memenuhi standar, pada akhirnya banyak
rumah guru mengalami kerusakan sehingga banyak guru terkadang
tidak betah dengan kondisi ini dan terpaksa mereka berlama-lama di
kota sehingga lupa kembali melaksanakan tugas sebagai seorang guru.
Saya sebagai kepala dinas sangat memahami konteks ini. Kita boleh
memberi tekanan tetapi kita juga harus menyiapkan fasilitas yang
mereka butuhkan di tempat tugas. Inilah yang menjadi pertimbangan
saya sebagai kepala dinas pendidikan.15
Memahami penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Kaimana, penulis menggaris bawahi penekanan yang disampaikan,
bahwa sebenarnya para guru bisa saja betah di tempat tugas, jika
permasalahan menyangkut akomodasi seperti fasilitas perumahan
disiapkan secara baik oleh pemerintah. Jika hal itu diberi perhatian
maka, kewajiban seorang guru pasti akan terealisasi.
Berbeda dengan penjelasan ARP, beliau lebih melihat pada sisi
perhatian pemerintah soal pemberian insentif berupa uang zona, uang
makan dan tunjangan-tunjangan lain yang diberikan permerintah.
Menurutnya, dengan adanya perhatian pemerintah yang serius
diberikan kepada pegawai yang bertugas di pedalaman sudah
15 Wawancara tanggal 12 Februari 2017
126
selayaknya para pegawai tidak harus selalu mengeluh dan membedakan
para petugas yang ada di kota dengan pegawai yang berada di
pedalaman. Dalam penjelasannya secara datail dikatakan bahwa:
“untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah. Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung”16.
Sejumlah penjelasan tersebut menunjukan bahwa keberpihakan
pemerintah daerah Kabupaten Kaimana melalui kebijakan yang dibuat
cukup baik. Artinya, perhatian pemerintah daerah terhadap aparatur
pemerintahan, baik yang berada di kota hingga wilayah pedalaman
boleh dianggap sangat mendapat perhatian. Karena itu, ketika muncul
permasalahan, maka hal tersebut berada pada tingkatan implementasi
kebijakan.
Polemik pendidikan delapan anak suku asli di Negara der Panser17
(Jerman)
Salah satu kebijakan yang cukup strategis dibuat pemerintah
Kabupaten Kaimana di dunia pendidikan adalah mengirim delapan
orang anak untuk mengikuti kuliah di Jerman. Terobosan itu akhirnya
direalisasikan pada tanggal 19 Sepetember 2012, Bupati Kaimana secara
resmi melepaskan delapan anak mengikuti program perkuliahan di
AACHEN UNIVERSITY OF APLLIED SCIENCE GERMANI dan
16 Wawancara tanggal 8 Maret 2017 17 Istilah der Panzer merupakan simbol yang dilebelkan pada kesebelasan Jerman pada piala dunia tahun 1954 di mana pada pertama kalinya kesebelasan Jerman Timur mengalahkan Hongaria 3-2. Julukan der Panzer memberi penjelasan singkat yang mengarah pada teknologi Jerman yang sangat mutahir yaitu panzer/tank yang bermesin diesel yang semakin lama semakin pana atau tidak cepat panas. Dengan latar belakang teknologi tersebut, Jerman dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki teknologi tinggi dan menjadi pilihan pemerintahan daerah untuk mengirim delapan anak suku dari Negeri 1001 Senja untuk belajar di sana. (sumber: https://oncik.blogspot.co.id/2013/07/final-piala-dunia-1954-dan-asal-mula.html diunduh pada tanggal 07 Oktober 2017.
127
WOLSFBURG UNIVERSITY. Jika kita mengikuti penjelasan Bupati
Kaimana secara detail yang dikemas dalam bentuk video dan diunggah
oleh MARKAS (Masyarakat Kaimana Sejahtera), maka menurut Bupati
Kaimana dijelaskan sebagai berikut:
“Kami telah mengirim beberapa anak kita, untuk bersekolah di AACHEN UNIVERSITY OF APLLIED SCIENCE GERMANI dan WOLSFBURG UNIVERSITY. Semuanya ini agar supaya ada tempat ada ruang bagi anak-anak asli Kaimana untuk bersekolah. Kenapa kami pilih luar negeri, karena selain bersekolah mendapatkan mutuh pendidikan yang berkualitas, mereka juga bisa membangun network mendunia di antara teman-teman mereka di sana. Yang nantinya ada manfaat juga untuk pembangunan di Kabupaten Kaimana”.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana yang
dijelaskan di atas, tergambar jelas keinginan pemerintah untuk bisa
mensejajarkan antara pembangunan fisik dan pembangunan non fisik.
Artinya, selain pembangunan fisik yang gencar dilaksanakan, pada sisi
lain, dibutuhkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang
nantinya akan menjadi modal pembangunan. Sebab pembangunan
merupakan kegiatan dan aktifitas manusia yang berkelanjutan
(sustainable). Dan untuk melanjutkan roda pembangunan di “Negeri 1001 Senja”, Kabupaten Kaimana harus menyiapkan sumber daya
manusia, khususnya putra putri asli Kaimana.
Menjawab konteks sosial masyarakat, pemerintah membuat
kebijakan mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit jumlahnya,
untuk kepentingan pendidikan delapan anak asli Kaimana di Jerman.
Namun, dalam konteks perpolitikan di di Kabupaten Kaimana,
kebijakan pemerintah selalu dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai
kebijakan politik yang mengarah pada upaya pencitraan diri. Hal ini
dapat dimaklumi, karena kebijakan pemerintah dalam menjawab
masalah sosial masyarakat, pemerintah berada dalam jabatan politik.
Dalam jabatan politik tersebut, maka kebijakannya adalah kebijakan
politik, tetapi karena berkaitan dengan masalah sosial, maka
kebijakannya adalah kebijakan yang bernuansa sosial politik, sebab
berhubungan dengan konteks masyarakat.
128
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti melakukan wawancara
pada beberapa responden terkait dengan kebijakan pemerintah
mengirim delapan anak Kaimana untuk mengikuti pendidikan di
Jerman. Dari wawancara yang dilakukan terhadap responden sebagai
salah satu tokoh masyarakat berinisial DR, beliau menjelaskan sebagai
berikut:
“sebenarnya kita semua menginginkan kalau anak-anak negeri ini disekolahkan ke luar daerah bahkan sampai ke luar negeri, tetapi jangan sampai semua yang dibuat oleh pemerintah itu hanya untuk kepentingan politik. Kalau ternyata pemerintah memiliki sikap yang tulus terhadap anak-anak negeri ini untuk disekolahkan di luar negeri, hal itu merupakan kemajuan bagi pemerintah dan terlebih khusus bagi masa depan negeri ini. Kalau sampai saat ini ada sebagain masyarakat yang merasa tidak puas dengan kebijakan bapak Bupati Kaimana, hal itu wajar, sebab uang yang digunakan untuk biaya anak-anak delapan orang ke Jerman, itu uang masyarakat Kaimana. Hal ini sangat wajar kalau masyarakat minta Bupati Kaimana memberi penjelasan. Ada hal yang tidak beres dalam program pengiriman anak-anak ke Jerman, sebab ada yang mengatakan bahwa mereka delapan orang yang dikirim di Jerman bukan mereka ada sekolah tetapi mereka sudah menjadi pekerja di kebun di Jerman, apakah ini benar atau tidak, pemerintah diminta untuk menjelaskan hal ini”18.
Berbeda dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti
tehadap salah satu tokoh adat delapan suku berinisial SA beliau
menjelaskan sebagai berikut:
“mereka yang melakukan protes terhadap kebijakan Bupati Kaimana untuk kasih sekolah anak-anak di Jerman itu, hanya orang-orang yang dulu sebagai lawan politik, mereka berusaha untuk mau menjatuhkan dia dengan cara-cara yang tidak sopan. Mereka demonstrasi sana sini, bataria (bersuara) kiri kanan bilang Matias Mairuma makan uang bantuan sosial dari dana Otsus (otonomi khusus), mereka lapor ke sana ke mari, tapi apa yang terjadi, Matias Mairuma tetap Bupati Kaimana, itu berarti
18 Wawancara tanggal 8 Februari 2017
129
dorang (mereka) yang demonstrasi itu hanya omong kosong saja”19.
Dari kedua responden yang diwawancarai, peneliti menemukan
dua hal yang cukup berbeda. Pertama, bahwa pada sebagian kelompok
masyarakat, mereka berpendapat kalau kedelapan anak yang dikirm ke
Jerman ternyata mereka tidak bersekolah, dan mereka sudah menjadi
pekerja kebun di Jerman, dari hasil wawancara ini diduga ada aktor
yang memainkan peran dan membentuk opini sebagian masyarakat
lokal di Kabupaten Kaimana. Aktor yang memainkan peran bisa saja
manusia, bisa juga melalui media sosial yang telah mendunia hingga
pelosok daerah. Kedua, dari penjelasan responden, peneliti menggaris
bawahi bahwa munculnya kelompok atau aktor yang memainkan
peran, diduga adalah bagian dari dampak PEMILUKADA (Pemelihan
Kepala Daerah), atau kelompok yang berseberangan dalam konteks
penyelenggaraan demokrasi pada tingkat pemilihan kepala daerah.
Dalam penelusuran yang dilakukan peneliti melalui “arena”
MEDSOS (Media Sosial), peneliti menemukan beberapa informasi yang
sudah dikemas dalam bentuk video, serta telah diunggah di MEDSOS
Yutube. Untuk itu, pada bagian ini peneliti membeda hasil unggahan
beberapa kemasan video tersebut dalam beberapa bagian sebagai
berikut:
Lansiran berita dari CV. Sinar Pagi Nabire
Berita yang dilansir oleh CV. Sinar Pagi Nabire dalam liputannya
menjelaskan beberapa hal penting terkait dengan kebijakan Bupati
Kaimana terkait dengan pengiriman delapan anak Kaimana ke Jerman
sebagai berikut:
“Sedikitnya 8 anak yang berasal dari beberapa wilayah perkampungan di Kaimana itu, akhirnya bisa menggapai ilmu di FHA Achen University of Applied Science Jerman. Mereka akhirnya terpilih untuk bisa melanjutkan sekolah di Jerman, setelah 3 tahun lamanya berada di Suryo Yohanes Institute. Kini 8 anak tersebut, sedang mengurus administrasi mereka di Kaimana dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Bupati
19 Wawancara tanggal 13 Maret 2017
130
Kaimana, Drs. Matias Mairuma di ruang Rapat Bupati, Selasa (22/10) kemarin, menyampaikan rasa bangganya, di depan semua pimpinan kepala bagian, orangtua, para staf Setda Kaimana.
“Jerman adalah salah satu negara yang tidak pernah diimpi-impikan oleh sebagian besar rakyat di Kaimana, termasuk saya, bahwa anak-anak asli Kaimana ini bisa menempuh studi di sana. Dan ini sudah komitmen saya untuk menyekolahkan anak-anak Kaimana hingga ke luar negeri, ini merupakan bentuk percepatan pembangunan,”• ujar Bupati Mairuma.
Dia menjelaskan, sejak 3 tahun lalu yakni tahun 2010 lalu, pemerintah daerah telah mengirimkan mereka untuk menempuh pendidikan di Surya Yohanes Institute. Mereka sudah mampu dan tidak dapat diragukan lagi kemampuan mereka. “Apa yang saya janjikan dulu, saat ini terwujud, bahwa anak-anak asli Kaimana, harus bisa menjadi pemimpin di negerinya sendiri,”• ujar Bupati Mairuma dengan penuh bangga.
Ke-8 anak yang akan mengikuti pendidikan di Jerman tersebut, yakni Samual Tana yang berasal dari Hia Distrik Buruway, Ayub Jafata dari Kampung Kensi Distrik Teluk Arguni Atas, David Yoris Fagira Kampung Werafuta Distrik Kambrauw, Musa Olobar dari Distrik Kaimana, Rofinus Naroba dari Kampung Esania Distrik Buruway, Salomo Orani Kampung Lobo Distrik Kaimana dan Nomansen Watebosi dari Kampung Urubika Distrik Yamor.
Bupati Mairuma dalam keterangannya juga menyebutkan, saat ini ke 8 siswa tersebut sedang mengurus kelengkapan administrasi mereka di Kaimana, untuk selanjutnya berangkat ke Jerman dalam waktu dekat. Ternyata bukan hanya bicara, namun Pemerintah Daerah melalui Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, mengambil kebijakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini. Langkah pertama setelah mengirim ke 8 siswa tersebut sekolah di Suryo Yohanes Institute, saat ke 8 siswa kembali mengurus administrasi pun, pemerintah daerah sangat memperhatikan mereka. Mulai dari akomodasi dan segala urusan lainnya dilakukan oleh sejumlah staf Setda Kaimana.
“Saat ini saya asramakan mereka di Kaimana Beach Hotel, agar mereka jangan sampai pulang ke kampung. Jika ada orangtua mereka yang datang dari kampung, silahkan bertemu mereka di Hotel. Karena sebentar saja mereka di Kaimana dan selanjutnya kembali ke Jakarta untuk memperdalam Bahasa Jerman, sebelum diberangkatkan ke Jerman,”• kata Bupati.
131
Di depan semua pihak yang hadir dalam kesempatan itu, Bupati menyebutkan, ini merupakan komitmen pemerintah untuk bisa memajukan Kaimana ke depan. “Jika saya selesai masa jabatan saya, saya akan usahakan dalam sisa waktu masa jabatan saya ini, untuk mencari lembaga donatur agar ke 8 anak ini dapat menyelesaikan studi mereka di Jerman, hingga selesai,”• ujarnya.
Dari keterangan Founder (CEO) Institute De Eurnesia Overseas Higher Education Preparation Services, Johannes Kembuan dan salah satu mitranya, Ir. Richard Angrianto, menyebutkan, meski saat ini, ke 8 siswa tersebut belum menyelesaikan pendidikan di SLTA Suryo Yohanes Institute, namun FHA Achen University of Applied Science dapat menerima mereka.
“Kami sudah melakukan koordinasi dengan pihak universitas dan pihak universitas menyetujuinya. Kalau dari segi kemampuan, ke 8 anak ini tidak dapat diragukan lagi, karena mereka sudah 3 tahun belajar di Suryo Yohanes Institute,”• katanya.
Di depan Bupati, para pimpinan SKPD serta para orangtua, dia mempresentasikan tentang program perkuliahan yang ada di FHA Achen University of Applied Science. Sementara itu, beberapa orang tua siswa yang hadir dalam kesempatan itu, mengaku bangga dengan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. “Kami hanya memberikan apresiasi positif kepada pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Kaimana Matias Mairuma, yang telah berkomitmen untuk menyekolahkan anak-anak asli Kaimana hingga ke Jerman,”• ujar Apolos Tabora, salah satu orang tua siswa.
Sementara itu, salah satu siswa yang akan sekolah ke Jerman, Samuel Tana, saat memberikan pandangannya juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, yang begitu konsen untuk memajukan dunia pendidikan termasuk mengirimkan mereka sekolah di Jerman.
Direncanakan, ke 8 anak tersebut akan mengurus administrasi mereka di Kaimana selama beberapa hari dan selanjutnya kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. “Ini bukti nyata yang harus disampaikan ke seluruh warga Kaimana bahwa pemerintah cukup konsen untuk dunia pendidikan. Apalagi, sebagian besar mereka yang akan berangkat ke Jerman ini adalah berasal dari keluarga tak mampu dan keluarga yatim maupun piatu,” ujar
132
salah satu staf memberikan pandangannya, saat dikonfirmasi usai pertemuan di Ruang Rapat Bupati.20
Lansiran berita Radar Sorong
Jika pada poin satu lansiran berita CV. Sinar Nabire yang
menjelaskan tentang harapan dan kebijakan Bupati Kaimana terkait
pengiriman delapan anak Kaimana untuk bersekolah di FHA Achen University of Applied Science Jerman, hal tersebut berbeda dengan
lansiran berita Radar Sorong yang mengangkat berita tentang
kepulangan empat anak asli Kaimana dari Negeri “der Panzer” dikembalikan ke Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada lansiran berita
Koran Radar Sorong sebagai berikut:
KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.
“Jadi tidak pernah pemerintah daerah mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan mereka. Karena tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?” tegas Bupati Mairuma.
Dalam pernyataannya, Bupati juga mengakui, sebelum memulangkan keempat anak ke Indonesia, pemerintah daerah
20 Sumber : http://www.nabire.net/8-anak-kaimana-akan-disekolahkan-di-jerman/ 8 ANAK KAIMANA AKAN DISEKOLAHKAN DI JERMAN CV. SINAR PAGI Nabire diunduh pada tanggal 26 desember 2017
133
pun melakukan pertemuan dengan dengan para orangtua wali dari keempat anak ini. “Karena sebelum berangkat ke Yohanes Surya dan selanjutnya ke Jerman, pemerintah daerah juga meminta surat pernyataan dari masing-masing anak. Jadi sebenarnya tidak ada masalah, tetapi untuk persoalan sekolah di Jerman ini ada kebijakan dan operasional. Kalau kebijakan salah, silakan tuntut saya, tetapi kalau operasional salah kita usut bersama siapa yang salah dalam hal ini, sehingga menjadi jelas bagi seluruh masyarakat Kaimana,” ujar Orang Nomor Satu di Kaimana ini lagi.
Bupati juga menambahkan, setelah mendengar rencana pemulangan tersebut, akhirnya dibuatlah pertemuan di Kaimana dan selanjutnya pertemuan di Jakarta dengan pihak yang mengurus mereka di Jerman.
“Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di Jerman di Student Collage. Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya dengan persepsi mereka sendiri,” ujar Bupati Mairuma panjang lebar.
Untuk itu, dia pun mengatakan, silakan jika ada pihak yang karena persoalan tersebut dan ingin memalang Kantor Bupati Kaimana, silakan saja, kalau memang gedung ini yang salah. “Kalau memang kebijakan sekolah ke Jerman ini salah, saya siap mempertanggungjawabkan itu. Dan jika ini karena operasionalnya yang salah, silakan Polres mulai menyidik pemerintah daerah. Saya sangat siap kalau memang disidik oleh polisi karena kebijakan ini,” tegasnya.
Dalam pernyatannya, Bupati Mairuma dengan tegas mengatakan, soal dana Rp. 22 miliar yang dipergunakan untuk kepentingan program ini, sebaiknya polisi segera sidik pemerintah daerah. “Kalau memang sampai sekarang polisi belum panggil sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para
134
pendemo beberapa waktu lalu, sebaiknya sekarang kita bawa diri ke Polisi agar mereka bisa mulai menyidik kita. Supaya barang ini selesai, siapa yang salah dalam hal ini. Jangan ada pihak-pihak yang dengan sengaja mau menahan persoalan ini sehingga terus mengganggu dan merongrong pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah ini,” ujar Bupati lagi.
Bupati Mairuma juga menegaskan, jika dalam penyelidikan yang nantinya dilakukan oleh pihak kepolisian, kebijakan tidak salah, begitu pula operasionalnya pun tidak salah, maka sebaiknya Polisi segera menghukum orang yang sudah melakukan pembohong publik ini. “Kita ini negara hukum, bukan negara yang ada di hutan belantara sana. Ini juga menjadi pembelajaran bagi kita semua, agar jangan asal bunyi tetapi harus dilandasi dengan bukti-bukti yang benar. Karena jika ini terus dibiarkan maka akan tetap ada konflik-konflik horisontal terbuka di sana,” tegas Bupati Mairuma lagi.(nic)21
Dari data yang dihimpun oleh penulis melalui berita surat kabar
yang menjelaskan secara detail proses persiapan delapan anak asli
Kaimana untuk mengikuti pendidikan di Jerman hingga
dikembalikannya empat anak ke Indonesia, penulis menerik benang
merah bahwa sikap pemerintah sangat jelas. Artinya bahwa untuk
program studi di Negeri der Panzer, Pemerintah Kabupaten Kaimana
telah menyiapkan kedelapan anak asli Kaimana yang ditempah selama
tiga tahun di Institut Yohanes Suryo. Bahkan ketika keempat anak
dikembalikan ke Indonesia, pemerintah dengan tegas menjelaskan
sikap dengan membuka seluas-luasnya kebebasan kepada semua pihak
termasuk kepada kelompok yang merasa dirugikan “silahkan jika ada pihak yang karena persoalan tersebut dan ingin memalang Kantor Bupati Kaimana, silakan saja, kalau memang gedung ini yang salah”. Kepada pihak Kepolisian pemerintah pemerintah daerah meminta
untuk melakukan pemeriksaan, di mana letak kesalahan pihak
Pemerintah Daerah dan Badan yang diberi kewenangan
bertanggungjawab atas program tersebut.
21Sumber http://www.radarsorong.com/read/2016/10/26/47562/Permintaan-Mahasiswa-Pulang-dari-Jerman Diunduh pada tanggal 26 Desember 2017.
135
Penerimaan dan Mutasi Pegawai Negeri Sipil
Sebagai daerah pemekaran, kebutuhan tenaga pegawai untuk
menduduki sejumlah jabatan struktural dan fungsional, penerimaannya
harus dirasionalisasi sesuai kebutuhan. Jumlah aparatur sipil negara
yang dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Kaimana, tidak selamanya
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, kebutuhan tersebut haruslah
dibarengi dengan kebijakan Pemerintah Pusat, hal ini penting, karena
APBD (Anggaran Pendapatan Beanja Daerah) sangat tergantung dari
APBN (Anggaran Pedapatan Belanja Negara) yang di dalamnya
tercamtum alokasi keuangan daerah termasuk APBD Kabupaten
Kaimana. Dengan demikian, maka penerimaan ASN (Aparatur Sipil
Negara) masih menjadi kebijakan Pemeritah Pusat, karena itu, dalam
penerimaan ASN, khususnya penerimaan CPNS penetapan jumlah
serta kompetensi yang dibutuhkan pada setiap wilayah pemerintah
daerah harus disetujui oleh pemerintah pusat.
Pada satu sisi, penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil)
merupakan kebijakan yang berlaku bagi semua anak bangsa, yang
memiliki kompetensi untuk menjadi ASN (Aparatus Sipil Negara).
Menghadapi situasi seperti ini, terkadang muncul permasalahan yang
dihadapi oleh Pemerintah Daerah, yang berhubungan dengan tuntutan
putra-putri asli daerah kepada pemerintah untuk bisa mengakomodir
masyarakat lokal menjadi CPNS. Sementara pada satu sisi, Pemerintah
Daerah sangat terikat dengan kuota CPNS yang diberikan Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah. Selain itu, kuota penerimaan CPNS
harus berdasarkan pada kebutuhan dari sisi disiplin ilmu. Dalam
konteks seperti ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dituntut
melahirkan kebijakan yang adil, sehingga kebijakaan yang dibuat tidak
memicu dampak konflik horisontal antara masyarakat asli dengan
pemerintah.
Menghadapi permasalahan seperti ini, Pemerintah Kabupaten
Kaimana berada dalam situasi yang sangat dilematis. Artinya, untuk
mewujudkan keterwakilan putra putri anak asli Kaimana menjadi
CPNS, pemerintah harus mengimbangi jumlah keterwakilan yang
dimulai dari, keterwakilan delapan suku asli, keterwakilan marga/klan,
136
dan keterwakilan dari masing-masing kampung. Kalaupun hal ini bisa
dilakukan pemerintah, maka persoalan yang dihadapi adalah berkaitan
dengan tingkat pendidikan masyarakat lokal yang masih sangat rendah,
dan di sinilah letak titik persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Kaimana.
Terlepas dari pemasalahan penerimaan CPNS, pemerintah
dituntut untuk melakukan kebijakan rasionalisasi pemerataan
penempatan pegawai di setiap pelosok wilayah Kabupaten Kaimana.
Sebab, substansi penerimaan CPNS berhubungan dengan pelayanan
terhadap masyarakat, karena itu, pemerintah berkewajiban melakukan
rasionalisasi pegawai yang bertujuan untuk menjawab persoalan
pelayanan pemerintah terhadap masyarakat.
Kebijakan dan kebutuhan merupakan dua hal yang berbeda.
Kebijakan merupakan otoritas birokrasi, sementara kebutuhan
masyarakat merupakan fakta sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan
membutuhkan keseriusan pemerintah pemegang otoritas kebijakan.
Kedua perbedaan ini akan saling melengkapi, jika dalam
mengimplementasi kebijakan tersebut dapat menjawab sejumlah
permasalahan sosial masyarakat.
Pada bagian ini, penulis akan mengurai dua hal penting yang
memiliki kaitan dengan penerimaan pegawai negeri sipil dan pegawai
kontrakan serta mutasi pegawai dalam lingkungan Pemerintah
Kabupaten Kaimana.
Penerimaan calon pegawai negeri sipil
Selama masa kepemimpinan pemerintah Kabupaten Kaimana
periode pertama, hingga memasuki periode ketiga, pada saat dilakukan
seleksi penerimaan CPNS dan tenaga pegawai kontrak, penyampaian
hasil kelulusan tes selalu diwarnai dengan protes massa, mulai dari
jumlah massa puluhan orang, hingga bisa mencapai ratusan. Bahkan
terkesan, terasa tidak lengkap kalau hasil tes CPNS dan pegawai
kontrakan tidak disertai dengan demonstrasi massa. Fenomena protes
massa ini selalu menjadi menu pelengkap pengumuman hasil tes,
137
ibarat sajian menu di atas meja makan, kalau belum ada susu, maka
belum bisa dikatakan “empat sehat lima sempurna”.
Tes penerimaan CPNS dilakukan sebagai suatu kriteria dasar dan
sebagai tolok ukur untuk mendapatkan aparatur peyelenggara
pemerintahan yang memiliki kualitas yang baik. Artinya, hasil tes
CPNS bisa digunakan oleh pemerintah sebagai rujukan dalam menata
pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Dari harapan tersebut, tes
CPNS bukan sebuah style dalam merekrut ASN, bukan pula upaya
pemerintah atau strategi pemerintah untuk merekrut sekelompok
orang yang memiliki hubungan kerabat dengan penyelenggara
pemerintahan. Tetapi yang diinginkan pemerintah adalah, agar tujuan
pembangunan yang dicanangkan pemerintah bisa menyentuh
masyarakat, sebab penerimaan CPNS selalu didasarkan pada kebutuhan
daerah, selain penambahan tenaga ASN, tetapi juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat pada
semua sektor.
Berangkat dari konteks pelayanan bergereja, penulis pernah
bersama-sama dengan pemerintah (Kepala Daerah) Kabupaten
Kaimana. Pada acara pembukaan RAKERSIS (Rapat Kerja Klasis22) yang
diselenggarakan oleh GPI Papua (Gereja Protestan Indonesia di Papua)
pada lingkup Klasis Teluk Arguni. Pemerintah Kabupaten Kaimana
sebagai mitra kerja gereja selalu diundang untuk membuka sidang serta
rapat-rapat kerja yang berlangsung setiap tahun. Dalam sambutan
Bupati Kaimana, pada acara Rapat Kerja Klasis Teluk Arguni tahun
2014 di Jemaat Imanuel Kensi, berbagai program kerja pemerintah
turut disampaikan kepada peserta RAKERSIS, hal ini disampaikan oleh
Bupati Kaimana, karena pemerintah merasa bahwa masyarakat di
wilayah-wilayah pedalaman harus mengetahui secara baik dan benar
setiap program kerja yang dicanangkan oleh pemerintah. Dalam arahan
yang disampaikan, pemerintah memberi penekanan pada hasil tes
22 Lihat Peraturan Pokok GPI Papua Tentang Klasis memberi penjelasan bahwa “Klasis”; merupakan kumpulan beberapa jemaat yang terbetuk dalam satu wilayah pelayanan, karena letak geografisnya untuk memudah jangkauan pelayanan gereja
138
CPNS yang sudah diumumkan oleh pemerintah, dalam penekanannya
Bupati menyampaikan sebagai berikut:
“jika ada anak-anak Tuhan yang mengikuti tes CPNS, khususnya anak-anak asli Kaimana, kalau kita mengikuti kriteria kelulusan tes, maka hasil lulus tes CPNS didominasi oleh mereka-mereka yang datang dari luar, karena itu sebagai Kepala Daerah, saya mencoba untuk membuat perimbangan, sehingga hasil kelulusan tes CPNS bisa ada keterwakilan anak-anak negeri juga. Jika saya tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil”23.
Walaupun upaya-upaya tersebut sudah dilakukan, namun masih
saja ada tantangan dari sebagian warga masyarakat. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa:
“untuk membuat perimbangan maka dengan dua tangan saya sendiri, saya harus melakukan perubahan, siapa yang bisa lolos dan siapa yang tidak. Saya harus berpikir bagaimana agar ada perwakilan dari delapan suku, dari kampung-kampung, keterwakilan marga, yang sampai saat ini ada marga yang belum ada dalam Birokrasi Pemerintahan Kabupaten Kaimana, ini semua menjadi tanggungjawab seorang kepala daerah agar tercipta keseimbangan”24.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut salah satu kepala suku
dengan inisial TT, beliau menjelaskan sebagai berikut:
“bupati sudah berupaya keras untuk melakukan yang terbaik, namun bagi masyarakat, mereka selalu menganggap bahwa apa yang dibuat oleh Bupati itu tidak adil, sehingga mereka lakukan protes sana-sini. Saya sebagai kepala suku merasa bahwa kitorang (kami) punya anak-anak ini mereka tidak lagi peduli terhadap kitorang (kami) yang diberi tugas sebagai kepala suku”.
Kebijakan yang dilakukan oleh Bupati Kaimana pada satu sisi
dianggap membantu atau menolong masyarakat asli sehingga dalam
birokrasi di Pemerintahan Daerah Kabupaten Kaimana dapat tercipta
pemerataan dan keseimbangan, namun kepada anak asli Kaimana yang
tidak lolos tes akan menganggap kebijakan tersebut sangat tidak adil.
23 Data dokumentasi gereja Klasis Teluk Arguni Tahun 2014 24 Data dokumentasi gereja Klasis teluk Arguni tahun 2010
139
Rasa ketidakadilan tersebut akhirnya disalurkan dengan cara-cara yang
terkadang menghambat jalannya pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat.
Melalui berita surat kabar Online Papua No. 1 News Portal I Jubi
menjelaskan bahwa: “Pemerintahan Kabupaten Kaimana tepatnya pada
tanggal 15 Agustus 2017, akibat tidak ada nama dalam SK yang
ditandatangani oleh Kepala Daerah, beberapa pegawai kontrak dan
sejumlah masyarakat dari suku Mairasi, Selasa (15/8/2017), melakukan
aksi penghentian pelayanan dan memalang di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten Kaimana, di Jalan Kaimana-Tangaromi Km
0 dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana, yang berada di kompleks
perkantoran Jalan Casuarina Krooy. Untuk menyelesaikan
permasalahan pemalangan Kantor Dinas Kesehatan tersebut, digelar
rapat berasama sebagai berikut:
“Kami lakukan ini untuk minta Kepala Dinas Kesehatan, kenapa kami yang bekerja selama tiga tahun sebagai tenaga kontrak, tahun ini yang diusulkan RSUD untuk ditindaklanjuti ke Bupati kenapa tidak ada SK. Nama yang muncul justru orang-orang baru. Kalau anak-anak negeri kami tidak persoalkan tapi yang ada ini basudara dari daerah lain di luar Papua. Kami ini salah apa...”
Mereka juga mempertanyakan sejumlah nama baru yang muncul dalam SK tersebut yang berlaku mulai bulan Maret, padahal nama-nama ini tidak pernah dilihat bekerja di RSUD sebagai tenaga kontrak. Dalam kesempatan itu warga juga mengatakan bahwa mereka tidak melakukan perlawanan terhadap Bupati. Mereka hanya ingin ada kejelasan terkaiat tidak adanya SK kepada tenaga kontrak selama tiga tahun di RSUD Kaimana.
“Situasi yang kami lihat tadi lain. Kami ini datang tidak untuk melawan Kepala Dinas, tidak untuk melawan Bupati. Aksi ini kami hanya minta kejelasan pemerintah terkait tidak adanya nama saudara kami di SK pengangkatan sebagai PNS di RSUD Kaiman. Kami minta Pak Kapolres Kaimana untuk menindak tegas setiap gerakan dari oknum-oknum yang mau melakukan apa saja terhadap orang lain, karena ini akan membahayakan dan menggangu konstalasi keamanan negeri ini,” pinta mereka.
140
Mendengar apa yang menjadi keluhan masyarakat, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana, AS menjelaskan...
”Waktu mau usulkan nama-nama tenaga kontrak, kami surati UPT RSUD Bagian Kepegawaian untuk memasukan tenaga kontrak yang telah bekerja sampai sekarang. Semua dari nama-nama itu kami satukan dengan tenaga kontrak yang ada di Dinas Kesehatan. Kami usulkan ke Kepala Daerah. Kami sendiri tidak merubah. Sejumlah nama itu sudah yang kami usulkan tetapi kalau adek ini juga tidak ada nama dalam SK, nanti kami cek, itu menjadi tanggung-jawab kami. Berikan kami waktu untuk berbicara dengan Sekda dan Bupati,” kata Arifin.
Gambar. 4.1 Pemalangan Kantor Dinas Kesehatan Kab. Kaimana. Sumber foto
Jubi/Jacob Owen.
Menghadapi situasi seperti ini, peneliti mendapat informasi dari
responden LF beliau menjelaskan bahwa:
“kita pung (punya) anak-anak yang pergi sekolah tinggi di Jawa, Makasar, Maluku, Japapura, Manokwari dan mungkin di luar negeri, dong (mereka) punya pikirin itu kalau dong (mereka) kembali ke daerah seperti di Kaimana ini, hanya ingin mau jadi pegawai negeri, pada hal jadi pegwai negeri itu permintaan terbatas. Mungkin juga waktu dong pergi sekolah, pemerintah selalu bilang begini “kamong pi (kamu pergi) sekolah supaya bisa jadi tuan di negeri sendiri, atau sering kita dengar orang bilang sekolah supaya bisa jadi pegawai”.
Adalah benar bahwa terkadang pendekatan pemerintah atau
institusi kemasyarakatan lainnya dalam memberikan motifasi kepada
OAP (Orang Asli Papua) terkadang tanpa sadar motifasi dibuat dalam
141
bentuk janji seperti yang disampaikan oleh responden LF. Konteks
inilah yang tidak disadari oleh pihak pemerintah dan institusi lainnya
yang membangun di Tanah Papua.
Kebijakan mutasi
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003
Tentang: Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil, maka pergeseran/mutasi Pegawai Negeri Sipil
merupakan Kewenangan Pemerintahan Daerah.
Kebijakan yang dibuat pemerintah Kabupaten Kaimana, terkait
dengan pemindahan Kepala Distrik Teluk Arguni, menuai ragam
tanggapan masyarakat, yang terbentuk dalam dua kelompok besar.
Kedua kelompok tersebut memiliki pendangan yang berbeda, yang satu
sangat mendukung kebijakan pemerintah, sementara kelompok kedua,
tidak setuju dengan alasan masing-masing. Untuk mengetahui alasan
penolakan mutasi kepala Distrik Teluk Arguni, maka penulis
melakukan wawancara terhadap salah satu tokoh masyarakat yang juga
merupakan pegawai negeri yang bertugas sebagai staf distrik berinisial
LF beliau menjelaskan bahwa:
“kami ini bingung dengan pergantian kepala Dsitrik Teluk Arguni, yang kami pertanyakan adalah mengapa anak kami MB baru menjabat satu tahun lebih, trus (terus) bapak Bupati mau melakukan pergantian, kalau alasannya bahwa anak kami tidak bekerja membangun negeri ini, tentu alasan itu tidak mendasar, sebab dia baru bertugas satu tahun lebih, belum tentu dia bisa lakukan pembangunan secara nyata, coba kasih dia kesempatan tiga atau empat tahun, nanti kalau dia tidak membangun, maka silahkan ganti dengan orang lain”25.
Dijelaskan lebih lanjut, LF menilai bahwa: “mutasi Kepala Distrik
Teluk Arguni sangat politis sekali”. Senada dengan hal tersebut,
kelompok masyarakat yang menolak mutasi Kepala Distrik Teluk
Arguni, dijelaskan oleh salah satu mantan kepala kampung LW bahwa:
“sebelum satu tahun pelaksanaan Pilkada Kabupaten Kaimana, MB diangkat sebagai Kepala Distrik Teluk Arguni. Ada sebagian
25 Wawancara tanggal 18 Mei 2017
142
orang yang beranggapan bahwa MB dipindahkan untuk tujuan memenangkan petahana, tetapi dalam kenyataan petahana tra lolos (tidak lolos) jadi Bupati Kaimana untuk periode kedua. Karena itu, mutasi ini banyak orang (orang asli) di Distrik Teluk Arguni menilai bermuatan politis sekali. Dengan demikian muncul penolakan dari masyarakat asli yang disponsori oleh sebagian masyarakat dari tiga kampung (Warwasi, Bofuwer dan Wanggita), kemudian penolakan semakin meluas datang dari kampung-kampung yang lain. Sementara kalau dinilai, mereka yang menolak mutasi Kepala Distrik Teluk Arguni, merka juga merupakan bagian dari pendukung bupati terpilih periode 2010-2015”26.
Sangatlah tidak logis jika basis pendukung calon bupati terpilih
menolak kebijakan kepala daerah yang dipilih oleh mereka. Sebagai
peniliti, dalam melihat kasus seperti ini muncul keinginan untuk
melakukan kajian mendalam dengan pertanyaan sederhana “Apakah
penolakan tersebut murni merupakan sikap masyarakat?
Untuk mengetahui titik permasalahan yang sesungguhnya,
penulis menemui salah satu responden yang merupakan pendukung
fanatik bupati terpilih, namun yang bersangkutan juga termasuk
kelompok yang melakukan penolakan mutasi kepala distrik. Dalam
penjelasannya LW, menjelaskan bahwa: “kalau masalah penolakan
kepala Distrik Teluk Arguni waktu itu kami diajak untuk tandatangan
surat penolakan dan saya dikasih uang lima ratus ribu rupiah, saya
tidak tauh yang lain, apakah mereka dapat atau tidak”.
Keterangan ini memberi gambaran jelas, kalau masyarakat hanya
digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kedudukan seorang
kepala distrik, walaupun disadari, mungkin saja ada warga masyarakat
yang menolak didasarkan pada hubungan keluarga, agama, dan
rumpun sosial. Sikap seperti ini menunjukan bahwa masyarakat
terkadang digiring dalam konteks demokrasi sepihak untuk
kepentingan kedudukan serta kekuasaan.
26 Wawancara tanggal 18 Mei 2017
143
Kebijakan Pemerintah Pusat di Daerah
Pembangunan yang berlangsung di daerah tidak selamanya
didasarkan pada kebijakan Pemerintah Daerah. Dari sejumlah
kebijakan pembangunan yang dilaksanakan di Daerah kabupaten/kota,
terdapat sejumlah kebijakan Pemerintah Pusat.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah tersebut tentu telah
diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IV Poin
(c) tentang: Hubungan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal
18A, butir (1); hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, atau antara provinsi dan
kabupaten/kota diatur dengan undang-undang, dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Ketentuan pasal 18A ayat (1) ini
terkait erat dengan Pasal 4 ayat (1),27 dengan ketentuan bahwa daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berlandaskan
atau mengacu pada Pasal 4 ayat (1) dimaksud. Ayat (2) hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang. Ketentuan Pasal 18A ayat (2) ini dimaksudkan agar
penyelenggaraan pemerintah daerah tetap menjamin adanya prinsip
keadilan dan keselarasan. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut
keuangan, termasuk yang menyangkut hak-hak daerah, diatur dalam
undang-undang. Demikian pula halnya dengan urusan pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya juga
ditata agar daerah mendapatkan bagian secara proporsional. Seiring
dengan itu, pasal ini juga menjamin sejumlah kewajiban untuk
memperhatikan daerah lain bagi yang memiliki sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berbeda atau daerah lain yang tidak
memilikinya, yang semuanya harus diatur dengan undang-undang.28
27 Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 28 Lihat Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
144
Masih berkaitan dengan penjelasan pasal 18A ayat (1) dan (2),
yang tentunya dalam implementasi kebijakan Pemerintah Pusat di
daerah akan bermuara pada pasal 33 ayat (4) perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Adanya ketentuan baru
dalam pasal 33 refisi ini terutama dimaksudkan untuk melengkapi “asas
kekeluargaan”29 pada pasal 33 naskah asli. Asas kekeluargaan dan
prinsip ekonomi nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu yang
sangat penting dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi di
Indonesia. Hal tersebut di pandang sangat penting agar seluruh sumber
daya ekonomi nasional digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan paham
demokrasi ekonomi sehingga mendatangkan manfaat optimal bagi
seluruh warga negara dan penduduk Indonesia.30
Tujuan kewenangan Pemerintah Pusat di daerah sesungguhnya
bertujuan menciptakan pemerataan ekonomi antara satu daerah
dengan daerah lain dan antara daerah dengan pusat.
Rambu-rambu pengatur kebijakan pusat di daerah sesungguhnya
memiliki maksud yang baik, namun terkadang masyarakat sebagai
bagian dari komunitas terkecil yang berada di wilayah-wilayah
pedalaman Papua secara khusus di Kabupaten Kaimana terkadang
menjadi obyek dari sebuah kebijakan, karena itulah terkadang pula
sikap masyarakat terhadap pemerintah terkesan kasar dalam
Sekretariat Jenderal MPR RI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6 Jakarta, edisi revisi, cetakan ke empatbelas tahun 2015.hlm.125, 126. 29 Dalam rumusan naskah asli pasal 33 menyebutkan (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 30 Lihat juga Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sekretariat Jenderal MPR RI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6 Jakarta, edisi revisi, cetakan ke empat belas tahun 2015.hlm.196, 197.
145
memahami sebuah kebijakan yang diturunkan baik dari pusat maupun
dari daerah.
Karena itu, pada bagian ini penulis akan menguraikan beberapa
kebijakan Pemerintah Pusat di daerah yang mengalami permasalahan
dalam implementasi kebijakan tersebut.
Kebijakan pelebaran bandara udara Utarom Kaimana
Kebijakan pemerintah pusat yang diarahkan pada wilayah Timur
Indonesia, sangat berhubungan dengan pembangunan aksesbilitas
(darat, laut dan udara). Sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah
(pusat dan daerah), tentu memiliki alasan yang sangat kuat, serta
memiliki target dalam konteks pembangunan daerah. Pembukaan
aksesbilitas tidak semata untuk membuka daerah-daerah yang terisolir,
tetapi lebih dari itu, adalah pemerintah ingin menjawab sejumlah
permasalahan sosial yang dihadapi oleh manusia di Kawasan Timur
Indonesia.
Kabupaten Kaimana merupakan salah satu wilayah
pembangunan yang kena dampak kebijakan pembangunan
infrastruktur. Pelebaran Bandara Udara Utarom Kaimana, dalam
konsep kebijakan Pemerintah Pusat sangat tepat dikembangkan
menjadi bandara yang menjembatani tiga provinsi yaitu Provinsi Papua
Barat, Papua, dan Maluku. Target kebijakan ini tentu harus disertai
dengan dilakukannya perubahan fisik bandara dengan menambah
pelebaran mencapai tiga puluh meter, dan penambahan panjang
bandara hingga mencapai dua ribu meter.
Berangkat dari kebijakan Pemerintah Pusat terhadap pelebaran
Bandara Udara Utarom Kaimana, ada hal yang perlu dipahami bersama,
bahwa sejarah pembangunan Bandara Udara Utarom Kaimana
memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan menyisahkan kisah pahit
bagi mereka yang kala itu terlibat secara langsung dalam
pengerjaannya. Hal ini disebabkan karena pembangunan Bandara
Udara Utarom Kaimana memiliki kaitan dengan kehadiran
kolonialisme (Belanda dan Jepang) di wilayah yang dijuluki “Negeri
1001 Senja”.
146
Berdasarkan data yang ditemukan berupa cerita tuturan maupun
catatan-catatan tertulis, diketahui bahwa pembangunan Bandara Udara
Utarom Kaimana pada saat dikerjakan, Tentara Jepang membawa
sejumlah tenaga kerja dari luar Pulau Papua, dan bergabung dengan
beberapa tenaga kerja masyarakat asli Kaimana. Dikisahkan oleh
beberapa responden bahwa proses pengerjaan bandara udara saat itu
sangat tidak manusiawi dengan sistem kerja paksa, bahkan tanah yang
digunakan untuk membangun bandara tersebut tidak melalui prosedur
izin pembebasan tanah milik masyarakat asli Kaimana.
Seiring berjalannya waktu penggunaan Bandara Udara Utarom
Kaimana, pemerintah seakan tidak mempertanyakan dan
mempersoalkan tanah adat yang di atasnya dibangun bendara serta
sejumlah fasilitas kantor. Setelah muncul kebijakan Pemerintah Pusat
untuk menambah volume panjang dan lebar bandara udara tersebut,
muncul reaksi masyarakat lokal yang mengklaim sebagai pemilik tanah
adat. Dampak dari tuntutan masyarakat tersebut menimbulkan gesekan
internal antar margaklan dan antar suku. Selain dampak internal,
dampak eksternal mulai terasa antara suku sebagai pemilik tanah adat
dengan pemerintah dan menuntut ganti rugi hak atas tanah adat.
Mengatasi permasalahan tersebut, delapan suku mulai merunut
sejarah masing-masing suku yang berhubungan dengan kepemilikan
tanah adat. Hasil pertemuan tersebut menyetujui bahwa Suku Mairasi sebagai pemilik hak atas tanah adat Bandara Udara Utarom Kaimana.
Dari hasil rapat tersebut pemerintah pusat melalui Pemerintah Daerah
Kabupaten Kaimana melakukan pembayaran ganti rugi sebesar lima
milyar rupiah kepada suku Mairasi.
Menurut beberapa responden yang ditemui peneliti, satu
diantaranya berinisial TT, beliau menjelaskan bahwa pengurusan
status tanah adat Bandara Udara Utarom Kaimana belum bisa
dinyatakan selesai, responden bercerita kepada peneliti sebagai berikut:
“saya bicara seperti ini, karena waktu nenek moyang dulu negeri ini sudah dibagi, ada suku-suku yang tinggal di gunung, lemba, sungai, kali dan pesisir pantai. Secara singkat saya hanya mau jelaskan bahwa bagian pantai ini dulunya dihuni oleh suku
147
Koiwae, kalau suku Mairasi mereka tinggal di pedalaman, saya pernah tanya teman-teman di Lembaga Dewan Adat, kira-kira nama bendara udara ini pakai bahasa suku apa, apakah Mairasi, Irarutu atau suku-suku lain, kan tidak ada yang bisa jawab saya, lalu saya bilang begini, nama Utarom itu bahasa Koiwae artinya “di dalam teluk”. Kalau Belanda pakai nama Utarom maka nama itu diambil dari bahasa suku Koiwae, itu berarti disekitar pesisir ini hanya ada suku Koiwae. Jadi saya tidak setuju kalau tanah bandara udara milik orang Mairasi. Kita mesti duduk sama-sama dan atur secara baik-baik, biar jelas siapa punya sebenarnya. Kalau sampai masalah ini tidak jelas, pasti saja pemerintah akan bermasalah dengan masyarakat adat dikemudian hari31.
Pertanyaan yang muncul dari hasil wawancara tersebut adalah
mengapa pemerintah mengambil sikap melakukan pembayaran kepada
suku Mairasi? Sementara pada pihak suku Koiwae masih memiliki
anggapan bahwa tanah bandara udara belum bisa dinyatakan sebagai
milik suku Mairasi. Lebih lanjut TT menjelaskan bahwa:
“awal mula tanah bandara udara itu bukan di gugat oleh masyarakat, mereka dari lima marga dan dua puluh tiga penggarap hanya minta ganti rugi saja, tapi suku Mairasi ini yang biking masalah ini tambah besar. Mereka mau meguasai daerah Kaimana ini, seolah-olah tanah Kaimana ini mereka punya. Karena itu muncul persoalan dalam tubuh Lembaga Dewan Adat. Saya punya maksud sebaiknya kita atur masalah ini baik-baik, sebab menurut saya persoalan ini belum bisa dibilang selesai”.
Dari penjelasan tersebut, tergambar jelas masalah internal LDA
delapan suku di Kabupaten Kaimana. Bahwa LDA belum melakukan
kejelasan tentang batas-batas hak ulayat tanah adat. Keadaan ini jika
tidak ditangani secara cepat, maka akan memengaruhi pembangunan
yang saat ini gencar dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Karena
pembangunan dengan desain apapun, akan bersentuhan dengan hak-
hak masyarakat adat, baik menyangkut tanah, laut, hutan dan sumber
daya alam lainnya. Dalam konteks ini, sudah seharusnya pemerintah
bersama lembaga-lembaga adat delapan suku asli Kaimana untuk
bersinergi memproteski hakekat kepemilikan tanah adat. Jika hal ini
terbiasa dibiarkan berlarut-larut, maka kebijakan pembangunan yang
31 Wawancara tanggal 11 Februari 2017
148
terus digulirkan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah), akan terus
mengalami permasalahan. Lihat foto bandara udara Utarom Kaimana
foto udara.
Gambar: 4. 2 Bandara Udara Utarom Kaimana Foto Udara. Sumber foto: KT,
diambil dari udara dan diedit oleh penulis
Keterangan: angka 1 = landasan pacu (Runway) bandara udara Utarom
sebelum diperpanjang, angka 2 = tambahan panjang landasan pacu (Runway) penimbunan laut, angka 3 = volume keseluruhan landasan pacu (Runway) bandara udara Utarom Kaimana.
Menurut Syn, KAUR TU UPBU (Kepala Urusan Tata Usaha Unit
Perhubungan Bandara Udara) Utarom Kaimana beliau menjelaskan
bahwa:
“permasalahan pengembangan Bandara Udara Utarom Kaimana antara pemerintah dengan masyarakat adat awalnya berhubungan dengan permintaan ganti rugi tanah adat dan tanah garapan. Tanah adat dianggap sebagai pemilik lima marga, sementara tanah garapan berhubungan dua puluh tiga penggarap. Pada saat akan direalisasikan pembayaran ganti rugi, suku Mairasi mengklaim bahwa tanah adat di Kaimana ini milik suku Mairasi. Karena itu mereka melakukan rapat yang juga dihadiri unsur pimpinan daerah dan dana sebesar lima milyar tersebut diserahkan kepada kepala suku Mairasi. Setelah diterima oleh kepala suku Mairasi, ternyata pembagiannya tidak sesuai dengan hasil kesepakatan bersama, akhirnya urusan pembagian uang ganti rugi tanah adat tersebut terbawa sampai ke ranah hukum”.
149
Penjelasan tersebut tergambar jelas betapa sulitnya penerapan
kebijakan pembangunan pemerintah pusat di daerah. Ada banyak
aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum menarapkan
kebijakan, sebab sentuhan kebijakan pemerintah akan selalu
berhubungan dengan hak ulayat Orang Asli Papua.
Eksplorasi MIGAS (Minyak dan Gas) Kebijakan Pemerintah Pusat
Kabupaten Kaimana merupakan salah satu wilayah yang
memiliki potensi sumber daya mineral dan gas bumi. Hal itu terlihat
dengan adanya beberapa perusahan besar seperti Cefroon dan
ChrisEnergi yang melakukan kegiatan eksplorasi dalam wilayah yang
dikenal dengan sebutan “Negeri 1001 Senja”. Untuk mengelola potensi
sumber daya mineral dan gas bumi dalam suatu wilayah pemerintahan,
kewenangan tersebut berada pada pemerintahan pusat. Hal itu
tergambar jelas dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak Dan Gas Bumi Bab I Pasal 1 Ayat 5 “kuasa pertambangan
adalah wewenangan yang diberikan negara kepada pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi”, ayat 8
“eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wilayah Kerja yang
ditentukan”, ayat 9 “eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang
bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah
Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian
sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan
lain yang mendukungnya”.
Kehadiran kedua perusahan tersebut, baru sebatas melakukan
eksplorasi, artinya kegiatan yang dilakukan barus sebatas pada kegiatan
yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
Walaupun kegiatan perusahan hanya sebatas ekprlorasi, tetapi
kegiatan eksplorasi tersebut banyak menimbulkan permasalahan
dengan masyarakat lokal. Secara khusus untuk P.T. ChrisEnergi yang
150
melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah Teluk Arguni, banyak
menimbulkan gesekan konflik antara pihak perusahan dengan
masyarakat setempat. Konflik yang muncul disebabkan pada indikator
utama yang berhubungan dengan lemahnya kegiatan HUMAS
(Hubungan Masyarakat) secara khusus sosialisai kepada masyarakat
lokal.
Lemahnya sosialisasi tersebut mengakibatkan masyarakat
melakukan pengerusakan kerambah ikan dan memutuskan kabel picu
ledakan dinamit yang akan digunakan sebagai alat simulasi ujicoba
peledakan dinamit, karena masyarakat masih sangat tidak percaya
bahwa dalam kedalaman dua puluh tujuh meter ledakan dinamit tidak
membahayakan ekosistem laut. Dalam menjalankan kegiatan
eksplorasi, beberapa mobil yang digunakan perusahan ditahan oleh
masyarakat karena para karyawan yang melakukan survei lapangan
untuk pengumpulan data analisis dan penyajian data yang
berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan
letak dan potensi sumber daya minyak dan gas bumi di luar wilayah
kerja, tanpa sengaja memotong tanaman pala milik masyarakat lokal.
Pada beberapa titik lokasi pemasangan dinamit, terdapat benda-benda
sejarah yang sangat disakralkan oleh masyarakat lokal, dan hal ini
dianggap oleh masyarakat adatis sebagai sesuatu yang turut
mengganggu hubungan mereka dengan alam.
Dari sejumlah persoalan tersebut, yang dihadapi oleh pihak
perusahan, pada saat peledakan dinamit bawah laut, ternyata banyak
ikan mengalami kematian secara tiba-tiba dan akhirnya keadaan ini
menimbulkan amarah masyarakat lokal. Menurut SW ketika
diwawancara menjelaskan bahwa:
“waktu pihak perusahan lekukan sosialisasi, mereka bilang bahwa peledakan dinamit sangat aman karena kedalaman dua puluh tujuh meter sudah sangat aman. Amannya itu menurut pihak perusahan mencapai sembilan puluh sembilan porsen, namun dalam kenyataan pada saat melakukan ledakan dinamit di bawah laut, banyak ikan mati terdampar dan hal itu membuat masyarakat marah, lalu masyarakat palang perusahan punya kantor, sampai kita urusan dua kali, urusan pertama dilakukan di balai pertemuan ibukota Distrik Bofuwer, masyarakat minta ganti
151
rugi dua puluh milyar, kalau tidak bayar, perusahan angkat kaki dan perusahan gulung tikar pulang. Lalu perusahan minta kita turun Kaimana untuk urusan di sana, setelah sampai di Kaimana kita urusan dan perusahan mengaku mereka punya kesalahan, waktu itu mereka bayar tapi tidak sebesar yang kami minta, sebab intinya mereka sudah mengaku salah dan meminta maaf”.
Informasi SW menunjukan bahwa sosialisasi pihak perusahan
tentang keamanan dan kenyamanan dalam kegiatan eksplorasi ternyata
tidak selamanya terbukti sama. Nilai aman yang disebut dengan angka
sembilan puluh sembilan persen, ternyata dalam melakukan peledakan
dinamit tidak terbukti, dan berdampak menimbulkan kerusakan pada
lingkungan. Seharusnya pihak perusahan harus menyadari bahwa
masih ada satu persen yang bisa saja mengakibatkan dampak kerusakan
disaat melakukan peledakan dinamit. Hal lain yang harus disadari juga
oleh pihak perusahan P.T. ChrisEnergi adalah, ujicoba peledakan
dinamit dengan tingkat aman sembilan puluh sembilan persen
ditempat lain, bisa saja berbeda hasilnya ketika berada di tempat yang
lain. Pada sisi lain, pengenalan manusia serta lingkungan alamnya, P.T.
ChrisEnergi belum memahami secara detail karakter Orang Asli Papua
yang cenderung memegang ucapan orang, karena budaya tuturan yang
mereka miliki sangat memengaruhi karakter mereka. Dengan
demikian, disaat terjadi ledakan dinamid bawah laut yang berdampak
pada lingkungan sekitar maka muncul steitmen masyarakat lokal
bahwa “perusahan ini tipu-tipu kami”.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Bab VII “Hubungan
Kegiatan Usaha Minyak Dan Gas Bumi Dengn Hak Atas Tanah” Ayat 3
“Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada”:
(a) tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum,
sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah
milik masyarakat adat; (b) lapangan dan bangunan pertahanan negara
serta tanah di sekitarnya; (c) bangunan bersejarah dan simbol-simbol
negara; (d) bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah
pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah,
persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal
tersebut.
152
Kenyataannya adalah, kegiatan eksplorasi menyentuh wilayah
tanah adat yang di dalamnya terdapat beberapa situs kepercayaan
masyarakat adat. Selain itu pula, lahan pala milik masyarakat adat dan
tanaman hutan lainnya yang digunakan masyarakat sebagai sumber
ekonomi dirusakan oleh kelompok survei yang tidak memiliki
pengetahuan terhadap sejumlah tanaman pala dan potensi hutan
tersebut. Karena itu, pelanggaran yang dilakukan oleh pihak P.T.
ChrisEnergi jika ditinjau dari sisi Undang Undang Nomor 22 Tahun
2001 Bab IV Ayat 3, terdapat kelalaian yang dilakukan oleh pihak
perusahan.
Hajiku Terkandas Dilekuk Implementasi Kebijakan
Penjelasan terkait dengan masalah keberangkatan CJH (Calon
Jemah Haji) Indonesia asal Kabupaten Kaimana pada bagian ini,
peneliti akan memulainya dari prespektif Undang Undang. Tujuan
penulis memulai dari prespektif Undang Undang karena penulis ingin
menghubungkan hakikat kebijakan dengan Undang Undang yang
berlaku. Undang-undang tersebut antara lain: Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah Bab IV Pasal 9 dan Pasal 10 dengan penjelasan sebagai berikut:
Pasal 9
1. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum;
2. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintahan pusat;
3. Urusan pemerintahan konkuran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintahan pusat dan daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/kota;
153
4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah
menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah;
5. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pasal 10
1. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada
pasal 9 ayat (2) meliputi: (a) politik luar negeri; (b)
pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal
nasional; dan (f) agama.
2. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat: (a)
melaksanakan sendiri; atau (b) melimpahkan wewenang
kepada Instansi Vertikal yang ada di daerah atau gubernur
sebagai wakil pemerintahan Pusat berdasarkan asas
Dekonsentrasi.
Pada bagian penjelasan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 poin tiga bait satu, dua dan tiga dijelaskan
“urusan pemerintahan” sebagai berikut:
“sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah
provinsi dengan Daerah Kabupaten/kota walaupun Urusan
154
Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang
lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-
masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah
Kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK
(Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria)yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan
pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya
urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang terkait
pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan
sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi
kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai
kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai
kepala pemerintahan kabupaten/kota”.
Dari uraian di atas, penulis menemukan pada pasal 10 tentang
“urusan pemerintahan absolut” berkaitan dengan ayat (1) huruf (f)
tentang “agama”. Artinya, bahwa dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan absolut “Pemerintah Pusat” dapat: (a) melaksanakan
sendiri; atau (b) melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal
yang ada di Daerah atau gubernur sebagai Wakil Pemerintahan Pusat
berdasarkan asas Dekonsentrasi. Itu berarti, dalam melaksanakan
kewenangan “urusan pemerintah absolut” oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota
dapat dilibatkan mengambil bagian dalam urusan ke-agama-an yang
berada dalam wilayah kerjanya. Karena itu, kebijakan Pemerintah
Kabupaten Kaimana untuk memberangkatkan beberapa umat muslim
untuk menjalankan ibadah haji dari dana APBD (Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah) Kabupaten Kaimana Tahun 2014 sudah tepat.
155
Selain itu pula, kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana
tersebut telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Menjadi Undang-Undang. Pada bagian kedua, tentang “Kewajiban Pemerintah”
Pasal 6
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan
ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji”. Bagian Ketiga
“Hak Jemaah Haji”
Pasal 7
Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi: (a)
pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air,
di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (b) pelayanan akomodasi,
konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik
di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (c)
perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; (d) penggunaan Paspor
Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah
Haji; dan (e) pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan
selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.
Berdasarkan lansiran berita Radar Sorong menjelaskan bahwa:
“ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang kemarin (22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan keberangkatan 39 calon jemaah haji asal Kaimana, yang diprogramkan oleh pemerintah daerah selama dua tahun anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan 2012. Saat ini, ke-39 CJH (Calon Jemah Haji) asal Kaimana yang batal berangkat, masih berada di Wisma Sayidah, Kompleks Universitas Islam Negeri, Ciputat Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal berangkat
156
karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa. Karena itu, seluruhnya bersepakat untuk tidak berangkat ke Tanah Suci. Massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati, massa yang membawa keranda mayat dan meletakannya di loby ruang tunggu Bupati dan Wakil Bupati. Aparat keamanan dari Polres Kaimana dan Satpol PP tidak bisa berbuat banyak32.
Dari liputan berita koran Radar Sorang, ternyata gagal berangkat
CJH Indonesia asal Kaimana sebanyak “tiga puluh sembilan”
disebabkan karena “delapan belas” di antaranya tidak memiliki visa.
Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 Tentang “Penyelenggaraan Ibadah Haji”
Menjadi Undang-Undang. Pada bagian Ketiga “Hak Jemaah Haji” Pasal
7 “Jemaah Haji” huruf (f) “penggunaan Paspor Haji dan dokumen
lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji”.
Ketidaklengkapan dokumen CJH jika diurutkan berdasarkan
aturan, maka kelemahannya berada pada penggunaan sistem
“pengorganisasian” lihat uraian Bab IV sebagai berikut:
Bab IV
Pengorganisasian
Bagian Kesatu Umum
Pasal 8
(1). Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan,
pelaksanaan, dan pengawasan; (2). Kebijakan dan pelaksanaan dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi
tanggung jawab Pemerintah: (3). Dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Menteri
mengoordinasikannya dan/atau bekerja sama dengan masyarakat,
32 Sumber http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRD, diunduh pada tanggal 14 November 2017
157
departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi; (4).
Pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan
Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemerintah
membentuk satuan kerja di bawah Menteri; (5). Pengawasan
Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas dan tanggung jawab
KPHI; (6). Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pelaksanaan
dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat 2
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Penyelenggaraan Ibadah Haji dikoordinasi oleh: (a) Menteri di
tingkat pusat; (b) gubernur di tingkat provinsi; (c) bupati/wali kota di
tingkat kabupaten/kota; dan (d) Kepala Perwakilan Republik Indonesia
untuk Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 10
(1). Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban
mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji; (2)
Pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji berkewajiban menyiapkan dan
menyediakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Haji
sebagai berikut: (a) penetapan BPIH; (b) pembinaan Ibadah Haji; (c)
penyediaan Akomodasi yang layak; (d) penyediaan Transportasi; (e)
penyediaan konsumsi; (f) Pelayanan Kesehatan; dan/atau (g) pelayanan
administrasi dan dokumen. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Lemahnya sistem pengorganisasian, maka hal tersebut
berdampak luas dan mengakibatkan demonstrasi massa. Liputan koran
Radar Sorong menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
“Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah
158
haji. Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan ini. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji, tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menindaklanjuti persoalan ini hingga tuntas, tukasnya”.
Menarik untuk disimak sikap para demonstrasi di depan Kantor
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Kaimana.
Melalui koordinator aksi MK menyampaikan aspirasi dengan memberi
penekanan pada kepengurusan keberangkatan CJH yang dianggap tidak
propesional. Selain itu pula RU mencoba mendesak DPRD Kabupaten
Kaimana untuk memanggil Bupati Kaimana agar menjelaskan duduk
persoalan dan jika pemanggilan tidak diindahkan, maka DPRD
Kabupaten Kaimana segera melakukan paripurna istimewa.
Tantangan dan Harapan di Ujung Jalan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004
Tentang Jalan, menyebutkan pada uraian “menimbang” bahwa: (a)
bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur
penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara,
dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan
fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa jalan sebagai bagian
sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama
dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan
dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar
tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan
pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang
dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional; (c) bahwa
159
untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, pemerintah
mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan; (d) bahwa
agar penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna
dan berhasil guna diperlukan keterlibatan masyarakat;
Dari sejumlah poin “menimbang” dalam UU Nomor 38 Tahun
2004, disimpulkan bahwa manfaat membuka akses jalan darat adalah
sejalan dengan prinsip UUD 1945 yaitu:
...memajukan kesejahteraan umum... untuk ...mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan... agar, ...tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah... serta, ...membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional... karena itu, ...pemerintah mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan... dan untuk ...mencapai target tersebut, ...diperlukan keterlibatan masyarakat...
Karena itu kebijakan pemerintah untuk membuka akses jalan
darat di Tanah Papua khusus di Kabupaten Kaimana, hal ini dilakukan
sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah dengan tujuan agar
pemerintah dapat mengakses pelayanan hingga mencapai wilayah-
wilayah masyarakat yang belum tersentuh.
Itu berarti substansi membuka jalan darat memberi manfaat baik
terhadap pemerintah dan juga terhadap masyarakat. Dampak nyata
dengan adanya akses jalan, pelayanan birokrasi pemerintah mampu
menjangkau daerah-daerah yang masih sangat terisolir. Itu berarti,
pemerintah butuh aksesbilitas sebagai sarana yang memudahkan
pemerintah untuk menjawab sejumlah permasalahan sosial yang
dihadapi masyarakat. Sementara pada pihak masyarakat, manfaat jalan
secara ekonomi memberi kemudahan untuk mejangkau pasar, pada
tataran hubungan sosial masyarakat dapat membangun hubungan
dengan sesama, baik secara internal maupun eksternal. Hal ini sejalan
dengan prinsip UU 38 Tahun 2004, Bab II “Asas, Tujuan, Dan Manfaat” Pasal 2 menjelaskan bahwa:
“Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keadilan, tranparansi dan akuntabilitas,
160
keberdayagunaan, dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan”.
Karena itu pada bab satu diberi penekanan tentang: “Peran,
Pengelompokan, dan Bagian-Bagian Jalan”, Bagian Pertama, yaitu:
Peran Jalan Pasal 5 Ayat 1 dijelaskan bahwa:
“jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Ayat 2 “jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara” Ayat 3 “jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indoensia”.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa selain sebagai sarana
transportasi, jalan memiliki manfaat bagi ekonomi, sosial budaya,
lingkungan hidup, politik, pertahanan keamanan dll, maka
pembangunan jalan harsulah dipahami sebagai bagian dari kebijakan
pemerintah yang harus menghidupkan manusia dari berbagai sektor.
Karena itu pula jalan dapat disebut sebagai “kesatuan sistem jaringan”, pada Pasal 7 Ayat 1 menjelasakan bahwa:
“sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder”, Ayat 2 “sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan”, Pasal 9 Ayat 1 “jalan umum menurut statusnya dikelompokan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa” Ayat 4 “jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dan sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten”.
Sebagai sebuah sistem jaringan, maka setiap orang bebas
mengakses jalan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Berdasarkan
fungsi “jaringan jalan” yang diuraikan pada pasal tujuh ayat satu, yang
161
membagi fungsi pembangunan “jaringan jalan” dalam dua bagian yaitu
“jaringan jalan primer” dan “jaringan jalan sekundar”. Penjelasan
“sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan bersifat
menerus yang memberikan pelayanan lalu lintas tidak terputus
walaupun masuk ke dalam kawasan perkotaan”. Penjelasan “jaringan
jalan primer” jika dipahami substansinnya, maka hal itu berhubungan
dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Keberpihakan undang-undang yang diuraikan di atas, dalam
implementasinya banyak terbentur dengan sejumlah masalah. Karena
penelitian ini berhubungan dengan “implementasi kebijakan” yang
dibuat pemerintah (pusat, provinsi dan daerah), maka pengungkapan
data penelitian yang disajikan adalah data yang berhubungan dengan
“implementasi kebijakan” yang bersumber dari masyarakat adat.
Secara alamiah, hubugan masyarakat adat dengan alam sulit
untuk dipisahkan, sebab alam tidak hanya dipahami dan dimaknai
sebatas sebagai potensi sumber daya. Akan tetapi lebih dari itu, alam
dipahami dan maknai sebagai sosok yang memiliki nyawa (kehidupan)
yang digambarkan sebagai sosok “Adena”33 yang menafkahi manusia.
Gambaran tentang sosok yang bernyawa itu dikenal melalui label
marga/klan yang digunakan masyarakat setempat dan berhubungan
dengan alam sekitar. Misalnya, ada marga/klan yang memiliki
hubungan asal usul dari unggas, binatang malata, binatang berkaki,
pohon, gunung, air dll.
Dalam konteks masyarakat adat di Kabupaten Kaimana, sebutan
marga/klan digunakan untuk menyebut nama leluhur, karena manusia
adatis pada masa lalu masih hidup secara individual. Setalah manusia
adat mulai hidup berkelompok dan melakukan perkawinan lintas suku,
maka sebutan nama marga/klan digunakan pada akhir sebutan nama
seseorang dengan tujuan untuk mempertahankan identitas dan sebagai
rujukan untuk mengetahui leluhur serta asal usul mereka. Karena itu,
manusia adat sangat sulit menggeserkan dirinya atau digeserkan oleh
pihak lain dari alamnya.
33 Dalam konsep Suku Kuri dan Irarutu, alam di pandang sebagai sosok mama, dalam bahasa Irarutu disebut “Adena”.
162
Dalam melaksanakan tujuan perencanaan pembangunan
berkelanjutan (sustainable), kita menemukan dua sisi yang berbeda.
Sisi yang satu sebagai rujukan menuju proses perubahan alam
modernisasi, sementara pada sisi yang lainnya, pembangunan itu
sendiri berpotensi menghilangkan tanda-tanda alam seperti yang
berhubungan dengan nama marga/klan. Contoh yang sangat konrit di
Kabupaten Kaimana, semua orang tahu“Gunung Takimai”. Namun,
setelah di atas gunung tersebut dibangun tuguh dengan simbol dua
ekor ikan hiu, semua orang Kaimana cenderung mengubah nama
gunung tersebut dengan sebutan “gunung ikan hiu”. Dalam
hubungannya dengan manusia Kaimana, simbol “tugu ikan hiu” sama
sekali tidak ada korelasi, bahkan ada yang beranggapan bahwa
pembangunan “tugu ikan hiu” di atas “Gunung Takimai” memiliki
nilai petaka karena simbol tersebut bagi masyarakat adat di Kabupaten
Kaimana mencirikan sesuatu yang jahat sesuai dengan sifat ikan
tersebut.
Mungkin dalam konteks modernisasi, hal itu dianggap sah-sah
saja, sebab pembangunan tugu hanya sebagai petanda, tetapi yang
harus diingat juga adalah bahwa simbol selalu merujuk pada tiga hal,
yaitu simbol itu sendiri, simbol sebagai petanda dan simbol sebagai
yang menandai sesuatu yang lain. Dari tiga hal ini, pembanguanan
“tugu ikan hiu” tidak mewakili ketiga unsur tersebut karena tidak
memiliki hubungan dengan masyarakat adat di Kabupaten Kaimana.
Jika dilakukan perbandingan serta fungsinya sebagai tanda-tanda
alamiah orang Kaimana lebih kenal “Gunung Takimai”, karena
memiliki nilai marga/klan dengan orang yang pernah tinggal di gunung
tersebut. Jika hal seperti ini tidak diberi perhatian maka pada akhirya,
komunitas yang memiliki sejarah dengan alamnya akan mengalami
pengikisan nilai sejarah secara perlahan-lahan.
Konteks lain yang dihadapi pemerintah dalam merealisasikan
pekerjaan jalan adalah, cara berladang/berkebun masyarakat adat yang
selalu berpindah-pindah (Shifting Cultivation)34. Artinya, jalan yang
34 Shifting Cultivation atau cara berladang berpindah-pindah yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara, menebang pohon pada lokasi yang akan dijadikan ladang.
163
dibuat untuk menghubungkan beberapa titik perkampungan, secara
kasat mata yang dilihat hanyalah hamparan hutan, namun di tengah-
tengah hutan tersebut terselib sejumlah jenis pepohonan yang
dahulunya merupakan bekas kebun masyarakat lokal. Jika hal ini tidak
dipahami secara baik, maka masyarakat bisa melakukan pemalangan
dan menghentikan pekerjaan jalan yang dikerjakan.
Menghadapi konteks seperti ini, pemerintah diharuskan
mengikuti sejumlah prosedur yang diinginkan masyarakat adat.
Misalnya, melakukan ganti rugi tanah adat dan tanaman milik
masyarakat, selain itu pula jika jalan yang dikerjakan bertemu dengan
titik sakralitas atau lokasi yang dikeramatkan oleh masyarakat adatis,
maka solusi yang harus dilakukan adalah pemerintah harus melakukan
ritual adat yang disebut dengan istilah “sinara”35.
Sinara merupakan simbol adat masyarakat lokal yang digunakan
lintas generasi untuk berkomunikasi dengan alam. Mungkin saja kita
pernah mendengar orang mengatakan “alam tidak mengenal kompromi”, namun bagi masyarakat adat, alam bisa diajak
berkompromi. Model kompromi dilakukan dengan cara sebagai
berikut; pertama: alam tidak boleh dipandang sebagai lawan, sebab
dalam pandangan masyarakat lokal, alam merupakan sesuatu yang
sudah berwujud dengan memiliki karakter. Selain karakter alamiahnya,
Setelah pohon ditebang lalu dibakar. Setelah dibakar, areal tersebut ditanami dengan jenis tanaman seperti jagung, sayur-sayuran, padi ladang, ketela yang usianya hanya mencapai tiga bahkan sampai lima bulan. Setelah hasil dipanen, lokasi ladang kemudian ditanami dengan jenis tanaman seperti pala, kelapa, cengki dll. Tanaman dibiarkan hidup bersama pohon-pohon hutan disekitarnya. Petani kemudian berpindah membuka ladang baru. Cara berladang seperti ini, ketika pemerintah akan membuka akses jalan kemudian jalan tersebut terarah pada lokasi bekas kebun/ladang masyarakat, maka terkadang tanaman masyarakat bisa tegusur. Hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah. 35 Kegiatan sinara adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebelum membuka sebuah wilayah baru. Dalam konteks pembangunan jalan atau pembangunan yang lainnya, seorang kontraktor seringkali berhadapan dengan tuntutan tersebut. Terkadang upacara Sinara bisa menyedot dana yang besar, hal ini seringkali menjadi permasalahan bagi pemerintah/kontraktor yang menyelenggarakan pembangunan di wilayah-wilayah perkampungan yang masih terikat dengan aturan alam yang sangat kental
164
alam juga dipadang sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan karena
memiliki penghuni, yang oleh masyarakat setempat disebut
“penunggu”. Penunggu yang dimaksud di sini adalah penjaga alam
milik masyarakat lokal; model kompromi kedua, untuk mengajak alam
agar bisa hidup bersama-sama dengan manusia, maka upacara “sinara”
menjadi media perantara agar manusia bisa komunikasi dengan alam.
Gambar: 4.3 Foto Prosesi Pelaksanaan “Sinara” Pekerjaan Pengaspalan Ruas
Jalan Kaimana Triton. Sumber Foto KT.
Dengan julukan “Negeri 1001 Senja”, akan terasa lengkap jika
keindahan Teluk Triton disiapkan sebagai salah satu potensi wisata
untuk menambah semarak keindahan “Negeri 1001 Senja”. Untuk
maksud tersebut, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur jalan dari
Ibukota Kabupaten Kaimana menuju Teluk Triton.
Niat mulia Pemerintah Kabupaten Kaimana direalisasikan
dengan kebijakan membangun jalan penghubung sepanjang kurang
lebi tujuh puluh lima kilometer. Dampak dari pembangunan jalan
menuju Teluk Triton yang melewati perkampungan masyarakat tentu
berdampak pada alam sekitar, misalnya ruas jalan harus melewati
perkebunan masyarakat dan wilayah sakralitas masyarakat. Kondisi ini
tentu menimbulkan gejala psikis warga masyarakat adat, karena dalam
hitungan ekonomi, masyarakat kehilangan sumber daya alam sebagai
penopang kehidupan ekonomi mereka.
165
Sikap masyarakat tersebut diceritakan oleh salah satu tenaga
pegawai Dinas PU (Pekerjaan Umum) Kabupaten Kaimana dengan
inisial KT, saat diwawancara menjelaskan bahwa:
“awal mula sebelum pengerjaan jalan dimulai, saya bersama kontraktor yang akan menangani jalan tersebut melakukan sosialisasi terhadap masyarakat di Kampung Marsi dan sekitarnya, hal itu dilakukan sesuai prosedur agar masyarakat dapat mengetahui manfaat serta tujuan pekerjaan jalan tersebut. Pada awalnya memang mereka menolak, dan kami terpaksa bermalam di kampung untuk terus memberi penjelasan. Kami mencoba dekati orang tua-tua dan tokoh-tokoh adat. Penolakan seperti ini, hampir kami temui di mana-mana saat melakukan sosialisasi. Mengapa mereka pada awal selalu menolak, karena mereka masih belum paham soal manfaat pembangunan jalan”.
Tidak berbeda jauh, penjelasan yang sama disampaikan oleh staf
pegawai dinas PU dengan inisial SRK bahwa:
“persoalan yang seringkali muncul dari pekerjaan jalan yang dibuat oleh dinas PU, terkadang terhenti karena ada beberapa alasan, misalnya masalah pembayaran tanah dan ganti rugi tanaman. Sesuai dengan aturan, Dinas PU tidak memiliki kewenangan untuk mebayar uang tanah dan atau tanaman yang kena dampak pembangunan jalan, tetapi masyarakat beranggapan bahwa Dinas PU yang harus membayar uang ganti rugi. Kami di dinas PU hanya menginventarisir tanah yang digunakan untuk pembangunan jalan, dan tanaman yang kena dampak, selanjutnya kami usulkan dan sampaikan ke Dinas Pertanahan. Karena masyarakat tidak mengerti maka mereka lakukan pemalangan sehingga pembangunan jalan terhenti36”.
Dari penjelasan tersebut penulis menggaris bawahi sikap
masyarakat, bahwa terkadang muncul sikap penolakan disebabkan
karena ketergantungan kehidupan ekonomi masyarakat hanya berada
pada hasil hutan yang mereka miliki. Selain itu, pelayanan birokrasi
terkadang menjadi kendala dalam mengurus hak atas tanah serta
tanaman masyarakat yang terkena dampak gusuran. Singkatnya adalah,
seharusnya jika tanaman yang terkena dampak jalan pada saat
36 Wawancara tanggal 24 Maret 2017
166
dilakukan penggusaran maka pada saat yang sama pula mereka
mendapat ganti rugi.
Simpulan bab
Yang menarik dari sebuah kebijakan adalah, ketika kebijakan
tersebut diimplementasi dan berhasil menjawab hakikat kebijakan
yang dibuat. Ada banyak kebijakan yang dibuat dan didasarkan pada
tujuan yang hendak dicapai, tetapi pada saat diimplementasi, hasilnya
tidak menjawab tujuan dari kebijakan tersebut. Singkatnya adalah,
kebijakan tidak bisa disamakan dengan cara orang memukul tiang
ternyata yang kena temboknya.
Kebijakan harus fokus pada masalah yang dituju, sebab kebijakan
membutuhkan energi, waktu, dan anggaran sebagai biaya
pengoperasian, tidak ketinggalan pula SDM (Sumber Daya Manusia),
pada saat kebijakan diimplementasi. Sementara biaya yang digunakan
harus memenuhi pronsip-prinsip efisiensi anggaran, karena itu ketika
kebijakan mengalami kegagalan pada fokus utama, maka itu akan
memberi dampak yang sangat luas.
Sebagai kabupaten yang baru, himpitan masalah sosial yang
melilit masyarakat tidak bisa diprediksi dengan angka. Karena untuk
memastikan atau menetapkan jumlah masalah sosial hal itu tidak
dimulai dari setiap kelompok masyarakat, melainkan setiap individu,
karena yang disebut makhluk sosial adalah pribadi manusia bukan pada
kelompok atau komunitasnya. Berdasarkan fakta, penanganan masalah
sosial yang ditangani pemerintah, selalu dimulai/dihitung berdasarkan
statistik, kalau jumlahnya masih relatif kecil dan tidak berdampak,
maka keseriusan menangani permasalahan sosial tersebut belum bisa
dilakuan. Misalnya, kalau hanya satu orang yang mengalami gangguan
jiwa dalam satu wilayah pemerintahan, hal itu hanya dilihat sebatas
tontonan lelucon semata, masalah ini akan tangani serius jika jumlah
orang yang mengalami gangguan jiwa membludak dan meresahkan
banyak orang.
167
Kabupaten Kaimana memiliki sejumlah persoalan sosial yang
sangat rumit, serta membutuhkan kejelian untuk menetapkan sejumlah
kebijakan prioritas. Dibuatnya kebijakan prioritas dengan tujuan agar
setiap kebijakan yang membutuhkan biaya operasional dapat
disesuaikan dengan kekuatan APBD, karena APBD yang dimiliki
keterbatasan untuk menjawab sejumlah masalah pembangunan selama
satu tahun.
Kebijakan yang diimplementasikan bertujuan untuk menjawab
beberapa antara: pertama, masalah pendidikan; kedua, penerimaan dan
mutasi ASN (Aparatur Sipil Negera) dan pegawai kontrak; ketiga, CJH
(Calon Jemah Haji) asal Kabupaten Kaimana; keempat, kebijakan
Pemerintah Pusat di daerah MIGAS (Minyak dan Gas) serta pelebaran
bandara udara UTAROM Kaimana; kelima, akses jalan darat.
Masalah pendidikan merupakan persoalan penting yang harus
ditangani secara serius, karena pendidikan tidak hanya sebatas pada
upaya pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih
jauh disebutkan bahwa pendidikan nasional merupakan usaha sadar
pemerintah untuk membentuk akhlak manusia.
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah mengatasi masalah
pendidikan adalah: mendatangkan guru-guru kontrak dari dalam dan
luar Kaimana. Sejalan dengan kebijakan tersebut tidak berarti masalah
pendidikan dapat teratasi. Ternyata, kebijakan mendatangkan guru
kontrak dan penempatan tenaga guru PNS terbentur juga dengan
georgrafis wilayah yang mengakibatkan banyak guru baik PNS maupun
guru kontrak tidak betah melaksanakan tugas di wilayah
perkampungan. Berbagai jenis insentif yang dipakai sebagai strategi
untuk menjawab permasalahan pendidikan, ternyata belum mampu
menggugah kesadaran para guru untuk betah melayani di wilayah-
wilayah terpencil. Kondisi ini memancing sikap masyarakat lokal
dengan aksi-aksi yang jauh di luar batas kewajaran, seperti pemalangan
rumah guru dan bangunan sekolah di wilayah Distrik Teluk Arguni
dan Teluk Arguni Bawah.
Upaya lain yang dibuat pemerintah tentang masalah pendidikan
tinggi dengan mengirim delapan anak asli Kaimana untuk mengikuti
168
pendidikan di Jerman. Tujuan mulia pemerintah untuk mengirim
delapan anak asli Kaimana belajar di Jerman, agar di masa depan putra-
putra Kaimana asli mampu bersaing, baik di tingkat provinsi maupun
di tingkat nasional. Upaya mulia ini ternyata mengalami benturan
ketika keempat anak dikembalikan dari Jerman ke Indonesia. Dalam
berbagai sumber media, penulis menemukan terdapat sejumlah aktor
yang memanfaatkan titik lemah kebijakan ketika keempat anak
dikembalikan ke Indonesia.
Dalam hal ini penulis tidak melihat dan menyimpulkan
kebenaran dari unggahan video di media sosial terkait pendidikan di
“Negeri der Panzer” tersebut, sebab dari kelompok aktor yang
memainkan peran dalam setiap unggahan video, masing-masing
memiliki tujuan serta maksud pembenaran diri dan upaya pelemahan
terhadap pihak lain. Karena itu, penulis lebih condong menarik benang
merah, bahwa para aktor sementara berusaha mencari cela dan
menarik simpati masyarakat Kabupaten Kaimana dari sebuah
implementasi kebijakan yang terbentur dengan sejumlah
permasalahan.
Harapan menjadi PNS ternyata masih menjadi incaran
masyarakat di Kabupaten Kaimana, sementara tingkat kelulusan
pendidikan untuk putra-putri asli Kaimana rata-rata menamatkan
pendidikan SMU/sederajat. Konteks ini menjadi tantangan tersendiri
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana untuk memberdayakan
masyarakat asli Kaimana. Sementara peluang menjadi PNS kian hari
semakin sulit. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan masalah pada
saat pemerintah menerima CPNS.
Program menunaikan ibadah haji yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana telah digulir sejak
terbentuknya Kabupaten Kaimana. Setiap tahun, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kaimana terus mengirim CJH ke Tanah Suci untuk
menunaikan Rukun Islam Kelima ini, namun tepat pada tahun 2012
kebijakan pemerintah untuk mengirim tiga puluh sembilan CJH ke
Tanah Suci terbentur masalah/gagal berangkat. Saat itu seluruh CJH
telah berada di Jakarta, namun hanya dua puluh delapan CJH yang
169
memiliki kelengkapan dokumen. Kondisi ini akhirnya menimbulkan
gesekan antara masyarakat dengan pemerintah yang berujung pada
pemalangan Kantor Bupati Kaimana.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah,
BAB I beberapa pasal menjelaskan keterhubungan Kewenangan
Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Pemerintahan provinsi dan
Daerah kabupaten/kota, hubungan tersebut dijelaskan pada Pasal 1, ayat 3, ayat 5, dan ayat 6; ayat 7 ayat 8 dan ayat 9 sebagai berikut: Ayat
3 “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom”; Ayat
5 “Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat”; Ayat 6 “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”; Ayat 7. “Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah”; Ayat 8 “Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi”; Ayat 9 “Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.”
Dari uraian tersebut, nampak hubungan kerja yang terjadi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan daerah
merupakan kewenangan Pemerintahan Pusat. Sebagai kepala daerah,
tugas dan kewenangan yang dilakukan merupakan kekuasaan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksa-
naannya dilakukan oleh Kementerian Negara dam Penyelenggara
170
Pemerintah Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan
menyejahterakan masyarakat. Dengan demikian, otonomi daerah
diberikan untuk mengurus diri sendiri dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Karena itu pula, desentralisasi menjadi sebuah realitas
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Hal tersebut dibuktikan
dengan dekonsentrasi yang mengarah pada pelimpahan sebagian
urusan pemerintahan pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.
Hal ini semakin jelas dengan adanya kebijakan pemerintah pusat
di Daerah Kabupaten Kaiamana tentang kegiatan pelebaran bandara
Udara Utarom Kaimana dan eksplorasi MIGAS.