Upload
rahmad-fitra
View
52
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan georafis
Puskesmas Moramo merupakan salah satu dari 17 puskesmas yang
di Kabupaten Konwe selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara Puskesmas
Moramo merupakan salah satu dari beberapa puskesmas dengan rawat inap
terletak di ibu kota kecamatan Moramo (Kelurahan Lapuko) jarak dari ibu
kota kabupaten (Andoolo) kurang lebih 80 km kea rah barat dari ibu kota
provinsi (Kendari) kurang lebih 50 km kea rah utara dengan batas wilayah
sebagai berikut:
1.1. Sebelah utara : Kecamatan Moramo Utara
1.2. Sebelah timur : Kecamatan Laonti
1.3. Sebelah selatan : Kecamatan Kolono, Lainea
1.4. Sebelah barat : Kecamatan Konda (Puskesmas Moramo,2012).
Luas wilayah kerja puskesmas Moramo yaitu 584 km2 secara
administrasi jumlah desa/kelurahan seluruhnya di wilayah kerja puskesmas
Moramo adalah satu kelurahan 21 desa (Puskesmas Moramo,2012).
2. Keadaan Demografis
Jumlah penduduk diwilayah kerja Puskesmas Moramo Kecamatan
Moramo Kabupaten Konawe selatan tahun 2012 sebanyak 13.035 jiwa
(5462 jiwa laki laki dan 7468 jiwa perempuan) dengan jumlah kepala
keluarga sebanyak 3680 KK (Puskesmas Moramo,2012).
64
3. Sumber daya Puskesmas
3.1. Sarana dan prasarana
Sarana kesehatan yang terdapat diwilayah kerja Puskesmas Moramo
kecamatan Moramo kabupaten konawe selatan tahun 2012 terdiri dari:
1 unit puskesmas induk, 2 unit puskesmas pembantu, 1 unit puskesdes,
4, 6 unit polindes dan 6 unit posyandu.
3.2. Tenaga
Jumlah tenaga dan klasifikasi pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Dibawah ini.
Tabel 4.1.Jumlah Tenaga Dan Klasifikasi Pendidikan Puskesmas Moramo
Tahun 2012
No Jenis tenaga Jumlah 12345678910111213
Dokter umumDokter gigiSarjana Kesehatan MasyarakatS1-Keperawatan Akademi perawat Akademi bidanAkademi GiziAkademi gigiSPKApoteker D1 KebidananPekarya SMA
1234567891011125
Total 34Sumber :Puskesmas Moramo, 2012
B. Hasil penelitian
1. Karakteristik Responden
Untuk mengetahui hasil penelitian, maka perlu dilakukan analisis
terhadap data-data yang telah dikumpulkan selama penelitian. Analisis hasil
65
penelitian ini dibagi atas analisis data-data umum dan analisis variable
penelitian. Analisis data-data umum ini sifatnya mendeskripsikan
karakteristik responden, sedangkan analisis variable mendeskripsikan
variable penelitian dengan menggunakan tehnik kuantitatif. Analisis
karakteristik responden di sajikan dalam tabel-tabel berikut :
1.1. Umur
Tabel 4.2Distribusi Responden Menurut Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas
Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Umur (Tahun) Jumlah
n %1 < 20 8 12.52 20-24 26 40.63 25-29 12 18.84 30-34 10 15.65 35-40 6 9.46 >40 2 3.1
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.2. Umur responden mulai dari kurang dari
20 tahun hingga diatas 40 tahun dan responden yang berumur 20 - 24
tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 26 orang (40.6%). Dan
responden paling sedikit adalah umur diatas 40 tahun yaitu 2 orang
(3.1%).
66
1.2. Pendidikan
Tabel 4.3.Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Wilayah Kerja
Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Tingkat PendidikanJumlah
n %1 SD 6 9.42 SMP 20 31.33 SMA 28 43.84 Perguruan Tinggi 10 15.6
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.3. Tingkat pendidikan responden mulai dari
pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan responden dengan
pendidikan sekolah menengah atas merupakan jumlah terbanyak yaitu 28
orang (43.8%). Dan responden paling sedikit adalah dengan tingkat
pendidikan sekolah dasar yaitu 6 orang (9.4%).
1.3. Pekerjaan
Tabel 4.4Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Wilayah Kerja
Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No PekerjaanJumlah
N %1 IRT 32 50.02 Wiraswasta 15 23.43 PNS 1 1.64 Pedagang 9 14.15 Tani 4 6.36 Buruh 3 4.7
Total 64 100 Sumber : Data Primer Diolah, 2013
67
Berdasarkan tabel 4.4. Menunjukkan bahwa dari 64 responden,
jumlah terbanyak adalah responden ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32
orang (50.0%) dan yang paling sedikit adalah responden dengan
pekerjaan sebagai PNS sebanyak 1 orang (1.6%).
2. Analisis Univariat
2.1. Kejadian Pneumonia
Tabel 4.5Distribusi kejadian pneumonia pada bayi umur 9-11 bulan diwilayah kerja
puskesmas Moramo kabupaten Konawe Selatan tahun 2013
No Kejadian Pneumonia Jumlahn %
1 Kasus 32 50.02 Control 32 50.0
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.5. Kejadian pneumonia pada bayi umur 9-11
bulan pada kelompok kasus 32 bayi (50%) dan pada kelompok control 32
bayi (50%).
2.2. Pengetahuan
Tabel 4.6Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moramo kabupaten Konawe SelatanTahun 2013
No Pengetahuan Jumlah
n %1 Kurang 41 64.12 Cukup 23 35.9
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
68
Berdasarkan tabel 4.6. Responden dengan pengetahuan kategori
kurang yaitu 41 orang (64.1%) dan kategori cukup sebanyak 23 orang
(35.9%).
2.3. Sikap
Tabel 4.7Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Di Wilayah Kerja Puskesmas
Moramo kabupaten Konawe SelatanTahun 2013
No Sikap Jumlah
n %1 Kurang 38 59.42 Cukup 26 40.6
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.7 responden dengan sikap dalam kategori
kurang merupakan jumlah terbanyak yaitu 38 orang (59.4%) dan dalam
kategori cukup sebanyak 26 orang (40.6%).
2.4. Pemberian ASI Eksklusif
Tabel 4.8Distribusi Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moramo kabupaten Konawe SelatanTahun 2013
No Pemberian ASI Eksklusif Jumlahn %
1 Tidak 38 59.42 Ya 26 40.6
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.8. responden yang memberikan ASI
Eksklusif yaitu 26 orang (40.6%) dan yang tidak memberikan sebanyak
38 orang (59.4%).
69
2.5. Imunisasi lengkap
Tabel 4.9Distribusi Berdasarkan Imunisasi Lengkap Di Wilayah Kerja Puskesmas
Puskesmas Moramo kabupaten Konawe SelatanTahun 2013
No Imunisasi Lengkap Jumlahn %
1 Tidak Lengkap 26 40.62 Lengkap 38 59.4
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.9 responden dengan imunisasi lengkap
sebanyak 38 orang (59.4%) dan yang tidak lengkap yaitu 26 orang (40,6%).
2.6. Kepadatan hunian
Tabel 4.10Distribusi Berdasarkan Kepadatan Hunian Di Wilayah Kerja Puskesmas
Puskesmas Moramo kabupaten Konawe SelatanTahun 2013
No Kepadatan HunianJumlah
n %1 Tidak Memenuhi Syarat 43 67.22 Memenuhi Syarat 21 32.8
Total 64 100Sumber : Data Primer Diolah, 2013
Berdasarkan tabel 4.10. dengan kepadatan hunian yang
memenuhi syarat sebanyak 21 orang (32.8%) dan yang tidak memenuhi
syarat yaitu 43 orang (67.2%).
70
3. Analisis Bivariat
3.1. Pengaruh pengetahuan ibu terhadap kejadian ISPA Pneumonia
Tabel 4.11
Pengaruh Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Pengetahuan Kejadian ISPA Pneumonia
Jumlah Ya (Kasus) Tidak (Kontrol)n % n % n %
1 Kurang 26 40.6 15 23.4 41 64.12 Cukup 6 9.4 17 26.6 23 35.93 Total 32 50 32 50 64 1004 Hasil uji p = 0,004 OR=4,911 95% CI : 1,591-15.157
Sumber : Data Primer Diolah, 2013.
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis pengaruh pengetahuan
terhadap kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan
pengetahuan dalam kategori cukup sebanyak 23 (35.9%) dan jumlah
penderita ISPA pneumonia yaitu 6 respondent (9.4%) dan bukan
penderita 17 responden (26.6%). Sedangkan respondent dengan
pengetahuan dalam kategori kurang jumlah sebanyak 41 (64.1%) dan
jumlah penderita ISPA pneumonia yaitu 26 respondent (40.6%) dan
bukan penderita 15 responden (23.4%).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square test dan
crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,004 nilai OR:4,911,
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (1,591– 15,157) tidak
melewati angka 1. Dengan demikian, Ha yang menyatakan bahwa
pengaruh pengetahuan ibu terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada bayi
71
umur 9-11 bulan diwilayah kerja puskesmas Moramo kabupaten Konawe
Selatan tahun 2013 diterima.
3.2. Pengaruh sikap ibu terhadap kejadian ISPA Pneumonia
Tabel 4.12
Pengaruh Sikap Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Sikap Kejadian ISPA Pneumonia
Jumlah Ya (Kasus) Tidak (Kontrol)n % n % n %
1 Kurang 25 39.1 13 20.3 38 59.42 Cukup 7 10.9 19 29.7 26 40.63 Total 32 50 32 50 64 1004 Hasil uji p = 0,002 OR=5,220 95% CI : 1,745-15.611
Sumber : Data Primer Diolah, 2013.
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis pengaruh sikap terhadap
kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan sikap dalam
kategori cukup sebanyak 26 (40.6%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia yaitu 7 respondent (10.9%) dan bukan penderita 19
responden (29.7%). Sedangkan respondent dengan sikap dalam kategori
kurang jumlah sebanyak 38 (59.4%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia yaitu 25 respondent (39.1%) dan bukan penderita 13
responden (20.3%).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square test dan
crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,002 nilai OR:5,220,
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (1,745– 15,611) tidak
melewati angka 1. Dengan demikian, Ha yang menyatakan bahwa
72
pengaruh sikap ibu terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada bayi umur
9-11 bulan diwilayah kerja puskesmas Moramo kabupaten Konawe
Selatan tahun 2013 diterima.
3.3. Pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA Pneumonia
Tabel 4.13
Pengaruh Pemberian ASI EKsklusif Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
NoPemberian
ASI EKsklusif
Kejadian ISPA PneumoniaJumlah Ya (Kasus) Tidak (Kontrol)
N % n % n %1 Tidak 27 42.2 13 20.3 40 62.5
2 Ya 5 7.8 19 29.7 24 37.5
3 Total 32 50 32 50 64 100
4 Hasil uji p = 0,000 OR=7.892 95% CI : 2,409-25.857
Sumber : Data Primer Diolah, 2013.
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis pengaruh pemberian
ASI EKsklusif terhadap kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64
responden dengan status ASI EKsklusif sebanyak 24 (37.5%) dan jumlah
penderita ISPA pneumonia lebih sedikit yaitu 5 respondent (7.8%)
dibanding yang bukan penderita 19 responden (29.7%). Sedangkan
respondent dengan tidak ASI Eksklusif jumlah sebanyak 40 (59.4%) dan
jumlah penderita ISPA pneumonia lebih banyak yaitu 27 respondent
(42.2%) dibanding bukan penderita 13 responden (20.3%).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square test dan
crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,000 nilai OR:7,892,
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (2,409–25,857) tidak
73
melewati angka 1. Dengan demikian, Ha yang menyatakan bahwa
pengaruh pemberian ASI EKsklusif terhadap kejadian ISPA Pneumonia
pada bayi umur 9-11 bulan diwilayah kerja puskesmas Moramo
kabupaten Konawe Selatan tahun 2013 diterima.
3.4. Pengaruh imunisasi lengkap terhadap kejadian ISPA Pneumonia
Tabel 4.14
Pengaruh Imunisasi Lengkap Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Imunisasi Lengkap
Kejadian ISPA PneumoniaJumlah Ya (Kasus) Tidak (Kontrol)
n % n % n %1 Tidak lengkap 17 26.6 9 14.1 26 40.62 Lengkap 15 23.4 23 35.9 38 59.43 Total 32 50 32 50 64 1004 Hasil uji p = 0,042 OR=2,896 95% CI : 1,027-8,172
Sumber : Data Primer Diolah, 2013.
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis pengaruh imunisasi
lengkap terhadap kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden
dengan status imunisasi lengkap sebanyak 38 (59,4%) dan jumlah
penderita ISPA pneumonia lebih sedikit yaitu 15 respondent (23.4%)
dibanding yang bukan penderita 23 responden (35.9%). Sedangkan
respondent dengan status imunisasi tidak lengkap jumlah sebanyak 26
(40.6%) dan jumlah penderita ISPA pneumonia lebih banyak yaitu 17
respondent (26.6%) dibanding bukan penderita 9 responden (14.1%).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square test dan
crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,042 nilai OR:2,896,
74
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (1,027–8,172) tidak
melewati angka 1. Dengan demikian, Ha yang menyatakan bahwa
pengaruh imunisasi lengkap terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada
bayi umur 9-11 bulan diwilayah kerja puskesmas Moramo kabupaten
Konawe Selatan tahun 2013 diterima.
3.5. Pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA Pneumonia
Tabel 4.15
Pengaruh Kepadatan Hunian Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013
No Kepadatan Hunian
Kejadian ISPA PneumoniaJumlah Ya (Kasus) Tidak
(Kontrol)N % n % n %
1 Tidak Memenuhi Syarat
26 40.6 17 26.6 43 67.2
2 Memenuhi Syarat 6 9.4 15 23.4 21 32.83 Total 32 50 32 50 64 1004 Hasil uji p = 0,017 OR=3,824 95% CI: 1,239-11,801
Sumber : Data Primer Diolah, 2013.
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis pengaruh kepadatan
hunian terhadap kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden
kepadatan hunian memenuhi syarat sebanyak 21 (32,8%) dan jumlah
penderita ISPA pneumonia lebih sedikit yaitu 6 respondent (9,4%)
dibanding yang bukan penderita 15 responden (23.4%). Sedangkan
respondent dengan status kepadatan hunian tidak memenuhi syarat
jumlah sebanyak 43 (67.2%) dan jumlah penderita ISPA pneumonia
lebih banyak yaitu 26 respondent (40.6%) dibanding bukan penderita 17
responden (26.6%).
75
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square test dan
crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,017 nilai OR:3,824,
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (1,239-11,801) tidak
melewati angka 1. Dengan demikian, Ha yang menyatakan bahwa
pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada
bayi umur 9-11 bulan diwilayah kerja puskesmas Moramo kabupaten
Konawe Selatan tahun 2013 diterima.
4. Analisis Multivariat
Table 4.16Analisis multivariate dengan regresi logistic model enter
hosmer and lemeshow test
Variabel penelitian Nagelkerke R square
Hosmer and Lemeshow test
Exp (B)
Pengetahuan
0, 340Value Chi
Square 5,933Sign. 0,431
1.496Sikap 1.510
Pemberian ASI Eksklusif
7.783
Imunisasi lengkap 3.472Kepadatan hunian 0.528
constant 0.006
Berdasarkan hasil uji regresi logistic yakni untuk mengetahui
variabel bebas yang berpengaruh atau memberikan kontribusi terbesar
dengan variabel terikat sesuai dengan tujuan penelitian ini ada beberapa hal
yang di ambil dari out put analisis multivariate dengan meggunakan regresi
logistic sebagai berikut:
4.1. Hasil dari table model sumari Nagelkerke R square menunjukan bahwa
nilanya 0, 340 artinya secara bersama sama ke lima variabel
76
memberikan pengaruh sebesar 34% sedangkan yang 66% di pengaruhi
oleh variabel lain yang tidak di teliti dalam penelitian ini.
4.2. Mengenai besaran hubungan dapat di jelaskan melalui persamaan
regresi logistic yaitu:
Logit (πj) =In π j
1−π j = β0+ β1xj1+ β2xj2+ β3xj3+ β4xj4
Constant = 0.008, Pengetahuan 1.496, sikap 1.510, pemberian ASI
Eksklusif 7.783, imunisasi lengkap 3.472, kepadatan hunian 0.528.
Artinya nilai koefisiensi konstanta pada persamaan regresi tersebut
mengandung makna bahwa apabila nilai variabel ke lima di tingkatkan
maka besarnya angka pengaruh terhadap kejadian ISPA Pneumonia.
Hasil dari variabel yang berpengaruh pengaruh terhadap kejadian ISPA
Pneumonia pada penelitian ini adalah, Pemberian ASI Eksklusif dengan
nilai Exp (B) paling tinggi yaitu 7,783 artinya besaran pengaruh
imunisasi lengkap terhadap kejadian ISPA pneumonia sebesar 7,78%
sedangkan 92,22% di sebabkan oleh variabel lainya.
C. Pembahasan
1. Pembahasan univariat
1.1. Kejadian ISPA Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit ISPA yang merupakan penyebab
umum kematian pada bayi dan balita. Penyakit ini ditandai dengan batuk
yang disertai dengan kesukaran bernapas atau cepat dan tarikan dada ke
dalam saat bernafas (Rizanda, 2006). Kejadian pneumonia pada masa
77
balita berdampak jangka panjang yang akan muncul pada masa dewasa,
yaitu penurunan fungsi paru (Putro, 2006).
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia
muda, kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A,
defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan
(polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia.
Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya
kelainan anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit
jantung bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan sitostatika dan
steroid jangka panjang, gangguan sistem imun berkaitan penyakit tertentu
seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi
perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik,
aspirasi benda asing atau disfungsi silier (Retno, 2006).
1.2. Pengetahuan
Hasil penelitian menunjukkan responden dengan pengetahuan
kategori kurang yaitu 41 orang (64.1%) dan kategori cukup sebanyak 23
orang (35.9%). Masih kurang nya pengetahuan sebagian responden
tersebut disebabkan dalam menjawab kuisioner menunjukan bahwa
mereka tidak mengetahui penyebab dan gejala pneumonia, dan mereka
menganggap bila ada gejala seperti batuk dan sesak nafas di anggap
penyakit biasa.
Berkaitan dengan pengetahuan dengan prilaku sesuai teori
bahwa terbentuknya prilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan
dari proses interaksi dengan lingkungan. terbentuknya prilaku dan
78
perubahan prilaku karena proses interaksi antara individu dengan
lingkungan, prilaku pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia
itu sendiri (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu
dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terjadi melalui
panca indra manusia (Efendi, 2009). Pengetahuan merupakan faktor yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).
Menurut Syahrani (2012), pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek
juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek
inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek
tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.
1.3. Sikap
Hasil penelitia persentase responden dengan sikap dalam kategori
kurang merupakan jumlah terbanyak yaitu 38 orang (59.4%) dan dalam
kategori cukup sebanyak 26 orang (40.6%). Pengetahuan dapat
mendorong seseorang untuk berusaha memperoleh informasi lebih
banyak mengenai sesuatu yang dianggap perlu dipahami lebih lanjut
atau dianggap penting. Ibu sebagai pemegang peran pengasuh bagi anak
wajib mengetahui segala keperluan dan kekurangan yang belum
terpenuhi pada anak. Hal ini mendorong orang tua (ibu) untuk
mengembangkan sikap yang menuntun pada tindakan sebagai hasil atau
output dari pengetahuan terhadap hal – hal yang berhak diperoleh anak
salah satunya adalah perawatan.
79
Menurut Notoatmodjo (2007), bahwa sikap menunjukkan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan
ini didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten
selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap
individual.
Seperti yang diungkapkan oleh Suyono (2012), bahwa tingkat
pengetahuan seseorang yang semakin tinggi akan berdampak pada arah
yang lebih baik. Sehingga ibu yang berpengetahuan baik akan lebih
objektif dan terbuka wawasannya dalam mengambil suatu keputusan
atau tindakan yang positif terutama dalam hal memberikan perawatan
pada balita yang sakit terutama ISPA.
1.4. Pemberian ASI Eksklusif
Hasil penelitian responden yang memberikan ASI Eksklusif
yaitu 26 orang (40.6%) dan yang tidak memberikan sebanyak 38 orang
(59.4%). Menurut Ruesli (2010), yang dimaksud dengan pemberian ASI
eksklusif disini adalah bayi hanya diberikan ASI tanpa makanan atau
minuman lain termasuk air putih kecuali obat, vitamin, mineral dan ASI
yang diperas. Kandungan dalam ASI yang diminum bayi selama
pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi dan sesuai
kesehatan bayi. Bahkan bayi baru lahir yang hanya mendapat sedikit ASI
pertama (koloustrum) tidak memerlukan tambahan cairan karena bayi
dilahirkan dengan cukup cairan didalam tubuhnya. ASI mengandung zat
80
kekebalan terhadap infeksi diantaranya protein, laktoferin, imunoglobulin
dan antibodi terhadap bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Oleh karena itu
pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang
disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti
diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan
membantu menjarangkan kelahiran (LINKAGES, 2008).
1.5. Imunisasi lengkap
Hasil penelitian responden dengan imunisasi lengkap sebanyak
38 orang (59.4%) dan yang tidak lengkap yaitu 26 orang (40,6%).
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada
balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari
penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka
diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada
pada balita. Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan
dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi.
Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.Imunisasi
merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan anak. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38%
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang
tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens
ISPA terutama pneumonia. Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang
anak yang belum mendapat imunisasi campak dan DPT (Difteri, Pertusis,
Tetanus) oleh karena itu untuk menekan tingginya angka kematian
81
karena pneumonia, dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
seperti imunisasi DPT dan campak. Imunisasi yang dianjurkan sesuai
dengan pemberian imunisasi nasional yaitu BCG (pada usia 0-11 bulan),
DPT I-III (pada usia 2-11 bulan), Polio I-IV (pada usia 2-11 bulan),
Hepatitis B I-III (pada usia 0-9 bulan), dan Campak (pada usia 9-11
bulan).
1.6. Kepadatan hunian
Hasil penelitian dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat
sebanyak 21 orang (32.8%) dan yang tidak memenuhi syarat yaitu 43 orang
(67.2%). Kepadatan rumah dalam penelitian ini ditentukan dengan
melihat perbandingan jumlah orang yang menghuni dirumah tersebut
dengan luas rumah. Rumah dikatakan padat jika jumlah penghuni x 8 m²
> dari luas rumah dan rumah dikatakan tidak padat jika jumlah penghuni
x 8 m² < luas rumah
Variabel kepadatan rumah erat kaitannya dengan ventilasi udara
rumah. Kondisi hunian yang terlalu padat dan ventilasi udara kurang
dapat meningkatkan suhu udara didalam rumah, sehingga rumah lebih
terasa panas karena uap air yang dihasikan dari metabolisme tubuh dan
benda-banda yang ada dalam ruangan. Semakin banyak penghuni rumah
berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk
terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang
relatif rentan terhadap penularan penyakit (Dinkes RI, 2007).
82
2. Pembahasan Bivariat
2.1. Pengaruh Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tidakan seseorang. Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Hasil penelitian ada pengaruh pengetahuan terhadap kejadian
ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan pengetahuan dalam
kategori cukup sebanyak 23 (35.9%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia yaitu 6 respondent (9.4%) dan bukan penderita 17 responden
(26.6%). Sedangkan respondent dengan pengetahuan dalam kategori
kurang jumlah sebanyak 41 (64.1%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia yaitu 26 respondent (40.6%) dan bukan penderita 15
responden (23.4%).
Dalam teori yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2007),.
Menyebutkan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi perilaku atau
tindakan sesorang tersebut adalah pengetahuan. Dimana peningkatan
pengetahuan tersebut mempunyai hubungan yang positip dengan perilaku.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang pneumonia maka
kemungkinan anak menderita pneumonia semakin rendah. Begitu pula
83
sebaliknya apabila seorang ibu memiliki pengetahuan yang rendah maka
kemungkinan anak menderita pneumonia semakin tinggi.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Paramitha (2012), terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan perawatan ISPA pada balita. Pengetahuan ibu yang rendah di
pengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu yang rendah yang merupakan
faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama
Pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan
perawatan oleh ibu kepada anak-yang menderita ISPA.2 Jika pengetahuan
ibu untuk mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita
menderita pneumonia, akan mempunyai risiko meninggal karena
pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai pengetahuan yang tepat.
2.2. Pengaruh Sikap Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013.
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unforable) pada objek tersebut. Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, kesiapan
dimaksud merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan
cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulasi yang
menghendaki adanya respon (Azwar , 2008).
84
Hasil penelitian diperoleh ada pengaruh sikap terhadap kejadian
ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan sikap dalam kategori
cukup sebanyak 26 (40.6%) dan jumlah penderita ISPA pneumonia yaitu
7 respondent (10.9%) dan bukan penderita 19 responden (29.7%).
Sedangkan respondent dengan sikap dalam kategori kurang jumlah
sebanyak 38 (59.4%) dan jumlah penderita ISPA pneumonia yaitu 25
respondent (39.1%) dan bukan penderita 13 responden (20.3%) dengan
hasil uji statistic nilai OR:5,220, nilai lower limit dan uppper limit
(1,745– 15,611)
Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung
dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang
akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.
Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Notoatmodjo (2008). Ada hubungan antara sikap ibu dengan
kejadian pneumonia pada balita di IRNA anak RSMH Palembang tahun
2008.
2.3. Pengaruh pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013.
ASI yang diberikan pada bayi hingga usia 6 bulan selain sebagai
bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan
85
infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus
(Rahmat, 2012).
Hasil analisis ada pengaruh pemberian ASI EKsklusif terhadap
kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan status ASI
EKsklusif sebanyak 24 (37.5%) dan jumlah penderita ISPA pneumonia
lebih sedikit yaitu 5 respondent (7.8%) dibanding yang bukan penderita
19 responden (29.7%). Sedangkan respondent dengan tidak ASI
Eksklusif jumlah sebanyak 40 (59.4%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia lebih banyak yaitu 27 respondent (42.2%) dibanding bukan
penderita 13 responden (20.3%). Hasil uji statistik dengan chi-square test
dan crosstabs risk estimate diperoleh nilai p value : 0,000 nilai OR:7,892,
Sedangkan nilai lower limit dan uppper limit (2,409–25,857).
Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor
risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita. Untuk
mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena
malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi
neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan
bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih
tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya (Rahmat,,
2012).
86
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Hartati (2011)
Hasil analisis hubungan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian
pneumonia pada penelitian ini didapatkan anak balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif lebih banyak yaitu 108 balita (78,3 %)
dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif adalah 30
balita (21,7 %). Anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 4,47 kali dibanding
dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif dan hasil uji statistik
didapat ada hubungan yang bermakna antara riwayat pemberian ASI
eksklusif balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,003 ; α=0,05).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah
lahir sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan
lain, Setelah 6 bulan bayi mulai dikenalkan dengan makanan lain dan
tetap diberikan ASI sampai berumur 2 tahun. Mengapa pengenalan
makanan tambahan dimulai pada usia 6 bulan dan bukan 4 bulan.
Pertama komposisi ASI cukup untuk perkembangan bayi sampai usia 6
bulan, kedua bayi pada usia 6 bulan sistem pencernaanya mulai matur,
sehingga usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu menolak faktor
alergi ataupun kuman yang masuk. ASI mengandung nutrisi, hormon,
unsur kekebalan faktor pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi.
Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan. Unsur ini
mencakup hidrat arang, lemak, protein, vitamin dan mineral, dalam
jumlah yang proporsional Karena zat-zat protektif yang terkandung
87
dalam ASI, bayi yang diberi ASI memiliki kemungkinan kecil untuk
terjangkit infeksi telinga (otitis media), alergi, diare, pneumonia,
bronchitis, meningitis, serta sejumlah penyakit pernafasan (Ambarwati,
2010).
2.4. Pengaruh Imunisasi Lengkap Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013.
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbukan atau
meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit (Proverowati , 2010).
Hasil penelitian diperoleh ada pengaruh imunisasi lengkap
terhadap kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden dengan
status imunisasi lengkap sebanyak 38 (59,4%) dan jumlah penderita
ISPA pneumonia lebih sedikit yaitu 15 respondent (23.4%) dibanding
yang bukan penderita 23 responden (35.9%). Sedangkan respondent
dengan status imunisasi tidak lengkap jumlah sebanyak 26 (40.6%) dan
jumlah penderita ISPA pneumonia lebih banyak yaitu 17 respondent
(26.6%) dibanding bukan penderita 9 responden (14.1%). Hasil uji
statistik nilai OR:2,896, dan nilai lower limit - uppper limit (1,027–
8,172).
Penenilitian Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Hartati
(2011) , Faktor anak balita riwayat imunisasi campak, imunisasi DPT,
berhubungan dengan kejadian pneumonia. Imunisasi membantu
mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara. Pertama,
88
vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang
langsung yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus
influenzae tipe b (Hib). Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang
dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit
(misalnya, campak dan pertusis).
UNICEF-WHO, (2006) menjelaskan terdapat tiga vaksin
memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia yaitu
vaksin campak, Hib dan vaksin pneumokokus. Bayi dan balita yang
pernah terserang campak akan mendapat kekebalan alami terhadap
pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA
berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat
diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan DPT.
2.5. Pengaruh Kepadatan Hunian Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Pada Bayi Umur 9-11 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2013.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada
89
hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor
ini (Prabu, 2009).
Hasil penelitian ada pengaruh kepadatan hunian terhadap
kejadian ISPA pneumonia bahwa dari 64 responden kepadatan hunian
memenuhi syarat sebanyak 21 (32,8%) dan jumlah penderita ISPA
pneumonia lebih sedikit yaitu 6 respondent (9,4%) dibanding yang bukan
penderita 15 responden (23.4%). Sedangkan respondent dengan status
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat jumlah sebanyak 43 (67.2%)
dan jumlah penderita ISPA pneumonia lebih banyak yaitu 26 respondent
(40.6%) dibanding bukan penderita 17 responden (26.6%). hasil uji
statistik risk estimate diperoleh OR:3,824, nilai lower limit - uppper limit
(1,239-11,801).
Penenilitian Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Yuwono (2008), Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan tingkat
kepadatan hunian mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik
dengan kejadian pneumonia (p = 0,028). Besarnya risiko menderita
pneumonia dapat dilihat dari nilai OR = 2,7 artinya anak balita yang
tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 2,7 kali lebih besar.
Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di
rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak
90
memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding
dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang
sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio
penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini
memungkinkan bahteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan
dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya (Tulus, 2008).
3. Pembahasan Multivariat
Faktor ibu dan bayi yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada analisis menunjukkan dari 5 variabel yang diteliti, yaitu pengetahuan,
sikap, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi lengkap dan kepadatan hunian.
Berdasarkan hasil uji regresi logistic yakni untuk mengetahui variabel bebas
yang berpengaruh atau memberikan kontribusi terbesar dengan variabel
terikat sesuai dengan tujuan penelitian ini ada beberapa hal yang di ambil dari
out put analisis multivariate dengan meggunakan regresi logistic
Hasil dari variabel yang berpengaruh pengaruh terhadap kejadian
ISPA Pneumonia pada penelitian ini adalah, Pemberian ASI Eksklusif dengan
nilai Exp (B) paling tinggi yaitu 7,783 artinya besaran pengaruh imunisasi
lengkap terhadap kejadian ISPA pneumonia sebesar 7,78% sedangkan
92,22% di sebabkan oleh variabel lainya
Faktor risiko pneumonia terjadi karena daya tahan
tubuh bayi kurang baik, lingkungan kurang sehat, gizi kurang atau buruk,
serta kurangnya ASI Eksklusif. Itu sebabnya, untuk mencegah pneumonia
diperlukan perbaikan yang menyeluruh. Artinya, kita harus membentuk
91
kekebalan tubuh anak sejak dini. Salah satu caranya adalah dengan menjaga
keseimbangan nutrisi, cukup istirahat dan rutin olah tubuh. Pemberian ASI
terbukti mampu menurunkan angka terkena penyakit pneumonia
pada bayi dan balita. Selain itu, pada anak di bawah usia satu tahun
diperlukan imunisasi dasar yang lengkap sehingga daya tahan tubuhnya baik.
Dahulukan imunisasi wajib dari pada imunisasi anjuran. Salah
satu imunisasi yang dianjurkan adalah imunisasi yang khusus untuk
menangkis pneumonia, yaitu HIB (Haemophilus Influenzae type B)
dan pneumokokus. Imunisasi ini diberikan sebanyak tiga kali dalam kurun
waktu satu tahun (Ranuh, 2011).
92