Upload
dophuc
View
265
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV TEMUAN, INTERPRETASI, DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas tiga bagian penting yang terkait dengan masalah dan
pertanyaan penelitian. Pada bagian pertama disajikan temuan penelitian yang terdiri atas:
kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang diperoleh melalui studi
pendahuluan, desain model pembelajaran yang dikembangkan dan prosedur
pelaksanaannya, hasil uji coba model skala terbatas dan lebih luas, dan efektivitas model
melajui hasil uji validasi. Selanjutnya, pada bagian kedua diuraikan interpretasi hasil
penelitian, dan terakhir, pada bagian ketiga dipaparkan pembahasan hasil penelitian.
A. Temuan Penelitian
1. Hasil Studi Pendahuluan
Metode penelitian Educational Research and Development mempersyaratkan
dilakukan studi pendahuluan sebelum sebuah model pembelajaran dikembangkan. Studi
pendahuluan penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh data dari
sumber-sumber yang telah ditetapkan dalam rancangan penelitian. Selain itu, hasil studi
pendahuluan merupakan basis konseptual yang diperoleh dari teori-teori dan hasil
penelitian terdahulu yang relevan serta kajian kondisi aktual lapangan untuk
mengembangkan sebuah model pembelajaran. Dalam penelitian ini, dengan dukungan
hasil studi pendahuluan diperoleh model pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa kelas V sekolah dasar serta dengan kondisi
lingkungan yang tersedia.
Untuk memperoleh kondisi aktual lapangan, ada dua sumber data yang digunakan
dalam studi pendahuluan, yaitu: siswa kelas V dan guru yang mengajar di kelas V
125
126
Table 4.1 Sumber Data Penelitian dalam Studi Pendahuluan
No. Sekolah Kategori Jumlah Siswa
Kecamatan
1. SDN 1 Kendari Baik 42 orang Kendari 2. SDS Katolik 22 Sedang 40 orang Kendari 3. SDN 3 Baruga Kurang 34 orang Baruga 4. SDN 12 Baruga Baik 42 orang Baruga 5. SDN 1 Baruga Sedang 36 orang Baruga 6. SDN 9 Mandonga Kurang 30 orang Mandonga 7. SDN 12 Kendari Baik 30 orang Kendari 8. SDN 12 Mandonga Sedang 32 orang Mandonga 9. SDN 6 Baruga Kurang 34 orang Mandonga
sekolah dasar yang tersebar dalam wilayah kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Instrumen
yang digunakan adalah pedoman observasi berberituk rating scale ditambah dengan
catatan seperlunya, pedoman wawancara, dan dokumentasi.
Responden yang merupakan sumber data tersebut berupa sampel yang ditentukan
melalaui teknik sample bertujuan (purposive sampling) bagi penentuan daerah kecamatan
dan sample berstrata {stratified sampling) untuk penentuan sekolah dasar dalam setiap
kecamatan. Prosedur penentuan ditempuh dengan memilih tiga dari empat kecamatan
dalam wilayah kota Kendari, Provinsi Sulawsi Tenggara. Langkah berikut adalah
memilih tiga sekolah dasar berkategori baik, tiga berkategori sedang, dan tiga lainnya
berkategori kurang dari ketiga kecamatan terpilih. Kriteria penentuan kategori masing-
masing sekolah dasar terpilih diperoleh dari Ka Subdin PSD Dinas Pendidikan Kota
Kendari dan dari Pengawas TK/SD setempat Untuk lebih jelasnya penyebaran dan
kategori sekolah dasar yang menjadi sumber data pada studi pendahuluan dapat dilihat
pada table 4.1 berikut.
127
Table 4.2 Identitas Responden Guru
Kode Guru Pendidikan Terabir
Pengalaman Mengajar Bhs. Inggris di SD
Pengalaman Mengajar Bhs.
Inggris di Kelas V
A Sarjana Muda IAIN, 8 tahun 6 tahun Tarbiah
B Sarjana Pendidikan 4 tahun 4 tahun Bahasa Inggris
C D3 Pendidikan 5 tahun 4 tahun Bahasa Inggris
D Sarjana Pendidikan 5 tahun 3 tahun Bahasa Inggris
E D3 Pendidikan 5 tahun 5 tahun Bahasa Inggris
F Sarjana Pendidikan 1 tahun 1 tahun Bahasa Inggris
G Sarjana Pendidikan 8 tahun 8 tahun Bahasa Inggris
H D3 Pendidikan 3 tahun 3 tahun Bahasa Inggris
I Sarjana Perikanan 3 tahun 3 tahun
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hanya ada dua orang yang tidak berlatar
belakang pendidikan bahasa Inggris dari sembilan orang guru responden atau 22,22%. Ini
bearti 77,78% adalah guru yang dipandang layak mengajar bahasa Inggris secara formal,
dengan rincian empat orang berkualifikasi SI , dan tiga orang lainnya D3. Untuk lama
mengajar, hanya satu orang yang baru berpengalaman satu tahun, selebihnya cukup
berpengalaman dengan rentang antara tiga sampai delapan tahun. Dengan kenyataan ini
Berikut adalah identitas responden guru khususnya yang terkait dengan
pendidikan terakhir, pengalaman mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar, dan lama
mengajar bahasa Inggris di kelas V sekolah dasar seperti pada table 4.2.
128
kualitas belajar mengajar lebih mudah ditingkatkan karena tingkat pendidikan guru yang
memadai untuk mengajar di sekolah dasar.
Dalam studi pendahuluan, diperoleh kondisi pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar yang dilakukan melalui studi dokumentasi, observasi kelas, dan
wawancara. Dari studi dokumentasi dan observasi kelas diperoleh data yang terkait
dengan komponen pembelajaran dengan rincian: tujuan dan rencana pembelajaran, bahan
ajar dan metode penyampaian, proses dan interaksi pembelajaran, dan evaluasi proses
dan hasil belajar. Selain itu melalui interview dengan responden guru dan siswa
diperoleh data tentang: bagaimana guru mengembangkan kompetensi komunikatif; dan
bagaimana siswa memperoleh pembelajaran bahasa Inggris. Melalui angket terbuka dan
interview tak berstruktur, dijaring data tentang motivasi dan sikap siswa kelas V sekolah
dasar terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
a. Kondisi pembelajaran di sekolah dasar
Tujuan dan Rencana Pembelajaran
Sembilan orang guru yang menjadi responden penelitian ini terbagi dua kelompok
dalam memandang dan memperlakukan tujuan dan rencana pembelajaran. Tiga orang
yang menyiapkan rencana pembelajaran (33,33%), enam orang lainnya (66,67%)
mengajar tanpa rencana tertulis atau hanya mengikuti alur kegiatan dalam buku sumber
dengan sedikit modifikasi urutan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kelompok pertama menganggap perlu membuat catatan khusus (rencana
pembelajaran) yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengalaman
belajar kepada siswa melalui rumusan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator
ketercapaian kompetensi dasar. Hal itu dimaksudkan agar mereka tidak keluar dari
129
rencana pemberian pengalaman belajar yang telah ditetapkan atas pertimbangan tugas
dan latihan berbahasa Inggris yang realistis dan pedagogis. Dari pendapat itu jelas
terlihat kemampuan guru yang sangat memadai untuk dikembangkan lebih jauh agar
dapat memfasilitasi dan membimbing siswa belajar.
Kelompok kedua lebih bergantung pada buku sumber dengan hanya sedikit
memperhatikan kesesuaian bahan ajar dan tugas serta latihan yang diberikan. Kelompok
itu memandang buku sumber sebagai acuan setiap kegiatan belajar bahasa Inggris
sehingga cenderung mengikuti metode yang disarankan penulis dalam urutan
penyampaian, dan cara mengerjakan tugas dan latihan, tanpa memperhatikan jumlah
waktu (pace) yang sesuai berdasarkan tujuan pengembangan kompetensi terkait.
Akibatnya, pembelajaran cenderung kaku dan monoton karena didikte oleh penulis yang
jauh dari pemahaman kondisi kelas tempat buku itu digunakan. Berikut beberapa hal
yang dapat d [kemukakan dari kedua kelompok di atas:
Karena tidak memiliki silabus kurikulum muatan lokal, guru cenderung tidak
merumuskan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator. Rumusan kompetesi dasar secara
umum dipetik atau diadaptasi dari Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Inggris SMP
atau dari buku sumber tanpa memperhatikan penekanan pengalaman belajar yang
menjadi fokus. Kompetensi dasar dan indikator secara umum belum sesuai dengan tugas
dan latihan yang diberikan. Tugas dan latihan tersebut masih ada yang kurang bermakna
dan relevan dengan perkembangan siswa khususnya yang berkaitan dengan faktor
kapasitas pemrosesan (processing capacity) bahasa.
130
Bahan Ajar/Metode Penyampaian
Bahan Ajar
Sebagian besar guru terpaku pada materi, tugas dan latihan dalam satu buku
sumber tertentu tanpa memperhatikan faktor processing capacify bahasa siswa dalam
menyelesaikan tugas dan latihan tersebut. Mereka belum menyesuaikan materi, tugas dan
latihan dengan tingkat kemampuan siswa.Variasi materi, tugas dan latihan lebih banyak
bergantung pada buku acuan guru. Sebagian besar guru hanya mengikuti irama penulis
yang menuangkan materi, tugas dan latihan berdasarkan variabilitas yang tidak
meperhitungkan kebutuhan ril siswa secara spesifik. Karena itu pembelajaran cenderung
terpaku pada pemberian pengalaman berbahasa yang kurang komunikatif dengan
dominasi tugas dan latihan pedagogis dengan format jawaban 'benar/salah'. Tidak
memberi peluang kepada siswa berpikir divergen.
Semua guru telah memberi pengalaman baru bagi siswa, walaupun kurang
memperhatikan realitas tentang dimana, kapan, dan kepada siapa sebuah ujaran sesuai
digunakan. Selain itu, mereka juga belum mampu membedakan kompleksitas tuntutan
kognitif yang dikandung oleh tugas dan latihan tersebut sehingga urutan sering tidak
mengikuti prinsip dari yang mudah ke yang sulit atau dari yang konkret ke yang abstrak.
Guru masih kurang memahami bagaimana: memfasilitasi siswa agar mampu
mengungkapkan dirinya sendiri melalui kegiatan komunikatif, menyajikan kosa kata dan
ujaran baru sesuai tingkat perkembangan siswa, mengarahkan siswa agar mampu
menggunakan bahasa lisan atau tulis yang bermakna dan mengalir secara alami
berdasarkan topik dan hubungan interpersonal antar pemakai bahasa, dan menyajikan
bahasa yang bermakna dalam konteks budaya penutur asli.
131
Metode Penyampaian
Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan pendahuluan untuk
mengantar siswa memasuki pengalaman baru. Mereka membuka pelajaran dengan
mengajukan pertanyaan tentang apa yang dipelajari siswa sebelumnya. Jika pertanyaan
tidak dijawab benar, maka guru menjelaskan kembali materi tersebut. Kemudian
memberi penjelasan tentang apa yang akan dipelajari saat itu.
Pada kegiatan inti guru telah memfasilitasi rekonstruksi pengalaman baru,
namun sebatas hanya dengan mengerjakan tugas/latihan yang ada dalam buku teks.
Sebelum siswa mengerjakan tugas/latihan, guru terlebih dahulu memberi contoh
penyelesaian soal. Kemuadian ia memberi waktu kepada siswa untuk menyelesaikan
soal-soal itu baik secara individu maupun kelompok. Setelah siswa selesai, guru lalu
mengecek jawaban dan menjelaskan kembali jawaban yang salah. Pada kegiatan
penutup, guru memberi pekerjaan rumah yang dipetik dari soal-soal yang ada dalam
buku teks, yang belum sempat diselesaikan siswa pada saat kegiatan inti berlangsung.
Guru telah memberi bantuan baik secara klasikal maupun individual bila siswa
menemukan kesulitan. Satu hal esensial yang belum dilakukan adalah memberikan
bimbingan dan mengarahkan siswa secara bertahap menemukan oleh diri sendiri fakta,
pengetahuan dan keterampilan yang menjadi tujuan pembelajaran.
Ternyata semua guru tidak melakukan umpan balik melalui pertanyaan terarah.
Siswa belum diberi kesempatan menyadari pengalaman yang baru diperoleh agar dapat
membandingkannya dengan pengetahuan dan keterampilan sebelumnya. Namun, mereka
memberi penguatan positif berupa pujian bagi siswa yang telah berhasil menjawab
dengan benar. Hal berbeda adalah frekuensi pemberian pujian. Ada yang memberi pujian
132
terlalu sering sehingga cenderung dimaknai sebagai ungkapan yang biasa saja dilakukan
guru, artinya tidak memberi makna apa-apa yang dapat memotivasi belajar.
Kegiatan pembelajaran belum memfasilitasi penerapan fakta, pengetahuan, dan
keterampilan yang baru diperoleh dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogi k
atau autentik. Tugas dan latihan yang diberikan guru terpaku pada kegiatan inti, yang di
dalamnya siswa diperhadapkan lebih bayak pada penyelesaian persoalan pedagogik dari
buku sumber. Penggunaan media belum dapat mempermudah siswa memahami konsep-
konsep bahasa karena tidak disertai dengan konteks yang jelas. Guru juga belum
menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Misalnya pemanfaatan diri sendiri dan
lingkungan sekitar siswa untuk memperkenalkan kosa kata baru dan kegiatan-kegiatan
komunikatif seperti menulis atau berbicara tentang sebuah topik.
Semua guru belum menyajikan drill bermakna {meaningful drill) Mereka
menyajikan drill mekanis, siswa mengulangi ujaran yang diucapkan guru dengan
penekanan pada bunyi bahasa dan intonasi yang dianggap tepat. Prosedur yang ditempuh
mulai dari pengulangan secara klasikal, separuh kelas, dan akhirnya secara individual.
Demikian seterusnya sampai siswa mampu melafalkan bunyi-bunyi bahasa dan intonasi
kalimat yang berterima. Guru selalu mngeroksi kesalahan siswa. Namun, belum semua
guru mampu melaksanakan koreksi kesalahan siswa dengan cara yang lebih santun.
Misalnya melalui parafrase atau mengulangi kalimat yang sama dalam bentuk dan
pengucapan yang benar sambil memberi kesan melalui tatapan atau dengan nada dan
mimik tertentu.
Proses/Interaksi Pembelajaran L ^
Proses Pembelajaran \ • SlV^-S* ,
Guru menyajikan materi dengan lancar karena telah mempelajariny^sefeehffif^
masuk kelas bahkan ada di antara mereka membawa catatan kecil untuk mengatur urutan
penyajian dengan sedikit modifikasi dari buku sumber. Modifikasi urutan penyajian
dilakukan berdasarkan urutan logis yang diperkirakan sesuai dengan materi yang relevan
dengan topik tertentu. Namun, pengaturan waktu kegiatan sering diabaikan sehingga
penyelesaian tugas dan latihan sering ditentukan oleh cepat-lambatnya siswa. Hal itu
terjadi karena mereka belum memiliki pengetahuan berapa waktu yang tepat bagi anak
untuk menyelesaikan tugas dan latihan sesuai tuntutan kognitif yang melekat di dalam
tugas tersebut.
Penjelasan guru pada setiap pelaksanaan tugas sangat bervariasi. Ada yang
menjelaskan setelah yakin siswa siap menerima penjelasan. Sebagian menjelaskan tanpa
memperhatikan apakah semua siswa sudah siap atau belum. Lainnya memberi penjelasan
sambil mengecek pemahaman siswa melalui pertanyaan atau menyuruh salah seorang
menjelaskan kembali cara mengerjakan tugas dan latihan tersebut
Hanya sebagian kegiatan pembelajaran yang dipantau memperlihatkan bahwa
siswa cenderung lebih aktif daripada guru dalam menyelesaikan tugas dan latihan. Dalam
hal ini, siswa mengajukan pertanyaan bila menemukan masalah yang belum dapat
dipecahkan sendiri. Cara guru menjawab pertanyaan siswa bervariasi. Ada yang
menjawab sambil menuliskannya di papan tulis. Sebagian menjawab sambil menyuruh
siswa memperhatikan buku sumber kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. Yang
lainnya menjawab setelah memastikan tak ada siswa lain yang dapat membantu.
134
Pada umumnya guru memberi bantuan sesuai kebutuhan, yang berbeda adalah
caranya- Sebagian berkeliling kelas memantau siswa dalam mengerjakan tugas dan
latihan sambil memberi penjelasan singkat bila menemukan siswa dalam kesulitan, yang
lain hanya menunggu pertanyaan dari siswa sambil memantau kegiatan dari depan kelas,
bantuan biasanya diberikan dalam bentuk penjelasan keseluruh kelas.
Guru memiliki kesungguhan menyajikan pelajaran. Hal itu dibuktikan dengan
suara yang lantang cukup terdengar ke seluruh kelas, mimik yang menampakkan
kesungguhan dan air muka yang berseri-seri, serta perlakuan kepada siswa yang baik.
Semua guru membangun hubungan baik (rappori) dengan siswa yang memfasilitasi
proses belajar yang tidak mencekam (non-threatening atmosphere). Guru dan siswa
memahami peran dan tugas masing-masing sehingga tidak terjadi salah komunikasi
ketika melaksanakan tugas dan peran tersebut, walaupun guru sesekali menggunakan
bahasa Inggris.
Dalam hai berbahasa Inggris, semua guru masih membutuhkan peningkatan
kelancaran (fluency) dan ketepatan (accwacy) yang lebih baik, baik menyangkut tata
bahasa dan pemilihan kata maupun pengucapan dan aksen yang tepat (register) untuk
mengungkapkan ide dan gagasan. Guru kurang kreatif menggunakan the teacher 's meta-
language, sehingga terkesan hanya ungkapan itu-itu saja yang dapat dikatakan, misalnya
good morning, openyour book dan lain-lain.
Guru juga kurang kreatif dalam mengorganisasi kelas, proses pembelajaran
cenderung monoton. Mereka mengatur siswa bekerja secara individual, sesekali
berpasangan dalam praktik bercakap dengan membaca dialog dari buku sumber.
Demikian juga dalam kegiatan memberi bimbingan dan menyelesaikan tugas dan latihan,
135
serta menentukan alat bantu pembelajaran. Sebagian besar guru hanya menggunakan alat
bantu dengan memanfaatkan gambar dalam buku sumber, yang lain membuat sendiri
sesuai dengan kebutuhan topik pembelajaran.
Inisiatif guru terlihat dari seberapa sering dan variatifnya mendorong siswa agar
belajar lebih tekun ketika menemukan siswa yang memerlukan bantuan menyelesaikan
tugas dan latihan. Tidak semua guru mampu melakukan inisiasi yang tepat untuk
menstimulasi (memotivasi) siswa agar menyelesaikan tugas dan latihan dengan baik.
Interaksi pembelajaran.
Pada umumnya guru belum secara optimal mendorong semua siswa agar
berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan. Siswa belum sepenuhnya diberi kesempatan
mengambil peran dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok melalui diskusi dan
mengambil kesimpulan. Hanya sebagian kecil siswa (terkesan orang-orang yang sama)
yang mendominasi dan terlibat aktif dalam tanya jawab.
Siswa belum memperoleh kesempatan luas untuk bertanya dan berpendapat. Guru
membatasi waktu bertanya, lebih senang menjelaskan seiagi siswa mendengar dengan
tertib. Pada umumnya guru belum mampu menciptakan suasana yang mendorong siswa
mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat Belum semua siswa penuh
perhatian dan terlibat dalam setiap kegiatan. Mereka cenderung pasif dan menunggu
sampai guru turun tangan membantu. Kira-kira 25%-35% yang lain cenderung lebih
memperhatikan, lebih aktif dan berinisiatif melibatkan diri dalam setiap kegiatan.
Suasana kelas cukup kondusif. Siswa tidak merasa cemas kecuali pada pembelajaran
'tata bahasa' ketika siswa diperhadapkan pada jawaban benar atau salah.
]36
Evaluasi
Semua guru belum melakukan evaluasi proses, apalagi menggunakan alat
evaluasi seperti daftar check, penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa
lainnya. Guru belum melakukan evaluasi formatif secara formal karena alasan tidak
cukup waktu. Untuk mengetahui keberhasilan siswa, guru mengecek pekerjaan secara
klasikal dengan mengajukan pertanyaan "benar" atau "salah" pada setiap butir soal. Guru
kemudian memperkirakan berapa persen siswa menjawab benar dan salah. Mereka belum
memahami bahwa evaluasi proses penting untuk memantau kemajuan belajar siswa
sehingga tidak mempersiapkannya dari awal.
Guru tidak menyiapkan evaluasi hasil belajar dengan baik, belum membuat kisi-
kisi tes. Butir-butir tes tidak mewakili empat keterampilan bahasa dan unsur-unsur
bahasa, bahkan cenderung fokus pada testing the language areas saja dalam bentuk
discrete Hem tesi. Sebagian besar guru hanya memetik kembali soal-soal dari tugas dan
latihan dari buku sumber yang telah diselesaikan siswa sebelumnya. Melalui analisis
dokumen, ditemukan kurang lebih 83,33% dari 30 butir soal yang menguji kemampuan
siswa terhadap kosa kata dan tata bahasa. Selebihnya 16,67% menguji kemampuan
membaca pemahaman.
b. Pengembangan kemampuan komunikatif
Dalam wawancara dengan guru, diajukan empat butir pertanyaan pokok, yaitu:
(1) Apa yang Anda ketahui tentang kemampuan komunikatif?; (2) Bagaimana Anda
mengembangkan kemampuan komunikatif?; (3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti?;
dan (4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa? Berikut adalah
137
uraian hasil wawancara dengan guru yang telah dikalimatkan kembali namun tidak
menyimpang dari maksudnya:
1) Keyakinan guru tentang kemampuan komunikatif
Pemahaman guru terhadap kemampuan komunikatif beragam walaupun hampir
separuh dari mereka sarjana (SI) pendidikan bahasa Inggris dan dua di antaranya D3
pendidikan bahasa Inggris. Ada yang memahami sebagai kemampuan menyampaikan
dan menerima pesan baik lisan maupun tertulis. Tingkat kemampuan menyampaikan dan
menerima pesan bergantung atas pengetahuan bahasa sebagai media komunikasi yang
digunakan. Menurutnya, semakin luas pengetahuan gramatikal dan unsur-unsur bahasa
lainnya serta pengetahuan tentang situasi kapan dan dimana sebuah ujaran sesuai
digunakan, semakin lancar seseorang menuangkan dan atau memaknai pesan.
Sebagian memahaminya sebagai kemampuan berkomunikasi lisan (tindak tutur
bahasa) yang diajarkan kepada siswa agar mampu dan terampil berkomunikasi dalam
bahasa Inggris di mana dan kapan diperlukan. Kelompok kecil ini menganggap
kemampuan komunikatif sebagai bahan pembelajaran bahasa Inggris baik pada tingkat
sekolah dasar mau pun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Agar memiliki
kemampuan itu, siswa diberi latihan bercakap-cakap secara berpasangan melalui teks
berbentuk dialog dari buku sumber. Selain itu, siswa dilatih mengucapkan bunyi secara
tepat dengan drill, dan menerjemahan kata-kata sulit.
Seorang guru menjelaskan kemampuan komunikatif sebagai kemampuan yang
dimiliki pemakai bahasa untuk mengekspresikan dan menangkap ide, pikiran, perasaan,
dan gagasan. Menurutnya, ada esensi yang terkait dengan kemampuan (kompetensi)
seperti pengetahuan 'tentang bahasa' dan keterampilan menggunakan bahasa sebagai
138
media komunikasi. Pengetahuan mencakup kemampuan merangkai kata dan kalimat
sesuai kaidah tata bahasa yang tepat mewakili pesan yang disampaikan. Pengetahuan saja
tidak cukup, tapi harus disertai dengan keterampilan mengucapkan bunyi bahasa yang
tepat, memilih kata dan kalimat yang sesuai dengan topik serta kepada siapa pembicaraan
ditujukan.
2) Bagaimana Anda mengembangkan kemampuan komunikatif?
Walaupun keyakinan tentang kemampuan komunikatif beragam, cara guru
mengembangkannya cenderung sama. Mereka berangkat dari buku-buku sumber yang
tersedia. Ada yang memilih materi dari beberapa sumber dan ada pula yang memilih dari
satu buku tertentu. Kegiatan yang diberikan sudah mengarah pada pengembangan
kemampuan komunikatif, walaupun tidak jelas fokus pengembangannya. Empat
keterampilan bahasa (language skills) dan unsur-unsur bahasa {language components)
tidak disajikan secara terintegrasi.
Menyimak belum dipersiapkan khusus sebagai pembelajaran. Ketika guru
mengarahkan siswa untuk mengerjakan tugas, siswa biasanya menyimak penjelasan guru
yang disajikan dalam bahasa Inggris. Siswa memahami maksudnya karena penjelasan
diulangi dalam bahasa Indonesia. Membaca kata dan kalimat dilakukan dengan suara
nyaring, dan biasanya menjadi menu utama kegiatan pembelajaran. Berbicara dilakukan
siswa melalui dialog tertulis dari buku sumber tanpa memahami situasi kapan, dimana,
dan kepada siapa ujaran ditujukan. Menulis cenderung merupakan latihan menulis ejaan
(kosa kata) dan kalimat-kalimat lepas, tidak utuh dari konteks sosial dimana sebuah
bentuk bahasa dan ujaran sesuai digunakan.
139
Pada pengembangan unsur-unsur bahasa, guru memberikan tugas dan latihan
kepada siswa sesuai dengan buku sumber. Pada umumnya guru menyajikan tugas dan
latihan kosa kata melalui gambar. Siswa menjawab dengan menuliskan kosa kata
berdasarkan gambar yang disajikan. Kegiatan monoton karena guru tidak mengambil
contoh dari lingkungan siswa, seperti benda-benda yang ada di kelas atau di lingkungan
sekolah. Tak satu orang guru pun yang memperkenalkan kosa kata melalui kegiatan yang
lebih bermakna, misalnya menyuruh siswa melakukan sesuatu yang direspon dengan
melakukan perintah itu.
Untuk mengembangkan kompetensi gramatikal, guru menjelaskan tata bahasa
dengan contoh kalimat dari buku sumber. Siswa mendengar penjelasan guru,
memperhatikan contoh yang diberikan kemudian mengerjakan soal-soal. Setelah itu
pekerjaan siswa dicek dengan menyuruh siswa menulis jawaban di papan tulis. Banyak
waktu yang terbuang dalam kegiatan itu. Guru tidak memperhatikan berapa waktu yang
sesuai untuk peralihan tugas dari kegiatan satu ke yang lain. Latihan pengucapan
dilakukan melalui drill—siswa mengulangi kalimat-kalimat yang diucapkan guru, meniru
pengucapan dan intonasi sebagai model. Drill dilakukan secara klasikal, separuh kelas,
dalam jumlah siswa tertentu, dan secara individual.
3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti?
Semua guru bereaksi sama menanggapi pertanyaan ini. Mereka mengenal
prosedur dengan tiga tahapan pembelajaran: Pendahuluan (mereka sebut apersepsi);
Kegiatan inti; dan Kegiatan penutup.
Pada kegiatan pendahuluan, guru mengajukan pertanyaan yang terkait dengan
materi pembelajaran sebelumnya. Siswa menjawab secara klasikal, biasanya serentak
beberapa orang. Ketika siswa menjawab kurang tepat, guru menjelaskan kembali tanpa
140
memperhatiakan waktu yang tersedia. Setelah semua jelas, guru kemudian
memperkenalkan materi pembelajaran berikutnya melalui penjelasan pengantar.
Memasuki tahap kegiatan inti, guru menyuruh siswa membuka buku sumber, dan
memperkenalkan topik babasan. Penjelasan tentang cara mengerjakan tugas dan latihan
pada umumnya mengawali kegiatan ini. Siswa mendengar penjelasan guru dengan
seksama sambil memperhatikan contoh di papan tulis. Sebagian guru mengecek apakah
siswa mengerti atau tidak dengan menyuruh salah seorang mengulangi atau menjelaskan
kembali apa yang harus dilakukan dan cara melakukannya. Setelah guru yakin, siswa pun
disuruh mengerjakan tugas dan latihan. Guru memonitor dan memberi bantuan kepada
siswa yang mengalami kesulitan. Kegiatan berikut, guru mengecek hasil pekerjaan siswa
secara lisan atau tertulis di papan tulis.
Tahap akhir dari prosedur pembelajaran adalah penutup. Kegiatan pada tahap ini
cenderung dimaknai sebagai kegiatan evaluasi formatif. Evaluasi formatif sering tidak
dilakukan secara formal, akan tetapi hanya dengan pengamatan keberhasilan siswa
mengerjakan tugas dan latihan pada kegiatan inti. Guru mengetahui taraf serap materi
melalui pengamatan dan perkiraan hasil belajar secara klasikal. Selain evaluasi formatif,
kegiatan penutup sering juga mencakup pemberian pekerjaan rumah.
4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa?
Untuk pertanyaan ini, guru pada umumnya menjawab singkat, 'mengevaluasi
materi yang telah diajarkan'. Alat evaluasi berbentuk tes pilihan ganda (paper andpencil
tesi). Mereka tidak menerapkan evaluasi proses belajar yang dilakukan dengan alat
penilaian kemajuan belajar.
141
c Tanggapan siswa terhadap cara guru mengembangkan kemampuan komunikatif.
Untuk memperoleh tanggapan siswa tentang cara guru mengembangkan
kemampuan komunikatif, diajukan pertanyaan berkisar pada bagaimana guru mengelola
pembelajaran. Wawancara fokus pada langkah-langkah pembelajaran, bagaimana guru
membantu siswa dalam kesulitan, bagaimana siswa belajar menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis serta belajar kata-kata bahasa Inggris yang difasilitasi guru.
Jumlah responden 40 orang sampel yang diambil secara acak dari empat sekolah yang
berbeda. Hal itu dimaksudkan agar bisa mewakili siswa lain karena karakteristik yang
sama. Tanggapan siswa dikemukakan sebagai berikut:
Pada umumnya siswa mengemukakan bahwa guru mulai pelajaran dengan salam,
mengabsen siswa, kemudian menanyakan pelajaran yang lalu atau jawaban pekerjaan
rumah yang ditugaskan sebelumnya. Setelah itu barulah guru menyuruh membuka buku
sumber pada halaman tertentu. Guru menunjuk bacaan atau soal-soal dalam buku itu,
menjelaskan dan memberi contoh tertulis tentang bagaimana menyelesaikan soal-soal itu.
Siswa pada umumnya bekerja secara individual, sementara guru memantau dari depan
kelas. Setelah siswa selesai mengerjakan soal-soal, mereka pun disuruh menuliskannya di
papan tulis, satu persatu siswa ditunjuk untuk mendapat giliran ke depan. Sebagai
kegiatan akhir, guru menutup pelajaran dengan memberi pekerjaan rumah.
Bila guru menemukan siswa dalam kesulitan menyelesaikan soal-soal, mereka
memberi bantuan dengan menjelaskan kembali materi bersangkutan. Sering juga guru
berkeliling mengamati pekerjaan siswa sambil memberi jawaban atau menunjukkan cara
menjawabnya.
142
Pada umumnya siswa menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberi pelajaran
menyimak, tapi sering mendengar guru berbahasa Inggris saat memberi salam dan ketika
memberi instruksi kepada siswa untuk mengerjakan latihan. Misalnya: "Openyow book,
page ."
Pada pelajaran membaca, terutama membaca pemahaman, guru mulai dengan
menerjemahkan kata-kata sulit, sementara siswa menyalin ke dalam buku catatan.
Setelah itu siswa disuruh menjawab pertanyaan secara individual. Langkah akhir dari
pelajaran membaca pemahaman adalah guru mengecek jawaban dengan menyuruh siswa
menuliskannya di papan tulis. Selain membaca pemahaman, siswa juga di suruh
membaca nyaring kata atau kalimat tertentu, meniru model pengucapan guru yang
dianggap benar.
Pada pelajaran berbicara, siswa ditugasi membaca dialog dalam buku sumber.
Guru memberi contoh terlebih dahulu tentang bagaimana percakapan dilakukan.
Selanjutnya guru menerjemahkan percakapan tersebut secara lisan untuk dicatat oleh
siswa. Langkah berikut siswa membaca dialog secara berpasangan. Guru memperbaiki
pengucapan siswa yang kurang tepat yang diikuti oleh siswa bersangkutan atau secara
klasikal.
Sama halnya dengan membaca, menulis dilakukan dengan mengerjakan soal-soal
dan latihan dalam buku sumber. Sering menulis kata yang relevan dengan gambar, atau
menulis suatu kalimat yang sesuai dengan kalimat pemicunya. Dengan perkataan iain,
menulis dilakukan dengan mengisi kata pada kalimat-kalimat rumpang.
143
d. Motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris
Untuk memperoleh data tentang motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran
bahasa Inggris, diberikan angket terbuka melalui sebuah pertanyaan: "Bagaimana
pengalaman anda dalam belajar bahasa Inggris selama ini? Jawaban diuraikan secara
tertulis dalam bentuk esai. Selain angket terbuka dilakukan juga wawancara pada siswa
(responden) yang sama, dengan maksud untuk menggali lebih jauh informasi yang belum
jelas dari angket.
Dari empat puluh orang responden, diperoleh data deskriptif dalam empat
kategori yang berbeda sebagai berikut.
1). Tertarik belajar bahasa Inggris karena sadar akan pentingnya bahasa Inggris.
Siswa dalam kelompok ini mengaku bahwa mereka belajar bahasa Inggris karena
senang dan atas kemauan sendiri walaupun juga atas dukungan, orang tua. Motivasi
belajar timbul karena ingin (mampu) berkomunikasi dengan orang asing, bekerja di
kantor perusahaan asing, dan karena meyakini penguasaan bahasa Inggris akan
membantu dalam memperoleh pengetahuan. Informasi tentang manfaat belajar bahasa
Inggris kebanyakan diperoleh dari orang tua dan guru. Kondisi pendidikan dan ekonomi
orang tua siswa dalam kelompok ini umumnya tergolong baik, mampu memberikan
kontribusi terhadap kemajuan belajar anak. Kelompok ini sering mengikuti les bahasa
Inggris baik yang dilakukan gurunya sendiri mau pun dari kursus-kursus resmi. Mereka
memiliki dorongan yang kuat baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dari pernyataan
suka atau senang bahasa Inggris walaupun sulit, dapat dikemukakan bahwa siswa dalam
kelompok ini memiliki sikap positif terhadap pelajaran bahasa Inggris.
144
2). Tertarik belajar bahasa Inggris karena dipelajari di sekolah.
Kelompok siswa ini mengaku tidak banyak informasi tentang pentingnya belajar
bahasa Inggris yang diperoleh dari orang tua. Namun, mereka mengaku senang belajar
walaupun sulit menulis dan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris. Mereka menyukai
pelajaran bahasa Inggris karena gurunya baik, suka membantu kalau salah dalam
menjawab soal-soal. Mereka juga mengakui mulai menyenangi bahasa Inggris setelah
guru memperkenalkan kata-kata melalui gambar, bacaan dan lagu. Kondisi pendidikan
dan ekonomi orang tua siswa dalam kelompok ini bervariasi dari tingkat SMA sampai
perguruan tinggi, pegawai negeri atau pun swasta. Jumlah siswa responden dalam
kelompok ini lebih banyak daripada kelompok responden pada kategori lain. Dari
pernyataan tertulis atau lisan yang diberikan, ditemukan bahwa rata-rata mereka
memiliki motivasi belajar dan cenderung memiliki sikap positif terhadap pembelajaran
bahasa Inggris.
3). Belajar bahasa Inggris karena ingin memperoleh nilai yang bagus.
Kelompok siswa ketiga adalah mereka yang ingin belajar bahasa Inggris karena
ganjaran yang diberikan guru berupa nilai yang tinggi. Mereka mengaku orang tua
mereka senang bila memperoleh nilai tinggi termasuk juga dalam pelajaran bahasa
Inggris. Mereka mengaku bahwa kadang-kadang pelajaran bahasa Inggris sulit dan
kadang-kadang juga mudah. Senang belajar membaca dan menulis (menyalin kata atau
kalimat) tapi ragu-ragu bila disuruh bercakap-cakap oleh guru—cenderung gugup kalau
disuruh mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang. Kondisi pendidikan dan ekonomi
orang tua siswa dalam kategori ini juga bervariasi. Dari pernyataan tertulis dan lisan yang
diberikan, dikemukakan bahwa siswa dalam kategori ini rata-rata memiliki motivasi
145
tinggi untuk belajar bahasa Inggris (mungkin juga untuk pelajaran lain) karena pengaruh
orang tua agar mereka berprestasi di sekolah.
4). Kurang tertarik belajar bahasa Inggris.
Kelompok siswa keempat adalah mereka yang kurang tertarik belajar bahasa
Inggris. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, yaitu sulit mengerjakan PR karena
orang tua tidak bisa membantu, nilai yang diberikan guru selalu rendah, sulit membaca
dan menulis karena lain huruf lain bacanya, tidak suka kata-kata bahasa Inggris, dan
sebagainya. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kategori ini
sebagian besar agak rendah. Jumlah siswa dalam kategori ini paling sedikit di antara
jumlah siswa pada kategori lain. Dari jawaban tertulis dan lisan yang diberikan,
ditemukan bahwa siswa dalam kelompok ini rendah motivasinya dan sikapnya cenderung
negatif terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
e. Ikhtisar hasil studi pendahuluan
Terlepas dari beberapa hal yang sudah baik, ada beberapa yang perlu diperhatikan
dari informasi yang berhasil dikumpulkan, yaitu:
1) Sebagian besar guru belum menyiapkan tujuan dan rencana pembelajaran,
kegiatan dilakukan dengan mengikuti alur dalam buku sumber.
2) Penyajian materi pembelajaran cenderung terpaku pada buku sumber pegangan
guru, lingkungan belum dimanfaatkan sebagai media dan sumber belajar yang
akrab dengan keadaan siswa.
3) Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan lead-in untuk
mengantar siswa memasuki pengalaman baru.
146
4) Kesempatan untuk mengkonstruksi (reconstruction) sendiri pengalaman baru
yang difasilitasi dan dibimbing guru melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan
pengetahuan dan keterampilan baru melalui tugas dan latihan yang direncanakan
belum dimanfaatkan secara optimal.
5) Kesempatan menerapkan fakta, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ke
dalam situasi dan konteks baru (production) belum tersedia.
6) Bagaimana memfasilitasi siswa agar mampu mengungkapkan dirinya sendiri
melalui kegiatan komunikatif belum dilakukan.
7) Umpan balik (feedback) agar siswa menyadari pengalaman yang baru diperoleh
belum mendapat perhatian.
8) Siswa belum diantar pada pemecahan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan
terbimbing (leading questions) untuk menemukan sendiri pemecahan masalah
yang dibutuhkan.
9) Pada umumnya siswa menyelesaikan tugas dan latihan secara individual.
10)EvaIuasi proses, apalagi menggunakan alat evaluasi tertentu, seperti dañar check,
penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa lainnya belum dilakukan.
Il)Belum ada pola tertentu yang diikuti dalam mengembangkan kompetensi
komunikatif siswa.
12) Masih ada siswa yang memiliki motivasi rendah dan sikap terhadap pembelajaran
bahasa Inggris yang kurang mendukung.
Ke 12 butir temuan di atas dapat direduksi menjadi, butir: 1 terkait dengan
dokumen rencana pembelajaran; 2, 6 berkenaan dengan bahan ajar/tugas dan sistem
penunjang/media pembelajaran; 3, 4, 5, dan 11 menyangkut prosedur atau langkah-
langkah pembelajaran; 7, 8, dan 9 adalah perihal proses pembelajaran; 10 berkenam;>>* j z
dengan model evaluasi proses dan hasil belajar; dan 12 terkait dengan motivasi.dan MjpB'SSr A /
siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
2. Pengembangan Draft Awal Model Pembelajaran
Kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem
pendidikan di Indonesia khususnya bagi pendidikan dasar dan menengah menganut
model kompetensi komunikatif, dan model bahasa sebagai sistem semiotik sosial. Kedua
model ini berimplikasi pada perlunya model pembelajaran bahasa Inggris yang sesuai dan
dapat mengakomodasi karakteristik pelajaran bahasa Inggris. Misalnya, model
kompetensi komunikatif mengisyaratkan penguasaan kompetensi wacana yang didukung
oleh kompetensi yang lain agar seseorang mampu menggunakan bahasa sebagai alat
untuk menyatakan makna dalam sebuah interaksi. Demikian pula dalam model bahasa
sebagai sistem semiotik sosial, pembelajaran dikemas dalam tiga aspek penting—yang
tidak terlepas dari makna—konteks, teks, dan sistem bahasa.
Model pembelajaran bermakna mengakomodasi kedua model di atas untuk
memenuhi kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar khususnya
kelas V. Model pembelajaran bermakna juga mempertimbangkan kesesuaian dengan
karakteristik siswa sebagai pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem
pendidikan di Indonesia. Telah disebutkan pada bab H, bahwa siswa memiliki ciri khas
(karakteristik) tersendiri yang dalam berbagai hal berbeda dengan pembelajar bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua. Siswa memiliki pengalaman kognitif sebagai entry
behaviour, dari lingkungan sosiokultural yang beragam, berkomunikasi dalam dua atau
lebih bahasa sebelum belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dan jarak budaya
148
penutur asli dengan budaya siswa sendiri, serta jarak linguistik antara bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia.
Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan sehingga mode! pembelajaran
bermakna dianggap paling sesuai. Model pembelajaran bermakna meyakini bahwa esensi
tujuan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah agar siswa mau dan
menghargai (appreciate) belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, maka: (1) materi,
sumber dan media belajar disesuaikan dengan dunia nyata dan lingkungan sosial anak.
(2) kompleksitas tugasAatihan berbahasa dan kebahasaan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa (concrete operation), (3) tugas/latihan akan bermakna
bagi anak bila bahasa Inggris disajikan dalam bentuk keseluruhan dan dalam konteks
dunia nyata, (4) pembicaraan mengenai tata bahasa yang abstrak dilakukan dengan cara
yang bijaksana, (5) mengoptimalkan panca indra anak dalam bermain sambil belajar
bahasa Inggris, dan (6) membantu siswa berkembang dan memperoleh pengalaman yang
bermakna, serta (7) memanfaatkan usia optimal dalam memperoleh bahasa.
Draf awal model pembelajaran dikembangkan dari dua sumber utama, yakni: ( I )
hasil kajian teori-teori belajar, dan (2) Model "The 4Mat System" hasil adaptasi oleh
lembaga penelitian Arlington Public Schools, ESOL/HILT Program, dan Center for
Applied Linguistics. Selain itu, pengembangan draf awal model didasarkan pada
pemenuhan kondisi yang dibutuhkan oleh pembelajaran bahasa Inggris dewasa ini.
Model menganut Comparative Summaries dengan prinsip eclecticism—sebuah
model pembelajaran yang merupakan kombinasi tiga teori belajar utama yang jamak
dikenal sebagai model behavioris, kognitif, dan konstruktif. Selain itu, model juga
dipengaruhi oleh the 4Mat System—Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman oleh
149
McCarthy (1980) hasil adaptasi. Dengan perkataan lain, draft yang dikembangkan
disesuaikan dengan kondisi ril kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar
yang diperoleh melalui studi pendahuluan.
Berapa besar sumbangan teori-teori belajar terhadap model yang dikembangkan
diuraikan sebagai berikut
a. Pengaruh teori-teori belajar
Secara teoretis, pengembangan model pembelajaran dalam kajian ini diilhami
pandangan dan keyakinan Piaget yang masih bertahan sampai kini, yakni the constructive
nature of the learning process, keyakinan yang menekankan hakikat konstruktif dalam
proses belajar. Menurut Piaget
the main underlying assumption of constructivism is that individuals are actively involved right from birth in constructing personal meaning, that is their own personal understanding, from their experiences. In other words, everyone makes their own sense of the world and the experiences that surround them. ... the learner is brought into central focus in learning theory (William dan Burden, 1997: 21).
Kutipan ini mengisyaratkan setiap siswa secara aktif sejak lahir telah membangun
apa yang disebut sebagai personal meaning, melalui pemaknaan dan pemahaman sendiri
tentang dunia (yang secara tipikal berbeda dengan orang lain) yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman. Setiap orang pada dasarnya mengkonstruksi dunianya sendiri
dan pengalaman-pengalamannya yang diperoleh melalui aktivitas sekitar mereka. Oleh
karena itu, Piaget menempatkan siswa sebagai pusat dalam teori belajar.
Dari konsep ini muncul sebuah pertanyaan: "Bagaimana memfasilitasi siswa agar
mampu merekonstruksi pengetahuan dan keterampilan berdasarkan pengalaman belajar
bahasa Inggris bermakna yang dimediasi guru di dalam kelas?" Jawaban pertanyaan ini
mengacu pada peran dan hubungan guru dan siswa yang membentuk sistem sosial
150
(social system) dengan karakteristik yang tipikal untuk sebuah interaksi di kelas. Jika
demikian, perlu dikembangkan sebuah desain model pembelajaran yang menawarkan
seperangkat langkah (syntax) yang mengakomodasi sistem sosial di atas dengan segala
kegiatan, perilaku, dan nilai yang diinginkan, sistem penunjang (support system), dan
evaluasi kemajuan belajar siswa Agar memperoleh kekuatan konseptual, ketiga hal itu
harus memiliki landasan filosofis dan psikologis yang sesuai.
Pengembangan model ini berlandaskan atas keyakinan konstruktivis seperti yang
dikemukakan Piaget di atas. Walau demikian, perlu juga dicatat bahwa dari sudut
pandang 'pengajaran* (teaching)—terpisah dari 'pembelajaran', konstruktivisme
sebenarnya tidak menganjurkan satu cara mengajar yang paling tepat bagi guru. Menurut
Glasersfeld (Williams dan Burden, 1997: 51) cara yang baik adalah yang bermanfaat dan
bermakna menurut situasi sendiri..
Tujuan model pembelajaran ini adalah untuk melatih siswa mengembangkan
sikap sebagai 'a language researcher'. Menurut Hatch dan Hawkins (1987) dalam Celce-
Murcia (1991: 347) 'a teaching model which trains learner to develop a "language
researcher" attitude is most consistent with research findings'. Oleh karena itu, model
yang dikembangkan mengarahkan proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu
pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif dalam bahasa Inggris yang
memadai (mastery of subject matter) dan keterampilan sosial.
Dalam posisi kurikulum (Miller dan Seiler, 1985: 197), model ini mengikuti
kriteria 'transformasi' dalam arti pada model: dipentingkan hubungan antara pengalaman
luar (outer) dan struktur dalam (inner atau skemata) pembelajar, ada fase penyadaran
akan perubahan yang dimiliki siswa setelah pembelajaran, menekankan strategi berpikir
151
divergen (divergent thinking process), dan dalam belajar dimungkinkan pengaktifan baik
otak kiri maupun otak kanan melalui kegiatan yang direncanakan.
Model pembelajaran berangkat dari perspektif konstruktivisme yang memandang
bahwa (1) siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman
baru berdasarkan pada pengalaman awal, (2) pengalaman yang mendalam dikembangkan
melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna, (3) siswa memperoleh pengetahuan
secara asimilatif dan akomodatif, dan (4) pengetahuan baru sama dengan gabungan dari
pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Perspektif/konsep itu menjadi titik
berangkat dikembangkannya asumsi kunci (lihat Bab n) yang mendasari pengembangan
model pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Perspektif dan asumsi kunci
mendorong perlunya suatu keadaan dan atau peristiwa dalam model pembelajaran
dimana siswa memperoleh kesempatan membangun pemahaman tentang dunia
sekitarnya, menafsirkan kenyataan dan pengalaman yang berbeda agar mampu mengatasi
masalah dalam kehidupan nyata melalui pengalaman belajar yang difasilitasi dan
dimediasi.
Namun, konsepsi sebuah model tidak dapat secara utuh menganut satu teori
tertentu dengan mengabaikan teori-teori lainnya Kombinasi teori dapat saling
melengkapi dan saling menguatkan, karena masing-masing teori memiliki kekuatan dan
kelemahan. Ryder (2006: 1) mengemukakan ringkasan model desain pembelajaran dalam
tiga model, yaitu "Model Petunjuk/Resep (Prescriptive Models), Model Penomenologi
(Phenomenological Models), dan Model Komparasi (Comparative Models)".
Masing-masing model mengadopsi dan merupakan kombinasi dari teori-teori
belajar tertentu. Khusus yang tersebut terahir, model itu menganut kombinasi model
152
behavioris, kognitif, dan konstruktif dalam satu kerangka pemikiran. Model komparasi
tidak mengkolak-kotakkan secara tegas untuk kemudian memilih salah satu secara
terpisah, tapi menentukan kombinasi yang tepat untuk aplikasi yang sesuai dengan
keadaan dan konteks pembelajaran (Yulaelawati, 2004: 56).
Kombinasi teori-teori tersebut dalam model pembelajaran yang dikembangkan
pada hakekatnya saling melengkapi, tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai entitas yang
berbeda dan memiliki garis pemisah. Dengan maksud memperjelas peran dan sumbangan
relatif dari masing-masing teori, hal itu dapat diuraikan sebagai berikut.
1). Sumbangan nisbi teori behavioris
Teori belajar behavioris, yang fokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati
dan diukur, masih tetap dapat digunakan terutama untuk mengamati perubahan perilaku
yang jelas. Perubahan perilaku dapat diketahui jika tujuan pembelajaran, kompetensi dan
indikator ketercapaian dirumuskan kemudian diukur setelah pembelajaran berlangsung.
Tujuan pembelajaran bermanfaat karena siswa dapat secara langsung merespon melalui
kegiatan yang terarah pada pencapaian hasil belajar. Gagasan tujuan instruksional oleh
behavioris menjadi kombinasi yang saling menguatkan dengan konsep konstruktif yang
meyakini bahwa negosiasi tujuan dengan siswa lebih menstimulasi bangkitnya motivasi
dan kesiapan siswa mengikuti pelajaran. Selain itu, kombinasi kedua konsep ini juga
bermanfaat bila rumusan tujuan instruksional diarahkan pada penguasaan konten dan
proses (keterampilan/prosedur) untuk mencapainya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam "mengembangkan model
pembelajaran" posisi teori belajar behavioris berkontribusi pada tahap perencanaan dan
evaluasi pembelajaran khususnya dalam hal product oriented, yang dapat menjadi
153
paduan harmonis dengan process oriented dalam konsep konstruktivis. Demikian juga
kombinasi antara individual work pada behavioris dengan konsep cooperative small-
groups pada konsep konstruktivis.
2) Sumbangan nisbi teori kognitif
Teori belajar kognitif (Piaget) terkenal dengan gagasan perwakilan mental, atau
lazim disebut skema (tunggal) atau skemata (jamak). Skema adalah struktur mental atau
kognitif dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya. Skema menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima
akan dipahami seseorang. Informasi yang sesuai dengan skema yang dimiliki siswa akan
dengan mudah diserap. Jika tidak sesuai, maka informasi tersebut ditolak atau diubah,
atau disesuaikan dengan skema yang ada. Kemungkinan lain adalah skema yang akan
diubah dan disesuaikan dengan informasi yang diterima
Untuk mengakomodasi teori ini, perlu dikembangkan satu langkah dalam model
pembelajaran dimana siswa dapat mengaktifkan skemata berupa konsep atau kategori
yang dimiliki dengan mengaitkannya pada konsep atau kategori baru yang akan diterima
melalui kegiatan atau media tertentu. Dengan pengaktifan skemata ini, siswa akan lebih
mudah mengasosiasi, mengadaptasi dan mengkordinasi informasi yang baru diterima
sehingga proses untuk mencapai pengertian akan lebih mudah. Selain itu, teori ini juga
menekankan perlunya pemberian umpan balik {feedback) pada tanggapan yang benar
dalam perannya sebagai pendorong (motivator) belajar.
Posisi teori belajar kognitif melengkapi teori perilaku behavioris. Artinya teori
kognitif mendasarkan proses berpikir dibalik prilaku yang dapat diamati. Kognitif
mengamati perubahan prilaku seseorang untuk digunakan sebagai indikator terhadap
154
peristiwa mental yang terjadi dalam pikiran siswa. Dalam kaitannya dengan
pengembangan model pembelajaran, konsep advance organisers Ausabel sangat baik
ditempatkan sebagai satu dalam seperangkat langkah model pembelajaran. Hal itu
demikian karena advance organisers berperan menjembatani apa yang telah diketahui
dengan apa yang akan diketahui siswa dalam konteks sebuah proses pembelajaran.
Advance organisers bermanfaat dan dipandang penting ketika memperkenalkan sebuah
topik atau konsep baru dimulai dengan menyinggung topik atau konsep itu—apakah
melalui pertanyaan pengungkap (eliciting questions) atau media lain—sekali pun siswa
belum memahami topik dan konsep dimaksud.
Selain itu, aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran bahasa Inggris
mempengaruhi strategi pembelajaran, dan penyesuaian strategi dengan perkembangan
kognitif siswa. Siswa diharapkan menggunakan kemampuan kognitifnya untuk
mengamati, memikirkan, dan mengkategorisasi serta membangun hipotesis tentang
bahasa sehingga secara bertahap dapat menangkap konsep bagaimana bahasa digunakan
secara fungsional—pembelajaran melalui strategi induktif.
3) Sumbangan nisbi teori konstruktif
Teori belajar konstruktif berperan penting dalam model yang dikembangkan
karena secara konseptual menyumbang dalam berbagai komponen, mulai dari
perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi kemajuan belajar.
Guru berpengalaman mengajukan empat pertanyaan: (1) apa yang perlu diketahui
siswa (what)—konsepsi bahan ajar, (2) mengapa hal itu perlu diketahui (why)—konsepsi
pedagogik-teoretis, dan (3) bagaimana hal itu diketahui (how)—konsepsi procedural,
mediatif, dan teoretis; serta (4) bagaimana mengetahui tingkat keberhasilan (how)—
155
konsepsi evaluatif. Dengan demikian, perencanaan harus menyentuh beberapa hal
sebagai berikut.
Pertama, pada tataran konsepsi bahan ajar yang akan mengantar siswa pada
fakta, pengetahuan, dan keterampilan baru, pembicaraan materi dalam model konstruktif
terkait dengan tugas (iasks)—latihan berbahasa dan perihal bahasa—yang tidak beridiri
sendiri melainkan berinteraksi secara dinamis dengan tiga faktor lainnya, guru-siswa, dan
konteks (William and Burdens, 1997: 43).
Bahan ajar, dalam wujud tugas dan latihan, menghubungkan (interfacing) siswa
dengan guru, disamping guru dengan siswa juga berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi,
perilaku guru dalam interaksi merefleksi nilai dan keyakinan {values and beliefs). Di sisi
lain, cara bereaksi dan merespon perilaku guru akan dipengaruhi oleh perasaan dan
karakteristik individual siswa. Dalam tataran konteks, bahan ajar, tugas dan latihan harus
selalu terkait dengan lingkungan atau sering dimana siswa berada agar lebih bermakna,
di samping sering budaya penutur asli bahasa target. Singkatnya, bahan ajar dan konteks
mempengaruhi sistem sosial dalam pelaksanaan model pembelajaran.
Konteks, dimana proses pembelajaran berlangsung, diposisikan sebagai situasi
yang mengkondisikan, oleh karena itu sangat penting dalam membentuk perilaku yang
terjadi di dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Situasi dapat
berarti lingkungan emosional seperti keyakinan dan kepemilikan, lingkungan fisik, etos
sekolah secara keseluruhan, lingkungan sosial yang lebih luas, dan latar budaya.
Kedua, pada level konsepsi pedagogik, model konstruktif sangat memperhatikan
bahan ajar, tugas dan latihan yang dapat membangkitkan minat siswa untuk melakukan
eksplorasi, mengemukakan gagasan dari hasil eksplorasi baik secara lisan maupun
156
tertulis, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi asumsi-asumsi yang telah
dibangun sehingga gagasan itu dapat digunakan dalam situasi yang baru dan dalam
konteks dunia nyata. Untuk memperoleh hal itu diperlukan tujuan yang hendak dicapai
baik dalam bentuk proses maupun hasil belajar.
Ketiga, tingkat konsepsi prosedural, mediatif, dan teoretis terkait dengan
implementasi model. Pada tataran prosedural, model konstruktif mengajukan satu
langkah dalam model pembelajaran, yang oleh Reece dan Walker (1997: 112) disebut
Restructuring-—salah satu dari lima langkah dalam sebuah model konstruktif yang
disederhanakan. Restructuring mengakomodasi pemberian kesempatan bagi siswa untuk
melakukan eksplorasi dan diskusi melalui kegiatan praktis di kelas yang memungkinkan
siswa mengembangkan skema (asimilasi), membentuk skema baru sesuai informasi yang
baru, atau memodifikasi skema yang ada agar sesuai dengan informasi yang baru
diterima (akomodasi).
Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung terhadap informasi dan konsep-
konsep bahasa bila tersedia bahan ajar (content) yang proses (process) penyajiannya
memperhatikan teori-teori pemerolehan bahasa asing/kedua, misalnya hipotesis input (i +
1) oleh Krashen dan Terrel. Hal itu sejalan dengan penanganan the Zone of Proximal
Development (Vygotsky), lapisan pengetahuan dan atau keterampilan yang ada di atas
kemampuan siswa saat ini. Pada daerah itu siswa memerlukan bantuan dan dukungan
belajar baik dari guru mau pun dari teman sejawat. Dukungan belajar dan memecahkan
masalah dilakukan melalui scaffolding (Bruner)—percakapan yang mendukung anak
dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan.
. • '157 ' . v t ' * *
Konsepsi mediatif bermakna di dalam setiap langkah pembelajaran^:
menyatu dengan tindakan-tindakan serta tingkah laku yang direncanakan, rjen
mediasi yang sesuai. Konstruktivis meyakini pentingnya guru mengerti pen
belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa agar mampu menerima bantuan
belajar yang dibutuhkan. Hal itu sejalan dengan keyakinan kognitif (Vygotsky, Bruner)
bahwa proses berpikir dan pemerolehan pengetahuan siswa perlu dimediasi melalui
interaksi dan percakapan siswa dengan guru di dalam kelas (landasan psikologis).
Interaksi dan percakapan itu diharapkan mampu mendorong siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah oleh dirinya sendiri.
Konsepsi teoretis berarti setiap langkah pembelajaran didukung oleh teori-teori
bagaimana siswa belajar dan teori-teori pemerolehan bahasa kedua. Ellis dalam Oliva
(1992 ; 413) menyatakan bahwa model mengajar adalah strategi-strategi yang didasarkan
atas teori-teori tentang bagaimana siswa belajar. Dalam konteks ini penentuan langkah
model yang didukung teori-teori belajar dan belajar bahasa kedua/asing tetap terkait
dengan filosofi konstruktif dalam posisi kurikulum transformasi.
Keempat, konsepsi evaluatif penting bagi model konstruktif dalam mengamati
kemajuan belajar yang berorientasi proses (process-oriented evaluation) dengan
melakukan refleksi terhadap prosess pembelajaran, penilaian mandiri, dan penilaian
acuan patokan. Penilaian proses pada model konstruktif dapat dilengkapi dengan
penilaian yang berorientasi produk (product-oriented) behavioris melalui pengukuran
hasil belajar (achievement testing) dengan penilaian acuan norma. Dalam model
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, teori konstruktif berimplikasi pada
158
Bagan 4.1 Desain the MID-Model
Langkah konseptual model ini dapat didekatkan dengan praktik-praktik
pedagogis di dalam kelas menjadi implementasi. Telah disebutkan terdahulu bahwa
tujuan model pembelajaran adalah untuk menumbuhkan sikap siswa sebagai a
*, perlunya sistem evaluasi yang dapat menyediakan informasi berkelanjutan mengenai
• ¡5". kompetensi komunikatif, bahkan juga tentang motivasi dan sikap.
Berdasarkan uraian di atas, desain the MID-Model yang dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif siswa kelas V sekolah dasar mengajukan
komponen: (1) Tujuan, (2) Materi/bahan ajar, (3) Sumber Belajar, dan (4) Prosedur
dengan strategi konseptual berbentuk fase belajar linier: "(a) Lead in (b) Reconstruction,
dan (c) Production" serta (5) Evaluasi. Strategi konseptual itu dapat diterjemahkan ke
dalam beberapa tahap (stages) pembelajaran di dalam kelas berupa strategi operasional
(implementasi). Aktivitas/perilaku pada setiap tahap dalam desain implementasi bersifat
fleksibel—dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan, dan menuntut kecerdasan
serta kreativitas guru. Secara skematik, prosedur dapat digambarkan sebagai berikut:
159
1. Draw on experience and knowledge—guru melibatkan siswa dalam kegiatan
yang memanfaatkan pengalaman nyata dan pengetahuan yang terkait dengan
pengalaman dan pengetahuan baru yang akan diperoleh pada kegiatan inti
(fase input);
2. Input Stage—penyajian input baru melalui aktivitas yang berfokus pada
siswa, eksplorasi dan diskusi dengan tugas-tugas terbimbing menyimak,
membaca pemahaman melalui fasilitasi dan mediasi guru;
3. Reinforcement Stage—siswa mengerjakan tugas yang bersifat replikasi relatif
berkenaan dengan tema dan kompleksitas tugas dari tugas sebelumnya pada
fase input; dan
4. Application Stage—siswa menerapkan pengetahuan, informasi, dan atau
keterampilan baru dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogik atau
autentik melalui tugas-tugas berbicara dan menulis dalam kontrol siswa dan
guru.
Bagan 4. 2 Draf Awal Implementasi
Model Evaluasi Pembelajaran
Sesuai dengan karakteristik the MTD-Model yang memberi penekanan pada
kemampuan komunikatif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris, maka evaluasi diarahkan
pada penilaian kemampuan "wacana lisan dan tulis sederhana" (discourse competence)
dengan fokus pada fluency tanpa mengurangi pentingnya penilaian pada accuracy.
Artinya, penilaian utama diarahkan pada kemampuan dan kelancaran berbahasa Inggris
language researcher. Oleh karena itu, sistem sosial yang berkembang dalam aplikasi
model harus memfasilitasi kesempatan belajar trial and error, memperoleh umpan balik,
membangun hipotesis tentang bahasa, dan mervisi asumsi-asumsi itu agar menjadi lancar
berbahasa.
Dalam bentuk 'draf awal' implementasi dikemukakan sebagai berikut:
160
lisan/tulis sederhana yang dapat dimengerti, terlepas dari kesalahan gramatikal yang
tidak mengganggu arus komunikasi. Hal itu dilakukan untuk mendorong tercapainya
tujuan pembelajaran yang dievaluasi: "(1) Students use English to interact in the
classroom, dan (2) Students use English to obtain, process, construct, and provide subject
matter information in spoken and written form."
Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam dua bentuk: evaluasi proses dan evaluasi
hasil belajar. Evaluasi proses dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan format penilaian unjuk kerja siswa sebagai alatnya. Sasaran
evaluasi adalah kompetensi tindak tutur bahasa (actional compétence), dan partisipasi
dalam kegiatan komunikasi. Penilaian menggunakan teknik Holistic Scheme, didasarkan
atas ketercapaian tiga aspek, yaitu content, expression, dan participation. Content
mengacu pada "pesan" yang disampaikan. Expression menunjukkan kemampuan
menggunakan kata, pengucapan dan struktur kalimat yang dapat dengan tepat mengantar
pesan yang ingin disampaikan. Participation merujuk pada motivasi dan sikap yang dapat
diamati melalui kesungguhan dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas/latihan
berbahasa dan kebahasaan.
Evaluasi hasil belajar dilaksanakan pada akhir segmen atau sebuah unit
pembelajaran dengan tes tertulis sebagai alatnya. Sasaran evaluasi adalah kompetensi
komunikatif dalam pelajaran bahasa Inggris yang mampu ditunjukkan siswa melalui
penyelesaian tes hasil belajar. Untuk menentukan nilai akhir, penilaian pada evaluasi
proses berkontribusi terhadap pengambilan keputusan pada hasil penilaian evaluasi hasil
belajar.
161
Phase of Desain Draft Desain learning The 4Mat System The MID-Model
1 Concrete Experience 1. Lead in (Feeling over thinking) (Both feeling and thinking)
2 Observation and Reflection 2. Reconstruction 3 Formation of abstract concepts 4 Generalization, and
testing implications of concepts in 3. Production new situations.
b. Pengaruh model the 4Mat System
Selain pertimbangan gabungan teori-teori belajar yang telah disebutkan, model
pembelajaran ini juga memperhatikan "Model The 4Mat System" oleh McCarhty (1980)
yang telah diadaptasi untuk pembelajaran bahasa kedua bagi anak usia sekolah dasar dan
sekolah lanjutan oleh kelompok kerjasama lembaga peneliti yang terdiri atas Arlington
Public Schools, ESOL/HILT Program, dan the Center for Applied Linguistics pada tahun
1987. Alasan mempertimbangkan Model the 4Mat System adalah bahwa model yang
dikembangkan bernaung dalam landasan filosofis yang sama 'Konstruktivisme'. The
4Mat System adalah Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning)
yang terdiri atas strategi konseptual, dan strategi operasional dalam bentuk lesson plan,
lihat Bab U.
Pada table 4.3 tampak daerah yang berhubungan antara Model the 4Mat System
dan model yang dikembangkan.
Table 4.3 Keterkaitan Fase Belajar
the 4Mat System dengan Draf Desain the MID-Model
162
1. Lead in
Secara umum konsep Lead in sama dengan Concrete Experience dalam arti
keduanya mencoba mengaitkan skemata siswa pada awal pembelajaran dengan konsep-
konsep bahasa, fakta, dan atau informasi yang akan dipelajari. Kegiatan itu dilakukan
guru melalui: (1) penciptaan situasi dalam bentuk kegiatan yang terkait dengan
pengalaman siap siswa; dan (2) pertanyaan atau tugas-tugas agar siswa merefleksi dan
menganalisis pengalaman-pengalaman tertentu masa lalu. Pada the 4Mat System, kedua
aktivitas itu lebih melibatkan perasaan atau pengetahuan intuitif siswa. Pada draft model
yang dikembangkan, selain perasaan dan pengetahuan intuitif siswa, prediksi melalui
teknik uji coba dimugkinkan dengan (3) pertanyaan perihal konsep-konsep bahasa, ide,
dan informasi tertentu walaupun hal-hal tersebut belum diketahui siswa. Hal itu
dimaksudkan agar siswa menggunakan pengetahuan siap (know/edge of the world) untuk
melalukan abstraksi—memasuki proses memperoleh pemahaman (general idea) terhadap
konsep-konsep bahasa ide, atau informasi yang akan dipelajari. Jawaban siswa atas
pertanyaan yang diajukan tidak harus benar, akan tetapi lebih bersifat trigger untuk
mengajak mereka berpikir tentang konsep-konsep, ide, dan atau informasi yang akan
dipelajari.
2. Reconstruction
Reconstruction adalah sebuah fase yang di dalamnya guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar yang relevan, misalnya dengan menyajikan input berupa
konsep bahasa atau informasi melalui kegiatan menyimak dan membaca teks untuk
dielaborasi, didiskusikan, dan kemudian disimpulkan oleh siswa. Kegiatan dilakukan
melalui pemberian pertanyaan atau tugas-tugas yang mengarahkan siswa mencari,
163
menemukan konsep atau fakta (observation and reflection), kemudian membangun
asumsi sementara (hypothesising), (atau formation of abstract concept) tentang konsep
bahasa atau informasi tertentu, dan menarik kesimpulan. Melalaui refleksi/review
terdapat ruang bagi siswa menyadari perolehan baru dibandingkan dengan pengetahuan
sebelum pembelajaran. Dalam fase ini belajar tidak hanya diarahkan pada pengembangan
cognitive semata, tapi juga metacognitive strategy. Hal itu dimungkinkan karena strategi
metakognitif sangat mungkin muncul dari pengalaman siswa mengerjakan tugas-tugas
berbahasa dan kebahasaan yang dimediasi guru dalam berbagai cara.
3. Production
Production adalah fase terakhir dari model yang dikembangkan. Konsep bahasa
dan atau informasi baru diuji coba dalam bentuk kegiatan komunikasi autentik/semi
autentik. Kontrol kegiatan lebih bertumpu pada siswa untuk mengekspresikan diri sendiri
melalui tugas-tugas komunikatif yang bertujuan, jelas dan terarah. Production paralel
dengan sebagian tahap keempat Model the 4Mt System, yaitu testing implications of
concepts in new situations.
Hal esensial yang membedakan model yang dikembangkan dengan the 4Mat
System, antara lain: terbuka ruang untuk penyajian input melalui ceramah (lectwing)
pada the 4Mat System, sedangkan pada model yang dikembangkan tidak; terdapat
mediasi guru yang lebih terstruktur pada model yang dikembangkan, sedangkan pada the
4Mat System lebih fleksibel. Kemungkinan natural exposers terhadap bahasa target lebih
banyak pada seting siswa dengan the 4Mat System, sedangkan pada model yang
dikembangkan tidak—kemungkinannya terbatas hanya dalam kelas. Oleh karena itu,
unsur penunjang belajar dalam hal kesempatan menggunakan bahasa target berbeda.
164
Table4.4 Perbandingan Model the 4Mat System dengan
Model yang Dikembangkan
Perbandingan
Persamaan Perbedaan Keterangan
The 4Mat Draf model yang System dikembangkan
1. Sen&itif pada I. Lebih pada Ss' 1. Mengatur keseim Latar kebutuhan dan controlled activity bangan T' s controll belakang/seting minat siswa ed dengan Ss' pengalaman siswa secara individual. controlled activity. terhadap bahasa
target berbeda. 2. Keterampilan 2. Experiential 2. Selain EL, melibat
berbahasa Learning (EL) kan pendekatan The 4Mat System disajikan secara Content-Based. dengan SL learners, terintegrasi. model yang
3. Penekanan pada 3. Penekanan pada dikembangkan 3. Memperhatikan proses. proses dan hasil dengan FL learners.
perimabangan belajar. kegiatan berbahasa yang 4. Evaluasi lebih pada 4. Evaluasi proses dan melibatkan otak proses. hasil belajar. kanan dan kiri
c. Penyesuaian dengan kondisi ril lapangan
Pengaruh yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan model ini berasal dari
temuan studi pendahuluan. Data pada butir 3, 4, 5, dan 11 diakomodasi oleh draft model
pembelajaran yang berwujud seperangkat langkah konseptual. "Lead in, Reconstruction,
dan Productioh". Data pada butir I diakomodasi ke dalam bentuk dokumen rencana
pembelajaran yang berisi, kompetensi dasar, tujuan, dan indikator ketercapaian,
Perbedaan itu mewarnai perlakuan dan sistem sosial yang dibangun oleh model yang
dikembangkan. Perbedaan konseptual tampak pada perbandingan antara kedua model
sebagai berikut.
165
sementara data pada butir 2 dan 6 mempengaruhi sistem penunjang dan bahan ajar
dalam bentuk perbaikan yang dibutuhkan atau penyesuaian dengan model. Data pada
butir 7, 8, dan 9 berimplikasi pada perbaikan proses dan prakn'k pembelajaran, sementara
data pada butir 10 untuk perbaikan sistem evaluasi, dan data pada butir 12 berpengaruh
pada bagaimana membangkitkan motivasi dan sikap siswa melalui kegiatan-kegiatan
berbahasa yang bermakna.
3. Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi Pembelajaran
Setelah draft model pembelajaran diperoleh, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan bahan ajar bahasa Inggris khususnya untuk siswa kelas V sekolah dasar
semester genap. Hal itu dilakukan karena dalam studi pendahuluan ditemukan tak satu
sekolah pun yang menggunakan kurikulum bahasa Inggris muatan lokal yang telah
dikembangkan Depdikbud, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara melalui sebuah
proyek Rekayasa Kurikulum. Peneliti telah berusaha menemukan dokumen kurikulum
dari berbagai pihak namun hasilnya tetap nihil. Jalan keluar yang diambil guru-guru
adalah menggunakan buku sumber yang tersedia di pasaran.
Silabus dan Rencana Pembelajaran Semester Genap 2004-2005 dikembangkan
bersama sembilan orang guru yang terkait dalam uji coba terbatas, uji coba luas, dan uji
validasi model melalui eksperimen. Materi pembelajaran merupakan lanjutan dari bahan
ajar sebelumnya, tetap sinambung dan memperhatikan prinsip here and now. Sumber
yang digunakan adalah kurikulum bahasa Inggris SMP untuk landasan konseptual,
beberapa buku sumber, kondisi lingkungan siswa, dan pengalaman guru dalam
menangani pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar selama ini. Tujuan
pengembangan silabus dan rencana pembelajaran adalah untuk memperoleh seperangkat
166
bahan ajar dan sistematika pembelajaran (the selecting and grading of content) yang
dianggap memenuhi kebutuhan, sesuai dengan perkembangan, dan lingkungan sosial
siswa.
Dalam silabus dan rencana pembelajaran dirumuskan kompetensi dasar, tujuan
pembelajaran, indikator ketercpaian tujuan, dan materi pembelajaran, yang semuanya
mengacu pada "Standar Kompetensi". Kompetensi dasar dirumuskan dengan mengacu
pada kompetensi tindak bahasa (actional competence) baik tindak tutur untuk bahasa
lisan maupun kompetensi retorika untuk bahasa tulis. Tujuan pembelajaran dirumuskan
dengan mengacu pada kemampuan komunikatif (penguasaan discourse competence) lisan
dan tulis sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Indikator
ketercapaian tujuan dirumuskan secara operasional sehingga mampu menunjukkan
kemampuan nyata yang diperoleh siswa setelah pembelajaran dan dapat diukur melalui
unjuk kerja dengan alat tes dan atau non-tes. Terakhir, materi pembelajaran
dikembangkan berdasarkan keyakinan atas model kompetensi komunikatif, dan model
bahasa yang relevan. Materi pembelajaran juga disesuaikan dengan kehidupan nyata di
luar kelas, dikembangkan, dan disusun serta disajikan melalui metode TPR dan strategi
Integrated Skills.
4. Uji Coba Model
Setelah draft model pembelajaran, silabus dan rencana pembelajaran
dikembangkan secara kolaboratif dengan guru-guru yang terlibat dalam penelitian, maka
tiba saatnya diujicobakan secara siklis di dalam kelas yang telah ditetapkan. Uji coba
dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dengan rincian masing-masing empat kali pada uji
167
coba skala terbatas dan tiga kali pada uji coba skala lebih luas. Setiap putaran
menggunakan alokasi waktu 2 x 40 menit.
Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap model, kelebihan model, dan hal-
hal yang perlu diperbaiki, dalam setiap putaran pada uji coba terbatas dilakukan observasi
kelas dan umpan balik (feedback) agar diperoleh informasi yang berguna untuk refleksi
bagi perbaikan siklus berikutnya Pada putaran terakhir uji coba terbatas, sepuluh orang
siswa mengisi angket yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari sisi siswa akan
kelayakan draft model. Pada uji coba model lebih luas selain observasi dan umpan balik,
guru-guru penguji coba mengisi angket yang menjaring kelebihan dan kekurangan model
yang perlu diperbaiki. Sama dengan akhir tahap uji coba terbatas, pada uji coba lebih luas
30 orang siswa (10 orang pada masing-masing kelas uji coba) mengisi angket untuk
tujuan yang sama.
Ada lima substansi yang dinilai dalam uji coba model terbatas dan lebih luas,
yakni: (1) Penerapan model pembelajaran; (2) Kemampuan guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar, (3) Interaksi belajar-mengajar, (4) Kemampuan siswa
merespon kegiatan belajar-mengajar, termasuk perilaku-perilaku yang muncul dalam
implementasi model; dan (5) Hambatan-hambatan penerapan uji coba model. Untuk
menilai kelima aspek tersebut, digunakan panduan observasi dalam bentuk penilaian
kualitatif dan kuantitatif.
Selain kelima aspek di atas, khusus pada uji coba model lebih luas juga dinilai
hasil belajar dalam bentuk kemampuan komunikatif, dan motivasi serta sikap positif
siswa sebelum dan sesudah uji coba model.
168
a. Tahap uji coba model skala terbatas
Uji coba terbatas {preliminary field testing) dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat
diterapkan dengan benar oleh guru. Uji coba terbatas dilakukan pada satu sekolah dasar
yakni SD Negeri Baruga 6, Kelurahan Bende Kecamatan Baruga. Guru penguji coba
adalah sarjana perikanan, namun kompeten dalam berbahasa Inggris, berpengalaman
mengajar orang dewasa dan anak-anak pada kursus bahasa Inggris door to door.
Uji coba model dilakukan secara berulang-ulang sampai diperoleh darft model
yang siap untuk diujicobakan dalam skala yang lebih luas. Hasil setiap siklus uji coba
digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan desain model yang
dikembangkan. Setelah setiap siklus uji coba selesai, dilakukan evaluasi, penyempurnaan
draft awal, dan implementasi model untuk uji coba lebih luas.
b. Tahap uji coba model skala lebih luas
Tahap uji coba lebih luas dikenal sebagai tahap uji coba utama {main field
testing). Ada dua tujuan uji coba lebih luas, yakni untuk: (1) memperoleh informasi
tentang apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat diterapkan dengan
benar oleh guru, penilaian menggunakan data kualitatif; dan (2) mengetahui seberapa
efektif atau bagaimana dampak (penerapan) model terhadap pencapaian hasil belajar,
motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris hingga siap untuk diuji
validasi. Penilaian menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari tes hasil belajar, tes
motivasi dan sikap.
Tahap uji coba lebih luas melibatkan tiga sekolah dasar dari masing-masing tiga
kategori sekolah yakni "baik, sedang, dan kurang". Sekolah dasar dimaksud adalah SD
169
beberapa kali secara siklis pada tiga kelas dari sekolah yang telah dite^apfân.-HaSil uji
coba luas digunakan sebagai bahan masukan untuk menentukan apakah t e l a b ^ g r o i e h
model pembelajaran yang lebih halus yang siap diuji validasi pada tahap penelitian
berikutnya. Untuk mencapai target tersebut, ada serangkaian langkah yang perlu
dilakukan, yakni, tes awal-implentasi-tes akhir, dan evaluasi serta penyempurnaan.
5. Hasil Uji Coba Model
a. Hasil uji coba model skala terbatas
Dalam sub-bagian ini disajikan hasil uji coba model dalam skala terbatas yang
meliputi: (1) penerapan model pembelajaran; (2) kemampuan guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar, evaluasi proses dan hasil belajar; (3) interaksi belajar-
mengajar, dan (4) kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar termasuk
perilaku-perilaku yang muncul, serta (5) hambatan-hambatan penerapan uji coba model
yang ditemukan ketika implementasi model berlangsung. Setiap butir itu akan dibahas
secara berturut-turut menurut jumlah siklus uji coba, dari uji coba pertama sampai uji
coba ke empat. Hal ini dimaksudkan agar urutan perkembangan dan kemajuan setiap
butir tampak dari awal sampai akhir sklus uji coba.
Uji coba pertama
1 ) Penerapan model pembelajaran.
Ada tiga unsur yang membangun penerapan model pembelajaran, yakni
kesesuaian penerapan model dengan rencana pembelajaran, penerapan langkah
pembelajaran (classroom practice), dan kejelasan instruksi (clarity of instruction) guru
pada saat memulai dan setiap peralihan tugas dan kegiatan. Ketiga unsur ini penting
Negeri 12 Kendari, SD Negeri 3 Baruga, dan SD Negeri 6 Baruga. Ujic^a$ijal£s '
170
dalam menilai apakah langkah-langkah model dengan aktivitas dan perilaku yang
melekat di dalamnya secara utuh dilaksanakan atau belum. Yang menjadi penilaian
khususnya unsur pertama dan kedua adalah seberapa jauh yang tercantum dalam rencana
pembelajaran dilaksanakan. Untuk usur ketiga, penilaian dilakukan lebih pada kualitas
pelaksanaannya.
Pada siklus pertama dengan pembelajaran listening, secara umum penerapan
model belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Walaupun rencana
pembelajaran dikembangkan secara kolaboratif, pada implementasi model pembelajaran
masih terdapat kealpaan guru dalam mengelola kegiatan. Kecuali fase pembelajaran yang
lain, guru tidak optimal melakukan kegiatan: draw on experience and knowledge, input,
dan reinforcement serta instruksi guru yang kurang jelas baik ketika penyajian materi
maupun ketika mulai dan atau dalam peralihan kegiatan, seperti yang direncanakan.
Kealpaan dimaksud adalah: ( I ) pada fase draw on experience and knowledge
pengajuan rangkaian pertanyaan tidak cukup untuk membangkitkan kesadaran siswa
mengidentifikasi rangsangan yang datang, (2) pada fase input dan reinforcement proses
pemaknaan konsep bahasa dan informasi yang disampaikan dalam bahasa Inggris
sebagai input terganggu oleh terjemahan yang dilakukan guru, dan (3) penjelasan guru
yang tidak fokus ketika menjelaskan materi pelajaran, dan (4) penjelasan guru yang
belum fokus ketika memulai dan dalam peralihan dari satu kegiatan ke kegiatan yang
lain.
171
2) Kemampuan guru memfasilitsi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Berbeda dengan uraian pada butir satu di atas, butir dua lebih fokus pada kualitas
pelaksanaan yang merefleksi kemampuan guru dalam aplikasi model pembelajaran yang
diuji coba.
Draw on experience and knowledge (Lead in)
Pada pembelajaran listening, guru belum lancar mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan pengalaman siap siswa. Guru masih belum mampu mengarahkan
aktivitas yang membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi
terhadap konsep bahasa atau informasi baru yang akan dipelajari. Kelemahan tampak
pada cara guru mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk
merangsang pikiran siswa. Nampaknya guru berada dalam suatu proses untuk mampu
melakukan aktivitas motivasi yang lebih baik.
Input Stage (Reconstruction)
Pada tataran input, guru belum mampu membimbing siswa melakukan eksplorasi,
menemukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pada fase input, melalui Metode TPR
yang digunakan untuk memperkenalkan kosa kata, guru kurang sabar untuk tidak
menerjemahkan kalimat-kalimat perintah yang diberikan sehingga mengurangi
kesempatan bagi siswa memperoleh pengalaman belajar bahasa melalui proses kognitif
yang dikordinasi dengan kegiatan fisik dengan teknik trial and error. Selain itu, guru
masih sering menjelaskan arti kata secara verbal. Dengan kenyataan itu, guru masih
dalam proses adaptasi untuk mampu memfasilitasi input yang lebih baik.
172
Reinforcement Stage
Pada fase reinforcement guru memfasilitasi kegiatan melalui demonstrasi seorang
siswa yang melakukan perintah guru. Namun kejadian pada pemberian input terulang
lagi yaitu kalimat dalam bahasa Inggris diterjemahkan sehingga mengganggu perhatian
siswa terhadap input bahasa dan informasi yang diberikan. Selain itu, guru masih
menemukan kesulitan dalam menggali apa saja yang dipahami siswa dengan kalimat
perintah dan aktivitas yang ditampilkan seorang siswa lainnya. Bentuk pertanyaan yang
diajukan sering tidak runtut, nampak ragu-ragu dimulai dari mana, bagaimana
melakukannya dan tujuannya apa. Guru masih dalam proses adaptasi untuk mampu
memfasilitasi reinforcement yang lebih baik.
Application Stage (Production)
Pada tataran application, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri
sendiri dalam bahasa yang lebih autentik (real world task) atau pun dalam bahasa untuk
memecahkan persoalan-persoalan pedagogis (pédagogie task). Guru belum mampu
memanfaatkan fase application secara efektif, meskipun sistem penunjang telah tersedia
seperti tugas dan latihan berbahasa dalam bentuk berbicara dan atau menulis. Hasil
observasi menujukkan bahwa kelemahan guru terletak pada bagaimana memediasi siswa
dalam memberi dorongan (encouragement)„ menunjukkan kata-kata kunci (dues), dan
mengatur kegiatan secara bertahap.
Support ing System
Menggunakan media pembelajaran membantu memperjelas konsep, menjadi
sumber belajar itu sendiri, membawa dan memperjelas konteks dalam kegiatan
berbahasa, serta menyajikan bahan ajar secara visual maupun auditory. Hasil observasi
173
menunjukkan bahwa guru mampu menggunakan realia cukup memadai dalam
memperkenalkan kosa kata baru. Realia yang digunakan menjadi titik berangkat
pengembangan kalimat-kalimat perintah dalam bahasa Inggris yang direspon siswa
secara fisik dengan menunjuk, mengambil, memperlihatkan, dan atau meletakkan
kembali sebuah benda di tempat yang ditentukan.
Selain itu, materi dikembangkan menurut prinsip 'kere and now' sehingga siswa
mudah menyesuaikan diri pada tingkat kompleksitas tugas yang diberikan. Guru juga
cukup membangun hubungan baik (rapport) kepada siswa yang memungkinkan proses
pembelajaran berjalan lancar tanpa perasaan cemas.
Evaluasi
Evaluasi proses pembelajaran belum berjalan dengan baik karena guru ingin
menilai semua siswa pada kesempatan yang sama, dan seobyektif mungkin. Akibatnya,
format penilaian yang tersedia belum digunakan secara optimal. Indikator yang
digunakan sering kurang teramati pada setiap individu siswa untuk dijadikan dasar
penilaian. Namun, dalam konteks yang terbatas guru sudah melakukan penilaian unjuk
kerja melalui pengamatan terhadap respon siswa melalui aktivitas nyata dalam bentuk
fisik.
3) Interaksi belajar-mengajar
Dari enam butir yang membangun interaksi belajar-mengajar, dua di antaranya
yakni: pemberian kesempatan bertanya kepada siswa; dan bimbingan guru yang
dilakukan dalam bentuk pertanyaan terarah menempati urutan terendah kualitasnya.
Adapun empat butir yang lainnya telah dilaksanakan sebagaimana diharapkan.
174
Guru kurang memberi kesempatan bertanya kepada siswa. Kesempatan ini
terabaikan karena kurang disadari betapa pentingnya mengartikulasi: "Ada pertanyaan?"
atau "Siapa yang ingin bertanya?" kedua kalimat ini akan menstimulasi siswa untuk
berani mengajukan pertanyaan. Sementara itu, bimbingan guru belum tersedia secara
optimal karena kurang siapnya melaksanakan bimbingan terhadap siswa yang mengalami
kesulitan.
Beberapa butir yang lain seperti: keterlibatan siswa dalam kelompok kerja;
kesempatan menyelesaikan tugas di bawah bimbingan guru; pengelolaan kesalahan
siswa; dan suasana kelas yang menyenangkan sudah berjalan sesuai kebutuhan. Struktur
kegiatan belajar-mengajar dimulai secara individual memperhatikan input, berkelompok
mendiskusikan masukan baru dan menarik kesimpulan, kemudian dilanjutkan dengan
bekerja berpasangan atau berkelompok untuk mempraktikkan pengetahuan dan
keterampilan baru ke dalam kegiatan komunikatif terbimbing. Siswa bekerja di bawah
bimbingan guru agar kesalahan dapat dikelola sesegra mungkin tanpa memberi rasa
cemas bagi siswa sehingga tercipta suasana kelas yang kondusif.
4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar
Ada empat komponen yang membangun kemampuan siswa dalam merespon
langkah-langkah utama model pembelajaran, masing-masing diuraikan sebagai berikut.
Draw on experience and knowledge (Lead in)
Komponen pertama, kemampuan siswa menjawab pertanyaan guru sesuai dengan
pengalaman siap yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Butir ini penting
dinilai dalam uji coba terbatas karena keyakinan bahwa siswa sudah memiliki gagasan
dan citraan terhadap sesuatu yang diwakili dalam struktur mental yang dikenal sebagai
175
skema. Untuk memulai pembelajaran, seyogyanya ada aktivitas yang mampu
menjembatani skema yang sudah ada dengan informasi baru. Asosiasi pengetahuan siap
dengan informasi baru menentukan tingkat penerimaan dan pemahaman informasi.
Kemampuan siswa mengaitkan pengetahuan siap dengan materi yang akan
dipelajari juga ditentukan oleh efektif-tidaknya pertanyaan penggali (eliciting questions)
yang dijailkan guru dalam fase ini. Semakin efektif pertanyaan, semakin terarah jawaban
siswa dan semakin mengait dengan materi yang akan dipelajari. Namun, fokus utama
bukanlah jawaban siswa harus benar, tapi paling tidak fase itu membangkitkan motivasi
belajar dengan memanfaatkan pengalaman nyata siswa.
Dalam pembelajaran listening dengan metode TPR plus, masih ada sebagian besar
siswa yang mengabaikan pertanyaan penggali yang diajukan guru. Pada mulanya mereka
tidak menjawab, namun selang beberapa saat kemudian mereka pun merespon pertanyaan
guru dengan bahasanya sendiri, tampak sebagai bahasa antara (interlanguage). Misalnya
dengan mengatakan: (#l)"Door for close." "Chair for sit.". Dua kalimat ini merefleksi
pengalaman dan pengetahuan siap siswa. Terjadi asosiasi antara satu konsep benda yang
dikenal dan kegunaan benda itu dalam kehidupan sehari-hari kemudian diungkapkan
dalam bentuk bahasa yang unik.
Input Stage (Reconstruction)
Komponen kedua, melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuan dan
keterampilan baru melalui mediasi guru. Tahap ini penting dinilai dalam uji coba model
terbatas karena model yang dikembangkan meyakini perlunya satu tahap yang
menentukan dalam langkah pembelajaran. Pada tahap itu, siswa memperoleh kesempatan
mengkonstruksi sendiri pengalaman baru yang difasilitasi dan dimediasi guru melalui
176
kegiatan eksplorasi dan penemuan konsep-konsep bahasa, fakta, dan atau informasi baru
melalui tugas dan latihan yang direncanakan untuk mengembangkan kompetensi
komunikatif Pengembangan kompetensi itu dilaksanakan melalui pembelajaran
keterampilan berbahasa terintegrasi (integrated skills).
Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa dalam kapasitas terbatas telah
melakukan kegiatan-kegiatan yang menuntun mereka ke dalam proses pencarian dan
penemuan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi melalui perintah lisan yang
diberikan guru. Namun, mereka masih terkendala dengan minimnya bantuan yang terpola
dari guru sehingga belum optimal berperan dalam setiap kegiatan. Mereka terbiasa
dengan bantuan guru melalui pemberitahuan secara langsung kalau menemui kesulitan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan: berusaha dengan coba-salah memberi makna pada
perintah guru melalui gerakan-gerakan (#2) menunjuk, mengambil, memperlihatkan,
membuka obyek yang diperintahkan, dan menulis kata dan kalimat yang didengar secara
berkelompok. Suasana keias agak ribut tapi siswa nampak antusias karena bebas dari rasa
cemas.
Reinforcement Stage
Dalam fase reinforcement, siswa telah mencoba mengemukakan apa yang telah
ditangkap dari kalimat perintah yang diberikan guru dan yang ditampilkan siswa lain
ketika merespon secara fisik. Walaupun sebagian dari mereka (secara fisik) belum
berbuat apa-apa, dapat dipastikan secara mental mengikuti apa yang didemonstrasikan
temannya dalam merespon perintah guru tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya
semua siswa sudah terlibat dalam kegiatan ini, paling tidak telah mengikuti perintah guru
dan membayangkan apa yang dilakukannya seandainya mereka yang harus tampil.
177
Terlepas dari kelemahan ini, beberapa hal yang dapat dilakukan siswa: (#3)
mengemukakan makna kata setelah melakukan perintah guru, misalnya "take
(mengambil), open (membuka), walk to (berjalan ke), show (tunjukkan)", (#4) menulis
kata dan kalimat dengan ejaan yang tepat setelah diskusi dan demonstrasi menulis di
papan tulis yang "dibimbing" guru. Keberhasilan ini berpotensi membangun kepercayaan
diri dan kemandirian siswa karena apa yang diperoleh merupakan temuan sendiri secara
individual maupun kelompok.
Application Stage
Komponen keempat, menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam
persoalan-persoalan pedagogik/autentik. Tahap ini penting dinilai dalam uji coba model
terbatas karena model yang dikembangkan meyakini perlunya tersedia kesempatan bagi
siswa untuk menerapkan fakta, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ke dalam
situasi dan konteks baru {production) sehingga membantu menginternalisasi fakta,
pengetahuan dan keterampilan tersebut ke dalam kehiduapan berbahasa yang realistis dan
atau pedagogis.
Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa kurang berusaha dan mampu
menerapkan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan
berbahasa pedagogis apa lagi realistis karena dorongan belajar, pemberian contoh atau
kata-kata kunci dari guru kurang berkesan bagi mereka. Sejumlah besar siswa ragu-ragu
(momen yang paling bagus untuk bantuan guru) mengatakan atau menuliskan sesuatu
kalau tidak diyakini kebenarannya. Kebiasaan berbahasa Inggris dengan coba-coba baru
tahap awal karena yang berlaku selama ini adalah coba-tapi harus benar melalui tugas-
tugas dengan format jawaban tunggal sebagai warisan pembelajaran sebelumnya.
178
Terlepas dari kelemahan ini, siswa telah berusaha: (#5) menulis kalimat dan memberi
perintah kepada yang lain, misalnya Go open the door, Sit down. Yang lain merespon dan
berusaha sedapat mungkin tepat dalam mendemonstrasikan makna perintah. Keadaan ini
memacu siswa belajar memahami reaksi orang lain dalam berkomunikasi lisan.
5) Hambatan-hambatan
Ada beberapa hambatan yang muncul pada uji coba pertama ini, yaitu: guru
belum sepenuhnya memahami langkah pembelajaran sehingga penerapan belum
konsisten dengan rencana pembelajaran, penjelasan guru belum mampu mengarahkan
siswa untuk mengambil kesimpulan pelajaran, dan siswa belum terbiasa mengambil
kesimpulan pelajaran, serta kebiasan berbahasa Inggris coba-coba belum tertanam bagi
siswa.
Uji coba kedua
1) Penerapan model pembelajaran.
Pada siklus kedua dengan pembelajaran reading, kecuali pada penjelasan materi
pelajaran, kealpaan-kealpaan di atas telah dapat diminimalkan sedemikian rupa sehingga
(1) pada fase draw on experience and knowledge, proporsi dan kualitas pertanyaan yang
diajukan berangsur sesuai dengan kebutuhan, (2) pada fase input dan reinforcement,
keinginan menerjemahkan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sudah
berkurang, (3) penjelasan guru akan materi pelajaran tidak fokus (bahkan cenderung
abstrak) sehingga siswa tampak bimbang, dan (4) penjelasan guru ketika mulai dan pada
saat pergantian kegiatan sudah mulai fokus. Namun, ada catatan tentang peran
reinforcement baik yang dirasakan guru penguji coba maupun oleh peneliti sendiri.
179
Catatan ini akan dibahas pada topik 'kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi
pengalaman belajar bagi siswa'.
2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Draw on experience and knowledge (Lead in)
Pada uji coba kedua untuk pembelajaran reading, kegiatan draw on experience
and konwledge sudah dilakukan sesuai dengan rencana. Kuantitas pertanyaan sudah
proporsional untuk menggugah kesadaran siswa mengidentifikasi rangsangan yang
datang sehingga jawaban yang diberikan mulai memperlihatkan fokus yang jelas.
Pertanyaan terarah yang diajukan guru tampak sudah membangkitkan motivasi dan
potensi siap siswa untuk melakukan prediksi terhadap konsep bahasa atau informasi baru
yang akan ditemukan dalam wacana. Guru mampu mengajukan pertanyaan dan
mengelola jawaban yang beragam untuk merangsang pikiran siswa.
Input Stage (Reconstruction)
Ketika guru memfasilitasi input untuk pembelajaran reading, pertanyaan yang
diajukan guru tampak membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk menemukan
konsep bahasa melalui informasi baru (pesan) yang ditanyakan dalam wacana. Guru
mampu mengajukan pertanyaan yang memungkinkan siswa menemukan pesan yang
tersurat dalam wacana.
Reinforcement Stage
Kemampuan guru memfasilitasi reinforcement sudah baik- Bacaan dan
pertanyaan bacaan yang diajukan memiliki kompleksitas yang sama dengan pertanyaan
bacaan pada input stage. Siswa tampak antusias menemukan jawaban secara individual
dan mendiskusikannya dengan yang lain. Namun, dari diskusi peneliti sebagai observer
180
.- dengan guru penguji coba ditemukan adanya sesuatu yang hilang dari rangkaian kegiatan
antara input dan reinforcement. Sesuatu itu dalam bentuk kegiatan yang lebih penting
dari sekedar penguatan yang berupa latihan duplikasi dari latihan pada fase input.
Pemahaman siswa tentang konsep bahasa dan atau informasi perlu jelas sebelum
memasuki fase application, kalau tidak siswa akan menemui kesulitan seperti yang
tampak dalam observasi. Untuk meyakini berapa dalam pemahaman siswa terhadap
esensi pembelajaran, perlu ada satu fase dimana siswa mampu 'menarik kesimpulan
materi' dari rangkaian kegiatan yang diselesaikan.
Untuk itu mulai uji coba ketiga di samping penjelasan, juga ditempuh cara lain
untuk membimbing siswa menemukan kesimpulan pelajaran. Cara itu dilakukan melalui
rangkaian kegiatan terencana dengan pertanyaan terarah {leading questions) yang
dikonstruksi secara sistematis baik melalui alur berpikir induktif maupun deduktif Cara
itu dipertimbangkan karena dengannya rangkaian jawaban siswa dapat terkait satu sama
lain hingga membentuk satu simpul yang memudahkan siswa memahami materi
pembelajaran secara utuh. Untuk itu, pada uji coba ketiga ditambahkan satu langkah yang
disebut ''generalization '.
Application Stage (Production)
Dalam membaca pemahaman, terdapat penguasaan guru yang berangsur memadai
ketika harus membimbing siswa menerapkan pengetahuan tentang istilah hubungan
kekerabatan dalam keluarga (family) yang dituangkan ke dalam sebuah teks tertulis
tentang keluarga sendiri.
f, Svpport System (-
' ' --- ij
Bahan ajar dalam bentuk wacana dengan tema keluarga memberi r^oiivpHce'pa^l? 2 jl
siswa untuk mengetahui istilah dalam hubungan keluarga. Tema ini ^mSfiifea
imaginasi siswa yang terkait dengan keluarga sendiri secara nyata—ayah, ibu, dan
saudara-saudara—sehingga siswa mudah menyesuaikan diri pada tingkat kompleksitas
tugas berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Selain itu, guru semakin efektif
menggunakan gambar atau foto. Dalam pembelajaran reading, dengan sebuah foto
keluarga guru mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang
mengarah pada pemahaman kosa kata tentang hubungan kekerabatan. Siswa terdorong
untuk menjawab pertanyaan melalui teknik uji coba.
Evaluasi
Evaluasi proses pembelajaran sudah berjalan lebih baik dari siklus sebelumnya.
Guru berusaha mengamati siswa secara lebih baik walaupun indikator yang digunakan
masih sering terlupakan, sehingga guru merasa terganggu dalam mengingat dan memberi
penilaian sambil melakukan pembelajaran secara bersamaan. Format penilaian yang
tersedia sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk penilaian unjuk kerja, kemampuan
siswa dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan pemahaman wacana tentang keluarga,
cara menjawab dengan lisan dan atau tertulis, pengucapan dan struktur kalimat.
3) Interaksi belajar-mengajar
Pada uji coba kedua untuk pembelajaran reading, guru sudah memperhatikan
kapan siswa perlu diberi kesempatan mengajukan pertanyaan. Ia pun mengartikulasi
"Ada pertanyaan?" Walaupun masih kurang siswa yang merspon, tapi paling tidak satu
langkah perbaikan dalam kegiatan pembelajaran telah terjadi sesuai tujuan uji coba.
182
Sementara itu, bimbingan guru dalam bentuk penjelasan cenderung abstrak bagi siswa
sehingga nampak kurang efektif.
4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar
Draw on experience and knowiedge
Pada tahap uji coba kedua dalam pembelajaran reading, secara kuantitatif jumlah
siswa menjawab pertanyaan semakin banyak. Demikian juga kualitas jawaban tampak
semakin baik. Hal itu menjadi pertanda bahwa kegiatan itu mampu membangkitkan
minat siswa memasuki pembelajaran. Selain itu, jawaban yang diberikan merefleksi
pengalaman nyata siswa dalam merespon pertanyaan guru, atau dalam menanggapi
sebuah gambar. Pada awal pembelajaran reading, siswa mampu merespon gambar
dengan frase dan kata: (#6) father and mother, two son and daughter one, famity.
Input Stage
Siswa semakin mampu melakukan eksplorasi dan menemukan konsep-konsep
bahasa, fakta, dan informasi melalui tugas dan latihan yang difasilitasi dan dimediasi
guru. Salah satu yang mendukung pencapaian itu adalah arahan yang semakin jelas dari
guru. Siswa sudah mampu mengambil manfaat dari kegiatan yang dituntun oleh guru
dalam menyelesaikan tugas. Siswa (#7) dapat menjawab pertanyaan bacaan melalui kerja
individual kemudian didiskusikan dalam kelompok. Siswa beradu argumen untuk sesuatu
yang diyakini, namun menerima pendapat yang lain sehingga terbangun keterampilan
sosial melalui kerjasama kelompok.
Reinforcement Stage
Pada pembelajaran reading, siswa cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan
bacaan yang dikemas dalam bentuk yang mirip dengan wacana dan pertanyaan yang
183
diberikan pada fase input. Namun, tampak adanya kesenjangan alur berpikir antara fase
input {reconstruction) dan application {production). Siswa tidak memperoleh ketegasan
tentang pengetahuan yang baru diperoleh dalam bentuk kesimpulan, yang memungkinkan
mereview pengetahuan itu dan menyesuaikannya dengan yang baru diperoleh. Terlepas
dari kelemahan itu, (#8) siswa telah berusaha menelusuri sumber informasi dalam wacana
atas bimbingan guru. Kondisi itu dapat membelajarkan siswa bagaimana belajar.
Application Stage (Production)
Observasi menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menerapkan konsep-konsep
bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan berbahasa pedagogis dan realistis.
Dorongan untuk berhasil, pemberian contoh atau kata-kata kunci dari guru mulai
berdampak bagi siswa, sehingga mereka berusaha mengoptimalkan kemampuan bahasa
Inggris yang dimiliki. Sejumlah siswa tidak lagi ragu-ragu mengatakan atau menuliskan
sesuatu walau belum diyakini kebenarannya. Kebiasaan berbahasa Inggris coba-coba
sudah nampak. Beberapa hal yang telah dapat dilakukan (#9) menuliskan susunan
keluarga adik kakak, ibu dan ayah dalam teks sederhana.
5) Hambatan-hambatan
Terdapat beberapa hambatan yang ditemukan pada uji coba kedua ini, namun
yang paling dominan adalah: penjelasan guru masih cenderung abstrak sehingga belum
memfasilitasi penarikan kesimpulan pelajaran bagi siswa, siswa belum terbiasa menarik
kesimpulan pelajaran, dan partisipasi siswa dalam kerja kelompok belum optimal yang
satu cenderung mendominasi yang lain, serta seting tempat duduk yang tidak bisa dirubah
sesuai kebutuhan.
184
Uji coba ketiga
1) Penerapan model
Pada siklus ketiga dengan pembelajaran speaking, kelemahan pada siklus
sebelumnya telah dapat diminimalkan sehingga untuk 'sementara' dianggap memenuhi
persyaratan terselenggaranya pembelajaran yang sesuai dengan konsep dan prinsip yang
dibangun oleh model pembelajaran yang dikembangkan. Artinya (1) pada fase draw on
experience and knowledge, proporsi dan kualitas pertanyaan yang diajukan sudah sesuai
dengan kebutuhan, (2) pada fase input dan reinforcement, karena beberapa pertimbangan
konseptual dan berdasarkan data yang diperoleh secara empiris melalui siklus-siklus
sebelumnya, maka antara input dan reinforcement diajukan satu tahap kegiatan yang
disebut 'generalization', dan (3) diperlukan kegiatan tambahan dari penjelasan guru
terhadap materi pelajaran yang memungkinkan siswa menemukan sendiri esensi
pelajaran namun dimedtasi oleh guru.
2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Pada pembelajaran speaking, setelah dilakukan refleksi terhadap penampilan dan
penguasaan guru, kemampuan guru beranjak ke satu titik yang lebih baik terutama dalam
fase draw on experience and knowledge, input, dan application serta pemanfaatan media
pembelajaran.
Draw on experience and knowledge
Pada fase ini, pertanyaan terarah yang diajukan guru nampak sudah
membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi terhadap
konsep bahasa atau informasi baru yang akan dipelajari. Guru mampu mengajukan
pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk dapat diarahkan pada keadaan
185
dimana akumulasi kejadian mampu merangsang pikiran siswa. Dengan proses itu,
diharapkan siswa mampu menemukan hubungan antara pengalaman lalu dan pengalaman
baru sebagai respon terhadap stimulus yang datang sehingga memudahkan pemahaman.
Input Stage
Pada fase input, guru mampu menjelaskan bahwa siswa akan bercakap-cakap
tentang aktivitas rumah tangga melalui ungkapan permintaan, melakukan percakapan
atau bimbingan, memonitor kegiatan siswa yang bekerja individual dan berpasangan,
serta menggali jawaban siswa untuk ditulis di papan tulis. Demikian pula, Guru mampu
mengkontekstualisasikan percakapan melalui demonstrasi dengan mimik yang sesuai
sehingga makna ungkapan mudah ditangkap siswa. Guru sudah berada pada level
tertentu dimana ia mampu memfasilitasi pengalaman belajar bahasa Inggris untuk
mengembangkan kompetensi komunikatif melalui keterampilan berbicara.
Generalization Stage
Pada fase generalization, yang menjadi kelemahan adalah kemampuan guru
mengajukan rangkaian pertanyaan terarah secara gradual yang sering belum runtut dan
konsisten meskipun sudah berpola pada lingkup spesifik ke lingkup yang lebih luas atau
sebaliknya untuk memudahkan siswa membentuk gagasan atau simpulan umum dari
akumulasi fakta atau peristiwa bahasa. Selain itu, tampak juga bahwa dengan jumlah
siswa yang agak besar guru menemui kesulitan dalam mengoptimalkan mediasi maten,
tugas berbahasa dan kebahasaan kepada siswa.
Reinforcement Stage
Guru tidak memperoleh kesulitan memfasilitasi reinforcement pada pembelajaran
speaking. Bahan ajar yang dipilih untuk tujuan ini memiliki kompleksitas yang sama
186
dilihat dari ungkapan dan tugas yang diberikan dengan ungkapan dan tugas pada input
stage. Siswa nampak antusias melakukan percakapan secara berpasangan. Tugas
bercakap dilakukan dengan mengikuti pola percakapan yang ada, tinggal mengganti
bagian-bagian tertentu sesuai konteks yang diinginkan siswa.
Application Stage
Pada fase application, hasil observasi menujukkan adanya perbaikan penguasaan
guru terhadap bagaimana memediasi siswa dalam bentuk dorongan, menunjukkan kata-
kata kunci, dan mengatur kegiatan secara bertahap sehingga siswa mampu
menyelesaikan tugas dengan baik.
Support System
Guru berhasil membangun hubungan baik (rapport) dengan siswa. Kelas dimulai
dengan salam dan doa. Siswa terkesan dengan kepribaidan guru yang ramah dan
bersahabat sehingga lingkungan belajar cukup memberi rasa aman bagi siswa untuk
belajar bahasa Inggris. Selain itu, guru semakin efektif menggunakan gambar atau photo
sebagi wahana pembelajaran yang memberi konteks penggunaan bahasa dalam bentuk
ungkapan. Dengan sebuah gambar tentang orang yang melakukan percakapan, guru
mampu membangkitkan minat siswa untuk menjawab pertanyaan yang mengarah pada
ungkapan permintaan (requests) dengan teknik coba-coba
Evaluasi
Untuk evaluasi proses dan unjuk kerja, guru sudah memiliki kemampuan yang
diperlukan dalam mengelola penilaian sehingga telah berjalan lebih baik dari siklus
sebelumnya. Guru mulai terbiasa mengamati siswa secara keseluruhan, tidak lagi merasa
terganggu dengan kegiatan yang berlangsung secara bersamaan. Format penilaian
187
kemajuan belajar sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk evaluasi unjuk kerja, penilaian
dilakukan atas kemampuan siswa menyampaikan dan menerima pesan, mengucapkan dan
melafalkan bunyi secara berterima, menggunakan kosa kata dan struktur kalimat yang
tepat.
3) Interaksi belajar-mengajar
Pada uji coba ketiga dengan pembelajaran speaking, perhatian guru dalam
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan semakin nyata.
Bimbingan guru tidak lagi fokus pada pemberian penjelasan semata, akan tetapi lebih
pada pemberian kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri kesimpulan
pelajaran melalui pertanyaan terarah yang diajukan dalam fase generalization. Namun,
karena strategi ini baru bagi guru penguji coba maka masih terdapat kelemahan pada
kemampuan mengajukan rangkaian pertanyaan terarah secara gradual yang sering tidak
runtut dan konsisten,
4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar
Draw on experience and knowledge
Pada tahap uji coba ketiga dalam pembelajaran speaking, jumlah siswa menjawab
pertanyaan semakin banyak, demikian pula kualitas jawaban tampak semakin baik. Hal
itu menjadi pertanda bahwa kegiatan mampu membangkitkan minat siswa memasuki
pembelajaran. Selain itu, jawaban yang diberikan merefleksi pengalaman nyata siswa
dalam merespon pertanyaan guru, atau dalam menanggapi sebuah gambar. Pada awal
pembelajaran, pertanyaan direspon dengan kalimat: (#10) they speak, she ask him, he
answer her, he is angry. Demontrasi tata bahasa yang benar merefleksi kemampuan yang
telah dimiliki siswa dan digunakan merespon stimulan yang datang.
188
Input Stage
Pada fase ini siswa semakin mampu melakukan eksplorasi dan menemukan
konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi melalui tugas dan latihan yang difasilitasi
dan dimediasi guru. Salah satu yang mendukung pencapaian itu adalah demonstrasi
percakapan oleh guru yang mampu mewakili dua karakter pembicara dalam dialog. Siswa
mampu mengambil manfaat dari kegiatan yang dituntun oleh guru dalam menyelesaikan
tugas. Dengan mengamati demonstrasi guru, siswa berusaha memahami ungkapan (#11)
"It's very hot in here." "Willyou open the window, please? " "Yes,sure".
Generalization Stage
Ditemukan bahwa siswa belum secara optimal menarik kesimpulan pelajaran
karena dua hal, yakni pertanyaan terarah yang diajukan guru belum berpola dan runtut, di
lain pihak siswa belum terbiasa menarik kesimpulan dari rangkaian jawaban pertanyaan
terbimbing. Selain itu, siswa juga terkesan kurang sabar mengikuti bimbingan melalui
seperangkat pertanyaan. Terlepas dari kelemahan itu, siswa telah berusaha
menyimpulkan bahwa (#11) "Will you open the window, please?" adalah ungkapan
perrnintaan untuk menyuruh seseorang melakukan sesuatu.
Reinforcement Stage
Respons siswa pada fase ini cukup komunikatif. Mereka mampu melakukan
percakapan sederhana walaupun masih sangat guided dengan mengganti beberapa kata
pada ungkapan permintaan agar seseorang melakukan sesuatu. Siswa yang lain mampu
menjawab sesuai dengan keinginan siswa yang meminta.
189
Application Stage
Observasi menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menerapkan konsep-konsep
bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan berbahasa pedagogis dan realistis.
Dorongan untuk berhasil, pemberian contoh atau kata-kata kunci dari guru mulai
berdampak bagi siswa, sehingga mereka berusaha mengoptimalkan kemampuan bahasa
Inggris yang dimiliki. Sejumlah siswa tidak lagi ragu-ragu mengatakan atau menuliskan
sesuatu walau belum diyakini kebenarannya. Kebiasaan menguji coba bahasa Inggris
yang dimiliki sudah tampak. Beberapa hal yang telah dapat dilakukan (#12) melakukan
percakapan dengan mengganti bagian kalimat tertentu. Misalnya // 's hot in here diganti
dengan It's dark in here. Siswa mampu menggunakan kalimat perintah (#13) Will you
put on the light, please?
5) Hambatan-hambatan
Setelah guru penguji coba melakukan implementasi model untuk ketiga kalinya,
tampak kelemahan-kelemahan semaiku berkurang. Hal ini disebabkan karena umpan
balik dan saran perbaikan yang dilakukan secara kolaboratif dengan peneliti. Kelemahan
yang nampak adalah: leading questions yang diajukan guru belum runtut menurut alur
berpikir induktif atau deduktif, dan pengaturan seting tempat duduk mengambil waktu,
kelas cenderung gaduh sehingga menyulitkan pengaturan kena kelompok yang optimal.
Selain itu, dengan jumlah siswa yang agak besar pelaksanaan mediasi materi,
tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan kepada siswa kurang optimal.
Uji coba keempat
1) Penerapan model pembelajaran
Pada siklus keempat dengan pembelajaran writing, kelemahan-kelemahan
sebelumnya telah dapat d*iminimalkan sehingga untuk'sementara'dianggap memenuhi
190
persyaratan terselenggaranya pembelajaran yang sesuai dengan konsep dan prinsip yang
dibangun oleh model yang dikembangkan. Dengan fakta-fakta itu, dapat dikemukakan
bahwa penerapan model pembelajaran oleh guru penguji coba telah berjalan sesuai
dengan rencana sehingga siap memasuki tahap uji coba model selanjutnya dengan jumlah
kelas yang lebih besar.
2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Sebelum memasuki siklus keempat dengan pembelajaran writing, seperti pada
peralihan siklus sebelumnya diadakan umpan balik terhadap kekuatan dan kelemahan
penyajian pembelajaran. Berdasarkan pengalaman guru penguji coba sebelumnya, ia
merasa yakin mampu melakukan pembelajaran seperti yang telah direncanakan secara
lebih berkualitas. Oleh karena itu pada siklus keempat dengan pengembangan
keterampilan writing, tanpa mengurangi kepekaan terhadap kualitas pelaksanaan fase
yang lain, fokus perhatian observasi ditujukan pada fase generalization.
Sebelum pembelajaran dilakukan, terlebih dulu guru penguji coba mendalami
target konsep bahasa, fakta, dan atau informasi yang dituju. Kemudian secara bersama-
sama mendalami rangkaian pertanyaan terarah yang menjadi sistem utama dalam
memasuki proses abstraksi untuk mendapatkan pengertian yang mengarah ke simpulan
pelajaran. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru telah semakin malang menangani
fase generalisasi walaupun masih perlu peningkatan kualitas pertanyaan. Dengan
demikian secara keseluruhan langkah pada implementasi model yang dikembangkan siap
memasuki uji lebih luas.
191
3) Interaksi belajar mengajar
Karena hanya terdapat dua hal yang perlu perhatian pada uji coba kedua dan
ketiga, maka pada uji coba keempat dalam pembelajaran writing perbaikan
dititikberatkan pada kelemahan itu. Sebelum memasuki uji coba itu, terlebih dahulu
diadakan diskusi tentang tujuan dan cara memberikan kesempatan bertanya kepada siswa
yang lebih efektif dengan tidak hanya bertanya "Ada pertanyaan?" tapi mendorong siswa
melalui kalimat: "Bagaimana dengan apa sudah jelas?" dan sebagainya. Hasil yang
diperoleh telah memperlihatakan kemahiran guru melakukan kedua hal itu sehingga
interaksi belajar-mengajar telah siap diuji lebih luas pada fase penelitian selanjutnya-
4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar
Pada uji coba keempat dalam pembelajaran writing, keempat komponen di atas
telah berjalan sesuai kebutuhan. Siswa telah 'mampu' merespon semua kegiatan dan
perilaku yang diinginkan yang menyatu dalam kegiatan tersebut, misalnya: (1) menjawab
pertanyaan atau merespon prompt baik dalam bentuk kata dan kalimat mau pun dalam
bentuk gambar atau realia yang membangun pengalaman belajar melalui kegiatan-
kegiatan terencana; (2) melakukan eksplorasi, menemukan konsep-konsep bahasa, fakta,
atau informasi baru melalui fasilitasi dan mediasi guru; (3) menarik prinsip-prinsip umum
dalam bentuk kesimpulan pelajaran; dan (4) menerapkan pengetahuan dan keterampilan
berbahasa yang baru diperoleh ke dalam persoalan-persoalan pedagogik atau otentik.
Dengan demikian, kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar sebagai
salah satu unsur observasi memberi indikasi siapnya uji coba model lebih luas pada
kegiatan penelitian berikutnya. Beberapa kemampuan menulis yang ditampilkan adalah
(#14) menuliskan postur tubuh sperti tali, short, thin dan merangkai kata menjadi kalimat
192
Sederhana dan bermakna tentang penampilan orang terdekatnya walaupun tata bahasa
terabaikan. Misalnya kalimat dari tiga siswa yang berbeda (#15) My father is fat, My
moiher white and thin. My uncle black. Terlepas dari kesalahan tata bahasa yang
mengikuti aturan bahasa Indonesia (fall-back), kalimat-kalimat ini merupakan hasil
transformasi pengetahuan yang diperoleh siswa dari pengalaman belajar ke dalam dunia
nyata.
5) Hambatan-hambatan
Beberapa hambatan sebelumnya telah dapat dikurangi eksistensinya, ini disebabkan
guru dan siswa mulai terbiasa dengan iklim pembelajaran yang dikembangkan. Terlepas
dari kelemahan-kelemahan yang ada namun tidak krusial, satu hambatan yang masih
terasa mengganggu adalah kelemahan guru terhadap kontrol waktu yang sesuai untuk
setiap pergantian fase kegiatan ipace).
Selama pelaksanaan uji coba model skala terbatas terdapat berbagai hambatan.
Namun, secara gradual pada setiap siklus ada kemajuan yang berarti baik penguasaan
guru terhadap penerapan model maupun kemajuan siswa bereaksi secara pedagogis
sebagai dampak penerapan model yang dikembangkan. Hambatan-hambatan
teridentifikasi dalam bentuk fisik dan non-fisik. Hambatan fisik lebih pada adanya
kendala yang berbentuk lingkungan fisik dalam menyelenggarakan setiap kegiatan di
kelas. Hambatan non-fisik berupa penguasaan guru dan respon siswa terhadap penerapan
model yang belum berjalan sesuai dengan kebutuhan. Namun, secara bertahap hambatan-
hambatan itu telah dapat diatasi sehingga tujuan uji coba skala terbatas dapat dicapai,
yang memungkinkan dilakukan uji coba model lebih luas.
Pada Tabel 4.5 disajikan proses kemajuan uji coba model dala . 'f. ^ Sf
yang datanya diperoleh melalui observasi kelas. Skor setiap aspek Ijib
' \ -dengan kriteria yang terpenuhi selama penerapan model. \,
Tabel 4.5 Skor Setiap Aspek Hasil Uji Coba Model Terbatas
Skor Skor Skor Skor Aspek-Aspek Ujicoba I Ujicoba 2 Ujicoba 3 Ujicoba 4
1. Penerapan model: 50,00 66,67 75,00 100 a. Kesesuaian dengan RP; 2 3 3 4 b. Langkah-langkah pembelajaran; 2 3 3 4 c. Kejelasan instruksi. 2 2 3 4
2. Kemampuan guru: 45,83 62^0 83^3 100 a. Mengaitkan pengalaman siswa I 2 3 4
dengan materi yang akan dipelajari;
b. Membimbing siswa; 1 2 3 4 c. Mengarahkan siswa mengambil 2 2 3 4
kesimpulan; d. Memfasilitasi tugas/latihan 2 3 3 4
berbahasa dan kebahasaan. e. Menggunakan alat/media 3 3 4 4
pembelajaran. f Melakukan evaluasi proses 2 3 4 4
3. Interaksi bdajar-mengajan 54,17 66,67 83,33 100 a. Keterlibatan siswa dalam setiap 3 3 4 4
kegiatan; b. Kesempatan menyelesaikan 2 3 3 4
tugas melalui bimbingan guru; c. Kesempatan bertanya; 1 2 3 4 d. Pengelolaan kesalahan siswa; 3 3 3 4 e. Suasana kelas yang menyenang 3 3 4 4
kan, f Bimbingan guru dalam bentuk 1 2 3 4
pertanyaan terarah.
4. Kemampuan siswa: 50,00 56,25 75,00 100 a. Menjawab pertanyaan guru pada 2 2 3 4
awal pembelajaran; b. Melakukan eksplorasi; 3 3 3 4 c Mengambil kesimpulan pelajaran 2 2 2 4 d. Menerapkan pengetahuan dan l 2 2 4
keterampilan yang baru diperoleh.
5. Hambatan-Hambatan 40 30 20 10
194
120
100
80
60
40
20
0
flliil í: Isi-Í--AS. ..• i:1; •• . •
I
Pener. Model
Kemam. Guru
IBM
. . .L' •
-- •>, : —jv i •• -
. -• . r
. r j j • i -. -.i r
4 l Kemam. Hambatan
Siswa
m Ujicobal
• Ujicoba2
• Ujicoba3
• Ujicoba4
Diagram 4.3 Grafik Kemajuan Uji Coba Mode! Terbatas
6) Tanggapan siswa terhadap kelayakan model
Berikut adalah tanggapan siswa terhadap kelayakan model pembelajaran yang
diperoleh dari jawaban 10 orang sampel yang diambil secara acak dari 34 orang siswa
kelas uji coba model terbatas. Penyebaran angket dimaksudkan untuk memperoleh
informasi pendukung tentang kelayakan model yang dikembangkan dari sudut pandang
siswa sebagai pembelajar yang mengalami secara langsung penerapan model di kelas.
Angket diberikan setelah empat kali putaran uji coba terbatas selesai dilaksanakan.
Jawaban dianalisis dan disajikan dalam bentuk persentase (%) seperti diuraikan berikut
mi.
* *L Apabila data hasil ujicoba model dalam sakala terbatas seperti telah dipaparkan di
atas dikonversi ke dalam grafik, maka grafik kemajuan setiap aspek akan tampak sebagai
terikut.
195
Dari pertanyaan yang menggali pendapat siswa terhadap aplikasi model
pembelajaran secara keseluruhan, diperoleh 100% siswa yang menjawab kegiatan
belajar-mengajar yang diikuti sangat menarik. Terdapat 60% siswa yang sangat setuju
dan 40% lainnya setuju bahwa pertanyaan guru pada awal pembelajaran terkait dengan
pengalaman nyata mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut pengetahuan siap
siswa sehingga mudah dijawab oleh mereka. Diperoleh 60% siswa yang menjawab
sangat setuju, 30% setuju, dan 10% tidak setuju.
Pertanyaan berikut menyangkut kemandirian belajar yang difasilitasi dan
dimediasi guru sehingga siswa mampu menemukan sendiri jawaban dari tugas dan
latihan berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Terdapat 70% siswa yang menjawab
sangat setuju, 20% setuju, dan 10% tidak setuju bahwa kegiatan pembelajaran memberi
kesempatan kepada mereka untuk menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan
dimaksud. Mediasi (bimbingan) yang diberikan guru dalam menemukan sendiri jawaban
dijawab sangat membantu oleh 90% siswa, dan tidak membantu sebanyak 10%.
Tentang diskusi kelompok dalam mencari dan menemukan jawaban dari tugas
dan latihan yang diberikan diperoleh 80% siswa yang menjawab sangat bermanfaat, dan
20% menyatakan bermanfaat. Diskusi dan kerja kelompok tidak terlepas dari bimbingan
guru untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Terdapat 80% siswa yang
menjawab bimbingan guru sangat mempermudah dan 20% berpendapat mempermudah.
Informasi dan atau konsep-konsep bahasa baru yang diperoleh dari penyelesaian
tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan dapat dipraktikkan ke dalam situasi yang
berbeda. Terdapat 90% siswa menjawab sangat setuju, dan 10% lainnya setuju. Proses
mempraktikkan perolehan itu pada tahap akhir pembelajaran dianggap sangat mudah
196
diikuti oleh 80% siswa, dan mudah diikuti 20% lainnya. Secara keseluruhan dari awal
sampai akhir pembelajaran suasana sangat menyenangkan menurut 80% siswa dan
sisanya sebanyak 20% menganggap menyenangkan. Dari data di atas, dapat disimpulkan
bahwa siswa mampu merespon setiap langkah dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan
tujuan ujicoba model.
b. Hasil uji coba model dalam skala lebih luas
Uji coba model dalam skala lebih luas dimaksudkan untuk memperoleh informasi
yang berkenaan dengan kelayakan model melalui penguasaan guru menerapkan model,
pencapaian kompetensi komunikatif, dan pengaruh model terhadap motivasi dan sikap
siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Untuk memperoleh data yang diperlukan,
peneliti menjaring data melalui observasi kelas, angket, wawancara, dan tes hasil belajar.
Selain itu, uji coba model juga dilakukan untuk memperluas skala uji coba agar diperoleh
penampilan model yang lebih halus dan pada gilirannya siap divalidasi. Dalam uji coba
ini dilibatkan tiga orang guru dari tiga sekolah yang berbeda menurut kategori, "baik",
"sedang", dan "kurang". Satu orang guru telah menerapkan model pada uji coba skala
terbatas.
Berikut uraian hasil observasi, evaluasi hasil belajar, motivasi dan sikap siswa
yang diperoleh selama siklus kelima, keenam, dan ketujuh penerapan model
pembelajaran dalam uji coba lebih luas.
197
1) Hasil observasi kelas
Uji coba kelima
a) Penerapan model pembelajaran.
Sebelum uji coba model lebih luas di mulai, terlebih dahulu diadakan diskusi
dengan ketiga guru penguji coba kemudian menyusun rencana pembelajaran yang akan
digunakan yang nantinya diharapkan merefleksi langkah konseptual desain model
pembelajaran yang dikembangkan. Untuk penerapan model pembelajaran, sejak awal
telah nampak bahwa semua langkah utama yang direncanakan terlaksana tanpa satu pun
yang terlewati. Namun, masih ada beberapa catatan tentang kegiatan yang belum optimal
dilakukan seperti ketika guru memberikan instruksi dan penjelasan ketika memulai dan
untuk setiap perlaihan tugas dari satu tahap ke tahap selanjutnya.
b) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Pada uji coba kelima (listening, reading), guru yang telah menerapkan model
pembelajaran pada uji coba terbatas tidak mengalami kendala yang berarti selama itu
terkait dengan tahap-tahap pembelajaran yang memfasilitasi dan memediasi siswa
belajar. Penguasaan kegiatan dimaksud merefleksi konsepsi model pembelajaran sesuai
dengan tujuan uji coba. Karena siswa uji coba model lebih luas berbeda dari siswa uji
coba terbatas, beberapa hal yang terkait dengan respon siswa seperti yang akan dibahas
pada butir empat masih perlu mendapat perhatian khusus. Sementara iru, dua orang guru
penguji coba baru memperlihatkan usaha sungguh-sungguh untuk menguasai taha-tahap
pembelajaran dan berusaha konsisten menerapkan model sesuai dengan rencana
pembelajaran.
198
Draw on experience and knowledge
Pada siklus kelima bagi kedua guru yang baru dilibatkan dalam uji coba skala
lebih luas, pelaksanaan tahap-tahap pembelajaran adalah sesuatu yang masih baru.
Mereka belum mahir melakukan kegiatan draw on experience and knowledge—
mengarahkan aktivitas yang membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk
melakukan perediksi terhadap konsep bahasa dan atau informasi baru yang akan
dipelajari. Cara guru mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang dapat
menghubungkan sturktur intelektual siswa dengan pengalaman baru belum memadai.
Kegiatan ini belum fokus terkait pada esensi bahasan pada tahap reconstruction.
Input Stage
Pada pembelajaran listening, guru memfasilitasi input pesan dan bahasa melalui
metode TPR untuk memperkenalkan kosa kata melalui kalimat perintah dalam bahasa
Inggris. Guru memberi perintah secara berulang-ulang sambil memberi bantuan dengan
mimik sehingga siswa paham akan perintah tersebut. Ketiga orang guru penguji coba
bertahan untuk tidak mengartikan perintah itu ke dalam bahasa Indonesia walau siswa
belum menampilkan respon yang tepat. Mereka paham akan konsep developmental error
yang melekat pada metode ini. Guru memperlihatkan kemampuan yang cukup memadai
untuk kegiatan ini.
Pada pembelajaran reading, guru menyajikan sebuah teks tentang keluarga
dengan seperangkat pertanyaan pemahaman. Guru mengajukan pertanyaan terlebih
dahulu—sekalian mengecek pemahaman tentang pertanyaan itu—kemudian menyuruh
siswa membaca teks (dalam hati). Hal itu dilakukan agar siswa siap dengan cara
membaca yang cepat dan tepat {reading for purpose) karena sebelumnya telah tahu
199
informasi apa yang dibutuhkan. Guru kemudian mengecek jawaban siswa sambil
menuliskannya di papan tulis. Jawaban benar atau salah tetap dituliskan agar siswa
menyadari (aware of) mengapa jawaban itu benar atau salah pada fase generalization.
Generalization Stage
Pada fase generalization guru masih ragu-ragu membimbing siswa untuk
membentuk gagasan atau simpulan umum dari akumulasi fakta melalui pertanyaan
terarah. Rangkaian pertanyaan sering tidak sistematis dan konsisten pada lingkup spesifik
ke lingkup yang lebih umum atau sebaliknya agar siswa mudah menarik kesimpulan.
Terlepas dari kelemahan itu, peneliti dan guru penguji coba mengamati bahwa setelah
siswa memperoleh kesimpulan pelajaran perlu secara eksplisit dilakukan refleksi
terhadap apa yang telah dipelajari siswa saat itu. Pertanyaan "Apa yang telah kamu
pelajari hari ini memungkinkan siswa menyadari perolehannya dan atau memperbaiki
pengetahuan dan konsep bahasa sebelumnya.
Reinforcement Stage
Untuk fase reinforcement pembelajaran listening, guru telah memfasilitasi tugas
dan latihan yang dapat memberi penguatan terhadap pesan dan konsep-konsep bahasa
melalui sebuah lagu / have two eyes to see with—terkait dengan nama-nama anggota
badan. Untuk pembelajaran reading, guru telah memfasilitasi tugas dan latihan yang
dapat memberi penguatan tentang cara memperoleh informasi yang tepat dan konsep
bahasa yang membawa pesan untuk dipahami siswa. Namun, menurut pengamatan dan
penilaian yang dilakukan secara kolaboratif dengan tiga guru penguji coba disimpulkan
bahwa pada dasarnya fase reinforcement tidak diperlukan jika fase generalization dengan
pertanyaan terarah berfungsi dengan baik.
200
Application Stage
Pada fase application, kemampuan guru memfasilitasi kegiatan agar siswa
menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru pada fase application masih perlu
ditingkatkan. Terutama bagaimana memediasi siswa sehingga terdorong melakukan
kegiatan berbahasa secara alami setelah menyimak atau membaca pemahaman.
Penguasaan guru belum memadai ketika harus membimbing siswa menggunakan
pengetahuan tentang istilah hubungan kekerabatan dalam sebuah keluarga yang
dituangkan ke dalam sebuah teks tertulis.
Support System
Bahan ajar disiapkan dengan mempertimbangkan topik yang sesuai dengan
perkembangan siswa. Kegiatan dalam menyimak terkait dengan aktivitas keseharian
siswa sambil belajar arti kosa kata tertentu melalui respon pisik. Untuk kegiatan
membaca, wacana disiapkan dalam konteks yang bermakna bagi kehidupan siswa.
Bercerita tentang keluarga dan anggota-anggotanya, hubungan anggota satu dengan yang
lain. Tentang penggunaan media pembelajaran, guru penguji coba belum efektif
menggunakan gambar atau benda-benda tertentu dalam latihan menyimak. Dalam
pembelajaran membaca, dengan sebuah gambar keluarga artifisial, guru masih kaku
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang mengarah pada
pemahaman kosa kata hubungan kekerabatan.
Evaluasi
Ketiga guru penguji coba telah berusaha melakukan penilaian proses melalui
lembar penilaian yang telah disiapkan sebelumnya. Guru mengamati siswa dan
melakukan penilaian proses yang terkait dengan motivasi, sikap, dan kerja sama dalam
201
melaksanakan kegiatan. Untuk penilaian kompetensi komunikatif guru mengamati
kinerja siswa dalam berkomunikasi. Fokus penilaian adalah kejelasan pesan yang
disampaikan/diterima, pemilihan kata, pengucapan, dan tata bahasa. Tata bahasa
memperoleh penilaian paling kurang bobotnya dalam kriteria penilaian.
c) Interaksi belajar-mengajar
Pada siklus kelima, seorang penguji coba hanya kekurangan dua hal yang masih
perlu diperbaiki dalam mengelola interaksi belajar-mengajar, yakni pemberian
kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan pengelolaan kesalahan siswa yang belum
dilakukan secara bijaksana. Cara membimbing siswa melalui pertanyaan terarah sudah
agak baik namun masih perlu ditingkatkan. Sementara seorang lainnya, selain ketiga hal
di atas, masih lemah dalam membantu siswa menyelesaikan tugas dan latihan listening
dan reading pada fase reconstruction. Ia cenderung membiarkan siswa bergelut dengan
masalahnya sendiri dengan harapan agar siswa dapat menemukan sendiri pemecahan
yang dibutuhkan. Guru bersangkutan kurang memahami peran dalam mengarahkan dan
membimbing siswa untuk dapat menyelesaikan tugas dan latihan yang diberikan.
d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar
Draw on experience and knowledge
Pada siklus kelima, terlepas dari kekurangan guru mengajukan pertanyaan, secara
umum dari tiga kelas uji coba model sakala lebih luas, siswa mampu menjawab
pertanyaan terarah yang diajukan guru ketika mengawali pembelajaran menyimak dan
membaca. Siswa menjawab pertanyaan lisan dalam bahasa Inggris tentang gerakan yang
mungkin dilakukan dengan anggota badan tertentu dalam olah raga, (#16) rise hands, put
hands, move your head. Respon siswa merefleksi pengalaman yang dimiliki dan terkait
202
dengan gerakan-gerakan serta konsep-konsep bahasa yang akan dipelajari. Demikian
pula ketika guru memperlihatkan gambar sambil mengajukan pertanyaan, siswa mampu
menjawab dalam kalimat yang terkait dengan hubungan keluarga, (#17) he'sfather, boy
and giri, mother sits in a chair. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa siswa mampu
mengasosiasikan pengalaman yang dimiliki dengan stimulus yang datang.
Input Stage
Dengan arahan dan bimbingan guru, dalam fase input siswa sangat aktif
menyimak perintah guru dan merespon dengan aktivitas fisik menunjuk, mengangkat,
dan menyentuh bagian badan tertentu yang diperintahkan. Siswa antusias mencoba dan
mencoba lagi merespon perintah dalam bahasa Inggris sampai benar, sementara siswa
lain memperhatikan dengan saksama. Seringkah terdengar arahan dari siswa yang
melihat temannya salah dalam melakukan perintah guru, (#18) no, your chin sentuh, on
your stomach. Ini menandakan bahwa secara mental semua siswa aktif menyimak
perintah lisan yang disampaikan guru dalam bahasa Inggris. Dalam pelajaran membaca,
siswa aktif membaca dalam hati (tidak seperti biasanya) dan mampu mengikuti arahan
guru untuk menyelesaikan tugas membaca pemahaman sesuai waktu yang tersedia.
Generatization Stage
Pada kegiatan generalisasi di kelas sekolah berkategori baik, diskusi berlangsung
sebagaimana mestinya—tugas jelas, hampir semua siswa berpartisipasi aktif, bertanya
dan menjawab sampai tiba pada kesimpulan yang diambil dalam kelompok. Kata/kalimat
yang ditulis dapat dimengerti walaupun struktur dan ejaan belum sepenuhnya tepat Di
lain pihak, pada dua kelas lainnya guru berulangkah mengarahkan pada apa yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan tugas. Diskusi belum berjalan sebagaimana mestinya—
203
beberapa di antara anggota kelompok kurang jelas atas tugas yang diberikan hingga tidak
memiliki catatan tentang kata/kalimat yang disimak, dan tentang jawaban pertanyaan
bacaan. Belum semua siswa aktif berpartisipasi sehingga sulit mengambil kesimpulan.
Reinforcement Stage
Untuk fase reinforcement pembelajaran listening, siswa memperoleh tugas dan
latihan yang memberi penguatan terhadap pesan dan konsep-konsep bahasa melalui
sebuah lagu—terkait dengan nama-nama anggota badan. Untuk pembelajaran reading,
siswa memperoleh tugas dan latihan yang memberi penguatan tentang cara memperoleh
informasi yang tepat dan konsep bahasa yang membawa pesan untuk dipahami.
Application Stage
Pada tahap aplikasi, kejadian ketika tahap generalisasi terulang—arahan guru
untuk mengerjakan tugas dimengerti siswa pada sekolah berkategori baik sehingga
mereka mampu menulis kalimat-kalimat sederhana tentang aggota keluarganya, (#19 my
father work in office, he go everyday. Demikian juga ketika memberi perintah lisan
kepada temannya (#20) take the book and give to me, hold your ear, stand up and go to
the door, perintah itu dapat dilakukan dan di'respon dengan baik oleh siswa yang lain.
Walaupun kelas agak gaduh motivasi dan antusiasme siswa belajar nampak
menggembirakan. Hal itu berbeda dengan apa yang diamati pada dua sekolah lainnya—
campur tangan guru masih hampir mendominasi setiap uasaha siswa menyelesaikan
tugas menulis kalimat perintah dan teks sederhana tentang anggota keluarga mereka.
Namun, beberapa di antara mereka dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
204
e) Hambatan-hambatan
Seperti pada siklus-siklus sebelumnya, peneliti berusaha memahami setiap
masalah yang timbul dan menentukan mana yang paling mendasar menghambat
pelaksanaan uji coba, maka pada uji coba kelima ini dikemukakan beberapa masalah.
Masalah dimaksud adalah: pelaksanaan draw on experience and knowledge belum
terarah, guru belum menguasai cara mengarahkan siswa melalui leading questions, guru
belum trampil memanfaatka media dalam mengajukan pertanyaan terkait dengan makna
yang terkandung dalam gambar, dan siswa belum terbiasa mengambil kesimpulan
pelajaran apa lagi melalui leading questions.
Uji coba keenam
a) Penerapan model pembelajaran
Untuk penerapan model pembelajaran, semua langkah utama yang direncanakan
terlaksana tanpa satu pun yang terlewati. Kegiatan guru memberikan instruksi dan
penjelasan pada saat memulai dan untuk setiap perlaihan tugas dari satu tahap ke tahap
selanjutnya sudah memenuhi kebutuhan. Guru mampu memberikan penjelasan dan
instruksi pada setiap peralihan tugas dan kegiatan secara jelas sehingga siswa mampu
menangkap apa yang harus dilakukan berdasarkan arahan guru. Satu hal yang masih
perlu perhatian adalah jumlah waktu yang digunakan pada setiap pelaksanaan tugas
sering molor dari waktu seharusnya.
Dari hasil angket yang disebarkan, tiga guru penguji coba sepakat mengusulkan
satu kegiatan pada fase generalisasi, yaitu pertanyaan yang bersifat review terhadap
pengetahuan yang baru saja diperoleh siswa. Pertanyaan dimaksud dapat menyadarkan
205
dengan sebelum siswa memperoleh pengalaman belajar. | £g .-^ p
b) Kemampuan guru memfasilitasi kegiatan belajar mengajar t?agt St&wa V ^ '
adanya perubahan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh bila
Oraw on experience and knowledge " i - ^ .
Pada siklus keenam, guru telah mampu melakukan kegiatan draw on experience
and knowledge dalam mengawali pembelajaran speaking. Guru menunjukkan sebuah
gambar dari sejumlah orang yang sedang bercakap-cakap sambil mengajukan pertanyaan
yang mengarah pada contoh ungkapan tentang kondisi kesehatan seseorang.
Keberhasilan dilihat dari jawaban siswa mereka-reka kalimat yang mungkin
di kemukakan oleh masing-masing yang melakukan pembicaraan dalam gambar.
Input Stage
Guru menyajikan input dengan melakukan demonstrasi percakapan dua orang,
satu orang minta yang lainnya untuk melakukan sesuatu melalui kalimat permintaan.
Yang lain merespon permintaan itu dengan melakukan sesuatu secara demonstratif yang
dapat diamati siswa sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat ditangkap
dengan lebih berkesan. Guru melakukan percakapan secara berulang-ulang dengan
mimik yang menambah pengertian pada setiap gerakan yang dilakukaa Suara dan
intonasi disesuaikan dengan pesan yang terkandung dalam ujaran.
Generalization and review Stage
Pada fase ini, kemampuan guru berangsur sesuai dengan harapan walau belum
optimal. Hal itu terjadi karena mereka sudah memiliki pengalaman mengajukan
pertanyaan terbimbing untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Guru
telah mampu mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa mengambil kesimpulan
206
pada fungsi bahasa atau ujaran yang menyatakan permintaan agar seseorang melakukan
sesuatu. Di samping itu, mereka juga telah membantu siswa melakukan review terhadap
kemajuan belajarnya hari itu.
Application Stage
Pada fase aplikasi, keterampilan guru masih sama seperti yang diperlihatkan pada
siklus kelima dalam memfasilitasi siswa untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang baru diperoleh ke dalam aktivitas berbahasa yang lebih bermakna.
Mediasi dilakukan dalam bentuk pemberian kalimat-kalimat kunci yang di dalamnya
terdapat rumpang yang diisi siswa sesuai dengan konteks sendiri. Siswa menggunakan
kalimat-kalimat ini dalam praktik bercakap-cakap yang dilakukan secara berpasangan.
Support System
Bahan ajar disiapkan secara kolaboratif oleh peneliti dan guru penguji coba.
Percakapan mengambil tema kegiatan di rumah. Tingkat kompleksitas tugas dan latihan
berbahasa memperhatikan prinsip i + 1. Dalam kosa kata dan ungkapan dipilih kegiatan
yang menggabungkan kosa kata dan ungkapan yang (diasumsikan) telah diperoleh siswa
dengan yang baru. Akan halnya dengan penggunaan media pembelajaran, tampaknya
guru tidak lagi menghadapi kendala dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
terarah berdasarkan konteks yang terbawa oleh media yang digunakan. Gambar yang
disediakan juga semakin berkualitas, cukup besar dan terlihat oleh semua siswa di dalam
kelas.
Evaluasi
Evaluasi proses pembelajaran sudah berjalan lebih baik dari siklus-siklus
sebelumnya. Guru berusaha mengamati perilaku siswa dengan lebih baik karena telah
207
mempelajari kriteria penilaian. Format penilaian sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk
penilaian unjuk kerja dalam kompetensi komunikatif diperlihatkan siswa melalui
percakapan sederhana yang topiknya telah disiapkan guru sebelumnya. Penilaian fokus
pada kejelasan pesan yang disampaikan/diterima, pemilihan kata, pengucapan, dan tata
bahasa. Tata bahasa memperoleh penilaian paling sedikit bobotnya dalam kriteria
penilaian.
c) Interaksi belajar mengajar
Siswa terlibat dalam kegiatan bercakap-cakap secara berpasangan dengan
antusias. Mereka mampu bertanya bila terdapat makna kata yang belum jelas. Guru tidak
memperlakukan kesalahan siswa sebagai sesuatu yang harus mendapat hukuman dalam
bentuk apapun. Hal itu menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif—tidak
menegangkan (stress-Jree environment). Dalam hal memberi bantuan bagi siswa yang
membutuhkan, guru tidak lagi memberinya secara langsung akan tetapi melalui
pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada jawaban. Jawaban diperoleh sendiri oleh siswa
dengan memperhatikan akumulasi jawaban yang diberikan.
d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar
Draw on experience and knowledge
Pada siklus keenam dalam pembelajaran speakings kemajuan respon siwa mulai
tampak. Kemampuan melakukan aktivitas pada fase ini semakin baik. Dua buah kalimat
dari dua orang siswa merespon gambar yang ditunjukkan guru dengan berseru (#20) ill,
he is ill, sedih—what 's sedih? Dengan suara gaduh, hampir semua siswa menyerukan
kata dan atau kalimat yang dapat diucapkan menurut tanggapannya masing-masing
208
terhadap gambar yang diperlihatkan. Kejadian yang sama terjadi pada dua kelas uji coba
lainnya.
Input Stage
Dalam fase ini, guru memfasiltasi input pesan dan bahasa melalui demonstrasi
percakapan dua orang—yang satu bertanya tentang perasaan dan yang lainnya menjawab.
Mereka mampu menuliskan kalimat percakapan yang didemonstrasikan guru yang
berkenaan dengan ungkapan yang menyatakan kondisi seseorang, dengan struktur
kalimat yang tepat, (#21) / am very tired Dari jawaban ini nampak bahwa siswa pada
hakikatnya telah memanfaatkan pengetahuan siap sehingga mampu menangkap kalimat
panjang yang diucapkan guru.
General ization and review Stage
Ketika siswa sekolah berkategori baik diperhadapkan pada aktivitas menarik
kesimpulan, mereka hampir tidak menemukan kesulitan. Mereka menemukan sendiri dan
memahami secara konseptual ungkapan yang menyatakan kondisi seseorang. Pada dua
kelas lainnya, siswa sekolah berkategori sedang dan kurang semakin baik dalam
memahami instruksi tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas.
Dengan pengalaman pada siklus kelima, siswa mulai mampu menarik kesimpulan dari
akumulasi jawaban berdasarkan pertanyaan terarah dari guru. Sebagian beasar telah
mampu menemukan sendiri dan memahami bahwa ungkapan (#22) How do you feel?
digunakan untuk menanyakan kondisi seseorang. Perolehan ini diyakini sebagai akibat
dari mediasi guru menstimulasi operasi kognitif siswa untuk berpikir runtut dan
sistematis.
209
Application Stage
Pada f^se aplikasi, selain berkembangnya kemampuan memahami instruksi dajj
arahan guru, fcjswa pada ketiga kejas uji coba juga telah rmunpu menuliskan dan^
melakukan percakapan yang terkait dengan kesehatan seseorang. Walaupun untuk tata
bahasa, kosa kata dan pelafalan siswa masih perlu dampingan guru yang lebih intensif.
e) Hambatan-hambatan
Dalam uji coba keenam, ditemukan masalah semakin berkurang bila
dibandingkan dengan uji coba sebelumnya. Masalah yang muncul dalam uji coba ini
adalah: belum semua siswa aktif dalam pembelajaran, siswa belum terbiasa dengan
teknik uji-coba dalam berbicara, dan guru tidak mengontrol waktu pada setiap pergantian
fase kegiatan sehingga waktu yang digunakan tidak lagi sesuai jadwal pelajaran.
Uji coba ketujuh
a) Penerapan model pembelajaran
Pada siklus ketujuh, semua kelemahan yang masih ada pada siklus kelima dan
keenam sudah berangsur dapat diatasi sehingga penguasaan guru menerapkan model
pembelajaran semakin optimal.
b) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Draw on experience and knowledge
Pada fase ini ketiga guru penguji coba telah memiliki kemampuan yang
'memadai' untuk menarik perhatian siswa mengemukakan pengalaman dan pengetahuan
mereka yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Guru dalam tingkat yang
dipersyaratkan model telah mampu mengkondisikan siswa agar merespon prompt yang
210
diberikan apakah dalam bentuk pertanyaan penggali atau memberi komentar pada sebuah
gambar dibawah bimbingan guru.
Input Stage
Peran guru pada fase ini adalah memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar
yang dibutuhkan siswa agar menemukan dan meperoleh pengetahuan dan keterampilan
baru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru penguji coba menguraikan penampilan
mereka (pakaian/warna pakaian, postur tubuh) dalam bentuk wacana sederhana dan
menuliskannya dipapan tulis. Ada interaksi antara guru dan siswa melalui tanya jawab
perihal kata yang kurang jelas bagi siswa.
Generalization and review Stage
Guru membimbing siswa untuk mengetahui struktur teks yang menjelaskan
penampilan seseorang melalui pakaian dan warna pakaian yang dipakai. Bimbingan ini
dilakukan melalui pertanyaan terarah. Karena pengalaman telah ada sebelumnya, guru
telah memiliki kemampuan yang dipersyaratkan oleh model untuk membimbing siswa
dengan cara ini. Guru penguji coba mampu mengajukan pertanyaan yang mengarahkan
siswa mengambil kesimpulan pada fungsi bahasa atau kalimat-kalimat yang menjelaskan
penampilan seseorang. Di samping itu, mereka juga telah membantu siswa melakukan
refleksi terhadap kemajuan belajarnya hari itu.
Application Stage
Pada fase aplikasi, keterampilan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman
belajar untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang baru diperoleh ke dalam
aktivitas berbahasa yang lebih bermakna semakin baik. Guru menyiapkan sebuah gambar
dengan ciri tertentu dari orang dalam gambar tersebut. Mediasi dilakukan dalam bentuk
211
pemberian kalimat-kalimat kunci yang di dalamnya terdapat rumpang yang diisi siswa
sesuai dengan konteks yang dibawa gambar. Siswa menggunakan kalimat-kalimat ini
dalam praktik menulis dan menjelaskan penampilan seseorang.
Support System
Guru menampilkan diri sebagai model yang dicermati siswa dalam usaha
menjelaskan penampilan seseorang. Materi terkait dengan warna pakain dalam kalimat
atau ungkapan yang menjelaskan penampilan seseorang. Siswa memperlihatkan
antusiasme yang tinggi sehingga mereka mampu mengungkapkan warna pakaian dalam
bahasa Inggris. Ketiga guru penguji coba tampil dengan penampilan yang sangat
bersahabat sehingga suasana belajar jauh dari menegangkan.
c) Interaksi belajar mengajar
Pada siklus ini, kejadian tidak berbeda dengan yang ada pada siklus keenam
sebelumnya Siswa terlibat dalam kegiatan menulis penampilan orang yang paling dekat
dalam konteks kekerabatan. Mereka bertanya apa bahasa Inggrisnya 'bergaris-garis,
gemuk-tinggi, dan lain-lain. Guru tidak memperlakukan kesalahan siswa sebagai sesuatu
yang harus mendapat hukuman dalam bentuk apapun. Hal itu menciptakan suasana
belajar yang lebih kondusif—bebas dari rasa cemas (stress free environment). Dalam hal
memberi bantuan bagi siswa yang membutuhkan, guru tidak lagi melakukannya secara
langsung akan tetapi siswa disuruh membuka kamus. Kata-kata yang dibutuhkan dalam
merangkai makna tentang penampilan seseorang ditemukan sendiri dari dalam kamus.
212
d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar
Draw on experience and knowledge
Dalam putaran ketujuh pada mata pelajaran menulis, kemampuan merespon pada
fase ini semakin berkembang menjadi lebih baik. Sebagian besar siswa mampu
mengemukakan warna pakaian yang dipakainya dan orang tuanya hari itu. Ketika guru
mengemukakan warna pakaian yang dipakai hari itu, sebagian besar siswa mampu
menangkap dan mencatat kata-kata bahasa Inggris walaupun ejaan masih ada yang
kurang tepat dan cenderung hanya menuliskan bunyi yang didengar dari guru, misalnya
(#24 whait (white), blek (black), colorful, sebagaian lainnya telah menulis dengan benar.
Rekaman ini secara spontan dilakukan dalam usaha memberi makna tentang apa yang
telah didengar dari guru. Nampak adanya usaha bawa sadar (subconscious) untuk
menggunakan bahasa Inggris walau masih dalam konteks yang terbatas.
Input Stage
Pada fase inputt siswa secara individual membaca dalam hari model teks tentang
warna pakaian guru di papan tulis dan mengajukan pertanyaan tentang kata/kalimat yang
bagi mereka masih kurang jelas artinya. Untuk menjawab pertanyaan siswa, guru pun
menjelaskan dengan contoh-contoh kalimat yang diartikulasi sambil menunjuk wama
atau obyek tertentu yang berkenaan dengan hal yang ditanyakan.
Generalization and review Stage
Selanjutnya dalam fase ini, walaupun penggunaan waktu cenderung lebih lama,
sebagian besar siswa mampu mengambil kesimpulan pelajaran dan dengan bimbingan
guru mampu menilai betapa perubahan pengetahuan tentang konstruksi teks yang
menjelaskan warna pakaian seseorang yang sebelumnya tidak diketahui menjadi
213
diketahui. Hal ini sangat menggembirakan mengingat bahwa siswa telah mampu menilai
sendiri kemajuan belajarnya melalui refleksi yang dibimbing guru.
Application Stage
Dalam fase aplikasi, hampir secara otomatis siswa mengerti arahan guru untuk
mengerjakan tugas dan latihan. Secara individual siswa menulis teks sederhana tentang
penampilan seseorang khususnya warna pakaian yang dipakai keluarga. Misalnya
kalimat dari tiga siswa berbeda (#25) my father is wearing shirt white, My mother use
jacket black, My uncle is tie black. Untuk tata bahasa, kosa kata dan ejaan, siswa masih
perlu dampingan guru yang lebih intensif Namun, satu hal yang patut diyakini bahwa
siswa telah melakukan eksperimen dengan pengetahuan bahasa dan kebahasaan yang
dimiliki dalam konteks dunia nyata.
e) Hambatan-hambatan
Beberapa hambatan yang ditemukan pada siklus ini terkait dengan penggunaan
waktu yang kurang efektif bagi siswa. Hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian
baik guru mau pun siswa akan pentingnya memanfaatkan waktu yang relatif singkat
untuk beberapa tugas berbahasa dan kebahasaan. Selain itu, guru tidak mengontrol waktu
pada setiap pergantian fase kegiatan.
Pada Tabel 4.6 disajikan proses kemajuan uji coba model lebih luas yang
datanya diperoleh melalui observasi kelas. Skor setiap aspek diberikan sesuai dengan
kriteria yang terpenuhi selama penerapan model.
214
Tabel 4.6 Skor Setiap Aspek Observasi Hasil Ujicoba
Model Lebih Luas
Skor Ujicoba 5 Skor Ujicoba 6 Skor Ujicoba 7 Aspek-Aspek
1 ! 2 ! 3 1 ! 2 3 1 ! 2 ! 3
1. Penerapan modei: 5833 58,33 91,67 75 75 100 100 100 100 a. Kesesuaian dengan RP; 3 3 4 3 3 4 4 4 4 b. Langkah-langkah pembelajaran; 2 2 4 3 3 4 4 4 4 c. Kejelasan instruksi. 2 2 3 3 3 4 4 4 4
2, Kemampuan guru: 7033 66,67 9533 874 79,17 100 100 95 100 a. Mengaitkan pengalaman siswa 2 2 4 3 3 4 4 4 4
dengan materi yang akan dipelajari;
b. Membimbing siswa; 3 3 3 4 3 4 4 4 4 c Mengarahkan siswa mengambil 2 2 4 3 3 4 4 3 4
kesimpulan; d. Memfasilitasi tugas/latihan 3 3 4 3 3 4 4 4 4
berbahasa dan kebahasaan; e. Menggunakan alat/media 4 3 4 4 4 4 4 4 4
pembelajaran. f. Melaksanakan evaluasi proses/ 3 3 4 4 3 4 4 4 4
unjuk kerja siswa.
3. Interaksi belajar-mengajar: 623 91,67 75 75 100 100 9533 100 a Keterlibatan siswa dalam setiap 3 3 3 3 3 4 4 4 4
kegiatan; b. Kesempatan menyelesaikan 3 3 4 3 3 4 4 4 4
tugas melalui bimbingan guru. c. Kesempatan bertanya; 2 2 3 3 3 4 4 4 4 d Pengelolaan kesalahan siswa; 2 2 4 3 3 4 4 4 4 e. Suasana kelas yang menyenang 3 3 4 3 3 4 4 4 4
kan; f. Bimbingan guru dalam bentuk 2 2 4 3 3 4 4 3 4
pertanyaan terarah.
4. Kemampuan siswa: 62^ 624 56,25 75 75 75 100 100 100 a. Menjawab pertanyaan guru pada 3 3 2 3 3 3 4 4 4
awal pembelajaran. b. Melakukan eksplorasi; 3 3 3 3 3 3 4 4 4 c. Mengambil kesimpulan pelajaran 2 2 2 3 3 3 4 4 4 d. Menerapkan pengetahuan dan 2 2 2 3 3 3 4 4 4
keterampilan yang baru diperoleh.
5. Hambatan-hambatan 40 30 20
215
Apabila hasil uji coba model dalam skala lebih luas seperti yang tampak pada
table 4.6 di atas dikonversi ke dalam bagan, akan terlihat seperti berikut:
i Estimated Marginal Means of Hasil Ujicoba
Ujieobe 5 00 6.00 7.00
Penerapan model I Interaksi B-M I Hambatan Kemampuan Guru Kemampuan siswa
Variabel Penelitian
Diagram 4.4 Perkembangan Hasil Uji Coba Model Lebih Luas
f) Persepsi siswa terhadap kelayakan model
Berikut diuraikan tanggapan siswa terhadap kelayakan model pembelajaran yang
diperoleh dari 30 orang sampel yang diambil secara acak dari tiga kelas uji coba model
lebih luas. Tujuan penyebaran angket adalah untuk memperoleh informasi pendukung
tentang kelayakan model dari perspektif siswa sebagai pembelajar yang mengalami
secara langsung penerapan model di kelas. Angket diberikan setelah empat kali putaran
216
uji coba terbatas selesai dilaksanakan. Jawaban dianalisis dan disajikan dalam bentuk
persentase (%) seperti diuraikan berikut ini.
Dari pertanyaan yang menggali persepsi siswa terhadap aplikasi model
pembelajaran secara keseluruhan, diperoleh 66,67% siswa yang menjawab kegiatan
belajar-mengajar sangat menarik, yang lain 33,33% menyatakan menarik. Terdapat
33,33% siswa yang sangat setuju, 50% setuju dan 6,67% lainnya tidak setuju bahwa
pertanyaan guru pada awal pembelajaran terkait dengan pengalaman nyata mereka.
Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut pengetahuan siap siswa sehingga mudah dijawab
oleh mereka. Diperoleh 43,33% siswa yang menjawab sangat setuju, 40% setuju, dan
16,67% lainnya tidak setuju.
Pertanyaan berikutnya adalah kemandirian belajar yang difasilitasi dan dimediasi
guru sehingga siswa mampu menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan
berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Terdapat 56,67% siswa yang menjawab
sangat setuju, dan 43,33% lainnya setuju bahwa kegiatan pembelajaran memberi
kesempatan kepada mereka untuk menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan
dimaksud. Mediasi (bimbingan) yang diberikan guru dalam menemukan sendiri jawaban
dijawab sangat membantu oleh 66,67% siswa, dan membantu sebanyak 33,33%.
Tentang diskusi kelompok dalam mencari dan menemukan jawaban dari tugas
dan latihan yang diberikan diperoleh 70% siswa yang menjawab sangat bermanfaat, dan
30% menyatakan bermanfaat. Diskusi dan kerja kelompok tidak terlepas dari bimbingan
guru untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Terdapat 43,33% siswa
yang menjawab bimbingan itu sangat mempermudah, 40% berpendapat mempermudah,
dan lainnya 16,67% menjawab tidak mempermudah.
tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan dapat dipraktikkan ke dalarn si&foi
berbeda. Terdapat 76,67% siswa yang menjawab sangat setuju, dan 23,^&:J&
Informasi dan atau konsep-konsep bahasa baru yang diperoleh darf
menyatakan setuju. Proses mempraktikkan perolehan itu pada tahap akhir pembelajaran
dianggap sangat mudah diikuti oleh 40% siswa, mudah diikuti 43,33%, dan 16,67%
lainnya berpendapat tidak mudah diikuti. Secara keseluruhan dari awal sampai akhir
pembelajaran suasana sangat menyenangkan menurut 83,33% siswa dan selebihnya
sebanyak 16,67% menganggap menyenangkan. Dari data di atas, dapat disimpulkan
bahwa siswa mampu merespon setiap langkah dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan
tujuan uji coba model.
c. Beberapa kendala pada pelaksanaan uji coba model terbatas dan lebih
Selama pelaksanaan uji coba model skala terbatas dan lebih luas, terdapat
berbagai hambatan, seperti telah dipaparkan pada setiap siklus uji coba. Hambatan-
hambatan itu dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori, fisik dan non-fisik. Hambatan
fisik lebih pada adanya kendala yang berbentuk lingkungan fisik dalam
menyelenggarakan setiap kegiatan di kelas. Misalnya, jumlah siswa yang lebih dari tiga
puluh orang, dan tempat duduk yang posisinya tidak bisa diubah sesuai kebutuhan.
Jumlah siswa yang banyak berakibat pada kurang optimalnya guru memediasi materi,
tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan kepada siswa. Seting tempat duduk yang
cenderung statis menghambat posisi dalam kelompok diskusi sehingga siswa kurang
mampu berperan dalam sebuah kegiatan komunikatif
luas.
218
Hambatan non-fisik berupa penguasaan guru dan respon siswa terhadap
penerapan model belum optimal sesuai kebutuhan. Penguasaan guru terhadap
• ^pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran yang secara konseptual memerlukan
pengetahuan dan keterampilan tertentu pada siklus-siklus awal tampak belum memadai.
Namun, secara bertahap hambatan-hambatan itu telah dapat diatasi berkat evaluasi-
penilaian-perbaikan yang dilakukan secara berkesinambungan pada akhir setiap siklus uji
coba. Demikian pula dengan respon siswa, pada awalnya mereka tampak kaku. Namun
dengan pengalaman merespon setiap kegiatan melalui pengulangan-pengulangan, pada
akhirnya mereka mampu dan terbiasa.
2) Hasil belajar, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa
Inggris
a) Hasil belajar
Pada uji coba model kelima, keenam, dan ketujuh digunakan pretes dan postes
pada masing-masing siklus. Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, tes bahasa
Inggris yang diberikan untuk menguji kemampuan komunikatif siswa adalah seperangkat
soal yang telah diuji reliabiltas dan validitasnya, baik melalui pakar di bidang ini maupun
melalui uji lapangan. Oleh karena itu, soal-soal diyakini dapat menjaring kemampuan
awal (sebelum implementasi model) dan kemampuan akhir siswa (setelah implementasi
model). Hasil belajar tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
219
Tabel 4.7 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Hasil Belajar Bahasa Inggris
Test Statistics (b)
Kategori Sekolah
Ujicoba 5, 6, dan 7
POST-PRE Receptive Skills (Listening-Reading)
POST-PRE Productive Skill (Speaking)
POST-PRE Productive Skill (Writing)
POST-PRETEST Hasil Belajar Bahasa Inggris Model Luas
Baik Z Asymp. Sig. (2-taiied)
-3.791(a) .000
-3.717(a) .000
-4.231(a) .000
-t.600(a) .000
Sedang Z Asymp Sig. (2-tailed)
•4 385(a) 000
-3.580(a) .000
-4.631(a) .000
-4.782(a) .000
Kurang Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-3.305(a) .001
-3.535(a) .000
-3.628(a) .000
-3.574(a) .000
a Based on negative ranks, b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel 4.7 di atas menunjukkan hasil pengujian dampak model yang
dikembangkan terhadap hasil belajar bahasa Inggris melalui uji coba model lebih luas
pada tiga sekolah dasar dengan kategori "baik", "sedang", dan "kurang". Bagi sekolah
berkategori baik, tampak harga WiIcoxon Signed Ranks Test untuk selisih postes dengan
pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 4,600, dengan rincian sebagai berikut: selisih
postes dengan pretes receptive skills (listening-reading) adalah 3,791; productive skill
(speaking) adalah 3,717; dan productive skill (writing) adalah 4,231. Semua hasil
pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Hal itu menunjukkan bahwa model
yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa
Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba.
Bagi sekolah berkategori sedang, harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk
selisih postes dengan pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 4,782, dengan rincian
220
sebagai berikut: selisih postes dengan pretes receptive skiUs (listening-reading) adalah
4,385, productive skill (speaking) adalah 3,580, dan productive skill (writing) adalah
4,631. Semua hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Data itu
menunjukkan bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan
terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar berkategori sedang.
Bagi sekolah berkategori kurang, harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk
selisih postes dengan pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 3,574, dengan rincian
sebagai berikut: selisih postes dengan pretes receptive skills (listening-reading) adalah
3,305, productive skill (speaking) adalah 3,535, dan productive skill (writing) adalah
3,628. Semua hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Seperti halnya
dengan sekolah berkategori baik dan sedang, data itu menunjukkan bahwa model yang
dikembangkan juga memberi dampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar
bahasa Inggris siswa sekolah dasar berkategori kurang.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%
model berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris bagi tiga
kelompok siswa pada uji coba model lebih luas. Dengan demikian, telah diperoleh desain
model yang lebih halus sehingga uji validasi model sudah dapat dilakukan pada fase
penelitian berikutnya.
b) Motivasi belajar
Berikut adalah ringkasan hasil pengujian dampak model terhadap motivasi belajar
bahasa Inggris bagi siswa dari tiga kategori sekolah dasar tempat pelaksanaan uji coba
model lebih luas.
221
Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Motivasi Belajar Bahasa Inggris Uji Coba Model Luas
Test Statistics^
Kategori Sekolah Selisih Postes-Pretes
Z -4.707(a)
Baik Asymp. Sig. (2-taiied) .000
Z -4.686(a)
Sedang Asymp. Sig. (2-taiied) .000
Z -3.623(a)
Kurang Asymp. Sig. (2-taiied) .000
a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel 4.8 di atas menunjukkan hasil pengujian dampak model yang
dikembangkan terhadap (aspek-aspek) motivasi belajar bahasa Inggris melalui uji coba
model lebih luas pada tiga sekolah dasar berkategori "baik", "sedang", dan "kurang".
Pada tabel tersebut tampak harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk masing-masing
sekolah dasar sebagai berikut:
Pada sekolah berkategori baik, selisih postes dengan pretes motivasi adalah
4,707. Hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000) yang
berarti model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi
belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba.
Hal serupa terjadi pada sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada sekolah
berkategori sedang, selisih postes dengan pretes motivasi adalah 4,686, sementara pada
sekolah berkategori kurang adalah 3,623. Masing-masing hasil pengujian itu memiliki
peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000). Hal itu berarti bahwa model yang
222
dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa
Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba.
c) Sikap belajar
Berikut adalah ringkasan hasil pengujian dampak model terhadap sikap belajar
bahasa Inggris siswa dari tiga kategori sekolah dasar tempat uji coba model lebih luas
dilaksanakan.
Table4.9 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Sikap Belajar Bahasa Inggris Uji Coba Model Luas
Test Statistics(b)
Kategori Sekolah Selisib Postes-Pretes
Z -4.683(a)
Baik Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Z -4.641(a)
Sedang Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Z -3.603(a)
Kurang Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel 4.9 di atas menunjukkan hasil pengujian dampak model yang
dikembangkan terhadap (aspek-aspek) sikap dalam belajar bahasa Inggris melalui uji
coba model lebih luas pada tiga sekolah dasar berkategori "baik", "sedang", dan
"kurang". Pada tabel itu tampak harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk masing-
masing sekolah dasar sebagai berikut:
223
Pada sekolah berkategori baik, selisih postes dengari prêtes sikap belajar bahasa
Inggris adalah 4,683. Hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau
.000). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa model yang dikembangkan
berdampak positif yang signifikan terhadap aspek sikap dalam belajar bahasa Inggris
siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba.
Hal serupa terjadi pada sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada sekolah
berkategori sedang, selisih postes dengan prêtes sikap belajar bahasa Inggris adalah
4,641, sementara pada sekolah berkategori kurang adalah 3,603. Masing-masing hasil
pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000). Karena itu, dapat
dikemukakan bahwa model yang dikembangkan berdampak postif yang signifikan
terhadap aspek sikap belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba.
6. Perubahan Sosok the ftflD-Model Selama Penelitian
Perubahan sosok model mempertimbangkan apakah: (1) implementasi telah
optimal merefleksi desain model, (2) aktivitas dan perilaku yang menyatu dengan
langkah pembelajaran membantu siswa membangun pemahaman baru melalui proses-
proses asimilasi dan akomodasi, (3) langkah pembelajaran dapat dilaksanakan oleh guru
dan direspon oleh siswa sesuai dengan konsep pengembangan kemampuan komunikatif,
dan (4) apakah fasilitasi dan mediasi materi, tugas, dan latihan yang dilakukan guru
meningkatkan motivasi dan sikap positif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris. Berikut
adalah uraian singkat perubahan sosok model selama penelitian.
a. Draf Awal
Draf awal desain dan implementasi the MID-Model diuji coba pada setiap siklus,
dievaluasi berkenaan dengan penguasaan guru terhadap langkah pembelajaran, dan
224
respon siswa, serta apakah implementasi secara konseptual telah merefleksi modei desain
yang telah ditetapkan. Draf awal desain dan implementasi the MID-Model adalah:
Deasin Implementasi
1. Tujuan Pembelajaran 2. Materi Pembelajaran 3. Media/Sumber Belajar 4. Prosedur
a. Lead in I) Draw on experience and knowledge
b. Reconstruction 2) Input stage 3) Reinforcement stage
c. Production 4) Application stage
5. Evaluasi
Bagan 4.5 Draf Awal Desain/Implementasi the MID-Model
b. Modifikasi desain the MID-Model
Setelah uji coba model terbatas berjalan sampai pada putaran kedua tampak
adanya suatu kesenjangan yang menghambat arus dan kepaduan proses belajar dari tahap
input ke tahap aplikasi. Dengan tahap Reinforcement saja tampaknya tidak cukup
memuluskan proses informasi yang diperoleh dari tahap input untuk masuk ke tahap
Application. Untuk itu, atas hasil observasi dan umpan balik yang dilakukan bersama
peneliti dan guru penguji coba, diambil keputusan menempatkan satu fase kegiatan yang
dapat menjembatani kesenjangan dimaksud, yaitu tahap Generalization. Tahap itu
membantu siswa menarik kesimpulan pelajaran melalui mediasi guru. Maka, pada uji
coba ketiga, keempat, dan kelima implementasi model menjadi:
225
Deasin Implementasi
1. Tujuan Pembelajaran 2. Materi Pembelajaran 3. Media/Sumber Belajar 4. Prosedur
a. Lead in 1) Draw on experience and knowledge
b. Reconstruction 2) Input stage
3) Generalization stage
4) Reinforcement stage
c. Production 5) Application stage
5. Evaluasi
Bagan 4.6 Modifikasi Desain/Implementasi the MID-Model
c Desain akhi r the MID-Model
Setelah uji coba model terbatas berjalan sampai pada putaran ketiga dan keempat,
serta uji coba model lebih luas putaran kelima, hasil pengamatan dan evaluasi
menunjukkan bahwa kegiatan Reinforcement tidak lebih penting dari empat tahap
lainnya. Ternyata peran penguatan itu dapat digantikan oleh peran Generalization. Ketika
siswa telah menangkap esensi materi melalui proses pengambilan kesimpulan yang
dimediasi guru, fungsi 'penguatan' sekaligus menyatu (embedded) dalam proses
pengambilan kesimpulan itu. Selain itu, masukan guru pada uji coba kelima akan
pentingnya tahap review juga diakomodasi, sehingga menjadi Generalization and review
stage. Tahap generalization membimbing siswa melakukan abstraksi dan hipotesis
tentang konsep-konsep bahasa dan informasi baru melalui tahap-tahap kegiatan
226
terbimbing atau dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan terarah untuk menarik
kesimpulan pelajaran, dan Review mengarahkan siswa melakukan refleksi terhadap apa
yang telah dipelajari saat itu dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya.
Oleh karena itu, memasuki siklus uji coba model lebih luas yang keenam, dan
ketujuh kegiatan Reinforcement tidak lagi masuk dalam model pembelajaran yang
dikembangkan. Posisi dan perannya sekaligus diganti dengan kegiatan Generalization
and Review. Dalam aplikasi tahap itu ada pertanyaan terarah yang sekaligus
menggantikan peran penjelasan guru untuk mengarahkan siswa mengambil kesimpulan
secara mandiri, dan juga penyadaran akan kemajuan belajarnya. Tahap model
pembelajaran dimaksud tampak lebih sederhana, sebagai berikut:
Desain/Implementasi the M ID-Model S iap Validasi
Desain Implementasi
1. 2. 3. 4 .
Tujuan Pembelajaran Materi Pembelajaran Sumber Belajar Prosedur Pembelajaran
(Phase of learning) a. Lead in ]) Draw on experience and knowledge
b. Reconstruction 2) Input stage 3) Generalization and Review stage
c. Production 4) Application
5. Evaluasi
Bagan 4.7 Desain/Implementasi the MU)-Model Siap Validasi
Dari observasi dan tanggapan guru penguji coba setelah melakukan pembelajaran
pada uji coba model keenam dan ketujuh diperoleh data bahwa dengan dikeluarkannya
227
tahap Reinforcement, langkah model pembelajaran semakin padu terkait satu sama lain
sebagai satu sistem, mendukung proses pembelajaran bermakna untuk meningkatkan
kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif.
Pertimbangan yang diambil sehingga Generalization dimasukkan menjadi bagian
dari fase Reconstruction (input + generalization and review) adalah berdasarkan
pengamatan dalam dua fase ini terjadi proses asimilasi, akomodasi dan gabungan
keduanya yang menghasilkan adaptasi atau kecocokan yang lebih lengkap yang disebut
"belajar". Prinsip inilah yang membedakan antara model the 4Math System dengan
model pembelajaran yang dikembangkan.
Pada titik itu telah diperoleh model pembelajaran yang siap memasuki uji validasi
dengan menggunakan metode penelitian eksperimen, melibatkan enam sekolah dasar
dengan rincian tiga kelas eksperimen dan tiga kelas kontrol yang berbeda menurut
tingkat kategorisasi relatif yang ditetapkan.
7. Uji Validasi Model
Untuk mengetahui efektivitas model, diperlukan uji validasi yang bertujuan untuk
memperoleh informasi tentang dampak yang ditimbulkan implementasi the MID-Model
pada hasil belajar, motivasi dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
Sesuai dengan sifat data dan permasalahan yang dikemukakan, maka digunakan
teknik statistik non-parametrik dengan the Wilcoxon Test untuk sampel beda
{independent samples). Hal itu juga didasarkan atas pertimbangan bahwa rancangan
penelitian yang digunakan pada tahap ini adalah two group pretest-posttest design.
Sebelum uji validasi, terlebih dahulu dilakukan pretes untuk memperoleh
informasi tentang kemampuan komunikatif awal siswa kelompok eksperimen dan
228
Kategori/KIp. Perlakuan
N Mean Std. Deviation
I-a v en e Statistic
dfl df2 Sig.
Baik/ Eksperimen Kontrol
35 33
5.3497 5.2606
1.47325 1.33797
0,225 1 66 0,637
Total 68 5.3065 1.39945
Sedang/ Eksperimen Kontrol
31 33
6.3010 5.6200
1,95741 1.61179
0,215 1 62 0,644
Total 64 5.9498 1.80602
Kurang/ Eksperimen Kontrol
30 30
6.2393 6.1183
0,94635 0.92139
0,025 1 58 0,874
Total 60 6.1788 0,92801
a. Uji Validasi pada sekolah berkategori baik
1) Hasil belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji
validasi sekolah berkategori baik adalah 1,968, sedangkan rata-rata pada kelompok
kontrol adalah 0,919. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk pengujian validitas
model yang dikembangkan disajikan pada tabel berkut.
kontrol; Untuk menguji homogenitas varian, digunakan Test of Homogeneity of
Variances.'Pada. Tabel 4.10 tampak bahwa sebelum uji validasi, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara skor rata-rata kemampuan komunikatif kelompok eksperimen dan
kontrol, dengan harga statistik Test of Homogeneity of Variances masing-masing 0,637,
0,644, dan 0,874 bagi kelompok eksperimen dan kontrol dalam tiga kategori sekolah.
Tabel 4.10 Kemampuan Komunikatif Siswa
Sebelum Uji Validasi Test of Homogeneity of Variances
229
Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Hasil Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Simpangan
Baku WiIcoxon
*j ^
Eksperimen 1,968 0,867 764.500 < 0,005 Kontrol 0,919 0,749
764.500 < 0,005
•w Pada tabel di atas tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 764,500. Harga itu
memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen
lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa
Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang diujicobakan
terhadap hasil belajar bahasa Inggris pada murid sekolah dasar tempat penelitian.
2) Motivasi belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok
eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori baik adalah 12,80, sedangkan rata-rata
pada kelompok kontrol adalah 10,06. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk
pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada berikut.
Tabel 4.12
Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Simpangan
Baku Wilcoxon P
Eksperimen 12,80 10,70 1025.000 0,163 Kontrol 10,06 5,58
1025.000 0,163
Pada Tabel 4.12 tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris
pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (12,80 >
230
10,06). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak positif yang
-ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap motivasi belajar bahasa Inggeris.
# "iilgrga. statistik uji Wilcoxon adalah 1025,00 memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar
0,T63. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, tidak ada perbedaan
yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam
motivasi belajar bahasa Inggeris. Dengan perkataan lain, model yang diujicobakan
berdampak secara tidak signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris.
Temuan di atas konsisten dengan aspek-aspek motivasi intrinsik yang
menunjukkan skor rata-rata yang sudah tinggi sebelum dan setelah perlakuan, dengan
implementasi the MID-Model bagi kelompok eksperimen dan dengan model
pembelajaran konvensional bagi kelompok kontrol. Hal itu juga sejalan dengan temuan
pada hasil wawancara siswa pada sekolah berkategori baik. Terdapat beberapa kegiatan
dalam implementasi the MID-Model yang kurang berpengaruh/berkesan bagi siswa. Hal
itu disebabkan karena siswa pada sekolah berkategori baik sudah memiliki motivasi yang
tinggi sehingga dengan cara apa pun seorang guru menciptakan pengalaman belajar,
siswa akan tetap memiliki dorongan yang kuat—intrinsic motivation.
3) Sikap belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran sikap pada pelajaran Bahasa Inggeris kelompok
eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori baik adalah 15,37, sedangkan rata-rata
pada kelompok kontrol adalah 8,12. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk
pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut.
231
Tabel 4.13 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model pada
Sikap terhadap Pembelajaran Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Simpangan
Baku Wilcoson P
Eksperimen 15,37 14,84 964.000 0,032 Kontrol 8,12 13,23
964.000 0,032
Pada Tabel 4.13 tampak bahwa harga rata-rata sikap terhadap pembelajaran
bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok
kontrol (15,37 > 8,12). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak
positif yang ditimbulkan oleh model pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
Harga statistik uji Wilcoxon adalah 964,000 memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar
0,032. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan yang
signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol di kalangan
murid sekolah dasar pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggeris. Dengan
perkataan lain, model yang diujicobakan berdampak positif secara signifikan terhadap
sikap pada pembelajaran bahasa Inggris.
b. Uji validasi model pada sekolah berkategori sedang
1) Hasil belajar bahasa Inggris
Rata-rata hasil tes belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi
sekolah berkategori sedang adalah 1,620, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol
adalah 0,620. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas model
disajikan pada tabel berikut.
232
Tabel 4.14 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Hasil Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Sim pangan
Baku Wilcoxon P
Eksperimen 1,620 0,972 754.500 < 0,005 Kontrol 0,620 0,709
754.500 < 0,005
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 754.500. Harga itu
memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen
lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa
Inggris. Hal itu berarti pula bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang
signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba.
2) Motivasi belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok
eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori sedang adalah 12,29, sedangkan rata-
rata pada kelompok kontrol adalah 0,736. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk
pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada Tabel 4.14 di bawah ini.
Tabel 4.15 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Motivasi Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Sim pangan Baku
Wilcoxon P
Eksperimen 12,29 9,060 924.500 0,047 Kontrol 0,736 8,979
924.500 0,047
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris
pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (12,29 >
233
0,736). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif
yang ditimbulkan oleh model yang dikembangkan terhadap motivasi belajar bahasa
Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 924.500, memiliki peluang kekeliruan (P)
sebesar 0,047). Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada
perbedaan motivasi yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan rata-rata
kelompok kontrol terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Hal itu berarti pula bahwa
model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar
bahasa Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba.
3) Sikap belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris
kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori sedang adalah 22,13,
sedangkan rata-rata kelompok kontrol adalah 3.55. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon
untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.16 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Sikap Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Sim pangan
Baku Wilcoxon P
Eksperimen 22,13 20,843 821.000 0,001
Kontrol 3,55 17,901 821.000 0,001
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata sikap pada pembelajaran bahasa
Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol
(22,13 > 3,55). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif
yang ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap sikap pada pembelajaran
bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 821.000, memiliki peluang kekeliruan
(P) < 0,05 (P = 0,001). Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95% ada
perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
terhadap sikap dalam pembelajaran bahasa Inggris. Dengan perkataan lain, model yang
diuji validasi berdampak positif secara signifikan terhadap sikap siswa pada pembelajaran
bahasa Inggris.
c Uji validasi model pada sekolah berkategori kurang
1) Hasil belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggeris kelompok eksperimen pada uji
validasi sekolah berkategori kurang adalah 1,819, sedangkan rata-rata pada kelompok
kontrol adalah 0,857. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas
model yang dikembangkan disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.17
Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Sim pangan
Baku Wilcoion P
Eksperimen 1,819 0,855 628.500 0,000 Kontrol 0,857 0,699
628.500 0,000
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 628.500. Harga itu
memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen
lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa
Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang divalidasi
terhadap hasil belajar bahasa Inggeris pada murid sekolah dasar tempat penelitian.
235
1) Motivasi belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok
eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori kurang adalah 15,57, sedangkan rata-
rata pada kelompok kontrol adalah 1,70. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk
pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.18
Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Sim pangan
Baku Wilcoxon P
Eksperimen 15,57 11,732 617.000 0,000 Kontrol 1,70 9,809
617.000 0,000
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris
pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (15,57 >
1,70). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif yang
ditimbulkan oleh model itu terhadap motivasi belajar Bahasa Inggris bagi siswa sekolah
dasar. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 617.000, memiliki peluang kekeliruan (P) <
0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan
motivasi yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Atau, model yang diujicobakan berdampak positif
secara signifikan pada motivasi terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
3) Sikap belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor hasil pengukuran sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris
kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori kurang adalah 18,10,
sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 5,42. Ringkasan perhitungan uji
236
WiIcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 4.19
Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Sikap pada Pembelajaran Bahasa Inggris
Kelompok Perlakuan
Rata-rata Simpangan
Baku Wilcoxon P
Eksperimen 18,10 19,99 920.500 0,013 Kontrol 5,42 16,72
920.500 0,013
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata sikap terhadap pembelajaran
bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok
kontrol (18,10 > 5,42). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak
positif yang ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap sikap pada pembelajaran
bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 920.500 memiliki peluang kekeliruan
(P) sebesar 0,013. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada
perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
di kalangan murid sekolah dasar pada sikap terhadap pelajaran bahasa Inggeris. Dengan
perkataan lain, model yang diujicobakan berdampak secara signifikan pada sikap
terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
a. Hasil uji validasi model terhadap hasil belajar, motivasi, dan sikap siswa
dalam tiga kategori sekolah.
Dalam Tabel 4.20, 4.21, dan 4,22 disajikan ringkasan perbandingan hasil
belajar kelompok sekolah dasar berkategori baik, sedang, dan kurang. Demikian juga
hasil pengukuran motivasi dan sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
237
1) Hasil belajar bahasa Inggris
Tabel 4.20 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Hasil Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
Kategori Sekolah
Kelompok Perlakuan
Rata-rata
Simpang an Baku
WiIcoxon P
Baik Eksperimen
Kontrol
1,968
0,919
0,867
0,749
764,500 < 0,005
Sedang Eksperimen
Kontrol
1,620
0,619
0,972
0,709
754,500 < 0,005
Kurang Eksperimen
Kontrol
1,819
0,857
0,855
0,699
628,500 < 0,005
Pada tabel di atas, tampak harga rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggris
kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih besar
dari rata-rata pada kelompok kontrol. Harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel
memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat
signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, ada dampak
positif yang signifikan dari model yang diujicobakan terhadap hasil belajar bahasa
Inggris siswa kelas V dari tiga kategori sekolah tempat uji coba.
238
2) Motivasi belajar bahasa Inggris
Tabel 4.21 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap
Motivasi Belajar Bahasa Inggris Bagi Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
Kategori Sekolah
Kelompok Perlakuan
Rata-rata
Simpang an Baku
Wilcoxon P
Baik Eksperimen
Kontrol
12,80
10,06
10,701
5,579
1025,000 0,163
Sedang Eksperimen
Kontrol
12,29
7,36
9,060
8,979
924,500 0,047
Kurang Eksperimen
Kontrol
15,57
1,70
11,732
9,809
617,000 0,000
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata skor tes motivasi belajar bahasa
Inggris kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih
besar dari rata-rata pada kelompok kontrol. Namun, harga statistik uji Wilcoxon pada
sekolah berkategori baik (1025.000) memiliki peluang kekeliruan (P) > 0,05, atau P =
0,163. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, tidak ada perbedaan
yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada
motivasi belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, model yang diujicobakan tidak
berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris pada siswa
kelas V sekolah dasar berkategori baik tempat uji coba.
Hal itu berbeda dengan sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada keduanya, harga
rata-rata skor tes motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen lebih besar dari
rata-rata kelompok kontrol. Dengan harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel, yang
masing-masing memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05, (atau P = 0,047, dan (P) =
239
Kategori Sekolah
Kelompok Perlakuan
Rata-rata
Simpang an Baku
Wilcoxon P
Baik Eksperimen
Kontrol
15,37
8,12
14,840
13,228
964,000 0,032
Sedang Eksperimen
Kontrol
22,13
3,55
20,843
17,901
821,000 0,001
Kurang Eksperimen
Kontrol
18,10
5,41
19,992
16,715
920,500 0,013
Pada tabel di atas, tampak harga rata-rata skor tes sikap belajar bahasa Inggris
kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih besar
dari rata-rata pada kelompok kontrol. Harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel
memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat
signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Itu berarti
pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang diujicobakan terhadap sikap
0,000), maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol pada motivasi belajar. Itu berarti pula, model yang
diujicobakan berdampak positif secara signifikan terhadap motivasi belajar bahasa
Inggris pada siswa kelas V sekolah dasar berkategori sedang dan kurang.
3) Sikap belajar bahasa Inggris
Tabel 4.22
Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Mode! Terhadap Sikap Belajar Bahasa Inggris
Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
240
dalam pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa kelas V, tiga kategori sekolah tempat uji
coba.
e. Hasil wawancara pada uji validasi model
Wawancara dilakukan setelah uji validasi model dilaksanakan, yaitu tanggal 6, 8,
dan 9 Juni 2005. Wawancara melibatkan 15 orang responden siswa dari tiga sekolah
berkategori baik, sedang, dan kurang, jadi, jumlah siswa pada masing-masing sekolah
adalah 5 orang yang diambil secara acak. Dengan teknik pengambilan sampel seperti itu
diharapkan responden yang terpilih akan dapat secara representatif mewakili karakteristik
subjek pada sekolah masing-masing.
Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh informasi perihal 'dampak yang
ditimbulkan the MID-Model terhadap motivasi, dan sikap positif siswa setelah mengikuti
pembelajaran. Informasi yang diperoleh bermanfaat sebagai data pendukung dari data
yang telah diperoleh melalui tes motivasi dan sikap yang diberikan sebelumnya. Model
wawancara adalah 'wawancara tak berstruktur'—pewawancara mengajukan pertanyaan
secara garis besar kemudian, dalam topik yang sama, melanjutkan dengan pertanyaan
yang lebih spesifik untuk menggali informasi lebih dalam. Sedikit ada hambatan dengan
teknik itu karena siswa sering tidak bisa menjawab sesuai harapan.
Alat/media yang digunakan dalam wawancara adalah tape-recorder, ditambah
dengan catatan seperlunya berkenaan dengan identitas siswa, dan hal lain yang dianggap
mendukung.
Garis besar pertanyaan adalah (1) Bagaimana pendapat kamu tentang cara belajar
bahasa Inggris sekarang ini? Mengapa? Kamu suka atau tidak suka, alasan? (2)
Bagaimana cara belajar sebelumnya? Kamu suka atau tidak suka, alasan? (3) Kalau cara
belajar yang dulu dengan yang sekarang dibandingkan, mana yang mendariwig
lebih giat belajar? Mengapa, bisa dijelaskan? (4) Menurut r jengaIamW|k^iu / a $ F
perbedaan dianfcra keduanya, da„ (5) Dengan eara bdajar seperti sCcurarfg.'apakah
kamu ingin terus belajar bahasa inggris atau tidak? Mengapa?
Pewawancara tetap mempertimbangkan bahasa yang berterima bagi siswa ketika
melakukan wawancara. Selain itu, wawancara juga dilakukan dalam situasi yang sangat
bersahabat agar siswa tidak merasa 'terintimidasi' yang dapat mempengaruhi autentisitas
jawaban yang diberikan.
Seperti telah dijelaskan pada Bab III, teknik yang digunakan menganalisis hasil
wawancara adalah mempelajari hasil rekaman wawancara dan catatan-catatan yang
relevan (field note), memilah-milah (to fracture) informasi dan mengkategorisasikannya
(categorizing) ke dalam beberapa fokus melalui pengkodean berdasarkan tema/topik
yang sama. Jawaban responden menghasilkan enam kategori, yaitu: (1) langkah
pembelajaran (procedure/technique), (2) peran guru-siswa, dan hubungan keduanya yang
menciptakan pengalaman belajar (social system/atmosphere) yang terbangun dari aplikasi
model, (3) menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang diberikan (exploration), (4)
kesempatan menggunakan bahasa Inggris (opportunities), (5) berbahasa Inggris atas
keinginan sendiri untuk menyampaikan pesan (real use), dan (6) belajar melalui Format
terstruktur kaku versus belajar dengan format terstruktur fleksibel (format), serta (7) kerja
sama dalam belajar (collaborative learning).
Dari kategori-kategori itu, kemudian dilakukan pemaknaan (contextualizing)
informasi/data yang dikaitkan dengan dampak model terhadap motivasi dan sikap siswa
setelah mengalami pembelajaran dengan the MID-Model. Hasilnya digunakan untuk
242
melakukan pembandingan (comparing and contrasting) agar diperoleh karakteristik
masing-masing siswa dari sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang. Melalui strategi
pembandingan ditemukan keteraturan (regulations) yang mengarah kepada karakteristik
siswa dari masing-masing kategori sekolah sebagai berikut.
1) Prosedur dan teknik pembelajaran
Pada sekolah berkategori baik, prosedur pembelajaran cenderung ditanggapi
sebagai sesuatu yang mendorong mereka berusaha sendiri dalam memahami pelajaran,
tidak sepenuhnya bergantung pada guru. Hal itu dianggap baik karena mereka berusaha
sampai dapat menyelesaikan tugas secara mandiri. Pada sekolah berkategori sedang,
prosedur pembelajaran cenderung dikaitkan dengan cara (teknik) guru menyampaikan
pelajaran yang membuat mereka dapat berkomuikasi secara langsung dalam bahasa
Inggris. Pada sekolah berkategori kurang, prosedur pembelajaran cenderung dipersepsi
sebagai cara guru menyampaikan pelajaran yang tidak menegangkan. Kalau jawaban
tugas yang diberikan belum diketahui, guru memberi bantuan walaupun secara tidak
langsung.
Temuan #1
Bagi sekolah berkategori baik, prosedur dan teknik pembelajaran the MID-
Model dipersepsi sebagai sesuatu yang mendorong mereka untuk mampu
belajar secara mandiri.
Temuan #2
Bagi sekolah berkategori sedang, prosedur dan teknik pembelajaran the
MID-Model dipersepsi sebagai sesuatu yang dapat memfasilitasi mereka
berkomunikasi secara langsung dalam bahasa Inggris.
Temuan #3
Bagi sekolah berkategori kurang, prosedur dan teknik pembelajaran the
MID-Model dipersepsi sebagai pembelajaran yang tidak menegangkan.
243
2) Sistem sosial/atmosfir dalam kelas
Pada sekolah berkategori baik, siswa merasa dekat dengan guru karena cara guru
membimbing dilakukan dengan sangat bersahabat. Guru menempatkan diri dan berperan
sebagai pembelajar dalam diskusi atau dalam aktivitas dimana siswa dalam proses
menyelesaikan tugas-tugas. Dengan peran seperti itu, siswa merasa terdorong untuk
menyelesaikan tugas-tugas. Selain itu, siswa merasa nyaman, bebas dari suasana tertekan
dalam kelas. Pada sekolah berkategori sedang, jawaban siswa hanya secara samar-samar
menyinggung peran guru dan hubungan yang dibangun dengan siswa dalam
melaksanakan pembelajaran. Walau demikian, mereka merasakan bahwa suasana belajar
bebas dari rasa cemas. Sedangkan pada sekolah berkategori kurang, siswa mempersepsi
peran dan hubungan yang dibangun guru dalam proses pembelajaran sangat baik—"guru
tidak marah kalau (kami) salah, malah membimbing". Siswa merasa tidak tertekan dan
terpaksa menyelesaikan tugas-tugas.
Temuan #4
Pada sekolah berkategori baik dan kurang, siswa mempersepsi kalau peran
dan hubungan yang dibangun guru dengan siswa tidak formal, karena itu
membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Temuan #5
Pada sekolah berkategori sedang, siswa cenderung tidak memberikan kesan
kalau peran dan hubungan yang dibangun guru dengan siswa formal atau
tidak formal sehingga membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Temuan #6
Pada tiga kategori sekolah, siswa memberikan tanggapan bahwa proses
pembelajaran berlangsung dalam suasana yang bebas dari rasa cemas.
244
3) Menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang diberikan.
Pada sekolah berkategori baik, siswa menanggapi bahwa mereka mencari dan
menemukan sendiri makna kata dan kalimat melalui mediasi guru. Hal itu dianggap
berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya, di mana guru memberitahu arti kata dan
kalimat bahasa Inggris. Sebagian responden mengakui kedua cara itu baik, yang lainnya
mempersepsi bahwa kegiatan menemukan sendiri lebih baik karena mendorong mereka
berusaha dalam belajar. Pada sekolah berkategori sedang, tak satu pun jawaban siswa
yang menyinggung bahwa mereka menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang
diberikan. Hal itu berarti dua kemungkinan, guru lemah dalam memediasi siswa dengan
pengalaman belajar yang bertumpu pada kegiatan mencari dan menemukan sendiri
jawaban tugas-tugas itu, atau siswa menanggapinya bahwa kondisi seperti itu bukan
sesuatu yang baru bagi mereka. Sedangkan pada sekolah berkategori kurang, siswa
memiliki kesan bahwa mereka mencari dan menemukan sendiri jawaban tugas-tugas
yang diberikan, menurutnya "guru cuma membimbing". Sebagian responden
mengungkap bahwa hal itu berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya.
Temuan #5
Bagi sekolah berkategori baik dan kurang, kegiatan mencari dan
menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang dimediasi guru dipersepsi
sebagai sesuatu yang positif, dan hal itu berbeda dari pengalaman belajar
sebelumnya.
Temuan #6
Bagi sekolah berkategori sedang, kegiatan mencari dan menemukan sendiri
jawaban tugas-tugas yang dimediasi guru dipersepsi sebagai sesuatu yang
biasa saja, tidak ada kesan tersendiri.
245
4) Kesempatan menggunakan bahasa Inggris
Pada sekolah berkategori baik, hanya sebagian siswa menanggapi bahwa mereka
memperoleh kesempatan menggunakan bahasa Inggris dengan kalimat sendiri. Walaupun
pada umumnya mengakui bahwa pembelajaran dulu dengan sekarang berbeda. Dulu
percakapan dilakukan melalui buku sumber—membaca dialog, sekarang bercakap-cakap
sendiri. Pada sekolah berkategori sedang, semua siswa menanggapi bahwa mereka
memperoleh kesempatan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, antara lain, " kita
berkomunikasi secara langsung". Percakapan seperti itu dapat ditemukan sehari-hari. Hal
itu berbeda dengan dulu, dulu bercakap melalui buku sumber. Pada sekolah berkategori
kurang, inti jawaban siswa kurang lebih sama dengan jawaban pada sekolah berkategori
sedang.
Temuan #7
Bagi sekolah berkategori baik, kesempatan menggunakan bahasa Inggris
cenderung kurang berkesan, walau mereka yakin bahwa dengan cara itu
pembelajaran bahasa Inggris sekarang berbeda dari yang dialami
sebelumnya.
Temuan #8
Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, kesempatan menggunakan
bahasa Inggris ditanggapi positif, dan dengan cara itu pembelajaran
sekarang berbeda dari yang dialami sebelumnya.
5) Berbahasa Inggris karena ingin berkomunikasi
Pada sekolah berkategori baik, jawaban siswa tidak banyak menyinggung bahwa
mereka berbahasa Inggris karena ada pesan yang ingin disampaikan, hal itu konsisten
dengan kenyataan yang ditemukan pada butir 4 di atas. Aktivitas yang dibangun the
MID-Model dalam memfasilitasi penggunaan bahasa secara nyata (non-pedagogis)
246
kurang berkesan. Tidak diperoleh informasi yang dapat memperjelas akan hal itu. Pada
sekolah berkategori sedang, jawaban siswa banyak yang mendukung bahwa mereka
melakukan percakapan karena ada pesan yang ingin disampaikan, antara lain "saya
mengeluarkan pendapat sendiri dalam bercakap-cakap." Persepsi itu konsisten dengan
apa yang dikemukakan pada butir 4 di atas. Pada sekolah berkategori kurang, inti
jawaban siswa kurang lebih sama dengan jawaban pada sekolah berkategori sedang.
Temuan #9
Bagi sekolah berkategori baik, berbahasa Inggris (realistic) karena ada
pesan yang ingin disampaikan melalui aktivitas yang dibangun dalam
pembelajaran cenderung kurang berkesan.
Temuan #10
Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, berbahasa Inggris (realistic)
karena ada pesan yang ingin disampaikan melalui aktivitas yang dibangun
dalam pembelajaran, ditanggapi positif oleh siswa.
6) Format belajar terstruktur kaku versus terstruktur fleksibel
Pada sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang, tidak dapat dipilah dalam
menanggapi kategori ini. Siswa mengemukkan adanya perbedaan antara cara guru
memberi pelajaran bahasa Inggris sekarang dan sebelumnya. Perbedaan yang paling
dirasakan adalah bahwa guru dulu terikat dengan buku sumber dalam menyajikan
pelajaran, sekarang tidak. Bercakap-cakap dalam pelajaran sebelumnya dilakukan dengan
membaca buku sumber—tidak bercakap sesuai keinginan. Sekarang, menurut mereka
"berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan teman secara langsung"—sesuai dengan
keinginan sendiri. Sebagian kecil siswa menanggapi cara itu sebagai sesuatu yang kadang
menyulitkan, yang lain menanggapi secara positif dengan mengatakan itu "dapat
memperluas pengetahuan bahasa Inggris kita".
247
Sebagian siswa menyatakan senang belajar dengan buku sumber, seperti juga
dengan pembelajaran sekarang. Yang lain, lebih memperjelas keinginan belajar bahasa
Inggris dengan tidak terlalu terikat pada buku sumber. Karena dengan cara itu mereka
memperoleh kesempatan berbahasa Inggris sesuai keinginan sendiri—ada pesan yang
ingin disampaikan yang mendorong keinginan berkomunikasi, sehingga tidak terpaksa
dan tidak takut salah.
Temuan #11
Sebagian siswa menginginkan pembelajaran yang tidak terpaku pada
jawaban benar-salah, seperti yang ditemukan dalam kebanyakan buku
sumber, akan tetapi menginginkan pembelajaran yang lebih memberi
kesempatan untuk mengekspresikan diri sendiri.
Temuan #12
Terdapat siswa yang mempersepsi belajar dengan (terpaku pada) buku
sumber sama baiknya dengan pembelajaran sekarang—pembelajaran yang
dikembangkan the MJD-Model.
7) Kerja sama dalam belajar
Pada sekolah berkategori baik, jawaban siswa tidak banyak menyinggung
kerjasama dalam belajar. Aktivitas proses pembelajaran dalam kategori ini, yang
dibangun oleh the MID-Model, kurang berkesan bagi mereka. Tanggapan siswa terhadap
kategori ini sama dengan kategori pada butir 5 di atas. Tidak terjaring informasi yang
dapat memperjelas hal itu. Pada sekolah berkategori sedang, jawaban siswa banyak
menyinggung dan sangat mengapresiasi kategori ini. Menurut mereka, antara lain "Saya
bekerja sama dengan teman, bukan saja pendapat saya yang diambil, tapi pendapat teman
sebangku saya juga". Pada sekolah berkategori kurang, inti jawaban siswa sama dengan
248
jawaban pada siswa sekolah berkategori sedang. Salah satu jawaban siswa, "Kerja
kelompok bagus, karena saling mendengarkan pendapat yang berbeda".
Temuan #13
Bagi sekolah berkategori baik, bekerja sama dalam kelompok melalui
aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran the MID-Model cenderung
kurang berkesan.
Temuan #14
Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, bekerja sama dalam kelompok
melalui aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran the MID-Model,
ditanggapi positif oleh siswa.
B. Interpretasi Hasil Penelitian
Dalam subbab ini dibahas interpretasi temuan penelitian yang berkenaan dengan
pengembangan draf awal desain the MID-Model untuk mengembangkan kompetensi
komunikatif, motivasi dan sikap belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar, hasil
implementasi model, dan faktor-faktor yang mendukung pengembangan model.
1. Interpretasi Terhadap Pengembangan Desain the MID-Model
a. Komponen desain the MID-Model
Draf awal desain the MID-Model dikembangkan berdasarkan hasil kajian teori-
teori belajar, pengaruh the 4Mat System McCarthy yang telah di adaptasi untuk
pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua bagi siswa sekolah dasar, dan analisis
kebutuhan lapangan. Desain the MID-Model adalah strategi yang terdiri atas seperangkat
langkah konseptual dalam pola pemikiran yang tersaji secara utuh, memiliki tujuan,
materi, dan model evaluasi proses dan hasil belajar. Pola itu dapat dituangkan ke dalam
implementasi berupa tahapan kegiatan pembelajaran yang komponennya berorientasi
terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
pada pengembangan kemampuan komunikatif, dan berimplikasi pada motivasi^
Desain model itu menganut Comparative Summeries yang memadukan\tiga_TC^
belajar utama, yaitu teori behavioris, kognitif, dan konstruktif. Masing-masing teori
memberi sumbangan relatif terhadap komponen: tujuan untuk mencapai kompetensi
dasar, materi pembelajaran, tahap/kegiatan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil
belajar. Keempat komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dengan aplikasi the MID-Model adalah
untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris "lisan dan tulis" (discourse
competence) sederhana melalui interaksi komunikatif. Interaksi komunikatif itu
memfasilitasi pemerolehan input linguistik dan pesan secara bersamaan tanpa ada
tekanan penguasaan yang dipaksakan. Diharapkan juga bahwa dengan aplikasi model itu
siswa termotivasi untuk belajar dan memiliki sikap positif terhadap bahasa Inggris
sebagai mata pelajaran di sekolah dasar.
Pengembangan tujuan pembelajaran secara konseptual mengacu pada tingkat
literasi yang ditargetkan kepada siswa sekolah dasar yakni tingkat performattve—mampu
membaca, menulis, dan berbicara dengan simbol-simbol bahasa Inggris yang digunakan.
Aspek lain yang terkait dengan tujuan adalah fokus pembelajaran. Fokus pembelajaran
lebih diarahkan pada fluency (kelancaran berbahasa) daripada accuracy (ketepatan
berbahasa). Namun, pada kesempatan tertentu keduanya memiliki titik berat yang sama.
Materi dikembangkan berdasarkan atas prinsip-prinsip pembelajaran yang
relevan, misalnya melalui prinsip here and now, dan the zone of proximal development.
Bahan ajar disajikan dari hal-hal yang terdekat dengan pengalaman siswa, berangsur ke
250
hal-hai baru namun masih tetap dalam jangkauan kemampuan kognitifnya. Urutan dan
tingkat kesulitan (task complexity) bahan ajar disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif dan prinsip pemerolehan bahasa asing. Misalnya, memperhatikan kepekaan usia
operasi konkret dan hipotesis input. Perhatian pada usia operasi konkret membantu
memilah materi dan menghindari penyajian konsep-konsep bahasa yang abstrak. Dengan
hipotesis input, diharapkan pesan dapat dimengerti pada kesempatan yang sama dengan
input linguistik yang menjadi target pembelajaran.
Aspek lain yang erat kaitanya dengan bahan ajar adalah strategi penyampaian
yang sesuai dengan karakteristik siswa dan esensi bahan ajar. Metode/startegi
pembelajaran yang dipilih dalam uji coba dan validasi model adalah Total Physical
Response dan Integrated skills. Metode 7 * 0 / « / Physical Response (TPR) khusus
digunakan untuk mengembangkan keterampilan menyimak bagi pembelajar pemula.
Metode itu sangat sesuai digunakan untuk siswa sekolah dasar karena mencoba
mengkordinasikan pemahaman bunyi-bunyi bahasa dengan respon berupa gerak fisik
sebagai indikator pemahaman siswa. Dengan prinsip trial and error, kegiatan berbahasa
tidak mencemaskan dan cenderung memberikan pengalaman belajar yang
menyenangkan. Kesalahan merespon perintah dianggap sebagai sesuatu yang wajar
(developmental error) dalam proses pemahaman informasi dan konsep-konsep bahasa.
Strategi Integrated Skills mengembangkan keempat keterampilan berbahasa yang
dikemas dalam satu pertemuan secara utuh mencakup listening, speaking, reading, dan
writing. Startegi itu memfasilitasi pengalaman berbahasa dalam kerangka pengembangan
kompetensi komunikatif melalui wacana lisan dan tertulis. Dalam setiap pertemuan, ada
satu ketrampilan berbahasa yang menjadi fokus utama pengembangan. Sementara
251
ketrampilan berbahasa yang lain menjadi kegiatan pendukung. Fokus ketrampilan
berbahasa yang dikembangkan diatur secara bergantian sesuai kebutuhan dan dituangkan
ke dalam rencana pembelajaran.
Implementasi model di kelas merupakan aplikasi nyata dari strategi konseptual
yang telah diformulasi secara utuh. Implementasi itu berwujud penerapan strategi
operasional dalam tahapan kegiatan pembelajaran berbasis aktivitas rekonstruktif dan
komunikatif sebagai strategi untuk mencapai kompetensi komunikatif. Aktivitas
rekonstruktif membangun pemahaman siswa atas konsep-konsep bahasa tertentu melalui
pengalaman belajar yang relevan. Sedangkan aktivitas komunikatif mengembangkan
kemampuan berbahasa Inggris yang didorong oleh kemauan berkomunikasi karena rasa
ingin tahu tentang pesan yang dibawa oleh bentuk-bentuk teks ataupun sebuah ujaran.
Lingkungan kelas diciptakan demikian rupa sehingga siswa tidak merasa terbebani oleh
suasana belajar yang cenderung mengikat dan terpaksa. Strategi pembelajaran dimaksud
adalah: (1) Draw on experience and knowledge, (2) Input stage, (3) Generalization and
review stage, dan (4) Application stage. Strategi itu diturunkan dari desain the MID-
Model yang diformulasi atas: "(1) Lead in, (2) Reconstruction, dan (3) Production.
Untuk dapat mengukur kemampuan komunikatif sebagai hasil belajar, siswa
diberi seperangkat tes yang merujuk pada tingkat literast performative sebagai acuan
kemampuan atau keberhasilan belajar yang telah dinyatakan dalam tujuan pembelajaran.
Siswa menyelesaikan tes menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Tes berbicara
tidak dilakukan secara lisan melainkan secara tertulis karena masalah teknis dan waktu
yang sulit dipecahkan.
252
b. Proses modifikasi draf awal desain the MID-Model
Modifikasi draf awal desain the MTD-Model dilakukan dalam uji coba model
terbatas dan uji coba model lebih luas. Untuk memperoleh desain model halus yang siap
validasi, dibutuhkan tiga kali perubahan tahap pembelajaran dalam desain implementasi.
Pada siklus pertama dan kedua uji coba model terbatas dengan pembelajaran
listening dan reading, desain implementasi model yang diuji coba adalah Draw on
experience and knowledge (Lead in), Input stage. Reinforcement stage (Reconstruction),
dan Application stage (Production). Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi dengan
guru penguji coba disadari adanya suatu kekosongan (gap) dalam laju proses berpikir dari
tahap input ke tahap aplikasi. Kekosongan itu disebabkan ketiadaan kesimpulan pelajaran
yang dirumuskan secara eksplisit yang memungkinkan siswa mereview perolehan setelah
mengalami pembelajaran. Kesimpulan pelajaran diambil melalui sebuah proses berpikir
baik secara induktif maupun secara deduktif yang dimediasi guru.
Dengan demikian, kegiatan siswa tidak hanya menerima input melalui
penyelesaian tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan akan tetapi perlu kesempatan
khusus agar siswa belajar bagaimana menarik kesimpulan dari informasi dan atau
konsep-konsep bahasa yang dipelajari. Kegiatan itu diberikan setelah penyajian input
dalam tahap reconstruction, dan sebelum reinforcement. Langkah yang memfasilitasi
kesempatan khusus tersebut disebut generalisation.
Pada siklus ketiga dan keempat dengan pembelajaran speaking dan writing,
prosedur konseptual itu bertahan karena dianggap telah dapat merepresentasi model yang
diinginkan untuk mengembangkan kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap belajar
bahasa Inggris. Oleh karena itu, uji coba model secara terbatas dihentikan untuk
253
memasuki uji coba model lebih luas yang melibatkan tiga sekolah dalam tiga kateori,
baik, sedang, dan kurang.
Pada siklus kelima dengan dua kali pertemuan dalam pembelajaran listening dan
reading, prosedur pembelajaran yang diperoleh pada siklus sebelumnya diaplikasi dengan
pengamatan khusus pada lama waktu yang digunakan dan reaksi siswa setelah
menyelesaikan latihan pada tahap reinforcement. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
waktu yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikan tahap berikutnya. Selain itu ada
kecenderungan siswa pintar kurang bersemangat merespon latihan yang diberikan.
Setelah dua kali pertemuan pada uji coba model kelima di setiap kategori sekolah
selesai, peneliti bersama dengan ketiga guru penguji coba melakukan umpan balik
terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Akhirnya disepakati bahwa tahap
reinforcement sebaiknya dikeluarkan dari komponen model, dan tahap generalization
dilengkapi dengan review. Kesepakatan itu dilandasi asumsi bahwa kesimpulan pelajaran
yang ditarik sendiri berperan menumbuhkan kemandirian siswa, juga sebagai penguatan
terhadap materi yang telah dipelajari. Karena itu, peran generalisasi dapat mengganti
peran reinforcement. Prosedur ini bertahan sampai uji coba model ketujuh, diperolehnya
model pembelajaran yang siap untuk uji validasi.
2. Interpretasi Terhadap Strategi Konseptual the MID-Model
Sebagaimana telah diujicobakan, the MID-Model terdiri atas beberapa fase
pembelajaran yang mengikuti proses belajar atau pemecahan masalah yang secara
sistematis mengantar siswa mengaktifkan memori, memanfaatkan pengalaman baru dan
mengasosiasikannya dengan pengalaman yang telah dimiliki untuk memudahkan
pemahaman informasi dan konsep-konsep bahasa, melakukan abstraksi dan mengambil
254
kesimpulan pelajaran, dan akhirnya menggunakan kemampuan berbahasa dan
kebahasaan yang diperoleh ke dalam situasi dan konteks baru.
Lead m mengawali kegiatan pembelajaran. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengaktifkan informasi dan konsep-konsep bahasa yang telah dimiliki siswa agar siap
diasosiasikan dengan informasi dan konsep-konsep bahasa baru yang akan difasilitasi
guru pada fase berikutnya. Ada dua alternatif kegiatan dalam bentuk pengalaman belajar
yang dapat dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru mengajukan pertanyaan
penggali pengalaman (eliciting questions) dalam bahasa Inggris sebagai pemajanan.
Siswa menjawab pertanyaan ini dengan bahasa yang sama. Atau guru menunjukan
sebuah gambar dan semacamnya untuk dikomentari siswa. Oleh guru, akumulasi jawaban
siswa diarahkan untuk mendekati informasi dan atau konsep-konsep bahasa yang akan
dipelajari. Setelah siswa siap memasuki fase berikutnya, maka guru pun mengantar
dengan penjelasan singkat tapi fokus untuk menyadarkan akan keterkaitan topik yang
baru dibicarakan dengan apa yang dipelajari pada fase berikutnya.
Reconstruction adalah fase kedua kegiatan pembelajaran. Walaupun kegiatan ini
sepenuhnya terpulang kepada siswa sebagai pembelajar—the meaning maker terhadap
dunia sekitarnya—guru tetap dituntut untuk mampu memfasilitasi dan memediasi
pengalaman belajar yang relevan dengan kebutuhan siswa. Kebutuhan ditinjau dari sudut
perkembangan kemampuan berpikir, lingkungan kehidupan sosial, dan bagaimana
seorang anak usia kelas lima sekolah dasar memperoleh bahasa kedua/asing. Tujuan fase
ini adalah untuk memberikan pengalaman belajar agar siswa mampu mengeksplorasi dan
mendiskusikan informasi dan atau konsep-konsep bahasa melalui tugas dan kegiatan
pemecahan masalah di kelas—input stage. Siswa diharapkan mampu melakukan
255
abstraksi dan menarik kesimpulan pelajaran (cognitive process)—generalization, dan
secara bertahap menyadari bahwa ia mampu menjadi pembelajar mandiri (metacognitive
process).
Setelah siswa menyelesaikan tugas dan siap memasuki fase berikutnya, maka
guru pun mengantar siswa dengan penjelasan singkat tapi fokus untuk menyadarkan
pentingnya aplikasi pengetahuan yang diperoleh ke dalam situasi lain namun masih
dalam konteks yang sama melalui tugas dan kegiatan tertentu.
Production adalah fase terakhir kegiatan pembelajaran. Tujuan fase ini adalah
untuk memberi kesempatan kepada siswa menggunakan perolehan berupa informasi dan
konsep-konsep bahasa yang baru dipelajari ke dalam situasi yang berbeda. Tugas dan
latihan dilakukan secara terbimbing, namun siswa tetap memiliki kebebasan
mengekspresikan diri dalam konteks berbahasa dan kebahasaan yang dituntut. Agar arus
komunikasi berjalan lebih lancar, maka fokus pembelajaran lebih pada fluency daripada
accuracy, walaupun pada dasarnya keduanya saling mendukung.
Berdasarkan pengalaman implementasi model, penulis meyakini rangkaian
kegiatan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh, membentuk sistem pembelajaran
yang mengacu kepada alur berpikir untuk memecahkan masalah-masalah pedagogis dan
sosial melalui tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan. Aktivitas dan perilaku yang
menyatu pada setiap fase dilaksanakan atas dasar pertimbangan: kematangan berpikir
siswa (cognitive development), pemilihan materi yang berada satu tingkat di atas level
siswa namun masih dalam jangkauan kognitifnya (input hypothesis i + 1), penyediaan
mediasi guru bila diperlukan (scaffolding) yaitu ketika mereka berada pada posisi
disequilibrium, atau daerah dimana tugas dan latihan hanya bisa diselesaikan atas bantuan
256
guru (the zone of proximal devehpment), pemilihan metode dan strategi pembelajaran
bahasa asing yang mempertibangkan keseimbangan pengaktifan otak kanan dan otak kiri
(TPR) dan strategi pembelajaran Integrated Skills dengan fokus utama pada fluency dan
sesekali accuracy bila dipandang perlu.
3. Interpretasi Terhadap Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi Pembelajaran
Hasil implementasi model pembelajaran yang dikembangkan melalui uji coba
terbatas dan uji coba model lebih luas menunjukan bahwa: (1) rumusan kompetensi dasar
yang baik adalah yang mengacu pada "Standar Kompetensi" yang menggambarkan isi
atau pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diinginkan diperoleh siswa, (2) tujuan
pembelajaran telah dirumuskan untuk mencapai tindak bahasa (actional compelence)
menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang disajikan secara terintegrasi, (3)
indikator yang dirumuskan telah sejalan dengan tujuan, aktivitas, dan kemampuan nyata
siswa setelah mengikuti pembelajaran, dan (4) materi pembelajaran telah sesuai dengan
perkembangan intelektual siswa, menganut prinsip here and now, diorganisasikan dan
disajikan melalui aktivitas yang memfasilitasi pengembangan kemampuan komuniktif,
motivasi, dan sikap positif siswa. Organisasi dan kegiatan pembelajaran mencakup tiga
aspek dalam pembelajaran bahasa, yakni konteks, teks, dan sistem bahasa.
4. Interpretasi Terhadap Hasil Implementasi tbe MID-Model
Hasil implementasi model pembelajaran yang dikembangkan melalui uji coba
terbatas dan uji coba model lebih luas menunjukkan bahwa: (1) kemampuan guru yang
dipersyaratkan dalam menerapkan model pembelajaran untuk mengembangkan
kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa
257
Inggris semakin baik seiring dengan berjalannya siklus-siklus uji coba, (2)
kontekstualisasi kebahasaan yang dilakukan melalui media gambar dan alat bantu lainnya
semakin memberi kontribusi akan proses dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
bahasa yang dipelajari, (3) interaksi belajar-mengajar mengalami kemajuan secara
bertahap, (4) kemampuan komunikatif sebagai hasil-belajar siswa berkembang secara
bertahap, walaupun tingkat kemajuan ketrampilan wacana lisan dan tertulis berbeda-beda
karena perbedaan esensi dan karakteristik kebahasaan, (5) motivasi belajar siswa
memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti walaupun tidak sesignifikan dengan hasil
belajar, (6) sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris cenderung semakin positif,
dan (7) hambatan-hambatan selama uji coba model semakin dapat diminimalkan seiring
dengan berjalannya siklus-siklus uji coba.
Temuan di atas mengisyaratkan adanya perkembangan dan kemajuan secara
bertahap dari satu penerapan ke penerapan lainnya yang terjadi selama implementasi
model pembelajaran. Hal itu dimungkinkan karena uji coba model menggunakan sistem
siklis—setiap akhir sebuah siklus dilakukan evaluasi, penilaian dan perbaikan sehingga
kelemahan dapat diminimalkan sedikit demi sedikit. Dengan uji coba secara siklis
peneliti secara kolaborauf dengan guru penguji coba dapat merevisi dan merevisi
prosedur konseptual dan tahapan pembelajaran yang bersamanya melekat kegiatan dan
konsep-konsep bahasa yang ingin dikembangkan.
Pada subbab ini di kemukakan hal-hal yang terkait dengan interpretasi hasil
implementasi model pembelajaran yang diuji coba, meliputi:
258
a. Hubungan implementasi model dengan desain mode) pembelajaran
Implementasi model pembelajaran merupakan realisasi operasional dari
seperangkat langkah konseptual dalam saru kerangka berpikir yang utuh dalam bentuk
desain model pembelajaran. Apabila realisasi operasional konsisten dengan prinsip-
prinsip yang telah dibangun oleh sebuah model pembelajaran, maka akan menghasilkan
rangkaian aktivitas yang di dalamnya melekat perilaku dan nilai yang ingin
dikembangkan yang tidak terlepas dari tujuan pengembangan model. Selanjutnya,
konsistensi realisasi operasional di kelas akan menghasilkan tingkat kualitas
pembelajaran yang tidak terlepas dari kualitas desain model pembelajaran rujukannya,
dan pun juga dari penguasaan guru terhadap rencana yang telah dibuat secara kolaboratif.
Apabila implementasi the MID-Model yang telah diuji coba dan diuji validasi
menghasilkan temuan seperti yang dipaparkan di atas, maka dapat diyakini bahwa
sesungguhnya perilaku dan nilai tersebut diperoleh melalui sebuah rencana dan
penerapan model yang baik di kelas. Rencana dan penerapan secara operasional
merefleksi kualitas model pembelajaran yang telah diformulasi secara konseptual dalam
bentuk strategi pembelajaran yang rasionalnya dibangun atas teori-teori belajar yang
relevan.
b. Kualitas interaksi belajar-mengajar
Interaksi belajar-mengajar terkait dengan penciptaan pengalaman melalui tugas
dan latihan berbahasa dan kebahasaan serta suasana belajar yang memungkinkan siswa
mengambil manfaat melalui proses eksplorasi materi yang difasilitasi dan dimediasi guru.
Dengan model ini, keseimbangan keterlibatan siswa dan guru dalam setiap kegiatan
259
sangat mempengaruhi tinggi rendahnya taraf serap materi yang dapat diukur melalui
pengamatan dan tes hasil belajar.
Peningkatan kualitas interaksi belajar-mengajar ditandai dengan semakin
optimalnya peran siswa dan guru dalam memanfaatkan kesempatan berinteraksi secara
pedagogis dan secara sosial. Kedua tipe interaksi ini juga ditentukan oleh peran bahan
ajar dan tugas yang memungkinkan terjadinya proses belajar melalui pengalaman yang
diperoleh dari interaksi. Dalam implementasi the MID-Model, guru menggunakan materi
yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan perkembangan siswa dan merefleksi konteks
berbahasa yang relevan dengan dunia nyata, selain memenuhi konteks kebahasaan yang
diperlukan dalam mendukung kemampuan komunikatif siswa.
Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai dan
melaksanakan tahap-tahap pembelajaran pada tataran interaksi. Kalau pada siklus yang
satu dirasa masih lemah maka pada siklus lain berikutnya diperbaiki berdasarkan
masukan yang diperoleh melalui umpan balik. Keadaan seperti itu mengisyaratkan bahwa
guru penguji coba secara bertahap mampu mengkaji pengalaman dari siklus sebelumnya
dan menjadikan pengalaman itu sebagai titik balik perbaikan pada siklus-siklus
selanjutnya. Demikian pula dengan pengalaman mengikuti pembelajaran pada setiap
siklus, siswa secara berangsur-angsur melakukan peran yang semakin kondusif untuk
interaksi yang bersifat rekonstruktif dan komunikatif. Oleh karena, itu wajar kalau terjadi
peningkatan kualitas interaksi belajar-mengajar seiring dengan bertambahnya siklus-
siklus uji coba model pembelajaran.
260
c. Kemampuan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran
Tak bisa dipungkiri bahwa kemampuan guru penguji coba sangat menentukan
dalam implementasi model pembelajaran yang dikembangkan selama uji coba terbatas
dan uji coba model lebih luas. Jika kemampuan guru lambat dalam peningkatan, maka
akan berpengaruh pada jumlah siklus yang dibutuhkan dalam uji coba model. Sebaliknya,
jika guru dapat melaksanakan konsep-konsep model secara operasional di kelas sesuai
target waktu yang dibutuhkan, maka akan berkontribusi pada keputusan siklus layak
dihentikan untuk uji validasi pada tahap berikutnya
Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai tahap-tahap
pembelajaran yang meliputi berbagai aspek mendasar atas konsep model yang diuji coba.
Pada aspek kemampuan mengaitkan pengalaman siswa dengan materi yang akan
dipelajari, nampak adanya kemajuan secara bertahap bila diamati melalui rangkaian
pertanyaan atau penjelasan yang semakin fokus dan runtut. Penjelasan atau pertanyaan
yang diajukan pada awal pembelajaran mengarahkan siswa ke jalan berpikir yang
terpusat pada rangkaian kejadian yang mengaitkan pengalaman-pengalaman masa lalu
dengan pengalaman belajar yang akan diperoleh.
Pada aspek kemampuan memfasilitasi 'rekonstruksi pengalaman' dalam bentuk
tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan, peningkatan dapat dilihat dari perspektif
kemajuan dalam merencanakan bahan ajar, bimbingan yang diberikan guru ketika proses
eksplorasi materi terjadi, penciptaan pengalaman beiajaT yang semakin kondusif, dan
tugas dan latihan yang relevan dengan perkembangan siswa. Kemampuan-kemampuan
itu diperoleh berkat kerjasama yang baik antara peneliti dan guru penguji coba baik
sebelum maupun sesudah pembelajaran pada setiap siklus.
261
Peningkatan pada aspek kemampuan guru mengarahkan siswa untuk mengambil
kesimpulan pelajaran dapat diamati dari berbagai kesempatan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan terarah dari mulai pembelajaran listening, reading, speaking, dan writing.
Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai keterampilan
bertanya yang memungkinkan siswa menarik kesimpulan pelajaran dari rangkaian
jawaban yang terkait satu sama lain. Kemajuan yang diperoleh berjalan seiring dengan
bertambahnya siklus-siklus uji coba model baik dalam skala terbatas maupun dalam skala
lebih luas. Indikator keberhasilan guru mengembangkan ketrampilan mengajukan
pertanyaan terarah dapat juga dilihat dari efektivitas (rangkaian) jawaban yang diberikan
siswa yang cenderung mengarah pada satu titik—kesimpulan.
Peningkatan pada aspek kemampuan menyiapkan dan menggunakan media
pembelajaran mengalami proses yang relatif sama dengan aspek-aspek lain yang
membentuk 'kemampuan guru melaksanakan pembelajaran'. Pada mulanya guru penguji
coba belum efektif menggunakan gambar benda-benda tertentu dalam tugas listening dan
reading. Melalui sebuah gambar artfisial keluarga, guru masih terlihat kaku
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang mengarah pada
pemahaman kosa kata tentang hubungan kekerabatan. Pada siklus-siklus berikutnya
ketika pembelajaran speaking dan writing berlangsung, guru penguji coba secara
berangsur mampu memanfaatkan gambar dengan baik.
Ada tiga hal yang mempengaruhi peningkatan kemampuan guru melaksanakan
pembelajaran di atas, yakni (1) Pada dasarnya kemampuan-kemampuan itu tidaklah
diperoleh tanpa evaluasi dan penilaian pengalaman dari setiap siklus uji coba model—
terjadi pembelajaran yang berlangsung secara bertahap, (2) Pola kegiatan yang
262
dikembangkan dalam the MJJD-Model mudah dipahami oleh guru penguji coba, dan (3)
Motivasi guru penguji coba yang cukup tinggi untuk mencoba the MID-Model sebagai
sesuatu yang baru bagi mereka.
d. Kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa sebelum dan sesudah perlakuan
Dari hasil uji coba model lebih luas dengan tiga kelas perlakuan dapat diketahui
bahwa model berdampak positif yang signifikan terhadap kemampuan komunikatif,
motivasi, dan sikap positif bagi siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba dilakukan.
Dampak yang ditimbulkan itu diamati dari gained score setiap sampel penelitian yang
diketahui setelah diadakan uji Wilcoxon untuk data related samples (sampel sama).
Semua pengujian dilakukan pada tingkat kekeliruan (P) 0,05.
Namun, ada hal penting yang perlu dicatat bahwa model yang diuji coba tidak
berdampak positif yang signifikan terhadap semua aspek dalam motivasi dan sikap siswa
terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Artinya ada sebagian aspek-aspek dimaksud yang
tidak secara signifikan terpengaruh oleh implementasi model yang diujicobakan,
walaupun hasil keseluruhan menunjukkan adanya dampak positif yang signifikan.
1) Selisih skor rata-rata postes-pretes kemampuan komunikatif, motivasi, dan
sikap siswa pada uji coba model lebih luas.
a) Peningkatan kemampuan komunikatif siswa
Apabila kita memperhatikan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa semua hasil
pengujian Wilcoxon untuk kemampuan komunikatif bagi siswa kelas V dari tiga sekolah
dasar tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Ini menunjukkan bahwa
secara internal model yang diuji coba berdampak positif yang signifikan terhadap hasil
belajar bahasa Inggris bagi siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing berkategori
263
baik, sedang, dan kurang. Dengan perkataan lain, terdapat peningkatan hasil belajar yang
signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan the MID-Model.
Pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MID-Model berpengaruh
terhadap peningkatan kemampuan komunikatif siswa dalam bentuk hasil belajar melalui
strategi pembelajaran integrated skills. Dengan strategi itu siswa diberi kesempatan
bereksperimen tidak saja pada satu fokus ketrampilan bahasa, namun juga pada
keterampilan bahasa yang lain dalam satu konteks kegiatan komunikatif yang relatif
merefleksi dunia nyata. Unsur-unsur bahasa disajikan secara terpadu dalam satu kegiatan
dengan pengembangan keempat keterampilan bahasa untuk menghindari pembelajaran
yang eksplisit atau kegiatan yang menuntut siswa berpikir abstrak terhadap konsep
bahasa.
The MID-Model terdiri atas langkah konseptual yang secara operasional
diimplemntasi pada kelas-kelas uji coba secara siklis. Melalui kegiatan yang terencana
dalam jumlah siklus tertentu, siswa memperoleh pengalaman belajar yang berkenaan
dengan peningkatan kemampuan komunikatif, tugas dan latihan difasilitasi dan dimediasi
guru dengan cara yang relatif bermakna bagi perkembangan mereka. Kondisi itu
memungkinkan mereka berhasil mencapai tingkat kemampuan berbahasa yang memadai
setelah perlakuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang
diujicobakan memberi kontribusi kepada peningkatan hasil belajar siswa.
b) Peningkatan motivasi belajar siswa
Apabila kita memperhatikan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa semua hasil
pengujian Wilcoxon untuk variabel motivasi belajar bagi siswa kelas V tiga sekolah dasar
tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Ini menunjukkan bahwa secara
264
internal model yang diuji coba berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi
belajar bahasa Inggris bagi siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing berkategori
baik, sedang, dan kurang. Dengan perkataan lain terdapat peningkatan motivasi belajar
yang signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan the MID-Model.
Kalau dirinci lebih lanjut dari sepuluh aspek variabel motivasi yang dikaji, maka
tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Walaupun beberapa
aspek motivasi tidak signifikan, pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MID-
Model berpengaruh terhadap peningkatan motivasi siswa melalui pengalaman belajar
yang diciptakan dengan kegiatan-kegiatan yang cukup bervariasi, fasilitasi dan mediasi
guru, lingkungan belajar, dan bahan ajar yang diberikan. Kondisi itu memungkinkan
mereka berhasil mencapai tingkat motivasi belajar bahasa Inggris yang memadai setelah
perlakuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang
diujicobakan memberi kontribusi kepada peningkatan motivasi belajar bagi siswa.
c) Peningkatan sikap positif siswa
Apabila kita memperhatikan Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa semua hasil
pengujian Wilcoxon untuk variabel sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris bagi
siswa kelas V tiga sekolah dasar tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05.
Ini menunjukkan bahwa secara internal model yang diuji coba berdampak positif yang
signifikan terhadap sikap positif siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing
berkategori baik, sedang, dan kurang. Dengan perkatan lain, terdapat peningkatan sikap
positif yang signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Inggris
dengan the MID-Model.
Kalau dirinci lebih lanjut dari tujuh aspek pada variabie sikap yang d*
tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Wala
aspek yang tidak signifikan, pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MID-
Model berpengaruh terhadap peningkatan sikap positif siswa melalui pengalaman belajar
yang difasilitasi dan mediasi guru, lingkungan belajar, dan bahan ajar yang diberikan.
Kondisi itu memungkinkan mereka mamiliki sikap positif setelah perlakuan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang diujicobakan memberi kontribusi
kepada peningkatan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa kelas
V sekolah dasar tempat uji coba
Dari hasil pengamatan pada uji coba model, baik dalam skala terbatas maupun
dalam skala lebih luas, dapat diketahui bahwa terjadi kemajuan dalam meminimalkan
hambatan-hambatan yang muncul seiring dengan bertambahnya siklus uji coba
Hambatan-hambatan yang ditemukan terkait dengan faktor guru dan siswa, namun secara
bertahap dapat diminimalkan. Hingga akhir siklus uji coba masih terdapat hambatan yang
berhubungan dengan penggunaan waktu oleh guru yang kurang efektif Hal itu terjadi
karena guru kurang mengontrol waktu yang sesuai untuk pergantian setiap fase kegiatan.
2) Selisih skor rata-rata postes-pretes kemampuan komunikatif, motivasi, dan
sikap siswa pada uji validasi model
a) Peningkatan kemampuan komunikatif
Pada Tabel 4.20 tampak harga rata-rata kemampuan komunikatif pada masing-
masing kelompok eksperimen lebih besar dari harga rata-rata masing-masing kelompok
kontrol. Semua pengujian memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi
bahwa secara eksternal the MJD-Model berdampak positif yang signifikan terhadap hasil
266
belajar bahasa Inggris siswa dari tiga sekolah kategori berbeda. Dapat dikemukakan
bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran dengan the MID-Model mencapai
kemampuan komunikatif yang cenderung lebih baik dari pada mereka yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional setelah perlakuan.
Namun, kalau dirinci lebih lanjut pada setiap aspek substansi kemampuan yang
diujikan, maka tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05.
Untuk sekolah berkategori baik model berdampak positif yang signifikan untuk semua
aspek. Pada sekolah berkategori sedang, model berdampak positif tapi tidak signifikan
terhadap listening dan reading walau rata-rata skor postes lebih besar daripada rata-rata
skor pretes, untuk sekolah berkategori kurang model berdampak positif tapi tidak
signifikan terhadap speakmg walau rata-rata skor postes lebih besar dari rata-rata pretes.
Walau demikian, data ini mengandung arti bahwa the MID-Model berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan komunikatif siswa.
b) Peningkatan motivasi belajar
Kecuali kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori baik, tampak pada
Tabel 4.21 harga rata-rata motivasi siswa pada kelompok eksperimen dari sekolah
berkategori sedang dan kurang lebih besar dari harga rata-rata kelompok kontrol. Semua
pengujian memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi bahwa secara
eksternal the MID-Model berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar
bahasa Inggris siswa dari dua sekolah kategori berbeda. Siswa dari dua kategori sekolah
yang mengikuti pembelajaran dengan the MID-Model memiliki motivasi yang cenderung
lebih baik daripada mereka yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran
konvensional setelah megikuti perlakuan.
267
Pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori baik, secara
eksternal model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi
belajar siswa walaupun rata-rata skor kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata skor
kelompok kontrol. Dari sepuluh aspek variabel motivasi yang dikaji tak satu aspek pun
yang signifikan. Hasil pengujian Wdcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05 yang
berarti bahwa model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap varibel motivasi
belajar siswa. Hal itu dimungkinkan karena sejak awal siswa sudah memiliki motivasi
intrinsik yang tinggi.
Fakta di atas konsisten dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa ada
beberapa kegiatan yang kurang berpengaruh bagi siswa—apa pun yang dilakukan guru
siswa akan dengan mudah menyesuaikan diri karena pada dasarnya mereka memiliki
motivasi intrinsik yang kuat.
Pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang, model nyaris
tidak berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi belajar siswa. Semua
hasil pengujian Wilcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05 (atau P = 0.047).
Namun, jika ditelaah aspek motivasi satu demi satu, tampak bahwa hanya satu aspek
yang signifikan, yaitu motivational intensity. The MID-Model tidak berdampak secara
signifikan terhadap sembilan aspek motivasi lainnya. Semua hasil pengujian Wilcoxon
memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05, walaupun skor rata-rata kelompok eksperimen
lebih besar daripada kelompok kontrol.
Pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori kurang, model
berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi belajar siswa. Semua hasil
pengujian Wdcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Namun, jika aspek motivasi
268
ditelaah satu demi satu, tampak bahwa the MID-Model tidak berdampak positif yang
signifikan terhadap enam aspek motivasi belajar siswa. Keenam aspek ini memiliki
peluang kekeliruan (P) > 0.05, walaupun skor rata-rata kelompok eksperimen lebih besar
daripada skor rata-rata kelompok kontrol,
c) Peningkatan sikap-belajar siswa
Pada Tabel 4.22 tampak rata-rata skor sikap siswa pada masing-masing kelompok
eksperimen lebih besar dari rata-rata skor kelompok kontrol. Semua pengujian memiliki
peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi bahwa secara ekternal the MID-Model
berdampak positif yang signifikan terhadap sikap belajar bahasa Inggris siswa dari tiga
sekolah kategori berbeda. Dapat dikemukakan bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan the MID-Model memiliki sikap yang cenderung positif dari mereka yang
mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional setelah perlakuan.
Akan tetapi kalau dirinci lebih lanjut pada setiap aspek variabel sikap yang dikaji,
tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Untuk sekolah
berkategori baik model berdampak positif tapi tidak signifikan pada sikap terhadap
speaking, reading, writing, vocabulary, grammar, dan pronunciation walau rata-rata skor
kelompok eksperimen sedikit di atas dari rata-rata skor kelompok kontrol.
Untuk sekolah berkategori sedang model berdampak positif tapi tidak signifikan
pada sikap terhadap speaking, dan writing, walau rata-rata skor kelompok eksperimen
lebih besar dari pada rata-rata skor kelompok kontrol.
Sementara itu, pada sekolah berkategori kurang model tidak berdampak positif
secara signifikan untuk aspek listening, speaking, reading, writing, dan grammar, walau
rata-rata skor kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata skor kelompok kontrol
269
(kecuali speaking 0,90 < 1.09). Semua hasil pengujian WiIcoxon pada aspek-aspek ini
memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05. Walau demikian, secara keseluruhan data ini
tetap mengandung arti bahwa the MJD-Model berpengaruh terhadap peningkatan sikap
positif siswa pada sekolah tempat uji coba.
S. Interpretasi Terhadap Faktor-Faktor Pendukung Pengembangan the MTD- Model
Pada hakekatnya ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan
pengembangan the MID-Model, baik yang bersifat fisik seperti lingkungan belajar yang
tercipta melalui tersedianya alat/media pembelajaran, maupun yang bersifat non-fisik
seperti guru, siswa, dan bahan ajar itu sendiri. Faktor-faktor tersebut berupa latar
belakang pendidikan guru, pengalaman kerja guru, kinerja (peran) guru, kesiapan siswa
belajar, materi/bahan ajar yang relevan, dan alat/media pembelajaran. Faktor-faktor ini
selain dapat menjadi pendukung keberhasilan, juga sewaktu-waktu muncul sebagai faktor
penghambat. Sejauh mana faktor-faktor tersebut mendukung bagi keberhasilan
pengembangan the MID-Model diuraikan sebagai berikut.
a. Latar belakang pendidikan guru
Pada Table 4.2 dapat diketahui bahwa dari sembilan orang guru hanya ada dua
orang yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris. Dari keduanya satu sarjana
perikanan, dan yang lainnya sarjana Tarbiyah IAIN. Kedua orang itu memiliki
kemampuan yang baik dalam berbahasa Inggris karena pengalaman mengajar kursus
door to door bagi anak-anak dan orang dewasa selama bertahun-tahun. Ada empat orang
berkualifikasi SI, dan tiga orang lainnya D3. Dari lama mengajar di sekolah dasar, hanya
satu orang yang baru berpengalaman satu tahun, selebihnya cukup berpengalaman
dengan rentang antara tiga sampai delapan tahun.
270
Dengan fakta itu, dapat dikemukakan bahwa kualitas belajar mengajar bahasa
Inggris di sekolah dasar tempat penelitian lebih mudah ditingkatkan apabila diajar oleh
guru dengan tingkat pendidikan yang memadai. Melihat bidang keilmuan yang dimiliki
tentu mereka lebih mungkin untuk melakukan perbaikan-perbaikan mutu pembelajaran
bahasa Inggris melalui pengalaman yang semakin bertambah. Selain itu, dengan tingkat
pendidikan yang cukup memadai, guru memiliki wawasan untuk maju dan
mengembangkan karir sehngga lebih mudah diajak dan diyakinkan akan inovasi-inovasi
pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
Oleh karena itu, dalam konteks pengembangan the MID-Model untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa, maka latar
belakang pendidikan guru dipandang sebagai faktor pendukung yang ikut menyumbang
kelancaran dan keberhasilan uji coba dan uji validasi model.
b. Pengalaman mengajar guru
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa (kecuali satu orang) pengalaman mengajar
bahasa Inggris di sekolah dasar yang dimiliki responden guru adalah antara tiga sampai
delapan tahun, jumlah waktu yang tidak sedikit untuk mendalami, merasakan, dan
menjadi lebih peka terhadap apa yang menjadi tanggungjawab profesionalnya. Dengan
pengalaman itu guru mudah menyesuaikan diri dalam berbagai inovasi aktivitas
pembelajaran, mengambil peran dalam meningkatkan mutu pembelajaran, melakukan
diskusi-diskusi dan umpan balik tentang pengalaman mengajar, serta melakukan
penilaian diri sendiri (self assessment).
Oleh karena itu, dalam konteks pengambangan the MID-Model untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa, maka
271
pengalaman mengajar yang dimiliki guru responden tersebut dapat dipandang sebagai
faktor pendukung atas kelancaran dan keberhasilan uji coba dan uji validasi model,
c Peran guru
Peran guru dalam kegiatan uji coba dan uji validasi model baik dalam bentuk
penyiapan perangkat pembelajaran maupun implementasi model pembelajaran pada
hakikatnya memberi kontribusi yang sangat berarti atas kelancaran dan keberhasilan uji
coba dan uji validasi model sehingga menghasilkan the MID-Model untuk meningkatkan
kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif siswa. Kelancaran dan keberhasilan
itu tak lepas dari keyakinan (belief) yang konsisten atas konsep-konsep yang dibangun the
MID-Model dan peran aktif yang dimainkan guru penguji coba dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dituntut bagi terselenggaranya kegiatan pembelajaran. Mereka mampu
menempatkan siswa: ( I ) sebagai klien (client)—mengidentifikasi kebutuhan dan
membangun hubungan baik terhadap siswa, (2) sebagai mitra kerja (learner as
partner)—melakukan negosiasi atas perilaku dan nilai yang dikomunikasikan, dan (3)
sebagai individual explorer—membangun sendiri makna melalui pengalaman belajar
yang difasilitasi guru.
Guru juga melakukan peran sebagai fasilitator dalam konteks penyedia dan
perancang pengalaman belajar bagi siswa. Misalnya memilih dan menentukan bahan ajar
yang setingkat di atas struktur kognitif siswa (the zone ofproximal development), selain
dari peran mediator melalaui kegiatan scaffolding yaitu membantu siswa dalam bentuk
dukungan belajar melalui dorongan, pemberian contoh atau model, pertanyaan terarah
dan penyajian tugas/kegiatan dalam bentuk bagian-bagian ke keseluruhan.
272
Pada Diagram 4.3 dan 4.4 tampak bahwa guru responden telah memiliki
kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang dipandu oleh konsep-konsep
yang dikembangkan melalui pembelajaran bermakna. Walau masih terdapat kekurangan,
secara bertahap pemahaman mereka telah sampai pada tingkat yang dipersyaratkan dalam
aplikasi model pembelajaran. Implikasi dari kemampuan ini, diharapkan mereka dapat
mengembangkan pembelajaran atas dasar konsep-konsep yang dibangun dalam
pembelajaran bermakna, bahkan menularkannya kepada guru-guru bahasa Inggris di
sekolah dasar lain di daerah Propinsi Sulawesi Tenggara melalui kegiatan KKG dan
PKG.
d. Peran siswa dalam belajar
Tak bisa dipungkiri bahwa perilaku dan aktivitas siswa dalam merespon setiap
kegiatan pembelajaran yang dilandasi konsep-konsep the MJD-Model amat menentukan
bagi terciptanya pengalaman belajar yang sesuai untuk mengembangkan kompetensi
komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
Bahkan keputusan yang diambil atas efektif tidaknya model yang di uji cobakan sangat
bergantung pada perilaku-perilaku siswa yang muncul sebelum dan sesudah
pembelajaran. Salah satu ukuran keberhasilan atau efektivitas model pembelajaran
diperoleh dari hasil pengamatan dan penilaian atas perilaku yang ditampilkan siswa
secara nyata baik dalam aktivitas yang direkam dalam catatan (note-taking) maupun yang
diperoleh melalui penilaian hasil belajar.
Perilaku dan aktivitas siswa ditampilkan melalui kegiatan merespon stimulan guru
dengan bahasa sendiri, mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan pemecahan
masalah tugas-tugas berbahasa dan kebahasaan, belajar dalam kelompok-kelompok kecil,
273
dan praktik berbahasa Inggris secara berpasangan. Hasil pengamatan sampai akhir siklus
uji coba model pembelajaran menunjukkan adanya keterlibatan aktif sebagian besar siswa
dalam setiap kegiatan. Peran itu nampaknya terbentuk dalam bingkai pola-pola interaksi
yang dibangun guru: cara membimbing, cara mengajukan pertanyaan, dan cara
memperlakukan kesalahan berbahasa siswa yang dipandang sebagai developmental error.
Kondisi seperti itu menjadi dasar terciptanya suasana belajar yang kondusif bagi siswa,
yang dimungkinkan terbangun jika konsep-konsep yang melandasi the MID-Model
dilaksanakan secara disiplin dan konsisten,
e. Peran materi/bahan ajar
Materi atau bahan ajar merupakan kesatuan integral dengan unsur lain dalam
lingkup pembelajaran yang menggerakkan proses komunikasi resiprokal antara guru dan
siswa yang berlangsung secara dinamis. Proses komunikasi itu dilakukan dalam bingkai
pengalaman belajar bahasa dan perihal bahasa yang difasilitasi dan di mediasi guru untuk
mencapai kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif
Bahan ajar, dalam wujud tugas dan latihan di kelas, berperan menghubungkan
siswa dengan guru, selain guru dengan siswa juga berinteraksi satu sama lain. Peran
bahan ajar dalam interaksi merefleksi perilaku dan nilai yang ingin diperoleh siswa
melalui pengalaman belajar bahasa dan perihal bahasa. Oleh karena itu dengan bahan
ajar, siswa dapat melakukan eksplorasi, mengemukakan gagasan baik lisan mau pun
tertulis dari hasil eksplorasi, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi
asumsi-asumsi yang telah dibangun sehingga gagasan itu dapat digunakan dalam situasi
yang baru dan dalam konteks dunia nyata. Bahan ajar juga menstimulasi dan
mengarahkan perilaku siswa dalam setiap pengalaman belajar.
274
Melalui hasil pengamatan yang dilakukan sejak awal sampai akhir uji coba model
diperoleh informasi bahwa pada hakekatnya bahan ajar, yang dipilih sesuai kebutuhan
siswa, berpengaruh atas kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan langkah operasional
the MTU-Model di setiap kelas uji coba model. Terlepas dari beberapa kelemahan, yang
pada akhirnya dapat direduksi, ternyata bahan ajar yang relevan dengan dunia nyata
siswa dapat menyumbang optimalisasi pelaksanaan langkah pembelajaran. Misalnya,
ketika guru penguji coba mengajukan pertanyaan pengungkap yang berkenaan dengan
pengalaman siswa pada fase lead-in, mereka mampu merespon dengan lancar sehingga
tujuan fase ini tercapai sesuai rencana—menumbuhkan motivasi siswa ketika memasuki
awal pembelajaran.
f. Peran alat/media pembelajaran
Alat/media pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan uji coba the
MJTJ-Model. Tanpa alat/media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan proses
pembelajaran maka pelaksanaan uji coba tidak akan berjalan sesuai dengan rencana—
model mempersyaratkan saran alat/media pembelajaran yang relevan. Ketiadaan sarana
dapat berakibat pada tidak optimalnya implementasi sehingga tidak memberikan
gambaran yang valid akan efektivitas model yang diuji coba terhadap pengembangan
kompetensi komunkanf, motivasi, dan sikap positif siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat/media pembelajaran menyumbang pada
pelaksanaan strategi operasional karena liga hal, yakni (1) menstimulasi respon siswa, (2)
memberi konteks yang memperjelas sering kegiatan berbahasa, dan (3) memfasilitasi
imaginasi siswa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Misalnya pada fase draw
on experience and knowledge siswa mampu bereaksi dalam bentuk kegiatan berbahasa
275
inggris menurut konteks yang dibawa sebuah gambar. Ketika siswa harus menjawab
pertanyaan pengungkap dari guru, mereka mampu melakukannya karena dituntun oleh
media pembelajaran yang digunakan. Demikian juga ketika diperkenalkan nama-nama
benda, siswa mudah mengingatnya karena bantuan realia yang digunakan.
Alat/media pembelajaran yang disiapkan guru adalah yang dapat membawa pesan
materi atau bahan ajar yang ingin dikomunikasikan kepada siswa. Misalnya dalam
pembicaraan yang berkenaan dengan istilah dalam hubungan keluarga digunakan media
pembelajaran dalam bentuk foto atau gambar keluarga. Dalam pembicaraan yang terkait
dengan nama-nama benda media yang digunakan adalah realia—dapat secara langsung
merepresentasi benda yang dirujuk.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan dibahas hasil interpretasi dari perspektif teoretis dalam
kerangka (1) desain the MID-Model hasil pengembangan, (2) hasil implementasi the
MID-Model untuk meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif
siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris, dan (3) faktor-faktor yang mendukung
pengembangan the MID-Model.
1. Desain the MID-Model Hasil Pengembangan
The MID-Model pada hakekatnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
lapangan seperti yang diperoleh pada temuan studi pendahuluan, sesuai dengan
karakteristik pelajaran bahasa Inggris dan juga karakteristik siswa sebagai pembelajar
bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada sistem pendidikan di Indonesia.
The MID-Model dibangun atas prinsip-prinsip belajar behavioris, kognitif, dan
konstruktivis, serta the 4Mat System McCarthy yang telah diadaptasi secara kolaboratif
276
oleh tiga lembaga penilitian untuk pembelajaran bahasa kedua/asing bagi siswa sekolah
dasar. The MID-Modei dikembangkan untuk mengarahkan proses, meningkatkan sistem
penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif,
motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Selanjutnya, tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah untuk mengembangkan
kemampuan berbahasa lisan dan tulis sederhana melalui interaksi komunikatif sehingga
siswa memperoleh input linguistik dan pesan secara bersamaan tanpa ada tekanan
penguasaan yang dipaksakan. Dengan aplikasi model itu, siswa diharapkan termotivasi
belajar dan memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
The MED-Model adalah konsep yang di dalamnya terdapat prinsi-prinsip yang
melandasi praktik-praktik pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. The MID-Model
memiliki organisasi kelas yang jelas dan konsisten, namun tetap fleksibel untuk
dikembangkan. Organisasi kelas dalam konteks the MID-Model adalah prosedur dengan
segala aktivitas dan perilaku (sistem sosial) yang ada di dalamnya yang membangun
pengalaman belajar bagi siswa. Belajar tidak saja melibatkan proses kognitif tapi juga
proses metakognitif.
The MID-Model terdiri atas "Desain Pembelajaran" berisi strategi konseptual dan
"Implementasi Pembelajaran" berisi strategi operasional. Ada tiga fase dalam desain
pembelajaran, yakni (1) Lead in, (2) Reconstruction, dan (3) Production. Fase itu
kemudian dijabarkan ke dalam implementasi, yaitu: Draw on experience and knowledge,
Input stage. Generalization and review stage, dan Application. Setiap fase memfasilitasi
dan mendorong kegiatan untuk mengembangkan sistem sosial (Joyce dan Weil dalam
Seller dan Miller, 1985: 191) atau aktivitas dan perilaku tertentu yang dilakukan guru dan
277
siswa. Seperti yang dikatakan Elus dalam Oliva (1992: 413) ' . . . each r r y i ^ ^ ^ ^ t e t s ' o f a
rationale, a series of steps (actions and behaviours) to be taken by thläeicfeiUan<Mhe
leamer... ' . Tahap belajar yang dikembangkan the MID-Model juga sejalan dej^ffl-teori
cognitive map menurut Feuerstein (Williams dan Bürden, 1997: 176), yang^ei^SaTm
bahwa elemen terahir kognitif map dikenal sebagai 'the phase of cognitive functions
required by the mental act'. Fase ini disebut sebagai tahap belajar yang diorganisasi ke
dalam tiga urutan linier sederhana: input—elaborasi—output.
Fase pertama, Lead in membangun aktivitas pada awal pembelajaran untuk
menggali pengalaman siap siswa agar menghubungkannya dengan pengalaman belajar
yang akan diperoleh. Fase ini membantu siswa mengaktifkan konsep atau kategori
(skemata) yang dimiliki dengan mengaitkannya pada konsep atau kategori baru yang
akan diterima. Dengan aktifnya skemata ini, siswa lebih mudah menghubungkan,
mengadaptasi dan mengkordinasi informasi yang baru diterima sehingga proses untuk
mencapai pengertian lebih mudah.
Prinsip itu sesuai dengan teori belajar kognitif yang meyakini bahwa siswa
memiliki sturktur mental atau kognitif yang dengannya ia mampu secara intelektual
beradaplasi dengan dan mengkordinasi lingkungan sekitarnya. Skemata itu akan
beradabtasi dan berubah selama perkembangan mental siswa (Suparno, 1997: 30).
Fase kedua, Reconstruction mengakomodasi pemberian kesempatan bagi siswa
untuk melakukan eksplorasi dan diskusi melalui kegiatan praktis di kelas yang
memungkinkan siswa mengembangkan skema (asimilasi), membentuk skema baru sesuai
informasi yang baru, atau memodifikasi skema yang ada agar sesuai dengan informasi
yang baru diterima (akomodasi). Pada fase ini, siswa secara sistematis melakukan
278
eksplorasi materi melalui pengalaman belajar yang memberikan pemahaman konsep-
konsep bahasa Inggris. Mereka mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari
berbagai sumber, mengolah informasi yang relevan, mengkonstruksi informasi dan
membangun hipotesis (mengabstraksi), merevisi asumsi-asumsi tentang konsep-konsep
bahasa, sampai pada tahap mengambil kesimpulan hingga siap bereksperimen dengan
kemampuan bahasa dan kebahasaan yang dimiliki. Pada fase ini siswa terlibat dalam
proses-proses berpikir kognitif dan metakognitif.
Prinsip itu konsisten dengan teori belajar konstruktif yang meyakini bahwa siswa
membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada
pengalaman awal, dan memperoleh pengetahuan secara asimilatif dan akomodatif
melalui interaksi dengan lingkungan (disimpulkan dari Woolfolk, 1995: 31).
Fase ketiga, Production mengakomodasi kebutuhan siswa bereksperimen dengan
pengetahuan bahasa dan kebahasaan yang baru saja diperoleh melalui pengalaman belajar
yang difasilitasi pada tahap sebelumnya. Fase ini memberi kesempatan kepada siswa
menerapkan fakta, pengetahuan, dan keterampilan baru dalam memecahkan persoalan-
persoalan pedagogik/autentik sederhana. Konsep bahasa dan atau informasi baru diuji
coba dalam bentuk kegiatan komunikasi terencana dan terbimbing. Walau demikian,
kontrol kegiatan lebih bertumpu pada siswa untuk mengekspresikan diri sendiri, pikiran
dan perasaan melalui tugas-tugas komunikatif yang bertujuan, jelas dan terarah. Fase ini
sesuai dengan sebagian tahap keempat Model the 4Mt System, yaitu testing implications
of concepts in new situations. Selanjutnya, strategi operasional untuk mendekatkan
konsep dan prinsip yang melandasi setiap strategi konseptual the MID-Model ke dalam
aktivitas pedagogik di kelas dijabarkan sebagai berikut.
279
Konsep dan prinsip yang melekat pada fase pertama, (Lead in), diakomodasi
dalam kegiatan draw on experience and knowledge. Melalui kegiatan ini, siswa raerespon
dengan bahasa Inggris terhadap setiap stimulus (prompt) yang diajukan guru. Prompt bisa
dalam bentuk pertanyaan pengungkap, media gambar, realia, dan atau melalui keduanya
sekaligus. Pertanyaan pengungkap diajukan secara bertahap, runtut, dan fokus pada satu
topik dan konsep bahasa tertentu. Respons siswa berbentuk jawaban dari pertanyaan yang
diajukan guru. Proses mental yang terjadi ketika siswa menjawab pertanyaan adalah
aktifnya memori pengalaman masa lalu berupa fakta atau konsep-konsep bahasa yang
terkait dengan pengalaman belajar yang akan diperoleh. Tujuan langkah itu adalah untuk
membangkitkan motivasi dengan menggali pengetahuan siap yang terkait dengan
pengalaman baru agar lebih mudah memperoleh pemahaman.
Untuk mengembangkan kompetensi wacana tulis, keterampilan membaca
misalnya, isu prediction telah dikaji yang hasilnya bermanfaat untuk membangun skema
yang berkenaan dengan kemampuan seseorang menginterpretasi teks secara bermakna.
Skemata yang oleh Rumelhart (Celce-Murcia, 1991. 176) disebut sebagai 'the building
blocks of cognition' digunakan dalam proses interpretasi data, menarik informasi dari
memori, dan mengarahkan arus processing dalam sistem informasi. Dalam hubungannya
dengan konsep the MID-Model, pemanfaatan skemata adalah elemen utama dalam sistem
pembelajaran yang mendorong siswa menarik informasi dari memori untuk
menginterpretasi informasi dan konsep-konsep bahasa dalam pengalaman belajar
terencana.
Konsep dan prinsip yang melekat pada fase kedua (Reconstruction), terwakili
dalam dua tahap kegiatan, input stage dan generalization and review stage. Pada tahap
280
input siswa melakukan eksplorasi, menemukan, dan mendiskusikan fakta atau konsep-
konsep bahasa. Kegiatan dilakukan dengan bermain, bernyanyi, menyimak, dan atau
membaca. Dalam kegiatan menyimak, siswa merespon perintah guru secara fisik, belajar
ejaan (spelling) dengan menulis kata melalui kegiatan "trial and error", dan atau
menyimak pembicaraan (termasuk dialog) yang didemonstrasikan guru. Dalam kegiatan
membaca, siswa membaca teks sederhana untuk tugas pemahaman dan latihan membaca
nyaring. Pada kedua kegiatan itu, siswa membangun hipotesis, melakukan umpan balik,
dan merevisi asumsi-asumsi tentang informasi dan konsep bahasa yang diperoleh. Tahap
ini konsisten dengan pernyataan Hatch dan Hopkins (Celce-Murcia, 1991: 347) yaitu
'Language leamers need opportunities to learn by trial and error, get feedback, build
hypothesis about language, and revise these assumptions in order to become fluent.'
Pada tahap generalization and review, siswa berpartisipasi aktif baik secara
individual maupun kelompok dalam organisasi pengalaman belajar yang diciptakan
demikian rupa sehingga memungkinkan mereka mendalami materi. Pendalaman materi
dilakukan siswa dengan menyelesaikan tugas-tugas kemudian menganalisis jawaban atas
mediasi (pertanyaan-terarah) guru yang bersifat prompt hingga sampai pada kesimpulan
pelajaran. Hal itu sejalan dengan perspektif Piaget (William dan Burden, 1997: 59)
'Organisasi kelas dibuat demikian rupa agar siswa mampu melakukan eksplorasi oleh diri
sendiri hingga menarik kesimpulan pelajaran dengan prompt guru seperlunya'.
Konsep generalisasi dan review memfasilitasi process of causal reasoning, yang
berpotensi memberi pengalaman tentang cara menemukan informasi atau konsep-konsep
bahasa yang lebih efektif Dapat pula siswa mengambil kesimpulan tentang prinsip-
prinsip umum dari apa yang telah dipelajari. Fase ini secara tersurat memfasilitasi
281
penyadaran akan informasi, fakta, ataupun konsep-konsep bahasa yang baru diperoleh
dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Selain itu, setelah siswa mampu
membangun hipotesis tentang konsep-konsep bahasa, mereka memperoleh kesempatan
untuk merevisi asumsi-asumsi itu atas mediasi guru.
Konsep dan prinsip yang melekat pada fase ketiga (Production), terwakili dalam
kegiatan application. Fase ini bertujuan untuk memberi siswa kesempatan
mempraktikkan inforfamsi dan atau konsep bahasa baru yang diperoleh pada langkah
sebelumnya. Fase ini memfasilitasi siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan
berbicara dan menulis tentang sebuah topik melalui kerja kelompok atau berpasangan,
dan melakukan simulasi atas sebuah kejadian/peristiwa yang menuntut aplikasi fakta,
informasi, dan atau konsep-konsep bahasa dalam konteks pedagogik ataupun dunia nyata
(real world use of language). Hal itu sejalan dengan keyakinan Feuerstein (William dan
Burden, 1997: 176) bahwa "The input needs to be processed and use in some way
(elaboration). Finally, the person will need to express a message or their findings
appropriately (output).' Setelah siswa memperoleh input dan memprosesnya (dalam
sebuah kegiatan pedagogik di kelas—elaboration stage), maka seseorang perlu
melakukan kegiatan praktis dalam bentuk komunikasi nyata dalam kegiatan terencana
dan dalam kontrol tertentu (output stage).
Tahap evaluasi proses dilakukan guru sejak fase lead in sampai akhir
pembelajaran. Tujuan evaluasi proses adalah untuk mengetahui partisipasi siswa dalam
setiap kegiatan. Kualitas partisipasi diukur secara kualitatif melalui pengamatan langsung
terhadap motivasi, sikap, dan kerjasama siswa dalam sub-penilaian participation.
Sementara sub-penilaian lainnya content, dan expression mengukur pesan yang ingin
282
disampaikan dan ungkapan yang dapat membawa pesan yang ingin disampaikan.
Kesalahan tata bahasa dan pengucapan (accvracy) tetap diterima sepanjang tidak terlalu
mengganggu pesan yang disampaikan.
Evaluasi hasil belajar fokus pada actional compétence, kompetensi tindak tutur
dalam bahasa lisan dan kompetensi retorika dalam bahasa tulis, menganut prinsip how
language is used in communication. Baik pada evaluasi proses maupun evaluasi hasil
belajar, penilaian menganut pendekatan holistic bukan analytic—tidak memecahkan
kategori penilaian ke dalam bagian-bagian atau aspek-aspek bahasa tertentu.
Mencermati elaborasi konsep, prinsip, dan langkah pembelajaran the MED-Model
yang telah melalui beberapa tahap uji coba dan uji validasi seperti yang telah diuraikan di
atas, maka dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran ini secara sistematis dan
konsisten telah mengarahkan: (1) sebuah rencana dalam implementasi kurikulum, (2)
desain bahan pembelajaran, (3) proses kegiatan dalam kelas, dan (4) desain proses
rincian dan penciptaan situasi lingkungan belajar. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Joice
dan Weil, (1980: 1), yang menyatakan bahwa model mengajar adalah sebuah rencana
yang dapat digunakan dalam implementasi kurikulum, mendesain bahan pembelajaran,
dan mengarahkan pembelajaran dalam kelas.
Selain itu, the MJD-Model juga memiliki landasan teori-teori belajar, mengajukan
seperangkat langkah pembelajaran yang secara operasional dapat digunakan di kelas,
sistem sosial yang dapat penunjang terjadinya proses pengalaman belajar dalam sebuah
organisasi kelas, dan metode evaluasi yang merekam kemajuan belajar siswa. Hal itu
sejalan dengan pendapat Ellis dalam Oliva (1992: 413) yang menyatakan bahwa model
283
prosedur, sistem penunjang, dan metode evaluasi kemajuan belajar siswa, il °#
mengajar adalah strategi yang didasarkan atas teori-teori belajar, yang menu
2. Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi pembelajara
The MID-Model telah diimplementasikan melalui uji validasi untuk mempereterT
informasi tentang kesesuaian kompetensi dasar, tujuan, indikator, dan materi
pembelajaran. Sesuai tidaknya komponen-komponen di atas terhadap perkembangan
intelektual, dan lingkungan sosial siswa dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan
terhadap respon siswa dalam belajar, hasil belajar, dan motivasi, serta sikap positif siswa.
Dari respon siswa yang teramati selama proses pembelajaran dari satu siklus ke
siklus lainnya tampak adanya perilaku yang mengarah pada ketercapaian kompetensi
dasar melalui organisasi materi, tugas/latihan dengan cognitive demand yang sesuai
perkembangan intelektual siswa pada tingkat operasi konkret. Kalau hal ini benar
adanya, maka penyesuaian komponen-komponen di atas telah sejalan dengan
karakteristik anak pada usia operasi konkret Piaget (Anwar, 1984: 31). Dalam hal ini,
dengan perantaraan materi, tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan, yang diarahkan oleh
tujuan dan indikator ketercapaian, siswa mampu melakukan aktivitas logis tertentu
walaupun masih selalu dengan situasi-situasi yang konkret Siswa mampu melakukan
peniruan, penguatan, dan juga pengujian hipotesis tentang informasi dan atau konsep-
konsep bahasa yang baru dipelajari. Pemahaman baru yang diperoleh tidak lepas dari
pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa materi/bahan ajar. yang sesuai
dengan siswa kelas V sekolah dasar adalah materi/bahan ajar yang memiliki
karakteristik: (1) terkait dengan lingkungan sosial siswa, (2) tingkat kompleksitas
284
tugas/latihannya sesuai dengan perkembangan intelektual siswa (usia operasi konkret)
dan pemerolehan bahasa asing, (3) pesan dan makna komunikatifnya dapat
divisualisasikan melalui alat bantu/media pembelajaran, dan (4) dapat menstimulasi
emosi siswa untuk menggunakan bahasa Inggris menyampaikan pesan tanpa terganggu
dengan kaidah-kaidah bahasa yang berpotensi menghambat keinginan siswa
berkomunikasi.
3. Dampak (efektivitas) Implementasi the MID-Model
The MID-Model telah diimplementasikan melalui uji validasi untuk memperoleh
informasi tentang efektivitas model. Efektif tidaknya model dapat dilihat dari dampak
yang ditimbulkan terhadap hasil belajar, motivasi dan sikap siswa yang tidak terlepas
dari tujuan yang telah ditetapkan. Apa yang telah dilakukan dalam implementasi adalah
usaha-usaha untuk memperoleh informasi seberapa jauh hasil yang diperoleh melalui
penerapan konsep-konsep yang melekat pada the MID-Model. Konsep-konsep dimaksud
terealisasi dalam sebuah proses penerapan ide (rencana) dan seperangkat aktivitas serta
perilaku tertentu untuk sebuah perubahan—meningkatkan mutu dan sistem
pembelajaran. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah sejalan dengan
pandangan Fullan (1991: 65) yang mengemukakan bahwa "Implementation consists of
the process of putting into practice an idea, program, or set of activities and structures
new to the people attempting or expected to change".
Dalam pembahasan dampak implementasi model, perlu dijelaskan proses-proses
yang terjadi dibalik data (temuan) yang diperoleh. Hal itu demikian karena dampak yang
ditimbulkan sebuah model pembelajaran tak lepas dari proses-proses yang memfasilitasi
dan memberi kontribusi atas diperolehnya data tersebut. Menurut Ellis dalam Oliva
285
(1992; 413) proses-proses ini disebut sebagai actions and behaviours, baik yang
dilakukan guru maupun yang dilakukan siswa, yang melekat dalam setiap langkah
pembelajaran. Selain itu, makna data yang diperoleh bila dihubungkan dengan praktik-
praktik pembelajaran dan teori-teori yang relevan juga penting dibahas. Hal itu demikian
karena untuk memahami sejauhmana penelitian berkontribusi terhadap praktik-praktik
pendidikan di kelas dan teori-teori belajar dalam konteks dan karakteristik subyek
penelitian.
Implementasi the MED-Model menunjukkan adanya kemajuan dari satu
implementasi pembelajaran ke implementasi berikutnya dan berdampak pada kinerja
guru, pencapaian kompetensi komunikatif, motivasi, dan sikap siswa terhadap
pembelajaran bahasa Inggris. Di sisi lain, hambatan-hambatan yang muncul dalam
implentasi secara bertahap dapat dikurangi sampai pada ambang toleransi. Hal itu dapat
terjadi karena pelaksanaan pembelajaran dari sejumlah uji coba dilakukan secara siklis,
terencana, dan bertujuan. Setiap akhir implementasi pada setiap siklus diadakan evaluasi
untuk penilaian dan perbaikan pada siklus berikutnya. Apabila fakta (fact) ini benar
adanya, akan sejalan dengan pandangan Borg dan Gali (1983: 772) yang menyatakan
bahwa pengembangan suatu model pembelajaran yang dilakukan secara siklis dapat
meningkatkan mutu produk pembelajaran hingga semakin baik.
Pada uraian terdahulu dapat dilihat proses kemajuan kinerja guru menerapkan
semua langkah operasional the MID-Model melalui presentase data yang berwujud
nilai—out of one hundred. Demikian juga kemajuan pencapaian kompetensi
komunikatif, motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris dapat
dilihat dalam bentuk data statistik perbedaan rata-rata skor postes-pretes dari masing-
286
masing sampel pada uji coba model lebih luas dan uji validasi model pada kelas-kelas
eksperimen dan kontrol.
Apabila tujuan pengembangan the MJD-Model adalah untuk mengarahkan
proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa memiliki
kompetensi komunikatif, motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar, maka terlepas dari kelemahan yang ada, data pada uraian
sebelumnya memberikan bukti bahwa sesungguhnya program pembelajaran yang
dilaksanakan melalui the MID-Model efektif mencapai tujuan. Efektif tidaknya sebuah
program salah satunya dilihat dari seberapa besar tujuan telah tercapai berdasarkan
kriteria yang digunakan. Sebagaimana dikemukakan Weis yang dikutip Kartowagiran
(1996: 12) "The purpose of evaluastion is to measure the effects of program against the
goal it sets out to accomplish as a menas of contributing to subsequent decision making
about the program and improving future programming.'
Untuk dapat mencermati proses-proses apa yang terjadi di balik temuan itu
dikaitkan dengan teori-teori yang relevan, berikut adalah elaborasi secara detail.
a. Dampak the MID-Model terhadap kinerja guru dalam implementasi model
Apa yang terjadi dalam proses pengembangan model—uji coba terbatas dan uji
coba model lebih luas—sama sekali tak lepas dari kualitas kerja guru dalam
implementasi model pembelajaran. Kinerja guru penguji coba bertambah baik seiring
dengan bergulirnya siklus-siklus uji coba yang selalu diselingi dengan evaluasi-
penilaian-perbaikan pada setiap ahir siklus. Momen evaluasi-penilaian-perbaikan
merupakan kesempatan belajar yang mampu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan guru dalam aplikasi the MID-Model. Jika demikian, perbaikan-perbaikan
287
yang dilakukan secara berkesinambungan selama proses pengembangan model
menstimulasi kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan para guru penguji
coba. Hal ini berarti pula bahwa the MBD-Mode! memiliki relevansi yang nyata terhadap
pengembangan kompetensi guru dalam meningkatkan mutu dan sistem pembelajaran.
Sukmadinata (1988: 218) menyatakan bahwa implementasi kurikulum hampir
seluruhnya tergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan dan ketekunan guru.
b. Dampak the MID-Model terhadap pencapaian kemampuan komunikatif siswa
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes dari
kelompok sampel baik pada uji coba model luas maupun pada uji validasi model dengan
kelompok eksperimen dan kontrol. Dengan perkataan lain, the MID-Model berdampak
positif secara signifikan terhadap pencapaian kemampuan komunikatif siswa pada
sekolah dasar berkategori baik, sedang, dan kurang. Pencapaian ini tak lepas dari
keyakinan the MID-Model tentang bagaimana meningkatkan kemampuan komunikatif
bagi siswa kelas V sekolah dasar melalui tahap-tahap pembelajaran dalam sebuah
organisasi kelas yang direncanakan dengan baik.
Walau demikian, terdapat perbedaan rata-rata skor postes dan pretes yang tidak
signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol bagi siswa sekolah berkategori
sedang pada aspek pembelajaran iistening dan reading dan juga pada aspek pembelajaran
speaking bagi siswa sekolah berkategori kurang. Dengan perkataan lain, the MID-Model
tidak berdampak positif yang signifikan terhadap pencapaian kompetensi wacana lisan
dan tulis dalam bentuk keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca bagi siswa
sekolah dasar tempat uji coba. Hal demikian dimungkinkan terjadi karena potensi siswa
288
pada kelompok eksperimen dan kontrol relatif sama, walaupun proses pembelajaran
dilakukan berbeda.
Agar lebih jelas, proses-proses yang terjadi dibalik temuan di atas dapat
dielaborasi sebagai berikut Dalam mengawali kegiatan pembelajaran, organisasi kelas
the MLD-Model konsisten dengan pentingnya trigger (pemicu) yang berperan
memancing informasi dan atau konsep-konsep bahasa yang telah ada pada struktur
kognitif siswa untuk diasosiasikan ke konsep-konsep baru melalui mediasi yang relevan,
terencana dan bertujuan. Mediasi melalui meta-language guru (sebagai language
exposure) mendorong siswa untuk berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris. Dalam
kegiatan itu siswa menjawab pertanyaan penggali, memberi komentar tentang sebuah
topik melalui gambar, realia, atau benda asli. Jawaban dan komentar diberikan dalam
bahasa Inggris, bahasa Indonesia atau kombinasi keduanya. Jawaban dan komentar yang
diberikan tidak harus tepat untuk membangun rasa percaya diri {self confidence) siswa.
Dalam the MID-Model, jawaban-jawaban ini mampu menyiapkan dan mendekatkan
struktur kognitif yang sudah ada dengan struktur kognitif baru hingga memudahkan
pemahaman.
Fakta itu memperkuat keyakinan Ausabel seperti yang dikatakan William dan
Burden (1997: 17) tentang prinsip 'advance organizer'. Menurutnya, (dalam konteks
pembelajaran bahasa), fungsi utama konsep itu adalah untuk menjembatani apa yang
telah diketahui siswa dengan apa yang perlu diketahui. Ketika memperkenalkan sebuah
topik/bahasan baru, bermanfaat dan penting jika dimulai dengan membicarakan (melalui
pertanyaan/komentar siswa) topik/bahasan tersebut bahkan sebelum dipelajari dan
289
dipahami. Dalam konteks ini, Ausabe! tidak saja menekankan pentingnya proses kognitif,
tetapi juga konsep makna pada jantung proses dimaksud.
Selain itu, fakta ini juga diperkuat oleh keyakinan konstruktivis bahwa dalam
memproses pengetahuan terdapat proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasi persepsi, konsep, atau pun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah
ada dalam pikirannya. Oleh karena itu, pengalaman berbahasa dalam dunia nyata yang
telah dimiliki siswa akan berkontribusi pada pembelajaran yang lebih bermakna bila
dijadikan titik tolak untuk membangun pemahaman baru tentang informasi atau konsep-
konsep bahasa yang dipelajari. Selain itu, pembelajaran yang bermakna berimplikasi
pada motivasi dan sikap siswa dalam belajar.
Memasuki fase berikutnya, the MID-Model menyediakan waktu dan kesempatan
kepada siswa untuk dapat melakukan eksplorasi informasi dan atau konsep-konsep
bahasa melalui tugas dan latihan yang difasilitasi dan dimediasi guru. Organisasi kelas
memfasilitasi pengalaman belajar bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman
terhadap informasi dan atau konsep-konsep bahasa melalui kegiatan menyimak dan
membaca pemahaman, menjawab pertanyaan dan mengerjakan tugas-tugas, melakukan
diskusi, tanya jawab kepada guru ataupun antar teman, dan kerja kelompok atau
berpasangan. Semua itu dilakukan dalam bingkai peningkatan kemampuan komunikatif.
Dalam kegiatan di atas, siswa lebih aktif dalam proses rekonstruksi pengalaman
dengan aktivitas berbahasa dan kebahasaan melalui input dan kesempatan bekerja secara
individu dan kelompok. Dalam kerja kelompok, ada interaksi sosial dan pedagogik
melalui tugas-tugas yang berbentuk 'masalah' untuk dieksplorasi dengan cara dialog
antara guru dan siswa ataupun antar siswa. Dengan demikian, the MID-Model
290
mengajukan satu fase kegiatan yang diperkuat oleh keyakinan pendekatan konstruktivis
terhadap pendidikan. Menurut Glasersfeld (Williams dan Burden, 1997; 49) isu,
konsep, dan tugas-tugas lebih baik disajikan dalam bentuk masalah untuk dieksplorasi
melalui dialog daripada melalui injeksi dan reproduksi informasi.'
Dalam fase itu pula siswa berlatih menarik kesimpulan pelajaran yang dimediasi
guru melalui leading questions. Jawaban siswa secara akumulatif dari satu topik dan
konsep-konsep bahasa tertentu terarah pada kesimpulan yang diambil melalui proses
berpikir induktif atau deduktif. Hal itu dilakukan dalam tataran 'abstraksi' sederhana
tentang kosa kata, dan konsep-konsep bahasa yang disajikan melalui obyek konkret atau
kejadian yang dapat diamati secara langsung—kontekstualisasi bahasa melalui media
gambar, foto, realia, mimik, dan demonstrasi. Pada tingkat kompleksitas tugas yang
masih dalam jangkauan kognitif siswa usia kelas V sekolah dasar, sangat mungkin
mereka diberi kesempatan melakukan abstraksi, membangun hipotesis tentang bahasa
dan kalau mungkin merevisi asumsi-asumsi itu dengan mediasi guru. Kegiatan itu tidak
saja mendukung proses pengembangan kognitif tapi juga keterampilan metakognittf
siswa hingga kelak mampu menjadi pembelajar mandiri.
Dalam konteks tertentu fakta di atas bisa sejalan, bisa pula tidak dengan
pandangan Piaget (Williams dan Burden, 1997: 22) yang menyatakan ....ketikamengajar
anak usia sekolah dasar (young learners), kita tidak perlu mengharapkan mereka sampai
pada penalaran (abstract reasoning), oleh karena itu mereka tidak perlu diperhadapkan
pada aturan-aturan tata bahasa. Pada usia ini, lebih baik menyediakan kesempatan kepada
mereka untuk mengalami sendiri bahasa target dalam dunia nyata anak usia mereka.
29!
Fase terahir the MID-Model menyediakan waktu dan kesempatan bagi siswa
untuk menggunakan perolehan berupa informasi dan atau konsep-konsep bahasa ke
dalam situasi baru dalam konteks yang mendekati realitas dunia nyata melalui kegiatan
berbicara dan menulis. Siswa bercakap-cakap dan atau menulis sebuah topik dalam teks
lisan/tulis sederhana secara terbimbing (guided, semi-guded iask\ dilakukan secara
individual atau berpasangan. Walaupun tugas-tugasnya terbimbing, siswa tetap memiliki
kebebasan mengekspresikan diri sesuai kemampuan. Kebebasan mengekspresikan diri
dilakukan dalam tugas-tugas yang fokus pada fluency hingga mengurangi kecemasan
siswa, yang pada akhirnya mendorong kepercayaan diri menggunakan bahasa Inggris.
Dalam the MID-Model, untuk membantu siswa menyelesaikan tugas, guru
memfasilitasi kata-kata kunci, memberi dorongan, memberi contoh atau model, dan
menyajikan tugas dan kegiatan dalam bentuk bagian-bagian ke keseluruhan.
Fakta itu sejalan dengan konsep scaffolding. Bruner (Woolfolk, 1995: 42)
menyatakan siswa perlu bantuan dalam situasi dimana ia sulit memecahkan masalah
sendirian, dukungan belajar dan memecahkan masalah dalam bentuk kata-kata kunci,
dorongan, pemberian contoh, dan segala sesuatu yang memfasilitasi siswa tumbuh
sebagai pembelajar mandiri.
c. Dampak the MID-Model terhadap motivasi belajar
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes
motivasi belajar kelompok sampel pada uji coba model luas. Hal serupa juga terjadi pada
uji validasi model dengan kelompok eksperimen dan kontrol, kecuali sekolah berkategori
baik. Hanya kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang dan kurang
the MID-Model berdampak positif secara signifikan terhadap pencapaian motivasi
292
belajar siswa. Walaupun kalau dicermati lebih jauh, tampak bahwa terdapat banyak
aspek-aspek motivasi yang membentuk kualitas motivasi secara keseluruhan tidak
signifikan berbeda pada dua pasang kelompok eksperimen-kontrol sekolah berkategori
sedang dan kurang. Sementara itu, bagi sekolah berkategori baik tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes motivasi belajar
kelompok eksperimen dan kontrol.
Perlu dijelaskan bahwa setiap kegiatan dalam kelas diharapkan dapat
mempengaruihi motivasi, atau paling tidak organisasi kelas the MD>Model berimplikasi
pada meningkatnya motivasi belajar siswa. Pencapaian ini tak lepas dari keyakinan the
MTD-Model tentang bagaimana mengelola kelas yang mendorong siswa belajar lebih
aktif melalui tahap-tahap pembelajaran dalam sebuah organisasi kelas yang
memperhatikan tahap-tahap perkembangan intelektual. Kalau kenyataan ini benar
adanya, maka akan konsisten dengan teori mediasi yang menyatakan bahwa: "... it is the
role of the teacher to help learners to find ways of moving into their next level of
understanding of the language." (Williams dan Burden,1997: 66). Teori ini menyarankan
apa yang harus dilakukan guru untuk mendukung dan meningkatkan motivasi belajar
(dan sikap positif) siswa, dan sekaligus berimplikasi pada praktik-praktik pembelajaran
bahasa asing bahwa motivasi (dan sikap positif) dapat dipengaruhi atau ditumbuhkan
melalui kegiatan tertentu yang bermakna dan menarik.
Kalau ternyata ada aspek-aspek motivasi yang tidak signifikan berbeda pada
kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang dan kurang, maka sangat
mungkin disebabkan karena siswa kurang mengatribusi diri terhadap faktor internal dan
eksternal sehingga mempengaruhi tinggi-rendahnya motivasi menyelesaikan tugas dan
293
menjaga agar tetap ada motivasi. Kalau kenyataan ini benar adanya, maka akan sejalan
dengan pendapat Williams dan Burden (1997: 137-139) yang menyatakan sejauhmana
faktor-faktor internal berinteraksi satu sama lain dan seberapa penting individu
mengatribusi diri terhadap faktor-faktor ini akan mempengaruhi tingkat dan tingginya
motivasi menyelesaikan tugas dan menjaga agar motivasi tetap ada. Selanjutnya
dikemukakan bahwa faktor internal sangat ditentukan oleh pengaruh faktor eksternal dan
secara dinamis berinteraksi satu sama lain.
d. Dampak the MID-Modei terhadap sikap positif siswa
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes dari
kelompok sampel baik pada uji coba model luas maupun pada uji validasi model bagi
kelompok eksperimen dan kontrol pada tiga kategori sekolah. Itu berarti the MJD-Model
berdampak positif secara signifikan terhadap sikap siswa dalam belajar bahasa Inggris.
Kalau temuan ini benar adanya, akan sejalan dengan hasil penelitian Taylor (1974) dan
Schuman (1975) (Nurhadi dan Roekhan, 1990: 162) yang antara lain menemukan bahwa
anak-anak mempunyai kapasitas empatik yang lebih besar dan belum mengembangkan
hambatan tentang identitas diri. Karena itu tidak takut kedengaran aneh, dan siap untuk
mengambil resiko ketika bereksperimen dengan bahasa target. Dibandingkan orang
dewasa, anak-anak tidak memiliki sikap negatif terhadap penutur bahasa dan memiliki
motivasi integratif yang kuat untuk belajar bahasa.
Namun, pandangan itu tidak konsisten dengan pendapat Brown (1994: 93)
tentang affective factors bagi anak-anak pembelajar bahasa kedua. Menurutnya, mitos
bahwa anak-anak relatif tidak terpengaruh oleh hambatan seperti yang dimiliki orang
dewasa dalam belajar bahasa "tidak demikian". Anak-anak inovatif terhadap bentuk-
294
bentuk bahasa, tapi masih memiliki hambatan-hambatan, terutama sangat sensitif
terhadap teman-temannya sendiri. Dalam banyak hal anak-anak lebih mudah putus asa
{fragile) daripada orang dewasa. Egonya masih sedang terbentuk, oleh karena itu sedikit
saja salah komunikasi bisa salah diinterpretasi.
Sama halnya dengan motivasi setiap kegiatan dalam kelas diharapkan mampu
mempengaruihi sikap siswa kearah yang lebih positif, yang ternyata memang terbukti.
Pencapaian ini tak lepas dari keyakinan the MID-Model tentang bagaimana memilih
materi dan metode pembelajaran, serta teknik-teknik mediasi guru yang memungkinkan
siswa merasa senang dan tertarik belajar bahasa Inggris. Pemilihan materi, metode, dan
teknik mediasi konsisten dengan teori-teori pemerolehan bahasa kedua/asing dan tahap-
tahap perkembangan kognitif.
Kalau kenyataan itu benar, akan kosisten dengan teori mediasi yang menyatakan
bahwa: "... it is the role of the teacher to help learners to find ways of moving into their
next level of understanding of the language." (Williams dan Burden,1997: 66). Teori itu
menyarankan apa yang harus dilakukan guru untuk mendukung dan meningkatkan
motivasi belajar dan sikap positif siswa, dan sekaligus berimplikasi pada praktik-praktik
pembelajaran bahasa asing bahwa motivasi dan sikap positif dapat dipengaruhi melalui
kegiatan yang bermakna dan menarik.
Kalau dibandingkan dampak the MID-Model terhadap motivasi dan sikap positif
siswa, maka tampak ada ketidakkonsistenan pada kelompk eksperimen dan kontrol untuk
sekolah berkategori baik. Dengan temuan seperti itu, dapat diketahui bahwa pada
dasarnya "motivasi tidak selalu konsisten dengan sikap positif atau sebaliknya". Hal itu
tampaknya mengingkari pandangan Winkel (1983: 31) bahwa terdapat hubungan yang
295
erat antara bermotivasi intrinsik-berminat-berperasaan senang, dan sikap positif terhadap
belajar berperan dalam menghubungkan ketiga hal itu.
Kemungkinan lain, hal itu memperlihatkan kelemahan penelitian ini dari sudut
pandang konstruksi instrumen yang menjaring data motivasi dan sikap positif. Namun,
perlu diketahui bahwa pengembangan instrumen telah dilaksanakan sesuai prosedur yang
berlaku—membuat kisi-kisi, penilaian pakar, dan uji coba lapangan yang menggunakan
perhitungan statistik yang relevan. Atau hal itu membuktikan bahwa mengukur motivasi
dan sikap sulit dilakukan karena sifatnya cenderung labil, tidak menetap.
4. Faktor-Faktor Pendukung Pengembangan the MID-Model
Ada beberapa faktor yang mendukung pengembangan the MED-Model. Faktor-
faktor itu adalah latar belakang pendidikan guru, pengalaman kerja guru, kinerja guru,
kesiapan siswa belajar, materi atau bahan ajar yang relevan, dan alat atau media
pembelajaran.
Latar belakang pendidikan guru memberi kontribusi yang signifikan untuk
kelancaran dan keberhasilan pengembangan the MID-Model. Dengan bidang keilmuan
yang relevan, guru lebih mudah diyakinkan dan memahami konsep yang melekat pada
model pembelajaran. Sehingga kualitas belajar-mengajar bahasa Inggris dapat
ditingkatkan melalui perbaikan mutu dan inovasi-inovasi praktik pembelajaran yang
lebih sesuai dengan kebutuhan. Dari pengalaman uji coba model, dapat diamati
kemampuan guru yang semakin baik sejalan dengan bertambahnya siklus-siklus uji coba.
Hal itu terjadi karena evaluasi-penilaian-perbaikan yang dilakukan setiap akhir siklus
mudah dipahami dan dilaksanakan guru penguji coba. Kontribusi tingkat pendidikan
tentu berperan penting dalam kemudahan-kemudahan ini.
296
Demikian halnya dengan pengalaman kerja dan kinerja guru, akumulasi
pengalaman mengajar terbentuk melalui proses yang dihayati, dievaluasi, dan disadari
kelemahan dan kelebihannya. Semakin berpengalaman seorang guru, akan semakin
mampu melakukan adaptasi kearah perbaikan mutu dan sistem pembelajaran. Sehingga
ketika diperhadapkan pada sebuah inovasi dan perilaku-perilaku yang diinginkan bagi
sebuah praktik pembelajaran, guru mudah menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan
yang dipersyaratkan. Dengan perkataan lain, pengalaman kerja guru sangat berkontribusi
pada kelancaran dan keberhasilan implementasi the JvflD-Model.
Pendidikan dan pengalaman kerja berinteraksi secara dinamis dalam membangun
kompetensi seorang guru sehingga mampu berperan aktif dalam setiap usaha perbaikan
rjraktik-praktik pembelajaran. Secara bertahap peran dan kinerja yang ditampilkan guru
dalam pengembangan the MID-Model berjalan sesuai dengan rencana. Mereka
melakukan peran sebagai fasilitator, penyedia dan perancang pengalaman belajar bagi
siswa. Misalnya memilih dan menentukan bahan ajar yang setingkat di atas struktur
kognitif siswa. Hal itu sejalan dengan konsep the zone of proximal development, yang
menurut Wertsch (1991) dalam Wolfoolk (1995: 50) adalah 'the area where the child
cannot solve a problem alone, but can be successful under adult guidance or in
collaboration with a more advance peer.' Ketika siswa dalam posisi mental dimana
stimulus (informasi, konsep bahasa baru) yang disajikan sebagai input tidak cocok
dengan skema yang ada dalam dirinya, terjadi apa yang disebut oleh Piaget sebagai
disequilibrium. Dalam kondisi itu, peran guru sebagai mediator sangat dibutuhkan agar
siswa tidak mengundurkan diri dari proses belajar dalam arti mengacuhkan informasi.
297
Peran guru sebagai mediator dalam implementasi the MID-Model menuntut
keahlian tertentu dalam memediasi input baru kepada anak dan mendukung mereka
menyelesaikan tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan yang setingkat di atas
kemampuan yang ada. Dukungan belajar dan memecahkan masalah diberikan dalam
bentuk kata-kata kunci dan pertanyaan penggali/terarah, pemberian dorongan dan
contoh/model melalui demonstrasi. Hal itu sejalan dengan konsep scaffolding (Cameron,
2001; 8)—"Talk that supports a child in carrying out an activity", atau percakapan yang
mendukung anak dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan. Demikian juga Woods (1998)
dalam Cameron (2001: 9) yang mengemukakan bahwa guru dapat melakukan scaffolding
dalam berbagai cara: 'attend to what is relevani, adopt useful strategjes, dan remember
the whole task and goals'. Kalau dalam implementasi the MID-Model peran guru seperti
itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tidak akan mungkin implementasi model
berjalan sesuai rencana.
Peran siswa dalam belajar salah satu faktor pendukung yang sangat menentukan
dalam mengelola organisasi kelas the MID-Model sehingga implementasi model berjalan
lancar sesuai dengan rencana. Hasil pengamatan sampai akhir siklus uji coba model
menunjukkan adanya keterlibatan aktif sebagian besar siswa dalam setiap kegiatan. Peran
itu nampaknya terbentuk dalam bingkai pola-pola interaksi yang dibangun guru. Siswa
sebagai meaning maker dari input yang diberikan mampu melakukan eksplorasi,
melakukan abstraksi (walaupun masih selalu terkait dengan benda-benda konkret),
menarik kesimpulan pelajaran dan menggunakan pengetahuan baru ke dalam situasi yang
berdeda.
298
Dalam konteks itu, siswa diperhadapkan pada pengalaman berbahasa pedagogis,
real atau quasy-real yang memungkinkan mereka memperoleh input secara lebih baik
sesuai dengan perkembangan intelektualnya. Menurut Piaget (Anwar, 1984:25) Peristiwa
belajar bagi siswa pada usia operasi konkret sudah mampu melakukan operasi secara
verbal pada objek dengan cara merangkaikan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, dan
meramalkan. Selanjutnya, pengalaman berbahasa dan kebahasaan siswa dalam the MD>
Model dilaksanakan melalui interaksi dan kerja sama dalam kelompok yang
memungkinkan terjadinya umpan balik terhadap pengalaman belajar sehingga proses
pembelajaran berjalan lebih manusiawi. Hal itu sejalan dengan klaim Celce-Murcia
(1991: 347) yang menyatakan "interacting and cooperating with others allow
opportunities for feedback on one's own language leaming and humanizes the Iearoing
process". Jika dalam implementasi the MBD-Model peran siswa seperti itu tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, sulit dibayangkan implementasi model berjalan sesuai dengan
rencana.
Peran materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan juga tak kalah pentingnya bila
dibandingkan dengan peran siswa dalam mendukung pengembangan the MJD-Model.
Dengan bahan ajar, siswa dapat melakukan eksplorasi, mengemukakan gagasan baik lisan
mau pun tertulis dari hasil eksplorasi, dan melakukan percobaan untuk menguji dan
merevisi asumsi-asumsi tentang bahasa yang telah dibangun sehingga dapat digunakan
dalam situasi baru baik dalam konteks pedagogis maupun konteks dunia nyata. Peran
materi seperti itu diyakini mampu mengembangkan kompetensi komunikatif siswa
melalui penyajian yang memperhatikan hipotesis input i + 1 (Krashen dan Terrel (1988:
299
32). Siswa belajar melalui interaksi, negosiasi makna, dan dalam proses yang bertujuan
serta terbimbing untuk mengekspresikan diri dengan bahasa target yang dimiliki.
Hal itu sejalan dengan teori dan hasil penelitian pemerolehan bahasa kedua
(Williams dan Burden, 1997: 168) yang mengklaim bahwa individu memperoleh bahasa
asing melalui proses interaksi dan negosiasi makna dalam situasi yang bertujuan. Artinya
materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan berfungsi sebagai forum yang memfasilitasi
interaksi antara dua atau lebih peserta. Kalau dalam implementasi the MID-Model peran
materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan seperti itu tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, sulit dibayangkan implementasi model berjalan sesuai rencana.
Alat atau media pembelajaran adalah bagian integral yang mendukung
implementasi the MID-Model, tak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur lain yang
membentuk proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikatif siswa.
Dari implementasi model, diperoleh informasi bahwa alat atau media pembelajaran
menyumbang pelaksanaan strategi operasional dalam menstimulasi respon siswa,
memberi konteks dan memperjelas seting kegiatan berbahasa, serta menstimulasi
imaginasi siswa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Lebih khusus, alat atau
media pembelajaran menjembatani pesan yang melekat pada materi yang ingin
dikomunikasikan kepada siswa. Tersedianya alat atau media pembelajaran yang relevan
dengan informasi dan konsep-konsep bahasa yang akan diberikan sebagai input, sangat
membantu implementasi the MID-Model.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkait dengan
sistem penunjang the MID-Model tidak terlepas dari sebuah sistem atau strategi
pembelajaran dalam kerangka berpikir yang utuh. Joyce dan Weil (Seiler dan Miller
300
1985:19*I>dan Ellis (Oliva (1992: 413) menyatakan model pembelajaran memiliki sistem
penunjang' yang diperlukan (support system). Hal itu dimaksudkan agar implementasi
model dapat secara optimal berjalan sehingga mampu merefleksi keutuhan konsep-i
konsep-yang membangun model tersebut. Jika implementasi model dapat secara optimal
merefleksi konsep-konsep yang membangunnya, maka tujuan model pembelajaran akan
tercapai dengan baik.
5. Relevansi the MID-Model Dengan Mata Pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Bab X, Pasal 37 ayat (1) berbunyi "Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal"—salah satunya adalah
pelajaran bahasa. Terlepas dari alasan yang lain, itulah yang menjadi Iandasan kuat
sehingga pelajaran Bahasa Inggris paling banyak diminati oleh sekolah-sekolah dasar
seluruh Indonesia dibandingkan dengan muatan lokal yang lain. Namun, dari beberapa
hasil penelitian ditemukan bahwa penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris tidak
memenuhi kondisi-kondisi yang seyogyanya ada untuk mendukung penyelenggaraan
dimaksud.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sangat bervariasi,
karena kemampuan guru mengelola pembelajaran, menggunakan pendekatan, metode,
dan teknik pembelajaran, menggunakan sarana dan fasilitas belajar, dan mengelola
pengalaman belajar yang kurang memperhatikan perkembangan intelektual siswa. Selain
itu, pengajaran terpaku pada buku teks, sementara dari sejumlah 37 macam buku teks
bahasa Inggris hanya 19,04% yang termasuk berkategori baik. Di sisi lain, banyak
sekolah dasar telah menetapkan bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan loka! sejak kelas
301
tiga, bahkan beberapa dimulai kelas satu, dengan tujuan agar siadfe^uSfatiS
berkomunikasi lisan dan tulis dalam bahasa Inggris sederhana untuk m e n j i i t ^ K g f e g e ^ , ^
ke jenjang pendidikan selanjutnya. , ,
Dari temuan-temuan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang
paling mendasar dan mendesak untuk dilakukan adalah perbaikan pada proses,
peningkatan mutu sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa mau belajar
dan menghargai pelajaran bahasa Inggris, memiliki kemampuan komunikatif, bahkan
juga motivasi belajar dan sikap positif. Salah satu hai yang dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan itu adalah mengembangkan model pembelajaran yang peka
terhadap usia perkembangan dan teroi-teori belajar yang relevan, pemilihan materi,
metode dan teknik pembelajaran yang peduli akan realitas kehidupan anak, serta
mementingkan proses dan hasil belajar.
The MfD-Model diyakini relevan sebagai salah satu wahana untuk memecahkan
sebagian masalah mendesak dari kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar
dewasa ini, khususnya perbaikan proses, sistem penyampaian dan mutu pembelajaran
agar siswa mampu berkomunikasi lisan dan tertulis sederhana. Relevan karena the MTD-
Model berangkat dari asumsi-asumsi dasar tentang bagaimana seorang anak belajar
bahasa (kedua/asing), kapan anak perlu dibantu dalam proses pencarian makna,
pengaturan bahan ajar dan tingkat kompleksitas tugas yang relevan dengan
perkembangan intelektual, serta penyediaan pemajanan (exposure) bahasa Inggris yang
cukup.
Model ini juga mengatur dan memfasilitasi pengalaman belajar dalam bentuk
tugas-tugas berbahasa dan kebahasaan untuk mengembangkan kemampuan komunikatif,
302
motiasi, dan sikap positif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris. Selain itu, guru tidak
perhi mengikuti materi dan metode atau alur penyampaian sebuah buku teks secara
iinutlak, tapi memilih bahan ajar dari beberapa buku sumber yang dianggap sesuai.