Click here to load reader
Upload
satria-utomo
View
218
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dsfdsgdsgdsgds
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara
langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh
kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang sambungan
neuro muskular dan saraf autonom.1
Tetanus tersebar diseluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan perternakan/pertanian dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah resiko tinggi dengan cangkupan imunisasi DPT yang
rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi akibat perbedaan aktivitas
fisiknya.1
Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara
beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil,
Filipina, Vietnam, Indonesia dan negara-negara di benua Asia.2
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun
1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan
WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh
dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus
neonatorum, 210.000 Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang di
jumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan , kira-kira terdapat 300 kasus
pertahun kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.2
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma
akut, sperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma
didalam rumah atau selama bertani, berkebun dan beraktivitas luar ruangan yang
1
lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi dapat juga
berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis bahkan pada
beberapa kasus tidak dapat di identifikasi adanya trauma. Tetanus dapat
merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren. Tetanus
juga dapat dikaitkan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan,
aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi adanya port
d’entree.2
Tabel 1. Jumlah Kasus Tetanus dan kematian di beberapa rumah sakit Propinsi di Indonesia1
Tahun RSCM RSHS RSWS RSK RSMH
kasus M% Kasus M% kasus M% kasus M% Kasus M%
1991 40 25,0 26 11,5 0 0 27 18,5 20 25,0
1992 36 19,4 19 21,0 22 31,8 33 12,1 14 14,3
1993 33 15,2 17 23,5 12 32,3 20 0 23 21,7
1994 15 6,7 19 15,7 10 50,0 11 0 13 7,6
1995 18 11,1 13 23,0 10 25,0 9 0 14 28,6
1996 11 9,1 10 20,0 8 0 9 11,1 7 42,9
Ket: RSCM=RS.Dr.Cipto Mangkusumo, Jakarta, RSHS=RS.Dr.Hasan Sadikin,
Bandung, RSWS=RS.Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ujung pandang, RSK=RS. Dr.
Kariadi, Semarang.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. C. Tetani yang hidup anaerob,
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan
mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel
darah merah, merusak leukosit.2,3
2.2. Epidemiologi
Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering,
tetanus neonatorum (umbilikus), membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi
setiap tahun karena ibu tidak terimunisasi; lebih dari 70% kematian ini terjadi
pada sekitar 10 negara Asia Dan afrika tropis. Lagipula, diperkirakan 15.000-
30.000 wanita yang tidak terimunisasi diseluruh dunia meninggal setiap tahunnya
karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan C. tetani luka
pascaabortus, pascapartus, atau pasca bedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan
setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun
atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.4
Tetanus tersebar diseluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan perternakan/pertanian dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah resiko tinggi dengan cangkupan imunisasi DPT yang
rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi akibat perbedaan aktivitas
fisiknya.1
Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara
3
beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil,
Filipina, Vietnam, Indonesia dan negara-negara di benua Asia.2
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun
1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan
WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh
dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus
neonatorum, 210.000 Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang di
jumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan , kira-kira terdapat 300 kasus
pertahun kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.2
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma
akut, sperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma
didalam rumah atau selama bertani, berkebun dan beraktivitas luar ruangan yang
lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi dapat juga
berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis bahkan pada
beberapa kasus tidak dapat di identifikasi adanya trauma. Tetanus dapat
merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren. Tetanus
juga dapat dikaitkan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan,
aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi adanya port
d’entree.2
Otitis media supuratif kronis merupakan salah satu bentuk port d’entree
dari C.tetani. otitis media supuratif kronis disebut juga dengan otitis media
perforata atau congek. Otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus menerus
atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi
kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif kronis.5
2.3. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi
4
dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. C. Tetani merupakan bakteri gram
positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob
obligat yang menghasilakan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna,
berbentuk oval, menyerupai reket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan
hidup bertahun-tahun dalam lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20
menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan,
tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan suhu 120 0C
selama 15 menit Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat
diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap antibiotik. Bakteri ini jarang dikultur
karena diagnosanya yang berdasarkan klinis. Clostridium tetani menghasilkan
efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan didalam
sel-sel yang terinfeksi dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan
rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan
terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat yang
memediasi pengikatnya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel
sel,sedangkan rantai ringan berperan untuk memblokade pelepasan
neurotransamiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur
asam amino dari dua toksin yang paling kuat yang pernah ditemukan yaitu toksin
botolinum dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog.2
2.4. Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C. Tetani sendiri tidak
menimbulkan inflamasi dan port d’entree tetap tampak tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain.2
Dalam kondisi anareob yang dijumpai pada jaringan nekritik dan
terinfeksi, basil tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup
yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang
memungkinkan multiplikasi bakteri.2
5
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang dan
menyebar keseluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut dari pada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,
terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C
toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan
internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksonal dan menimbulkan
perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin
esterase tidak aktif, sehingga kadar asetil kolin menjadi sangat tinggi pada sinaps
yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot
yang besar.1
Dampak toksin dari C.tetani sebagai berikut:1
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh
karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah
keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan
otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
ganglion diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermi, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardi.
2.5. Diagnosis
Tetanus dikategorikan menjadi bentuk generalisata, neonatal (bentuk
generalisata pada anak-anak kurang dari setahun), local, dan cephalic (dimana tetanus
terlokalisasi pada regio kepala). Tetanus generalisata dan neonatal mempengaruhi
seluruh otot ditubuh dan menyebabkan terjadinya opistotonus (tulang belakang
melengkung kebelakang akibat kekakuan otot-otot ekstensor leher dan punggung) dan 6
dapat menyebabkan kegagalan respirasi dan kematian akibat kekakuan dan spasme
otot-otot pernapasan dan laring. Tetanus local dan cephalic hanya terhitung dalam
sejumlah kecil kasus; tetapi bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk
generalisata.6
Tergantung apakah bentuknya local/cephalic atau generalisata/neonatal,
tetanus umumnya bermanifestasi berupa trismus/lockjaw, risus sardonicus, disfagia,
leher kaku, kaku abdomen, dan opistotonus, hiperaktivitas otot-otot kepala, leher dan
pinggang. Anggota gerak biasanya tidak terlalu berpengaruh, tetapi pada opistotonus
lengkap bisa juga terdapat fleksi lengan dan ekstensi kaki, seperti pada posture
dekortikasi. Trismus adalah gejala awal yang paling sering dijumpai, baik pada
tetanus local/cephalic maupun tetanus generalisata/neonatal, tetapi penyakit ini dapat
tampil dengan cara yang telah dijelaskan diatas. Sebagai tambahan, nyeri otot
menyeluruh, paralisis flaccid focal, dan sekelompok gejala yang menggambarkan
pola inaktivasi neuronal yang tidak umum, seperti diplopia, nistagmus, dan vertigo
dapat muncul.6
2.5.1. Anamnesis 1
1. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang
2. Apakah pernah keluar nanah dari telinga
3. Apakah menderita gigi berlobang
4. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT kapan
imunisasi yang terakhir
5. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal dengan kejang yang pertama.
2.5.2. Pemeriksaan fisik 4
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasem otot-otot
mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor
trunki)
7
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di
kornu anterior
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas), sudut
mulut tertarik ke luar dan bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri
anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas
inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan menggepal kuat.
Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermiten diselingi periode
relaksasi. Kemusian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa
nyeri. Kadang-kadang disertai dengan perdarahan intramuskular karena
kontraksi otot yang kuat.
8. Asfiksisa dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan
laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur
columna vetebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat
kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terjadi pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian
tekanan cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium: 4
1. Trismus ≥3 cm tanpa kejang tonik umum meski di rangsang
2. Trismus ≤3 cm dengan kejang tonik umum bila dirangsang
3. Trismus 1 cm dengan kejang tonik umum spontan
2.5.3. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, liquor serebrospinal normal,
jumlah leukosit normat atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan
prosedur khusus untuk kuman anaerob. Selain mahal, hasil biakan yang positif
tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
8
2.6. Diagnosis Banding
Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding:1
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosi tersebut
tidak dijumpai trismus, risus sardonikus, dijumpai yang dijumpai
gangguan kesadaran dan kelainan liquor serebrospinal
2. Keracunan strihnin: minum tonikum terlalu banyak pada anak
3. Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dak kesukaran menelan,
sedangkan pada anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu epidemi
4. Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses
tonsilar, biasanya asimetris.
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri
dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,
mengatasi kejang, perawatan luka atau port d’entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK, sedangkan pengobatan khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.1
2.7.1. Perawatan Umum1
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan intravena sekaligus memberikan
obat-obatan dan bila hari ke 3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah kejang
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obatobatan
dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya spirasi.
2. Menjaga agar saluran nafas tetap bebas pada kasus yang berat perlu
trakeostomi
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup masker
4. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam efektif mengatasi spasem dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgbb dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis dan dosis yang
direkomendasikan untuk usia < 2tahun adalah 8mg/kgbb/hari diberi oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan
9
pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk BB <10 kg dan 10 mg per
rektal untuk anak >10 kg atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgbb/kali. Setelah kejang berhenti pemberian diazepan dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain,
untuk bayi diberi dosis initial 0,1-0,2 mg/kgbb iv untuk menghilangkan
spasme akut diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgbb/hari. Stelah 5-7 hari
dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan
melalui pipa orogastrik. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai lagi
kejang spontanbadan masih kaku, kesadaran membaik dan tidak dijumpai
gangguan pernafasan. Bila dosis maksimal diazepam telah tercapai namun
anak masih kejang atau mengalami spasme laring sebaiknya
pertimbangkan untuk dirawat diruang perawatan intensif sehingga otot
dapat dilumpuhkan dan mendapatkan bantuan pernafasan mekanik.
Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respon klinis yang diharapkan dosis di pertahankanslema 3-5
hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap ( berkisar antara
20% dari dosis setiap 2 hari.
Fenobarbital dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika
pasien dirawat seting intensive care unit karena resiko terjadi depresi
pernapasan
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka
diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT
2.7.2. Pengobatan Khusus1
1. Antibiotik
a. Lini pertama adalah metronidazol iv/oral dengan dosis inisial 15
mg/kgbb dilanjutkan dosis 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap
6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi
jumlah kuman C tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberi penisilin prokain 50.000-100.000/kgbb/hari selama 7-10 hari
jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgbb/hari(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun)
10
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan
antibiotik yang sesuai.
2. Antiserum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan
50.000 IU iv. Pemberian ATS harus hati-hati akan reaksi anafilakti. Pada
tetanus anak pemberian serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT
setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3000-6000 IU.
2.8. Pencegahan 4
1. Mencegah terjadi luka
2. Perawatan luka yang adekuat
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka
yaitu untuk memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah
terjadinya tetanus atau masa inkubasi di perpanjang atau bila terjadi
tetanus gejala nya ringan. Umumnya diberikan 1500 U intramuskular
dengan didahului oleh uji kulit dan mata
4. Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapatkan
imunisasi aktif pada minggu-minggu berikutnya setelah pemberian ATS,
kemudian diulangi lagi dengan jarak waktu 1 bulan 2 kali berturut-turut.
5. Pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah mendapat luka berat
(dosis 50.000 U/kgbb/hari)
6. Imunisasi aktif. Toksoid tetanus diberikan agar anak membentuk
kekebalan secara aktif. Sebagai vaksinasi dasar diberikan bersama
vaksinasi terhadap pertusis dan difteri, dimulai pada umur 3 bulan.
Vaksinasi ulangan diberikan 1 tahun kemudian pada usia 5 tahun serta
selanjutnya setiap 5 tahun diberiukan hanya bersama toksoid difteria
(tanpa vaksin pertusis)
2.9. Prognosis
Dipengaruhi oleh berapa faktor dan akan buruk pada masa yunas yang
pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus) dan usia lanjut,
bila disertai frekuensi kejang yang tinggi, kenaikan suhu tubuh yang tinggi,
pengobatan yang terlambat, period of onset yang pendek (jarak antara trismus dan
11
timbul kejang) dan adanya komplikasi terutama spasme otot pernafasan dan
obstruksi saluran pernafasan.3
Mortalitas di Amerika Serikat dilaporkan 62% (masih tinggi). Di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta didapatkan angka 80% untuk tetanus
neonatorum dan 30% untuk tetanus anak.3
BAB III
12
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. C. Tetani yang hidup anaerob,
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan
mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel
darah merah, merusak leukosit. Tetanus didapatkan akibat trauma didalam rumah
atau selama bertani, berkebun dan beraktivitas luar ruangan yang lain. Penegakan
diagnosa pada tetanus dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
karna gejala klinis dari tetanus yang khas. Penanganan pasien tetanus dengan
segera dan sesuai dengan standar operasional prosedur maka akan meningkatkan
harapan hidup pasien dan mencegah terjadinya komplikasi.
13