Upload
phamthuy
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara besar yang memiliki khasanah
kebudayaan yang luar biasa banyaknya, dan tersebar di seluruh
wilayah dari Sabang sampai Merauke dengan budaya lokal yang
penuh kearifan sebagai norma-norma tradisional bagi manusia yang
telah diakui, dipatuhi, dilestarikan, dijaga dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat agar mendapatkan
berkah keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan
alam, sosial, budaya, ekonomi, keamanan maupun pangan, seperti
tradisi Tikar Adat dan Upacara Bakar Batu (Papua), Sasi (Maluku),
Mapalus (Sulawesi Utara), Bau Nyale (Nusa Tenggara Barat), Awig-awig (Lombok Barat dan Bali), Kapamalian (Kalimantan Selatan), Wewaler (Jawa Timur), Repong Damar (Lampung Barat-Sumatra),
Sekaten (Jawa Tengah dan DIY), Gus-ji-gang (Kudus-Jawa Tengah)
dan masih banyak lagi. Terpeliharanya budaya lokal tersebut akan
berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Salim (1990), pembangunan berkelanjutan bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi manusia.Rogers, et.al (2008) menyatakan
pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu ekonomi,
lingkungan dan sosial budaya.
Gus-ji-gang, dapat dilihat sebagai salah satu jenis budaya yang
memiliki kearifan lokal1 yang telah menjadi gagasan, nilai, serta
pandangan masyarakat yang berada di Kabupaten Kudus, selain tradisi
perawatan Rumah Pencu, Buka Luwur, Kupatan dan Syawalan, Dandangan, Ampyang Maulid, Sewu Kupat, serta Resik-resik
Sendang. Gus-ji-gang menurut hasil wawancara2 dari berbagai pihak
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
2
telah diyakini berasal dari warisan tuntunan atau ajaran Sunan
Kudus3, salah satu Walisanga4 mendapatkan posisi yang istimewa
karena telah mampu menyelaraskan aspek modernitas
(mengedepankan rasionalitas, pragmatisme, dan empirisme), aspek
agama (mengedepankan sakral, tekstual kitab suci, transendental) dan
aspek budaya nenek moyang (mengedepankan karisma, karamah,
tradisi, figur keteladanan) dalam proses dialektika sehingga Sunan
Kudus turut mengkontruksi identitas Islam yang mengedepankan
sakralitas serta mengembangkan dimensi profan (khususnya
ekonomi) yang saling berinteraksi secara efektif. Risakotta (2002)
menyatakan semua budaya rakyat Indonesia dipengaruhi oleh tiga
fenomena yaitu modernitas, agama dan budaya nenek moyang, karena
tidak ada golongan modern, golongan agama atau golongan budaya
yang murni.
Proses dialektika modernitas, agama dan budaya nenek
moyang atau budaya lokal yang dilakukan Sunan Kudus dapat berjalan
baik secara terus-menerus serta dalam waktu yang panjang, sadar
maupun tidak sadar dilakukan dan diterima oleh masyarakat Kudus.
Masyarakat Kudus termasuk masyarakat yang hidup sebagai
masyarakat pesisir, memiliki karakteristik yaitu masyarakat yang
terbuka, lugas dan egaliter. Menurut Thohir (2006), hal itu ada
hubungannya yaitu: pertama, kondisi kawasan tempat tinggal, kedua,
posisi daerah-daerah pesisir secara geopolitik yang berjauhan dengan
daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam sejarahnya
memiliki hubungan intensif dengan orang-orang dari Asia, Timur
Tengah dalam kaitannya dengan hubungan dagang dan penyiaran
agama Islam.
Agama Islam yang berkembang di Kabupaten Kudus tidak
akan lepas dari peran dan pengaruh Sunan Kudus yang memiliki nama
asli Syaikh Ja‟far Shodiq di Kudus yang mengemban misi walisanga
untuk mentransformasikan Islam secara damai dengan pola akulturasi
dan asimilisi di Jawa dan sekitarnya, dengan sistem jaringan
(networking) yang kuat serta pendekatan budaya dan tradisi lokal
yang sesuai kondisi masing-masing daerah. Sunan Kudus telah
Pendahuluan
3
berhasil menyelaraskan aspek-aspek budaya lokal dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam kepada masyarakat di Kabupaten Kudus. Oleh
karena itu, metode dakwah Sunan Kudus dikenal dengan pendekatan
kultural sangat menonjol, dan ini dapat dilihat pada bangunan Menara
Kudus5 yang mencerminkan akulturisasi budaya Islam sebagai budaya
baru dengan budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang lebih
dahulu ada. Berdirinya Menara Kudus sebagai tanda pluralisme yang
mirip dengan bangunan candi umat Hindu (candi Jago, dan candi
Kidal di Malang-Jatim) dan berbagai bangunan pelengkapnya sebagai
asesoris yang mencerminkan keharmonisan komunitas berbagai etnik
(Jawa, Cina, Arab, Persia dan India) dan lintas kultural (Hindu,
Budha, dan Islam). Dampak positif dari dakwah Sunan Kudus mampu
menyadarkan masyarakat untuk melakukan perubahan pola perilaku
kehidupan masyarakat Kudus sehari-hari sebagaimana mereka mulai
menunjukkan perbedaan-perbedaan, baik dalam sikap maupun
tingkah laku yang nyata, bila dibandingkan dengan pola umum
kehidupan masyarakat sekeliling mereka.
Kepiawaian Sunan Kudus dalam berdakwa agama dan
berdagang telah memposisikannya sebagai tanda atau simbol dengan
predikat sebagai waliyyul ilmy seorang wali yang memiliki
penguasaan ilmu agama dan ilmu lainnya yang tinggi sehingga sering
disebut “Guru Akbar” serta memiliki predikat Wali Saudagar sebagai
simbol kalau Sunan Kudus memiliki keahlian berdagang serta
memiliki etos kerja yang tinggi sehingga kekayaan berlimpah sebagai
individu yang digunakan untuk kemajuan pengembangan dakwah
agama dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Dua karakter
Sunan Kudus yaitu sebagai waliyul ilmi dan wali saudagar tercermin
dalam struktur ruang yang ditunjukkan dengan adanya berbagai
ornamen dan bermacam-macam hiasan berupa piring dan mangkok
keramik dengan berbagai bentuk serta motif yang tidak hanya ada di
Masjid Menara sebagai pusat dakwah yang ramai dikunjungi orang,
tetapi juga terdapat di sekeliling tembok Menara Kudus (tempat untuk
memanggil waktu sholat) yang diduga berasal dari berbagai negara di
Asia, seperti China, Persia, India, Arab, dan Vietnam. Hal ini sebagai
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
4
bukti telah terjadi jaringan perdagangan antarpulau maupun
perdagangan antarnegara pada masa Sunan Kudus. Disamping itu,
Sunan Kudus seorang pemimpin (leadership) yang ulung sebagai
seorang senopati kerajaan Demak yang memiliki ketegasan dan
kewibawaan yang menjadikan citra Sunan Kudus begitu kharismatik
dan menonjolkan unsur kedamaian daripada kekerasan.
Memposisikan Sunan Kudus sebagai waliyul ilmi, dan wali saudagar maupun seorang senopati merupakan tanda hubungan
simbolik yang mampu mengembangkan imajinasi simbolik serta
melekat pada diri komunitas Muslim di Kudus dengan sebutan Gus-ji-gang yaitu harus bagus, pintar ngaji dan pintar berdagang. Dr.Abdul
Jalil.M.Ei6 saat diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa Gus-ji-gang dengan meminjam istilah Hasyim Asy‟ari7, karakter wong Kudus8 adalah sosok Gus-ji-gang, orang yang memiliki kriteria bagus,
kaji dan dagang.Wong Kudus itu harus bagus rupa dan bagus laku
artinya wong Kudus harus menjaga ”kebagusan perilaku” dan
penampilan fisik atau penampilan maliter maksudnya berpenampilan
bagus identik dengan pakaian bagus, rumah bagus wujud rasa
bersyukur rejeki berlimpah. „Ji‟ menunjukan kesalehan beragama,
ukurannya kalau sudah naik haji yang merupakan simbol status sosial
yang tinggi, karena menunaikan ibadah haji berarti sudah
melaksanakan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, dan
zakat). “Gang” yaitu dagang merupakan identifikasi usaha ekonomi
masyarakat Kudus.
Namun dalam perkembangan jaman tafsir pemaknaan Gus-ji-gang berubah, terutama „ji‟ dalam Gus-ji-gang artinya bukan kaji/haji
tetapi menjadi mengaji (Said, 2013) dan ketiga hal itu Gus-ji-gang
menjadi ciri yang melekat dalam diri wong Kudus. Artinya, bagus akhlaqnya, pintar mengaji, dan pintar berdagang. Said (2013)
menjelaskan perspektif makna Gus-ji-gang adalah sebagai berikut
Pertama, ”Gus” perkembangan tafsirnya bermakna ”Gus” bukan hanya
bersifat fisik (bagus rupa) tetapi sifat moral (bagus laku). Dan bagus
laku atau bermoral sebagai ukuran kepribadian yang baik bukanlah
untuk kaum laki-laki saja tetapi juga untuk kaum perempuan.
Pendahuluan
5
Meskipun kata “Gus” dalam tradisi Jawa biasanya diberikan sebagai
panggilan untuk anak laki-laki, namun ”Gus” dalam pengertian ini
adalah sebagai sifat moral (bagus perilaku) yang mencerminkan
ahklak mulia. Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus,
yaitu “bersikap baik atau hormat terhadap apa dan siapa saja”
merupakan behavior sebagai gejala psikis, proses lahirnya perilaku
tersebut tidak lahir secara serta merta, melainkan setelah melalui
proses psikis secara terus menerus dalam jangka panjang. Kedua, pada
awalnya “Ji” sebagai salah satu ukuran yang digunakan adalah kaji9,
kemudian seiring perkembangan jaman, “Ji” artinya rajin mengaji atau
lebih popular dengan sebutan santri10. Ketiga, istilah “Gang dari kata
dagang” artinya terampil berdagang. Keterampilan berdagang ini
ditonjolkan karena tidak lepas dari pilihan mata pencaharian yang
lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang.
Melalui filosofi11 Gusjigang tersebut mengobyektifikasikan
nilai-nilai moral budaya Jawa dan nilai-nilai agama sebagai cara
bersikap dalam pergumulan sosialnya maupun pengalaman keagamaan
(religius). Hasan (2006) menjelaskan, jiwa dagang pengusaha Kudus
merujuk pada ajaran Sunan Kudus yang telah menjadi sistem nilai
hidup, melembaga, dan memengaruhi kegiatan ekonomi12. Filosofi
Gusjigang sebagai konsep dasar hubungan nilai-nilai agama Islam
dengan kegiatan ekonomi. Konsekuensi sebutan Sunan Kudus sebagai wali saudagar telah melahirkan simbol paradigmatik golongan
masyarakat beragama Islam yang berdagang/saudagar sehingga
memunculkan di kalangan masyarakat Kudus sebutan ”santri
saudagar” menjadi spirit positif bagi orang beragama Islam di Kudus
dalam memupuk etos kerja ekonomi yang tinggi dengan dijiwai
semangat nilai-nilai religiusitas yang kuat.
Demikian pula yang dipikirkan Weber (1958) dalam bukunya,
“The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” telah mengangkat
keterkaitan antara nilai-nilai agama (etika protestantisme) dengan
perilaku kegiatan ekonomi (kapitalisme), yaitu menunjukkan
keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme, yaitu adanya
hubungan erat antara ajaran-ajaran agama dan etika kerja, atau
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
6
penerapan ajaran agama dan pembangunan ekonomi. Etika sebagai
ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral, khususnya
dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, banyak bersumber
dari ajaran agama.
Weber mencoba melakukan transfomasi struktural sekaligus
juga lintas struktural antara dua bidang yaitu agama dan ekonomi
(Sudrajat1994). Weber telah menempatkan agama-khususnya agama
Kristen Protestan sebagai faktor yang determinan. Agama merupakan
faktor yang berdiri sendiri dan berpengaruh, serta kemungkinan
adanya “kemampuan mengubah” dari agama. Dengan kata lain,
Weber ingin menegaskan bahwa kesadaran agama bukanlah sekedar
akibat kenyataan sosial-ekonomi, tetapi agama merupakan suatu
faktor yang otonom dan sekaligus memiliki kemungkinan untuk
memberikan corak pada sistem pola perilaku. Dengan demikian agama
menempati posisi yang memiliki potensi untuk mengadakan
perubahan struktur, termasuk kenyataan sosial-ekonomi13. Menurut
Turner (1984), inilah yang membedakan Weber dengan Marx yang
menempatkan agama pada posisi nomor dua dan dependen14. Weber
memberikan bukti, ada fakta statistik yang menjelaskan fenomena di
dunia Eropa modern yang menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin
perusahaan dan para pemilik modal, maupun buruh-buruh terampil
(ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan perusahaan
modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga,
kebanyakan beragama Kristen Protestan15.
Perkembangan di bidang ekonomi di dunia Barat terutama
disebabkan oleh semangat kapitalisme modern sebagai sesuatu yang
tidak dapat berdiri sendiri. Menurut Weber, kapitalisme modern
timbul sebagai hasil kumulatif secara terus-menerus kekuatan sosial,
ekonomi dan pengaruh agama (khususnya agama Kristen Protestan)
sangat menentukan, sebab dalam ajaran agama Kristen Protestan ada
desakan sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam
kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias.
Pendahuluan
7
Etika Protestan tumbuh subur di Eropa Barat yang
dikembangkan oleh seorang yang bernama Calvin. Saat itu muncul
ajaran yang menyatakan bahwa seseorang pada intinya sudah
predestinasi atau ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Untuk
mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui
keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya
(sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia menjadi penghuni
surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia selalu mengalami
kegagalan maka dapat diperkirakan orang itu masuk neraka. Hal ini
telah membawa implikasi bagi tumbuhnya etos baru dalam komunitas
Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja
keras dan bekerja giat guna merebutkan kehidupan dunia dengan
sukses sebagai gagasan panggilan (calling). Penerapan panggilan dalam
kepercayaan Protestan bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-
urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh
agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dengan
cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari atau dengan
kata lain bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran sukses di akhirat,
sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di
kalangan pengikut Calvinis. Menurut Weber (1958), efeknya luar
biasa yaitu etika ini mendorong orang untuk bekerja keras, disiplin,
dan hemat agar memperoleh kekayaan yang dipercaya oleh mereka
sebagai tanda berkat dari Tuhan (Alatas, 2002). Ukuran sukses dan
ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak
nyata dalam aktivitas sosial ekonomi. Jadi semangat kapitalisme yang
dikembangkan dari etika Protestantisme menurut Max Weber
merupakan bentuk ajaran yang sangat mendukung pengejaran
rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi atau kekayaan yang
diperoleh dengan kerja keras dan tidak terbatas lewat industrialisasi.
Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional,
artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi yang
diutamakan daripada kepentingan dan kebutuhan kolektif serta
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
8
asketisme sebagai pesan dan kesan yang menentukan untuk
menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan
memusatkan perhatiannya kepada kemampuan bertindak dari
perilaku manusia.
Max Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari
semangat kapitalisme, sebagai berikut: ”memperoleh kekayaan (uang)
sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara
ketat terhadap pemakaian untuk hidup bermewah-mewah”. Artinya
semangat kapitalis dengan cara bekerja keras mencari uang dan
keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan tersebut
tidak digunakan secara langsung untuk konsumsi atau untuk
kenikmatan pribadi semata dengan bersenang-senang tetapi akan
diakumulasikan dan diinvestasikan kembali dalam usaha.
Demikian juga pandangan Geertz (2014) dalam bukunya:
”Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa”
menjelaskan arti dan fungsi agama dalam kehidupan sosial dan
pribadi. Bukan ajaran formal agama yang diambil dari kitab suci,
tetapi suatu konsep kesucian yang diwujudkan dalam simbol sebagai
pancaran religius yang ”sah” dalam kehidupan sosial dan pribadi
penganutnya. Agama sebagai ”sistem simbol” yang membentuk
pandangan tentang dunia dan “etos16” yang mencerminkan cita-cita,
nilai-nilai, dan cara hidup. Jadi agama merupakan pedoman yang
dijadikan kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama
juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup pada diri
manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya. Di sini agama
menurut Geertz (1989) dianggap sebagai bagian dari sistem
kebudayaan17. Pola tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem
evaluatif, serta pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau
sistem pengetahuan manusia.
Geertz (1989) melihat agama Jawa sebagai akulturasi dan
asimilasi animisme antara agama Hindu dengan agama Islam yang
datang kemudian, lalu berkembang menjadi sinkritisme. Geertz
kemudian mengelompokkan tiga lingkungan sosial, yang sekaligus
Pendahuluan
9
mencerminkan tempat dan gaya hidup yang berbeda, yaitu wilayah
pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan serta mengelompokan orang
Jawa di “Mojokuto” dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan (yang
intinya berpusat di pedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat
perdagangan atau pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat di kantor
birokrasi). Suatu penggolongan menurut kepercayaan keagamaan,
preferensi etnis dan idiologi politik, telah menghasilkan 3 tipe utama
kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa,
ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku
petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai di Jawa dalam
semua arena kehidupan.
Penelitian Geertz (1989) yang akhirnya disanggah banyak ahli,
tampaknya juga mencoba memahami pemilahan pola pemikiran dan
budaya18 spiritual masyarakat Jawa menjadi abangan, santri dan
priyayi. Ali (1987) mengatakan, kaum abangan adalah orang-orang
Islam yang kurang taat dalam menjalankan syariat Islam19.
Kuntowijoyo (1987) menyimpulkan bahwa, pada akhirnya agama
Islam yang berkembang di tanah Jawa (termasuk di Kabupaten Kudus)
pada dasarnya selalu berciri kejawaan, sama dengan nilai-nilai
kejawen atau javanism20. Menurut Koentjaraningrat (1994), kejawen merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-
Budha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu
dan diakui sebagai agama Islam. Damami (1998) menambahkan, nilai
kejawen merupakan metodologi budaya Jawa. Pengertiannya dapat
dirumuskan sebagai berikut: yaitu sebuah metodologi dalam
kebudayaan Jawa dengan ciri khasnya: Pertama, kemahiran dalam
menerapkan othak-athik gathuk (kreatif dalam menemukan titik-titik
penyesuaian sehingga kelihatan pas). Kedua, peka dalam pemaknaan
simbolik dengan kata-kata wong Jowo iku nggone semu (orang Jawa
itu tempatnya simbol, perlambang) dan Ketiga, cenderung menerima
fakta secara mitos, yaitu cenderung melebih-lebihkan realitas yang
sesungguhnya atau transendental.
Menurut Driyarkara (1964), nilai bukan suatu substansi atau
sesuatu yang berdiri sendiri, juga bukan ide (konsep), ia merupakan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
10
perjumpaan pengalaman manusia dengan apa yang dirasakan dengan
arti positif baginya21. Gus-ji-gang sebagai realitas sosial, dalam bahasa
Bourdieu merupakan sebuah proses dialektika internalisasi ekster-
nalisasi dan eksternalisasi internalisasi22 yaitu internalisasi nilai-nilai
budaya Jawa dan nilai-nilai agama Islam yang telah menjiwai
ekternalisasi dalam praktik dagang, yang menurut Bourdieu sebagai
praktik sosial yaitu hasil dinamika dialektika antara internalisasi
eksternal dan ekternalisasi interior23. Proses dialektika filosofi Gus-ji-gang di dalam kehidupan sosial masyarakat Kudus telah meng-
kristalisasi pada diri agen/aktor, artinya segala tindakan, nilai atau
cara bertindak yang dimiliki agen/aktor dipengaruhi kondisi objektif
kulturalnya dan semua hal tersebut juga melekat pada agen/aktor
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai habitus. Bourdieu
(1990), secara formal mendefinisikan habitus sebgai berikut:
”suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk mempengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan pengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif ‟mengatur‟ dan ‟teratur‟ tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-agen) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi hasil dan pengorganisasian tindakan oleh konduktor24.
Bourdieu (1997) mengatakan, pembentukan habitus tersebut
melalui proses internalisasi yang terus diterima atau dilakukan dalam
sistem ini membentuk habitus sebagai kerangka pikir aktor yang
tereksternalisasikan dalam bentuk praktik, dan selanjutnya apa yang
tereksternalisasi ini mengalami proses internalisasi kembali dan
seterusnya, dan semuanya akan berlangsung dalam area/ranah. Dalam
ranah inilah para aktor melakukan tindakan atau praktik dalam
bentuk berinteraksi yang dialektis yang melibatkan modal ekonomi,
sosial, budaya maupun simbol yang dimiliki untuk meraih,
Pendahuluan
11
mempertahankan, memberdayakan, mengembangkan dan
menjalankan sebagai kekuatan social capital dalam kehidupan
masyarakat.
Pengalaman nilai yang positif dihayati dalam perasaan, bukan
pada rasio saja, melainkan sebagai kepribadiannya (cipta, rasa, dan
karsa)25, sebagai simbol hubungan sosialnya. Searah dengan pendapat
Bourdieu (1980) bahwa, itu semua sebagai cabang (sub-species) dari social capital. Coleman (1990), melanjutkan pemikiran Bourdieu
bahwa social capital adalah payung yang berada di atas semua
kapasitas untuk berelasi dalam masyarakat. Coleman juga sependapat
dengan Bourdieu yang mengemukakan bahwa dalam social capital adalah kekuatan pendorong, dan secara implisit dari “nilai-nilai
spiritual”26, sebagai keutamaan social capital dalam mengelola bisnis
industri kecil di Kabupaten Kudus. Weber (1958) mengatakan,
perpaduan harmonis antara nilai-nilai yang rasional dan irasional.
Antara ide, doktrin agama dan dorongan keharusan material, terjadi
pertemuan dua unsur yang saling menemukan dan saling memperkuat
mampu menjadi pendorong perubahan perilaku.
Perubahan perilaku masyarakat akibat spirit positif Sunan
Kudus, menurut Geertz (1977) dalam: “Penjaja dan Raja”, menjelaskan
bahwa perubahan-perubahan masyarakat berjalan lama menurut pola-
pola perubahan yang setahap demi setahap -gradual change- yang
dimulai dari perubahan nilai-nilai kehidupan masyarakat dan
karakteristik fungsi lembaga-lembaga masyarakat yang kemudian
merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi-
organisasi ekonomi dan politik dan pada akhirnya sebagai perubahan-
perubahan sosial budaya serta ekonomi di masyarakat.
Mencermati penjelasan Gus-ji-gang, baik sebagai nilai-nilai
spiritual maupun keutamaan yang mendasari social capital masyarakat
Kabupaten Kudus dalam melakukan kegiatan ekonomi atau berdagang
bagi pengusaha Bordir, memerlukan dua acuan teori untuk
memahami kedalaman makna nilai-nilai moralnya. Pertama, diperlukan acuan teori dunia kehidupan27 Jawa yang memuat
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
12
pendapat umum dan konstruksi teoritis pemahaman dalam tipe ideal28
atau cita ideal29 dari para ahli dengan kedalaman pemahaman makna
nilai-nilai moral Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang atau
keutamaan social capital di Kabupten Kudus. Kedua, diperlukan
acuan teoritis analisis filsafat30 yang obyekti311 maknanya sama dengan
berfilsafat32 yang berdasar pada keinsyafan diri33 atau refleksi diri yaitu teori yang dikembangkan oleh Max Weber yang
menggabungkan “etika agama dan semangat dagang yang selaras
dengan konsep Gus-ji-gang serta teori Bourdieu untuk melihat Gus-ji-gang sebagai habitus masyarakat Kudus, sebagai dasar pembentukan
social capital dalam meningkatkan kinerja usaha bordir khususnya.
Peneliti memahami bahwa, Gu-ji-gang sebagai ideologi
sebenarnya berfungsi sebagai spirit yang mendorong dan
menggerakkan seseorang pengusaha atau komunitas bisnis untuk
melakukan kegiatan bisnis. Dengan pemahaman ini, yang lebih
penting dan menentukan justru pada internalisasi proses transformasi
religius yang mendorong kegiatan ekonomi bukan ideologi, sebab
apapun keyakinan, mazhab atau agama yang dianutnya, kalau
menggunakan transformasi religius selaras, searah dengan visi
kegiatan bisnis, maka pengusaha itu akan mendapatkan kesuksesan.
Berdasarkan acuan teoritis tersebut diharapkan dapat memberikan
pemahaman pengetahuan yang bersifat filsafati tentang Gus-ji-gang
dalam praktik bisnis sebagai kekuatan dasar sosial capital indutri kecil
di Kabupaten Kudus.
Melalui filosofi Gus-ji-gang tersebut mengobyektifikasikan
nilai-nilai moral budaya Jawa dan moral agama (Islam) masyarakat
Kudus sebagai cara bersikap dalam pergaulan sosialnya maupun
pengalaman keagamaan (religius). Keduanya sebagai satu kesatuan
struktur sosial34 sekaligus merupakan habitus sebagai dasar
pembentukan social capital khususnya bagi komunitas industri kecil,
khususnya usaha bordir di Kabupaten Kudus.
Mencermati berbagai uraian tentang Sunan Kudus dalam
kaitannya dengan Gus-ji-gang tersebut, menunjukkan 4 (empat) hal
Pendahuluan
13
yang perlu dicermati. Pertama, karena belum ada bukti historis
kehidupan Sunan Kudus dengan ajaran-ajarannya, maka penelitian ini
belum dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap sejarah pemikiran35 Sunan Kudus terutama tentang Gus-ji-gang, tetapi
memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada hubungan simbolik36
akan mampu membukakan peluang untuk melakukan imajinasi
simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat sebagai
Waliyyul ilmy dan wali saudagar bisa jadi mengalami perkembangan
sesuai dinamika masyarakat yang mempercayainya. Kedua, istilah
Gus-ji-gang dalam hal ini dipahami sebagai salah satu bentuk
akulturasi nilai-nilai agama Islam dengan karakteristik budaya Jawa
yang dipraktikkan dalam berbagai kegiatan ekonomi, khususnya
Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir di Kabupaten Kudus
dengan nilai-nilai moralnya menurut pendapat umum37 di bidang
dagang, dan dapat disebut sebagai salah satu keutamaan dagang di
Kabupaten Kudus. Pengertian keutamaan38 maksudnya sama dengan
etos39 terutama di Kabupaten Kudus. Kata “etos” memiliki arti sikap
yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya. Mengingat sikap
moralnya sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan peningkatan
etos secara implisit memuat nilai-nilai moral berlaku dalam
kehidupan atau sebagai budayanya. Karenanya, pihak yang menuntut
etos tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi
manusia baik40. Ketiga, diperlukan pengkajian dan pemahaman lebih
rinci tentang nilai-nilai moral budaya Jawa41, sehingga di satu sisi
dipahami sebagai keutamaan dagang yang dimaksud pemahamannya
sama dengan habitus pemikiran Bourdieu. Sedangkan pada sisi lain,
keutamaan dagang tersebut juga dijadikan sebagai tantangan acuan
pembentukan social capital dalam berdagang khususnya di Kabupaten
Kudus. Keempat, diperlukan penelitian sebagai pembuktian sejauh
mana keberlakuan Gus-ji-gang sebagai dasar pembentukan social capital pada komunitas industri kerajinan bordir di Kabupaten Kudus.
Berdasarkan empat hal tersebut di atas memunculkan problem
bagaimana sebetulnya habitus Gus-ji-gang dapat dimanfaatkan sebagai
dasar pembentukan social capital masyarakat Kudus yang di dalamnya
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
14
terkandung nilai-nilai moral budaya Jawa (pendapat umum) atau yang
ditetapkan berdasarkan nilai-nilai, ciri keagamaan, pandangan hidup
masyarakat Jawa diimplentasikan dalam Industri Kecil Bisnis Keluarga
bordir di Kabupaten Kudus.
Gusjigang sebagai habitus individu dan masyarakat Kudus pada
umumnya telah dimengerti, dipahami dan dipraktikan dalam
kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari telah dilaksanakan pada
berbagai kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya seperti:
bidang birokrasi/ pemerintahan, sosial, pertanian, perdagangan, dan
industri barang dan jasa.
Lalu yang menjadi perhatian, pemikiran, dan ketertarikan
peneliti adalah: Bagaimana keberadaan istilah Gus-ji-gang sebagai
“habitus” serta sebagai dasar penguatan social capital telah dipahami,
dimengerti, diakui dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya pada kegiatan industri dan perdagangan di masyarakat
Kabupaten Kudus yang secara empiris dapat diamati pada kehidupan
Industri Kecil dan Menengah (IKM)42.
Sejarah membuktikan, Industri Kecil dan Menengah (IKM)
relatif lebih tahan (survive) terhadap dampak negatif dari krisis
ekonomi, sehingga Berry, Rodriquez & Sandee (2001)
mengungkapkan ada tiga alasan keberadaan IKM sebagai tumpuan
utama pemerintah, yaitu: pertama, kinerja IKM cenderung lebih baik
dalam menghasilkan peluang kerja43 yang produktif; kedua, IKM
sering meningkatkan produktivitasnya melalui investasi dan aktif
mengikuti perubahan teknologi; ketiga, IKM diyakini memiliki
keunggulan fleksibilitas dibandingkan usaha besar. Perkembangan
IKM telah mendapat perhatian banyak peneliti yang mengkaji
pentingnya Industri Kecil dan Menengah (IKM) antara lain, Drucker
(1985), Birch (1987), Storey (1994), Menperindag (2005), Kuncoro
(2007), Meliadi (2008), dan ILO (2010). Hal itu menunjukkan betapa
pentingnya IKM dalam proses pembangunan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat.
Pendahuluan
15
Demikian pula Tambunan (2008) menyatakan bahwa, dari
perspektif dunia IKM memainkan peran yang sangat vital di dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, di negara maju (NM),
karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja
tetapi juga memberi kontribusi terhadap pembentukan atau
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar
dibandingkan kontribusinya dari usaha/industri besar (IB), sedangkan
pada negara sedang berkembang (NSB) seperti Asia, Afrika dan
Amerika Latin, IKM dari perspektif kesempatan kerja dan sumber
pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan
pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi pedesaan.
Selanjutnya Tambunan (2011) mengungkapkan, dilihat dari
sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas,
khususnya produk-produk manufaktur, peran IKM di negara sedang
berkembang masih relatif rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang
paling menyolok dengan IKM di negara maju.
Ada fakta empiris44 yang menunjukkan bahwa kondisi IKM
belum memperlihatkan kinerja ekonomi yang optimal dalam
kontribusinya terhadap total PDB nasional, kontribusi terhadap
pembentukan total nilai ekspor non migas belum optimal, kualitas
hidup keluarga IKM yang belum baik maupun masih lemahnya daya
saing di tingkat lokal, regional maupun internasional. Perkembangan
IKM masih banyak persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dari
berbagai pihak. Menurut Riyadi (2001), ada persoalan IKM yang lebih
khusus, antara lain; (1) rendahnya produktivitas, sumber daya
manusia dan manajemen belum profesional, kurang tanggap terhadap
perubahan teknologi dan kurangnya permodalan, (2) akses pasar yang
belum memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang
berfungsi sebagai jalur pemasaran belum berjalan efisien, (3) serta
tantangan dari perkembangan perdagangan bebas baik dalam rangka
kerja sama AFTA, APEC, dan GATT/WTO yang akan membawa
dampak pada peningkatan persaingan usaha. Hal itu didukung
pendapat dari; Urata & Kawai (2002), Tambunan (2008a; 2011), dan
Kusumawijaya (2012) yang menegaskan bahwa, kendala pertumbuhan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
16
IKM bersumber pada kelemahan-kelemahan yang melekat pada aspek
internal IKM, yaitu: pengetahuan dan teknologi produksi,
pengetahuan dalam pemasaran, kendala dalam ketercakapan sumber
daya (manusia dan financial) dan lemahnya kemampuan manajemen.
Kendati studi terhadap IKM telah banyak dilakukan, namun
tetap penting untuk diteliti. Alasan logisnya adalah IKM di berbagai
daerah mempunyai jenis usaha yang tidak sama, meskipun secara
umum profil IKM hampir sama. IKM diyakini memiliki struktur
organisasi yang lebih sederhana, mampu melakukan perubahan proses
bisnis internal dengan lebih efisien, dan memiliki kemampuan dalam
mengadaptasi inovasi. Selain itu, kelompok bisnis IKM memiliki
organisasi yang cukup terbuka dan kesederhanaan komunikasi di
seluruh jenjang organisasi, sehingga alur penyebaran informasi dapat
diketahui dengan mudah (Neerland & Kvalfors, 2000). Dengan ciri
seperti itu maka komunikasi dalam organisasi IKM mampu dilakukan
dengan lebih efisien dan mampu merespons dengan cepat kalau
terjadi berbagai perubahan lingkungan bisnis.
Selanjutnya, peneliti melakukan penelitian lebih mendalam
dengan memfokuskan pada implementasi Gus-ji-gang, habitus dan
social capital pada industri kecil45 (IK) yang memiliki pola hubungan
dekat dengan keluarga pemilik usaha, dan selanjutnya dalam
penelitian ini disebut sebagai Industri Kecil Bisnis Keluarga, atau
IKBK bordir, dapat digambarkan sebagai usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang-perorangan serta
kepemilikannya mula pertama didirikan oleh single fighter, dengan
tenaga kerja masih close-circle family atau immediate family mulai
dari suami/isteri, saudara, sampai teman dekat yang merupakan
kelompok primer46 dengan jumlah tenaga kerja antara 5-19 orang.
Kedekatan hubungan tenaga kerja dengan majikan terkait dengan
aspek kekeluargaan, kepercayaan (trust) dan kesamaan visi sehingga
suasana bekerja lebih nyaman, cair, dan penuh kekeluargaan.
Tentunya pilihan pada pasangan hidup menempati urutan pertama
dalam keterlibatan manajemen dan kepemimpinan usaha yang akan
diturunkan kepada generasi penerus. Keterlibatan pasangan hidup
Pendahuluan
17
maupun kerabat dekat di dalam bisnis menyebabkan tingginya
kehandalan sehingga usaha dapat tetap berjalan meskipun pemimpin/
pemilik usaha tidak berada di tempat. Para pekerja dapat
berkolaborasi bersama rekan kerja yang lain dengan bersemangat dan
antusias serta mampu memunculkan ide-ide inovasi yang mudah
diaplikasikan tanpa melalui birokrasi yang rumit.
Oleh karena itu, bisnis keluarga lebih menekankan keluarga
atau kerabat dekat yang ikut terlibat langsung atau tidak langsung
dalam mengelola bisnis dan rendahnya akses bisnis keluarga terhadap
lembaga-lembaga formal keuangan tidak menjadi masalah karena
pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain
seperti pinjaman atau modal dari keluarga dan kerabat. Ini sesuai
dengan pendapat Astrachan dan Kolenko (1994); Corbetta (1995);
Corbetta dan Tomaselli (1996); Rogoff & Heck (2003); Aldrich & Cliff
(2003); dan Ibrahim & Ellis (2006), yang menyimpulkan bahwa
industri kecil yang dikelola sebagai bisnis keluarga adalah dinamika
keluarga dalam kegiatan bisnis dimana kontrol legal terhadap kegiatan
operasional bisnis dilakukan oleh keluarga sendiri, memiliki andil
terhadap modal dalam memenuhi kebutuhan keuangan serta
menentukan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan-keputusan
strategis penting mengenai bisnis, meskipun sebagian besar industri
ini ditandai dengan belum memiliki status badan hukum.
Pola kehidupan bisnis IKBK merupakan sinergi pola
kehidupan hubungan sosial dan bisnis. Jika mengacu dari pemikiran
Tonies47 (1960) dalam Nurwoko dan Suyanto (2010), maka hubungan-
hubungan positif antara manusia selalu bersifat paguyuban
(gemeinschaft) dan bisnis sesuai dengan patembayan (gesellschaft). Paguyuban (gemeinschaft) merupakan bentuk kehidupan bersama,
dimana antar anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang
sifatnya alamiah dan harmonis yang hangat. Dasar hubungannya,
yaitu rasa cinta dan persatuan batin yang nyata dan organis. Bentuk
ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat desa, keluarga,
kekerabatan, dan sebagainya. Sebaliknya, patembayan (gesellschaft) merupakan bentuk kehidupan bersama dimana para anggotanya
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
18
mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka waktu
yang pendek, serta bersifat mekanis. Bentuk ini dapat ditemukan
dalam hubungan perjanjian berdasarkan ikatan timbal balik, dan ini
sebagai dasar terjadinya kehidupan bisnis. Entitas keluarga dan entitas
bisnis bukanlah hal yang tidak bisa disatukan menjadi suatu kegiatan
bisnis keluarga. Menyatunya pola perilaku kehidupan entitas bisnis
dan entitas sosial merupakan relasi dualitas. Menurut Geertz (1977),
tipologis dikhotomi antara gemeinschaft dan geselfshaft, tradisional
lawan modern, ekonomi dan non ekonomi dalam sistem ekonomi
modern dapat hidup berdampingan dengan struktur-struktur sosial
dan pola-pola kebudayaan non ekonomi yang lebih luas ruang
lingkupnya daripada yang sering diperkirakan.
Giddens (1984) dalam bukunya ”The Constitution of society”
menyatakan hubungan antara aktor dan struktur bukan dikotomis
atau dualisme, tetapi hubungan atau relasi dualitas. Dengan relasi
dualitas maka hubungan antara aktor (pengusaha IKBK) dan struktur
adalah saling mengandalkan: aktor dan struktur ibarat dua sisi mata
uang yang sama. Kemudian Giddens melakukan kalaborasi
pandangannya dalam suatu teori strukturasi, yang intinya
menggambarkan sudut pandang tentang relasi antara agensi (agency)
dan struktur (structure). Agensi digambarkan sebagai aktivitas sengaja
individu (dalam penelitian ini pengusaha IKBK) sebagai aktor yang
berusaha memenuhi kebutuhannya dan tujuannya serta sumber daya
(resources) yang digunakan dalam tindakan bisnis.
Dalam pola kehidupan aktivitas IKBK, sesuai dengan
pandangan Giddens, dapat dikemukakan bahwa struktur memang
tidak mungkin eksis kecuali bila dimanifestasikan dalam tindakan
(action) dan interelasi individu. Ini karena sifat dualitas agen dan
struktur itu. Dalam konteks ini, maka struktur itu bisa diibaratkan
mirip aturan (rules) dalam suatu permainan (game) ketimbang
permainan itu sendiri. Meskipun aturan itu dicatat dalam buku
aturan, tetapi aturan itu hanya relevan bagi perilaku manusia sejauh
aturan itu sendiri digunakan melalui suatu tindakan dalam permainan.
Sehingga kemajuan dan kemunduran IKBK tergantung dari kemauan
Pendahuluan
19
anggota mentaati aturan atau permainan yang sudah disepakati dalam
kehidupan bisnis IKBK.
Sharma (2004); Aldrich & Cliff (2003); Litz (1997)
menyimpulkan, banyak bisnis keluarga yang sukses dan berhasil
melestarikan bisnisnya dari generasi ke generasi. Keterlibatan
keluarga dalam bisnis memiliki arti bahwa keluarga dan bisnis adalah
saling terkait. Memang sulit untuk memisahkan kedua sistem ini,
yaitu keluarga dan bisnis sering terjadi tumpang tindih di antara
sistem keluarga dan bisnis serta interaksi yang simultan di antara
keduanya. Selanjutnya sejumlah pakar yaitu Tagiuri dan Davis (1992);
Habbershon dan Williams (1999); Habbershon, Williams &
MacMillan (2003); Simon & Hitt (2003); Aldrich & Cliff (2003); Zahra
dan Sharma (2004); Anderson, Jack & Dodd (2005); Niemel, (2004);
Poza E. (2010) dan Zachary (2011) meneliti keunikan mengelola
usaha keluarga yaitu kemampuan untuk menyeimbangkan identitas
ganda antara keluarga dan bisnis, menunjukkan sumber keunggulan
bersaing bagi perusahaan keluarga sebagai hasil dari keterlibatan
keluarga, misalnya komitmen organisasi yang kuat, praktik-praktik
sumber daya manusia yang fleksibel, loyalitas anggota keluarga,
motivasi mereka, ikatan sosial, dan kemampuan untuk mendapatkan
sumber daya keluarga dapat menjadi aset-aset intangible yang
berharga yang tertanam di dalam jaringan ikatan yang kompleks dan
dapat memberikan sumber daya yang unik bagi perusahaan-
perusahaan ini.
Kemudian pandangan dari Miller & Le Breton (2005)
menyatakan, kesuksesan beberapa perusahaan keluarga yang luar
biasa karena memiliki karakteristik antara lain: “strategi-strategi yang
stabil, budaya klan, dan masa kerja seumur hidup”. Mereka
menyatakan bahwa faktor-faktor ini memungkinkan perusahaan-
perusahaan keluarga yang sukses untuk membangun “keunggulan
bersaing yang besar” dari generasi ke generasi dan “modal keluarga”
merupakan sumber penting keunggulan bersaing berkelanjutan di
perusahaan-perusahaan keluarga. Namun realita yang ada
menunjukan, tidak sedikit bisnis keluarga yang tidak berkembang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
20
bahkan bangkrut/mati. Akibat kebangkrutan bisnis keluarga ini,
bukan saja menghancurkan seluruh keluarga, tetapi juga
menyebabkan hilangnya pekerjaan serta dapat berdampak negatif
terhadap ekonomi nasional dan posisi saing negara.
Berdasarkan data empiris di lapangan, komunitas pengusaha
IKBK bordir48 di Kabupaten Kudus sebagian besar dikelola mulai dari
keluarga, dimana ayah sebagai pemiliknya dan anggota keluarga yang
lain seperti isteri, anak, menantu dan saudara sekampung saling
bekerja sama membantu dalam pengelolaan dan proses produksi
bordir sampai pemasarannya dan para pekerja tersebut juga berperan
dalam mendukung perekonomian keluarga, keterlibatan keluarga
meskipun sebagai pekerja mendapat upah sangat rendah dan kondisi
pekerja didominasi oleh perempuan. Para pekerja sebagian melakukan
aktivitas produksi bordir di rumah/bengkel pengusaha bordir dan
sebagian lagi pekerja mengerjakan aktivitas produksi bordir di rumah
masing-masing pekerja, ini yang sering disebut sebagai tenaga kerja
rumahan (home-workers)49.
Home-workers atau home-based woker, tenaga kerja ini tidak
mempunyai ikatan kerja formal dengan pengusaha, sehingga
hubungan kerja diantaranya berlangsung secara informal, harmonis,
kekeluargaan dan cair dan kadang-kadang upah yang diberikan masih
di bawah UMR. Kondisi Home Workers pada umumnya perempuan
yang marginal bila dilihat dari nilai-nilai khusus gender yang
membatasi, jenis pekerjaan yang diberikan, upah yang diperoleh
ditentukan pengusaha berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan
pengusaha yaitu harian, mingguan atau borongan, dan rumah pekerja
sendiri sebagai tempat beraktivitas untuk menghasilkan produk.
Namun para pekerja (home workers ) merasa nyaman dengan
mengerjakan pesanan bordir dari majikannya di rumah sendiri karena
bisa “disambi” dengan melakukan pekerjaan domestik, seperti
memasak, bersih-bersih rumah, mendampingi dan mengantar jemput
anak ke sekolah atau menjaga rumah.
Pendahuluan
21
Perkembangan komunitas IKBK bordir di Kabupaten Kudus
tidak lepas dari berkembangnya nilai-nilai sosial-kultural Jawa yang
dikenal sebagai kota industri yang kental dengan nilai-nilai budaya50
lokalnya (Jawa) dan agamanya (Islam). Bourdieu (1997) mengatakan,
pembentukan habitus tersebut melalui proses internalisasi yang terus
diterima atau dilakukan dalam sistem ini membentuk habitus sebagai
kerangka pikir aktor yang tereksternalisasikan dalam bentuk praktik,
dan selanjutnya apa yang tereksteranalisasi ini mengalami proses
internalisasi kembali dan seterusnya, dan semuanya akan berlangsung
dalam area/ranah. Dalam ranah inilah para aktor melakukan tindakan
atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang dialektis yang
melibatkan modal ekonomi, sosial, budaya maupun simbol yang
dimiliki untuk meraih, mempertahankan, memberdayakan,
mengembangkan dan menjalankan sebagai kekuatan social capital dalam kehidupan komunitas pengusaha bordir.
Hal ini sangat mudah dijumpai pada kebiasaan atau habitus masyarakat di Kabupaten Kudus, seperti di pasar dan kawasan industri
termasuk industri pabrik rokok, jenang, konveksi maupun bordir.
Masyarakat Kudus yang beragama Islam, setiap pagi sebelum matahari
terbit saat panggilan sholat shubuh berkumandang, masyarakat Kudus
sudah memulai bangun dari tidur dan beraktivitas keagamaan (sholat
Subuh) di rumah sendiri maupun di masjid terdekat dan diteruskan
bekerja mencari kebutuhan hidupnya seperti ke sawah, pabrik,
persiapan ke kantor atau mengerjakan pesanan bordir. Saat matahari
mulai redup di ufuk barat, aktivitas berubah seketika, yaitu
masyarakat Kudus berduyun-duyun memenuhi tempat ibadah
mengikuti sholat Magrib berjamaah, majelis taklim, pengajian atau
melakukan kegiatan sosial lain merupakan pemandangan yang lumrah
dan sudah menjadi budaya masyarakat di Kudus. Ritme kehidupan
masyarakat Kudus yang beragama Islam kegiatan tersebut dilakukan
secara berkesinambungan antara kegitan kehidupan mencari nafkah
dan kehidupan keagamaan ini merupakan kegiatan rutinitas
kehidupan keseharian yang dilaksanakan penuh kesadaran. Sedangkan
masyarakat Kudus yang beragama lain aktivitas sehari-hari sesuai
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
22
dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing dengan tetap
bertoleransi menghargai kehidupan sekitarnya.
Industri Kecil dan Kerajinan di Kecamatan Gebog-Kudus
Industri Kecil Bisnis Keluarga bordir Kabupaten Kudus
tersebar di 9 (sembilan) Kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliwungu,
Kota Kudus, Jati, Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Kecamatan
Dawe. Berdasarkan laporan laporan BPS Kabupaten Kudus tentang
Kecamatan Gebog dalam Angka 2013, dapat diketahui sebaran
industri kecil dan kerajinan rumah tangga (lihat Tabel 1.1).
Tabel 1.1
Jumlah Perusahaan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
Menurut Desa di Kecamatan Gebog Kudus
No Desa Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga
Perusahaan Tenaga Kerja
Perusahaan Tenaga Kerja
1 Getassrabi 17 122 176 287
2 Klumpit 44 338 298 538
3 Gribig 23 134 78 132
4 Karangmalang 28 220 80 156
5 Padurenan 77 559 303 432
6 Besito 16 116 287 366
7 Jurang 19 137 154 210
8 Gondosari 23 168 283 368
9 Kedungsari 13 89 438 514
10 Menawan 31 234 256 328
11 Rahtawu 4 20 274 305
Jumlah 295 2.177 2.627 3.636
Sumber: Kecamatan Gebog dalam Angka 2013, diterbitkan BPS Kabupaten Kudus.
Dari Tabel 1.1 di atas dapat disimpulkan, pemilihan Kelurahan
Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus bagian utara dekat
dengan pesisir pantai sebagai pilihan lokasi penelitian, dengan alasan
sebagai daerah sentra industri bordir, karena dari 11 desa di
Pendahuluan
23
Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus ternyata Desa Padurenan
memiliki paling banyak pengusaha industri kecil yaitu 77 unit usaha
industri kecil yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebanyak 559
orang serta telah terbentuk Program Pengembangan Klaster Bordir &
Konfeksi. Di samping itu, interaksi IKBK di Kecamatan Gebog -
Kabupaten Kudus, antar sesama pengusaha IKBK bordir maupun
dengan pihak lain sudah terjalin, meskipun belum optimal, seperti
antar pemasok, pelanggan, koperasi/paguyuban pengusaha bordir
maupun Pemerintah Kabupaten Kudus dapat terjalin interaksi sosial
yang bersifat kerja sama, kompetisi maupun konflik. Kecenderungan
untuk kerja sama, kompetisi maupun konflik, baik di kalangan
sesama pengusaha IKBK bordir atau pihak lain tersebut dapat
dipahami karena setiap interaksi antar individu maupun antar
kelompok sesungguhnya merupakan proses pertukaran bisnis, dimana
masing-masing pihak akan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu:
keuntungan (profit), imbalan (reward), biaya (cost) dalam setiap
interaksi sosial (Hormans, Blau dalam Johnson, 1981). Namun
pertimbangan keuntungan, imbalan dan biaya kadang-kadang
diabaikan karena untuk menjaga hubungan timbal balik yang
harmonis dan hangat, yang didasarkan pada filosofi Jawa yaitu ”Tuna sathak bathi sanak”. Industri kecil bordir dalam memenuhi kebutuhan
tenaga kerja tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi
namun yang dibutuhkan memiliki keahlian bordir atau memiliki
kompetensi dalam bidang menjahit. Perkembangan industri konfeksi
dan bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus
dapat dilihat dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Jumlah Industri Kecil Konfeksi dan Bordir di Desa Padurenan Kecamatan
Gebog Kabupaten Kudus
No Industri Kecil Satuan 2011 2012 2013
1 Konveksi Unit 90 100 121
2 Bordir Unit 56 22 59
Jumlah 146 122 180
Sumber : Kelurahan/Desa Padurenan Kecamatan Gebog,2013
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
24
Dari Tabel 1.2, menunjukkan bahwa industri kecil konfeksi
mengalami kenaikan tahun 2012 bila dibanding tahun 2011 yaitu naik
sebanyak 21 unit atau 21%. Sedangkan industri bordir juga mengalami
peningkatan lebih besar yaitu sebanyak 37 unit atau naik 168% (tahun
2012). Meskipun mengalami peningkatan jumlah pengusaha IKBK
bordir di Kelurahan Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus,
namun menurut informasi Ketua Paguyuban Kampung Durenan
Bapak Abdul Rauf51 menyatakan bahwa masih mengalami banyak
masalah antara lain: (a) Masalah tenaga kerja yang mempunyai
keahlian bordir sulit didapat. Hal ini disebabkan sumber tenaga kerja
bordir berasal dari kerabat, saudara yang mendapat ilmu keterampilan
bordir secara turun-temurun dan ini lama kelamaan mengalami
kekurangan karena mereka lebih senang bekerja di pabrik rokok atau
pedagang, dan di sisi lain lembaga-lembaga pendidikan formal dan
informal tidak dapat menyediakan lulusannya yang memiliki
keterampilan bordir (b) Teknologi yang digunakan IKBK bordir masih
sederhana sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar, baik dari
segi kualitas maupun kuantitas secara cepat. (c) Pemasaran produk,
para pengusaha IKBK bordir mempunyai bargaining position yang
rendah terhadap pedagang atau pelanggan di pasar, sehingga tidak
dapat bebas menentukan harga jual produk, bahkan kadang-kadang
pembayaran tidak kontan. (d) Masalah ketersediaan bahan baku
seperti kain, benang, dan jarum sudah disediakan oleh KSU
Padurenan Jaya, namun partisipasi anggota koperasi (pengusaha IKBK
bordir) belum banyak memanfaatkan. Hal ini disebabkan banyak
pengusaha IKBK bordir membeli bahan baku bodir melalui jaringan
usaha pihak pemasok lain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
dengan menggunakan sistem ijon. (e) Kondisi belum optimalnya
pemanfaatan jejaring usaha dan hubungan timbal balik antara
pengusaha IKBK bordir dengan lembaga pemerintah atau swasta
(Perbankan, Perguruan Tinggi, Industri tekstil dll.). (f) Masalah
ketidakmampuan pengusaha IKBK bordir untuk melakukan spekulasi
dalam mengambil resiko produksi maupun pasar, sehingga
menimbulkan ketidakpastian dalam bertindak memutuskan untuk
bertransaksi bordir.
Pendahuluan
25
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Orisionalitas penelitian ini nampak pada perbedaan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, dimana penelitian ini mencoba
mengakomodasi beberapa kekurangan dan kelemahan dari penelitian-
penelitian terdahulu dan berusaha melakukan beberapa penyem-
purnaan.
Pada umumnya, banyak penelitian yang menghubungkan
moral agama dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang lebih terfokus
pada etos kerja, baik dilakukan oleh para peneliti asing (luar negeri)
maupun dalam negeri. Salah satu pelopor studi ini adalah Weber
(1958), temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan
(Protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem
ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang
dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya
ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu
tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap
administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Ini membuktikan
perkaitan antara etika agama dengan semangat kapitalisme awal.
Peneliti mendalami antara etika agama dengan kegiatan bisnis
pada Gus-ji-gang sebagai bentuk akulturasi nilai-nilai budaya Jawa
pesisiran dengan agama (Islam) dalam kegiatan perdagangan
(ekonomi) yang dibandingkan dengan konsep yang dikembangkan
oleh Weber (1958) sebagai ciri khas etika Protestan seperti tanggung
jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan, kerja keras
yang dalam Islam dikenal dengan “ikhtiar”. Sifat hemat, pembagian
waktu secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi
perdagangan yang rasional, semua itu ada di dalam etika Islam.
Sedangkan perbedaan etika Islam dengan konsep Weber (1958)
adalah, etika Islam tidak mengajarkan harta kekayaan sebagai
kemungkinan pertanda kesuksesan yang akhirnya akan masuk surga.
Oleh karena itu agama Islam menolak gagasan tentang takdir atau
predestinasi sebagai yang dipersepsikan Calvinisme, sehingga
persoalan mengenai siapa yang termasuk golongan terpilih dan siapa
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
26
termasuk golongan terkutuk tidak ada dalam etika Islam. Namun
perkembangan etika Islam di Indonesia permulaan abad ke-20 terjadi
pembaharuan dalam etika Islam dengan melakukan ”ijtihat52” dengan
ayat Al Qur‟an dan Hadis Nabi sebagai acuan yang dikemukakan oleh
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yaitu ”sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasibnya
sendiri53”. Ini menunjukkan keberhasilan hidup seseorang didasarkan
kepada kemauan keras dan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan demikian terdapat kesejalanan antara penjelasan
Weber mengenai Protestanisme dengan pembaharuan etika Islam.
Menurut Ajat Sudrajat (1994), Islam yang murni dan puritan mencari
dalam ayat-ayat kitab suci agama (Al Qur‟an dan Hadis), suatu etika
yang khas dan bebas dari tambahan mistik dan ritus. Hasilnya adalah
sejumlah norma atau nilai-nilai yang menganjurkan asketisme,
aktivisme dan tanggung jawab bagi umat Islam.
Demikian pula Geertz (1914), yang meneliti tentang agama
dan kebudayaan masyarakat “Mojokuto” Jawa dengan judul “ The Religion of Java” yang intinya bahwa tradisi keagamaan yang
dipengaruhi oleh kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan
idiologi politik yang dilakukan masyarakat Mojokuto sebagai
cerminan tradisi keagamaan masyarakat Jawa. Tradisi keagaman
tersebut berbeda tipologinya menurut struktur sosial di Jawa masa itu,
yaitu desa (varian abangan), pasar (varian santri) dan birokrasi
pemerintah (varian priyayi). Geertz memandang kebudayaan
memiliki sifat interpretative, sebuah konsep semiotik dan sebagai
sebuah “teks” dan kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku yang
nampak, karena kebudayaan merupakan “teks” maka kebudayaan
perlu ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkadung di dalamnya.
Bagi Geertz, kebudayaan merupakan jaringan makna simbol yang
perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam (thick description). Kemiripan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan
Greertz, adalah penelitian penulis melihat struktur sosial masyarakat
Jawa (abangan,santri dan priyayi) di dalam melakukan kegiatan usaha
bisnis keluarga yang bergerak di bidang manufaktur bordir dan
Pendahuluan
27
didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa pesisiran yang
terakulturasi dengan nilai-nilai agama Islam di Kudus tanpa
membedakan struktur sosial dan agama yang dianut.
Kemudian Castle (1982), yang meneliti tingkah laku Agama,
Politik dan Ekonomi pada Industri rokok Kudus-Jawa ini mengurai
kehidupan masyarakat Kudus dengan segala akibatnya. Pertama, keberhasilan golongan pedagang masyarakat santri di Kudus yang
dapat menciptakan industri. Kedua, industri gagal melakukan
mekanisasi yang disebabkan hubungan politik pemerintah dan serikat
buruh merasa ketakutan adanya mekanisasi karena akan terjadi
pengangguran, maka serikat buruh mencegahnya, dengan
mempertahankan mata pencaharian mereka. Ketiga, pengusaha-
pengusaha Kudus hanya sedikit yang berhasil memajukan bentuk-
bentuk organisasi ekonomi yang lebih kompleks daripada firma
keluarga. Keempat, sistem idiologi Islam tidak menyokong praktik
berusaha sehingga tidak mampu berakselerasi dengan lapangan
ekonomi karena agama-agama (Katolik, Hindu dan Islam) tidak
menyokong proses produksi dan agama yang menyebarkan paham
arketis dan tidak cocok dengan semangat kapitalisme, namun
pengusaha Kudus mengalami kegagalan dalam melakukan mekanisasi
dan konsolidasi politik. Kesimpulan-kesimpulan penelitian Castel
yang justru akan diteliti ulang, apakah juga terjadi pada para
pengusaha bisnis keluarga industri kecil bordir atau apakah justru
sebaliknya.
Chittithaworn et.al (2011), mengungkapkan hasil penelitian
studinya di Thailand, hasilnya ia ingin memahami bagaimana orang-
orang harus memulai usaha dengan melihat pada semua faktor yang
mempengaruhi bisnis (karakteristik IKM, manajemen dan know-how/ pengetahuan praktis, produk dan jasa, pelanggan dan pasar, cara
melakukan bisnis dan kerja sama, sumber daya dan keuangan, strategi
serta lingkungan eksternal), sehingga akan membantu untuk
mengurangi resiko kegagalan dan meningkatkan kesuksesan IKM di
Thailand;
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
28
Chen et.al.(2007) melakukan penelitian Usaha Baru di
Thaiwan dengan hasil yang menunjukkan bahwa, ada hubungan yang
signifikan antara social capital, orientasi entrepreneurial, dan sumber
daya organisasi terhadap kinerja entrepreneurial di perusahaan baru
karena usaha-usaha baru dapat mempercepat penyebaran informasi
serta mencari peluang teknologi baru, produk baru, pasar sumber
daya keuangan dengan memperluas jaringan bisnis eksternal serta
memelihara kepercayaan dan saling ketergantungan di antara para
mitra jejaring.
Tuner (2007), membuktikan bahwa para entrepreneur skala
kecil di kota Makasar sangat bergantung pada jejaring dan hubungan
informal, serta hubungan kepercayaan bagi mata pencaharian mereka.
Ketergantungan ini mencerminkan bentuk-bentuk social capital yang
berbeda-beda, yang tertanam di dalam etnis lokal dan hubungan sosial
yang bersifat inklusif bagi beberapa orang, namun bersifat eksklusif
bagi orang lain. Temuan-temuannya menunjukkan bahwa meski
bonding (keterikatan) adalah menonjol, meski dengan implikasi yang
berbeda-beda, namun bridging (penghubung) kurang menonjol, dan
linking sama sekali tidak ada. Kurangnya social capital terakhir
tersebut, bersama-sama dengan luasnya korupsi di kota tersebut,
menghambat perkembangan mata pencaharian bagi banyak
entrepreneur lokal;
Lin (2001), membuktikan dalam penelitiannya bahwa social capital dapat memecahkan persoalan yang terkait dengan koordinasi,
mengurangi biaya transaksi, serta mempermudah arus informasi
antarindividu serta dapat memberikan kontribusi secara signifikan
terhadap keunggulan organisasi. Lin membedakan antara modal
ekonomi,modal manusia dan social capital. Modal ekonomi sebagai
modal yang bersifat fisik berupa bangunan pabrik, mesin-mesin,
peralatan dan aset-aset lainnya, maka modal manusia (atau modal
budaya) berkenaan dengan kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang
melekat pada diri manusia setelah melewati proses investasi modal
manusia. Sedangkan social capital berkenaan dengan interaksi dan
relasi antar individu, antar organisasi dan antar komunitas; dan
Pendahuluan
29
Nahapiet, J. & S. Ghoshal (1998), dengan hasil kajiannya sebagai
berikut, bahwa pada perusahaan-perusahaan yang memiliki social capital yang kuat cenderung meraih sukses dibanding pesaingnya
yang memiliki social capital yang lemah. Dimana dalam berbagai
transaksi ekonomi, individual yang bermoral sosial yang kuat akan
memperoleh keuntungan lebih besar daripada mereka yang tidak
memilikinya. Dengan demikian, kualitas hubungan antar karyawan
yang tinggi dan bernilai tidak mudah dibentuk dan sulit untuk ditiru,
menjadikan hubungan tersebut memberikan perusahaan keunggulan
yang langgeng dibanding pesaingnya.
Kemudian Nahapiet dan Ghosal (1998) dalam hasil
penelitiannya, berusaha mengidentifikasi tiga dimensi social capital, yaitu dimensi struktural, relasional dan dimensi kognitif, serta
berusaha menjustifikasi secara teoritis tentang bagaimana
menghubungkan masing-masing dimensi tersebut dapat memfasilitasi
kombinasi dan pertukaran sumber daya dalam perusahaan. Dimensi
struktural social capital (The structural dimension of social capital) mencakup keseluruhan bentuk-bentuk hubungan yang dijumpai
dalam perusahaan, yaitu jaringan yang mengikat, konfigurasi jaringan,
dan kesesuaian jaringan. Sedangkan dalam dimensi relasional dari
social capital (the relational dimension of social capital), terkait
dengan intensitas atau seberapa sering hubungan kerja antar-individu
dalam sebuah perusahaan tersebut dilakukan. Dengan kata lain jika
dimensi struktural fokus pada cakupan dan keragaman hubungan di
antara para karyawan, maka dimensi relasional fokus pada intensitas
hubungan di antara para keryawan. Dimensi kognitif dari social capital (the cognitive dimension of social capital), berkaitan dengan
kualitas hubungan di antara para karyawan, sikap dan berkeyakinan
yang mempengaruhi kepercayaan dan solidaritas yang mendorong ke
arah terciptanya kerja sama antar karyawan perusahaan dalam
mencapai tujuan bersama.
Demikian pula banyak peneliti dalam negeri yang membahas
mengenai agama, sosial budaya, social capital dan ekonomi antara
lain; Jalil (2012) dengan penelitian “Spiritual Entrepreneurship: Studi
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
30
Tranformasi Spiritualitas Pengusaha Kudus” merupakan field research
dengan paradigma naturalistik dan dianalisis secara kualitatif dengan
pendekatan sistem kompleks. Kesimpulan penelitian adalah bahwa
formasi spiritualitas pengusaha Kudus terbentuk dari unsur fisiologis,
kognitif, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Dengan driver potensi iman, unsur-unsur tersebut bersinergi dengan valensi tertentu
sehingga membentuk keberagaman integrative yang potensial
menghadirkan spiritualitas.
Kemudian Daryono (2007) meneliti “Etos dagang orang Jawa,
Pengalaman Raja Mankunegara IV”, penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan antropologis
mengenai perilaku, peran dan kiprahnya Raja Mangkunegara IV
(lahir pada 1811M) dengan segudang ajaran-ajaran kearifan yang
telah ditanamkan kepada rakyatnya. Ia dikenal sebagai seorang raja
bestari yang mengabdikan hidupnya di zaman kolonial Belanda,
sebagai seorang Jawa, raja, dan beragama (Islam), menyatukan nilai-
nilai kearifan demi kepentingan rakyat semata. Ajarannya merupakan
sari dari tradisi dan agama Islam yang dianutnya, salah satunya ajaran
tentang Asta Gina yang berisi delapan nasehat untuk setiap orang
terutama pelaku bisnis (dagang).
Demikian pula Arsyad (2005) meneliti bagaimana kearifan
lokal (termasuk social capital) terhadap pembangunan ekonomi,
khususnya dalam penyaluran kredit. Arsyad membuktikan bahwa
beberapa BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Bali mengangkat adat
setempat dimana kepala adat diikutsertakan dalam pemilihan
pengurus BPR yang didasarkan pada asas musyawarah, sehingga
pengurus yang dipilih adalah orang-orang jujur, rela berkorban,
memiliki integritas yang tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di
mata masyarakat dengan memberdayakan sistem dan adat setempat
merupakan bagian penting dari social capital, justru memiliki kinerja
yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan resmi dari
pemerintah.
Pendahuluan
31
Berdasarkan penelitian asing (luar negeri) dan dalam negeri
tersebut yang menekankan modernitas, agama, sosial, budaya lokal
dan ekonomi justru akan diteliti kembali untuk dipertajam sebagai
dasar rujukan. Dalam penelitian ini, lebih ditekankan pada budaya
filosofi Gus-ji-gang sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat
Kudus sebagai objektivitas Islam dalam nilai-nilai budaya dagang Jawa
Pesisiran (puritan) yang ditanamkan Sunan Kudus sejalan dengan etos
dagang dan semangat kapitalisme agama sehingga hal ini sebagai
landasan budaya komunitas industri kecil bordir berbasis keluarga.
Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan isu tersebut di atas, maka dalam studi ini
digunakan pendekatan yang paling tepat dengan sistem
kompleksitas54. Pendekatan sistem kompleksitas memiliki hubungan
yang tidak dapat dijelaskan dengan model-model linier, oleh karena
itu memiliki hubungan holistik dan koherensi. Pendekatan ini dipilih
karena melekatnya dua macam karakter perilaku bisnis IKBK bordir
masyarakat Kudus yaitu di satu sisi mengajarkan agar manusia hidup
“pasrah” dan “rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan sebagai
etika hidup “sak titahe” yang sesuai dengan konsep “gus” dan “ji” dan
itu merupakan kekuatan “spiritual” masyarakat Kudus (yang memiliki
nilai luhur dan kebenarannya relatif). Sebaliknya di sisi lain kata
“gang” yaitu dagang yang identik dengan rasionalitas yang memiliki
parameter yang terukur. Kedua karakter tersebut melekat pada diri
masyarakat Kudus yang relegius dan memiliki etos kerja yang ulet dan
kuat. Namun akibat perkembangan teknologi informasi serta
meningkatnya mobilitas sosial turut mempengaruhi kehidupan sosial
(tekanan kapitalisme global) sehingga pergeseran sosial tidak bisa
terbendung dan selalu terjadi, namun di sisi lain memiliki semangat
untuk mempertahankan local asset dan local value. Maka rumusan
penelitian yang dibangun adalah:
“Bagaimana filosofi Gus-ji-gang dapat dimanfaatkan sebagai
keutamaan dagang masyarakat Kabupaten Kudus yang di dalamnya
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
32
terkandung akulturasi agama dengan nilai-nilai moral budaya Jawa
merupakan habitus sebagai landasan social capital” guna
meningkatkan kinerja ekonomi komunitas IKBK bordir”
Dari rumusan masalah tersebut, maka dikembangkan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana memahami nilai-nilai agama dan moral budaya Jawa
sebagai dasar filosofi Gus-ji-gang yang diyakini berasal dari
tuntunan Sunan Kudus sebagai dasar perilaku komunitas IKBK
bordir di Kudus?
2. Bagaimana Gus-ji-gang sebagai habitus yang dilakukan
masyarakat di Kabupaten Kudus?
3. Bagaimana Gus-ji-gang berperan sebagai dasar pembentukan
social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di
Kabupaten Kudus?
4. Bagaimana Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang Jawa
khususnya pada dunia perdagangan IKBK bordir di Kabupaten
Kudus guna meningkatkan kinerja ekonomi?
Tujuan Penelitian
1. Memahami nilai-nilai agama dan moral budaya Jawa sebagai
dasar filosofi Gus-ji-gang yang diyakini berasal dari tuntunan
Sunan Kudus sebagai dasar perilaku pengusaha IKBK bordir di
Kabupaten Kudus.
2. Menganalisis Gus-ji-gang sebagai habitus yang dilakukan
masyarakat di Kabupaten Kudus.
3. Menganalisis Gus-ji-gang berperan sebagai dasar pembentukan
social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di
Kabupaten Kudus.
4. Menganalisis penerapan Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang
Jawa khususnya pada dunia perdagangan IKBK bordir di
Kabupaten Kudus guna meningkatkan kinerja ekonomi.
Pendahuluan
33
Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis maupun praktis:
1. Hasil studi ini bermanfaat pada: (1) Pemahaman secara lebih
holistik dan koheren yang mendalam tentang berbagai analisis
fenomena ekonomi berdasarkan paradigma yang dapat
menjelaskan perilaku manusia (human behavior) mengenai
nilai-nilai agama dan budaya Jawa yang terkandung di dalam
filosofi Gus-ji-gang sebagai keutamaan para pengusaha IKBK
bordir di Kabupaten Kudus.; (2) Pemahaman fonomena ekonomi
kegiatan IKBK bordir dalam kegiatan produksi, pertukaran,
resiprositas dan distribusi dengan menempatkan makna
pemahaman pelaku (aktor IKBK bordir) sebagai subyek utama
sumber pembelajaran. (3) Pemahaman pentingnya fenomena
ekonomi yang realistis dalam konteks kelembagaan adalah
menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan kecermatan
berdasarkan teori, dengan penafsiran yang holistik, serta
menyerap berbagai gejala dan fenomena bisa dapat menjawab
keberlakuan keutamaan dagang berperan sebagai kekuatan social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di
Kabupaten Kudus.
2. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah: (a) dapat
menjadikan rujukan menyelesaikan solusi terhadap persoalan
religius, sosial dan ekonomi IKBK bordir yang banyak terdapat
diberbagai tempat dalam menghadapi tantangan perubahan
dinamika lingkungan internal dan ekternal IKBK. (b)
menemukan berbagai elemen-elemen yang dapat mendorong
keunggulan dan kemunduran kinerja ekonomi IKBK bordir
akibat perubahan lingkungan ekonomi global sehingga memiliki
kemampuan akomodatif terhadap semua perubahan. (c)
menjadikan filosofi Gus-ji-gang sebagai dasar perilaku berbisnis
bagi para pengusaha di Kabupaten Kudus dalam rangka
pembangunan ekonomi berkelanjutan.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
34
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.
2 Wawancara dengan Humas Pengurus Masjid Menara Kudus Bp.Denny Nur Hakim dan Ketua Pengurus Masjid Menoro Kudus Bp. KH. Nadjib Hassan pada tanggal 9 Mei 2014.
3 Sunan Kudus Dja‟far Sodiq, atau lebih dikenal Sunan Kudus, adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan, beliau salah seorang ulama, guru besar agama Islam yang mengajarkan agama Islam di sekitar daerah Kudus khususnya di Jawa Tengah pesisir Utara serta sebagai saudagar/pedagang yang ditunjukkan pada artefak seperti hiasan berupa mangkuk dan piring dari Tiongkok, Arab, Persia, India, Vietnam sebagai hiasan Masjid Menara Kudus. Selanjutnya baca Solichin Salam,1986, hlm.11-12.
4Walisongo dapat dijelaskan secara denotatif dan konotatif. Secara denotatif Walisongo sejumlah guru besar atau ulama (wali) yang terdiri dari sembilan yang diberi tugas untuk dakwah di daerah dan komunitas umat tertentu. Sedangkan secara konotatif Walisongo berarti seorang yang mampu mengendalikan hawa sanga (sembilan lubang pada diri manusia) yaitu: 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung, mulut, dubur dan kelamin masing-masing satu lubang, maka dia akan memperoleh predikat kewalian yang mulia dan akan selamat dunia dan akhiratnya. Selanjutnya untuk dibaca. Purwadi, dan Maharsi. 2005, selanjutnya kata “wali”, baca Nasution,dkk. ”Ensiklopedi Islam Indonesia”. Bandung.Tarsito.1992. berasal dari Bahasa Arab “wala” atau “waliya” yang berarti qaraba (dekat), artinya memiliki kedekatan dengan Allah SWT dan mengembangkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW, sehingga mereka memiliki peran meneruskan misi Nabi Muhamad SAW dan sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kata sanga merupakan hitungan Jawa berarti sembilan. Dalam Simuh (1996) angka magis “Jawa” yang berasal dari kata “ja” yang memiliki nilai tiga, dan “wa” yang memiliki nilai enam sehingga berjumlah sembilan. Disamping itu ada yang berpendapat kata sanga berasal dari kata Bahasa Arab “tsana” yang berarti mulia, serupa dengan kata mahmud (terpuji). Sehingga golongan ini menilai pengucapan yang benar adalah Walisongo (wali terpuji).
5 Menara Kudus pada jaman dahulu kedatangan Islam di tanah Jawa adalah tempat pembakaran mayat para raja-raja atau kaum bangsawan.Ada pula yang mengatakan, bahwa konon kabarnya pada jaman dahulu di bawah Menara terdapat sebuah kawah tempat pembuangan/penyimpanan abu para nenek moyang kita, jadi berarti bekas candi peninggalan Hindu. Keterangan ini mengingatkan kepada uraian dari Drs.R.Sukmono, salah seorang ahli purbakala yang mengatakan bahwa: ”Di dalam candi biasanya terdapat semacam sumur kecil yang lubangnya berbentuk segi empat, dimana para ahli mendapatkan kotak kecil berisi abu (bekas pembakaran mayat) dan beberapa barang kecil-kecil lainnya, seperti perhiasan, barang logam mulia, barang permata dan sebagainya”, selanjutnya baca Solichin Salam,1986. hlm.32.
Pendahuluan
35
6 Dr.Abdul Jalil.M.Ei diwancarai peneliti 16 Nopember 2014 di rumah Jl.Kudus Pati
KM 5 Kacling Boto No.9.Golantepus Mejobo, Kudus.
7 Hasyim Asy‟ari.2003, ”Wong Kudus: Bersikap Sak Titahe, Bergaya Maliter”, Suara Merdeka,21 Juli 2003.
8 Wong Kudus sebutan asal mula orang-orang yang tinggal di sekitar Masjid Menara Kudus atau ngisor Menara Kudus pada waktu itu, yang kemudian berkembang menjadi sebutan masyarakat asli Kudus dan masyarakat Kudus pada umumnya.
9 Kaji yaitu menunaikan rukun Islam ke 5 “naik Haji” disamping sudah melaksanakan yang lain yaitu syahadat, sholat, puasa dan zakat dan secara ekonomi seorang kaji sudah masuk kategori mampu karena ongkos naik haji terbilang tidak murah. Baca Abdul Jalil.2013,hlm.139.
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004. santri berari orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh
11 Filosofi adalah cara berpikir dalam tahap makna atau nilai, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran kehidupan bagi manusia. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai yaitu, kebenaran, keindahan atau kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna dalam karya seni, nilai kebenaran bisa terkandung dalam suatu teori keilmuan dan, nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu. Selanjutnya dibaca Musa Asy‟arie, 2001, hlm. 4-5.
12 Najib Hasan dkk, “Zairah Spiritual dan Jejak Para Wali”, (Jakarta:Kompas,2006), hlm.219.
13 Karl Mart menjelaskan kedudukan agama dengan jelas beranggapan bahwa agama hanyalah pantulan saja dari kenyataan sosial-ekonomi. Jadi posisi agama adalah suatu variabel yang tergantung pada yang lain (dependent variabel).
14 Bryan.S.Turner, ”Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber”, terjemahan oleh GA.Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.7.
15 Max Weber,The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcoott Persons, (New York: Charles Scribners Son‟s,1958), hlm.35.
16 Etos sebagai semangat dan sikap batin yang tetap termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu. Baca Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari Konteks”.(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.120.
17 Sistem kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu dunianya, menyatakan perasaan dan memberi-kan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
36
simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomik. Baca Clifford Geertz, 1981. ”Abangan, Santri, Priyayi dalam. Masyarakat Jawa”. Pustaka Jaya, Jakarta. Kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan, selanjutnya baca dalam Adam Kuper, 1999. hlm.98.
18 Budaya adalah hasil cipta (pengolahan, pengerahan dan pengarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, kemauan, intuisi, dan bakat-bakat rohaniah lainnya) dan raganya yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (rohaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari interen diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual dan material) manusia, baik individu manupun mayarakat ataupun individu dan masyarakat. Selanjutnya baca Kuntowijoyo,2006.hlm 3.
19 HA.Mukti Ali.”Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini‟.(Jakarta;Rajawali Press,1987)
20 Javanisme atau kejawaan merupakan cap diskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikan sebagai kategori khas. John M. Echols Shadily, An Indonesian-English Dictionary, (baca: Cornell University Press), hlm. 338. Javanisme (pandangan hidup Jawa) mengakui bahwa pengalaman religius dan spiritual dikomunikasikan melalui kebijaksanaan, yang menuntut petunjuk praktis. Pengalaman tersebut dikomunikasikan dalam bentuk cerita: simbolis, perumpamaan, nyanyian dialog, teater dan lain-lain. Semua dimak-sudkan untuk membuka hati dan pikiran tentang realita hidup sebenarnya. Selanjutnya baca Y.Sudiantara, 1998, hlm.30-31.
21 N. Driyarkara. “Percikan Filsafat”, (Jakarta: PT Pembangunan,1964), hlm. 148.
22 Bourdieu.”Outline of Theory of Practice”.terjemahan Richard Nice,(Cambridge University Press, USA.1997),hlm.72.
23 Interior merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial,baca Richard Harker, Cheleen Mahar, Chris Wilkes.”(Habitus x Modal)+Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terjemahan Pipit Maizier, (Yogyakarta: Jalasutra,2009,cet.ke 2.hlm.19.
24 Bourdieu.”The Logic of Practice“. terjemahan Richard Nice,(Stanford University Press,1990),hlm.53.Lihat juga Bourdieu.1997.”Outline of Theory of Practive”, terjemahan Ricard Nice
25 N. Driyarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1964), hlm. 148.
26 Istilah spiritual/rohaniah dalam bahasa Inggris: spiritual, Latinnya: spiritualis dari spiritus (roh). Berbagai pengertiannya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai yang manusiawi nonmaterial seperti, keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan,
Pendahuluan
37
kejujuran dan, kesucian, 4) mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Selanjutnya dibaca Lorens Bagus, 2000, hlm. 1034.
27 Dunia kehidupan merupakan tandon anggapan-anggapan, sebagai konteks bersama sekelompok orang terdapat cakrawala pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma yang bagi para ahli merupakan barang tertentu, yang tidak direfleksikan dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk dipersoalkan sesuatunya. Dunia kehidupan merupakan tandon anggapan-anggapan latar belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang memproduksikan diri dalam bentuk tradisi cultural dan berfungsi sebagai konteks komunikasi. Ia merupakan tandon pengetahuan dan anggapan yang perlu diandaikan untuk mengambil sikap. Franz Magnis Suseno, 2000, hlm. 223.
28 Tipe ideal artinya, model yang dicita-citakan Lorens Bagus.”Kamus Filsafat”. (Jakarta:PT Gramedia.2000), hlm. 1199.
29 Cita ideal artinya, pemikiran yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki Hasan Alwi (Pem.Red.) ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 416.
30 Cita ideal artinya, pemikiran yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki Hasan Alwi (Pem.Red.) ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 416.
31 Menurut Kuntowidjaja, obyektifikasi mengandung makna „membuat sesuatu menjadi obyektif‟. Obyektifikasi adalah, perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujud-kan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui atau meng-imani nilai-nilai asalnya. Maksudnya, obyektifikasi merupakan konkretisasi keyakinan internal (subyektif) tetapi harus dibuktikan dalam kategori-kategori obyektif. Misalnya, suatu perbuatan yang merupakan konkretisasi nilai-nilai moral dalam Islam, disebut obyektif bila dirasakan oleh non-Muslim sebagai perbuatan natural (wajar). Selanjutnya dibaca Kuntowidjaja, 1997, hlm. 68-69.
32 Berfilsafat adalah cara berpikir dalam tahap makna atau nilai, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran kehidupan bagi manusia. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai yaitu, kebenaran, keindahan atau kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna dalam karya seni, nilai kebenaran bisa terkandung dalam suatu teori keilmuan dan, nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu. Selanjutnya dibaca Musa Asy‟arie, 2001, hlm. 4-5.
33 Keinsyafan diri atau refleksi diri merupakan sifat khas dari manusia sebagai suatu sistem kehidupan berpikir, cerdas dan juga sadar secara moral, peka secara estetis dan cenderung ke arah yang manusiawi, luhur, rohaniah, adikodrati, nominus, Illahi yang dalam pengertian filsafat umumnya digolongkan dalam konsep budi. Selanjutnya dibaca The Liang Gie, 1979, hlm. 30.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
38
34 Struktur sosial artinya, konsep perumusan asas hubungan antar individu dalam
kehidupan masyarakat sebagai pedoman tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim.Red.),”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka. 2001), hlm. 1092. Magnis Suseno menjelaskan, pada hakikatnya orang Jawa tidak membeda-bedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Berbagai interaksi sosial sekaligus sebagai sikap terhadap alam, begitu juga sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi terhadap sosial. Antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip yang hakiki. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001). hlm. 82.
35 Sejarah pemikiran merupakan terjemahan dari “history of thought, history of ideas” atau “intellectual history”. Sejarah pemikiran yaitu, the study of the role of ideas in historical event and process. Roland N Stromberg, European Intellectual History Since 1789, (New York: Mereditn-Century-Croff, 1968), hlm. 3.
36 Hubungan simbolik sebagai gejala budaya yang mengutamakan imaginasi simbolik bisa ditemukan dalam novel biografi termasuk di dalamnya sejarah intelektual atau juga tokoh-tokoh lokal kharismatik, baca Roland Barthes, ”Mythologies,” (London: Vintage Books, 1993).
37 Pendapat umum dinilai sebagai suatu bentuk khusus dari adanya kesadaran sosial dalam bentuk kesadaran massa yang tidak resmi dari kelompok-kelompok sosial atau asosiasi-asosiasi dari rakyat terhadap kepentingan umum. Oleh karena itu, pendapat umum tidak hanya menyingkap suatu perbedaan kepentingan tetapi juga suatu tingkat kesadaran sosial yang tidak sama. Lorens Bagus, 2000, hlm. 797.
38 Macam-macam keutamaan Jawa misalnya,kesetian,kemurahan hati,sepi ing pamrih rame ing gawe, dan lain-lain.Pembahasan lengkap baca.Franz Magnis Suseno, 2001, hlm. 205-206. Untuk selanjutnya baca juga K. Bertenns, 2005,hlm. 222.
39 K. Berens, “etos” adalah salah satu kata Yunani yang masuk ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Kata “etos” menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai-nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang. Dalam Concise Oxford Dictionary (1974), kata “etos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system maksudnya, suasana khas yang menandai suatu kelompok, seseorang atau sistem. Etos menunjukkan kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi. Kata “suasana” harus dipahami dalam arti baik secara moral. Karenanya, jika bicara “etos” dalam profesi tertentu mesti sebagai hal yang terpuji. Sikap komersial pedagang sebagai profesi misalnya, tentu etos dagangnya berkecenderungan kurang baik jika satu-satunya tujuan bisnis adalah maksimalisasi pada keuntungan yang hanya berupa uang. K. Bertens, 2005, op cit.,hlm. 225-228.
40 Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari Konteks” (Jakarta:PT Gramedia,1992)., hlm. 127.
41 Dimaksud budaya Jawa menurut Hans Antlov menjelaskan, budaya Jawa tidak dapat dibatasi hanya pada ide tentang kekuasaan dan ide tentang itu tidak dapat dibatasi hanya pada masalah tentang keteladanan. Karenanya, tidak seorangpun
Pendahuluan
39
mengatakan yang lebih baik daripada Eldar Braten bahwa: “Budaya Jawa adalah, sekumpulan ide, norma, keyakinan, dan nilai yang sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat dilukiskan sebagai „keseluruhan yang padu‟, yang sama-sama dipakai oleh orang Jawa. Sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi dari pengetahuan yang demikian beragam di masyarakat”. Hans Antlov dan Sven Cederroth (ed.), Kepemimpinan Jawa Perintah Hlmus Pemerintahan Otoriter, (Jakarta: YOI, 2001), hlm. 19.
42 IKM merupakan gabungan dari istilah industri kecil dan industri menengah. Industri kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau besar. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50 juta sampai dengan paling banyak Rp.500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300 juta sampai dengan paling banyak Rp.2,5 juta milyar. Sedangkan Industri menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.Memiliki kekayan bersih lebih dari Rp.500 juta sampai dengan paling banyak Rp.10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp.50 milyar.,Lihat Statistik UMKM tahun 2010–2011,Bagian Data-Biro Perencanaan Depkop, dari Website: www.depkop.go.id. Diakses 10 Mei 2013.
43 Pada tahun 2004-2009 di Indonesia terjadi peningkatan lapangan usaha sebesar 793.709 unit usaha atau tumbuh rata-rata per tahun sebesar 7,3% melampaui persentase target Rencana Strategis IKM sebesar 4,6%. Sedangkan penyerapan tenaga kerja terjadi sejumlah 943.108 orang, dengan rata-rata pertambahan 188.621 atau laju pertumbuhan sebesar 3,26%. IKM di Jawa Tengah pada tahun 2011mampu menyerap 81% (2.542.480 orang) tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012). Selain itu IKM di Jawa Tengah juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 6,5% terutama berasal dari kontribusi 3 (tiga) sektor terbesar yaitu sektor industri pengolahan (1,7%), perdagangan hotel dan restoran (1,5%) dan pertanian (1,4%). Tingginya sumbangan sektor industri pengolahan terutama didorong oleh pertumbuhan IKM sebesar 4,98%, sementara pertumbuhan industri manufaktur mengalami penurunan sebesar 1,60% (Bank Indonesia, 2012)
44 Kontribusi UMKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku, Pada tahun 2010 sebesar Rp.3.466,4 triliun atau 57,12 persen, kontribusi Usaha Mikro (UMI) tercatat Rp.2.051,9 triliun atau 33,81 persen dan UK (Usaha Kecil) sebesar Rp.597,8 triliun atau 9,85 persen.UM (Usaha Menegah) tercatat sebesar Rp.816,7 triliun atau 13,46 persen dari Total PDB Nasional. Sedangkan pada tahun 2011 kontribusi UMKM terhadap penciptaan PDB Nasional menurut harga berlaku
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
40
tercatat Rp.4.303,6 triliun atau 57,94 persen berarti mengalami perkembangan Rp.837,2 triliun atau 24,15 persen dibanding tahun 2010.Kontribusi Usaha Mikro (UMI) sebesar Rp.2.579,4 triliun atau 34,73 persn dan UK (Usaha Kecil) sebesar Rp.722,0 triliun atau 9,72 persen. UM (usaha menengah) sebesar Rp.1.002,2 triliun atau 13,49 persen. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan total nilai eksport non migas pada tahun 2010 sebesar Rp.175,9 triliun atau 15,8 persen, kontribusi usaha mikro (UMI) sebesar Rp.16,7 triliun atau 1,50 persen dan Usaha Kecil (UK) tercatat Rp.38,0 triliun atau 3,43 persen. Sedangkan Usaha Menengah (UM) sebesar121,2 triliun atau 10,89 persen. Satatistik UKMK 2010-2011, diakses pada www.depkop.go.id pada 10 Mei 2013.
45 Menurut UU No.20 Tahun 2008 pada Bab IV Pasal 6 ayat 2, Industri Kecil merupakan usaha produktif yang berdiri sendiri,yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 (lima puluh juta) sampai paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah), sedangkan menurut BPS (2011) dengan jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang.
46 Menurut UU No.20 Tahun 2008 pada Bab IV Pasal 6 ayat 2, Industri Kecil merupakan usaha produktif yang berdiri sendiri,yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 (lima puluh juta) sampai paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah), sedangkan menurut BPS (2011) dengan jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang.
47 Ferdinand Tonnies and Charles P.Loomis:”gemeinschaft and Gesellschaft” dalam Reading in Sociology,editor Alferd MC Clung Lee,cetakan ke-5,Barnes & Noble College Outline Series,1960,hlm 82 dan seterusnya.
48 Bordir merupakan hiasan pada kain yang memiliki proses perjalanan yang cukup panjang, dan pada tahun 330 sesudah Masehi sampai abad ke -15 di Byzantium hiasan bordir dipadukan dengan ornamen emas. Di Asia, masa dinasti Tang (518-907 sesudah mesehi ) jubah kerajaan yang terbuat dari sutera diramaikan oleh hiasan bordir. Selain China adalah India yang punya ciri khas tersendiri dalam seni hiasan bordir dengan motif tidak jauh dari bentuk aneka tumbuhan, bunga-bunga, dan pepohonan yang sedang berbunga. Motif indah ini diserap oleh orang-orang Inggris sehingga orang-orang Inggris tidak ketinggalan meramaikan bordir. Hal ini menyebabkan hiasan bordir mulai masuk ke negara-negara Eropa lainnya termasuk Belanda pada abad 17 dan ke 18. Di Indonesia keterampilan bordir mulai dikenal sekitar abad 18 Masehi, dikenalkan oleh para pedagang China dan India melalui
Pendahuluan
41
perdagangan. Saat itu ragam hiasan bordir diperuntukan sebagai inisial kerajaan dan menghiasi busana para bangsawan dan kaum ningrat. Hiasan bordir ini merupakan jenis keterampilan sangat sederhana dan mudah dipelajari, namun membutuhkan waktu yang relatif lama. Keterampilan ini identik dengan kerajian seni sehingga dibutuhkan ekstra konsentrasi, semangat, kesabaran, niat dan minat yang kuat dari seorang pembordir. Dalam “buku Panduan Launching Desa Produktif Klaster Bordir dan konfeksi Padurenan, Kudus melalui Pendekatan Diamond Cluster”, (2009:4), Kudus: Penerbit kerja sama Pemerintah Kabupaten Kudus dengan Balai Besar Peningkatan Produktivitas, Depnakertrans RI, Dinas Tenaga Kerja,Transmigrasi & Kependudukan Propinsi Jawa Tengah, Kantor Bank Indonesia Semarang,Bank Jateng & GIZ RED.
49 Home-woker memiliki karakteristik: rumah sendiri sebagai tempat ia beraktivitas untuk menghasilkan produk bordir, upah yang ditetapkan dengan borongan atau kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, ada interaksi antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja. Home-worker sering disamakan dengan home based worker (bahasa Indonesia: Pekerja Rumahan) yang dikonotasikan sebagai Pembantu Rumah Tangga. Home-Woker, sering dikategorikan dalam kategori yang salah, seperti home-industri, pengusaha mikro, pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan tidak bekerja (Hunga, 2005).
50 Budaya adalah hasil karya cipta (pengolahan,pengerahan dan pengarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran,kemauan,intuisi, imajinasi, dan bakat-bakat rohaniah lainnya) dan raganya yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan rohaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari interen diri manusia, baik individu maupun masyarakat ataupun individu dan masyarakat. Dalam Kuntowijoyo. ”Budaya dan Masyarakat”. (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2006).hlm.3. kemudian Soedarjono dalam Jurnal Kebudayaan Jawa. Ed 3 Th II/september 2007.hlm 63-72, membedakan wujud budaya sebagai hasil akal pikir budi manusia menjadi tiga, yaitu: 1) sebagai suatu yang kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya; 2) sebagai suatu yang kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia, 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat fisik, seperti bangunan,peralatan, dan sebagainya.
51 Wawancara dilakukan pada hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013 jam 10.00 di rumah RT 1 RW 1 Kelurahan Padurenan, Kecamatan Gebog.
52 Pengunaan akal untuk memperoleh kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.
53 Departemen Agama RI,”Al-Quran dan terjemahan”, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur‟an, 1979. hlm. 370.
54 Kompleksitas merupakan kajian atau studi terhadap sistem kompleks, kata „kom-pleksitas‟ berasal dari kata Latin compleexius yang artinya”totalitas” atau“ keseluruhan, sebuah ilmu yang mengkaji totalitas sistem dinamik secara keseluruhan, selanjutnya dibaca Dimintrov, Vladimir, 2003. “A New Kind of Social
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
42
Science: Study of Selft-Organization in Human Dynamics”,Springer-Verlag,Berlin-Heidelberg. Sistem dikatakan kompleks jika sistem itu terdiri dari banyak komponen atau sub-unit yang saling berinteraksi dan mempunyai perilaku yang menarik, namun, pada saat yang bersamaan, tidak kelihatan terlalu jelas jika dilihat sebagai hasil interaksi antar sub-unit yang diketahui. Purwani, Rajesh, (2003). Complexity, publikasi on-line,URL. http: //staff.scirncr. nus.edu.sg/-parwani. Diakses 10 Nopember 2014.