34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional study pada pasien preeklampsia yang dirawat atau pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang selama satu tahun (Januari – Desember 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat dengan luaran maternal dan perinatal. Pengumpulan data dimulai dari bulan November 2013 sampai bulan Desember 2013. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non probability jenis consecutive sampling dan pada penelitian ini didapatkan 181 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari 146 pasien dengan preeklampsia berat dan 35 pasien dengan preeklampsia ringan. 4.1.2. Angka Kejadian Preeklampsia Hasil pengumpulan data menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat atau pernah dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang antara Januari – Desember 2012 secara keseluruhan tercatat sebanyak 549 subjek (16,1%) dari

BAB v hasil

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nnn

Citation preview

Page 1: BAB v hasil

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional study pada pasien

preeklampsia yang dirawat atau pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi

RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang selama satu tahun (Januari – Desember

2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat

dengan luaran maternal dan perinatal. Pengumpulan data dimulai dari bulan

November 2013 sampai bulan Desember 2013. Teknik pengambilan sampel

menggunakan teknik non probability jenis consecutive sampling dan pada

penelitian ini didapatkan 181 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi

yang terdiri dari 146 pasien dengan preeklampsia berat dan 35 pasien dengan

preeklampsia ringan.

4.1.2. Angka Kejadian Preeklampsia

Hasil pengumpulan data menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat

atau pernah dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad

Hoesin Palembang antara Januari – Desember 2012 secara keseluruhan tercatat

sebanyak 549 subjek (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus

dengan preeklampsia berat yaitu sebesar 506 subjek (92,2%), sedangkan

preeklampsia ringan sebanyak 43 (7,8%).

Page 2: BAB v hasil

4.1.3. Karakteristik Umum Subjek

Pada penelitian ini, karakteristik umum subjek yang diteliti adalah usia dan gravida.

4.1.3.1. Usia

Usia

PEB PER

N % N %

< 20 tahun 22 15,1 5 14,3

20 – 35 tahun 87 59,6 23 65,7

> 35 tahun 37 25,3 7 20,0

Jumlah 146 100 35 100

Tabel . Distribusi Subjek Menurut Usia

Hasil penelitian menunjukkan distribusi subjek pada kelompok preeklampsia berat

berdasarkan usia lebih didominasi pada kelompok usia ibu 20–35 tahun dengan

jumlah 87 subjek (59,6%), kelompok usia lebih dari 35 tahun sebanyak 37 subjek

(25,3%) dan angka terendah terjadi pada kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun

yaitu sebanyak 22 subjek (4,2%), begitu juga kelompok preeklampsia ringan,

lebih didominasi pada kelompok usia ibu 20-35 tahun dengan jumlah 23 subjek

(65,7 %), diikuti kelompok usia lebih dari 35 tahun sebanyak 7 subjek (20,0%)

dan angka terendah yaitu pada kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun yaitu

sebanyak 5 subjek (14,3%).

4.1.3.2 Gravida

Tabel Distribusi Subjek Menurut Gravida

Usia

PEB PER

N % N %

Primigravida 98 67,1 24 68,6

Multigravida 48 32,9 11 31,4

Jumlah 146 100 35 100

Page 3: BAB v hasil

Hasil penelitian menunjukkan distribusi subjek pada kelompok preeklampsia

berat berdasarkan gravida didominasi oleh kelompok primigravida dengan jumlah

98 subjek (67,1%), dan 48 subjek (32,9%) terjadi pada kelompok multigravida,

begitu juga dengan kejadian preeklampsia ringan, didominasi oleh kelompok

primigravida dengan jumlah 24 subjek (68,6%) dan 11 subjek (31,4%) terjadi

pada kelompok multigravida.

4.1.4 Analisis Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi

frekuensi luaran maternal dan perinatal pada ibu dengan preeklampsia.

4.1.4.1 Distribusi Luaran Maternal

Distribusi luaran maternal pada kelompok preeklampsia berat paling

banyak adalah eklampsia dengan jumlah 48 subjek (32,9 %,) diikuti sindroma

HELLP dengan jumlah 9 subjek (6,2 %), edema paru 5 subjek (3,4%), dan

terendah adalah kematian maternal 4 subjek (2,7%), sedangkan pada kelompok

preeklampsia ringan tidak ditemukan eklampsia, sindroma HELLP, edema paru,

dan kematian maternal. Distribusi luaran maternal secara lengkap diperlihatkan

pada tabel

Page 4: BAB v hasil

Tabel Distribusi Luaran Maternal

Luaran MaternalPEB PER

n = 146 % n = 35 %

1. Eklampsia

a. Ditemukan Eklampsia

b. Tidak Eklampsia

2. Edema paru

a. Ditemukan Edema Paru

48

98

5

32,9

67,1

3,4

0

35

0

0

100

0

b. Tidak Edema Paru

3. Sindroma HELLP

a. Ditemukan Sindroma

HELLP

b. Tidak Sindroma Hellp

4. Kematian

a. Ditemukan Kematian

b. Tidak Ditemukan Kematian

141

9

137

4

142

96,6

6,2

93,8

2,7

97,3

35

0

35

0

35

100

0

100

0

100

4.1.4.2. Distribusi luaran perinatal

Distribusi luaran perinatal pada kelompok preeklampsia berat paling banyak

adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan jumlah 89 subjek (61,0%),

diikuti kelahiran preterm 67 subjek (45,9%), asfiksia 51 subjek (34,9%), dan

terendah adalah kematian perinatal dengan jumlah 17 subjek (11,6%). Pada

kelompok penderita preeklampsia ringan juga didapatkan distribusi luaran

perinatal terbanyak adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu 5 subjek

(14,3%), diikuti kelahiran preterm 4 subjek (11,4 %), asfiksia 3 subjek (8,6%),

dan terendah adalah kematian perinatal 1 subjek (2,9%). Distribusi luaran

perinatal secara lengkap diperlihatkan pada tabel

Page 5: BAB v hasil

Luaran PerinatalPEB PER

n = 146 % n = 35 %

1. BBLR

a. Ditemukan BBLR

b. Tidak BBLR

2. Preterm

89

57

61,0

39,0

5

30

14,3

85,7

a. Ditemukan Preterm

b. Tidak Preterm

3. Asfiksia

a. Ditemukan Asfiksia

b. Tidak Asfiksia

4. Kematian

a. Ditemukan Kematian

b. Tidak ditemukan

67

79

51

95

17

129

45,9

54,1

34,9

65,1

11,6

88,4

4

31

3

32

1

34

11,4

88,6

8,6

91,4

2,9

97,1

Tabel Distribusi Luaran Perinatal 4.1.5. Analisis Bivariat

Page 6: BAB v hasil

Untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat dengan luaran maternal dan

perinatal, maka dilakukan analisis bivariat dengan uji statistik kai kuadrat dengan

tingkat kemaknaan 5%. Bila tidak memenuhi syarat digunakan uji Fisher exact.

4.1.5.1 Hubungan Preeklampsia Berat dengan Luaran Maternal

Pada penelitian ini analisis data untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat

dengan luaran maternal tidak dapat dilakukan karena didapatkan cell dengan nilai

actual count (F0) sebesar 0 (nol), sehingga dapat disimpulkan bahwa

preeklampsia ringan hanya berpengaruh terhadap luaran perinatal dan tidak

mempengaruhi luaran maternal. Luaran maternal hanya ditemukan pada

preeklampsia berat. Berikut ini pemaparan tabel 2x2 secara lengkap (Tabel )

4.1.5.1.1. Hubungan preeklampsia berat dengan eklampsia

Hubungan preeklampsia berat dengan eklampsia dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel Hubungan preeklampsia beratdengan eklampsia

Preeklampsia

Eklampsia Total P RR (95% Cl)

Ya

(%)

Tidak (%)

Preeklampsia Berat 48 32,9 98 67,1 1460,000

Preeklampsia Ringan 0 0 35 100 35

Hasil penelitian menunjukkan dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang

mengalami eklampsia adalah sebanyak 48 subjek (32,9%) dan yang tidak

sebanyak 98 (67,1%), sedangkan tidak ditemukan eklampsia pada preeklampsia

ringan.

4.1.5.1.2. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Edema Paru

Page 7: BAB v hasil

Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru

Preeklampsia

Edema paru Total P RR (95% Cl)

Ya

(%)

Tidak (%)

Preeklampsia Berat 5 3,4 141 96,6 146-

Preeklampsia Ringan 0 0 35 100 35

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang

mengalami edema paru sebanyak 5 subjek (32,9%) dan yang tidak sebesar

sebanyak 141 (96,6%), sedangkan tidak ditemukan edema paru pada preeklampsia

ringan.

4.1.5.1.3. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Sindroma HELLP

Hubungan preeklampsia berat dengan sindroma HELLP dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

PreeklampsiaSindroma hellp Total P RR (95% Cl)

Ya (%) Tidak (%)

Preeklampsia Berat 9 6,2 137 93,

8

146

-Preeklampsia

Ringan

0 0 35 100 35

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang

mengalami sindroma HELLP sebesar 9 (6,2%) dan yang tidak sebesar 137

(93,8%), sedangkan tidak ditemukan sindroma HELLP pada preeklampsia ringan.

Page 8: BAB v hasil

4.1.5.1.4. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Kematian Maternal

Hubungan preeklampsia berat dengan kematian maternal dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Preeklampsia

Kematian ibu Total P RR (95% Cl)

Ya

(%)

Tidak (%)

Preeklampsia Berat 4 11,6 142 88,4 146-

Preeklampsia Ringan 0 0 35 100 35

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,

ditemukan 4 subjek (2,7%) mengalami kematian dan yang tidak sebanyak 137

subjek (93,8%), sedangkan pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian

maternal.

4.1.5.2 Hubungan preeklampsia berat dengan luaran perinatal

Pada penelitian ini, luaran perinatal yang diteliti adalah berat badan lahir rendah

(bblr), asfiksia, kelahiran preterm, dan kematian perinatal.

4.1.5.2.1. Hubungan preeklampsia berat dengan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR)

Hubungan preeklampsia berat dengan berat badan lahir rendah (bblr) dapat dilihat

pada tabel dibawah ini

Preeklampsia

BBLR Total P RR (95% Cl)

Ya (%) Tidak

(%)

Preeklampsia Berat 8

9

61 57 39 146

0,000

Preeklampsia Ringan 5 14,3 30 85,7 35 9.37 ( 3,43-25,55)

Page 9: BAB v hasil

Tabel

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang

melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) adalah sebanyak 89

subjek (61%) dan yang tidak sebanyak 57 subjek (39%). Pada kelompok

preeklampsia ringan, subjek yang melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir

rendah (bblr) adalah 5 subjek (14,3%) dan yang tidak sebanyak 30 subjek

(85,7%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat disimpulkan

terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan bblr.

5.1.6.6. Hubungan Preklampsia Berat dengan Asfiksia

Hubungan preeklampsia berat dengan asfiksia dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan asfiksia

PreeklampsiaAsfiksia Total P RR (95% Cl)

Ya (%) Tidak (%)

Preeklampsia Berat 51 95 146

0,002Preeklampsia Ringan 3 32 35 0,18 (0,51-0,59)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,

didapatkan 51 subjek (34,9%) melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak

sebanyak 95 subjek (65,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 3

subjek (8,6%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 32

subjek (91,4%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia .

Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59), artinya ibu

Page 10: BAB v hasil

yang hamil dengan preeklampsia berat 0,18 kali mempunyai risiko melahirkan

bayi dengan komplikasi asfiksia.

5.1.6.7. Hubungan Preklampsia Berat dengan Kelahiran Preterm

Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm

Preeklampsia

Preterm Total P RR (95% Cl)

Ya (%) Tidak

(%)

Preeklampsia Berat 67 79 1460,000

Preeklampsia Ringan 4 31 35 0,15 (0,05-0,43)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,

didapatkan 67 subjek (45,9%) melahirkan janin preterm dan yang tidak sebanyak

79 subjek (54,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4 subjek

(11,4%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 31

subjek (88,6%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan

kelahiran preterm. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,15 (0,05 -

0,43), artinya ibu yang hamil dengan preeklampsia berat 0,15 kali mempunyai

risiko melahirkan janin preterm dibandingkan ibu yang hamil dengan

preeklampsia ringan.

5.1.6.8. Hubungan Preklampsia Berat dengan Kematian Perinatal

Hubungan preeklampsia berat dengan kematian perinatal dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Page 11: BAB v hasil

Tabel

PreeklampsiaKematian Perinatal Total P RR (95% Cl)

Ya (%) Tidak (%)

Preeklampsia Berat 17 11,6 129 88,4 146

0,119Preeklampsia Ringan 1 2,9 34 17,1 35 0,23 (0,03 - 1,74)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,

didapatkan 17 subjek (11,6%) mengalami kematian perinatal dan yang tidak

sebanyak 129 subjek (88,4%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4

subjek 1 subjek (2,9 %) dan yang tidak sebanyak 34 subjek (97,1%). Hasil uji

statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,119, dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan kematian perinatal. Adanya

risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,23 (0,03 – 1,74), artinya ibu yang

hamil dengan preeklampsia berat 0,23 kali mempunyai risiko mengalami

kematian perinatal dibandingkan dengan ibu yang hamil dengan preeklampsia

ringan.

Page 12: BAB v hasil

5.2 Pembahasan

Hasil pengumpulan data yang telah dilakukan selama November -

Desember di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin

Palembang menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat atau pernah

dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin

Palembang antara Januari – Desember 2012 secara keseluruhan tercatat sebanyak

549 (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus dengan

preeklampsia berat yaitu sebesar 506 (92,2%), sedangkan preeklampsia ringan

sebanyak 43 (7,8%). Angka kejadian preeklampsia di RSUP dr. Mohammad

Hoesin ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Manurung di RSCM tahun

2003 – 2005 yaitu sebesar 15,3%.. Dibandingkan hasil penelitian yang di lakukan

Admilia di RSUP dr. Mohammad Hoesin tahun 2011 yaitu sebesar 14,9 % dan

Rosalina yaitu sebesar 9,2%, angka kejadian preeklampsia tahun 2012 di RSUP

dr. Mohammad Hoesin mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan

karena kesadaran ibu mengenai pentingnya antenal care masih rendah dan

keterlambatan rujukan.

Distribusi preeklampsia berat di RSUP dr. Mohammad Hoesin

Palembang berdasarkan usia lebih didominasi pada kelompok usia ibu 20–35

tahun dengan jumlah 87 subjek (59,6%), begitu juga kelompok usia preeklampsia

ringan, lebih didominasi kelompok usia 20 - 35 tahun sebanyak 23 subjek

(65,7%). Arinda (2010) pada penelitiannya di RSUP dr Kariadi Semarang

mendapatkan sebaran frekuensi preeklampsia paling banyak ditemukan pada usia

20 – 35 tahun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini. Menurut

teori yang ada preeklampsia lebih sering didapatkan pada masa awal dan akhir

usia reproduktif yaitu usia dibawah 20 tahun atau di atas 35 tahun. Ibu hamil

berusia dibawah 20 tahun mudah mengalami kenaikan tekanan darah dan lebih

cepat menimbulkan kejang, sedangkan umur lebih 35 tahun juga merupakan

Page 13: BAB v hasil

faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Prawihardjo, 2005). Penelitian

ini tidak sejalan dengan teori tersebut, preeklampsia di RSUP dr. Mohammad

Hoesin Palembang lebih banyak terjadi pada kelompok usia 20 – 35 tahun. Hal ini

mungkin terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya

kehamilan pada usia ekstrim.

Pada penelitian ini, sebaran preeklampsia berat menurut gravida lebih

banyak terdapat pada primigravida yaitu 98 subjek (67,1%), begitu juga pada

kelompok preeklampsia ringan terdapat pada primigravida yaitu 24 subjek

(68,6%). Kehamilan dengan preeklampsia lebih umum terjadi pada primigravida,

keadaan ini disebabkan secara imunologik karena pada kehamilan pertama

pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna

sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan terhadap

histoincompability placenta (Angsar, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan

teori tersebut. Menurut Corwin (dikutip Tsania 2010), pada primigravida sering

mengalami stress dalam menghadapi persalinan. Stress emosi yang terjadi pada

primigravida menyebabkan peningkatan pelepasan corticotropin-releasing

hormone (CRH) oleh hipotalamus. Efek kortisol adalah mempersiapkan tubuh

untuk berespons terhadap semua stresor dengan meningkatkan respon simpatis,

termasuk respon yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung dan

mempertahankan tekanan darah. Pada wanita dengan preeklamsia, tidak terjadi

penurunan sensitivitas terhadap vasopeptida-vasopeptida tersebut, sehingga

peningkatan besar volume darah langsung meningkatkan curah jantung dan

tekanan darah. Hal yang mendukung adalah penelitian Djannah di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2007–2009. Djannah menemukan

sebaran kejadian preeklampsia menurut gravida didominasi oleh kelompok

primigravida dengan jumlah 82 orang (69,5%), sedangkan 36 orang (30,5%)

terjadi pada kelompok multigravida.

Angka kejadian preeklampsia di RSUP dr. Mohammad Hoesin sebesar

16,1% masih cukup tinggi. Hal ini akan sebanding dengan morbiditas dan

mortalitas pada maternal maupun perinatal. Hasil penelitian diperoleh bahwa dari

Page 14: BAB v hasil

146 subjek dengan preeklampsia berat, yang mengalami eklampsia sebesar 48

(32,9%) dan yang tidak sebesar 98 (67,1%), sedangkan tidak ditemukan

eklampsia pada responden dengan preeklampsia ringan. Eklampsia merupakan

kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Hal ini mungkin terjadi karena keterlambatan rujukan yang menyebabkan

terlambatnya penanganan preeklampsia. Hampir tanpa kecuali, kejang eklampsia

didahului oleh preeklampsia. Tekanan darah yang dapat menyebabkan kejang

bervariasi. Di Nigeria, Lawson mempertimbangkan tekanan darah 125/85 mmHg

dapat mengkhawatirkan, dan kejang terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg.

Pada beberapa otopsi yang dilakukan oleh Sheehan dan Lynch, 26% wanita yang

kejang memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 160 mmHg. Tekanan darah

sistolik antara 160 dan 180 mmHg dan tekanan diastolik antara 100 dan 110

mmHg biasanya digunakan sebagai batasan. Peningkatan tekanan darah dapat

berhubungan dengan definisi dari preeklamsia berat. Selain itu, penelitian Brown

dkk (1988) mendapatkan bahwa hampir separuh wanita dengan eklampsia yang

diteliti memperlihatkan kelainan radiologis, yang tersering adalah daerah-daerah

hipodens di korteks serebrum dan sesuai dengan perdarahan petekie dan infark

yang ditemukan pada otopsi oleh Sheehan dan Lynch (1973). Walaupun

memberikan pemahaman yang berguna tentang jumlah dan lokasi kelainan,

penelitian-penelitian ini tidak menjawab pertanyaan mengenai penyebab lesi-lesi

lokal edematosa ini. Masih belum diketahui apakah lesi-lesi tersebut disebabkan

oleh nekrosis iskemik atau hiperperfusi. Penemuan MRI memungkinkan

diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa mendasar lesi-lesi tersebut

masih belum terungkapkan. Sebagai contoh, dalam studi lain dari Morris dkk

(1997) mengkonfirmasikan adanya perubahan yang nyata, terutama di daerah

arteri serebri posterior. Temuan-temuan ini membantu memberi penjelasan

mengapa sebagian wanita dengan preeklampsia mengalami kejang sementara

yang lain tidak. Luas dan lokasi lesi iskemik serta petekie subkortikal

kemungkinan besar mempengaruhi insidens eklampsia. Luas lesi juga dapat

menjelaskan terjadinya penyulit neurologis yang lebih mengkhawatirkan misalnya

kebutaan atau koma.

Page 15: BAB v hasil

Pada pasien dengan preeklampsia berat, ditemukan 5 subjek (3,4%)

mengalami edema paru, sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan tidak

ditemukan edema paru. Frekuensi kejadian edema paru pada penelitian tidak jauh

berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Manurung di RSCM yaitu sebesar

5 % dan Small dkk yaitu sebesar 5,2%. Akumulasi cairan di interstisial paru yang

terjadi secara akut atau dikenal dengan edema paru akut merupakan komplikasi

preeklampsia yang sangat serius. Edema paru akan menyebabkan gagal nafas dan

berakhir dengan kematian. Edema paru pada preeklampsia dapat terjadi karena

beberapa hal, dua diantaranya adalah karena pneumonitis aspirasi yang terjadi

setelah inhalasi isi lambung apabila kejang disertai oleh muntah dan  gagal

jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian

cairan intravena yang berlebihan. Menurut Angsar (2010), edema paru akut pada

preeklampsia dapat bersifat kardiogenik atau nonkardiogenik, paling sering adalah

gabungan keduanya. Selain itu, edema paru juga bersifat latrogenik akibat

pemberian cairan intravena yang berlebihan pada saat induksi persalinan, pre-load

cairan sebelum seksio sesarea atau pemberian magnesium sulfat. Penggunaan obat

anti hipertensi yang bersifat inotropik negatif seperti nifedipin dan kortikosteroid

juga berkontribusi terhadap timbulnya edema paru. Dari teori diatas dapat

disimpulkan secara tersirat bahwa edema paru tidak langsung dipengaruhi oleh

preeklampsia. Selain itu, edema paru kebanyakan terjadi jika preeklampsia berat

telah mengalami pemburukan menjadi eklampsia.

Pada penelitian ini ditemukan 9 subjek (6,2%) preeklampsia berat yang

mengalami sindroma HELLP. Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p =

0,215, dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara preeklampsia berat

dengan Sindroma HELLP. Bahattacharya yang meneliti tentang komplikasi berat

pada 4188 pasien preeklampsia di skotlandia antara tahun 1981 hingga 2000

mendapatkan komplikasi terbanyak adalah komplikasi hematologi, termasuk

didalamnya adalah KID dan trombositopenia. Komplikasi lain yang juga sering

dijumpai adalah solusio plasenta, eklampsia, komplikasi kardiopulmonal termasuk

edema paru dan sindroma HELLP. The Severe Hypertensive Illness in Pregnancy

Page 16: BAB v hasil

(SHIP) mendapatkan komplikasi sindroma HELLP cukup tinggi yaitu 14 %

diikuti komplikasi renal (5%) dan edema paru akut (3%).

Kematian maternal ditemukan 2,7 % pada preeklampsia berat, sedangkan

pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian maternal. Menurut Walker

pada dekade tahun 70-an, komplikasi serebral merupakan penyebab utama

kematian, diikuti oleh komplikasi pulmonal, hepar, dan ginjal. Mulai akhir dekade

80-an hingga dekade 90-an, komplikasi pulmonal menggeser komplikasi serebral.

Penurunan jumlah kematian yang disebabkan oleh CVA pada preeklampsia berat

berhubungan dengan meluasnya penggunaan obat antihipertensi dan magnesium

sulfat. Pada penelitian ini, dari 4 subjek yang mengalami kematian, didapatkan 2

subjek mengalami kematian karena edema paru, 1 subjek ditemukan dengan

sindroma HELLP, dan 1 subjek mengalami komplikasi lainnya. Hasl ini didukung

oleh penelitian Amorim. Amorim (2001) dalam penelitiannya menemukan

penyebab terbanyak kematian maternal adalah edema paru sebesar 30%, diikuti

DIC 25%, shock hemorhagic 10%, emboli paru 10 %, gagal ginjal akut dan sepsis

5%, 15 % lainnya tidak diketahui penyebab pastinya. Rosalina (2012) dalam

penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kematian maternal di

RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2005 - 2009 juga menemukan

edema paru sebagai penyebab terbanyak kematian ibu. Hasil penelitian Amorim

dan Rosalina sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Small dkk. Dalam

penelitian Small dkk, didapatkan kegagalan ginjal merupakan penyebab terbanyak

kematian maternal pada preeklampsia yaitu sebesar 32 %, diikuti pendarahan

21%, edema paru 5,2% dan komplikasi serebrovaskular 5,2%. Selain dari faktor

klinis, penyebab lain yang dapat mempengaruhi kematian maternal secara tidak

langsung adalah faktor jauh, seperti pendidikan dan tempat tinggal. Bazar (2009)

meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh dengan kematian maternal di

RSUP dr. Mohammad Hoesin dan diperoleh bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara tingkat pendidikan dan pekerjaan suami dengan kematian

maternal. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami secara tidak langsung

mempengaruhi status sosio ekonomi keluarga. Faktor ini yang mungkin

Page 17: BAB v hasil

menyebabkan minimnya kesadaran akan pentingnya antenatal care dan

terbatasnya pelayanan kesehatan yang didapat, tentu pada tingkat lebih tinggi akan

membuat risiko kematian maternal menjadi lebih tinggi. Dalam penelitian ini,

Bazar juga menemukan terdapat hubungan bermakna antara tempat tinggal

dengan kematian maternal. Bazar mengutip penelitian Mochtar melaporkan bahwa

risiko terjadinya kematian maternal pada penderita yang bertempat tinggal di luar

kota Palembang ternyata 12 kali lebih besar dibanding dengan mereka yang

tinggal di dalam kota. Tingkat pendidikan dan tempat tinggal mungkin

berhubungan dengan keterlambatan mencari pertolongan saat timbul suatu

komplikasi akibat ketidaktahuannya mengenali tanda bahaya, serta keterlambatan

mencapai tempat rujukan akibat tempat tinggal yang jauh dan transportasi yang

tidak tersedia sehingga menyebabkan terlambatnya mendapatkan pertolongan dan

berakibat kematian.

Selain luaran maternal, preeklampsia juga mempengaruhi luaran

perinatal. Berdasarkan hasil penelitian, penderita preeklampsia berat yang

melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) ditemukan sebanyak

89 subjek (61%), sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan ditemukan

sebanyak 5 subjek (14,3%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000,

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan

berat badan lahir rendah. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 9,37

(3,43-25,5), ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia berat

selama kehamilan 9,37 kali mempunyai risiko melahirkan bayi dengan berat

badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang mengalami preeklampsia

ringan. Hutajulu, dkk (2012) dalam penelitiannya di RSUP dr. Soedarso

Pontianak juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara

preeklampsia dan berat badan bayi lahir rendah dengan p = 0,000 dan OR = 4,164,

artinya ibu yang mengalami preeklampsia selama kehamilan memiliki risiko

4,164 lebih besar melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan

dengan ibu yang tidak mengalami preeklampsia seama kehamilan. Penelitian

Destaria (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang dengan metode cross sectional

Page 18: BAB v hasil

juga menemukan hasil yang serupa, adanya hubungan yang signifilkan antara

preeklampsia dan bblr ditunjukkan dengan nilai p = 0,03 dan RP = 2,8.

Hasil lain didapatkan 51 (34,9%) penderita preeklampsia berat

melahirkan janin dengan asfiksia sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan

3 (8,6%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat disimpulkan

bahwa preeklampsia berat mempengaruhi terjadinya kejadian asfiksia pada

perinatal. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59),

artinya ibu yang mengalami preeklampsia berat selama kehamilan 0,18 kali

mempunyai risiko lebih besar melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan

dengan ibu yang mengalami preeklampsia ringan. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Wahyuni di RSI Klaten Wahyuni (2012)

mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara preeklampsia dan asfiksia

dengan OR 2,20 (1,10-4,41).

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan 67 subjek (45,9%) dengan

preeklampsia berat melahirkan janin preterm, sedangkan pada preeklampsia

ringan didapatkan 4 subjek (11,4%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p

= 0,000, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat

dengan kelahiran preterm. Cole (2005) mengatakan preeklamsia menyebabkan

kejadian preterm sebanyak 15% setiap tahunnya di Amerika Serikat. Xiong dkk.

(2002) juga melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara preeklamsia

dengan kejadian lahir preterm. Diniyah (2010) di RSUD DR. Soetomo Surabaya

menemukan adanya hubungan signifikan antara preeklampsia dengan kelahiran

preterm dengan P value = 0,000 dan OR value 2,190 (1,449 – 3,31).

Kematian perinatal ditemukan pada 17 subjek (11,6%) penderita

preeklampsia berat dan 1 subjek (2,9%) pada penderita preeklampsia ringan.

Berat badan lahir rendah sangat berkaitan dengan morbiditas dan

mortalitas pada neonatus. BBLR dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan di

dalam uterus. Pertumbuhan intra uteri dan berat lahir janin bergantung pada

potensi pertumbuhan herediter dan efektivitas dukungan dari lingkungan

Page 19: BAB v hasil

uteroplasenta yang dipengaruhi oleh kesehatan ibu dan ada tidaknya penyakit

pada ibu. Gangguan pertumbuhan di dalam uterus terjadi ketika penyaluran

oksigen dan nutrisi ke fetus tidak adekuat. Selain itu, preeklampsia juga sangat

menentukan tingkat kematian perinatal karena dapat terjadi gangguan tumbuh

kembang janin intrauteri akibat pertumbuhan plasenta yang terlalu kecil atau

terjadi infark yang luas. Selain itu juga dapat disebabkan oleh menurunnya perfusi

utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh

darah plasenta. Pada preeklampsia terjadi abnormalitas plasenta yang berakhir

pada vasospasme dan cedera endotelial. Terjadi kegagalan invasi trofoblas

gelombang kedua pada arteri spiralis yang menyebabkan kegagalan remodelling

arteri spiralis yang mengakibatkan aliran darah uteroplasenta menurun. Hal

tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia plasenta dan sering

berakhir pada pertumbuhan janin terhambat. Plasenta yang mengalami iskemia

dan hipoksia akan menghasilkan radikal bebas berupa radikal hidroksil reaktif dan

peroksida lipid yang akan beredar di dalam aliran darah serta merusak membran

sel, nukleus, dan protein sel endotel yang dapat berakhir pada terjadinya disfungsi

endotel. Disfungsi endotel akan mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai

aktivitas vasodilatator dan peningkatan aktivitas vasokonstriktor, diantaranya

berupa penurunan produksi prostasiklin (PgI2) akibat terganggunya metabolisme

prostaglandin serta penurunan kadar nitric oxide (NO) yang berperan sebagai

vasodilatator kuat, peningkatan produksi tromboksan (TXA2) sebagai

vasokonstriktor kuat akibat agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang

mengalami kerusakan, serta terjadi peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor

lainnya seperti endotelin. Pada preeklampsia, rasio antara tromboksan dan

prostasiklin rata-rata mencapai 7:1. Akibat lain dari stress oksidatif yang terjadi

adalah pembentukan sel busa makrofag yang dipenuhi lemak dan khas untuk

aterosklerosis serta aktivasi koagulasi mikrovaskular. Penelitian Lukito dan Dewi

tahun 2007 mendapatkan gambaran kelainan pembuluh darah pada pemeriksaan

histopatologi plasenta penderita preeklampsia/eklampsia berupa trombosis,

proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika intima, dan aterosis akut

akibat dari invasi trofoblas gelombang kedua gagal atau tidak sempurna. Diameter

Page 20: BAB v hasil

arteri spiralis mengalami penurunan yang cukup jauh pada penderita preeklampsia

jika dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana pada kehamilan normal

vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero

plasenta dengan diameter rata-rata arteri spiralis mencapai 500 mikron, sedangkan

pada preeklampsia rata-rata diameter arteri spiralis hanya 200 mikron. Kelainan

pada arteri spiralis tersebut diduga sebagai penyebab perfusi yang tidak adekuat

dari darah ibu ke ruang intervillous. Gangguan aliran darah uteroplasenta

menyebabkan penurunan suplai nutrien berupa glukosa, oksigen, asam amino, dan

faktor pertumbuhan untuk janin yang berakibat pada berkurangnya pertumbuhan

janin yang meliputi jaringan subkutan, rangka aksial, dan organ vital. Hal ini

berkaitan dengan berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, asfiksia, hingga

kematian. Angsar (2010) menambahkan partus prematur juga berkaitan dengan

terjadinya peningkatan tonus otot rahim dan kepekaannya terhadap rangsang pada

preeklampsia sedangkan bayi preterm itu sendiri merupakan salah satu faktor

resiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. Selain itu, pada persalinan preterm,

fungsi organ-organ bayi  belum terbentuk secara sempurna, sehingga terjadinya

gagal nafas dan asfiksia dapat dikaitkan dalam hal ini sehubungan dengan

defisiensi kematangan surfaktan pada paru-paru bayi. Hal ini menunjukkan bahwa

keempat luaran perinatal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat

berdiri sendiri.

Page 21: BAB v hasil

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.16

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.16

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.16

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.16

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan

paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang

dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru

merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk

adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru

menjadi kemerahan.16

Page 22: BAB v hasil

http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?

option=com_content&view=article&id=395:hubungan-preeklampsia-berat-

dengan-terjadinya-prematuritas-pada-bayi-yang-dilahirkan-di-rsud-dr-soetomo-

surabaya-&catid=57:abstrak-penelitian&Itemid=76

Rev. Bras. Saude Mater.

Infant. vol.1 no.3 Recife Sept./Dec. 2001http://www.scielo.br/scielo.php?

pid=S1519-38292001000300004&script=sci_arttext.

http://etd.ugm.ac.id/index.php?

mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=54

390&obyek_id=4