Upload
lenhan
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat
multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah
perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan.
Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak
mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada
timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota
besar seperti DKI Jakarta. Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan
permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan
jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada
dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun
demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan
kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk
dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan
dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara,
melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru
BSD.
5.1. Kualitas Lingkungan BSD
Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya
kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan
pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang
mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi
udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel
10 dan 11. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO,
serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan
mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan
manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu
kesehatannya. Disamping hal tersebut tingginya SOx, NOx dan CO juga akan
64
mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan berbagai masalah
muncul seperti terjadinya kerusakan bangunan, kerusakan ekosistem daratan dan
kerusakan ekosistem perairan.
Tabel 10. Kualitas udara di BSD
LokasiParameter kualitas udara (µg/m3)
SO2 NO2 O3 CO TSP Pb
Permukiman 23.45 1.12 20.4 295 25 < 1Pertokoan 32.14 2.11 22.1 317 30 < 1Industri 26.4 1.43 21.5 309 25 < 1
Baku mutu* 900 400 235 30.000 230 2
Keterangan: * = PP No.41 Thn. 1999
Tabel 11. Kualitas air di BSD
No Parameter SatuanLokasi
Perumahanluar
PerumahanBSD
Pertokoan IndustriBMII*
Fisika1 suhu oC 26 26 27 28 dev. 3
Kimia1 pH *) - 6.0 6.5 6.5 6.5 6 - 92 BOD5 mg/l 5.13 4.94 5.22 11.71 33 COD + mg/l 20.68 92.26 93.84 98.58 254 Nitrat-
NO3-Nmg/l 0.076 0.170 0.111 1.903 10
5 TotalFosfat(PO4-P)
mg/l 0.034 0.090 0.052 0.140 0.2
6 Kadmium-Cd
mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0.01
7 Deterjen mg/l 0.010 0.008 0.007 0.009 0.28 Timah
Hitam- Pbmg/l <0,005 <0,005 <0,005 <0,005
0.03
9 Air Raksa(Hg)
mg/l 0.0005 0.0005 0.0006 0.0006 0.002
10 Arsen-As mg/l 0.0003 0.0003 0.0004 0.0004 111 Fenol mg/l 0.0009 0.0009 <0,0001 0.0009 0.001
BM II*= Baku Mutu Air kelas II
Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1)
memperlihatkan bahwa BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan
65
industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan.
Sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium (Cd),
deterjen, timah hitam (Pb), air raksa (Hg), arsen (As) dan fenol yang ada dalam
perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan
(Lampiran 1).
5.2. Analisis Keberlanjutan
Keberlanjutan pembangunan di kota baru ini merupakan hal yang menarik
untuk dikaji, mengingat keberlanjutan kota baru dapat berpengaruh pada berbagai hal
seperti pada peningkatan pembangunan fisik dan ekonomi. Walau dampak dari
pembangunan ekonomi tersebut pada akhirnya akan semakin menarik para migran yang
ingin mencari penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Selain hal tersebut
pembangunan fisik juga dapat berdampak negatif pada berbagai hal, terutama yang ada
kaitannya dengan lingkungan. Bahkan tidak hanya itu akibat pembangunan fisik,
malah dapat terbentuk lokasi-lokasi yang mungkin malah menjadi rawan terjadinya
bencana, dapat mengganggu kestabilan lingkungan seperti menimbulkan masalah
banjir, dsb.
Analisis keberlanjutan Kota Baru BSD ini dilakukan berdasarkan modifikasi
dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan. Hasil analisis
keberlanjutan Kota Baru BSD dinyatakan dalam indeks keberlanjutan Kota Baru BSD
(ikb-KOBA). Adapun hasil dari analisis yang dinyatakan sebagai indeks keberlanjutan
ini mencerminkan status keberlanjutan pada Kota Baru BSD berdasarkan kondisi
eksisting. Nilai tersebut ditentukan dari pendapat pakar, dengan kisaran nilai antara
0 – 100 %. Kriteria tidak berkelanjutan atau buruk, jika nilai indeks terletak antara
0 – 24,99 %. Kriteria kurang berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara
25 – 49,99 %. Kriteria cukup berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara
50 – 74,99 %. Kriteria berkelanjutan atau baik, jika nilai indeksnya 75 – 100 %
(Kavanagh, 2001).
Pada analisis keberlanjutan ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi,
ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Pada analisis
keberlanjutan Kota Baru BSD, sifatnya multidimensi, karena menggabungkan seluruh
atribut yang ada pada enam dimensi penentuan indeks keberlanjutan yaitu dimensi
66
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan
kelembagaan.
5.2.1. Dimensi Ekologi
Hasil analisis keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14
terlihat bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah 42,22 % (dengan
skala sustainabilitas 0 – 100, dan nilai indeks < 50). Hal ini memperlihatkan bahwa
berdasarkan kriteria Kavanagh (2001), maka status keberlanjutan untuk dimensi ekologi
di Kota Baru BSD termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.
Gambar 14. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD
Gambar 14 memperlihatkan bahwa walaupun Kota Baru BSD masuk ke dalam
kota baru yang relatif hijau dan relatif asri, namun aspek lingkungan masih harus
mendapat perhatian yang lebih serius, sehingga harus dicari upaya-upaya agar dimensi
ekologi menjadi berkelanjutan. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut
ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk
melihat atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan
dimensi ekologinya, hasil analisis leverage ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Berdasarkan wawancara terhadap pakar, agar nilai indeks ini di masa yang akan
datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-
perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks
RAPPERUMTES Ordination
GoodBad
Up
Down-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
42,22 %
67
dimensi ekologi. Atribut-atribut yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh
terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi di Kota Baru BSD ada lima dari
sebelas atribut. Adapun ke sebelas atribut tersebut adalah: (1) keadaan perumahan, (2)
ketersediaan instalasi pengolah limbah cair, (3) ketersediaan TPS sampah, (4) kondisi
drainase, (5) ketersediaan RTH, (6) ketersediaan air bersih, (7) kondisi jalan Kota Baru
BSD, (8) pencemaran udara/emisi, (9) penggunaan lahan BSD, (10) manajemen
banjir/bencana dan (11) permasalahan transportasi. Untuk lebih jelasnya atribut-atribut
dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Pada Gambar 15 terlihat adanya atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan
pengaruh besar terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi (hasil analisis
laverage). Berdasarkan hasil analisis laverage tersebut diperoleh lima atribut yang
sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) ketersediaan air
bersih, (2) manajemen banjir/bencana, (3) permasalahan transportasi, (4) pencemaran
udara/emisi, dan (5) ketersediaan pengolah limbah cair. Hasil analisis laverage dapat
dilihat pada Gambar 16.
Ketersediaan air bersih di Kota Baru BSD merupakan hal yang harus
diutamakan, mengingat di kota baru terjadi alih fungsi lahan yang cukup drastis, dalam
Leverage of Attributes
0.78
3.01
0.39
1.55
0.99
4.94
2.17
3.21
1.47
3.55
3.36
0 1 2 3 4 5 6
Permasalahan transportasi
Managemen Banjir/bencana
Psnggnaan lahan BSD
Pencemaran udara/emisi
Kondisi jalan Kota baru BSD
Ketersediaan air bersih
Ketersediaan RTH
Kondisi drainase
Ketersediaan TPS Sampah
Ketersediaan instalasi pengolah limbah cair
Keadaan perumahan
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
68
hal ini lahan yang tadinya terbuka, menjadi kawasan terbangun sehingga
memungkinkan terjadinya run off air pada saat hujan, sehingga air yang masuk ke
dalam tanah, untuk menjadi air tanah menjadi minimal, oleh karena itu maka air tanah
yang umumnya relatif bersih akan menjadi masalah dilokasi ini. Selain air tanah, di
Kota Baru BSD juga terdapat air sungai, namun kondisi air sungai dan air drainase di
lokasi penelitian juga kurang menggembirakan mengingat di lokasi ini apabila dilihat
dari bau dan warnanya, memberikan indikasi sudah tercemar berat, sehingga
ketersediaan air bersih menjadi masalah di kota baru. Di lain pihak, kebutuhan air di
Kota Baru akan cenderung semakin meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah
penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga kelangkaan air
bersih akan semakin meningkat. Oleh karena itu maka sumberdaya air harus dikelola,
dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya, untuk melakukan hal
tersebut, agar semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka hal yang lebih ideal adalah
dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
sumberdaya air.
Atribut sensitif ke dua adalah harus memperhatikan manajemen banjir/bencana.
Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dari hasil survay terlihat bahwa wilayah di
sekitar Kota Baru BSD relatif pemanfaatan ruangnya masih belum terkendali dengan
baik, sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya bencana, seperti bencana banjir,
sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaatan ruang tidak terkendali akan dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan tersebut, yang pada akhirnya akan
berdampak ke Kota Baru BSD. Oleh karena itu maka kesesuaian lahan di kota baru
yang diperuntukan untuk berbagai kepentingan harus benar-benar memperhatikan dan
mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah, seperti yang tercantum pada
Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada
pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa: ”Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa:
”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas
wilayah kota”. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah
kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.
Atribut sensitif ketiga adalah permasalahan transportasi. Permasalahan
transportasi tersebut nampak jelas terutama pada saat pagi hingga menjelang malam,
69
yakni di beberapa lokasi terjadi antrian kendaraan yang cukup panjang. Walau
kendaraan-kendaraan berat sudah dialihkan ke pinggir kota, masalah transportasi di
Kota Baru BSD ternyata masih menjadi masalah yang masih harus dipecahkan dengan
baik, mengingat selain akan terjadi kemacetan, juga akan mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2.
Terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) yang aktif pada kegiatan
transportasi ini pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang
pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan
berbagai bencana. Selain menyumbang GRK, dari pembakaran BBF transportasi ini
juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Di lain
pihak adanya pencemaran juga dapat berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan
sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk
menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka dengan
meningkatnya transportasi, bukan saja akan meningkatkan pembakaran BBF, namun
logam berat Pb yang berasal dari pembakaran BBF tersebut juga akan memberikan
dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat.
Atribut sensitif keempat adalah pencemaran udara/emisi. Terjadinya
pencemaran atau emisi GRK di Kota Baru harus menjadi perhatian yang serius,
mengingat di wilayah ini transportasi belum dapat dikelola secara baik, apalagi jika di
lokasi tersebut terjadi kemacetan, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2. Selain adanya pencemaran
yang berasal dari Kota Baru, pencemaran udara ini juga ditambah dengan bahan
pencemar dan emisi dari lokasi lain, terutama dari jaringan jalan yang berada di
pinggiran Kota Baru BSD, mengingat kendaraan dari kota baru di alihkan ke pinggir
kota, namun mengingat udara bersifat dinamis, maka udara yang berasal dari pinggiran
kota tersebut, dengan adanya angin, pada akhirnya akan masuk ke dalam wilayah Kota
Baru BSD.
Atribut sensitif kelima adalah ketersediaan pengolah limbah cair. Limbah cair
pada dasarnya dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan seperti dari pertokoan, industri,
perhotelan, rumah sakit, permukiman, dsb. Namun sayangnya walaupun Kota Baru
BSD adalah hunian hijau, namun limbah domestik yang ada di lokasi kajian
mengindikasikan tidak pernah dilakukan pengelolaan, sehingga limbah cair domestik
70
akan masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kondisi
yang sama juga terjadi pada limbah lain seperti limbah industri dan limbah perkotaan,
limbah rumah sakit, dsb yang hampir semuanya langsung masuk ke dalam badan air
tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu maka ketersediaan
instalasi pengolah limbah cair (IPAL) harus mendapat perhatian yang sangat serius.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kemungkinan terjadinya kerentanan
dan kerawanan ekologis di lokasi penelitian yang merupakan lokasi yang relatif asri
menjadi tidak terhindarkan dalam pengembangan kawasan Kota Baru BSD. Oleh
karena itu, maka perlu dilakukan penataan daerah, baik di dalam kota baru itu sendiri,
maupun di wilayah sekitar kawasan Kota Baru BSD secara terpadu, sesuai fungsi lahan.
5.2.2. Dimensi Ekonomi
Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi
memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17
(Gambar 16). Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar dibanding
nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Selain itu besarnya nilai indeks
keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50. Hal ini mengandung arti bahwa dimensi
ekonomi pada pengelolaan kawasan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup
berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan
kawasan Kota Baru BSD lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek
ekologi.
Indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi cukup berkelanjutan, namun
demikian pada dimensi ekonomi juga masih terdapat berbagai kelemahan yang masih
perlu diperbaiki, sehingga menjadi sangat berlanjut. Adapun perbaikan-perbaikan
tersebut, idealnya harus dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh
terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan
datang dapat terus meningkat sampai mencapai status sangat berkelanjutan.
Adapun atribut-atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap
tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1)
peluang usaha, (2) kelayakan lingkungan usaha, (3) kemampuan daya beli masyarakat,
(4) tingkat pengangguran, (5) kawasan industri, (6) tingkat pendapatan, (7) keberadaan
pertokoan, dan (8) keberdaaan kawasan bisnis.
71
53.17
GOODBAD
UP
DOWN
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Gambar 16. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD
Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut
keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, namun demikian atribut-atribut tersebut
memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan.
Dalam rangka melihat atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indek keberlanjutan ekonomi, dilakukan analisis laverage. Hasil analisis
laverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekonomi yaitu (1) keberadaan kawasan bisnis, (2) tingkat pengangguran, (3)
keberadaan kawasan industri, dan (4) keberadaan pertokoan kawasan. Hasil analisis
laverage dapat dilihat seperti Gambar 17.
Atribut sensitif pertama adalah keberadaan kawasan bisnis. Pada kota baru,
selain adanya zonasi perumahan masyarakat identik, juga harus terdapat kawasan bisnis,
mengingat dengan tersedianya kawasan bisnis, maka di perumahan tersebut juga identik
dengan relatif dapat terpenuhinya tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut
untuk berusaha dan untuk mencari nafkah ke lokasi yang tidak terlalu jauh. Keberadaan
kawasan bisnis yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mendapat barang-
barang kebutuhannya, untuk menjual barang-barang yang diproduksinya atau untuk
bertransaksi di berbagai bidang. Selain hal tersebut dengan adanya kawasan bisnis yang
72
berkembang di kota baru ini berarti ada tempat usaha yang baik, mudah ditemukan dan
dijangkau, sehingga akan menarik baik bagi konsumen perumahan kota baru itu sendiri
maupun untuk penghuni yang mata pencahariannya atau yang hobbinya berbisnis.
Keberadaan kawasan bisnis di area kota baru yang relatif dekat dengan kawasan
permukiman tentunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, namun
juga keberadaan kawasan bisnis tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan
sekitar, sehingga kawasan kota baru tetap berkelanjutan walau dalam kondisi apapun.
Gambar 17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Atribut sensitif ke dua adalah tingkat pengangguran. Walaupun Kota Baru BSD
adalah kota baru yang sudah modern dengan kondisi keberlanjutan yang masuk pada
kategori cukup, namun ternyata juga tidak pernah terlepas dari masalah pengangguran.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa pada umumnya
masyarakat yang ada di lokasi tersebut mempunyai pekerjaan tetap, namun demikian
diantara masyarakat tersebut terutama yang berada di sekitar perumahan terencana
cukup banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran), sehingga dapat
mengganggu ketentraman. Berdasarkan wawancara juga terungkap bahwa penganggur
yang paling banyak terutama berasal dari masyarakat pendatang yang datang ke kota
baru untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka terjadinya urbanisasi dari desa ke
Leverage of Attributes
0.44
0.66
0.48
1.81
1.19
0.31
1.48
2.57
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Kawasan bisnis
Keberadaan industri
Tingkat pendapatan
Pertokoan kawasan
Tingkat pengangguran
Kemampuan daya beli masy
Kelayakan lingk usaha
Peluang usaha
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (onStatus scale 0 to 100)
73
kota merupakan salah satu aspek yang perlu diwaspadai mengingat urbanisasi seringkali
meningkatkan jumlah penganggur, di lain pihak meningkatnya jumlah penganggur ini
seringkali berdampak pada ketidak kondusifan di dalam kawasan.
Hingga saat ini pengangguran masih menjadi masalah besar di berbagai lokasi,
bahkan di kota besar sekalipun, oleh karena itu maka harus dicari jalan keluar yang
tepat, mengingat pengangguran dapat menjadi persoalan yang berakibat pada
terganggunya stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya apabila masalah
pengangguran tidak dapat terpecahkan, maka suatu saat akan sangat membahayakan
kelangsungan pemerintahan suatu negara, mengingat pengangguran akan
mengakibatkan timbulnya kerawanan sosial.
Atribut sensitif ke tiga adalah keberadaan kawasan industri. Pada dasarnya Kota
Baru BSD merupakan kota baru mandiri, dalam arti masalah ekonomi dan sosial,
berupaya untuk dipecahkan sendiri, termasuk di dalamnya masalah pengangguran.
Dalam rangka menunjang Kota Baru BSD menjadi wilayah yang mandiri, maka selain
harus terdapat kawasan bisnis. Hal yang juga sangat perlu ada adalah terdapatnya
kawasan industri, mengingat kawasan industri merupakan kawasan yang dapat
menggairahkan kondisi ekonomi kawasan, dapat meningkatkan PAD, dan PDRB serta
akan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu maka
kawasan industri mutlak harus ada di kota baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Miranti (2007) yang mengatakan bahwa industri ini merupakan sektor yang mampu
menyerap tenaga kerja cukup besar. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi
sebesar 11,7 % terhadap total ekspor nasional, 20,2 % terhadap surplus perdagangan
nasional, dan 3,8 % terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Selain hal tersebut di atas, keberadaan kawasan industri juga perlu mendapat
perhatian yang cukup serius, mengingat di lokasi ini akan terjadi aktifitas antropogenik
yang begitu tinggi, termasuk di dalamnya pembakaran BBF, pembuangan sampah dan
pembuangan limbah cair. Hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup serius karena
menurut Abou et al. (2002) pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah
umumnya lebih tinggi dibanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri
pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) seperti yang terjadi
di Kota Baru BSD, relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan
penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999).
74
Atribut sensitif ke empat adalah keberadaan pertokoan di kawasan kota baru. Di
pertokoan banyak transaksi yang terjadi, dan di kawasan pertokoan pula peredaran uang
sangat besar, sehingga pertokoan idealnya harus mengikuti pusat permukiman berada,
begitu pula dengan kebalikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan faktor
penting dalam penentuan keberadaan pertokoan, mengingat keberadaan pertokoan
disamping dapat memberi manfaat tapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan pertokoan pada khususnya. Oleh
karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan pertokoan menjadi sangat penting
untuk diperhatikan, mengingat bukan tidak mungkin di lokasi tersebut dapat terjadi
konflik dengan masyarakat.
5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya
Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya
sebesar 26,49 %. Nilai dimensi sosial budaya ini jauh di bawah nilai 50, sehingga
termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Selain hal itu nilai
dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi
maupun dimensi ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa di kawasan kota baru
terdapat indikasi bahwa adanya kegiatan yang mendekati gaya metropolitan di kota baru
mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari tidak terdapat
lagi budaya asli wilayah tersebut, sehingga budaya masyarakat setempat sudah luntur
dan tidak didapati lagi di kawasan Kota Baru BSD. Selain itu masyarakat di Kota Baru
BSD juga relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk
meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini, terutama
dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi
nilai indeks tersebut secara nyata. Untuk lebih jelasnya nilai indeks keberlanjutan untuk
dimensi sosial dan budaya dapat dilihat pada Gambar 18.
Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis
dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 19. Pada Gambar 19
terlihat bahwa atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari lima atribut, yaitu: (1) kepedulian,
dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, (2) status kesehatan masyarakat,
(3) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (4) keragaman budaya
dalam masyarakat dan (5) konflik dengan masyarakat lokal.
75
Gambar 18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD
Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh tiga atribut yang paling sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya yaitu (1) pengaruh
keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (2) keragaman budaya dalam
masyarakat, dan (3) konflik dengan masyarakat lokal. Atribut-atribut tersebut perlu
dikelola dan terus ditingkatkan dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi
sosial-budaya ini meningkat di masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan
dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan
menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan
dimensi sosial-budaya dalam pengembangan permukiman tepi sungai di Jakarta. Hasil
analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 19.
Pada Gambar 19 terlihat bahwa atribut yang paling sensitif yang harus benar-
benar diperhatikan adalah adanya pengaruh keberadaan Kota Baru BSD pada nilai
sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat, dan konflik antara
masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman Kota Baru BSD dengan masyarakat
lokal. Hal ini dapat dimengerti mengingat masyarakat yang tinggal di suatu kawasan
perumahan perkotaan, seperti halnya di BSD pada umumnya terdiri dari beragam etnik,
adat juga latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka keragaman tersebut
26,49 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
BadGood
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
26,49 %
76
harus menjadi modal dasar untuk melakukan pembangunan, mengingat apabila
keragaman itu tidak dikelola dengan baik, pada umumnya akan memudahkan terjadinya
konflik.
Gambar 19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Dalam rangka menjaga agar tidak terjadi konflik, maka masyarakat yang
mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama seperti yang terjadi di Kota Baru BSD
harus selalu menggali wawasan kebangsaan, sehingga dapat menghindari adanya
berbagai ketegangan dan dapat menghindarkan terjadinya konflik masyarakat. Konflik
horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di kawasan permukiman seharusnya bisa
dihindari apabila ada rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada.
Kondisi tersebut terjadi karena adanya toleransi antara etnis yang satu dengan
etnis yang lain tidak pernah hadir dengan sendirinya. Dalam hal ini toleransi baru akan
muncul jika dari lubuk hati masing-masing terdapat empati. Adapun yang dimaksud
dengan empati di sini adalah hati nurani manusia untuk ikut serta merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain; seperti turut bergembira pada saat melihat orang lain
bahagia, dan turut berduka apabila orang lain ada yang sedang mendapatkan
masalah/musibah/kedukaan atau dengan kata lain empati merupakan rasa kepedulian
terhadap sesama. Oleh karena itu maka apabila masing-masing anggota masyarakat
Leverage of Attributes
2.39
1.88
3.72
3.70
3.87
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Kepedulian&tg.jawab
Pada sumberdaya
Status kesehatan
masyarakat
Keragaman budaya
dlm masyarakat
Konflik dengan
Masyarakat lokal
Keberadaan BSD
pada sosial budaya
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
77
memiliki rasa empati terhadap orang lain, maka akan terbangun rasa untuk saling
menerima dan menghargai orang lain, sehingga nilai toleransi akan terbangun dengan
baik.
Pada suatu kawasan permukiman yang terdapat di perkotaan, kemungkinan
adanya keranekaragaman etnis sangat tinggi, mengingat masyarakat yang ada di kota
baru berasal dari berbagai daerah, dengan adat istiadat dan bahkan mungkin agama yang
beranekaragam. Oleh karena itu maka pada kawasan permukiman baru, seperti halnya
di Kota Baru BSD, potensi bahaya konflik selalu tinggi. Adapun konflik yang
mungkin muncul di kawasan kota baru antara lain adalah konflik ketenaga kerjaan,
konflik agama, konflik budaya (adat istiadat dan kebiasaan), konflik pertanahan (walau
awalnya lebih ke antara pengembang dan masyarakat lokal), konflik atas sumber daya
alam, dsb. Satu jenis atau berbagai jenis konflik tersebutpada umumnya akan muncul
ke permukaan dalam bentuk konflik antar etnis dan konflik antar agama. Adanya
ketidak adilan baik dalam hal aspek sosial, budaya, maupun ekonomi seringkali menjadi
lahan subur untuk terjadinya konflik. Oleh karena itu dalam satu kawasan permukiman
di kota baru seperti BSD harus selalu dijaga agar masyarakat yang ada di dalamnya
merasa diperlakukan adil, dan jangan sampai membiarkan terjadinya kepentingan dari
luar yang sengaja memanaskan suasana dalam kawasan permukiman tersebut, sehingga
akan meredam terjadinya konflik.
Kenyataan yang ada saat ini, baik di kota baru, maupun di seluruh peloksok
perkotaan, cenderung terdapat kesenjangan yang diakibatkan oleh kebijakan
pembangunan ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini terjadi karena adanya
perubahan yang sangat cepat, sementara kondisi budaya bangsa belum dapat
mengimbangi perubahan yang sangat cepat tersebut. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan krisis ekonomi merambah ke aspek-aspek lainnya, sehingga krisis
ekonomi tersebut akhirnya berkembang menjadi krisis moral, krisis sosial, krisis politik,
dan krisis multidimensional yang mengakibatkan terbentuknya konflik sosial, bahkan
malah pada akhirnya mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu
maka agar hal tersebut tidak sampai terjadi, maka hal yang harus benar-benar
diperhatikan sedini mungkin adalah melakukan pengelolaan terhadap keragaman
budaya yang ada pada suatu kawasan permukiman dan kota baru sebaik dan secermat
mungkin.
78
Dalam rangka menciptakan terwujudnya masyarakat yang merasa diperlakukan
adil dan damai serta terwujudnya masyarakat yang kondusif di kawasan kota baru
dengan masyarakat sekitarnya, adalah harus memahami adanya ragam budaya atau
multikulturalisme, yakni mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan,
baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu maka masyarakat
harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan, dan kebudayaan sendiri
merupakan modal dasar pembangunan, sehingga adanya kebudayaan yang
beranekaragam menjadi modal pembangunan yang sangat besar untuk memajukan
sebuah kota baru, bahkan bangsa dan negara. Selain hal tersebut pada konteks
keragaman budaya, multikulturalisme jangan diartikan sebagai konsep keanekaragaman
secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, mengingat multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu maka
pemahaman multikulturalisme harus mengedepankan kesederajatan dan keadilan
dengan memperhatikan dan menekankan pada proses penegakan hukum,
memungkinkan terbukanya kesempatan untuk bekerja dan berusaha, mengedepankan
HAM, mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas, mengedepankan
prinsip-prinsip etika dan moral, namun tetap menekankan pada mutu dan produktivitas.
5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi
Analisis terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada Kota
Baru BSD menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi
yang cukup tinggi, yakni sebesar 52,20 %. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan Kota Baru BSD
masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari tiga belas atribut,
yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana penanganan bencana, (2) ketersediaan
sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (3) ketersediaan sarana dan
prasarana pengolahan limbah industri cair, (4) ketersediaan sarana dan prasarana
pengolahan limbah padat, (5) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas
perairan, (6) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas udara, (7)
ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas sosial, (8) penggunaan sarana transportasi,
(9) ketersediaan sarana dan prasarana menurunkan emisi GRK, (10) ketersediaan sarana
79
dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, (11) akses masyarakat terhadap utilitas
ekonomi, (12) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, dan (13) ketersediaan sarana
dan prasarana early warning system.
Gambar 20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD
Adapun peran masing-masing aspek pada atribut infrastruktur dan teknologi ini
dianalisis dengan menggunakan analisis leverage. Atribut-atribut yang lebih sensitif
yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur
dan teknologi hasil analisis laverage ini diperoleh empat atribut yang paling sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu (1)
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (2) ketersediaan
sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (3) ketersediaan sarana dan
prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana
komuter. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan dimensi infrastruktur dan
teknologi, maka atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi ini meningkat untuk masa yang akan
datang, dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak
positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi. Hasil analisis laverage tersebut
dapat dilihat seperti Gambar 21.
52,20 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
52,20 %
80
Atribut yang paling penting dari dimensi infrastruktur dan teknologi adalah
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair. Hal ini merupakan
satu petunjuk bahwa dalam rangka melestarikan lingkungan Kota Baru BSD sarana
pendukung seperti pengolahan limbah domestik cair di suatu kawasan kota baru tidak
dapat diabaikan bahkan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena hampir
setiap aktivitas masyarakat di permukiman akan menghasilkan limbah domestik cair.
Selain itu dalam satu kawasan permukiman, jumlah rumah yang ada di dalamnya tidak
mungkin jumlahnya sedikit, sehingga limbah domestik yang akan dihasilkan juga
jumlahnya akan sangat banyak.
Gambar 21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).
Menurut Sitepu (2009) pada limbah domestik ini tidak sekedar hanya terdapat
limbah organik mudah urai (BOD), TSS, Minyak dan lemak, namun dapat
mengakibatkan tercemarnya lingkungan adalah H2S, orthofosfat, ammonia, nitrit, DO,
BOD, COD, phenol dan detergen serta fecal coli. Selanjutnya disarankan agar dalam
rangka menghindari terjadinya pencemaran akibat limbah domestik di kawasan
perumahan yang dibutuhkan bukan hanya persepsi semata, namun perlu tindakan nyata
untuk mewujudkan persepsi tersebut dalam berbagai aksi, seperti aksi melakukan
Leverage of Attributes
3.43
1.67
1.23
1.03
1.11
2.74
4.54
8.18
0.52
0.69
3.21
0.24
2.46
0 2 4 6 8 10
Sarana penurun emisi GRK
Sarana pengolah limbah padat
Jalan yang efektif&efisien
Akses terhadap utilitas ekonomi
Penggunaan sarana transportasi
Sarana monitoring kualitas air
Sarana pengolah limbah industry cair
Sarana Pengolah limbah domestic cair
Sarana penanganan bencana
Sarana fasilitas sosial
Ketersediaan sarana komuter
Sarana early warning
Sarana monitoring kualitas udarak
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
81
pembangunan IPAL domestik, melakukan pengolahan limbah domestik cair yang
efisien dan efektif sehingga dapat menurunkan bahan pencemar dalam limbah cair yang
jenisnya semakin beragam. Oleh karena itu maka tersedianya sarana dan prasarana
pengolahan limbah domestik cair yang memadai di suatu kawasan permukiman atau di
kota baru tentunya bukan hanya akan menciptakan suasana yang nyaman bagi
penghuninya, namun juga akan dapat menyelamatkan lingkungan dan menjaga
kelestarian lingkungan secara makro.
Dalam kota baru selain harus tersedia sarana dan prasarana pengolahan limbah
domestik cair, juga perlu disediakan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri
cair, mengingat di kota baru selain terdapat permukiman juga terdapat kawasan bisnis,
yang di dalamnya terdapat kegiatan industri. Pada kawasan industri hal yang paling
sering terjadi adalah sangat sulitnya menghilangkan limbah. Hal ini terjadi karena
industri yang ada di kota baru pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, belum
menerapkan konsep produksi bersih, seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia
yang tertuang pada Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih,
sehingga dapat mengurangi jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah
secara aman (Memahami KTT Bumi, 1992).
Limbah industri seringkali banyak disoroti oleh berbagai kalangan, karena
limbah industri pada umumnya mengandung berbagai senyawa baik dalam bentuk padat,
gas maupun cair yang mengandung senyawa organik dan anorganik yang umumnya
termasuk ke dalam limbah yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan
beracun (B3) dengan jumlah yang seringkali melebihi batas yang ditentukan. Kondisi
tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga akan
menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan.
Industri pada umumnya berpotensi untuk mencemari lingkungan. Oleh karena
itu maka salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian di kawasan industri yang
ada di Kota Baru BSD adalah belum terdapatnya pengolah air buangan (limbah cair
industri). Dalam pengolahan air buangan ini, berdasarkan pengamatan di lapang, ada
indikasi bahwa perusahaan yang memiliki IPAL di lokasi penelitian relatif hampir tidak
ada. Hal ini disebabkan operasional IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan
keterampilan tenaga-tenaga pelaksana dan biaya pengoperasian IPAL tersebut relatif
82
sangat mahal, sehingga menjadi kendala bukan hanya untuk kota baru, namun juga di
kawasan industri lainnya yang tersebar di seluruh peloksok tanah air.
Kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap
lingkungan, dalam hal ini terhadap limbah cair yang dihasilkannya juga pada umumnya
masih minim. Bahkan tidak hanya itu masih ada beberapa perusahaan (secara umum
terjadi di Indonesia) yang beranggapan bahwa program lingkungan dianggap sebagai
penghalang oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Kondisi ini
terjadi karena pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri yang relatif minim.
Selain hal tersebut, khusus untuk perusahaan yang sudah melakukan program
lingkungan, pada umumnya perusahaan tersebut juga sangat tertutup dalam hal
informasi kualitas air buangannya. Oleh karenanya, maka perusahaan-perusahaan
seringkali tidak mau memberikan informasi yang sebenarnya tentang kondisi kualitas
limbah cairnya. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan seringkali relatif tidak
melaksanakan pengelolaan terhadap lingkungan, atau kalaupun melakukan pengelolaan,
maka pengelolaan yang dilakukan relatif tidak optimal, sehingga kualitas limbah cair
yang dihasilkannya dan selanjutnya dibuang ke perairan masih relatif jelek.
Relatif tidak adanya IPAL di industri-industri Kota Baru BSD diduga karena
tingginya biaya investasi dan biaya operasional IPAL. Pada saat ini sebenarnya sudah
ada aturan (namun bersifat sukarela) untuk industri-industri yang mengekspor
produknya ke berbagainegara. Dalam hal ini apabila industri tersebut melakukan ekspor
produknya ke negara-negara Eropa. Negara Eropa umumnya sudah menerapkan agar
perusahaan pengekspor ecolabelling sudah menerapkan ecolabelling, sehingga mulai
dari input, proses dan out put tidak akan menghasilkan bahan pencemar dan tidak akan
merusak lingkungan. Oleh karena itu, maka berapapun mahalnya instalasi dan
operasionalnya, industri tersebut pada umumnya akan berupaya membangun IPAL dan
melaksanakan produksi bersih, sehingga produknya dapat diekspor. Oleh karena itu,
maka ada baiknya jika perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Kota Baru BSD
didorong agar melakukan ekspor ke negara-negara Eropa, sehingga perusahaan tersebut
dituntut oleh konsumennya untuk melaksanakan program ecolabelling secara sukarela.
Atribut sensitif lain yang harus diperhatikan pada pengelolaan lingkungan di kota
baru adalah ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan
ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Hal ini disebabkan keberadaan sarana
83
transportasi yang memadai dan sistem transportasi dan terutama infrastruktur jalan raya
yang efektif dan efisien merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai standar
kehidupan yang tinggi, tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karenanya
sangat wajar jika pada akhirnya membawa konsekuensi penggunaan teknologi baru
yang lebih canggih, seperti interchanges, jalan-jalan layang (fly overs), jalan bebas
hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track). Adapun tanda-tanda
lalu lintas yang terkoordinasi, dan sebagainya untuk menampung kecepatan yang lebih
tinggi dan aliran (jumlah) lalu lintas yang lebih besar, terutama di daerah perkotaan,
sehingga efektifitas tersebut tidak terlalu mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu
lintas dan pencemaran udara dan kebisingan.
Dalam rangka menciptakan jaringan jalan yang efektif dan efisien, maka harus
dibuat perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasisedemikian
rupa, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna
lahan dengan kemampuan transportasi. Selain hal tersebut dalam melakukan
pengembangan teknologi di bidang transportasi juga hendaknya adalah teknologi
prasarana transportasi berupa jaringan jalan, mengingat sistem transportasi yang
berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat
menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut.
Transportasi juga memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu
metropolitan, yang di dalamnya bukan hanya metropolitan semata sebagai kota induk,
namun juga terdapat kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih
erat terkait dengan kota induknya. Adapun kota tersebut, tidak lain adalah kota baru.
Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan antara kawasan permukiman di
kota baru dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur
transportasi antara kota induk dan kota satelitnya.
Tingginya peradaban masyarakat kota metropolitan yang didukung oleh tingginya
pendapatan, pada umumnya akan mendorong meningkatnya penggunaan kendaraan
pribadi. Hal ini disebabkan penggunaan kendaraan pribadi merupakan cerminan
peningkatan taraf hidup seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan mobilitas yang
tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang disatu sisi
merupakan keberhasilan dari penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan
peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, disisi lain menimbulkan kerusakan
84
kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara dan polusi suara (Tamin,
2005). Oleh karena itu maka untuk menghindari pemakaian kendaraan pribadi yang
berlebihan maka perlu diciptakan kendaraan pengangkut penumpang masal yang aman,
nyaman dan cepat. Khusus untuk masyarakat Kota Baru BSD yang umumnya bekerja
di kota utama atau di kota satelit lainnya, dalam rangka menjaga efisiensi dan efektitas
serta untuk menghindari terjadinya pencemaran maka harustersedia sarana dan
prasarana komuter, atau dengan kata lainperlu tersedia kendaraan yang dapat
mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Dardak (2006) yang mengatakan bahwa diperlukan jaringan
transportasi massal (mass transit) yang beragam jenis dan kombinasinya dengan ongkos
yang mampu dibayar oleh masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran daerah.
Oleh karena itu maka kapasitas sistem jaringan transportasi komuter harus didesain
sedemikian rupa untuk dapat menampung bangkitan lalu lintas dari sistem kegiatan
sehingga tidak terjadi kemacetan.
5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 22)
mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
adalah 59,95 % (Kavanagh, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan
untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan. Seperti pada
dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini
dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 23.
Walaupun dimensi hukum dan kelembagaan sudah cukup berkelanjutan, maka perlu
dilakukan lagi upaya agar dimensi hukum dan kelembagaan menjadi sangat
berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut
yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan sangat
perlu dilakukan sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus
meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para
pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah.
85
Gambar 22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota BaruBSD
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari delapan atribut, yaitu:
(1) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (2) keberadaan peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di lingkup kawasan
kota baru, (3) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (4) sinkronisasi peraturan
dengan pusat, (5) kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan, (6) intensitas
pelanggaran hukum, (7) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, dan (8) konsistensi
penegakan hukum.
Dalam rangka melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis
laverage. Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh enam atribut yang sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu (1)
kompetensi pengelola kawasan kota baru, (2) egosektoral dalam pengelolaan
lingkungan, (3) konsistensi penegakan hukum, (4) tersedianya organisasi pengelola
lingkungan, (5) intensitas pelanggaran hukum, dan (6) sinkronisasi peraturan dengan
pusat. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
59,95 %
86
keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini meningkat untuk masa yang akan
datang. Adapun hasil analisis laverage dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.
Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).
Pada dasarnya terdapat berbagai hal yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan kota baru, baik di kawasan
permukimannya maupun di lokasi lain di kota baru. Adapun hal-hal yang sangat
penting tersebut adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan pengelolaan lingkungan akan
sangat tergantung pada kompetensi pengelolanya. Pengelola yang kompeten di
bidangnya pada umumnya akan memahami apa yang harus dilakukan dalam melakukan
pengelolaan lingkungan sekaligus akan mengetahui parameter kunci dan trik-trik
implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan
baik dan relatif akan berhasil dengan baik.
Pada pengelolaan lingkungan, termasuk di kota baru, seringkali egosektoral
dalam pengelolaan lingkungan sangat kental terjadi terutama antara dinas-dinas di
kabupaten atau kota yang berkepentingan. Kondisi ini seringkali mengakibatkan
gagalnya pengelolaan lingkungan di satu wilayah. Selain adanya egosektoral, hal yang
juga tidak kalah pentingnya adalah konsistensi penegakan hukum. Ada indikasi bahwa
Leverage of Attributes
4.02
1.45
1.51
4.24
3.61
4.82
4.68
4.48
0 1 2 3 4 5 6
Intensitas pelanggaran hukum
Keberadaan peraturan pengelolaan SDA
Kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan
Organisasi pengelola lingkungan
Sinkronisasi peraturan dgn pusat
Kompetensi pengelola kota baru
Egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
Konsistensi penegakan hukum
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Status scale 0 to 100)
87
penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini
mengakibatkan tidak menariknya masyarakat atau perusahaan untuk berpartisipasi
melakukan pengelolaan lingkungan. Untuk itu maka hal ini harus menjadi perhatian
yang cukup serius bukan hanya di lokasi penelitian namun untuk Indonesia secara
keseluruhan.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik atau bahkan sangat baik adalah tersedianya organisasi pengelola
lingkungan. Adanya kelembagaan ini secara tidak langsung juga akan membangun
“wadah” jaringan kerjasama antara stakeholders yang berfungsi sebagai jaringan
kerjasama dan koordinasi. Pihak yang membentuk wadah tersebut dapat terdiri dari
beberapa unit seperti masyarakat, pengembang, pemerintah dan instansi terkait.
Adapun prinsip organisasi tersebut adalah pelibatan stakeholders yang peduli dan
berkepentingan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, danketerlibatan
stakeholder akan lebih bersifat terbuka, berdasarkan kesetaraan dan partisipasi,
mekanisme negosiasi yang saling menguntungkan, berkeadilan, keputusan berdasarkan
prinsip demokrasi.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik adalah masih tingginya intensitas pelanggaran hukum. Hal ini
terjadi karena kompetensi pengelola kawasan kota baru, para penegak hukum serta
pihak eksekutif dan legislatif yang relatif belum mempunyai kompetensi yang baik
dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan relatif
kurang dapat membedakan mana yang betul-betul benar dan mana yang sesungguhnya
salah/keliru/kurang pas.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik adalah sinkronisasi peraturan dengan pusat. Dalam hal ini
seringkali tata tertib dalam masyarakat dan di kawasan kotabaru dapat saja tidak
sinkron, sehingga akan membuat kebingungan masyarakat bawah yang pada akhirnya
berujung pada gagalnya pengelolaan lingkungan di kawasan kota baru.
5.2.6. Multidimensi
Hasil analisis Rap-KOBA multidimensi pengelolaan lingkungan kota baru
yang keberlanjutan dilakukan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai
88
ini diperoleh berdasarkan penilaian 45 atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu
dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum
dan kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-KOBA mengenai
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa diantara kelima
dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah
dimensi hukum dan kelembagaan, diikuti dimensi ekonomi dan infrastruktur dan
teknologi yang keduanya masuk pada kategori berkelanjutan. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan, dimensi ekonomi dan
infrastruktur serta dimensi teknologi dan ketiga dimensi tersebut masuk pada kategori
cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi masuk pada kategori belum berlanjut,
serta dimensi sosial budaya masuk pada kategori buruk
Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis laverage masing-masing dimensi
sebanyak 22 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke depan untuk
meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD.
Perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai
dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil
mungkin atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai
indeks keberlanjutan kawasan.
Hasil analisis dengan menggunakan Rap-KOBA (MDS) diperoleh nilai indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang
berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan,
dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi
infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan
dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan.
Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar tersebut didasarkan pada kondisi eksisting
wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KOBA
dapat dilihat pada Gambar 24.
Pada konsep pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan setidaknya
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara
global sejak diselenggarakannya United Nation Conference on The Human Environment
di Stockholm tahun 1972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi
89
sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya (WCED, 1987). Selain hal tersebut menurut Komisi Burtland,
pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi
lebih merupakan suatu proses perubahan agar eksploitasi sumberdaya, arah investasi,
orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan
masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Kaitan pernyataan tersebut di atas
dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai
indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama
besar.
Gambar 24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD
Hal ini disebabkan kawasan Kota Baru BSD memiliki masalah yang berbeda-
beda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun
juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan gabungan dari kelima
dimensi yang dilihat di sini masih berada pada kategori kurang berlanjut. Oleh karena
itu maka dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benar-
benar memperhatikan atribut-atribut sensitif terutama pada dimensi ekologi dan sosial
budaya. Namun demikian pada dimensi lainnya pun tetap harus ditingkatkan status
keberlanjutannya, dengan cara memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat
meningkatkan status keberlanjutan dari semua dimensi pada Rap-KOBA tersebut.
46,75 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman Multidimensi
46,75 %
90
Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan KotaBaru BSD
Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan
hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-KOBA
(multidimensional scaling). Hal ini mengandung arti bahwa kesalahan dalam analisis
dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian
skoring akibat terjadinya perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang
dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data
hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte
Carlo seperti pada Tabel 12.
Hasil analisis Rap-KOBA tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa semua
atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru
BSD, cukup akurat, sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat
dipertanggung jawabkan. Hal ini terbukti dari nilai stress yang hanya antara 13 sampai
14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh antara 0,94 dan 0,97. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup
memadai apabila nilai stress lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni nilai 0,25 (25 %).
(42,22 %)
(53,17%)
(26,49 %)(52,20 %)
(59,95 %) 0
20
40
60
80
100Ekologi
Ekonomi
Sosial dan BudayaInfrastruktur dan Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
(42,22 %)
(59,95 %)
(52,20 %) (26,49 %)
(53,17 %)
91
Tabel 12. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengananalisis Rap-KOBA
Dimensi KeberlanjutanNilai Indeks Keberlanjutan (%)
PerbedaanMDS Monte Carlo
Ekologi 42,22 42,29 0,07
Ekonomi 43,71 43,24 0,47
Sosial-Budaya 26,49 27,02 0,53
Infrastruktur dan Teknologi 52,20 46,46 5,74
Hukum dan Kelembagan 59,95 58,23 1,72
Multi-Dimensi 46,69 45,05 1,64
Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati
nilai 1,0. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas
hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar
(mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai
R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan
R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis
keberlanjutan pengelolaan lingkungan kota baru di kawasan Kota Baru BSD, Kabupaten
Tangerang Selatan masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima
dimensi pembangunan yang dianalisis. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi
seperti Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis Rap-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2)
ParameterDimensi keberlanjutan
A B C D E F
Stress 0,14 0,13 0,13 0,14 0,13 0,13
R2 0,94 0,96 0,97 0,94 0,97 0,94
Iterasi 3 3 3 3 3 3Keterangan : A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial-Budaya,
D = Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan,dan F = Multidimensi
Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat
kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan,
dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo
92
adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan
menggunakan teknik random number dan didasarkan pada teori statistika, sehingga dari
sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis
(EPA 1997). Pada penelitian ini penggunaan analisis Montecarlo dimaksudkan untuk
melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada setiap dimensi
yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang
disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi
pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda,
stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang
(missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Adanya analisis Montecarlo ini,
harapannya agar hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat mempunyai tingkat
kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 2001 serta Fauzi dan Anna, 2002).
Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 14) terlihat bahwa nilai status
indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ada pada selang
kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang
hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor
setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; variasi pemberian skor akibat perbedaan
opini juga relatif kecil. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa proses analisis yang
dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada
setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data
yang hilang (Kanvanagh, 2001).
Tabel 14. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%.
Status IndeksHasil analisis
PerbedaanMDS Monte Carlo
Multidimensi 36,86 36,43 0,43Ekologi 36,14 36,44 0,30Ekonomi 53,18 52,74 0,44Sosial-Budaya 40,42 41,38 0,96Infrastruktur danTeknologi
23,17 24,04 0,87
Hukum danKelembagaan
26,07 27.10 1,03
Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis
keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan metode
93
MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 1999). Oleh karena itu maka
hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam
menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan lingkungan
kota baru di suatu wilayah/daerah.
5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan
Pada proses pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ini, semua atribut sensitive
yang merupakan faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus
dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor pengungkit
tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD menjadi berkelanjutan. Dalam arti dalam
melakukan pembangunan kota baru ini secara ekonomi akan sangat menguntungkan,
secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan kota baru menjadi lestari, namun
tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran dan tidak terdapat konflik pada
masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993)
bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, paling tidak harus menjabarkan konsep
pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan,
namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan. Untuk lebih jelasnya faktor
pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dapat dilihat pada
Tabel 15.
Secara operasional, seluruh faktor pengungkit tersebut memiliki keterkaitan
dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD secara
berkelanjutan. Namun mengingat cukup banyak faktor pengungkit yang didapat, dan
pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan
lingkungan Kota Baru BSD, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam
rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota
Baru BSD dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan
yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam
perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD.
94
Tabel 15 Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD
Dimensi Faktor pengungkit
Ekologi 1. ketersediaan air bersih
2. manajemen banjir/bencana
3. permasalahan transportasi
4. pencemaran udara/emisi
5. ketersediaan pengolah limbah cair
Ekonomi 6. keberadaan kawasan bisnis
7. tingkat pengangguran
8. keberadaan kawasan industri
9. keberadaan pertokoan kawasan
Sosial-
budaya
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal
11. keragaman budaya dalam masyarakat
12. konflik dengan masyarakat lokal
Infrastruktur
dan
Teknologi
13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik
cair
14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri
cair
15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien
16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter
Hukum dan
Kelembagaan
17. kompetensi pengelola kawasan kota baru
18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
19. konsistensi penegakan hukum
20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan
21. intensitas pelanggaran hukum
22. sinkronisasi peraturan dengan pusat
Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit
yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah. Hasil
analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci
(faktor penentu) keberhasilan pengelolaan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD
yaitu faktor-faktor yang mempunyai pengaruh yang besar dengan tingkat
ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun faktor-faktor kunci
tersebut adalah (1) pencemaran udara/emisi, (2) ketersediaan pengolah limbah cair, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana komuter, (4) tersedianya organisasi pengelola
95
lingkungan, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien.
Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar 26.
Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat
diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini.
Pencemaran Udara/Emisi
Kota metropolitan DKI Jakarta dengan kota satelitnya, seperti Kota Baru BSD
merupakan kota-kota yang melaksanakan pembangunan ekonomi cukup pesat. Di lain
pihak peningkatan pembangunan ekonomi tersebut selalu diikuti dengan meningkatnya
kegiatan industri dan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Peningkatan
kedua hal tersebut, umumnya tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat, namun juga menyebabkan menurunnya kualitas udara terutama di wilayah
perkotaan, termasuk di dalamnya di Kota Baru BSD. Menurunnya kualitas udara
wilayah perkotaan dari sektor transportasi dan industri ini, disebabkan tingginya
pembakaran bahan bakar fosil (BBF). Bahkan menurut Lvovsky et al. (2000), dari
sektor transportasi saja di wilayah kota baru dapat terjadi peningkatan penggunaan BBF
hingga 53 persen. Tingginya penggunaan bahan bakar fosil (BBF) tersebut
menyebabkan kontribusi sektor transportasi terhadap turunnya kualitas udara di
berbagai kota besar di dunia yang rata-rata mencapai 70 persen atau lebih (Tietenberg ,
2003).
Selain adanya peningkatan transportasi yang signifikan dari kegiatan di kota, di
kota metropolitas dan kota satelitnya seringkali untuk mempercepat terjadinya
pertumbuhan ekonomi, maka aktivitas industri atau aktivitas ekonomi lainnya juga
semakin meningkat. Bahkan bukan hanya itu kawasan perkotaan (dan daerah manapun)
pada umumnya selalu berupaya untuk mencari investor yang akan berinvestasi di
bidang industri. Namun kenyataannya karena sarana dan prasarana di perkotaan cukup
mendukung, maka kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya lebih terpusat di
kota-kota besar dan kota satelitnya. Di lain pihak dampak dari terkonsentrasinya
pembangunan ekonomi dan industri di perkotaan ini adalah tingginya arus urbanisasi.
Tingginya urbanisasi di perkotaan juga seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan
sarana transportasi umum yang memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan
kendaraan yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan degradasi kualitas udara
96
(Panyacosit, 2000). Oleh karenanya maka kegiatan ekonomi dan industri yang terdapat
di wilayah perkotaan dan kota satelitnya seperti Kota Baru BSD seringkali menanggung
masalah tingginya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK).
Adapun jenis polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dan industri
akibar dari pembakaran BBM sangat bergantung pada kondisi mesin industri, kondisi
kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakannya. Mesin yang menggunakan
bahan bakar bensin sebagian berkontribusi terhadap gas buang Karbon monoksida (CO),
Nitrogen oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC) serta logam berat timbal (Pb), sedangkan
mesin yang menggunakan bahan bakar solar mengemisikan debu/partikulat dan Sulfur
dioksida (SO2) (Volesky, 1990). Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara
adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi (Ostro, 1994;
Small dan Kazimi, 1995; Lvovsky et al., 2000). Mengingat tingginya pembakaran BBF
akibat tingginya kegiatan transportasi dan industri serta telah memberi dampak negatif
pada lingkungan dan dampak negatif pada aspek sosial, terutama kesehatan, maka
pencemaran udara dari emisi mesin kendaraan bermotor dan industri tersebut harus
ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI
Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota
Baru BSD maupun secara nasional, dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk
pengendalian pencemaran.
Ketersediaan Pengolah Limbah Cair.
Air merupakan sumber kehidupan sehingga tidak akan ada kehidupan yang tidak
membutuhkan air. Namun seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat yang
menghasilkan limbah cair dan di dalamnya terdapat berbagai bahan pencemar, telah
mengakibatkan langkanya sumberdaya air yang kualitasnya baik. Idealnya bahwa
walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya telah menurun, sehingga
terjadinya kelangkaan air yang sudah jadi masalah yang cukup serius. Di sisi lain,
rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif baik pada biota yang hidup
di dalamnya, maupun untuk manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh
adanya limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik seperti dari
kawasan permukiman, kegiatan perkotaan, industri, rumah sakit, rumah makan yang
97
umumnya tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, namun langsung membuangnya
ke badan air seperti ke sungai. Oleh karena itu maka kualitas badan air seperti sungai,
situ, kolam dan lain sebagainya di kota-kota besar berada jauh di bawah persyaratan
yang diijinkan, yang dapat dilihat secara kasat mata berupa perubahan warna, tingkat
kekeruhan air dan dari baunya, serta seringkali setelah dibuktikan di laboratorium,
kualitas berbagai parameter kualitas air, menjadi buruk (di luar ambang batas yang
sudah ditentukan) yang dikenal dengan istilah pencemaran.
Pencemaran air terjadi sebagai akibat adanya dampak negatif karena masuknya
zat pencemar ke dalam suatu perairan, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota,
sumberdaya dan ekosistem peairan serta kesehatan manusia yang hidup di sekitar
perairan tersebut (Sutamiharja 1978). Selanjutnya Sutamiharja (1978) menyatakan
bahwa bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua
yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Pencemaran yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam
pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian. Dalam rangka mengetahui
apakah suatu badan air sudah tercemar atau belum dan bagaimana tingkat
pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai
dengan kriterianya yang umumnya dilakukan baik secara langsung dilakukan
pengukuran di lapangan maupun dengan cara terlebih dahulu dibawa ke laboratorium.
Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi sebagai
akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi karena seringkali
manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi saja. Dalam hal ini
setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu barang, pada umumnya manusia
tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Terjadinya
pencemaran badan air di perkotaan ini umumnya terjadi karena manusia seringkali
membuang limbahnya secara langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami
pengolahan, maka pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya.
Air tercemar ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa
masuk ke dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan
pencemar ini akan terbawa hingga ke laut.
Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik yang langsung dibuang
ke dalam badan air tersebut seringkali mengakibatkan menjadi sangat tercemarnya
98
badan air baik oleh bahan organik maupun oleh bahan berbahaya dan beracun (B3).
Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan
mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan
instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan kota baru sangat diperlukan
keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas
lingkungan ekosistem air penerima limbah cair dari kegiatan kegiatan antropogenik
tersebut.
Kondisi tersebut di atas terjadi karena kurang terencananya kondisi infrastruktur
pembuangan air limbah cair untuk pengolah limbah cair dari industri, domestik, rumah
sakit, rumah makan, hotel, dsb. Selain itu jika infrastruktur ada, pada umumnya belum
mempertimbangkan kapasitas dan spesifikasi yang sesuai menyebabkan rendahnya
kualitas output air limbah di perkotaan. Melihat kondisi tersebut maka perlu dipikirkan
kembali suatu sistim penanganan air limbah domestik yang memenuhi baku mutu yang
ditentukan, dengan meminimalkan tingkat bahan pencemar hingga berada di bawah
ambang maksimal. Penanganan air limbah cair tersebut tidak saja dilakukan dengan
memperbaiki teknik penanganan air limbah namun termasuk sistim pengelolaan air
secara terpadu yang dikenal dengan waste water treatment plant. Dengan adanya
pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan kualitas badan air dapat dikembalikan
pada ambang normal dan meminimalkan polusi yang timbul. Berdasarkan hal tersebut
maka maka pencemaran badan air tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik
maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional,
dengan cara menyediakan pengolah limbah cair, baik limbah cair yang berasal dari
kegiatan kawasan permukiman, industri, rumah sakit, perkantoran, perhotelan,
pertokoan, rumah makan dan kegiatan ekonomi lainnya.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Komuter
Pengembangan jaringan transportasi pada awalnya merupakan usaha untuk
memfasilitasi pergerakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang timbul akibat
kegiatan sosial dan ekonomi. Pergerakan transportasi merupakan salah satu kegiatan
ekonomi yang mencoba untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu barang. Oleh karena
itu kebutuhan sistem transportasi yang efisien dan efektif menjadi dasar dalam
99
melakukan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan pengembangan
sistem transportasi.
Dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang efisien dan efektif tersebut,
hal yang pertama harus digaris bawahi dan perlu dibuat dengan sebaik mungkin adalah
perencanaan transportasi, baik yang menyangkut tata ruang pada zona wilayah maupun
pada penyediaan sarana transportasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kenworthy
dan Laube (2002) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pola tata guna lahan
dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk. Selain itu perencanaan
transportasi juga sangat berkaitan dengan perencanaan atau sistem ekonomi dari suatu
wilayah. Oleh karena itu maka perencanaan, pengembangan dan pembangunan
prasarana dan sarana transportasi merupakan implikasi dari proses pemenuhan
kebutuhan manusia dan peningkatan nilai ekonomis dari suatu barang.
Adapun salah satu sarana dan prasarana transportasi yang perlu direncanakan
dengan baik untuk kota satelit seperti halnya Kota Baru BSD yang merupakan kota
satelit pada wilayah metropolitan DKI Jakarta adalah tersedianya sarana dan prasarana
untuk angkutan umum yang memuat banyak penumpang dan melayani hampir seluruh
lokasi perkotaan yang disebut komuniter (selanjutnya disebut komuter). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian JICA (2001) yang mengatakan bahwa jumlah keseluruhan
perjalanan oleh komuter yang terjadi di dalam DKI Jakarta sebanyak 16 juta orang
setiap hari dan 25% diantaranya adalah komuniter komuter dari Kota Satelit Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi. Hal ini juga sangat wajar, mengingat hasil penelitian
Luo (2007) di tiga negara kota metropolitan di Asia yang mempunyai income tinggi,
memperlihatkan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dilakukan masyarakat di kota
metropolitan dari tiga negara yang diteliti untuk Kota Kuala Lumpur-Malaysia 2,7 km,
untuk masyarakat Kota Manila-Filipina 4 km, dan panjang perjalanan masyarakat Kota
Chengdu-Cina mencapai 9 km.
Khusus untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta, saat ini telah tersedia moda
angkutan umum penumpang komuter berupa BRT Transjakarta. Khusus untuk kota
satelit, pada umumnya tidak terjangkau oleh komuter berupa BRT Transjakarta, namun
beberapa kota satelit sudah menyediakan feeder untuk Transjakarta tersebut. Mengingat
kinerja angkutan umum penumpang harus memenuhi syarat dan mencakup berbagai hal
yang meliputi daerah pelayanan dan jangkauan rute, struktur dan ruang rute, rute secara
100
langsung dan mudah, panjang rute, duplikasi rute, headway, frekuensi, standar muatan,
dan kecepatan perjalanan (NCHRP, 1980).
Mengingat tingginya calon penumpang dari kota satelit dan di kota utama,
maka semuanya harus dilayani dengan baik, dengan tetap mengikuti konsep
pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada saat ini tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Adapun konsep pembangunan
berkelanjutan pada bidang transportasi, harus dapat memberikan kenyamanan bagi
warga kota dan lingkungan dengan beberapa kriteria. Kriteria-kriterianya antara lain
pengoperasian transportasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi
pencemaran, mengurangi kebisingan dan mengurangi dampak lalu lintas, meningkatkan
keselamatan, mengurangi kecelakaan lalu lintas, dan mengurangi konsumsi energi.
Transportasi berkelanjutan dalam arti yang lebih luas merupakan usaha untuk
menurunkan tingkat kemacetan, menghemat biaya fasilitas, meningkatkan keselamatan,
meningkatkan pergerakan non kendaraan, menggunakan lahan secara efisien, sehingga
menghasilkan mobilitas yang tinggi untuk setiap kendaraan (Litman, 2004).
Berdasarkan hal tersebut maka masalah transportasi harus ditanggulangi sebaik
mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD
dengan tetap mengikuti konsep pembangunan transportasi yang berkelanjutan, yang
salah satu caranya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana komuter
sebaik mungkin.
Tersedianya Organisasi Pengelola Lingkungan,
Pada pengelolaan lingkungan, harus ada yang mengerakan agar dilakukan
pengelolaan lingkungan. Hal ini berlaku untuk berbagai lokasi, termasuk di dalamnya
untuk Kota Baru BSD. Agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan untuk
menjamin kelestarian lingkungan, maka di lokasi kota baru harus tersedia organisasi
pengelola lingkungan, atau dengan kata lain harus dibentuk kelembagaannya.
Dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota
Baru BSD, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kelembagaan
pengelolaan lingkungan kawasan kota baru yaitu: (1) pengelolaan kegiatan pengelolaan
101
lingkungankawasan memerlukan hubungan antar lembaga yang terintegrasi, (2)
pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan partisipasi
stakeholder, (3) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan
sumber dana yang memadai, (4) memerlukan media konsultatif antara stakeholder
kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (5) memerlukan kepedulian masyarakat dan
institusi masyarakat lokal untuk mengontrol jalannya kelembagaan kegiatan
pengelolaan lingkungan kawasan, (6) memerlukan perangkat hukum yang jelas agar
pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan (7) memerlukan kolaborasi dengan
pemerintah setempat dan pemerintah pusat serta dengan pihak lain, misalnya perguruan
tinggi, kalangan industri dan pengelola kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan
lainnya. Untuk itu maka dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan
di kawasan Kota Baru BSD, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera
diadalkan adalah membentuk struktur organisasi kegiatan pengelolaan lingkungan
kawasan Kota Baru BSD.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Jalan yang Efektif dan Efisien
Pada sistem transportasi hal yang ideal dilakukan adalah menyesuaikan dengan
tujuan proyek transportasi, tetapi harus tetap mengacu pada aspek ekologi, sosial dan
ekonomi, sehingga sistem transportasi tersebut menjadi berkelanjutan, dan mampu
mewujudkan agar orang tidak bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi. Oleh
karena itu maka keberlanjutan transportasi harus dapat memenuhi beberapa tujuan: 1)
dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan transportasi umum; 2) tersedia
lokasi untuk berjalan dan bersepeda yang lebih menarik; 3) dapat mengurangi
kebutuhan perjalanan; 4) dapat mengurangi bahkan membuang hambatan psikologi dan
mendukung kebijakan publik untuk menggunakan kendaraan alternatif; dan 5) membuat
image bahwa transportasi menjadi sebuah komponen penting untuk strategi perencanaan
ruang suatu wilayah (Paulley dan Pedler, 2000). Oleh karena itu maka harus ada
pelayanan sebaik mungkin pada penumpang. Adapun faktor penting dalam menentukan
kualitas pelayanan adalah perceived quality yaitu tingkat kualitas pelayanan yang
dirasakan oleh pengguna, dimana kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman layanan sebelumnya (Cronin dan Taylor,
1992).
102
Pada dasarnya menciptakan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah, dan tidak
hanya sekedar keberadaan jalan padat atau tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cook et al. (2004) yang mengatakan bahwa kriteria evaluasi masyarakat terhadap sistem
transportasi berkelanjutan adalah: 1) teknologi baru; 2) sangat cepat; 3) langsung; 4)
tidak menunggu; 5) antrian sedikit; 6) dapat memilih perjalanan sendiri; 7) tidak
mengalami frustasi; 8) baik bagi lingkungan; 9) tidak berdebat dengan supir; 10) tidak
kuatir seorang diri berada di angkutan; 11) mudah dinaiki; 12) tidak ada supir; dan 13)
lebih dapat diakses dari pada moda angkutan umum lain. Hal ini sejalan dengan
pendapat (Jeon dan Amekudzi, 2005) yang mengatakan bahwa sistem transportasi
dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan penyelesaian yang efektif dan
efisien kepada pemakainya seperti adil dan aman mengakses pelayanan ekonomi dan
sosial mendasar, harus meningkatkan pembangunan ekonomi dan tidak
membahayakan lingkungan.
Menurut Litman (2008) keberlanjutan mobilitas tersebut dapat dicapai dengan
cara: 1) meningkatkan aksesibilitas dan memaksimalkan penggunaan ruang; 2)
meningkatkan bagian moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan misalnya
angkutan umum, sepeda, berjalan dan lain-lain; 3) mengurangi kemacetan; 4)
meningkatkan keselamatan; 5) mengurangi pencemaran udara, kebisingan dan
gangguan pemandangan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada konsep
transportasi berkelanjutan, kegiatan manusia yang berkaitan dengan pergerakan
manusia dan barang seharusnya terjadi dengan cara-cara yang berkelanjutan baik
secara lingkungan, sosial dan ekonomika. Berdasarkan hal tersebut maka dalam
rangka membuat transportasi yang berkelanjutan, sehingga dapat mendukung
pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD yang baik, maka hal yang harus
diperhatikan dan harus segera diadakan adalah menyediakan sarana dan prasarana jalan
yang efektif dan efisien di kawasan Kota Baru BSD dan menuju ke atau dari kota utama
dan kota satelit lainnya.
Pada penelitian ini, selain terdapat lima parameter kunci seperti diuraikan di atas,
pada analisis prospektif juga diperoleh enam buah faktor penghubung yakni faktor yang
mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois
dan Jesus, 2004). Adapun ke enam faktor penghubung yang mempunyai pengaruh yang
besar terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD,
103
namun memiliki ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat ke
enam faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita
menginginkan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ke
enam faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah keberadaan kawasan bisnis, keberadaan kawasan industri,
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana
dan prasarana pengolahan limbah industri cair, kompetensi pengelola kawasan kota baru
dan egosektoral dalam pengelolaan lingkungan (Gambar 26).
Gambar 26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasanKota Baru BSD
5 6
3
1316
710
81820
14
12
15
4
912
17
2122
11
104
Keterangan gambar:
1. ketersediaan air bersih
2. manajemen banjir/bencana
3. permasalahan transportasi
4. pencemaran udara/emisi
5. ketersediaan pengolah limbah cair
6. keberadaan kawasan bisnis
7. tingkat pengangguran
8. keberadaan kawasan industri
9. keberadaan pertokoan kawasan
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal
11. keragaman budaya dalam masyarakat
12. konflik dengan masyarakat lokal
13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair
14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair
15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien
16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter
17. kompetensi pengelola kawasan kota baru
18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
19. konsistensi penegakan hukum
20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan
21. intensitas pelanggaran hukum
22. sinkronisasi peraturan dengan pusat
Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa
hasil analisis prospektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi
tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut harus benar-
benar diperhatikan dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru
BSD. Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi
ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan
105
yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial
budaya dan dimensi ekologi masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan. Upaya-
upaya untuk meningkatkan status berkelanjutan kawasan kota baru ini sangat perlu
dilakukan mengingat kawasan Kota Baru BSD dalam kondisi seperti ini saja sudah
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya .
5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD
Pertumbuhan kota metropolitan dan kota satelitnya seperti kota baru yang cepat
seringkali menimbulkan berbagai implikasi negatif, seperti kurang mampunya
infrastruktur perkotaan dalam menampung aktivitas warga, pelayanan publik yang
kurang baik akibat dari minimnya SDM yang tersedia, timbulnya masalah sosial seperti
pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan berupa
terjadinya polusi udara, tanah dan air, dsb. Adapun salah satu permasalahan rendahnya
kualitas lingkungan seringkali berhubungan erat dengan besarnya jumlah penduduk,
besarnya kegiatan bisnis seperti industri, pertokoan, dsb serta tingginya kegiatan
pembakaran BBF terutama pada kegiatan transportasi dan kegiatan industri. Dalam
rangka mensukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di kotabaru, maka terlebih
dahulu dibuatmodel dinamikpengelolaan lingkungan kota baruyang berkelanjutan, yang
nantinya diharapkan akan memberikan arah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
di kota baru.
Pada pembuatan model ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem yakni
suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari
masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan model
diagram input output atau diagram lingkar sebab-akibat. Adapun diagram sebab akibat
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru dapat dilihat pada
Gambar 27 sedangkan stockflow diagram-nya dapat dilihat pada Gambar 28.
Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru pada penelitian
ini dibedakan atas dua submodel yaitu (1) submodel lingkungan, (2) submodel ekonomi
dan sub model sosial. Ketiga sub model tersebut merupakan rangakian dari beberapa
variabel-variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi antara satu elemen dengan
elemen lainnya sehingga terbentuk suatu model pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan di kota baru.
106
5.3.1. Submodel lingkungan
Submodel lingkungan dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-
variabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruterhadap
keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem kemudian
disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 27.
Gambar 27. Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan
107
JasaPHRAngkKom
BankSewa
EkLain
PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa
PDRBBankSewa
PDRBEkLain
PDRB Tangsel
PangsaJasa
PangsaPHRPangsaAngkKom
penduduk pekerja
PangsaBankSewa
PangsaEkLain
infrastrukfur
Kapasitas Jalan
Drainase
kerusakanperbaikan
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
jumlah rumah
pendidikan
kesadaran l ingkungan %
IPAL diperlukan
kepedulian lingkungan %
penduduk komuter
bebanNO3
KonsPO4perHari
bebanPO4
KonsNO3perhari
emisi udara
emisiSOx
emisiCOx
emisiNOx
biaya pekerja
kendaraan bermotor
roda duaroda empat
limbah cair
bebanCOD
KonsCODperHari
bebanBOD
KonsBODperhari
Gambar 28. Diagram stock-flow model pengendalian lingkungan dalam pembangunankota baru berkelanjutan
108
Gambar 29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kotabaru berkelanjutan
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa pada sub
model lingkungan, tingginya penduduk kota baru menyebabkan tingginya kegiatan
antropogenik. Di lain pihak tingginya kegiatan antropogenik mengakibatkan tingginya
limbah cair dan tingginya emisi gas, yang mengakibatkan tingginya pencemaran
lingkungan. Tingginya pencemaran lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak
terhadap tingginya biaya pengelolaan dan memburuknya kualitas lingkungan.
Pencemaran sendiri akan terjadi apabila total bahan pencemar yang masuk ke
lingkungan baik yang berasal dari limbah cair maupun yang berasal dari emisi gas
tinggi. Tingginya biaya pengelolaan lingkungan akibat adanya pencemaran ini pada
akhirnya akan mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh
apabila biaya pengelolaan tersebut ada pada sisi industri, maka biaya pengelolaan
tersebut akan dibebankan pada masyarakat, karena biaya tersebut akan dimasukan
sebagai ongkos produksi. Di lain pihak terjadinya pencemaran di kota baru juga akan
berdampak langsung pada masyarakat misalnya dapat mengganggu terjadinya kesehatan
pada masyarakat yang ada di dalam kota baru tersebut. Model pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan di kota barukhususnya sub model lingkungan yang selanjutnya
digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat pada Gambar 30.
109
bebanNO3
KonsPO4perHari
bebanPO4
KonsNO3perhari
emisi udara
emisiSOx
emisiCOx
emisiNOx
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
limbah cair
bebanCOD
KonsCODperHari
bebanBOD
KonsBODperhari
Gambar 30. Diagram stock-flow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
Pada Gambar 30 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model lingkungan
di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk berdampak pada terjadinya peningkatan
bahan pencemar perairan yang dicerminkan oleh terjadinya peningkatan bahan
pencemar organik seperti terjadinya peningkatan BOD, COD, posfat, dan nitrat.
Pertumbuhan penduduk juga berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar
udara yang dicerminkan dari terjadinya peningkatan emisi gas di udara dan peningkatan
konsentrasi COx, NOx dan SOx.
Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi lingkungan kaitannya
dengan jumlah masyarakat dan kegiatan antropogenik di Kota Baru BSD dibuat
simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya dan pada kondisi
eksisting. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor
ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah
tertentu di dalam model, sehingga data yang bersangkutan dapat disimulasikan.
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa
terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap model pengelolaan lingkungan
110
yang berkelanjutan di kota baru antara lain pertumbuhan penduduk, beban pencemaran
perairan dankualitas udara. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan
datang, disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Adapun Submodel lingkungan
mengenai kondisi di masa datang disajikan pada Gambar 31 sampai dengan Gambar 39.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
10
35
60
0
15
30
0
0
0
0
0
1
1: bebanCOD 2 2: bebanBOD 2 3: bebanNO3 2 4: bebanPO4 2
1
1
1
1
22
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Gambar 31. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD, COD, NO3 dan PO4
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
5
15
25
1: bebanBOD
1
1
1
1
Gambar 32. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD
111
Pada Gambar 31 dan 32 terlihat bahwa bahan pencemar organik mudah urai atau
bahan pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) yang masuk ke
dalam perairan memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
Lampiran 3 terlihat bahwa beban pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi
(BOD) pada tahun 2008 sebesar 6,17 ton per hari, pada saat dilaksanakan penelitian
mencapai 9,53 ton/hari, dan pada tahun 2016 berdasarkan hasil simulasi akan menjadi
19,67 ton/hari. Hal ini disebabkan kegiatan apapun pada akhirnya akan menghasilkan
limbah berupa limbah padat atau sampah dan limbah cair. Di lain pihak, baik limbah
padat maupun limbah cair masih banyak yang membuang ke dalam sungai/badan
air/perairan umum. Selain itu setiap orang dan setiap kegiatan juga akan menyumbang
bahan organik ke dalam badan air tempat bermuaranya limbah cair baik yang berasal
dari kegiatan domestik, kegiatan industri atau kegiatan perkotaan lainnya, sehingga
sangat wajar jika jumlah penduduk makin meningkat maka nilai BOD akan semakin
meningkat. Kondisi ini juga akan semakin diperparah akibat meningkatnya
kemakmuran dan peradaban. Hal ini sesuai dengan pendapat Metcalf dan Eddy (1991)
yang mengatakan bahwa semakin meningkat gaya hidup dan semakin makmur, maka
sisa bahan organik yang terbuang ke lingkungan juga akan semakin meningkat.
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat bahwa selain
adanya peningkatan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologi, bahan organik
yang sulit terurai dan hanya dapat diuraikan secara kimia juga (COD) juga akan terjadi
peningkatan. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan COD dari tahun ke tahun
dapat dilihat pada Gambar 33 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa
pada tahun 2008 nilai beban pencemaran COD pada perairan di lokasi penelitian adalah
14,41 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 23,41 ton/hari,
dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD menjadi 52,08 ton/hari. Terjadinya
peningkatan COD ini dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya
masyarakat dan kegiatan antropogenik lainnya di perkotaan terutama pada kegiatan
industry, dan pada kegiatan bisnis lainnya yang menggunakan produk bahan organik
yang sulit terurai, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan
semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula bahan
organik sulit terurai sehingga meningkatkan nilai COD (Metcalf dan Eddy, 1991).
112
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
10
35
60
1: bebanCOD
1
1
1
1
Gambar 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter COD
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan bahan organik yang tercermin dari konsentrasi nitrat (NO3) yang terdapat
pada perairan. Seperti pada parameter bahan organik lainnya, konsentrasi nitrat juga
terjadi peningkatan dari waktu ke waktu. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan
nitrat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 34 dan pada Lampiran 3. Pada
Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran nitrat pada perairan
di lokasi penelitian adalah 0,05 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 0,08 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD
menjadi 0,33 ton/hari. Terjadinya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun juga
disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik yang
dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan
semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula nitrat
yang terbuang ke dalam perairan.
113
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
0
0
0
1: bebanNO3
1
1
1
1
Gambar 34. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter NO3
Hasil pemodelan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga
memperlihatkan kandungan posfat yang cenderung semakin meningkat. Hal ini
ditunjukkan nilai beban pencemaran fosfat pada tahun 2008 sebesar 0,14 ton/hari
menjadi 0,22 ton/hari pada tahun 2011 (saat dilakukan penelitian), kemudian
peningkatan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga perkiraan tahun 2016
mencapai 0,44 ton/hari. Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan badan air
penerimanya (Martin, 1985) mengingat menurut Odum (1971) kandungan posfor yang
tinggi dalam ekosistem akan mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton yang
dapat memfiksasi nitrogen secara langsung dari atmosfir. Untuk lebih jelasnya hasil
pemodelan dan simulasi beban pencemaran posfat dapat dilihat pada Gambar 35 dan
Lampiran 3.
Kota Metropolitan DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang dikelilingi
oleh kota satelit Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Mengingat DKI Jakarta
merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian maka dinamika di kota
utama dan kota satelitnya akan sangat tinggi. Dalam hal ini akan semakin
meningkatkan perjalanan antar kota yang pada umumnya saling bergantung satu sama
lain. Di lain pihak perjalanan ini merupakan aktivitas setiap manusia untuk melakukan
berbagai kebutuhan misalnya kegiatan usaha harian seperti kegiatan dasar (basic
activity) dan kegiatan jasa (services activity) serta kegiatan sosial, yang merupakan
kegiatan berkala (periodic activity). Tingginya dinamika di kota metropolitan dan di
114
kota baru ini akan semakin meningkatkan terjadinya pencemaran udara yang
terutama berasal dari sisa pembakaran BBF seperti NOx, SOx dan COx (Gambar 36).
Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan bahan pencemar udara seperti tersebut di atas, seiring dengan
meningkatnya jumlah manusia dan kegiatan antropogenik yang dilakukannya.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
0
0
1
1: bebanPO4
1
1
1
1
Gambar 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter PO4
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi NOx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi NOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 36 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
nilai konsentrasi NOx di atmosfir 53,38 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 81,14 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 163,12 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan NOx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula NOx di atmosfir.
115
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
100
250
400
2000
5000
8000
50
150
250
1: emisiSOx 2: emisiCOx 3: emisiNOx
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
50
150
250
1: emisiNOx
1
1
1
1
Gambar 37. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx
Pada submodel lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi COx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi COx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 38 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
116
nilai konsentrasi COx di atmosfir 2316,96 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan
penelitian meningkat menjadi 3523,77 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 7087,59 µg/Nm3. Terjadinya peningkatan COx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula COx di atmosfir.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
2000
5000
8000
1: emisiCOx
1
1
1
1
Gambar 38. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter COx
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi SOx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi SOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 39 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
nilai konsentrasi SOx di atmosfir 106,58 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 162,09 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 326,03 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan SOx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula SOx di atmosfir.
117
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
100
250
400
1: emisiSOx
1
1
1
1
Gambar 39. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter SOx
Kota besar merupakan kota yang mempunyai anekaragam kegiatan ekonomi yang
tercermin dari tingginya kegiatan antropogenik. Tingginya kegiatan antropogenik ini
mengakibatkan tingginya motorisasi, bahkan hasil penelitian Jraiw (2003) di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa laju motorisasi lebih
tinggi dari laju peningkatan penduduk. Oleh karena itu maka dapat dimengerti jika
kepadatan lalu lintas di kota besar terutama yang ada pada negara sedang berkembang
menyebabkan emisi karbon dan menghasilkan bahan pencemar udara yang luar biasa.
Oleh karena itu maka sumber pencemaran udara di negara berkembang 81 % -nya
berasal dari sektor transportasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh terus bertambahnya laju
kemacetan di negara berkembang, juga di Kota Baru BSD yang merupakan lokasi
penelitian penulis. Oleh karena itu maka sangat wajar jika dari penelitian ini terlihat
adanya kenaikan bahan pencemar udara baik dilihat dari parameter NOx, COx maupun
SOx. Bahan-bahan pencemar tersebut cenderung akan naik terus pada masa-masa
mendatang seperti ditunjukan oleh hasil simulasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan
laporan WHO (2000) bahwa di pusat-pusat kota,dari proses pembakaran bahan bakar
fosil di dalam mesin kendaraan akan dihasilkan 95% CO, 70% NOx, 60% tembaga dan
50% hidrokarbon (HC). Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu lingkungan
mengingat bahan-bahan tersebut termasuk ke dalam GRK yang nantinya akan
menyumbang terjadinya pemanasan global dan pada akhirnya akan mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim global. Di lain pihak bahan-bahan tersebut juga jika tercuci
oleh air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam.
118
5.3.2. Submodel Ekonomi
Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi pada
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruadalah infrastruktur,
jumlah perumahan/rumah, jumlah industri, dan aktifitas ekonomi yang akan
berpengaruh terhadap komponen pendapatan kota baru. Adanya kegiatan-kegiatan
tersebut yang pada umumnya merupakan aktifitas ekonomi di kota baru, pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Tangerang Selatan.
Adapun sub model ekonomi dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di Kota
Baru BSD dapat dilihat pada Gambar 40. Model pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan di kota baru khususnya sub model ekonomi tersebut selanjutnya
digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 41.
Gambar 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
119
JasaPHRAngkKom
BankSewa
EkLain
PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa
PDRBBankSewa
PDRBEkLain
PDRB Tangsel
PangsaJasa
PangsaPHRPangsaAngkKom
penduduk pekerja
PangsaBankSewa
PangsaEkLain
infrastrukfur
Jalan
Drainase
kerusakanperbaikan
biaya pekerja
kendaraan bermotor
roda duaroda empat
Gambar 41. Diagram stock-flow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruBerkelanjutan
Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan
(2009), sektor ekonomi yang berkembang di Tangerang Selatan sebenarnya bukan
berasal dari kegiatan bisnis yang terdapat di dalamnya seperti dari industri, namun
berasal dari sektor ekonomi tersier. Dalam hal ini hampir 60% PDRB di Kabupaten
Tangerang Selatan disumbangkan oleh sektor pengangkutan, sektor komunikasi serta
sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya berasal dari sektor jasa (13%) dan
sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan, dan sisanya adalah sektor ekonomi lain.
Adapun keterkaitan antara PDRB yang terdapat di Tangerang Selatan pada umumnya
dan di Kota Baru BSD pada umumnya dapat dilihat pada SFD.
Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi ekonomi kaitannya dengan
PDRB dan kegiatan yang menyumbang PDRB di Kota Baru BSD dibuat simulasinya
yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya. Simulasi yang disusun ke dalam
model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Simulasi model
dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang
paling berpengaruh terhadap sub model ekonomi pada pengelolaan lingkungan yang
120
berkelanjutan di kota baru. Adapun sub model ekonomi mengenai kondisi di masa
datang secara keseluruhan disajikan pada Gambar 42.
Pada Gambar 42 dan Lampiran 3 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan transportasi dan komunikasi lebih tajam dibandingkan dengan
pendapatan dari hasil lainnya. Namun demikian kurva peningkatan pendapatan yang
berasal dari perdagangan dan hotel merupakan penyumbang PDRB ke dua, sedang
penyumbang PDRB ke tiga adalah dari sektor jasa, diikuti dari kegiatan bank sewa dan
terakhir dari kegiatan ekonomi lainnya.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
1500000
3500000
5500000
1000000
3000000
5000000
500000
2000000
3500000
500000
1500000
2500000
1: PDRBAngKom 2: PDRBPHR 3: PRDBJasa 4: PDRBBankSewa 5: PDRBEkLain
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
Gambar 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (jutaan rupiah)
Pada Gambar 42 dan 43 terlihat bahwa PDRB yang berasal dari kegiatan
transportasi dan kegiatan telekomunikasi di lokasi penelitian. Hal ini juga terlihat lebih
jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari
berbagai kegiatan yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3
terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan
telekomunikasi pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp. 1.504.093.710.000,-. PDRB
pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan transportasi dan tekomunikasi besarnya
mencapai Rp. 2.287.538.520.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016
diperkirakan akan mencapai Rp. 4.601.057.050.000,-.
121
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
1500000
3500000
5500000
1: PDRBAngKom
1
1
1
1
Gambar 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasidan komunikasi (jutaan rupiah)
Penyumbang ke dua terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor hotel
dan restoran (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang
memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan hotel dan restoran yang ada
di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan hotel dan restoran pada tahun 2008
jumlahnya mencapai Rp. 1.344.914.560.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian
dari kegiatan hotel dan restoran besarnya mencapai Rp. 2.045.446.920.000,- dan dari
hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan hotel dan
restoran akan melonjak secara tajam mencapai Rp. 4.114.124.370.000,-.
Penyumbang ke tiga terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor jasa
(Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 5 yang memperlihatkan
terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun
ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari
kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 924.479.450.000.
PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp.
406.017.690.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB
dari kegiatan jasa mencapai Rp. 2.828.003.790.000,-.
122
0:51 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
1000000
3000000
5000000
1: PDRBPHR
1
1
1
1
Gambar 44. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel danrestoran (jutaan rupiah)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: PDRBJasa
1
1
1
1
Gambar 45. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (jutaan rupiah)
Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor bank,
persewaan dan jasa perusahaan (Gambar 46). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada
Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang
ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif
rendah yakni Rp. 820.289.460.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari
kegiatan jasa besarnya mencapai Rp. 1.247.557.740.000,- dan dari hasil simulasi PDRB
123
tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp.
2.509.284.220.000,-.
0:50 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: PDRBBankSewa
1
1
1
1
Gambar 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasaperusahaan (jutaan rupiah)
Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor ekonomi
lainnya (Gambar 47). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang
memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya yang ada
di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan ekonomi lainnya pada tahun 2008 jumlahnya
relatif rendah yakni Rp. 561.422.350.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian
dari kegiatan ekonomi lainnya besarnya mencapai Rp. 853.853.220.000,- dan dari hasil
simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya
mencapai Rp. 1.717.403.810.000,-.
Pada kota baru, jalan merupakan salah satu infrastruktur terpenting sebagai salah
satu faktor daya tarik investasi di suatu daerah. Jalan kota Tangerang Selatan
berdasarkan kompilasi data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008)
memiliki total panjang 115,81 km dengan 70,36% dari panjang total tersebut dalam
kondisi baik, 18,37% dalam kondisi sedang dan 11,28% dalam kondisi rusak. Data ini
berbeda dengan data Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan yang menyatakan
bahwa total panjang jalan kota adalah 137,773 km dan diperkirakan 5% rusak ringan,
5% rusak sedang dan 20% rusak berat. Berdasarkan kewenangannya, di Kota
124
Tangerang Selatan terdapat satu ruas jalan negara dengan panjang 9.160 km, kemudian
jalan provinsi sebanyak 12 ruas dengan panjang 48.900 km dan jalan kota sebanyak
1175 ruas dengan panjang 640.929 km. Total panjang jalan di Tangerang Selatan
adalah 698.989 km. Salah satu kondisi yang menyebabkan kemacetan adalah kerusakan
jalan serta proses perbaikan jalan. Perbaikan jalan yang tidak tuntas juga menjadi
penyebab kembali rusaknya jalan di Tangerang Selatan.
Gambar 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain(jutaan rupiah)
Seperti halnya di kota-kota besar dan pada kota satelit lainnya, di kawasan
Tangerang Selatan juga terdapat titik-titik rawan kemacetan. Titik rawan kemacetan
utama di Tangerang Selatan terdapat pada 12 titik yang umumnya terdapat pada sekitar
persimpangan jalan atau pasar. Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah lima buah
dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Titik rawan
kemacetan dan titik lokasi stasiun KRL didapatkan dari Kompilasi Data untuk
Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008). Di lokasi penelitian terdapat tiga
buah yaitu Sungai Cisadane, Angke dan Pasanggrahan sepanjang 178 kilometer.
Sementara untuk anak sungai sebanyak sembilan buah dengan panjang 38,5 kilometer.
Mengingat di Tangerang Selatan sektor transportasi dan telekomunikasi merupakan
kegiatan yang menyumbang PDRB paling tinggi, maka pada penelitian ini juga dilihat
simulasi pada sub model ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan seperti
terlihat pada Gambar 48, serta berdasarkan kerusakan jalan. Berdasarkan infrastruktur
0:51 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
1500000
2500000
1: PDRBEkLain
1
1
1
1
125
dan total panjang jalan terlihat bahwa PDRB akan dibantu meningkat apabila
perumbuhan infrastrukturnya meningkat dan jalan yang dibangun semakin banyak.
Namun demikian apabila jalannya rusak, maka dapat berakibat pada
menurunnya PDRB, karena kerusakan jalan sangat besar pengaruhnya pada kemacetan
lalulintas dan lamanya daya tempuh perjalanan. Oleh karena itu maka pada penelitian
ini juga dilihat simulasi kerusakan jalan dengan maka persentase tambahan biaya
transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan seperti yang
tercantum pada Gambar 49. Adapun besarnya persentase tambahan biaya transportasi
yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dapat dilihat pada Gambar 50.
Seiring dengan waktu dan relatif murahnya kendaraan dan baiknya akses jalan, maka
akan terjadi peningkatan jumlah kendaraan baik yang roda dua maupun kendaraan roda
empat. Untuk lebih jelasnya simulasi pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat
dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 51 dan Lampiran 3.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
700
702
704
1: Jalan
1
1
1
1
Gambar 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan(km)
126
23:14 31 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
29
30
31
1: kerusakan jalan
1
1
1
1
Gambar 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentasekerusakan jalan)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
5
6
6
1: biay a tambahan transport
1
1
1
1
Gambar 50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biayatransportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan.
127
15:57 31 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
17500
19500
21500
10000
25000
40000
1: roda empat 2: roda dua
1
1
1
1
2
2
2
2
Gambar 51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua danroda empat
Berdasarkan pemodelan yang dibuat, kondisi jalan (panjang total) adalah tetap,
sedangkan kerusakan dan perbaikan jalan selalu dilakukan sehingga berpotensi
meningkatkan kemacetan jalan yang akan dilintasi oleh pekerja yang sebagian besar
komuter, yakni tinggal di kawasan Tangerang Selatan tetapi berkerja di wilayah utama
yakni DKI Jakarta. Adanya kemacetan tersebut akan meningkatkan biaya konsumsi
bahan bakar yang berakibat pada peningkatan biaya transportasi serta meningkatkan
buangan gas (COx, NOx dan SOx) yang sifatnya akan merusak lingkungan. Hal ini akan
semakin diperparah oleh tingginya pertumbuhan pembelian kendaraan bermotor baik
roda empat maupun roda dua, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan/pembuatan
jalan di Tangerang Selatan. Tingkat pertumbuhan sepeda motor adalah yang paling
tinggi. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan yang
terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara sepeda motor,
ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara moda kendaraan lain
seperti truk, mobil pribadi, dan angkutan umum.
5.3.3. Submodel Sosial
Submodel sosial dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota
baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel dalam
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru terhadap keberlanjutan
sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem tersebut disajikan dalam
diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 52. Pada Gambar 52 terlihat bahwa
128
pertumbuhan penduduk, pendidikan dan penduduk komuter akan mempengaruhi
penduduk kota baru, selanjutnya sub model sosial ini digambarkan dalam bentuk stock
flow diagram (SFD) (Gambar 53).
Gambar 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
penduduk pekerja
infrastrukfur
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
jumlah rumah
pendidikan
kesadaran lingkungan %
IPAL diperlukan
kepedulian lingkungan %
penduduk komuter
Gambar 53. Diagram stock-flow submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
129
Pada Gambar 52 dan 53 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model sosial
di atas, terlihat bahwa pengurangan dan penambahan populasi berdampak pada
pertumbuhan penduduk kota baru. Penduduk komuter juga akan mempengaruhi
penduduk kota baru, dalam hal ini jika semua fasilitas komuter baik, diduga dapat
meningkatkan penduduk kota baru dan sebaliknya. Selain hal itu pendidikan penduduk
kota baru juga akan mempengaruhi kesadaran penduduk itu sendiri terhadap kesadaran
lingkungan. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka kecenderungan
kesadaran lingkungannya akan semakin meningkat, sehingga bukan tidak mungkin
masyarakat sendiri yang akan meminta kota baru untuk melestarikan lingkungannya
secara lebih baik lagi, misalnya dengan cara melakukan pembangunan IPAL untuk
limbah cair bagi berbagai kegiatan antropogenik, sehinggapada akhirnyaakan
berdampak positif pada penduduk kota baru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori
Kuznet yang mengatakan bahwa semakin meningkat kesejahteraan, semakin tinggi
kepeduliannya terhadap lingkungan.
Adapun populasi Tangerang Selatan berdasarkan hasil simulasi, penduduk usia
kerja, jumlah rumah dan penduduk komuter mulai tahun 2008 hingga tahun 2016 dapat
dilihat pada Gambar 54. Pada sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, besarnya
peningkatan populasi Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada
Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya populasi Tangerang
Selatan 918.783 orang, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi
1.397.354 dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 2.810.578 orang.
Pada sub model sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk usia kerja (15-65
tahun), besarnya peningkatan penduduk usia kerja diTangerang Selatan dari tahun ke
tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008
besarnya penduduk usia kerja (15-65)Tangerang Selatan 459.392 orang, yakni
setengahnya dari jumlah populasi yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan
penelitian meningkat menjadi 698.677 orang dan pada tahun 2016 diperkirakan
menjadi 1.405.289 orang.
Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah rumah, besarnya peningkatan
jumlah rumah di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar
57 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 jumlah rumah di Tangerang Selatan
130
321.574 rumah. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 489.074 rumah dan
pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 983.702 rumah.
17:52 30 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
500000
2000000
3500000
450000
950000
1450000
300000
650000
1000000
300000
700000
1100000
1: Populasi Tangsel 2: penduduk pekerja 3: jumlah rumah 4: penduduk commuter
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Gambar 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan pendudukusia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk komuter
0:53 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: Populasi Tangsel
1
1
1
1
Gambar 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk
131
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
450000
950000
1450000
1: penduduk pekerja
1
1
1
1
Gambar 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
300000
650000
1000000
1: jumlah rumah
1
1
1
1
Gambar 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah
Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk yang commuter,
besarnya peningkatan jumlah penduduk yang komuter di Tangerang Selatan dari tahun
ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 58 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun
2008 besarnya jumlah penduduk yang komuter Tangerang Selatan 328.465 orang, yakni
jumlahnya mencapai 2/3 dari dari jumlah penduduk usia kerja yang ada di Tangerang
Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 499.554 orang dan pada
tahun 2016 diperkirakan menjadi 1.004.782 orang yakni mencapai tiga kali lipat dari
tahun 2008.
132
17:52 30 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
300000
700000
1100000
1: penduduk commuter
1
1
1
1
Gambar 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang komuter
5.3.4. Validitas Model
Seperti dijelaskan di atas bahwa validasi model dalam sistem dinamik dapat
dilakukan atas dua yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model.
(1). Validasi Struktur Model
Validitas atau keabsahan merupakan kriteria penilaian keobyektifan dari suatu
pekerjaan ilmiah yang dalam pemodelan ditunjukkan dari sejauhmana model dapat
menirukan fakta. Validasi model ini akan dapat menyimpulkan apakah model dari
sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga
dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 1999). Dalam pemodelan,
hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer.
Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data
simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan
dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dari sejauhmana data simulasi dan pola
simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Adapun proses melihat
keserupaan tersebut dikenal sebagai validasi output atau kinerja model.
Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem.
Pada saat melakukan perancangan dan justifikasi, pembuat model dituntut untuk
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian.
Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami
133
mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan
untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena
pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak
berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah
struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan
meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.
(2). Validasi Kinerja/Output Model
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat
kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan
(selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute
Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap
aktual.
a. Sub Model Lingkungan
Pada validasi dari sub model lingkungan, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi
untuk lingkungan perairan yang dilihat dari beban pencemaran perairan diwilayah yang
dikaji, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji menunjukkan bahwa
keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan
pada perairan memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) untuk beban pencemaran
BOD menyimpang 0,167% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar
0,5%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran CODmemiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0625% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.125%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk
beban pencemaran NO3 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang
0.0526% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.632%. Pada sub
model lingkungan di perairan untuk beban pencemaran PO4 memiliki nilai Absolute
Mean Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE)
menyimpang sebesar 0.462%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari
beban pencemaran perairan total diwilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.461%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari
beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 16 .
134
Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru
BSD, untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran COx memiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.03% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.07%. Khusus untuk sub model lingkungan pada
pencemaran udara, pencemaran SOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)
menyimpang 0.02% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.81%.
Pada pencemaran udara, pencemaran NOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)
menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%.
Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari pencemaran udara total di wilayah
yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan
Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Adapun validasi kinerja
model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada
Tabel 17 dan Tabel 18.
Pada validasi dari sub model ekonomi, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi
untuk ekonomi lingkungan yang dilihat dari PDRB dari angkutan umum dan
telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa di wilayah yang dikaji, dan
dilihat berdasarkan PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain, dengan hasil validasi dapat
dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20. Khusus untuk sub model ekonomi pada PDRB dari
angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasamemiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.01% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.97%. Adapun nilai total PDRB dari PDRB dari
angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa
memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation
Error (AVE) menyimpang 0.76%
Pada sub model ekonomi pada PDRB dari bank sewa memiliki nilai Absolute
Mean Error (AME) menyimpang 0.05% dan Absolute Variation Error (AVE)
menyimpang sebesar 0.50%. Pada sub model ekonomi pada PDRB dari ekonomi lain
memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0% dan Absolute Variation
Error (AVE) menyimpang sebesar 0.33%. Adapun nilai total PDRB dari bank sewa
dan ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.04% dan
Absolute Variation Error (AVE)menyimpang 0.07%. Adapun validasi kinerja model
untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20.
135
Pada sub model sosial pada jumlah penduduk memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0149% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.343%. Pada sub model sosial pada usia kerja memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0429% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.195%. Adapun untuk jumlah rumah memiliki nilai Absolute Mean Error
(AME) menyimpang 0.0103% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
0.377%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 20.
136
Tabel 16. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air
Tahun
Beban (Ton/hari)
BOD COD NO3 PO4
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 5.32 6.17 14.36 14.41 0.04 0.05 0.14 0.142009 6.88 7.13 15.95 16.95 0.06 0.07 0.15 0.162010 8.76 8.25 19.93 19.93 0.09 0.08 0.18 0.19
Mean 6.986666667 7.183333333 16.74666667 17.09666667 0.063333333 0.066666667 0.156666667 0.163333333AME 0.166666667 0.0625 0.052631579 0.042553191Varian 2.966933333 1.083733333 8.232233333 7.633733333 0.000633333 0.000233333 0.000433333 0.000633333AVE 0.5 0.125 0.631578947 0.461538462
Tabel 17. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara
Tahun
Udara Ambien (µg/ Nm3)
COx SOx NOx
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 2021 2,316.96 105 106.58 44 53.382009 2594 2,664.49 113 122.57 67 61.382010 2980 3,064.15 155 140.95 71 70.57
Mean 2787.00 2864.32 134.00 131.76 69.00 65.98AME 0.03 0.02 0.06Varian 74498.00 79864.06 882.00 168.91 8.00 42.23AVE 0.07 0.81 4.25
136
137
Tabel 18. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa
Tahun
Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)
Angkutan & Komunikasi PHR Jasa
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 1,508,827.17 1,504,093.71 1,496,249.28 1,344,914.56 908,703.88 924,479.452009 1,795,403.91 1,729,707.77 1,586,935.03 1,546,651.74 1,013,260.29 1,063,151.372010 1,980,050.97 1,989,163.93 1,786,129.34 1,778,649.50 1,133,417.77 1,222,624.08
Mean 1,887,727.44 1,859,435.85 1,686,532.18 1,662,650.62 1,073,339.03 1,142,887.73AME 0.01 0.01 0.06Varian 17047267171.65 33658749480.97 19839186837.07 26911480322.51 7218909460.34 12715772617.37AVE 0.97 0.36 0.76
Tabel 19. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain
Tahun
Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)
Bank Sewa Ekonomi Lain Total
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 831,165.50 820,289.46 526,917.33 561,422.35 5,275,215.92 5,155,199.532009 869,902.65 943,332.88 636,658.83 645,635.70 5,710,165.72 5,928,479.462010 1,070,088.81 1,084,832.81 755,009.61 742,481.06 6,568,208.87 6,817,751.38
Mean 969,995.73 1,014,082.85 695,834.22 694,058.38 6,139,187.29 6,373,115.42AME 0.05 0.00 0.04Varian 20037249909.87 10011115095.00 7003453533.47 4689511876.76 368119026353.00 395402273850.25AVE 0.50 0.33 0.07
137
138
Tabel 20. Submodel sosial
Tahun
Penduduk
Jumlah Usia Kerja Jumlah Rumah
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 918,783 918,783 448,816 459,392 315,688 321,5742009 1,055,215 1,056,600 500,434 528,300 366,548 369,8102010 1,250,780 1,215,091 588,737 607,545 436,843 425,282
Mean 1,152,997 1,135,846 544,586 567,923 401,696 397,546AME 0.014876014 0.042852815 0.010328732Varian 19,122,844,430 12,559,698,541 3,898,778,891 3,139,885,013 2,470,722,978 1,538,571,392AVE 0.34320971 0.194649119 0.377278875
138
139
5.3.5. Skenario
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, pada penelitian ini dibuat
skenario dan simulasinya. Skenario yang diambil di sini berupa empat alternatif
kebijakan yang diikuti dengan pelaksanaan serta pengawasan yang tepat yaitu :
1. Alternatif kebijakan untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do
nothing)
Alternatif ini diambil sebagai pembanding dalam pengambilan alternatif
kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan apabila kebijakan
lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada sekarang.
Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter
yang dilakukan
2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 20%
b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan
menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau
memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas
jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak
bertambah 10%.
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana.
3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
140
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 40%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga
diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.
Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%.
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan
pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.
4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 50%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga
diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.
Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan
ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan
pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Kebijakan
tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat
Adapun hasil simulasi dari setiap skenario tersebut dapat dilihat pada
Gambar 59 sampai dengan Gambar 78 dan pada Lampiran 5.
141
Simulasi skenario submodel lingkungan
Pada penelitian ini dibuat simulasi dari skenario submodel lingkungan
yang terdiri dari kualitas air dan kualitas udara.
Kualitas Air
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban COD dapat dilihat
pada Gambar 59. Pada Gambar 59 terlihat trend penurunan COD pada skenario 2,
3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang
menghasilkan penurunan COD yang sangat signifikan.
Gambar 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran BOD (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban BOD dapat dilihat
pada Gambar 60. Pada Gambar 60 terlihat trend penurunan BOD pada skenario 2,
3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang
menghasilkan penurunan BOD yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran bahan organik.
142
Gambar 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran NO3 (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban NO3 dapat dilihat pada
Gambar 61. Pada Gambar 61 terlihat trend penurunan NO3 pada skenario 2, 3 dan
4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan
penurunan NO3 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi
pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan kelewat subur,
seperti terjadinya blooming plankton
Gambar 61. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
143
Beban pencemaran PO4 (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban PO4 dapat dilihat pada
Gambar 62. Pada Gambar 62 terlihat trend penurunan PO4 pada skenario 2, 3 dan
4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan
penurunan PO4 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi
pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan dan mengurangi
adanya faktor pembatas akibat unsur phosphor yang meningkat.
Gambar 62. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Kualitas Udara
Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap kualitas udara pada
skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4
tentang emisi COx (µg/ Nm3) dapat dilihat pada Gambar 63. Pada Gambar 63
terlihat trend penurunan COx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik
(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COx yang sangat
signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan
menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
iklim global.
144
Gambar 63. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Emisi NOx (µg/ Nm3)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi NOx (µg/Nm3) dapat
dilihat pada Gambar 64. Pada Gambar 64 terlihat trend penurunan COx pada
skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4
yang menghasilkan penurunan NOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 64. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
145
Emisi SOx (µg/Nm3)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi SOx (µg/Nm3) dapat
dilihat pada Gambar 65. Pada Gambar 65 terlihat trend penurunan SOx pada
skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4
yang menghasilkan penurunan SOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 65. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Simulasi skenario submodel ekonomi
Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap sub model ekonomi
pada skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4
dapat dilihat pada Gambar 66. Pada Gambar 66 terlihat trend peningkatan PDRB
pengangkutan dan komunikasi pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik
(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan PDRB pengangkutan dan
komunikasi yang meningkat secara sangat signifikan, sehingga akan sangat
membantu meningkatkan PDRB Kota Tangsel. Kondisi yang sama juga terjadi
kegiatan ekonomi lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 66-70.
146
Gambar 66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dankomunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 67. Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel danRestoran skenario 1, 2, 3 dan 4
PDRB Jasa : jasa-jasa
Di Kota Tangerang Selatan, selain terdapat kegiatan ekonomi seperti
tersebut di atas, juga terdapat penelirimaan PDRB yang berasal dari bidang jasa
yang hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 nya seperti ditunjukan oleh Gambar 68.
Selain itu PDRB juga dapat berasal dari bank, persewaan dan jasa perusahaan
147
(Gambar 69) serta dari kegiatan ekonomi lainnya yang skenarionya dapat dilihat
pada Gambar 70.
Gambar 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasaperusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4
148
Gambar 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4
Infrastruktur, total panjang jalan (km)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 dalam hal infrastruktur panjang jalan
dari tahun 2008 hingga 2016 dapat dilihat pada Gambar 71, sedangkan simulasi
kerusakan jalannya dapat dilihat pada Gambar 72.
Gambar 71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
149
Gambar 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Adapun hasil simulasi persentase tambahan biaya transportasi yang
dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dengan skenario 1, 2, 3 dan 4
tersaji pada Gambar 73.
Gambar 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan olehpekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi jumlah kendaraan roda dua pada skenario 1, 2, 3 dan 4
dapat dilihat pada Gambar 74. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada
skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kenaikan kendaraan roda dua, namun dengan
kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
150
Gambar 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi jumlah kendaraan roda empat pada skenario 1, 2, 3 dan 4
dapat dilihat pada Gambar 75. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada
skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada kendaraan
roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
jumlah kendaraan roda empat, namun dengan kecepatan peningkatan yang
berbeda-beda antar skenario. Selain itu kenaikan jumlah kendaraan roda empat
lebih rendah dibanding roda dua.
Gambar 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4
151
Simulasi skenario submodel sosial
Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat
dilihat pada Gambar 76.
Gambar 76. Skenario sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi terhadap jumlah rumah pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat
dilihat pada Gambar 77. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario
1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni
akan terjadi peningkatan jumlah rumah seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar
skenario.
Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk komuter pada skenario 1, 2, 3
dan 4 dapat dilihat pada Gambar 78. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik
pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi
lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah jumlah penduduk komuter seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tangerang Selatan, namun dengan
kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
152
Gambar 77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2,3 dan 4
Gambar 78. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter,skenario 1, 2, 3 dan 4
Berdasarkan skenario yang dibangun seperti tersebut di atas, idealnya
skenario yang sebaiknya diimplementasikan adalah skenario ke 3 yakni
melakukan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan tingkat
pertumbuhan 5%. Pada dasarnya pertumbuhan instalasi pengolah air limbah
sebanyak 5% didasarkan pada hasil penelitian Sitepu (2009) yang mengatakan
bahwa kawasan permukiman umumnya belum mempunyai IPAL dan penelitian
Napitupulu (2009) yang mengatakan bahwa setelah ada undang-undang yang
mengatur pencemaran, ternyata pertumbuhan IPAL hanya kurang dari 5%.
153
Nilai tingkat pertumbuhan IPAL 5% masih dimungkinkan untuk terjadi,
mengingat kesadaran masyarakat dengan semakin baik dengan semakin
meningkatnya kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan Teori Kuznet yang
mengatakan bahwa semakin makmur, kesadaran terhadap lingkungan semakin
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Iwami (2001); Bartz dan Kelly
(2004); Susandi (2004) yang memperlihatkan bahwa terdapat relasi antara tingkat
pencemaran dan pendapatan, yakni membuktikan bahwa pencemaran dan emisi
akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, namun pencemaran
dan emisi juga akan menurun pada tingkat pendapatan tertentu yang digambarkan
dalam bentuk environmental kuznets curve (EKC). Selanjutnya Bartz dan Kelly
(2004) juga mengatakan bahwa meningkatnya pendapatan akan menurunkan
tingkat pencemaran, karena pada tingkat pendapatan tertentu marginal abatement
cost akan meningkat sehingga kontrol terhadap lingkungan seperti pencemaran
dan emisi juga meningkat. Oleh karena itu maka dengan adanya kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan yang semakin membaik, diduga akan
meningkatkan paksaan terhadap kegiatan antropogenik seperti kegiatan industri
untuk membangun IPAL juga akan semakin meningkat, dan nilai 5% dirasa cukup
wajar.
Pada skenario ini Pemda juga idealnya mewajibkan setiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang Selatan memakai katalisator, yakni alat yang dipasang
pada kendaraan dengan tujuan untuk menurunkan pencemaran dan menurunkan
emisi gas buang. Setelah dilakukan aturan yang mewajibkan penggunaan
katalisator, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap setiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang apakah mereka sudah menggunakan katalisator atau belum.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemda Tangerang Selatan idealnya melakukan
pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor. Pemeriksaan terhadap katalisator
kendaraan ini dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan.
Selain itu Pemda juga hendaknya melakukan uji emisi gas buang kendaraan secara
periodik dan konsisten. Apabila hal tersebut dilakukan secara tertib, teratur dan
mengikat pada seluruh warga tanpa pandang bulu, maka diharapkan akan dapat
menekan emisi gas buang kendaraan lebih dari 40%. Apabila emisi gas buang di
Tangerang Selatan dapat diturunkan sebanyak 40%. Hal ini mengandung arti
154
bahwa Pemda Tangerang Selatan telah ikut serta membantu pemerintah pusat
dalam mengimplementasikan janji pemerintah untuk menurunkan GRK sebanyak
26%.
Pada skenario ke tiga ini selain dilakukan hal tersebut di atas, juga
dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi. Hal ini dapat dilakukan misalnya
dengan mengenakan pajak pada kendaraan pribadi yang umurnya tua, yakni
pajaknya relatif lebih tinggi (progressive taxation). Hal ini juga dimaksudkan
untuk mengurangi pencemaran dan mengurangi emisi gas buang, mengingat pada
kendaraan yang sudah tua, apalagi jika tidak terurus, umumnya pembakaran bahan
bakarnya kurang sempurna, sehingga seringkali dihasilkan bahan pencemaran
atmosfir yang cukup tinggi, begitu pula halnya dengan gas rumah kaca yang
dihasilkannya.
Selain itu dapat dilakukan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,
dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan
sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat
perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Perbaikan jalan 20% ini didasarkan pada
hasil studi literature di beberapa kabupaten dan kota sekitar DKI Jakarta yang
memperlihatkan bahwa perbaikan jalan yang dilakukan selama ini pada umumnya
maksimal 20%.
Adanya infrastruktur yang baik akan memperbaiki kualitas lingkungan.
Hal ini disebabkan pada kondisi normal kendaraan dapat melaju dengan cepat
apabila jalan yang dilalui dalam kondisi mulus, apalagi jika lebar jalan tersebut
diperluas dan panjang jalan ditambah, sehingga dari situ akan terdapat jalan
alternatif yang akan menjadi pilihan pengemudi kendaraan. Selain hal tersebut di
atas, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan yang memperlancar perjalanan
seringkali juga berdampak positif pada terjadinya peningkatkan kegiatan ekonomi.
Hal yang tidak kalah pentingnya jika akan mengimplementasikan skenario
ke tiga adalah melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana (KB). Hal ini dilakukan mengingat
munculnya berbagai masalah lingkungan, ada indikasi bahwa penyebab utamanya
adalah akibat ketidak mampuan pemerintah untuk menurunkan kecepatan
155
pertumbuhan penduduk. Untuk itu, Pemda harus segera mencanangkan kembali
program KB, dan membentuk kembali Dinas atau Subdit yang menangani khusus
KB dan aktif mensosialisasikan ke seluruh peloksok Kabupaten Tangerang
Selatan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong Pemda dan
Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan daerah tentang urbanisasi, dan
mendorong pemerintah pusat untuk mengadakan berbagai program yang dapat
mencegah terjadinya urbanisasi seperti dengan menggalakan program
pengembangan perdesaan, program agropolitan, program minapolitan, program
agrowisata, dan sebagainya. Salah satu contoh program agropolitan atau
minapolitan, merupakan satu program pemerintah untuk membuat pusat
pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perdesaan. Adanya pertumbuhan
ekonomi baru ini pada akhirnya dapat menurunkan tingkat urbanisasi, mengingat
masyarakat desa yang umumnya sulit mencari penghidupan di desa dengan
adanya pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan baru yang ada di desa inti
atau di hinterland-nya, akan mendorong masyarakat tersebut untuk berupaya di
kampungnya sendiri.
5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD
Berdasarkan hasil analisis MDS dan hasil pembuatan model selanjutnya
dibuat prioritas kebijakan. Hasil analisis MDS yang dilakukan pada penelitian ini
diperoleh 22 buah faktor pengungkit dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya,
infrastruktur dan teknologi dan hukum kelembagaan. Ke 22 faktor pengungkit
tersebut selanjutnya dianalisis lagi dengan menggunakan analisis prospektif,
sehingga diperoleh lima buah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan
pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD ditambah dengan enam buah
faktor penghubung yang juga mempunyai pengaruh yang besar. Berdasarkan
faktor kunci dan faktor penghubung ini digabung dengan hasil pemodelan dengan
memperhatikan alternatif skenario kebijakan ke-3, yakni alternatif kebijakan
berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air
limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan
yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten. Khusus untuk ekonomi dilakukan
156
pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,
dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan
sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat
perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian
pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi
dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Maka disusun prioritas
kebijakan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, yakni:
1. Dalam rangka meningkatkan produktifitas pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD, keefisienan dan keefektipan proses
pengelolaan lingkungan, maka kegiatan pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD harus mampu mengadakan teknologi produksi
bersih yang dapat menurunkan pencemaran udara dan terlepasnya emisi
gas buang yang merupakan salah satu penyumbang yang cukup dominan
untuk gas rumah kaca, sehingga masalah pencemaran udara dan emisi
GRK dapat tertanggulangi dengan baik.
2. Kawasan Kota Baru BSD juga harus membangun instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) komunal untuk masing-masing kegiatan sehingga
dapat mengolah limbah cair yang dihasilkan dari proses kegiatan
antropogenik dan tidak membuangnya ke lingkungan secara langsung.
Adanya pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan
antropogenik ini relatif akan menjaga kualitas air, sehingga tidak terjadi
pencemaran air pada ekosistem air penerimanya
3. Pada pembangunan kawasan kota baru juga harus dicari berbagai upaya
agar pencemaran udara dan terlepasnya GRK tidak semakin tinggi.
Untuk ini hal yang dapat dilakukan antara lain adalah mengurangi
sedapat mungkin penggunaan kendaraan pribadi, dengan menyediakan
moda transportasi umum yang dapat menjangkau semua lokasi baik
yang ada di pusat kota maupun ke kota satelit lainnya di kawasan
metropolitan DKI Jakarta. Selain itu moda transportasi tersebut harus
dibuat senyaman mungkin dan dapat berjalan secara cepat sehingga akan
menjadi pilihan bagi para pengguna jasa transportasi. Untuk itu maka
sarana dan prasarana komuter harus tersedia dengan baik, baik di Kota
157
Baru BSD, kota utama maupun di kota satelit lainnya yang semuanya
berhubungan dengan Kota Baru BSD.
4. Selain itu hal yang juga tidak kalah pentingnya untuk menurunkan
pencemaran udara dan GRK di Kota Baru BSD dan sekitarnya adalah
sosialisasi kepada masyarakat dan seluruh stakeholder untuk selalu
berupaya mengurangi pencemaran udara dan emisi GRK, sehingga
kesehatan akan terjamin dan berbagai musibah yang mungkin terjadi
akibat adanya pencemaran dan terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim global dapat diminimalkan.
5. Dalam kegiatan pengelolaan Kota Baru BSD, harus dibuat standar
mutu pelayanan transportasi, baik dalam penyediaan sarana maupun
prasarananya, sehingga kegiatan transportasi baik di dalam kota baru,
maupun menuju ke kota utama dan ke kota satelit lainnya akan dapat
berjalan secara efektif dan efisien, akan terhindar dari terjadinya
kemacetan dan akan mengurangi terjadinya pencemaran udara dan
terlepasnya GRK.
6. Sosialisasi kepada masyarakat yang ada di kawasan kota baru dan para
stakeholder-nya , juga hendaknya mempunyai pemahaman, kepedulian,
dan tanggung jawab yang tinggi terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan yang ada di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya,
sehingga mereka akan cenderung untuk menjaga sumberdaya dan
lingkungan yang ada di kawasan kota baru tersebut,
7. Semua pihak (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi dan masyarakat)
hendaknya selalu mencari atau menemukan inovasi-inovasi baru teknik
pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam dan menjauhkan diri
dari sifat egosektoral, sehingga akan didapatkan teknik pengelolaan dan
pelestarian lingkungan yang paling efisien dan efektif. Begitu pula
halnya dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kondisi sosial dengan
tanpa mengganggu kelestarian lingkungan.
8. Di kawasan kota baru, khususnya dan di kota metropolitan pada
umumnya, hendaknya segera dibuat kelembagaan lengkap dengan
organisasi dan peraturan perundang-undangan serta melakukan
158
penegakan hukum tentang pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian lingkungan, terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan
kota baru, sehingga daya dukung lingkungan tidak terlampaui,
lingkungan tetap terjaga, serta memunculkan rasa kebersamaan dan
keadilan.
9. Di Tanggerang Selatan pada umumnya dan di kawasan Kota Baru BSD
pada khususnya, yang umumnya penduduknya adalah penduduk
pendatang dari berbagai daerah dan mempunyai budaya yang berbeda-
beda, hendaknya kebijakan pemerintah menjamin bahwa budaya lokal
tetap dilestarikan, misalnya dengan membuat program-program yang
melibatkan budaya lokal sebagai bagian dari budaya di kota baru,
penyelenggaraan festival budaya lokal, dan sebagainya.