25
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. SIMPULAN Simpulan merupakan penegasan dan penyimpulan dari bab analisis, pembahasan hasil penelitian, serta menjawab rumusan penelitian. Novel Canting merupakan novel yang bercerita tentang kenyataan sosial dalam suatu etnis, yakni etnis Jawa. Novel ini menunjukkan kepekaan atas perubahan jaman dan merepresentasikan Jawa yang luwes dan inklusif. Novel ini banyak bercerita pertama, tentang hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita tentang hidup kaum priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik, kedua, alur penceritaannya dipaparkan dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak pada 218

BAB V.doc

Embed Size (px)

Citation preview

231

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. SIMPULAN

Simpulan merupakan penegasan dan penyimpulan dari bab analisis, pembahasan hasil penelitian, serta menjawab rumusan penelitian.

NovelCantingmerupakan novel yang bercerita tentang kenyataan sosial dalam suatu etnis, yakni etnis Jawa.Novel ini menunjukkan kepekaan atas perubahan jaman dan merepresentasikan Jawa yang luwes dan inklusif.

Novel ini banyak bercerita pertama, tentang hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita tentang hidup kaum priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik,kedua,alur penceritaannya dipaparkan dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak pada bagaimana dia menceritakan tentang kehidupan bu Bei sebelum menjadi istri Raden Ngabehi Sastrokusumo, dan ketigamengungkapkan tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta.

Unsur-unsur budaya yang terdapat pada novelCantingmeliputi: (a)batik dan canting: (b) Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilik: (c) Adanya tata cara berbau tahayul/mistik; (d) Gotong Royong dalamKerukunan dalam Masyarakat; (e) Sopan Santun Berbahasa Sebagai Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua; (f) Selamatan pada Peristiwa Penting di Masyarakat; (g) Pasrah dalam Menghadapi Perubahan Zaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat macam transformasi yang diceritakan dalam novelCanting, yaitu transformasi teknologi, transformasi cara berpikir dan transformasi pergaulan hidup. Transformasi teknologi berkaitan dengan munculnya teknologi pembuatan batik dengan menggunakan mesin yang dikenal dengan nama teknologiprinting. Dalam transformasi agama, diceritakan tentangperpindahan agama yang terjadi pada anak Pa Bei yang bernama Ismaya.

Dalam transformasi cara berpikir diuraikan tentang dorongan Pak Bei kepada anak-anaknya untuk berani berpikir dan bertindak. Dalam transformasi pergaulan hidup diceritakan tentang perubahan-perubahan pergaulan yang dialami para tokoh dalam novelCanting, antara lain Pak Bei, Bu Bei dan Ni. Dalam menghadapi semua transformasi budaya yang terjadi tersebut, penyelesaiannya adalah dengan melebur diri pada transformasi yang terjadi.

Dari sekian paparan mengenai hasil analisis dan penilaian tentang novel Canting tersebut, maka diharapkan kita dapat mencontoh sikap keteladanan dalam menghadapi zaman yang semakin menggerus kebudayaan yang kita punya. Selain itu, mencontoh rasa tanggungjawab yang besar seorang wanita, dalam hal ini seorang wanita yang berperan ganda, dalam artian berperan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya serta sebagai wanita karir yang menjalankan usaha batik milik suaminya.Semoga dengan membaca dan memahami keseluruhan isi cerita dan pesan yang terkandung didalamnya dapat menjadi cermin bagi wanita-wanita Indonesia saat ini, yang diharapkan dapat membagi peran dan waktunya dalam kehidupan berkeluarga, seperti apa yang terlihat dari sosok wanita dalam cerita novel Canting.

Ketika disintesiskan, simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Struktur Novel Cantinga. TemaNovel Canting bertema organik (moral) karena novel Canting mengangkat persoalan keluarga priyayi yang begitu kompleks. Cerita dimulai dari keraguan tentang anak terakhir dalam kandungan bu Bei sebagai keturunan Sestrokusumo hingga usaha batik tradisional yang bangkrut dan coba dihidupkan oleh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya.

b. Alur Novel ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: Satu, Dua, dan Tiga. Berdasarkan urutan waktu, ketiga bagian ini berkesinambungan dan membentuk sebuah alur, yaitu alur campuran. Alur campuran menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Alur maju mundur secara bolak-balik dengan diceritakan masa lalu dan masa kecil tokohnya.c. PenokohanTokoh utama novel Canting adalah Pak Bei (Raden Ngabehi Sestrokusuma-Daryono), Bu Bei (Tuginem), dan Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma). Tokoh pendamping novel Canting adalah putra-putri Ngabean (Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti), para buruh batik (Mijin, Wagiman, Mbok Tuwuh, dan Mbok Kerti), dan Himawan.

Tokoh pelengkap novel Canting adalah Raden Ngabehi Sestrosunu (Darnoto), Raden Ngabehi Sestrodarsono (Darmasto), Raden Tumenggung Reksopraja, Raden Tumenggung Sosrodiningrat, Metra, Yu Tun dan Yu Mi, Wagimi dan Samiun, dan para buruh batik yang lain (Jimin, Tangsiman, Pakde Karso, dan Pakde Wahono).

Pak Bei, lelaki yang gagah dengan hidung sangat mancung, memiliki kulit kuning pucat dengan cara mendongak yang memperlihatkan dagu yang keras. Sifat fisik ini selaras dengan statusnya yang ningrat dan terlahir dari keluarga bangsawan.

Pak Bei berjiwa sosial dan suka menolong, berpengalaman, dan memiliki bergaulan yang cukup luas. Ia seorang yang berani tampil berbeda dengan sosok bangsawan lainnya. Berani mengawini anak buruh batik. Pak Bei juga pribadi yang bisa mengendalikan emosi, bukan tipe pengecut, berjiwa besar, dan bijaksana dalam mengambil tindakan.

Bu Bei waktu muda adalah seorang gadis desa yang sederhana tapi memiliki penampilan yang berbeda dengan gadis desa kebanyakan. Ia memiliki alis yang tebal, kulit kuning, dengan tulang-tulang yang halus. Di usianya yang ke-32 bu Bei tetap tampil cantik, gesit, dan pekerja keras. Bu Bei adalah istri yang cukup mandiri, pengertian, dan tulus ikhlas mengabdi pada suami. Istri yang tidak banyak menuntut, berjiwa besa, dan bijaksana dalam tindakan.. Ia menjalankan usaha batik dengan naluri keperempuannya.

Ni digambarkan sebagai seorang gadis pemberani, suka bercanda, ceplas-ceplos kalau bicara, tapi kadang menunjukkan sikap emosional. Ia sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Ni juga pribadi yang keras kepala, pantang menyerah, dan kadang suka nekat. Seperti kenekatannya untuk memilih usaha batik yang ditentang keluarganya. d. Latar atau Setting CantingLatar atau setting yang digunakan dalam novel Canthing ini beragam, mulai dari primer sampai sekunder.1) Tempat : Secara umum cerita terjadi di kota Solo. Namun, penulis memberi penekanan tempat terjadinya sebuah cerita adalah di lingkungan keraton tepatnya di Ndalem Sestrokusuman. Tempat ini merupakan setting primer. Nama Pasar Klewer, Jurug, Gading, Lawiyan, bahkan Semarang dan Surabaya merupakan Setting sekunder dalam novel Canting tulisan Arswendo Atmowiloto2) Waktu: Cerita novel Canting dimulai saat Ni anak bungsu Pak Bei masih dalam kandungan. Waktu Ni dalam kandungan Wening kakak Ni sudah berusia 11 tahun. Dalam novel ini diceritakan secara flash back bahwa Ismaya Dewakusuma kakak Wening lahir pada tahun 1949. Sedangkan Wening selisih dua tahun dengan Ismaya. Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa cerita ini diawali pada tahun 1962.

Cerita novel Canting ini berakhir tahun 80-an. Waktu acara tumbuk yuswo atau ulang tahun Pak Bei yang ke- 64, saat itu Ni sudah jadi sarjana farmasi. Kisah keluarga pak Bei diakhiri ketika Ni pulang dari rumah sakit setelah melahirkan anak pertama. Anak itu diberi nama Canting Daryono. Jadi bisa diperkirakan saat itu adalah tahun 80-an karena Ni lahir pada tahun 1962. Dengan analisis semacam itu dapat disimpulkan bahwa Cerita Novel Canting dimulai dari tahun 1962 sampai tahun 1980-an.

3) Suasana: Suasana yang melingkupi cerita novel Canting adalah kedamaian keluarga Ndalem Sestrokusuman. Suasana damai yang sengaja diciptakan agar tidak menghancurkan kehidupan rumah tangga. Cerita keluarga Ngabeyan juga tidak lepas dari suasana Kota Solo pada umumnya pada waktu itu. Dari perang kemerdekaan, ontran-ontran politik tahun 60-an, sampai suasana Kota Solo tahun 80-an.

e. Sudut Pandang Pengarang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga atau third person narrator. Pengarang berada di luar cerita. Pengarang menggunakan nama-nama tokoh dalam ceritanya dan memakai sebutan ia atau mereka. Sudut pandang ini memungkinkan pengarang bersikap objektif dan adil. Pengarang sekadar menuturkan sebuah cerita rekaan yang menjadi idenya.

f. Amanat

Amanat yang dapat diambil dalam novel ini adalah kita harus dapat menerima kenyataan bahwa kini zaman telah berubah, kita harus mengikuti perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kita harus dapat menerima nilai-nilai baru yang masuk tanpa menghapus nilai-nilai masa lampau.2. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Cantinga) Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam novel CantingDalam novel ini, Arswendo Atmowiloto mengungkapkan tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta.Alur ceritanya dipaparkan dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak padabagaimana ia menceritakan kehidupan seorang Bu Bei sebelum menjadi Bu Bei seorang istri Raden Ngabehi Sestrokusumo. Dalam artian masih menjadi Tuginem, seorang gadis desa yang masih lugu hingga menjadi Bu Bei istri seorang Raden di Kraton Kasunanan Surakarta. Berikut unsur-unsur budaya jawa yang terdapat dalam novel Canting:

1) Batik dan CantingNovel ini menceritakan kultur budaya Jawa.Pada masa kejayaannya, batik tulis, tak hanya menampilkan sebuah barang berbentuk kain bercorak semata. Proses didalamnya, bagaimana Canting, carat tembaga untuk membatik, yang ditiup dengan napas dan perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah masterpiece, karya terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa

2) Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilikNovel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu masih menjunjung nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan deskriminasi terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah. Strata golongan masyarakat di Jawa terbagi dua yaitu golongan priyayi yangterdapat pada lingkungan keraton yang bernama Ndalem Ngabean Sestrokusumo, Pengarang menceritakan kehidupan lingkungan keraton yang mana di dalamnya ada suatu jarak antara golongan priyayi dan wong cilik. Biasanya dalam memilih jodoh kaum priyayi akan memilih jodoh dengangolongan priyayi juga.Jika tidak maka akan dikucilkan dari keluarga. Seperti halnya Pak Bei yang dikucilkan dari keluarga setelahmenikah dengan Tuginem istrinyagadis desa anak buruh petani. Kaum priyayi juga tidak diperkenankan untuk menjual langsung karena akan menurunkan derajatnya.

3) Adanya tata cara berbau tahayul atau mistikDalam novelCantingterdapat golongan Jawa kejawen yang percaya adanya kekuatan mistik dan percaya pada dukun.

4) Gotong Royong: Wujud Kerukunan MasyarakatKerukunan terjadi memiliki tujuan agar di dalam masyarakat tercipta lingkungan masyarakat yang harmonis. Pada novel Canting kerukunan ditemukan pada saat mengalami banjir melanda kota Solo. Para buruh mengagumi sikap Pak Bei yang beusaha keras menggerakan bekerja keras gotong royong dalam mengatasi bahaya banjir.

5) Sopan Santun Berbahasa: Sikap Hormat Kepada yang Lebih TuaEtika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basa krama, suba sita, etika, dan sopan santun. Orang Jawa cenderung berbahasa secara halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Anak-anak memberikan ucapan ulang tahun kepada Pak Bei dengan cara laku Dhodhok melakukan sembah di lutut ayahnya. Semakin tinggi derajat seseorang akan semakin dihormati dan orang yang ada di bawahnya mengambil sikap tunduk dan berlutut.6)Selamatan pada Peristiwa Penting di Masyarakat.Selamatan yang digambarkan dalam novelCantingadalah selamatan pada upacara kematian, kelahiran, kehamilan, dan selamatan yang bersifat khusus seperti kelulusan.

Dalam novelCantingterdapatupacara kelahiran seperti mitoni, tingkepan, brokohan, procotan,dsn tedak sinten. Upacara kematian meliputi pendhak pisan, pendhak pindho, dan selamatan kelulusan.

7)Pasrah dalam Menghadapi Perubahan ZamanDalam novel ini pengarang juga menceritakan tradisi daerah Solo pada masa itu dimana kebanyakan wanitalah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di pasar klewer dengan menjual batik. Suami hanya menerima hasilnya saja,wanita lebih berperan dalam mencari nafkah. Perempuan dalam cerita ini digambarkan sama dengan laki-laki mampu bekerja keras.

Novel Canting ini awalnya menceritka wanita bukanlah siapa-siapa yang tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Namun dengan adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena dengan adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan berkarir. Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang ramai dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan, menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih payah itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani anak-anaknya dan suaminya.

b. Nilai Transformasi Budaya Jawa dalam Novel CantingNovel Canting, sebuah roman keluarga begitu sang penulis Arswendo Atmowiloto menyebutkan istilah novelnya. Keluarga Ngabean Sestrokusuman, sebuah keluargapriyayi, kasta tinggi di Jawa, yang juga menjalankan usaha batik tulis, menjadi isi cerita dengan tokoh sentral: Pak Bei, sang ayah dan Ni, anak bungsunya. Pak Bei, adalah generasi pertama keluarga Ngabean yang mendobrak tradisi dengan menikahi anak buruh. Karenanya, dia disebut sebagaiaeng-aneh, berbuat yang tidak Jawa. Digambarkan memiliki sifatsak karepe dewe-seenaknya sendiri, malas, hidup bergantung dari penghasilan sang istri, tetapi juga bersifat bijak, tegas, berwibawa, berwawasan luas dan sangat mengagumi sang istri. Istrinya, Bu Bei, cepat beradaptasi dari seorang anak buruh batik menjadi seorang istri yangbekti-patuh pada suami, sekaligus pengusaha dan penjual batik yangtrengginas, yang mampu mengatasi hal-hal sekecil apapun baik itu menyangkut buruh-buruhnya, pembelinya di pasar, maupun adik dan kakak suami yang sering menggerogotinya.

Dari awal hingga akhir cerita sosok wanita memang mendominasi peran utama. Cara pandang dan pemikiran bu Bei betapa gigihnya perjuangan yang dilakukan oleh seorang wanita dari kalangan wong cilik yang kemudian menjadi istri seorang Raden pada Kraton Kasunanan Surakarta dan memiliki tanggungjawab dalam mengelola bisnis batik yang diembankan kepadanya sampai akhir hayat, disamping perannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya merupakan sebuah perwujudan bergesernya pandangan orang Jawa terhadap perempuan. Kepandaian Bu Bei dalam mengelola bisnis batik dan menjaga keutuhan rumah tangganya menjadikan rumah tangganya tetap harmonis. Hal tersebut dibuktikan dengan suksesnya bisnis batik yang ia jalani serta berhasilnya bu Bei dalam mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi.

Selain pada bu Bei, juga tampak pada tokoh Ni yang merupakan seorang wanita yang tegar, ia mampu menyelesaikan setiap masalah yang sedang dihadapinya. Sebagai anak sulung Ni merasakan suatu kewajiban untuk memajukan bisnis batik milik orang tuanya yang mulairedup. Meskipun sedang sakit Ni beruaha sekuat tenaga untuk tetap berkorban demi mengembalikan dan memajukan usaha batik orang tuanya.Pengorbanan Ni yang luar biasa itu akhirnya membuahkan hasil. Batik Canting miliknya mampu bersaing lagi dengan

Analisis nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Canting penulis fokuskan pada analisis etika wong gedhe dan etika bagi wong cilik. Dalam kehidupan sosial dalam novel Canting, baik orang-orang yang tergolong priyayi (wong gede) dan orang-orang yang tergolong abdi dalem (wong cilik) memiliki etika sebagai berikut: 1) Rajin Bekerja, 2) Membantu Menjaga Ketenteraman Negara.c. Nilai Pendidikan Religius Novel CantingDalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto terdapat nilai-nilai religiusitas. Religiusitas yang terdapat dalam novel Canting berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Seperti sikap terbuka pak Bei terhadap anaknya yang berpindah agama. Juga adat tradisi Jawa yang menyertai kehidupan pak Bei sehari-hari. Pada prinsipnya dalam novel Canting tidak ada penuturan secara eksplisit yang menyatakan religiusitas yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan.

Dalam novel Canting tidak disebut-sebut religiusitas yang membicarakan manusia dengan Tuhan. Tidak pernah disebutkan secara eksplisit agama yang dianut oleh tokoh-tokoh dalam novel Canting. Satu tokoh yang dijelaskan secara nyata agama yang dipeluk yaitu Ismaya Dewasunu. Ismaya pindah agama menjadi pemeluk Katolik tapi juga tidak pernah dijelaskan agama sebelumnya apa.B. IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, dapat dibuat rumusan implikasi hasil penelitian sebagai berikut:

1. Implikasi Teoritis

a. Penelitian sastra dengan pendekatan sosiologi sastra ini dapat memperkaya kajian telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan sosiologi sastras dapat menjadi acuan pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda dan variabel yang berbeda pula.b. Kajian novel dengan pendekatan sosiologi sastra dapat pula menjadi salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi. 2. Implikasi Praktis

a. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan telaah sastra dalam rangka memperbaiki pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, utamanya SMA. Kajian novel dengan pendekatan sosiologi sastra ini merupakan salah satu kajian novel dengan cara menelaah dan mengapresiasi novel.b. Pendekatan sosiologi sastra ini dapat dilakukan untuk pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas yang dapat diawali dengan melakukan kajian karya sastra yang sederhana, misalnya cerpen. Setelah itu baru Novel.c. Pembelajaran apresiasi sastra seharusnya tidak hanya sekadar memberikan teori-teori sastra saja. Kegiatan apresiasi sastra harus mampu mendorong peserta didik lebih mencintai, mampu berkreasi melalui bahan ajar sastra yang diberikan guru. d. Pembelajaran telaah novel ini dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan aspek psikomotor peserta didik. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari pembelajaran sastra adalah pengetahuan sastra siswa meningkat dan pengetahuan mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Aspek afektif, dengan belajar sastra akan terjadi peningkatan emotif atau perasaan. Aspek psikomotor, dengan belajar sastra siswa bisa membuat karya sastra terimajinasi dari sastra yang dibaca. C. SARAN-SARAN

1. Untuk Pendidik :

a) Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran sastra. Kedua novel ini dapat digunakan sebagai bahan apresiasi terhadap unsur-unsur struktur novel .b) Warna lokal yang terdapat dalam novel Canting bisa digunakan sebagai studi komparatif kebenaran sebuah sejarah oleh seorang pendidik untuk disampaikan kepada peserta didik.

c) Nilai pendidikan yang terkandung dalam Canting yang berupa nilai pendidikan sosial budaya dan nilai religius sangat baik untuk ditanamkan kepada peserta didik.

d) Sudah saatnya guru bahasa Indonesia di sekolah berani menghadirkan novel-novel bernuansa warna lokal sebagai objek kajian sastra di kelas untuk melengkapi novel-novel konvensional.2. Siswa

a) Para siswa hendaknya dapat memilih dan memilah dalam memaknai kandungan isi sebuah novel. Nilai-nilai yang positif yang patut kita teladani kita ambil sebagai pegangan dalam menapaki kehidupan. Sedangkan nilai-nilai yang negatif cukup kita ambil hikmahnya, kemudian kita singkirkan jauh-jauh.b) Tokoh-tokoh dalam novel Canting menampilkan karakter yang kompleks. Siswa seharusnya bisa memilih watak tokoh yang bisa diteladani dan menginspirasi dalam kehidupan.

c) Novel Canting memiliki warna lokal kedaerahan masing-masing. Siswa bisa memanfaatkan cerita novel sebagai studi komparatif peristiwa sejarah di Indonesia.3. Untuk Peneliti

Penelitian sastra yang dilakukan ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya penelitian dan pengkajian sastra di Indonesia. Masih banyak pendekatan pengkajian sastra yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, para peneliti sastra diharapkan dapat mengkaji karya sastra dengan pendekatan lainnya, sehingga dapat menemukan sendi-sendi kesastraan dan dapat memperkaya khazanah sastra di Indonesia.218