Upload
vanduong
View
224
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 103
Bab VII Pemberdayaan Sekolah
Untuk Pembangunan SDM Bermutu
A. Reformasi Konsep Pendidikan
Sejak tahun1970-an Indonesia telah melakukan enam kali perubahan kurikulum, namun pelaksanaannya di lapangan
belum menghasilkan peningkatan mutu pendidikan, bahkan tertinggal jauh dari Malaysia yang pada tahun 1970-an
meminta bantuan guru-guru MIPA SMA/SMK Indonesia dalam
peningkatan mutu pendidikannya.
Bagaimana konsep pendidikan yang dapat diyakini kebenarannya?
Firman Allah Swt, apabila kita berbeda pendapat dalam
sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (AlQur‟an) dan rasulNya (sunnah), [Qs. An Nisa (4): 59].
Reformasi pendidikan yang dimulai pada tahun 2003,
melalui Undang–Undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah kurikulum dari Kurikulum 1994 yang
berbasis mata pelajaran menjadi Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK), yang dilandasi oleh konsep Pendidikan
Kecakapan Hidup (PKH) dan Pendidikan Berbasis Luas, yang
dikenal dengan istilah BBE–Life Skill (Broad-based Education and Life Skill Education). Pendidikan berbasis kompetensi
diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan hidup. Namun dalam perjalanannya selama kurang
lebih delapan tahun, ternyata implementasi KBK di lapangan, belum menghasilkan peningkatan mutu pendidikan yang
diharapkan. Wajarlah kalau Pemerintah merencanakan
memperbaiki dan menyempurnakan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013.
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 104
Konsep pendidikan Ar-Rafi‟ yang berbasis pendidikan Islam, yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu merupakan
masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013, yang implementasinya di SD Ar-Rafi‟
Bandung telah dimulai pada tahun 2004, dan di SD Ar-Rafi‟
Bale Endah dimulai pada tahun 2005.
B. Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Berlandaskan Al Qur’an
Pendidikan adalah proses fasilitasi peserta didik agar
mendapatkan pengalaman belajar dan berlatih mengaktualisasikan semua potensi yang diberikan Allah Swt
[Qs.An Nahl (16): 78] menjadi kompetensi, khususnya kompetensi berpikir sehingga menjadikan manusia sebagai
makhluk yang dimuliakan dimuka bumi, dan membedakannya
dari binatang ternak [Qs.Al A‟Raaf (7): 179]. Dalam hal ini pendidikan berfungsi menjadikan manusia sebagai animal rationale atau binatang berpikir.Kalau pendidikan tidak bisa membangun kemampuan berpikir peserta didik, maka
pendidikan belum mampu memanusiakan manusia, atau
belum mampu mengubah derajat peserta didik menjadi manusia seutuhnya.
Fungsi pendidikan lainnya adalah memfasilitasi peserta didik untuk memberdayakan seluruh potensi yang dimilikinya
menjadi sosok muslim yang kaaffah [Qs. Al Baqarah (2): 208], yang berpribadi integral, satu kesatuan antara nilai
sikap, ucapan dan perbuatannya, sehingga tidak tergoda
untuk mengikuti jalan syetan, sebagai musuh manusia yang nyata. Kalau pendidikan belum mampu memfasilitasi peserta
didik untuk mengaktualisasikan potensi kognitif, afektif dan motoriknya, secara terintegrasi menjadi sosok manusia yang
berilmu, beriman dan dapat mengamalkan ilmunya dalam
iman, maka pendidikan belum mampu membangun peserta didik menjadi pribadi yang integral (integrated personality).
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 105
Bukankan pendidikan seperti itu hanya akan membangun
manusia yang berpribadi terpecah (split personality) atau manusia munafik? Allah Swt mengingatkan bahwa pendidikan
harus mampu membangun muslim yang kaaffah (sosok muslim yang berpribadi integral), dan jangan mengikuti jalan
syetan, yaitu pendidikan yang hanya membangun peserta
didik dengan ilmu saja, atau ilmu dan amal saja, tanpa mengintegrasikan nilai-nilai iman, karena hanya akan
membangun sosok manusia munafik (sosok manusia pengikut syetan). Peringatan dari Allah Swt tersebut merupakan
peringatan bagi guru-guru, agar berhati-hati dalam membelajarkan peserta didik, karena apabila guru
memberdayakan peserta didik hanya dalam domain kognitif,
atau hanya dalam domain kognitif dan motorik, tanpa domain afektif, maka guru tersebut diingatkan Allah Swt sebagai
membelajarkan peserta didik dengan jalan syetan? Mengapa? Karena pembelajaran yang difasilitasi oleh guru tersebut
hanya akan membangun manusia munafik, sebagai sosok
manusia pengikut syetan. Bagaimana Kepala Sekolahnya? Bagaimana pula Pengawasnya?Bukankah Kepala Sekolah dan
Pengawas juga termasuk sebagai pendidik? Allah Swt menciptakan manusia untuk mengabdi atau
beribadah kepadaNya [Qs. Adz Dzariyat (51): 56]serta menjadi pemimpin dimuka bumi [Qs. Al Baqarah (2): 30]
yang akan diminta pertanggung jawabannya kelak. Inilah
tujuan dari pendidikan dalam Islam yaitu agar manusia dapat menjadi khalifah yang abdullah, sesuai dengan kepemimpinan
yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw, yang adil, siddiq, tabligh, amanah, fathonah dan
istiqomah.Kepemimpinan yang diharapkan dimiliki oleh
lulusan sekolah harus dimulai dari guru-guru, kepala sekolah dan para pengawas dan penilik pendidikan, melalui konsep
keteladanan. Mengapa harus dimulai dari para guru, kepala sekolah dan pengawas? Karena merekalah yang akan
memfasilitasi pendidikan peserta didik, maka kepada mereka
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 106
Allah Swt mengingatkan agar segala sesuatu yang
dikemukakan kepada peserta didik mereka harus melakukannya terlebih dahulu, kalau mereka tidak
mencontohkannya, maka mereka akan memperoleh kebencian yang besar dari Allah [Qs. Ash Shaff (61): 2-3].
Allah Swt memerintahkan umatNya yang beriman untuk belajar hingga menguasai dan memiliki ilmu, sebagai sosok
ulil albab [Qs. Ali „Imron (3): 190] dan dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan dengan penuh kebermanfaatan [Qs.
Ali „Imron (3): 191] bagi dirinya, keluarganya, bangsa dan
negaranya serta agamanya (rahmatan lil‟alamin), seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, dan dikukuhkan
oleh Allah Swt dalam firmanNya [Qs. Al Anbiyaa‟ (21): 107].
Bagi mereka yang beriman dan memiliki ilmu Allah Swt
berjanji akan meningkatkan derajatnya [Qs. Al Mujadillah (58): 11], inilah landasan teologis konsep pendidikan Ar-Rafi‟
dalam membangun manusia unggul.
Pelaksanaan semua konsep pendidikan Ar-Rafi‟ dalam
membangun manusia unggul harus dimulai dari guru, kepala sekolah dan pengawas, oleh karena itulah mereka semua
termasuk orang-orang yang yang beriman yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah Swt sebagai manusia unggul. Semua
kegiatan guru, kepala sekolah dan pengawas, dalam memfasilitasi peserta didik agar menjadi manusia unggul
merupakan amal salih mereka yang dibalas Allah Swt dengan
pahala yang terus menerus, sehingga mereka terhindar dari “neraka” [Qs. At Tiin (95): 5-6]. Bagaimana kalau guru dan
kepala sekolah sebagai orang yang beriman, tetapi tidak melaksanakan konsep pendidikan Ar-Rafi‟ yang berbasis Al
Qur‟an tersebut? Maka mereka belum termasuk pada muslim
yang kaaffah, yang belum mampu menghindar dari gangguan
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 107
syetan yang selalu membisiki kepada dada manusia [Qs. An
Naas (114): 4-6].
Peran guru dalam memfasilitasi peserta didik memberdayakan dirinya menjadi khalifah yang abdullah, fasilitator dan motivator pembelajaran, sehingga peserta didik
belajar aktif, inovatif kreatif dan menyenangkan. Dalam hal ini pembelajaran terpusat pada peserta didik (student center), karena Allah mengingatkan bahwa tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang diupayakannya [Qs. An
Najm (53): 39]. Artinya peserta didik tidak akan menguasai
dan memiliki kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi akademik dan kompetensi vokasional tanpa ia
sendiri mengusahakannya dengan belajar dan berlatih (self learning, self exploration and self evaluation).
Demikian juga perubahan kurikulum dan bahan ajar yang disiapkan Pemerintah tidak akan berhasil dengan baik dalam
pelaksanaannya, bila guru dan kepala sekolah tidak ikut terlibat, atau tidak mau belajar tentang landasan konseptual
teoritis, landasan filosofis dan teologis dari perubahan dan penyempurnaan kurikulum yang harus dilaksanakan di
sekolah.
Mengingat bahwa manajemen pendidikan di Indonesia
selama ini terjadi secara sentralistik, maka kepemimpinan pendidikan kepala sekolah dan guru menjadi rendah,
sehingga pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembangunan
SDM yang bermutu akan sulit terlaksana. Mengembalikan fungsi guru sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum di
sekolah akan sangat sulit. Oleh karena itu program Pemerintah akan menyiapkan bahan ajar bagi peserta didik di
sekolah, dalam arti menyiapkan: Buku Bahan Ajar Peserta Didik, Buku Latihan Peserta Didik, Tes Terstandar dan Buku Panduan Guru, akan sangat menolong dalam meningkatkan
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 108
mutu pembelajaran di sekolah. Keseluruhan buku tersebut
akan membantu peserta didik bagaimana belajar dan membantu guru bagaimana mempromosikan pembelajaran
(teaching the student how to learn and teaching the teacher how to promote learning/teaching).
Oleh karena itu pemberdayaan sekolah sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat (Social Development Center), harus terlaksana karena peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah.
Kesadaran akan hal tersebut maka Pemerintah merencanakan reformasi yang kedua dalam bidang
pendidikan, yaitu perubahan manajemen pendidikan dari yang bersifat sentralistis menjadi desentralisasi (dalam otonomi
daerah), melalui pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) seperti yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat (1) UU
Sisdiknas Tahun 2003.
C. MBSSebagai Reformasi Manajemen Pendidikan
Secara faktual, pelaksanaan pendidikan terjadi di sekolah, tidak di Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten/Provinsi dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu
bagaimanapun baiknya konsep pendidikan yang dicanangkan dalam reformasi pendidikan yang pertama, keberhasilannya
tergantung pada mutu manajemen pendidikan di sekolah.Fakta-fakta empiris inilah yang melandasi strategi
reformasi pendidikan, yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditetapkan pada pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Sisdiknas tahun 2003, sebagai berikut:
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 109
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”.[Pasal 51 ayat (1),
UU Sisdiknas Tahun 2003].
Berdasarkan pasal ini, manajemen pendidikan yang sentralistik berubah sejalan dengan era desentralisasi dan
otonomi daerah menjadi MBS, dimana kurikulum sebagai
“ujung tombak perencanaan peningkatan mutu pendidikan” disusun dan dikembangkan oleh guru-guru di sekolah. Hal ini
ditetapkan pada pasal 38 ayat (2):
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. [Pasal 38
ayat (2), UU Sisdiknas Tahun 2003].
Pasal tersebut menetapkan bahwa kurikulum sekolah
yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) disusun oleh satuan pendidikan yaitu guru-guru
bersama kepala sekolah dengan mengacu kepada standar nasional pendidikan dengan prinsip diversifikasi seperti yang
ditetapkan dalam pasal 36, sebagai berikut:
“(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 110
daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: [a]. peningkatan iman dan takwa; [b]. peningkatan akhlak mulia; [c]. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; [d]. keragaman potensi daerah dan lingkungan; [e]. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; [f]. tuntutan dunia kerja; [g]. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; [h]. agama; [i]. dinamika perkembangan global; dan [j]. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”.[Pasal 36 ayat (1-3),
UU Sisdiknas Tahun 2003].
Keberagaman kurikulum antar daerah ditandai dengan
muatan lokal yang bisa berbentuk mata pelajaran seperti mata pelajaran bahasa Sunda bagi Provinsi Jawa Barat.
Mata palajaran yang dikembangkan di sekolah dalam
KTSP, ditetapkan dalam pasal 37 ayat (1).
“(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: [a].pendidikan agama; [b].pendidikan kewarganegaraan; [c].bahasa; [d].matematika; [e]. ilmu pengetahuan alam; [f].ilmu pengetahuan sosial; [g].seni dan budaya;[h].pendidikan jasmani dan olahraga;[i].keterampilan/kejuruan; dan [j]. muatan lokal”. [Pasal 37 ayat (1), UU Sisdiknas Tahun 2003].
Pasal-pasal tersebut, mengembalikan fungsi guru dari sebatas “pengajar (pengecer bahan ajar)”menjadi guru
profesional yang harus mampu mengembangkan dan menyusun kurikulum mata pelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun berkelompok
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 111
dalam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau KKG
(Kelompok Kerja Guru).
Tugas guru sebagai pendidik profesional yang harus mengembangkan dan menyusun kurikulum mata pelajaran,
dalam bentuk silabus, RPP (Rencana Pembelajaran
Pendidikan), bahan ajar yang meliputi LKS (Lembar Kerja Siswa) dan menyelenggarakan prosesnya di kelas,ditetapkan
dalam pasal 39 ayat (2), sebagai berikut:
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. [Pasal 39 ayat (2), UU Sisdiknas Tahun 2003].
Perolehan dan kewajiban pendidikan dan tenaga
kependidikan ditetapkan dalam pasal 40, sebagai berikut:
“(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: [a]. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; [b]. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; [c]. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; [d]. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan [e]. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: [a]. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; [b]. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan [c]. memberi teladan
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 112
dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”. [Pasal 40 ayat (1-2), UU Sisdiknas Tahun
2003].
Berkaitan dengan kewajiban pendidik yang ditetapkan
dalam Pasal 40 ayat (2) tersebut, khususnya komitmen dalam peningkatan mutu pendidikan, maka pastilah para guru akan
meminta peserta didiknya untuk selalu belajar,
memfasilitasinya, dan memberikan contoh keteladanan. Apabila guru memerintahkan peserta didik untuk belajar,
tetapi ia sendiri tidak belajar, dan guru meminta pesertadidik untuk jujur, tetapi ia tidak memberi contoh, maka penulis
mengingatkan atas firmanNya:
“(2). Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (3). Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. [Qs. Ash Shaff (61): 2-3].
Artinya, semua nasihat yang disampaikan para guru
kepada peserta didik harus diikuti dengan contoh yang dapat
diteladani oleh peserta didik. Guru harus berperilaku yang dapat digugu dan ditiru oleh peserta didik dan juga
masyarakat, apabila tidak, maka guruakan mendapat kebencian Allah Swt,naudzubillahi mindzalik. Karena kita
semua berharap untuk mendapatkan keridho‟anNya, yang didalamnya ada surga.
Disamping menyusun kurikulum dan menyelenggarakan proses pembelajaran, guru juga berkewajiban untuk
melakukan evaluasi pembelajaran seperti yang ditetapkan dalam pasal 58 ayat (1):
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 113
“Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. [Pasal 58 ayat (1), UU Sisdiknas Tahun 2003]
Evaluasi berkesinambungan (continuous evaluation)
dalam pendidikan berbasis kompetensi, merupakan suatu konsekuensi logis.Karena keberhasilan dan ketuntasan dalam
mencapai SKL (Standar Kompetensi Lulusan) merupakan
ketuntasan dalam pencapaian semua SK (Standar Kompetensi) yang dicapai peserta didik dalam suatu jenjang
pendidikan.Ketuntasan dalam mencapai suatu SK merupakan ketuntasan pencapaian semua KD (Kompetensi Dasar) yang
merupakan bagian integral dari SK tersebut.Hal ini hanya
dapat dilaksanakan di sekolah dalam manajemen berbasis sekolah.
Bahkan evaluasi akhir peserta didik dari suatu jenjang
pendidikan untuk menetapkan kelulusan yang berkaitan
dengan pemberian sertifikat atau ijazah menjadi kewajiban guru di sekolah seperti yang ditetapkan dalam pasal 61,
sebagai berikut:
“(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi”.[Pasal 61 ayat (1-2), UU Sisdiknas Tahun 2003].
Sedangkan pemberian sertifikat kompetensi untuk lulusan SMK ditetapkan pada pasal 61 ayat (3), sebagai berikut:
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 114
“Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi”.[Pasal 61 ayat (3), UU Sisdiknas Tahun 2003].
Lembaga sertifikasi yang dimaksud dalam ayat tersebut
bisa berbentuk Asosiasi Profesi atau Asosiasi Perusahaan sejenis, yang bersama-sama dengan Sekolah Menengah
Kejuruan melakukan Uji Kompetensi Keahlian peserta didik.
Dari keseluruhan pasal-pasal tersebut, menggambarkan
adanya kewenangan sekolah dalam manajemen kurikulum, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
sertifikasi, dalam konteks manajemen berbasis sekolah.Artinya sekolah menjadi penanggungjawab
penyelenggaraan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM
yang bermutu.
D. Mengapa Harus MBS?
Peraturan perundang-undangan terkait dengan manajemen berbasis sekolah yang diuraikan dalam subbab
terdahulu, mendukung peran dan fungsi sekolah sebagai “pusat peningkatan mutu pendidikan”. Dalam hal ini sekolah
berperan sebagai Pusat Pembanguna SDM yang cerdas,
kompetitif, produktif dan berahlak mulia, yang dibutuhkan masyarakat dan pembangunan wilayah maupun
pembangunan nasional. Dengan kata lain, berdasarkan UU Sisdiknas 2003 tersebut sekolah berperan sebagai Pusat
Pembangunan Masyarakat.
Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 115
Karena secara faktual proses pembelajaran terjadi di
sekolah, artinya upaya peningkatan mutu pendidikan akan terjadi di sekolah, bukan di Dinas Pendidikan dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Siapa yang bertanggung jawab?
Penanggung jawab yang pertama dan utama adalah
kepala sekolah, bersama dengan guru-guru profesional, sehingga mereka dapat melaksanakan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), atau
manajemen strategik dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Dengan demikian MBS merupakan kunci
pelaksanaan peningkatan mutu Sisdiknas. Artinya bagaimanapun baiknya konsep pendidikan yang dirumuskan
dalam kurikulum (termasuk Kurikulum 2013), kunci
keberhasilannya dalam peningkatan mutu Sisdiknas terletak pada MPMBS.
MPMBS bertumpu pada kepemimpin pendidikan dari
kepala sekolah, seperti yang dikemukakan Sallis (1993):
leadership is pivotalto the success of the management.
Atau sabda Rasululloh Muhammad Saw: “tunggulah kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin”.
Dengan demikian peningkatan mutu pendidikan harus diupayakan dengan profesionalisasi guru dan profesionalisasi
kepemimpinan dan kecakapan manajerial kepala sekolah.Sudah pasti diperlukan dukungan dari sumberdaya
pendidikan lainnya yaitu dana, sarpras dan lingkungan
sekolah.