27
MANAJEMEN PERPAJAKAN BAB X TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX (PPH POTONG PUNGUT) SELAIN PPH PASAL 21 Kelompok 3: Ni Luh Nyoman Sherina Devi (1506315016) Ni Wayan Indah Suwarningsih (1506315017) Jefri Antonius (1506315018) PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

BAB X

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pajak

Citation preview

Page 1: BAB X

MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB X

TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX (PPH POTONG

PUNGUT) SELAIN PPH PASAL 21

Kelompok 3:

Ni Luh Nyoman Sherina Devi (1506315016)

Ni Wayan Indah Suwarningsih (1506315017)

Jefri Antonius (1506315018)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: BAB X

1

TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX (PPH POTONG PUNGUT) SELAIN

PPH PASAL 21

1.1. Pengantar

Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak

adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan atas

pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban pajak untuk melakukan

pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke

kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.

Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,

pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar.

Berbeda dengan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk

menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.

Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki

informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga

ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan

atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak

tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah

dengan sanksi administrasi.

1.2. Jenis-Jenis PPh Potong Pungut

1.2.1. PPh Pasal 22

Objek PPh Pasal 22

Kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memeperoleh

pembayaran atas barang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut-

pemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.

Pemungut Pajak

1) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang

2) Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat

maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.

3) Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dengan

mekanisme uang persediaan (UP).

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 3: BAB X

2

4) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar

yang diberi delegasi oleh KPA berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang

kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).

5) Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan

pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau

belanja daerah (APBD).

6) Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan

Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik

Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina,

dan bank-bank BUMN  yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber

dari APBN maupun non-APBN.

7) Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,

industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor

Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya didalam negeri.

8) Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan

bakar minyak, gas, dan pelumas.

9) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian,

dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-

bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Tarif Pungutan dan Dasar Pengenaan PPh Pasal 22

1) PPh Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:

1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):

Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif

pajak sebesar 0,5% dari nilai impor.

Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API

tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.

2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.

3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final:

Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas

imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22

impor.

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 4: BAB X

3

WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang

bersangkutan.

Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk

kegiatan yang tidak dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang

akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2) PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD

Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke

APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 % dari

harga beli yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oelh

Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau

BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D. PPh Pasal 22 tersebut merupakan

kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemungut dengan

menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).

3) PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain

Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan

dalam Tabel dibawah ini:

No Objek Pajak TarifDasar Pengenaan

Pajak (DPP)Sifat

Dasar Hukum

1. Pembelian Barang Dalam Negeria. Pembelian Barang oleh

Bedaharawan, BUMN/D dan Badan-Badan tertentu.

b. Pembelian Bahan-Bahan berupa hasil Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan untuk Keperluan Industri dan Ekspor dari Pedagang Pengumpul.

1,5%

0,25%

Harga Pembelian

Harga Pembelian

2. Impor Baranga. Importir mempunyai API

Kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu

b. Importir tidak mempunyai APIc. Pemenang Hasil Lelang Impor

yang Tidak Dikuasai

2,5%0,5%

7,5%

7,5%

Nilai ImporNilai Impor

Nilai Impor

Nilai Lelang

3. Penjualan Hasil Produksi Tertentu di Dalam Negeria. Industri Semenb. Industri Kertasc. Industri Bajad. Industri Otomotif

0,25%0,10%0,30%0,45%

DPP PPNDPP PPNDPP PPNDPP PPN

KEP-401/01KEP-69/95KEP-01/96KEP-32/95

e. Bahan Bakar Minyak dan Gas

Premium

SPBU Swastanisasi

Penjualan Final

KEP-417/01

0,3%KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 5: BAB X

4

Solar Premix/Super TT Minyak Tanah

0,3%0,3%

---

PenjualanPenjualanPenjualanPenjualanPenjualan

FinalFinalFinal

4. Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

5%Harga Jual Tidak

Termasuk PPN & PPnBM

1.2.2. PPh Pasal 23

Objek PPh Pasal 23

Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak yang berasal dari:

a. Bunga, dividen, dan royalti yang diterima WP Badan dan WP Orang Pribadi

b. Penyerahan jasa yang diterima oleh WP Badan

c. Penyerahan jasa yang diterima oleh WP Orang Pribadi selain yang telah dipotong

PPh pasal 21.

Pemotong Pajak

a. Badan Pemerintah,

b. Subjek pajak badan dalam negeri

c. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri

d. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk oleh DJP yaitu:

a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan

yang melakukan kerja bebas.

b) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan

pembukuan.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

No. Objek Pajak Tarif DPP1. Dividen:

Yang diterima oleh badan dengan kepemilikan kurang dari 25%

Yang diterima oleh orang pribadi (pasal 17 ayat 2c)

15%

10%

Penghasilan bruto

Penghasilan bruto

2. Bunga 15% Penghasilan bruto3. Royalti 15% Penghasilan bruto4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya

yang telah dipotong PPh pasal 2115% Penghasilan bruto

5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.

2%Jumlah bruto tidak

termasuk PPN

6. Imbalan bruto sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi,

2%Jumlah bruto tidak

termasuk PPNKELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 6: BAB X

5

selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.7. Imbalan sehubungan dengan jasa lain (PMK No.

244/PMK.03/2008)2%

Jumlah bruto tidak termasuk PPN

1.2.3. PPh Pasal 26

Objek PPh Pasal 26

a. Objek PPh yang dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib

membayarkan.

b. Objek PPh yang dipotong PPh pasal 26 yang dipotong pajak 20% dari perkiraan

penghasilan neto, yaitu: objek PPh yang dipotong pajak sebesar 20% dari penghasilan

kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau

yang biasa disebut Branch Profit Tax.

Pemungut Pajak

Berdasarkan Peraturan Dirjen Nomor PER – 52/PJ/2009 tentang tata cara

pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan pasal 26 atas penghasilan

dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam pasal 4

(2) UU PPh yang diterima atau diperoleh WPLN selain BUT di Indonesia, yang

ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 26 adalah:

a. Badan Pemerintah,

b. Subjek pajak badan dalam negeri

c. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri

d. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk oleh DJP yaitu:

a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan

yang melakukan kerja bebas.

b) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan

pembukuan.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

No. Objek Pajak Tarif DPP1. Dividen 20% atau tarif P3B Penghasilan Bruto2. Bunga, termasuk premium, diskonto,

premi swap, dan imbalan sehubungan dengan pengembalian utang.

20% atau tarif P3B Penghasilan Bruto

3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

20% atau tarif P3B Penghasilan Bruto

4. Hadiah dan penghargaan. 20% atau tarif P3B Penghasilan Bruto5. Pensiunan dan pembayaran berkala

lainnya.20% atau tarif P3B Penghasilan Bruto

6. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang diterima WPLN, selain

20% atau tarif P3B Penghasilan BrutoKELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 7: BAB X

6

BUT di Indonesia.7. Dibayarkan tertanggung kepada

perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalu pialang

Dibayarkan perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri

Dibayarkan perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri

10% atau tarif P3B

2% atau tarif P3B

1% atau tarif P3B

Penghasilan Bruto

Penghasilan Bruto

Penghasilan Bruto

8. Penghasilan dari penjualan saham yang diperoleh WPLN selain BUT

5% Harga Jual

9. Laba setelah pajak BUT, kecuali laba setelah pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

20% atau tarif P3BLaba BUT dikurangi

PPh BUT di Indonesia

1.2.4. PPh Pasal 4 ayat 2 (PPh Final)

Objek PPh Pasal 4 ayat (2)

a. Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan

perdagangannya di bursa efek (PP No.16 Tahun 2009)

b. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek (PP 41/1994 jo.PP

14/1997). Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan

dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang

bersifat final.

c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131/2000). Atas penghasilan

berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia

dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk bunga yang harus

dipotong Pajak Penghasilan yaitu bunga yang diterima atas diperoleh dari

deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang

didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di

Indonesia.

d. Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000). Atas penghasilan berupa

hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut

Pajak Penghasilan yang bersifat final.

e. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan (PP 29/1996 jo PP 5/2002). Atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari

persewaan tanah dan atau bagunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 8: BAB X

7

kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan

industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

f. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi (PP 52/2008 jo PP 40/2009)

Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan

konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa

konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan

perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan

arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing

beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik

lain.

g. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan (PP 48/1994 jo

PP 71/2008). Atas penghasilan yang diterima dan diperoleh orang pribadi atau

badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak

Penghasilan.

h. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri (PP

19/2009).

i. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang

pribadi (PP 15/2009). Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh

koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi

dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pemungut Pajak

No Objek Pajak Pemungut Pajak1. Bunga dan diskonto obligasi yang

diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek

Penerbit obligasi atau custodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk

Perusahaan efek, dealer, atau bank, sekalu pedagang perantara dan atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi

2. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek

Penyelenggara bursa efek

3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI

Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indoneisa dan Bank Indonesia

4. Penghasilan berupa hadiah atas undian

Penyelenggara undian

5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan

Penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai pemotong pajak

Hal penyewa bukan sebagai pemotong pajak maka pajak penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 9: BAB X

8

memperoleh penghasilan6. Penghasilan dari usaha jasa

konstruksi Dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran,

dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal

pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak7. Penghasilan dari pengalihan harta

berupa tanah dan atau bangunan Membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang Dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang

melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar

8. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri

Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen

9. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi

Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

No

Objek Pajak Tarif DPP Keterangan

1

Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek :

   

Bunga dari obligasi dengan kupon

15% Jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi

WPDN

20% WPDN selain BUT

Diskonto dari obligasi dengan kupon

15% Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan

WPDN

20% WPDN selain BUT

Diskonto dari obligasi tanpa bunga

15% Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi

WPDN

20% WPDN selain BUT

Bunga dan atau diskonto dari obligasi

0% Jumlah yang diterima dan atau diperoleh wajib pajak reksadana yang terdaftar pada badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan

untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010

5%untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013

15%untuk tahun 2014 sampai seterusnya

2

Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek :

   

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan

0.10%Jumlah bruto nilai transaksi penjualan

-

Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan

0.50%Dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa diakhir tahun 1996

Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdanaKELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 10: BAB X

9

3Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI

20%Dari jumlah bruto

WPDN20% WPDN selain BUT

4Penghasilan berupa hadiah aatas undian

25%Dari jumlah bruto hadiah undian

-

5Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan

10%

Dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bagunan

-

6

Penghasilan dari usaha jasa konstruksi :

   

Pelaksanaan Konstruksi (a) 2%Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran atau jumlah yang merupakan bagian dari nilaikontrak jasa konstruksi

kualifikasi usaha kecil

Pelaksanaan Konstruksi (b) 4%tidak memiliki kualifikasi usaha

Pelaksanaan Konstruksi selain (huruf a dan b)

3%kualifikasi udaha menengah dan besar

Perancanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi

4% memiliki kualifikasi usaha

Perancanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi

6%tidak memiliki kualifikasi usaha

7Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan

5%Jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan

-

1% Jumlah bruto nilai pengalihan

atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan

8Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri

10%Jumlah penghasilan brupa dividen

-

9

Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi

0%Jumlah bruto bunga

bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per bulan

10%bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per bulan

1.3. Saat Terutangnya PPh Potong Pungut

1) Untuk PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26, saat terutangnya pajak adalah pada saat

dibayarkan, disediakan untuk dibayar atau telah jatuh tempo pembayarannya

2) Untuk PPh Pasal 4 ayat (2), saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran atau saat

terutang, mana yang lebih duluan

3) Untuk PPh Pasal 22

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana

yang diatur pada Pasal 22 ayat (1) UU PPh, terutang pada saat pembayaran kecuali

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 11: BAB X

10

ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Penetapan saat terutang dan pelunasan Pajak

Penghasilan Pasal 22 diatur sebagai berikut:

- Atas kegiatan impor barang, PPh Pasal 22 terutang pada saat bersamaan dengan

pembayaran bea masuk. Apabila pembayaran bea masuknya ditunda atau

dibebaskan, PPh Pasal 22 terutang pada saatpenyelesaian dokumen PIB

(Pemberitahuan Impor Barang)

- Atas kegiatan pembelian barang, PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat

dilakukan pembayaran

- Atas pembelian hasil produksi PPh Pasal 22 terutang dan dipungut saat penjualan

- Atas penjualan hasil produksi atau pengolahan barang, PPh Pasal 22 terutang dan

dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order)

-

1.4. Saat Penyetoran dan Pelaporan PPh Potong Pungut

1) Penyetoran PPh potong pungut dilakukan ke kas paling lambat tanggal 10 bulan

berikut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)

2) Pelaporan PPh dilakukan ke KKP tempat pemotong atau pemungut terdaftar paling

lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa

(SPM)

1.5. Sanksi-sanksi Pajak Terkait

Sanksi pajak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban PPh potong pungut antara

lain adalah:

Sanksi kurang potong (2% dari pajak yang kurang potong)

Sanksi terlambat potong (2% perbulan dari pajak yang terlambat dipotong)

Salah potong, misalnya seharusnya memotong PPh Pasal 23 tapi dipotong PPh Pasal

21 (dianggap tidak memotong)

Sanksi tidak memotong

Sanksi memotong tapi tidak menyetor

Bagi pihak yang dipotong juga terdapat sanksi pajak, antara lain:

Sanksi 100% dari pajak terutang jika pihak yang dipotong tidak memiliki NPWP

Sanksi pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan jika tidak memenuhi

persyaratan-persyaratan pengkreditan

Sanksi Pidana:

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 12: BAB X

11

Pasal 39 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak

menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. sehingga dapat menimbulkan kerugian

pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang

tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak

atau kurang dibayar.

Pasal 39 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan

lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak

selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

1.6. Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut

Karena system withholding tax (dalam hal ini PPh potong pungut) melibatkan dua

pihak yaitu:

1) Pihak pemberi penghasilan sebagai pihak pemotong atau pemungut

2) Pihak penerima penghasilan sebagai pihak yang dipotong atau dipungut

Maka untuk mencapai efisiensi yang maksimal, perencanaan pajak pada PPh Potong Pungut

harus difokuskan pada dua sisi yaitu:

1) Sisi sebagai wajib potong manakala perusahaan melakukan pembayaran atas objek PPh

potong pungut

2) Sisi sebagai pihak yang dipotong manakala perusahaan menerima atau memperoleh

penghasilan yang merupakan objek PPh potong pungut

Hal ini dikarenakan dapat saja dalam masa pajak yang sama perusahaan berada pada posisi

sebagai wajib potong dan sekaligus berada pada posisi pihak yang dipotong

1.6.1. Perencanaan Pajak pada Posisi sebagai Pemotong

Adapun kewajiban perusahaan sebagai wajib potong PPh potong pungut adalah:

1) Kewajiban untuk memotong PPh atas objek PPh potong pungut, dilakukan dengan

menggunakan sarana bukti potong. Pada kewajiban ini terdapat beberapa sanksi pajak

yang terkait, seperti:

- Sanksi kurang potong (2% dari pajak yang kurang dipotong).

- Sanksi terlambat potong (2% per bulan dari pajak yang terlambat dipotong).

- Salah potong misalnya seharusnya memotong PPh pasal 23 tapi dipotong PPh

pasal 21 (dianggap tidak memotong).KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 13: BAB X

12

- Sanksi tidak memotong

2) Kewajiban menyetorkan PPh yang telah dipotong ke Kas Negara dengan

menggunakan sarana Surat Setoran Pajak (SSP). Pada kewajiban ini, terdapat

beberapa sanksi pajak terkait, seperti:

- Sanksi terlambat setor (2% dari pajak yang terlambat disetor)

- Sanksi kurang setor (2% dari pajak yang kurang disetor).

- Sanksi tidak menyetor.

3) Kewajiban melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor tersebut ke Kantor

Pelayanan Pajak tempat perusahaan terdaftar dengan menggunakan sarana SPT Masa

(SPM). Sanksi pajak yang terkait yaitu:

- Sanksi terlambat lapor (sanksi administrasi sebesar Rp 100.000)

Adapun tujuan dari perencanaan pajak pada posisi sebagai wajib potong adalah untuk

mencapai efisiensi dengan cara menghindari sanksi-sanksi pajak terkait dengan pelaksanaan

tiga kewajiban tersebut. Untuk itu, perusahaan harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kapan terutangnya PPh potong pungut.

b. Apa saja objek PPh potong pungut dan berapa tarif pajaknya.

c. Kapan PPh Potong Pungut harus dibayarkan ke Kas Negara.

d. Kapan PPh yang telah dipotong harus dilaporkan ke KPP.

e. Apa saja sanksi terkait dengan ketiga kewajiban tersebut.

1.6.2. Perencanaan Pajak pada Posisi sebagai Pihak yang Dipotong

Pada posisi sebagai pihak yang dipotong, perusahaan memiliki hak pengkreditan atas

PPh yang telah dipotong oleh pihak ketiga terhadap PPh Badan perusahaan (sepanjang PPh

yang dipotong tidak tergolong PPh final). Namun untuk dapat mengkreditkan perusahaan

harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut:

1) Harus didukung oleh bukti potong asli (atau legalisir sesuai asli).

2) Tahun pengkreditan harus sesuai dengan tahun yang tertera pada bukti potong.

3) Jenis pajak yang tercantum pada bukti potong dan SSP harus benar (atau didukung

oleh Surat Pemindahbukuan yang diterbitkan oleh KPP jika terjadi kesalahan jenis

PPh yang dipotong).

Tujuan perencanaan pajak pada posisi sebagai pihak yang dipotong adalah untuk

mencapai efisiensi dengan cara memaksimalkan pemanfaatan hak pengkreditan tersebut,

sehingga perusahaan harus memperhatikan persyaratan-persyaratan untuk dapat melakukan

pengkreditan.KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 14: BAB X

13

1.6.3. Hal lain yang Harus Diperhatikan Terkait dengan Perencanaan Pajak pada PPh

Potong Pungut

1) Jika terjadi kesalahan potong

Jika hal ini terjadi, bagi pihak pemotong/pemungut akan timbul sanksi pajak (salah

potong dianggap tidak memotong). Misalnya seharusnya dipotong PPh Pasal 23,

namun dipotong PPh Pasal 21, maka langkah yang harus diambil adalah mengajukan

permohonan pemindahbukuan ke KPP tempat pemotong terdaftar. Agar pajak yang

telah dipotong tersebut dapat dikreditkan oleh pihak yang dipotong, maka pihak yang

dipotong harus diberikan bukti SK pemindahbukuan tersebut.

2) Jika pihak penerima penghasilan tidak mau dipotong pajak (kontrak net of tax)

Jika hal ini terjadi, maka kewajiban menyetorkan pajak yang terutang tetap harus

dilakukan, namun kewajiban menanggung beban pajak tersebut menjadi beralih

kepada pihak pemberi penghasilan (pihak pemotong). Ada dua cara yang dapat

dilakukan, yaitu:

a. Pihak pemberi penghasilan menanguung sendiri pajak yang terutang sebesar tarif

yang terutang. Jika pihak pemberi penghasilan memilih cara ini, maka jumlah

pajak yang ditanggung sendiri tersebut tidak dapat dibebankan sebagai pengurang

penghasilan bruto perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

b. Meng-gross up pajak yang terutang. Konsekuensinya adalah pajak yang dibayar

ke Kas Negara menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Namun dengan cara ini,

pihak pemberi penghasilan dapat membebankan pajak yang dibayarnya tersebut

sebagai pengurang penghasilan bruto.

Catatan: pemilihan cara a) atau cara b) didasarkan atas seberapa besar perusahaan

(pemberi penghasilan) berkepentingan terhadap pembebanan biaya. Jika perusahaan

ingin membebankan pajaknya sebagai biaya, maka cara b) akan lebih efisien, dan

sebaliknya.

1.6.4. Pembayaran kepada WPLN

Khusus untuk pembayaran kepada WPLN, perlu diperhatikan apakah penghasilan

yang diberikan kepada pihak WPLN tersebut merupakan passive income (bunga, dividen, dan

royalti) atau active income (penghasilan dari jasa atau kegiatan), karena perlakuan pajaknya

akan berbeda manakala kita bertransaksi dengan WPLN mitra perjanjian (tax treaty partner)

dan WPLN non treaty partner.KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 15: BAB X

14

1) Perlakuan pajak jika WPLN merupakan resident negara treaty partner

Untuk passive income yang diterima WPLN tax treaty partner, pihak pembayar di

Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 dengan menggunakan taris tax treaty yang

bersangkutan (reduced rate treaty) dengan persyaratan dilampirkannya Certificate of

Resident (COR) atau Certificate of Domicile (COD) yang sekarang dikenal dengan

sebutan Form DGT – 1 dan Form DGT – 2 pada SPT Masa PPh Pasal 26. Indonesia

sebagai negara sumber tetap memiliki hak pemajakan atas passive income tersebut,

tanpa melihat apakah WPLN tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di

Indonesia atau tidak. Dalam hal WPLN memiliki BUT di Indonesia, maka pihak

pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 (bukan PPh pasal 26).

Sebalikmua untuk active income yang diterima WPLN tax treaty partner, pihak

pembayar di Indonesia tidak wajib memotong PPh Pasal 26 manakal WPLN tidak

memiliki BUT di Indonesia (dalam hal ini hak pemajakan ada pada Negara domisili

sesuai dengan artikel tentang “business profit” tax treaty) dengan persyaratan

dilampirkannya COR/COD. Apabila WPLN memiliki BUT di Indonesia, maka pihak

pembayar di Indonesia wajib memotong PPh pasal 23 (bukan PPh Pasal 26).

Pada beberapa tax treaty (Indonesia – Luxemburg, Indonesia – Pakistan, Indonesia –

Jerman, Indonesia – Switzerland), atas pembayaran imbalan jasa teknik (active

income) kepada WPLN yang merupakan resident negara tersebut, pihak pembayar di

Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 dengan reduced rate tax treaty dari imbalan

bruto, meskipun WPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia, sepanjang jasa

teknik tersebut dilakukan di Indonesia.

2) Perlakuan pajak jika WPLN bukan resident negara treaty partner (non treaty partner)

Untuk passive income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di

Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 dengan menggunakan tarif UU PPh yaitu

20% dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam

hal WPLN memiliki BUT di Indonesia, pihak pembayar di Indonesia wajib

memotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.

Untuk active income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di

Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto jika WPLN

tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT

di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23

sebesar 2% dari jumlah bruto.

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 16: BAB X

15

1.6.5. Rekonsiliasi Obyek Pemotongan PPh Pot-Put

1) Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pemotong

Salah satu upaya manajemen pajak yang terukur bagi perusahaan selaku pemotong

pajak adalah melakukan rekonsiliasi/ekualisasi atas kewajiban pemotongan PPh pot-

put. Caranya adalah dengan membandingkan obyek pemotongan PPh pot-put

berdasarkan angka yang tertera dalam laporan keuangan dengan dasar pengenaan

pajak yang telah dilaporkan perusahaan dalam SPT Masa PPh pot-put yang bervariasi,

mulai dari pemotongan PPh pasal 4 ayat (2), 15, 21/26, 22, dan 23/26.

2) Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pihak yang dipotong.

Selaku penerima penghasilan yang merupakan obyek PPh pot-put, perusahaan akan

dipotong pajaknya oleh pelanggan. Untuk kepentingan perpajakan, perusahaan dapat

melakukan rekonsiliasi objek PPh pot-put berdasarkan bukti potong yang diterima

dari pelanggan dengan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan

atau audit report laporan keuangannya. Perbedaan atau selisih angka rekonsiliasi akan

berakibat adanya eksposure atas kewajiban PPh badan perusahaan dan/atau

berkonsekuensi pada penetapan PPN apabila penghasilan tersebut adalah juga

merupakan objek PPN.

Catatan: selisih perbedaan akibat rekonsiliasi harus dapat dijelaskan dan didukung oleh bukti-

bukti yang memadai untuk menghindari koreksi fiskus jika terjadi pemeriksaan pajak.

1.6.6. Mengelola Perbedaan Interpretasi Mengenai Objek Pajak pada Suatu Transaksi

Dalam praktik di lapangan, sering terjadi perbedaan interpretasi antara wajib pajak

dengan fiskus atas objek PPh pot-put dalam suatu transaksi. Contohnya: pembayaran

sehubungan dengan informasi berkenaan dengan pengalaman di bidang ilmu pengetahuan,

perdagangan, dan industri. Dalam praktik sering terjadi dispute antara royalti dengan imbalan

jasa teknik terkait pembayaran tersebut. Padahal perlakuan pajak antara keduanya berbeda.

Untuk menghindari timbulnya koreksi akibat adanya perbedaan interpretasi tersebut, wajib

pajak harus memahami benar substansi dari transaksi tersebut dan memahami ciri-ciri yang

membedakan kedua objek pajak tersebut.

Dispute dalam Pemeriksaan Pajak

Di dalam pemeriksaan pajak sering terjadi perbedaan sudut pandang dalam

menginterpretasikan suatu ketentuan perpajakan. Akibatnya, seringkali muncul istilah

“sepakat untuk tidak sepakat”. Artinya, pemeriksa pajak dan wajib pajak harus sepakat bahwa

pemeriksaan harus dituntaskan, tapi keduanya tidak sepakat terhadap materi pemeriksaannya. KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21

Page 17: BAB X

16

Dalam hal demikian, posisi wajib pajak menjadi inferior karena pemeriksa pajak tetap

menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan perhitungan menurutnya.

Perbedaan di atas di antaranya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

1) Target penerimaan negara di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) masih jauh dari

pencapaian optimal sehingga pemeriksa pajak dituntut harus memenuhi target

tersebut;

2) Perbedaan metode interpretasi peraturan, yaitu

a. metode interpretasi yang bertumpu pada teks peraturan atau legalitas hukum

(rechtmatigheid)

b. metode interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan

(doelmatigheid).

KELOMPOK 3 – Tax Planning pada Withholding Tax selain PPh Pasal 21