32
Burnout pada pustakawan BAB 3 BURNOUT PADA PUSTAKAWAN Utami Hariyadi * 1. Pendahuluan Burnout merupakan “epidemi” yang melanda dunia kerja dan burnout bisa menyerang siapa saja tanpa memandang pekerjaan dan usia. Burnout adalah istilah yang menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental, emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto dalam artikelnya yang dimuat secara online berjudul ‘Apakah anda mengalami burnout?”(2001), mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Burnout dialami oleh seseorang yang bekerja menghadapi tuntutan dari klien/pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. Situasi menghadapi klien ini menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional (emotionally demanding). Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. * Diterbitkan dalam Bunga Rampai Perpustakaan dan Informasi Dalam Konteks Budaya, 2006. 37

bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Embed Size (px)

DESCRIPTION

burnout

Citation preview

Page 1: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

BAB 3

BURNOUT PADA PUSTAKAWAN

Utami Hariyadi*

1. Pendahuluan

Burnout merupakan “epidemi” yang melanda dunia kerja dan burnout bisa

menyerang siapa saja tanpa memandang pekerjaan dan usia. Burnout adalah istilah yang

menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental,

emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat.

Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto dalam artikelnya yang dimuat

secara online berjudul ‘Apakah anda mengalami burnout?”(2001), mendefinisikan burnout

sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Burnout dialami oleh seseorang yang

bekerja menghadapi tuntutan dari klien/pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan

rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. Situasi menghadapi

klien ini menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional (emotionally

demanding). Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan,

karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang

minimal.

Walaupun intensitas, durasi, frekuensi, dan konsekuensinya beragam, burnout

umumnya mempunyai tiga komponen, yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan

kelelahan mental. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut :

Kelelahan fisik yang menyebabkan sakit fisik seperti sakit kepala, demam, sakit

punggung (rasa ngilu), tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah

tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan.

Kelelahan emosi dicirikan antara lain seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinis,

mengeluh tiada henti, marah tanpa sebab, gelisah, tidak peduli dengan orang lain,

putus asa, sedih, tertekan dan rasa tidak berdaya.

Kelelahan mental dicirikan antara lain dengan rasa benci, rasa gagal, tidak peka,

sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang

lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh

* Diterbitkan dalam Bunga Rampai Perpustakaan dan Informasi Dalam Konteks Budaya, 2006.

37

Page 2: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

tak acuh, selalu menyalahkan, rasa tidak puas terhadap pekerjaan, rendah diri dan

merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup.

Selanjutnya Sutjipto juga mengutip pendapat Cherniss (1980) yang menyatakan bahwa

burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara

psikologis dari pekerjaan, misalnya menjaga jarak dan bersikap sinis terhadap klien,

membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja. Pandangan Cherniss ini nampak

sejalan dengan pandangan Freudenberger (1974) bahwa seseorang dengan sikap antusias

tinggi dan penuh semangat pada awal bekerja biasanya mempunyai idealisme yang tinggi

pula. Namun, stres demi stres yang dialami terus menerus secara kronis menyebabkan orang

tersebut mengalami perubahan motivasi, dan pada akhirnya mengalami burnout.

2. Penyebab Burnout

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan

burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu tampak pada

interaksinya terhadap lingkungan kerja. Pandangan tersebut agak berbeda dengan yang

dikemukakan oleh Maslach (1982). Maslach berpendapat bahwa sumber utama timbulnya

burnout adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan

pemberi dan penerima pelayanan dalam jangka panjang. Namun, Maslach secara tersirat juga

mengakui bahwa ada faktor- faktor pendukung terciptanya kondisi burnout di lingkungan

kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis

juga diperlukan untuk mengkaji faktor-faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan

yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout. Dengan demikian timbulnya

burnout disebabkan oleh adanya:

1. karakteristik individu,

2. lingkungan kerja, dan

3. keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan.

1. Karakteristik Individu :

Sumber dari dalam diri individu yang memberi sumbangan timbulnya burnout dapat

digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Caputo, 1991;

Maslach, 1982; Farber, 1991).

38

Page 3: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

a. Faktor Demografik :

Farber (1991) dalam penelitiannya tentang kondisi stres dan burnout di kalangan guru-

guru di Amerika menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika

dibandingkan dengan wanita. Pria tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas

pria, dan mereka diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional.

Sebaliknya, wanita diharapkan untuk mempunyai sikap membimbing, empati, kasih

sayang, membantu, dan lembut hati. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita

memberi dampak berbeda pula pada pria dan wanita dalam menghadapi dan mengatasi

burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional

dengan orang lain akan rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang

lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap

kelelahan emosional.

Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang

berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah menikah (Farber,

1991; Maslach, 1982). Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang

tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat

burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah:

(1) seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua,

stabil, dan matang secara psikologis,

(2) keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang

dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional,

(3) kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam

mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan

(4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis

(Maslach, 1982).

Temuan lain adalah bahwa profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi

cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak

berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki

harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas bahwa

terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan

kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang

39

Page 4: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

berpendidikan sedang saja, cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga

tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan

burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout

jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith dalam Caputo

(1991) dalam penelitiannya pada staf perpustakaan menemukan bahwa individu yang

mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja purnawaktu

(fulltimer).

b. Faktor Kepribadian:

Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang

idealis dan antusias. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan,

dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika

imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak

pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Maslach (1982) mengatakan bahwa

individu yang memiliki konsep rendah diri rentan terhadap burnout. Mereka pada

umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah.

Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu yang selalu

berusaha melakukan pekerjaan sesempurna mungkin sehingga akan sangat mudah merasa

frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut

Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout.

Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu

karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (1982) menyatakan

bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif,

misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi

tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme

pertahanan diri (self-defence mechanism) secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam

permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional yang

memicu burnout.

2. Lingkungan Kerja dan Dukungan Sosial Rekan Sekerja

Seperti telah diungkapkan diatas, beban kerja yang berlebihan telah terbukti menjadi salah

satu faktor pemicu timbulnya burnout . Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi

pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien. Hal ini dapat

40

Page 5: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

mendorong pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari untuk

terlibat dengan klien (Maslach, 1982).

Kurangnya atau tidak adanya dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam

menyebabkan burnout . Sisi negatif dari lingkungan kerja yang dapat menimbulkan burnout

adalah hubungan antar rekan kerja yang buruk yang diwarnai dengan konflik, saling tidak

percaya, dan saling bermusuhan. Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang

potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu:

(1) perbedaan nilai-nilai yang dimiliki setiap individu,

(2) perbedaan persepsi dalam melihat permasalahan, dan

(3) kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi

Kurang atau tidak adanya dukungan sosial dari atasan juga dapat menjadi sumber stres

emosional yang berpotensi menimbulkan burnout.. Atasan yang tidak tanggap akan

mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan

merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak berarti.

3. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan

Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar

dan memahami orang lain yang sedang dalam keadaan menghadapi krisis, frustrasi,

ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger, 1974). Pemberi dan penerima pelayanan turut

membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara

tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat

memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.

Di samping hal tersebut, para pekerja sering menerima umpan balik yang negatif. Hal

ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan sehingga pemberi

layanan kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Seandainya

mereka dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian,

sebab masyarakat menganggap bahwa hal tersebut lumrah dan memang seharusnya seperti

itu.

Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima

pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka.

Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi

pelayanan akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan.

41

Page 6: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

4. Gejala Terkena Burnout

Cherniss (1980) menyatakan bahwa gejala-gejala seseorang mengalami burnout

adalah sebagai berikut :

(1) terdapat perasaan gagal di dalam diri,

(2) cepat marah dan sering kesal,

(3) rasa bersalah dan menyalahkan,

(4) keengganan dan ketidakberdayaan,

(5) bersikap negatif dan menarik diri

(6) perasaan capek dan lelah setiap hari,

(7) hilang perasaan positif terhadap klien,

(8) menunda kontak dengan klien, membatasi telepon dari klien

(9) bersikap sinis terhadap klien dan acap kali menyalahkan klien,

(10) sulit tidur sampai harus menggunakan obat penenang

(11) menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja,

(12) sering demam dan flu, sakit kepala dan gangguan pencernaan,

(13) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan,

(14) rasa curiga yang berlebihan; paranoid,

(15) konflik perkawinan dan keluarga yang berkepanjangan

Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena setiap individu mempunyai ketahanan

mental dan kondisi psikologis yang berbeda-beda.

5. Mengukur kondisi burnout dengan Maslach Burnout Inventory

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout dikembangkan oleh Maslach yang

dikenal sebagai Maslach Burnout Inventory (MBI). MBI diciptakan oleh Maslach dan

Jackson pada tahun 1981 untuk mengukur burnout pada pekerja bidang Pelayanan Sosial dan

dikenal sebagai MBI – Human Services Survey (MBI – HSS). MBI versi kedua kemudian

didesain bagi para pendidik yaitu MBI – Educators Survey (MBI – ES). Kedua versi tersebut

sama-sama terfokus pada jenis pekerjaan yang mengharuskan individu berinteraksi secara

intensif dengan orang lain yaitu klien dan pasien atau mahasiswa dan murid (Maslach,

Schaufeli & Leiter, 2001).

42

Page 7: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

Alat ukur MBI terdiri dari 22 item pertanyaan yang menggambarkan tiga

skala/dimensi pengukuran yaitu:

1. Physical Exhaustion (Kejenuhan Fisik)

2. Emotional Exhaustion/Depersonalization (Kejenuhan

Emosional/Depersonalisasi)

3. Personal Accomplishment (Pencapaian personal)

6. Rutinitas Kerja dan Stress di kalangan Pustakawan

Pekerjaan rutin yang dijalani oleh seorang pustakawan sangat berpotensi menjadi

penyebab stress. Hari-hari kerja “normal” seorang pustakawan, apapun jenis

perpustakaannya, selalu dipenuhi dengan interupsi, baik dari pengguna, sesama pustakawan

dan atasan, yang potensial menjadi penyebab stress. Interupsi yang dialamatkan kepada

pustakawan, yang pada umumnya berasal dari pengguna perpustakaan, menurut beberapa

penelitian lebih banyak diterima oleh pustakawan yang bertanggung jawab untuk pemberian

layanan rujukan. Hal ini cukup masuk akal, sebagai konsekwensi logis tugas pustakawan

rujukan yang harus berhadapan langsung dengan para pengguna. Keseharian tugas-tugas

pustakawan rujukan adalah mencari informasi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan pengguna. Kompleksitas proses pencarian informasi ini tergantung pada jenis

pertanyaaan dan bagaimana pustakawan memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pustakawan rujukan di perpustakaan yang dikelola dengan baik, menjadi “pemeran”

utama dari kegiatan pemberian layanan perpustakaan. Pengguna pada umumnya menaruh

harapan dan kepercayaan yang besar terhadap pustakawan rujukan dalam membantu

memenuhi kebutuhan informasi mereka.

Ragam dan tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan pengguna menuntut

pustakawan rujukan untuk selalu mengikuti perkembangan mutakhir dari berbagai disiplin

ilmu dan juga berbagai metode, teknik dan strategi pencarian informasi sehingga dia dapat

memberikan layanan rujukan yang benar-benar berorientasi kepada kepuasan pengguna

(customer’ satisfaction-oriented reference service). Ia dituntut untuk selalu mengikuti

perkembangan terakhir sumber- sumber informasi yang mempunyai karakteristik dan fitur-

fitur yang berbeda satu sama lainnya, dan yang dikemas dalam berbagai bentuk media

penyimpanan, tercetak dan non-tercetak.

43

Page 8: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

7. Beban Kerja Pustakawan Perguruan Tinggi dan Burnout

Para pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi khususnya pustakawan rujukan

pada umumnya mempunyai tugas tambahan sebagai fasilitator sesi-sesi bimbingan

penggunaan perpustakaan yang secara reguler diberikan kepada para mahasiswa baru dan

secara insidentil diberikan kepada kelompok pengguna lain seperti staf pengajar, peneliti dan

mahasiswa tingkat akhir. Disamping bertindak sebagai fasilitator sesi bimbingan pengguna,

para pustakawan ini pada umumnya menjadi pengembang modul-modul bimbingan

penggunaan perpustakaan tersebut, yang tentunya harus selalu diperbaharui dan disesuaikan

dengan kebutuhan informasi pengguna.

Beban kerja pustakawan perguruan tinggi secara kuantitatif meliputi jam kerja yang

panjang karena banyaknya jumlah individu yang harus dilayani, dan yang menyebabkan

tanggungjawab ekstra yang harus dipikul. Sedangkan contoh beban kerja dari aspek

kualitatif adalah tingkat kesulitan pekerjaan yang harus ditangani. Beban kerja kuantitatif

dan kualitatif ini masih ditambah dengan pekerjaan rutin serta pekerjaan administratif

lainnya, yang kesemuanya melampaui kapasitas dan kemampuan pustakawan.

Hal – hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor pemicu stress yang potensial

menjadi penyebab kondisi “burnout” pada pustakawan perguruan tinggi. Walaupun

penelitian tentang burnout dikalangan pustakawan belum sebanyak penelitian serupa yang

dilakukan untuk kelompok pemberi jasa lainnya seperti perawat, pekerja sosial, polisi, dan

akuntan, namun sejak tahun 1990an ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa

tingkat burnout dikalangan pustakawan cukup signifikan.

Burnout di perpustakaan adalah kelelahan yang disebabkan karena staf perpustakaan

dan pustakawan bekerja terlalu intens, terlalu berdedikasi dan menjunjung komitmen yang

tinggi, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama, sehingga tanpa mereka sadari, mereka

“mengabaikan” kebutuhan dan keinginan mereka sebagai individu. Mereka merasakan

adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Tekanan ini bisa

berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari pimpinan, dan dalam konteks perpustakaan

perguruan tinggi, tekanan yang signifikan berasal dari dari para pengguna. Adanya tuntutan-

tuntutan ini dapat menimbulkan rasa bersalah karena tidak bisa memenuhinya, yang

kemudian mendorong mereka untuk menambah enersi lebih banyak dan lebih besar dalam

upaya untuk memenuhi kebutuhan pengguna tersebut. Ketika realitas yang ada tidak

mendukung idealisme mereka, mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai

akhirnya enersi (fisik dan psikologis) pustakawan terkuras dan menyebabkan mereka

44

Page 9: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

mengalami kelelahan atau frustrasi karena pencapaian harapan yang terhalang.

(Freudenberger, 1974).

Janette S. Caputo, yang menulis Stress and Burnout in Library Services (1991)

mengidentifikasi bahwa pemicu stress (stressor) dunia kerja sangat tinggi korelasinya dengan

burnout. Stressor di dunia perpustakaan perguruan tinggi antara lain adalah remunerasi yang

rendah, beban kerja yang berat, lemahnya manajemen dan sistem pengawasan, rendahnya

apresiasi masyarakat pengguna terhadap profesi pustakawan, kurang jelasnya jenjang karir

pustakawan. Pada tahun 1990, Charles Patterson dan Donna Howell menemukan dalam

penelitian mereka atas para pustakawan yang tergabung dalam divisi Bibiliographic

Instruction Section of the Association of College and Research Libraries, bahwa sebanyak

39.3 persen menganggap bahwa burnout merupakan masalah dalam profesi mereka.

(Sheesley, 2001).

Selanjutnya pada tahun 1996, Mary Ann Affleck meneliti tingkat burnout 142

pustakawan di perguruan tinggi di wilayah New England menggunakan instrumen

psikometri Maslach Burnout Inventory. Affleck menemukan tingkat burnout yang

mencapai 52,8 persen.

Tim dan Zahra Baird (2005) mengutip pendapat Judith A Siess yang menulis Time

Management, Planning and Prioritization for Librarians (2002), yang mengatakan bahwa

kelebihan beban kerja adalah penyebab utama burnout. Ketika anggaran diperketat

sedangkan harapan (expectation) terhadap pustakawan meningkat, para pustakawan

dikondisikan untuk harus mengerjakan lebih banyak pekerjaan sedangkan terbatasnya

anggaran tidak memungkinkan mereka untuk merekrut tenaga tambahan.

8. Teknologi Informasi sebagai pemicu burnout pustakawan

Pemicu stress (stressor) yang “menghantui’ para pustakawan dalam satu dekade

terakhir ini adalah penetrasi teknologi informasi ke berbagai kegiatan in-griya perpustakaan

yang tidak diimbangi dengan program pelatihan dan peningkatan kemampuan mengelola

teknologi informasi. Implementasi teknologi informasi untuk mendukung kegiatan-

kegiatan perpustakaan secara teoritis seharusnya akan mengurangi beban pekerjaan rutin

pustakawan. Namun penerapan teknologi informasi tidak bisa berdiri sendiri dalam

perencanaan kegiatan suatu perpustakaan. Banyak sekali aspek-aspek pendukung yang perlu

dilakukan agar penerapan teknologi informasi tidak akan justru malah mengakibatkan

45

Page 10: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

bertambahnya beban kerja dan menimbulkan technostress terhadap para pustakawan yang

pada akhirnya mengarah ke kondisi burnout.

Technostress adalah istilah yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1980an di

kalangan pustakawan. Richard Hudiburg (1996) mengutip definisi technostress yang

diberikan oleh Craig Brod dalam bukunya berjudul Technostress: the Human Cost of the

Computer Revolution (1984) sebagai berikut:

Technostress is a modern disease of adaptation caused by an inability to cope with

the new computer technologies in a healthy manner. Technostress merupakan adaptasi

penyakit modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan menghadapi teknologi-teknologi

baru komputer dengan cara sehat.

Faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab burnout di kalangan pustakawan

perguruan tinggi menunjukkan kesamaan dengan faktor-faktor penyebab burnout di kalangan

profesi pemberi jasa lainnya seperti perawat dan pekerja sosial (Sheesley, 2001). Faktor-

faktor tersebut antara lain adalah:

pemberian sesi instruksi perpustakaan yang repetitif dalam frekuensi yang sangat

sering, terutama di awal masa perkuliahan dimana semua mahasiswa baru wajib

mengikuti sesi ini sebagai bagian dari rangkaian pekan orientasi mahasiswa. Hal ini

diperburuk dengan fasilitas teknologi informasi yang tidak memadai, akses ke

jaringan komputer dan ke Internet yang lambat, sehingga sesi instruksi perpustakaan

tidak lancar.

sikap para mahasiswa baru peserta sesi instruksi perpustakaan yang tidak

menunjukkan antusias dan perhatian terhadap sesi yang diberikan pustakawan,

walaupun hal ini bisa saja disebabkan karena padatnya waktu orientasi mahasiswa

yang sangat melelahkan.

Tidak ada atau kurangnya umpan balik positif yang diterima oleh pustakawan, dari

pengguna, manajemen, dan mungkin juga dari sesama pustakawan.

Adanya perasaan “terisolasi’ yang dialami oleh pustakawan perguruan tinggi.

Christina Maslach (1982) berpendapat bahwa timbulnya burnout adalah karena stres yang

dialami secara akumulatif akibat keterlibatan (seseorang) pemberi dengan penerima

pelayanan dalam jangka panjang.

Gambaran ini memberikan indikasi bahwa para pustakawan perguruan tinggi

46

Page 11: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

merupakan orang-orang yang mudah terkena burnout karena mereka secara terus menerus

dituntut untuk harus memberikan layanan (service) yang memuaskan kepada pengguna

perpustakaan, menghadapi tuntutan dan keluhan pengguna, disamping masih harus

melakukan rangkaian pekerjaan rutin dan non-rutin lainnya.

Secara alamiah, para pustakawan rujukan sebagai individu menyadari akan perlunya

mengantisipasi terjadinya stres dan burnout sehingga setiap individu berusaha menemukan

strategi atau teknik mengatasi stres atau burnout yang dialaminya. Namun demikian, sering

sekali strategi yang dipilih tidak efektif sehingga malah menambah intensitas stres dan

burnout. Kondisi ini seakan berupa lingkaran setan (viscious circle) yang terus berulang dan

memperparah keadaan. (Bopp & Smith, 2001).

Sehubungan dengan penjelasan di atas, adalah penting untuk mencari cara mengatasi

atau mengurangi burnout yang dialami oleh para pustakawan tersebut, sehingga pada

akhirnya mereka dapat lebih nyaman dalam bekerja, lebih produktif dan berdayaguna bagi

pengembangan perpustakaan dan lembaga yang menaunginya. Salah satu upaya yang bisa

dilakukan untuk mengatasi burnout adalah dengan menerapkan Proactive Coping Strategies

(Strategi Proaktif Mengatasi Stres).

Mengatasi stres di lingkungan pekerjaan sudah cukup banyak menjadi subjek

penelitian dan penulisan, dan senada dengan yang dinyatakan oleh Bopp, Greenglass (2001)

berpendapat bahwa strategi mengatasi stres kurang efektif dan biasanya lebih bersifat

reaktif, yaitu penerapan strategi penanganan stres setelah stres terlanjur terjadi.

Greenglass mengatakan bahwa mengatasi stres mempunyai fungsi-fungsi dan nilai

positif. Strategi Proaktif Mengatasi Stres adalah strategi yang multidimensi dan strategi

berpandangan kedepan (forward looking). Mengatasi Stres dengan Proaktif artinya

berantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya stressor (penyebab stres) dan

bertindak menghindari stressor potensial tersebut.

Alat ukur Maslach Burnout Inventory bisa digunakan untuk mengukur level burnout

para pekerja pemberi jasa termasuk di dalamnya pustakawan perguruan tinggi dengan

meminta mereka memilih jawaban yang paling mendekati dengan apa yang mereka rasakan,

dengan skala 1-10 yang berisi tingkat Tidak Setuju (=0) sampai Setuju (=10).

Rangkaian duapuluh dua pertanyaan dibawah ini diajukan kepada para responden

untuk mengetahui frekuensi terjadinya tiga aspek dari sindrom “burnout” sebagaimana yang

diidentifikasikan oleh Maslach yaitu Kejenuhan Fisik (Physical Exhaustion = PE),

Kejenuhan Emosional/ Depersonalisasi (Emotional Exhaustion/Depersonalization = EE +

DP) dan Pencapaian Diri/Personal (Personal Accomplishment = PA)

47

Page 12: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

Dua puluh dua pernyataan dalam Maslach Burnout Inventory tersebut adalah sebagai berikut:

1) Saya merasakan emosi saya terkuras karena pekerjaan (PE)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

2) Saya merasakan kelelahan fisik yang amat sangat di akhir hari kerja (PE)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

3) Saya merasa lesu ketika bangun pagi karena harus menjalani hari di tempat kerja untuk menghadapi klien (PE)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

4) Saya dengan mudah dapat memahami bagaimana perasaan klien tentang hal-hal ingin mereka penuhi dan mereka peroleh dari layanan yang saya berikan (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

5) Saya merasa bahwa saya memperlakukan beberapa klien seolah mereka objek impersonal (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

6) Menghadapi orang/klien dan bekerja untuk mereka seharian penuh membuat saya “tertekan”

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

7) Saya bisa menjawab dan melayani klien saya dengan efektif. (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

8) Saya merasa jenuh dan “burnout” karena pekerjaan saya (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

8) Saya merasa memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan orang lain melalui pekerjaan saya sebagai pemberi jasa (PA)

48

Page 13: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

9) Saya menjadi semakin “kaku” terhadap orang lain sejak saya bekerja sebagai pemberi jasa.(EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

10) Saya khawatir pekerjaan ini membuat saya “dingin” secara emosional (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

11) Saya merasa sangat bersemangat dalam melakukan pekerjaan saya dan dalam menghadapi para klien saya (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

13) Pekerjaan sebagai pemberi jasa membuat saya merasa frustasi (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

14) Saya merasa bekerja terlampau keras dalam pekerjaan saya (PE)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

15) Saya benar-benar tidak peduli pada apa yang terjadi terhadap klien saya (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

16) Menghadapi dan bekerja secara langsung dengan orang menyebabkan saya stress (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

17) Saya dengan mudah bisa menciptakan suasana yang santai/relaks dengan para klien

(PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

18) Saya merasa gembira setelah melakukan tugas saya untuk para klien secara langsung (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

49

Page 14: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

19) Saya telah mendapatkan dan mengalami banyak hal yang berharga dalam pekerjaan ini (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

20) Saya merasa seakan akan hidup dan karir saya tidak akan berubah (EE/D)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

21) Saya menghadapi masalah-masalah emosional dalam pekerjaan saya dengan tenang dan “kepala dingin” (PA)

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

22) Saya merasa para pengguna menyalahkan saya atas masalah-masalah yang mereka alami

Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

Pengukuran tingkat burnout dibagi menjadi empat (4) kategori berdasarkan jumlah angka

yang dihasilkan dari jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas, sebagai berikut:

0 – 2

Tingkatan ini menunjukkan bahwa seseorang merasa cukup bahagia. Skor yang

rendah adalah skor yang bagus – yang menunjukkan seseorang dapat mengatasi stres

dengan baik. Walaupun seseorang mengalami stres, tetapi ia dapat mengelola stres

dengan baik dan dapat membuat hidupnya berimbang. Orang –orang pada tingkatan

skor ini tidak akan mudah naik pitam, dan dapat menerima stress yang dialami dalam

perjalanan hidup.

3 – 5

Tingkatan ini menunjukkan perlunya memonitor situasi yang dihadapi dan

pengambilan tindakan jika keadaan yang dihadapi menjadi lebih buruk. Walaupun

tidak perlu diberi peringatan, namun orang pada tingkatan ini perlu meluangkan

waktu untuk merefleksi tindakan yang telah diambil untuk mempertimbangkan

penyebab stres yang dihadapi, apakah semakin mudah atau semakin sukar untuk

ditangani.

50

Page 15: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

6 – 8 -- Sinyal Kuning

Orang-orang pada tingkatan ini cenderung mudah terkena burnout. Ritme

kehidupannya cenderung “panas”. Ia sebaiknya berhenti sejenak dari kegiatan-

kegiatannya untuk menentukan prioritas kegiatan dan menghilangkan beberapa

penyebab stres. Orang pada tingkatan ini perlu pula memeriksakan kesehatan,

meninjau kembali tujuan hidup, keseimbangan antara kerja dan hiburan, dan sistem

dukungan sosial yang dimilikinya (keluarga, teman dan jaringan sosial lainnya).

9 – 10 -- Sinyal Merah

Mereka yang mendapatkan skor pada tingkatan ini sebaiknya segera berhenti untuk

beristirahat sebelum muncul tanda-tanda wake-up call yang lebih serius. Mereka

membutuhkan konsultansi dan nasihat, baik medis maupun psikologis agar terhindar

dari kondisi kehilangan kendali. Ia memerlukan istirahat serta menilai kembali hidup

dan pekerjaannya. Perolehan skor di tingkatan ini menunjukkan bahwa ia sedang

dalam tekanan stres berlebihan dalam waktu yang menerus dan sudah cukup lama.

Perlu diwaspadai bahwa manusia mempunyai batas toleransi fisik dan mental.

Diperlukan langkah-langkah konkrit untuk menanggulangi sinyal-sinyal bahaya yang

timbul, misalnya dengan berkonsultasi intensif dengan profesional dan mendapatkan

dukungan penuh berkesinambungan dari keluarga dan jaringan sosial yang

dimilikinya untuk mendapatkan masukan dan kemudian menentukan arahan masa

depan hidup selanjutnya.

9. Proactive Coping dan Proactive Coping Inventory

Sutjipto (2001) dalam artikelnya berjudul “Apakah anda mengalami burnout”

mendefinisikan coping sebagai: “proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, dan

kemampuan individu”. Terjemahan bebas yang digunakan dalam paper ini untuk coping

adalah penanggulangan. Seseorang pada umumnya mempunyai dan mengembangkan

sendiri-sendiri teknik penanggulangan untuk mengatasi stres di tempat kerja yang bisa

mengarah ke kondisi burnout.

Strategi/teknik penanggulangan individual ini menurut Steven Casano (2002) dapat

dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

51

Page 16: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

teknik mengeliminasi stres (stress elimination technique): individual yang

menerapkan teknik ini akan melakukan tindakan drastis dan langsung, misalnya

berganti pekerjaan,

teknik mengurangi stres (stress reduction technique) dilakukan dengan beberapa

langkah seperti: menetapkan ulang tujuan, belajar mengatakan “Tidak”; belajar

teknik-teknik relaksasi (meditasi, yoga); pergi berlibur; memperbaiki lingkungan

kerja (mengganti warna cat dinding, lampu, dan mengurangi kebisingan)

teknik mentolerir stres (stress tolerance technique): menjaga kesehatan mental dan

emosi dengan cara bersikap lebih asertif, tidak bersifat personal (taking things less

personally) berolahraga teratur dan menjaga pola makan.

Menurut Esther Greenglass dalam artikelnya Proactive Coping, Work Stress and

Burnout (2001), penanganan dan pencegahan stres dan burnout umumnya dilakukan secara

reaktif, artinya melakukan tindakan mengatasi dan mencegah stres dan burnout setelah stres

dan burnout terjadi. Sedangkan Proactive coping berarti penanggulangan yang dilakukan

secara proaktif oleh individu untuk mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, yang

umumnya dari luar diri individu, dengan kemampuan individu itu sendiri.

Perilaku proaktif (proactive behaviour) menurut Schwarzer seperti dikutip oleh

Greenglass (2001), adalah perilaku dari seseorang yang mampu mengenali kemungkinan

akan timbulnya potensi stressor dan mampu menghindarinya jauh sebelum stressor itu

terjadi. Schwarzer lebih lanjut mengatakan bahwa individu proaktif berupaya keras untuk

memperbaiki lingkungan kehidupannya. Penanggulangan proaktif bersifat otonomis

(autonomous), dan merupakan proses pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri oleh

seseorang. Penanggulangan proaktif adalah penegasan hal-hal yang memotivasi orang

tersebut dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, dan bagaimana ia bertekad (to commit)

mengelola kualitas personalnya. Seseorang yang mempunyai perilaku proaktif adalah orang

yang penuh ide (resourceful), bertanggungjawab (responsible) dan mempunyai prinsip

(principled).

Esther Greenglass lebih lanjut mengatakan bahwa individu yang melakukan

penanggulangan proaktif adalah individu yang memiliki visi. Ia bisa melihat risiko, tuntutan

dan kesempatan yang akan terjadi di masa depan, namun ia tidak menganggap hal-hal

tersebut sebagai ancaman, bahaya atau kerugian. Sebaliknya, ia melihat hal-hal tersebut

sebagai tantangan. Proactive coping adalah goal management dan bukan risk management.

Penanggulangan proaktif yang diterapkan oleh seseorang, ditandai oleh tiga hal:

52

Page 17: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

mengintegrasikan strategi perencanaan dan pencegahan dengan pencapaian tujuan

yang ditetapkan sendiri oleh individu tersebut

mengintegrasikan pencapaian tujuan proaktif dengan pengidentifikasian dan

pemanfaatan sumber-sumber sosial

memanfaatkan penanggulangan proaktif emosional untuk pencapaian tujuan yang

ditetapkan sendiri oleh individu tersebut.

Pada tahun 1999, Greenglass memperkenalkan alat ukur psikometri Proactive Coping

Inventory (PCI) yang terdiri dari 7 rangkaian pengukuran (sub-scale) yang dikembangkan

untuk menilai berbagai aspek penanggulangan proaktif. Ke tujuh subscale tersebut adalah:

1. Proactive Coping Scale: terdiri dari 14 item yang mengkombinasikan penetapan

tujuan secara otonomis dengan perilaku dan kognisi pencapaian tujuan yang

ditetapkan sendiri.

2. Reflective Coping Scale, (11 item) menjelaskan simulasi dan kontemplasi tentang

alternatif-alternatif perilaku yang mungkin dilakukan, dengan jalan membandingkan

efektifitas dari masing-masing perilaku tersebut, termasuk dalam proses ini adalah

curah pendapat (brainstorming), menganalisa masalah dan sumber-sumbernya, serta

mengupayakan rencana kegiatan hipotetikal.

3. Strategic Planning Scale (4 item) berfokus pada proses pembuatan jadwal kegiatan

yang berorientasi pada tujuan, dimana tugas-tugas yang ekstensif dibagi-bagi

menjadi komponen yang manageable.

4. Preventive Coping Scale (10 item) meliputi antisipasi tindakan terhadap stressor

potensial dan persiapan yang perlu dilakukan sebelum stressor berkembang penuh.

5. Instrumental Support Seeking Scale (8 item) berfokus pada usaha mendapatkan

nasihat, informasi dan feedback dari orang-orang yang tergabung dalam jaringan

sosial seseorang, ketika berhadapan dengan stressor.

6. Emotional Support Seeking Scale (5 item) ditujukan pada upaya mengatur emotional

distress temporer dengan jalan menceritakan kepada orang lain hal-hal yang dialami

individu untuk memperoleh empati dan mencari pendampingan dari jaringan sosial

yang dimiliki individu tersebut.

7. Avoidance Coping Scale diukur dengan 3 item yang menggambarkan penghindaran

tindakan jika menghadapi masalah dengan jalan menunda.

53

Page 18: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

Dalam penelitiannya yang mengambil sampel 178 orang profesional di satu kota

besar di Kanada, Greenglass menggunakan salah satu perangkat PCI, yaitu Proactive

Coping Scale untuk mengetahui dan membuktikan efek dari instrumen ini dalam mengatasi

dan mengurangi burnout. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa Penanggulangan Proaktif

adalah strategi yang bermanfaat mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, dan

kemampuan individu, dan terbukti bisa digunakan untuk mengatasi burnout karena:

Penanggulangan proaktif menggabungkan dan memanfaatkan sumber-sumber sosial

dan non-sosial;

Penanggulangan proaktif menggunakan strategi emosional positif dan mengacu

pada visi-visi keberhasilan.

Penanggulangan proaktif meliputi penentuan tujuan dan cara pencapaian tujuan

tersebut.

Berikut ini adalah item-item Proactive Coping Scale yang sudah diadaptasi

kedalam bahasa Indonesia, berupa pernyataan-pernyataan yang menggambarkan reaksi seseorang

jika menghadapi situasi situasi tertentu. Skor tanggapan atas pernyataan-pernyataan dibawah ini

adalah dalam rentang 1 sampai 4 sebagai berikut:

1 = sama sekali tidak benar (not at all true)

2 = hampir benar (barely true)

3 = mungkin benar (somewhat true)

4 = sangat benar (completely true)

1 Saya adalah orang “pengambil inisiatif”

2 Saya mencoba membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya(-)

3 Setelah mencapai satu tujuan, saya mencari tujuan lain yang lebih menantang

4 Saya menyukai tantangan dan melawan hal yang “normal”

5 Saya memvisualisasikan mimpi dan mencoba mencapainya

6 Walau mengalami beberapa kegagalan, saya biasanya berhasil mendapatkan yang saya

inginkan

7 Saya mencoba untuk menjurus ke hal-hal yang saya perlukan untuk keberhasilan

8 Saya selalu mencoba menemukan cara untuk menghindari hambatan-hambatan; tidak

ada hal apapun yang bisa menghentikan saya

54

Page 19: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

9 Saya sering mengalami kegagalan, karena itu saya tidak menaruh harapan terlalu tinggi

(-)

10 Jika saya melamar suatu posisi, saya membayangkan diri saya menempati posisi

tersebut

11 Saya merubah hambatan-hambatan menjadi pengalaman-pengalaman positif

12 Kalau seseorang mengatakan pada saya bahwa saya tidak mampu melakukan sesuatu,

anda saya yakinkan bahwa saya akan melakukan hal tersebut

13 Kalau saya mengalami masalah, saya mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah

tersebut

14 Kalau saya menghadapi masalah, saya biasanya menempatkan diri saya pada no-win

situation (-)

(-) Reverse items

10. Kesimpulan

Apabila kondisi burnout yang dialami oleh staf perpustakaan dan pustakawan

dibiarkan berlarut-larut, maka para pustakawan ini akan benar-benar mengalami burnout

yang pada akhirnya akan merugikan stakeholders perpustakaan termasuk pustakawannya

sendiri.

Kondisi burnout yang dialami para pustakawan bukanlah hal yang tidak bisa

dihindari. Penulis beranggapan bahwa pengukuran kondisi burnout yang menggunakan

instrumen ukur Maslach Burnout Inventory pada para pekerja pemberian jasa termasuk para

staf perpustakaan dan juga pustakawan rujukan, perlu ditindaklanjuti dengan penggunaan

instrumen ukur Proactive Coping Inventory (PCI) . Dengan instrumen ukur PCI,

diharapkan kondisi burnout yang terdeteksi dapat dikurangi dan dihilangkan jika sudah

terlanjur terjadi, dan sebaiknya diantisipasi untuk dihindari, jika kondisi burnout belum

terjadi.

Menurut penulis, pustakawan yang telah terlanjur mengalami burnout, yaitu mereka

yang telah berada di tingkatan sinyal kuning dan sinyal merah berdasarkan perolehan skor

Maschlach Burnout Inventory, perlu mengikuti program konseling menggunakan instrumen

ukur Proactive Coping Inventory. Seyogyanya penggunaan instrumen ukur MBI untuk

mengetahui kondisi burnout, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggunaan instrumen

55

Page 20: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

ukur PCI, perlu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dan kualifikasi

sesuai.

56

Page 21: bab3-burnoutpadapustakawan8feb2006

Burnout pada pustakawan

Bibliografi

Baird, Tim & Baird, Zahra.M. (2005). Running on empty: dealing with burnout in the library setting.

Bopp, Richard E., and Linda C. Smith. (2001). "Stress and Burnout." In Reference and Information Service, 18-19. Englewood: Libraries Unlimited, Inc.

Caputo, Janette S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix, Oryx Press. Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American Teacher.

Oxford: Jossey – Bass.Freudenberger, H. J. (1974). “Staff burnout.” Journal of Social Issues, 30(1), pp. 159-165Greenglass, Esther R. (2001). “Proactive coping, work stress and burnout.” Stress News, 13,

no.2Hudiburg, R.A., and Necessary, J.R. (1996b). “Coping with computer stress.” Journal of

Educational Computing Research, 15, pp.107-118. http://www2.una.edu/psychology/hudiburg.htm Diakses 25 Juni, 2005

Maslach, C. & Jackson, S. E. (1981). ”The measurement of experienced burnout.” Journal of Occupational Behavior, 2, 99-113.

Sheesley, Deborah F.(2001). “Burnout and the academic teaching librarian: an examination of the problem and suggested solutions.” Journal of Academic Librarianship 27, pp. 447 – 451

Sutjipto. 2002. Apakah anda mengalami burnout?http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm. Diakses 25 Juni 2005.

57