24
BAB1 PENDAHULUAN I.1 Lokasi Daerah Penelitian Daerah penelitian secara administratif termasuk daerah SDN Mendiro Ngentak Rejo Lendah, Kulon Progo. Alamat daerah Wonopolo, Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, DIY. 1.2 Geologi Regional I.2.1. Fisiografi Regional Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome. Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu : A. Satuan Pegunungan Kulon Progo Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 – 1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 15 0 – 16 0 . Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari

Bab

Embed Size (px)

DESCRIPTION

.

Citation preview

Page 1: Bab

BAB1

PENDAHULUAN

I.1 Lokasi Daerah Penelitian

Daerah penelitian secara administratif termasuk daerah SDN Mendiro Ngentak Rejo

Lendah, Kulon Progo. Alamat daerah Wonopolo, Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, DIY.

1.2 Geologi Regional

I.2.1. Fisiografi Regional

Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian

selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas yang terkenal

dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift

yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan

panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20

km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.

Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi

beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :

A. Satuan Pegunungan Kulon Progo

Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 –

1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160.

Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan

dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi

kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo

ini sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan

tegalan.

B. Satuan Perbukitan Sentolo

Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan terpotong

oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan

Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas

permukaan air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan

perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.

Page 2: Bab

C. Satuan Teras Progo

Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan

disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan

dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo

D. Satuan Dataran Alluvial

Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya

meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah.

Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk

pemukiman dan lahan persawahan.

E. Satuan Dataran Pantai

Subsatuan Gumuk Pasir

Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan

Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai

selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran

besar dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan

tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan

aktivitas angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk

gumuk – gumuk pasir.

Subsatuan Dataran Alluvial Pantai

Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk

pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari

subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai

gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan pemukiman

penduduk.

I.2.2. Struktur Geologi Regional

Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang dikelilingi

oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :

1. Struktur Dome

Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan

merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW

dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran

Page 3: Bab

yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan

dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan

tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome.

Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona

tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah

mempunyai puncak yang relative datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal.

Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower burdigalian

terjadai penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut yang

menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan

sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung Menoreh denagn

vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo merupakan

dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa dengan

ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo

terkubahkan selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang

memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong

batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.

Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van

Bemmelen (1945, hlm. 596).

2. Unconformity

Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan

(disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah

dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan

tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara

Page 4: Bab

tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan

secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.

I.2.3. Stratigrafi Regional

Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi regional

menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac Donald dan

partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :

1. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan

lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping

dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.

berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan

sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali

Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi

menjadi 3, yaitu :

Axinea Beds

Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut

pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral,

axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.

Yogyakarta beds

Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn

ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi nodule,

napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung banyak

fosil poraminifera besar dan gastropoda.

Discocyclina beds

Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds

denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi

dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan

batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.

Page 5: Bab

2. Formasi Andesit Tua

Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,

tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang

tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras

dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini

formasi ini berumur oligosen – miosen.

3. Formasi Jonggrangan

Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,

batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya

terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu

gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak

selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan

berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,

pelecypoda dan gastropoda.

4. Formasi Sentolo

Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan

dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan

formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi

jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai

pleistosen.

Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo dikelompokkan

menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya. Formasi tersebut dimulai

dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :

1. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan

lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping

dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.

berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan

sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali

Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi

menjadi 3, yaitu

Page 6: Bab

Axinea Beds

Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari

abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies

litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.

Yogyakarta beds

Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras

denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi

nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung

banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.

Discocyclina beds

Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta

beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi

dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan

batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.

2. Formasi Andesit Tua

Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,

tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang

tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras

dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini

formasi ini berumur oligosen – miosen.

3. Formasi Jonggrangan

Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,

batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya

terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu

gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak

selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan

berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,

pelecypoda dan gastropoda.

4. Formasi Sentolo

Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan

dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan

Page 7: Bab

formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi

jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai

pleistosen.

5. Formasi Alluvial dan gumuk pasir

Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang

umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang

juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir

baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari

batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara

berselang – seling.

Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk

dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya

berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari

penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton

seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan

applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan

berumur Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada

bagian terbawah gunung berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit

tua diperkirakan berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan

660 m.

I.3. Formasi Daerah Penelitian

Daerah telitian termasuk dalam Formasi Sentolo. Litologi penyusun Formasi Sentolo

ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi

Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal,

menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur

Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975)

dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN &

STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut

menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow,

1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi

Page 8: Bab

Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar

antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai

ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977).

1.4 Tahap Penelitian

Kualitas Sampel

Kualitas sampel batuan perlu diperhatikan agar fosil mikro yang didapatkan baik

untuk dideterminasi atau dianalisa. Untuk mendapatkan fosil yang baik maka dalam

pengambilan suatu contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi harus memenuhi kriteria

berikut ini:

Bersih

Sebelum merngambil contoh batuan yang dimaksud, kita harus membersihkannya dari

lapisan-lapisan pengotor yang menyelimutinya. Bersihkan dengan pisau kecil dari

pelapukan ataupun akar tumbuh-tumbuhan, juga dari polen dan serbuk sari tumbuh-

tumbuhan yang hidup sekarang. Khusus untuk sampel pada analisa Palynologi, sampel

tersebut harus terlindung dari udara terbuka karena dalam udara banyak mengadung polen dan

serbuk sari yang dapat menempel pada batuan tersebut. Suatu cara yang cukup baik, bisa

dilkukan dengan memasukkan sampel yang sudah dibersihkan tersebut kedalam lubang

metal/fiberglass yang bersih dan bebas karat. Atau dapat juga kita mengambil contoh batuan

yang agak besar, baru kemudian sesaat akan dilkukan preparasi kita bersihkan dan diambil bagian

dalam/inti dari contoh batuan tersebut.

Representif dan Komplit

Harus dipisahkan dengan jelas antara contoh batuan yang mewakili suatu sisipan

ataupun suatu lapisan batuan. Untuk studi yang lengkap, ambil sekitar 200-500 gram

batuan sedimen yang sudah dibersihkan. Untuk batuan yang diduga sedikit mengandung

mikrofosil, berat contohnya lebih baik dilebihkan. Sebaliknya pada analisa nannoplankton

hanya dibutuhkan beberapa gram saja untuk setiap sampelnya.

Pasti

Apabila sampel tersebut terkemas dengan baik dalam suatu kemasan kedap air (plastik)

yang diatasnya tertulis dengan tinta tahan air, segala keterangan penting tentang sampel

tersebut seperti nomor sampel, lokasi (kedalaman), jenis batuan, waktu pengambilan dan

sebagainya maka hasil analisa sampel tersebut akan pasti manfaatnya.

Page 9: Bab

Jenis-Jenis Sampel

Secara garis besar, jenis sampel apat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

Sampel permukaan (surface sample). Adalah sample yang diambil pada permukaan

tanah. Lokasi dan posisi stratigrafinya dapat diplot dalam peta. Sampel bawah

permukaan (sub surface sample).

Sampel bawah permukaan adalah sampel yang diambil dari suatu pengeboran. Dari

cara pengambilannya, sampel bawah permukaan ini dapat dipisahkan menjadi 4 bagian,

yaitu :

1. inti bor (core); seluruh bagian lapisan pada kedalaman tertentu diambil secara utuh.

2. sampel hancuran (ditch-cutting); lapisan pada kedalaman tertentu dihancurkan dan

dipompa ke luar dan kemudian ditampung.

3. sampel sisi bor (side-wall core); diambil dari sisi-sisi dinding bor dari lapisan pada

kedalaman tertentu.

4. Setiap pada kedalaman tertentu pengambilan sampel harus dicatat dengan cermat dan

kemungkinan adanya fosil-fosil runtuhan (caving).

Preparasi Fosil

Preparasi adalah proses pemisahan fosil dari batuan dan material pengotor lainnya. Setiap

jenis fosil memerlukan metode preparasi yang. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk

memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material lempung (matrik) yang

menyelimutinya.

Untuk setiap jenis mikrofosil, mempunyai teknik preparasi tersendiri. Polusi, terkontaminasi

dan kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian label, harus tetap menjadi

perhatian agar mendapatkan hasil optimum. Beberapa contoh teknik preparasi untuk foraminifera

& ostracoda, nannoplankton dan pollen dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

Foraminifera kecil & Ostracoda

Untuk mengambil foraminifra kecil dan Ostracoda, maka perlu dilakukan preparasi dengan

metoda residu. Metoda ini biasanya dipergunakan pada batuan sedimen klastik halus-sedang,

seperti lempung, serpih, lanau, batupasir gampingan dan sebagainya.

Caranya adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Ambil ± 100 – 300 gram sedimen kering.

Page 10: Bab

2. Apabila sedimen tersebut keras-agak keras, maka harus dipecah secara perlahan dengan

menumbuknya mempergunakan lalu besi/porselen.

3. setelah agak halus, maka sedimen tersebut dimasukkan ke dalam mangkok dan dilarutkan

dengan H2O2 (10 – 15%) secukupnya untuk memisahkan mikrofosil dalam batuan tersebut

dari matriks (lempung) yang melingkupinya.

4. Biarkan selama ± 2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi.

5. Setelah tidak terjadi reaksi, kemudian seluruh residu tersebut dicuci dengan air yang deras

diatas saringan yang berukuran dari atas ke bawah adalah 30-80-100 mesh.

6. Residu yang tertinggal pada saringan 80 & 100 mesh, diambil dan kemudian dikeringkan

didalam oven (± 600 C).

7. Setelah kering, residu tersebut dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai dengan

nomor sampel yang dipreparasi.

8. Sampel siap dideterminasi.

Keterangan gambar:

a. Saringan dengan 30 - 80 – 100 mesh

b. Wadah pengamatan mikrofosil.

c. Jarum penguntik.

d. Slide karton (model Jerman, 40 x 25 mm )

Gambar 1.1 Peralatan standar yang dibutuhkan pada preparasi dan observasi

Page 11: Bab

e. Slide karton (model internasional, 75 x 25 mm

Foraminifera besar

Istilah foram besar diberikan untuk golongan foram bentos yang memiliki ukuran relative

besar, jumlah kamar relative banyak, dan struktur dalam kompleks. Umumnya foram besar

banyak dijumpai pada batuan karbonat khususnya batugamping terumbu dan biasanya

berasosiasi dengan algae yang menghasilkan CaCO3 untuk test foram itu sendiri.

Di Indonesia foraminifera bentos besar sangat banyak ditemukan dan bisa digunakan untuk

menentukan umur relatif batuan sedimen dengan menggunakan zonasi foraminifera bentos

besar berdasarkan Adams (1970), dengan demikian untuk menganalisanya dilakukan dengan

mempergunakan sayatan tipis. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

1. Contoh batuan yang akan dianalisis disayat terlebih dahulu dengan mesin penyayat/gurinda.

Arah sayatan diusahakan memotong struktur tubuh foraminifera besar yang ada

didalamnya.

2. Setelah mendapatkan arah sayatan yang dimaksud, contoh tersebut ditipiskan pada kedua

sisinya.

3. Poleskan salah satu sisi contoh tersebut dengan mempergunakan bahan abrasif

(karbondum) dan air.

4. Setelah itu, tempel sisi tersebut pada objektif gelas (ukuran internasional 43 x 30 mm)

dengan mempergunakan Kanada Balsam.

5. Tipiskan kembali sisi lainnya hingga contoh tersebut menjadi transparan dan biasanya

ketebalan sekitar 30-50 μm.

6. Setelah ketebalan yang dimaksud tercapai, teteskan Kanada Balsam secukupnya dan

kemudian ditutup dengan “cover glass”. Beri label.

7. Sampel siap dideterminasi

Nannoplankton

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop optik. Dapat dilakukan dengan dua metode

preparasi, yaitu:

Quick smear-slide/metode poles

Smear slide/metode suspense

1. Ambil satu keping contoh batuan segar sebesar 10 gr., bersihkan dari kotoran yang

menempel dengan sikat halus.

Page 12: Bab

2. Cungkil bagian dalam dari sampel tersebut dan letakkan cukilan tersebut di atas objektif

gelas.

3. Beri beberapa tetes aquades untuk melarutkan batuannya dan ratakan.

4. Buang kerikil-kerikil yang kasar yang tidak larut.

5. Panaskan dengan hot plate objektif gelas tersebut hingga larutan tersebut kering.

6. Setelah kering, bersihkan/tipiskan dengan cover glass supaya lebih homogen dan tipis.

7. Biarkan mendingin, beri label, sampel siap dideterminasi.

Smear Slide / Metode suspensi

Membutuhkan waktu yang lama, namun hasilnya lebih baik.

1. Ambil contoh batuan dengan berat 10-25 gr. Bersihkan dan usahakan diambil dari sampel

yang segar.

2. Larutkan dalam tabung gelas dengan aquades dan sedikit Natrium bikarbonat (Na2Co3).

3. Masukkan tabung tersebut kedalam ultrasonik vibrator 1 jam tergantung pada kerasnya

sampel.

4. Saring larutan tersebut dengan mesh 200, kemudian tampung suspensi dan butiran halusnya

kedalam bejana gelas.

5. Biarkan suspensi tersebut mengendap.

6. Teteskan 1-2 tetes pipet kecil dari larutan tersebut di atas gelas objektif dan panaskan dengan

hot plate.

7. Setelah kering teteskan kanada balsam dan dipanaskan hingga lem tersebut matang dan tutup

dengan cover glass.

8. Dinginkan dan beri label.

9. Sampel siap dideterminasi.

Polen

Untuk melepaskan pollen/spora dari mineral-mineral yang melimgkupinya, dapat dilakukan

dengan beberpa tahap preparasi yang mebutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas

Page 13: Bab

laboratorium yang lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung-tabung reaksi, sentrifugal

dan sebagainya. Beberapa larutan kimia yang dibutuhkan adalah: HCl, HF, KOH, dan HNO3

Penyajian Mikrofosil

Dalam penyajian mikrofosil ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan morfologi rincian mikrofosil dengan mempergunakan miroskop.

Setelah sampel batuan selesai direparasi, hasilnya yang berupa residu ataupun berbentuk

sayatan pada gelas objek diamati di bawah mikroskop. Mikroskop yang dipergunakan tergantung

pada jenis preparasi dan analisis yang dilakukan. Secara umum terdapat tiga jenis mikroskop yang

dipergunakan, yaitu mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi dan mikroskop scanning-elektron

(SEM).

2. Determinasi

Determinasi merupakan tahap akhir dari pekerjaan mikropaleontologis di laboratorium, tetapi

juga merupakan tahap awal dari pekerjaan penting selanjutnya, yaitu sintesis. Tujuan determinasi

adalah menentukan nama genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi

semua sifat fisik dan kenampakan optik mikrofosil tersebut.

Page 14: Bab

BAB 2

PEMBAHASAN

Measuring sistem

Page 15: Bab

Analisa umur

Berdasarkan foraminifera plangtonik yang kami deskripsi, maka umur yang di

dapatkan adalah berkisar antara miosen awal – pleosen ( Zona N7 – N21).

Analisa lingkungan pengendapan

Berdasarkan foraminifera bentonik yang kami deskripsi, maka lingkungan

pengendapan yang di dapatkan berupa daerah neritik.

Page 16: Bab

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Dari data yang kami ambil maka berdasarkan foraminifera plangtonik yang kami

deskripsi, maka umur yang di dapatkan adalah berkisar antara miosen awal – pleosen ( Zona

N7 – N21). Dan berdasarkan foraminifera bentonik yang kami deskripsi, maka lingkungan

pengendapan yang di dapatkan berupa daerah neritik.

Page 17: Bab

DAFTAR PUSTAKA

http://ptbudie.wordpress.com/2009/02/01/pegunungan-selatan/

http://geologitfugm.blogspot.com/2012/11/geologi-regional-kulon-progo_13.html

http://www.academia.edu/

Page 18: Bab

Lampiran (terlampir)