Upload
fatima-tush-sholihah
View
8
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
.
Citation preview
BAB1
PENDAHULUAN
I.1 Lokasi Daerah Penelitian
Daerah penelitian secara administratif termasuk daerah SDN Mendiro Ngentak Rejo
Lendah, Kulon Progo. Alamat daerah Wonopolo, Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, DIY.
1.2 Geologi Regional
I.2.1. Fisiografi Regional
Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian
selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas yang terkenal
dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift
yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan
panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20
km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi
beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :
A. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 –
1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160.
Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan
dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi
kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo
ini sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan
tegalan.
B. Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan terpotong
oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan
Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas
permukaan air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan
perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.
C. Satuan Teras Progo
Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan
disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan
dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo
D. Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya
meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah.
Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk
pemukiman dan lahan persawahan.
E. Satuan Dataran Pantai
Subsatuan Gumuk Pasir
Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan
Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai
selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran
besar dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan
tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan
aktivitas angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk
gumuk – gumuk pasir.
Subsatuan Dataran Alluvial Pantai
Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk
pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari
subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai
gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan pemukiman
penduduk.
I.2.2. Struktur Geologi Regional
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang dikelilingi
oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :
1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan
merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW
dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran
yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan
dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan
tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome.
Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona
tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah
mempunyai puncak yang relative datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal.
Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower burdigalian
terjadai penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut yang
menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan
sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung Menoreh denagn
vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo merupakan
dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa dengan
ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo
terkubahkan selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang
memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong
batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.
Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van
Bemmelen (1945, hlm. 596).
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan
(disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah
dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan
tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara
tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan
secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.
I.2.3. Stratigrafi Regional
Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi regional
menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac Donald dan
partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan
lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping
dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.
berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan
sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali
Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi
menjadi 3, yaitu :
Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut
pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral,
axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn
ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi nodule,
napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung banyak
fosil poraminifera besar dan gastropoda.
Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds
denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi
dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan
batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya
terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu
gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak
selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan
berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,
pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan
formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen.
Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo dikelompokkan
menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya. Formasi tersebut dimulai
dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan
lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping
dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.
berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan
sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali
Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi
menjadi 3, yaitu
Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari
abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies
litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras
denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi
nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung
banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta
beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi
dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan
batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya
terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu
gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak
selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan
berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,
pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan
formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen.
5. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang
umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang
juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir
baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari
batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara
berselang – seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk
dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya
berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari
penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton
seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan
applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan
berumur Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada
bagian terbawah gunung berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit
tua diperkirakan berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan
660 m.
I.3. Formasi Daerah Penelitian
Daerah telitian termasuk dalam Formasi Sentolo. Litologi penyusun Formasi Sentolo
ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi
Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal,
menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur
Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975)
dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN &
STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut
menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow,
1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi
Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar
antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai
ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977).
1.4 Tahap Penelitian
Kualitas Sampel
Kualitas sampel batuan perlu diperhatikan agar fosil mikro yang didapatkan baik
untuk dideterminasi atau dianalisa. Untuk mendapatkan fosil yang baik maka dalam
pengambilan suatu contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi harus memenuhi kriteria
berikut ini:
Bersih
Sebelum merngambil contoh batuan yang dimaksud, kita harus membersihkannya dari
lapisan-lapisan pengotor yang menyelimutinya. Bersihkan dengan pisau kecil dari
pelapukan ataupun akar tumbuh-tumbuhan, juga dari polen dan serbuk sari tumbuh-
tumbuhan yang hidup sekarang. Khusus untuk sampel pada analisa Palynologi, sampel
tersebut harus terlindung dari udara terbuka karena dalam udara banyak mengadung polen dan
serbuk sari yang dapat menempel pada batuan tersebut. Suatu cara yang cukup baik, bisa
dilkukan dengan memasukkan sampel yang sudah dibersihkan tersebut kedalam lubang
metal/fiberglass yang bersih dan bebas karat. Atau dapat juga kita mengambil contoh batuan
yang agak besar, baru kemudian sesaat akan dilkukan preparasi kita bersihkan dan diambil bagian
dalam/inti dari contoh batuan tersebut.
Representif dan Komplit
Harus dipisahkan dengan jelas antara contoh batuan yang mewakili suatu sisipan
ataupun suatu lapisan batuan. Untuk studi yang lengkap, ambil sekitar 200-500 gram
batuan sedimen yang sudah dibersihkan. Untuk batuan yang diduga sedikit mengandung
mikrofosil, berat contohnya lebih baik dilebihkan. Sebaliknya pada analisa nannoplankton
hanya dibutuhkan beberapa gram saja untuk setiap sampelnya.
Pasti
Apabila sampel tersebut terkemas dengan baik dalam suatu kemasan kedap air (plastik)
yang diatasnya tertulis dengan tinta tahan air, segala keterangan penting tentang sampel
tersebut seperti nomor sampel, lokasi (kedalaman), jenis batuan, waktu pengambilan dan
sebagainya maka hasil analisa sampel tersebut akan pasti manfaatnya.
Jenis-Jenis Sampel
Secara garis besar, jenis sampel apat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
Sampel permukaan (surface sample). Adalah sample yang diambil pada permukaan
tanah. Lokasi dan posisi stratigrafinya dapat diplot dalam peta. Sampel bawah
permukaan (sub surface sample).
Sampel bawah permukaan adalah sampel yang diambil dari suatu pengeboran. Dari
cara pengambilannya, sampel bawah permukaan ini dapat dipisahkan menjadi 4 bagian,
yaitu :
1. inti bor (core); seluruh bagian lapisan pada kedalaman tertentu diambil secara utuh.
2. sampel hancuran (ditch-cutting); lapisan pada kedalaman tertentu dihancurkan dan
dipompa ke luar dan kemudian ditampung.
3. sampel sisi bor (side-wall core); diambil dari sisi-sisi dinding bor dari lapisan pada
kedalaman tertentu.
4. Setiap pada kedalaman tertentu pengambilan sampel harus dicatat dengan cermat dan
kemungkinan adanya fosil-fosil runtuhan (caving).
Preparasi Fosil
Preparasi adalah proses pemisahan fosil dari batuan dan material pengotor lainnya. Setiap
jenis fosil memerlukan metode preparasi yang. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk
memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material lempung (matrik) yang
menyelimutinya.
Untuk setiap jenis mikrofosil, mempunyai teknik preparasi tersendiri. Polusi, terkontaminasi
dan kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian label, harus tetap menjadi
perhatian agar mendapatkan hasil optimum. Beberapa contoh teknik preparasi untuk foraminifera
& ostracoda, nannoplankton dan pollen dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Foraminifera kecil & Ostracoda
Untuk mengambil foraminifra kecil dan Ostracoda, maka perlu dilakukan preparasi dengan
metoda residu. Metoda ini biasanya dipergunakan pada batuan sedimen klastik halus-sedang,
seperti lempung, serpih, lanau, batupasir gampingan dan sebagainya.
Caranya adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Ambil ± 100 – 300 gram sedimen kering.
2. Apabila sedimen tersebut keras-agak keras, maka harus dipecah secara perlahan dengan
menumbuknya mempergunakan lalu besi/porselen.
3. setelah agak halus, maka sedimen tersebut dimasukkan ke dalam mangkok dan dilarutkan
dengan H2O2 (10 – 15%) secukupnya untuk memisahkan mikrofosil dalam batuan tersebut
dari matriks (lempung) yang melingkupinya.
4. Biarkan selama ± 2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi.
5. Setelah tidak terjadi reaksi, kemudian seluruh residu tersebut dicuci dengan air yang deras
diatas saringan yang berukuran dari atas ke bawah adalah 30-80-100 mesh.
6. Residu yang tertinggal pada saringan 80 & 100 mesh, diambil dan kemudian dikeringkan
didalam oven (± 600 C).
7. Setelah kering, residu tersebut dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai dengan
nomor sampel yang dipreparasi.
8. Sampel siap dideterminasi.
Keterangan gambar:
a. Saringan dengan 30 - 80 – 100 mesh
b. Wadah pengamatan mikrofosil.
c. Jarum penguntik.
d. Slide karton (model Jerman, 40 x 25 mm )
Gambar 1.1 Peralatan standar yang dibutuhkan pada preparasi dan observasi
e. Slide karton (model internasional, 75 x 25 mm
Foraminifera besar
Istilah foram besar diberikan untuk golongan foram bentos yang memiliki ukuran relative
besar, jumlah kamar relative banyak, dan struktur dalam kompleks. Umumnya foram besar
banyak dijumpai pada batuan karbonat khususnya batugamping terumbu dan biasanya
berasosiasi dengan algae yang menghasilkan CaCO3 untuk test foram itu sendiri.
Di Indonesia foraminifera bentos besar sangat banyak ditemukan dan bisa digunakan untuk
menentukan umur relatif batuan sedimen dengan menggunakan zonasi foraminifera bentos
besar berdasarkan Adams (1970), dengan demikian untuk menganalisanya dilakukan dengan
mempergunakan sayatan tipis. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Contoh batuan yang akan dianalisis disayat terlebih dahulu dengan mesin penyayat/gurinda.
Arah sayatan diusahakan memotong struktur tubuh foraminifera besar yang ada
didalamnya.
2. Setelah mendapatkan arah sayatan yang dimaksud, contoh tersebut ditipiskan pada kedua
sisinya.
3. Poleskan salah satu sisi contoh tersebut dengan mempergunakan bahan abrasif
(karbondum) dan air.
4. Setelah itu, tempel sisi tersebut pada objektif gelas (ukuran internasional 43 x 30 mm)
dengan mempergunakan Kanada Balsam.
5. Tipiskan kembali sisi lainnya hingga contoh tersebut menjadi transparan dan biasanya
ketebalan sekitar 30-50 μm.
6. Setelah ketebalan yang dimaksud tercapai, teteskan Kanada Balsam secukupnya dan
kemudian ditutup dengan “cover glass”. Beri label.
7. Sampel siap dideterminasi
Nannoplankton
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop optik. Dapat dilakukan dengan dua metode
preparasi, yaitu:
Quick smear-slide/metode poles
Smear slide/metode suspense
1. Ambil satu keping contoh batuan segar sebesar 10 gr., bersihkan dari kotoran yang
menempel dengan sikat halus.
2. Cungkil bagian dalam dari sampel tersebut dan letakkan cukilan tersebut di atas objektif
gelas.
3. Beri beberapa tetes aquades untuk melarutkan batuannya dan ratakan.
4. Buang kerikil-kerikil yang kasar yang tidak larut.
5. Panaskan dengan hot plate objektif gelas tersebut hingga larutan tersebut kering.
6. Setelah kering, bersihkan/tipiskan dengan cover glass supaya lebih homogen dan tipis.
7. Biarkan mendingin, beri label, sampel siap dideterminasi.
Smear Slide / Metode suspensi
Membutuhkan waktu yang lama, namun hasilnya lebih baik.
1. Ambil contoh batuan dengan berat 10-25 gr. Bersihkan dan usahakan diambil dari sampel
yang segar.
2. Larutkan dalam tabung gelas dengan aquades dan sedikit Natrium bikarbonat (Na2Co3).
3. Masukkan tabung tersebut kedalam ultrasonik vibrator 1 jam tergantung pada kerasnya
sampel.
4. Saring larutan tersebut dengan mesh 200, kemudian tampung suspensi dan butiran halusnya
kedalam bejana gelas.
5. Biarkan suspensi tersebut mengendap.
6. Teteskan 1-2 tetes pipet kecil dari larutan tersebut di atas gelas objektif dan panaskan dengan
hot plate.
7. Setelah kering teteskan kanada balsam dan dipanaskan hingga lem tersebut matang dan tutup
dengan cover glass.
8. Dinginkan dan beri label.
9. Sampel siap dideterminasi.
Polen
Untuk melepaskan pollen/spora dari mineral-mineral yang melimgkupinya, dapat dilakukan
dengan beberpa tahap preparasi yang mebutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas
laboratorium yang lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung-tabung reaksi, sentrifugal
dan sebagainya. Beberapa larutan kimia yang dibutuhkan adalah: HCl, HF, KOH, dan HNO3
Penyajian Mikrofosil
Dalam penyajian mikrofosil ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan morfologi rincian mikrofosil dengan mempergunakan miroskop.
Setelah sampel batuan selesai direparasi, hasilnya yang berupa residu ataupun berbentuk
sayatan pada gelas objek diamati di bawah mikroskop. Mikroskop yang dipergunakan tergantung
pada jenis preparasi dan analisis yang dilakukan. Secara umum terdapat tiga jenis mikroskop yang
dipergunakan, yaitu mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi dan mikroskop scanning-elektron
(SEM).
2. Determinasi
Determinasi merupakan tahap akhir dari pekerjaan mikropaleontologis di laboratorium, tetapi
juga merupakan tahap awal dari pekerjaan penting selanjutnya, yaitu sintesis. Tujuan determinasi
adalah menentukan nama genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi
semua sifat fisik dan kenampakan optik mikrofosil tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN
Measuring sistem
Analisa umur
Berdasarkan foraminifera plangtonik yang kami deskripsi, maka umur yang di
dapatkan adalah berkisar antara miosen awal – pleosen ( Zona N7 – N21).
Analisa lingkungan pengendapan
Berdasarkan foraminifera bentonik yang kami deskripsi, maka lingkungan
pengendapan yang di dapatkan berupa daerah neritik.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Dari data yang kami ambil maka berdasarkan foraminifera plangtonik yang kami
deskripsi, maka umur yang di dapatkan adalah berkisar antara miosen awal – pleosen ( Zona
N7 – N21). Dan berdasarkan foraminifera bentonik yang kami deskripsi, maka lingkungan
pengendapan yang di dapatkan berupa daerah neritik.
DAFTAR PUSTAKA
http://ptbudie.wordpress.com/2009/02/01/pegunungan-selatan/
http://geologitfugm.blogspot.com/2012/11/geologi-regional-kulon-progo_13.html
http://www.academia.edu/
Lampiran (terlampir)