12
1 Babak Baru Persoalan Papua di PBB 13 October 2016 Cypri Jehan Paju Dale Harian Indoprogress http://indoprogress.com/2016/10/babak-baru-persoalan-papua-di-pbb/ Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp) PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada tujuh negara sebagai subjek hukum internasional telah membawanya ke Sidang Majelis Umum sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib sendiri (self-determinasi) dan pemerdekaan dari kolonialisme (dekolonisasi). Apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi di dan terkait Papua? Mengapa orang Papua mengatakan Indonesia sebagai kolonial dan berjuang untuk memerdekakan diri? Dan bagaimana dampak solidaritas bangsa-bangsa terhadap perjuangan orang Papua pada dinamika baru di Papua dan Indonesia pada umumnya?

Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

  • Upload
    lekiet

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

1

Babak Baru Persoalan Papua di PBB 13 October 2016

Cypri Jehan Paju Dale

Harian Indoprogress

http://indoprogress.com/2016/10/babak-baru-persoalan-papua-di-pbb/

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada tujuh

negara sebagai subjek hukum internasional telah membawanya ke Sidang Majelis Umum

sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi

sebatas masalah pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib

sendiri (self-determinasi) dan pemerdekaan dari kolonialisme (dekolonisasi).

Apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi di dan terkait Papua? Mengapa orang

Papua mengatakan Indonesia sebagai kolonial dan berjuang untuk memerdekakan diri?

Dan bagaimana dampak solidaritas bangsa-bangsa terhadap perjuangan orang Papua pada

dinamika baru di Papua dan Indonesia pada umumnya?

Page 2: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

2

Papua dan PBB

Walaupun Papua sudah lama menjadi perhatian PBB, namun fokus selama ini hanya

sebatas pada kerangka pembangunan dan HAM, dan bukan hak self-determinasi dan

dekoloniasi.

Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai lembaga PBB hadir di Papua untuk

bermacam-macam proyek terkait dengan agenda Millenium Development Goals (MDGs).

Mereka mengurus masalah seperti kemiskinan, good-governance, HIV/AIDS, kekerasan

gender, dan masalah surplus kependudukan. Agenda MDGs itu cenderung steril dan

terisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan,

kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung melihat orang Papua

semata-mata sebagai orang miskin yang harus ditolong dengan proyek-proyek. Mereka

mengidap penyakit laten yang oleh Antropolog James Ferguson (1997) disebut

‘mesin-mesin anti politik’ (anti-politics machine) karena berkutat pada proyek-proyek

teknis dan teknikalisasi kebijakan, tanpa mempedulikan aspek ekonomi politik dari

masalah yang ada. Mereka juga abaikan sudut pandang masyarakat setempat dalam

melihat masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah itu.

Pada era Orde Baru, PBB juga aktif mendukung agenda pembangunan Indonesia di Papua,

baik pada level intervensi kebijakan maupun proyek-proyek. Misalnya, PBB dan Bank

Dunia mendukung program transmigrasi rezim Soeharto, yang mengakibatkan transisi

demografi yang massif di mana jumlah penduduk non-Papua sekarang melampaui jumlah

penduduk asli. Yang paling kontroversial adalah bahwa UNDP sudah menyusun “Desain

Pembangunan untuk Irian Barat” dan menyerahkannya kepada Pemerintahan Soeharto

pada tahun 1967-1968, setahun sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat

proses Penentuan Pendapat Rakyat (atau the Act of Free Choice) yang kontroversial itu

pada tahun 1969.[1] Hal ini merupakan salah satu bukti tak terbantahkan bahwa PBB

(atau setidaknya sejumlah negara yang dominan dalam PBB) sudah memiliki sikap

berpihak pada Indonesia sebelum penduduk Papua diberi kesempatan untuk menentukan

pendapatnya lewat Pepera.

Berbagai studi sejarah (Saltford 2006, Droglever 2010)[2] telah mengungkap dengan

terang benderang bagaimana manipulasi Pepera oleh Indonesia terjadi di depan mata,

dibiarkan, dan kemudian disahkan oleh PBB sendiri. Konstelasi kuasa negara-negara

besar dalam konteks Perang Dingin membuat PBB menyangkal prinsip ‘hak penentuan

nasib sendiri sebagai hak asasi manusia’ yang ada dalam Piagam PBB. Kendati

kontroversial dan menuai banyak protes dari Orang Papua, serta dipertanyakan oleh 30

negara yang memilih ‘abstain’, PBB akhirnya mengesahkan hasil Perjanjian antara Belanda

Page 3: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

3

dan Indonesia tentang status Papua Resolusi No. 2504 dalam Sidang Majelis Umum PBB

pada tahun 1969. Resolusi yang sama juga menegaskan dukungan lembaga-lembaga PBB,

serta pemerintahan Belanda, bagi pemerintah Indonesia untuk apa yang disebut

‘pembangunan ekonomi dan sosial di Papua Barat’.[3] Studi Saltford dan Drooglever

mengarah kepada kesimpulan bahwa apa yang semula dimaksudkan sebagai ‘the Act of

Free Choice’ bagi orang Papua dalam kenyataannya menjadi ‘the Act of No Choice’, dan

bahwa dalam hal ini PBB telah melakukan sebuah pengkianatan (betrayal), bukan saja

terhadap orang Papua tetapi juga kepada prinsip universal PBB sendiri akan

self-determinasi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.

Menariknya, berbagai elemen kritis dan kelompok perjuangan emansipasi rakyat Papua

tidak menaruh minat pada agenda-agenda pembangunan lembaga PBB dan terus

mempersoalkan manipulasi Pepera itu sebagai salah satu akar utama kompleksitas

persoalan Papua dalam konstelasi politik internasional sekarang ini.

Pada saat yang bersamaan, berbagai kelompok advokasi hak asasi manusia, baik pada

tingkat lokal, regional, maupun trans-nasional, terus melaporkan kondisi HAM di Papua

dalam berbagai forum PBB. Mereka melakukan dokumentasi dan distribusi informasi,

serta menunjukkan kepada publik dalam negeri dan internasional bahwa pelanggaran hak

asasi manusia di Papua tidak hanya sebatas pada manipulasi proses referendum pada

tahun 1969, tetapi tetap terjadi hingga hari ini. Dimensinya pun luas, yaitu kegagalan

dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya,

serta pelanggaran hak-hak sipil dan politik.

Dalam dua kali Universal Periodic Review (UPR) atas Indonesia (2008 dan 2012)

Indonesia mendapat sorotan tajam. UPR adalah mekanisme PBB untuk mengevaluasi

negara-negara anggota akan kinerja mereka dalam pelaksanaan berbagai standar HAM

internasional. Selain dukungan dari negara-negara di Pasifik, dalam UPR 2012,

setidaknya ada 12 negara yang menyoroti kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua.

Yaitu, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Prancis, Jerman,

Jepang, Meksiko, Selandia Baru, Australia dan Norwegia. Kendati ditangkis delegasi

Indonesia dengan pembelaan diri dan janji-janji perbaikan, Indonesia tidak dapat

menghindar dari sorotan bangsa-bangsa ini di forum PBB.[4]

Solidaritas Melanesia

Tidak membaiknya kondisi HAM di Papua, serta praktik impunitas yang semakin

menjadi-jadi dalam hukum dan politik Indonesia dewasa ini, membuat rakyat Papua

kehilangan harapan pada kemungkinan perbaikan situasi HAM oleh pemerintah Indonesia.

Page 4: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

4

Mereka lantas mencari solidaritas di masyarakat dan negara serumpun Melanesia di

Pasifik Selatan.

Ikatan dengan masyarakat Pasifik bukan hanya ikatan diplomatik dan ekonomi. Papua dan

negara-negara Pasifik adalah satu rumpun kebudayaan Melanesia. Selain itu

bangsa-bangsa Pasifiklah yang menerima ribuan pengungsi dari Papua yang harus

melarikan diri karena alasan politik pada masa-masa pasca-Pepera. Ikatan solidaritas itu

begitu kuat, melampaui ikatan ekonomi (sumbangan finansial) dan hubungan diplomatik

yang hendak dibangun Pemerintah Jakarta untuk meredam solidaritas itu.[5]

Pada sayap diplomatik, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) telah

diterima menjadi bagian dari Melanesian Spearhead Group (MSG), kendati belum

menjadi anggota penuh. MSG merupakan organisasi politik regional yang menempatkan

Indonesia dan ULMWP atau bangsa Papua Barat dalam posisi sama secara politik. Selain

itu, melalui koalisi Pasifik untuk West Papua (Pacific Coalition for West Papua),

negara-negara Pasifik menggalang solidaritas untuk agenda HAM dan Self-determinasi

di Papua Barat.

Buah dari solidaritas itulah yang kita saksikan pada sidang Umum PBB sesi ke-71 tahun

ini. Tujuh negara di Pasifik Selatan, masing-masing lewat Perdana Menteri dan

Presidennya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi HAM di Papua selama

lebih dari lima puluh tahun menjadi bagian dari Indonesia.[6]

Secara terus-terang tanpa bahasa diplomasi yang terbelit-belit, mereka mengecam

keengganan Indonesia memenuhi kewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak

asasi orang Papua sebagaimana diatur oleh hukum internasional. Mereka juga

menegaskan kembali permintaan untuk mengirim Tim Pencari Fakta dari Forum Kepulauan

Pasifik (PIF) dan meminta PBB untuk melakukan intervensi dengan memaksa Indonesia

menerima kehadiran para Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) PBB yang selama ini

ditolak kehadirannya di Papua oleh Indonesia.

Para pemimpin Pasifik di Sidang Umum PBB ke-71, 2016. Foto diambil dari www.tabloidjubi.com

Page 5: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

5

Kembalinya Agenda Penentuan Nasib Sendiri

Lebih progresif lagi, para pemimpin negara-negara Pasifik itu menyoroti akan sejarah

dan politik dari masalah HAM di Papua, yaitu manipulasi proses penentuan nasib sendiri

rakyat Papua lewat proses Pepera (The Act of Free Choice) yang kontroversial pada

tahun 1969.

Dalam bahasa PM Kepulauan Salomon, “Pelanggaran HAM di Papua dan usaha untuk

mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari satu koin yang sama”. Dan

bahwa pelanggaran HAM itu merupakan akibat dari upaya Indonesia untuk menekan

gerakan penentuan nasib sendiri orang Papua.[7]

Gelombang solidaritas Pasifik ini sekaligus menyasar manipulasi yang turut difasilitasi

oleh PBB sendiri dalam proses dekolonisasi pada tahun 1960-an. Sekali lagi, menurut PM

Kepulauan Salomon, “Prinsip kedaulatan adalah hal terpenting dalam semua institusi yang

alasan keberadaannya adalah penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara. Jika

alasan pembenaran kedaulatan itu berdasar pada rangkaian keputusan yang masih perlu

dipertanyakan kebenarannya, maka ada alasan untuk menantang keabsahaan argumen

kedaulatan, dalam hal ini terkait dengan Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat

Rakyat (PEPERA) 1969.”

Kita ketahui, tujuh negara Pasifik tidak hadir dalam pengesahan itu, karena mereka

sendiri belum merdeka. Besar kemungkinan, 30 negara yang abstain dalam Sidang

Majelis Umum PBB pada tahun 1969 akan ikut serta mendukung suara negara-negara

Pasifik untuk peninjauan kembali status dekolonisasi Papua Barat.

Titik Lemah Indonesia

Bagi publik Indonesia, terutama kaum ultra-nasionalis, diangkatnya persoalan Papua oleh

negara-negara Pasifik dalam Sidang Umum PBB dilihat semata-mata sebagai sebuah

ganggunan kedaulatan. Mereka mengganggap bahwa integrasi Papua ke dalam wilayah

NKRI, betapa pun terjadi lewat proses-proses yang tidak sesuai standar hukum

internasional, sudah tidak dapat diganggu-gugat lagi. Dengan kata lain, mereka

menganggap bahwa Papua sudah merdeka dengan menjadi bagian dari Indonesia.

Dekolonisasi bangsa Papua dianggap sudah rampung dengan peralihan kekuasaan dari

Belanda ke Indonesia.

Pada babak baru persoalan Papua ini, Kelompok “NKRI harga mati” ini berhadap-hadapan

dengan kelompok masyarakat Papua yang justru melihat integrasi dengan Indonesia

Page 6: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

6

sebagai aneksasi (penggabungan paksa), dan bahwa penguasaan Indonesia atas Papua

adalah kelanjutan dari kolonialisme.

Gerakan emansipasi Papua ini menaruh harapan pada gelombang dekolonisasi yang belum

berlalu. Setelah Timor Leste pada 1999 dan Sudan Selatan pada 2011, pada tahun 2018

Kaledonia Baru akan menjalani referendum di bawah pengawasan PBB untuk memilih

apakah mereka akan tetap berada di bawah koloni Prancis atau merdeka.[8]

Negara-negara yang bersolidaritas dengan Papua di Pasifik tampaknya menaruh harapan,

sama seperti orang Papua, bahwa Papua akan turut serta dalam gelombang dekolonisasi

itu. Langkah awalnya adalah dengan meninjau kembali proses-proses Pepera yang

kontroversial itu dan membicarakan Papua masuk kembali ke dalam daftar PBB untuk

wilayah dekolonisasi.

Jelaslah di sini bahwa agenda penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi kembali menjadi

fokus persoalan Papua di PBB. Dan bahwa solidaritas negara-negara di Pasifik, bukan lagi

sekadar solidaritas untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa.

Melainkan solidaritas dekolonial yang diperjuangkan lewat mekanisme-mekanisme yang

dimungkinkan oleh kesepakatan PBB. Selain pelanggaran hak asasi yang umum, solidaritas

ini menyasar juga akar historis dan politik dari situasi di Papua, yaitu pelanggaran hak

penentuan nasib sendiri yang menyebabkan kolonialisme terus bercokol di Papua.

Dalam hak jawabnya terhadap pernyataan negara-negara Pasifik pada Sidang Umum PBB,

Indonesia menuduh negara-negara Pasifik memakai forum PBB untuk mengintervensi

kedaulatan Indonesia dan mengklaim diri telah memenuhi semua standar HAM dan

melakukan pembangunan di Papua.

Indonesia menyangkal adanya pelanggaran HAM di Papua dengan menegaskan

agenda-agenda pembangunan yang sudah sedang dilakukan.

Namun, sayangnya, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kenyataan buruknya situasi

hak asasi manusia di Papua. Hingga hari ini tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di

Papua yang diproses tuntas termasuk yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti kasus

Biak (1998), Abepura (2000), Wamena, Wasior (2001), Abepura (2006), dan Paniai

(2014).[9]

Penghilangan hidup di Papua bukan saja peristiwa masa lalu, tetapi terus terjadi hingga

hari ini. Sejak insiden penembakan di Paniai pada 9 Desember 2014 saja, ada setidaknya

18 remaja Papua yang diterjang peluru aparat keamanan Indonesia.[10]

Page 7: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

7

Indonesia juga sulit memakai argumen pembangunan, bahwa oleh Indonesia Papua sudah

dibangun dengan baik. Dan bahwa oleh pemerintahan Joko Widodo sekarang ini,

pembangunan itu sudah sedang dipercepat dan diperluas. Sebab penderitaan yang

dialami oleh orang Papua, bukan saja karena kurangnya pembangunan (misalnya

pendidikan dan kesehatan di pedalaman), tetapi juga terjadi dalam dan melalui

pembangunan itu sendiri.

Sudah seringkali disingkap bahwa cara pembangunan dijalankan di Papua itu lebih

merupakan bagian dari masalah daripada solusi.[11] Pembangunan hanya menjadi

semacam kedok untuk eksploitasi sumber daya alam, pencaplokan tanah dari masyarakat,

dan perngrusakan lingkungan. Pembangunan itu juga disertai dengan program

transmigrasi dan migrasi sukarela yang menyebabkan transisi demografis yang

spektakuler yang mengakibatkan orang Papua kini menjadi minoritas di tanah mereka

sendiri.[12] Alih-alih mensejahterakan orang Papua seperti yang dijanjikan,

pembangunan itu juga berorientasi pada investasi dan dikuasai oleh elit ekonomi, militer,

dan politik yang memburu untung dari kekayaan alam Papua yang berlimpah.

Pencaplokan sumber daya dan invasi penduduk ke wilayah orang asli mengakibatkan apa

yang disebut settler colonialism, kolonialisme dengan menguasai tanah dan jumlah

penduduk (koloni).

Akibat settler colonialism itu, Indonesia akan kesulitan untuk menjadikan kemajuan

kota-kota di Papua sebagai bukti keberhasilan Jakarta membangun Papua. Sebab

struktur ekonomi-politik di kota-kota itu justru dikuasasi oleh penduduk Indonesia

non-Papua, dan orang Papua hanya terdiri dari 20-40 persen penduduk kota-kota yang

bertumbuh pesat itu.

Kendati pemerintahan Jakarta menunjukkan bahwa saat ini Papua sedang habis-habisan

dibangun, antara lain dengan pengembangan kawasan industri, tambang, dan perkebunan,

serta infrastuktur jalan, pelabuhan laut, dan bahkan kereta api, Indonesia tidak dapat

menjawab gugatan orang Papua, ‘untuk siapa dan untuk apa pembangunan itu?’. Karena

bagi mereka pembangunan seperti itu justru merupakan ancaman dan bukan solusi.

Selain itu, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kompleksitas sejarah masuknya Papua

ke Indonesia. Sebelum Pepera pada tahun 1969, Indonesia sudah melakukan invasi

militer dan operasi intelijen. Pepera itu sendiri dilakukan di bawah pengawasan aparat

keamanan, dan melanggar prinsip referendum yang ditegaskan dalam Perjanjian New

York tentang proses referendum itu. Lebih lanjut, berbagai operasi militer telah

melahirkan skandal hak asasi manusia yang belum terselesaikan hingga sekarang.

Page 8: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

8

Semua itu menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Di satu sisi harus menanggapi

solidaritas internasional atas nasib rakyat Papua yang menuntut pembicaraan yang

terbuka atas apa yang terjadi di Papua. Di sisi lain, harus secara konkret melakukan

perubahan kebijakan pembangunan di Papua, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,

serta mencegah proses pelanggaran baru baik oleh militer maupun oleh

korporasi-korporasi nasional dan trans-nasional di Papua.

Celakanya baik militer dan oligarki ekonomi-politik inilah yang sedang bercokol dalam

lingkaran kekuasan politik seputar Presiden Indonesia. Mereka itu tampaknya tidak rela

bahwa penghormatan hak hidup orang Papua mengganggu bisnis mereka di Papua.

Dalam babak baru persoalan Papua, Indonesia tidak hanya berhadapan dengan emansipasi

rakyat Papua serta solidaritas internasional terhadap gerakan mereka. Tantangan sama

besarnya justru datang dari mafia ekonomi-politik Indonesia yang sudah sekian lama

mengambil untung dari sistem kolonial di Papua.

Dalam babak baru ini, kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti itu berpotensi

menentang perubahan kebijakan Indonesia di Papua ke arah yang lebih manusiawi. Bahkan

ada kemungkinan bahwa kelompok itu akan memengaruhi Pemerintah untuk kembali

melakukan pendekatan militeristik untuk meredam emansipasi rakyat Papua serta

solidaritas internasional.

Jika itu terjadi, maka semakin rumitlah posisi Indonesia dalam mengurus dirinya sendiri

di Papua.

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

Gerakan Emansipasi

Bagaimanapun, aktor utama dalam babak baru persoalan Papua di PBB ini bukanlah

negara-negara Pasifik atau Pemerintah Indonesia di Jakarta. Subjek utama adalah

rakyat bangsa Papua sendiri.

Page 9: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

9

Merekalah yang di ujung kolonialisme Belanda yang masih bercokol di Papua hingga tahun

1961, telah berjuang dan mempersiapkan negara-bangsa mereka sendiri. Merekalah yang

menuntut hak penentuan nasib sendiri yang digagalkan dalam proses-proses yang

difasilitasi PBB pada tahun 1963-1969. Merekalah yang selama lebih dari lima puluh

tahun, kendati ditumpas dengan berbagai operasi kekerasan oleh Pemerintah Indonesia,

tetap berjuang mengakhiri kolonialisme. Merekalah yang sekarang menolak model

pembangunan kolonial, dan mencari alternatif pembangunan mereka sendiri. Merekalah

yang mengalami berbagai persoalan penindasan dan ketidakadilan, diskriminasi dan

perampasan sumber daya, dan melakukan usaha-usaha emansipasi.

Kendati diiming-imingi dengan uang dan jabatan lewat Otonomi Khusus (yang sebenarnya

hanya merupakan bagian kecil dari kekayaan negara yang didapat dari Papua), mereka

tetap ingin menjadi tuan rumah atas alam dan budaya mereka. Sebagian dari mereka

memang memilih memakai peluang Otsus, baik untuk benar-benar memperbaiki situasi

ketertindasan dan pemiskinan yang dialami masyarakat, maupun demi mengamankan

kehidupan mereka sendiri. Tetapi Otsus ternyata tidak menyurutkan kehendak untuk

tetapi menjadi Subjek politik dan ekonomi sendiri.

Dewasa ini, gerakan-gerakan emansipasi itu mengalami transformasi menjadi gerakan

progresif damai berbasis pada mobilisasi massa, produksi pengetahuan, pengorganisasian

diri, serta diplomasi.

Fokus perhatian mereka adalah mengakhiri kolonialisme yang mereka alami baik ketika

berhadapan dengan Belanda maupun Indonesia. Pengalaman penderitaan akibat

kekerasan, pembangunan, operasi militer, serta marginalisasi melahirkan kesadaran

kolektif bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan kebaikan mereka hanya akan dijamin

dengan mengurus diri mereka sendiri sebagai bangsa merdeka.

Dari kalangan muda, lahir kelompok kritis yang dengan terang benderang mengerti

kolonialisme lewat pembangunan Indonesia, dan yang menyingkap sejarah mereka, yang

sudah dibelokkan Indonesia dan sekutunya di PBB.

Gerakan Papua Merdeka itu terus meluas dan diungkapkan baik secara terang-terangan

maupun terselubung. Dan kendati organisasi-organisasinya beragam dan tidak

sungguh-sungguh solid, mereka bergerak ke arah yang sama: menjadi bangsa merdeka.

Mereka tidak menampik tuduhan dari Indonesia bahwa mereka adalah separatis, dalam

pengertian sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri. Dan dalam argumen mereka,

memisahkan diri dari Indonesia itu merupakan jalan memerdekakan diri dari kolonialisme

yang terjadi dalam berbagai cara, mulai dari manipulasi proses dekolonisasi pada tahun

Page 10: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

10

1963-1969 dan operasi-operasi militer setelahnya, sampai pada eksploitasi pembangunan

kolonial, setter colonialism, rasisme dan stigmatisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia

sekarang ini.

Senjakala Kolonialisme

Dalam transformasi gerakan emansipasi Papua itu, serta dalam babak baru persoalan

Papua di PBB, kita sedang menyaksikan senjakala kolonialisme. Segala hal buruk yang

telah terjadi atas nama nasionalisme di Papua hendak diakhiri oleh orang Papua lewat

jalan damai dan dalam mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan secara internasional.

Di hadapan gerakan emansipasi rakyat Papua itu, nasionalisme Indonesia di Papua yang

dibangun dengan kekuatan militer dan pembangunanisme selama limah puluh tahun

mengalami ujian berat.

Operasi-operasi militer ternyata tidak berhasil meng-Indonesia-kan Papua.

Pembangunan yang terus diperluas dan dipercepat pun, kendati membawa keuntungan

berlipat ganda bagi ekonomi Indonesia dan para negara sekutu kapital, tidak dapat

menyakinkan orang Papua bahwa mereka dapat hidup sejahtera, adil, dan makmur dalam

NKRI. Indonesia yang mendapat kesempatan lebih dari lima puluh tahun membangun

kehidupan bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur di Papua justru dialami oleh rakyat

Papua sebagai kekuatan kolonial.

Sebagian orang Indonesia barangkali tersentak bahwa kesatuan yang dikira kokoh

ternyata begitu rapuh, persis ketika orang Papua dengan jujur mengakui bahwa mereka

tidak merasakan solidaritas senasib-sepenanggungan dengan bangsa Indonesia.

Solidaritas senasib-sepenanggungan itulah yang sedang mereka bangun untuk

mendapatkan jalan keluar atas berbagai persoalan yang mereka alami. Solidaritas itu

pula lah yang mereka sedang galang dan dapatkan dari negara-negara Pasifik dan anggota

PBB lain, untuk menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat.[13]

Dalam babak baru persoalan Papua ini, tampaknya solidaritas itu menjadi salah satu

kunci.

Apakah Indonesia akan mampu kembali merekatkan solidaritas dengan rakyat Papua yang

sudah terluka raga dan hatinya? Apakah Indonesia akan mengambil langkah konkret

mengubah kebijakan di Papua secara total sehingga meyakinkan orang Papua bahwa

mereka tetap dapat merdeka, adil, dan makmur, dalam negara-bangsa Indonesia?

Page 11: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

11

Apakah orang Papua sendiri akan berhasil menggalang solidaritas

senasib-sepenanggungan di kalangan mereka sendiri, untuk sama-sama memperjuangkan

nasib bersama mereka dalam hubungan dengan Indonesia dan bangsa-bangsa?

Apakah bangsa-bangsa Pasifik akan tetap bersama orang Papua di saat-saat sulit atau

akan lebih tergoda dengan kerjasama politik dan ekonomi dengan Indonesia dan

sekutu-sekutunya? Apakah solidaritas itu akan meluas ke negara-negara anti-kolonial di

Afrika dan Latin Amerika; ataukah mereka tidak peduli?

Dan apakah bangsa-bangsa yang bergabung dalam PBB akan mendengarkan perjuangan

orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, atau akan sekali lagi mengkhianati

mereka seperti pada tahun 1963-1969?

Di hadapan solidaritas itu, Indonesia sedang diuji. Yang jelas pendekatan militeristik

akan memperburuk situasi HAM dan memicu solidaritas atas Papua. Percepatan dan

perluasan pembangunan yang eksploitatif dan kolonial pun sudah ditentang oleh orang

Papua, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersilat-lidah dalam forum diplomatis,

seperti yang dilakukan pada Sidang Umum PBB ke-71, September 2016, jelas tidak

menolong siapapun dan tidak memperbaiki situasi riil di Papua.

Tidak ada pilihan rasional dan etis lain bagi Indonesia, selain memperbaiki diri secara

sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di Papua.

Pada babak baru Papua di PBB, kita sedang menyaksikan rangkaian peristiwa penting

dalam sejarah kolonialisme. Apakah kolonialisme di Papua akan berakhir dengan

perubahan radikal dalam cara Indonesia bernegara di Papua atau akan berujung dengan

lahirnya sebuah negara-bangsa baru, Papua Barat.?

Penulis adalah peneliti pada Insitute of Social Anthropology, Bern University,

Switzerland; Menulis-Mengedit bukuParadoks Papua (2011) dan Papua Bercerita (2015).

—————

[1] http://papuaweb.org/dlib/pbb/fundwi/fundwi-1968-design-development.pdf

[2] http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&v

iew=body&content-type=pdf_1&handle=seap.indo/1106943310#;

Page 12: Babak Baru Persoalan Papua di PBBterisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung

12

http://resources.huygens.knaw.nl/indonesischebetrekkingen1945-1969/DekolonisatieV

anIndonesieEnHetZelfbeschikkingsrechtVanDePapoea/papers_pdf/drooglever

[3] http://daccess-ods.un.org/access.nsf/Get?Open&DS=A/RES/2504(XXIV)&Lang=E

&Area=RESOLUTION.

[4] http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/idsession1.aspx

[5]

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160330192051-20-120642/tiba-di-fiji-romb

ongan-luhut-bawa-bantuan-senilai-us-5-juta/

[6] https://www.youtube.com/watch?v=16-zBTz06G4

[7] https://www.youtube.com/watch?v=W6mL5RikDfs

[8] http://www.un.org/press/en/2015/gacol3284.doc.htm

[9] https://m.tempo.co/read/news/2016/09/30/120808604/pasifik-tantang-indonesia

-bongkar-pelanggaran-ham-di-papua

[10] http://tabloidjubi.com/artikel-340-sejak-insiden-paniai-berdarah-18-remaja-papu

a-telah-ditembak-aparat-keamanan.html

[11] http://www.sastrapapua.com/2016/06/penjajahan-lewat-pembangunan-di-papua.ht

ml

[12] http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/02/demographic-tensions-papua-a-

time-bomb.html

[13] http://tabloidjubi.com/16/2016/05/14/the-journey-of-our-nation