Upload
arestya-andini
View
8
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pohum
Citation preview
Di Republika 31/10/2011, penulis telah menguraikan kelemahan-kelemahan UU No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, 3 hari setelah UU ini disahkan. Beberapa diskusi dan
temuan lapangan dalam 3 bulan terakhir, semakin menguatkan penulis bahwa UU ini sangat
berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan.
Contoh, mengantisipasi ketentuan “paling mematikan” dalam UU No. 23/2011 yaitu
keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam, berbagai LAZ telah merencanakan dan bahkan
telah melakukan exit strategy, seperti memperoleh status kelembagaan non-LAZ dari
lembaga pemerintahan non Kemenag, bahkan dari lembaga internasional. LAZ di daerah juga
telah banyak yang mulai “tiarap” menyikapi ketentuan “kriminalisasi” dalam UU ini yaitu
amil yang tidak memiliki izin diancam pidana penjara dan/atau denda. Bahkan sebagian SDM
amil di daerah telah mulai beralih profesi karena melihat tidak ada masa depan di LAZ.
Karena itu penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak
destruktif UU ini meluas. Penulis melihat bahwa uji materiil atas UU ini sangat layak
dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi.
Hak Membangun Masyarakat
Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011 telah mensentralisasi pengelolaan zakat nasional
sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu di BAZNAS. Saat yang sama, pasal 17, 18 dan 19
UU diatas telah men-subordinasikan kedudukan lembaga amil zakat bentukan masyarakat
sipil, yaitu LAZ, dibawah BAZNAS dengan menyatakan bahwa eksistensi LAZ hanya
sekedar membantu BAZNAS. Dengan logika sentralisasi dan sub-ordinasi diatas maka
kemudian UU secara sistematis memarjinalkan, bahkan berpotensi mematikan, LAZ. Pasal
18 ayat (2) huruf (a) mempersyarakatkan bahwa LAZ harus didirikan oleh organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.
Ketentuan diatas secara jelas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang
sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah
amal-sosial ke ranah pemberdayaan-pembangunan, yang antara lain dipelopori oleh Yayasan
Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia
(1998) dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini tidak
didirikan oleh ormas Islam.
UU No. 23/2011 memang tetap mengakui LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan berdasarkan
UU No. 38/1999 (pasal 43 ayat 3), namun disaat yang sama mereka tetap diharuskan
menyesuaikan diri dengan UU No. 23 Tahun 2011 maksimal dalam 5 tahun ke depan (pasal
43 ayat 4). Dengan demikian, dalam 5 tahun ke depan LAZ harus mengikuti persyaratan
pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhan dan izin operasional-nya tidak dicabut oleh
Menteri Agama. Ketentuan ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan
"mematikan" LAZ karena sebagian besar LAZ saat ini, khususnya LAZ-LAZ besar, tidak ada
yang didirikan atau berafiliasi dengan ormas Islam. Dengan pula dengan LAZ-LAZ yang
sangat potensial namun hingga kini belum mendapat izin dan belum dikukuhkan oleh Menteri
Agama, seperti LAZ Al-Azhar Peduli Ummat dan PPA Darul Qur’an, juga terancam layu
sebelum berkembang.
UU No. 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan
rekomendasi dari BAZNAS (pasal 18 ayat 2 huruf c). Padahal berdasarkan UU ini, BAZNAS
juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana
halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: BAZNAS
memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang
berpotensi menjadi pesaing-nya.
Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, terancam dikriminalkan oleh UU
ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang (pasal 38)
dan memberi ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp
50 juta bagi LAZ illegal (pasal 40). Berdasarkan UU ini, semua amil zakat yang beroperasi
tanpa izin meski memiliki kredibilitas tinggi dan, karenanya, mendapat kepercayaan tinggi
dari masyarakat, akan dikriminalkan.
Seluruh hal diatas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat
nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar
untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat
lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh
sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru
meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.
Karena itu, UU No. 23/2011 ini secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ
sebagai badan hukum publik yang juga memiliki hak untuk turut membangun masyarakat,
yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya".***
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.
Pendahuluan
Salah satu tujuan pembangunan nasional Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk dapat mewujudkan tujuan nasional
tersebut, Pemerintah Republik Indonesia senantiasa melakukan upaya-upaya nyata dalam
bentuk pembangunan fisik material dan mental spritual, antara lain melakukan pembangunan
bidang agama yang meliputi peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, peningkatan kerukunan hidup ummat beragama yang dinamis dan peningkatan
peran serta ummat beragama dalam pembangunana nasional.
Guna mewujudkan tujuan nasional tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan berbagai
upaya antara lain dengan menggali, memanfaatkan dan memberdayakan dana yang tersedia
pada masyarakat melalui Zakat yang potensinya cukup besar, namun belum dimanfaatkan
secara maksimal dan belum dikelola secara profesional. Untuk memenuhi maksud ini, maka
pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menetapkan pengelolaan Zakat secara berdayaguna dan berhasil guna melalui UU Nomor 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undan-undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan Zakat jo. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373
Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Latar Belakang
Adapun yang melatarbelakangi dikeluarkannya UU tentang Pengelolaan Zakat adalah sebagai
berikut :
Pertama, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut
agamanya masing-masing.
Kedua, Penunaian Zakat merupakan kewajiban ummat Islam dan merupakan sumber dana
untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Keempat, Upaya sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar berhasil guna dan
berdaya guna, untuk itu diperlukan Undang-Undang Pengelolaan Zakat.
Pengelolaan Zakat
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa tujuan
pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:
Pertama, Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah
Zakat.
Kedua, Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Ketiga, Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat.
Guna untuk tercapainya tujuan yang lebih optimal bagi kesejahteraan umum untuk seluruh
lapisan masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan zakat mencakup pula tentang pengelolaan
infaq, sodhaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat. Hanya saja sistem pengadministrasian
keuangannya dilakukan secara terpisah. Terpisah antara zakat dengan Infaq, shodaqah, dan
lain sebagainya.
Pendayagunaan zakat diperuntukkan khusus bagi mustahiq delapan asnaf, sesuai dengan
penjelasan UU Nomor 38 tahun 1999, mustahiq delapan asnaf ialah fakir, miskin, amil,
muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi
orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak terlantar, orang jompo,
penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pasantren, anak terlantar, dan korban
bencana alam.
Pendayagunaan infaq, shodaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat diutamakan untuk usaha
yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, prosedurnya
ditetapkan sebagai berikut:
1.Melakukan studi kelayakan
2.Menetapkan usaha produktif
3.Melakukan bimbingan dan penyuluhan
4.Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan
5.Mengadakan evaluasi, dan
6.Membuat pelaporan
Organisasi Pengelolaan
Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah,
baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Organisasi BAZ di semua tingkatan bersifat
koordinatif, konsultatif, dan infomatif. Kepengurusan BAZ terdiri dari unsur masyarakat dan
pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil,
berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.
Selain adanya BAZ yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat tetap diberikan kesempatan
untuk mendirikan institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prkarsa dan oleh
masyarakat dengan kriteria sebagai organisasi Islam dan atau Lembaga Dakwah yang
bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan ummat Islam yang disebut
dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) pada tingkat Nasional dan Tingkat Propinsi.
PengukuhanLAZ dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini :
1.LAZ Pusat oleh Menteri Agama RI
2.LAZ Daerah Propinsi oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama.
LAZ yang telah ada dan yang akan dibentuk oleh masyarakat itu dikukuhkan, dibina, dan
dilindungi oleh pemerintah. Pengukuhan LAZ sesuai dengan keputusan Menteri Agama
Nomor 373 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
Zakat dilakukan atas permohonan Lembaga Amil Zakat setelah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1.Berbadan hukum;
2.Memiliki data muzakki dan mustahik;
3.Telah beroferasi minimal selama 2 tahun;
4.Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;
5.Memiliki wilayah operasi (untuk tingkat nasional 10 Provinsi, untuk tingkat provinsi 40 %
Kabupaten/Kota;
6.Mendapat rekomendasi dari Forum Zakat;
7.Telahg mampu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milliyar Rupiah) dalam
satu tahun untuk tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat propinsi sebanyak Rp.
500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah);.
8.Melampirkan surat pernyataan bersedia disurvei oleh Tim yang dibentuk oleh Departemen
dan diaudit oleh akuntan publik;
9.Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat (BAZ)
dan Departemen Agama setempat.
BAZ pada setiap tingkatan dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang bertugas
mengumpulkan zakat, infaq, shodaqah, dan lainnya secara langsung atau melalui rekening
pada bank. Dalam pelaksanaan pengumpulan dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan
dan perbankan.
Pengumpulan Zakat
Dalam pelaksanaan pengumpulan zakat tidak dapat dilakukan paksaan terhadap muzakki,
melainkan muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya
berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini muzakki dapat menghitung sendiri hartanya dan
kewajiban zakatnya, namun demikian muzakki dapat meminta bantuan kepada BAZ untuk
menghitungnya.
Mengelola zakat, infaq dan shodaqah itu pada dasarnya adalah mengelola uang, maka
pengelolaannya harus dilakukan secara profesional, transparan dan akuntable sebagaimana
pengelolaan lembaga keuangan maupun perbankan, sebab sewaktu-waktu dapat diaudit oleh
akuntan publik.
Guna menjamin terlaksananya pengelolaan zakat dengan baik sebagai amanah agama, harus
ada unsur pertimbangan dan unsur pengawasan pada BAZ dan LAZ, serta ada sanksi hukum
terhadap pengelola. Demikian pula BAZ diharuskan memberikan laporan tahunan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Daerah sesuai dengan tingkatannya.
Selain pengawasan tersebut di atas, masyarakat juga dapat melakukan pengawasan yang
dapat diwujudkan dalam bentuk :
Pertama, Masyarakat dapat meminta informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola
olehBAZ dan lAZ.
Kedua, Masyarakat dapat menyampaikan saran dan pendapat kepada BAZ dan LAZ.
Ketiga, Masyarakat dapat memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh BAZ dan LAZ.
Zakat dan Pajak
Masyarakat sebagai wajib pajak diharapkan tidak terkenan beban ganda, yakni kewajiban
membayar pajak dan kewajiban membayar zakat. Oleh karenanya, pasal 14 ayat (3) UU
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah mengatur bahwa zakat yang telah
dibayarkan kepada BAZ dan atau LAZ dapat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena
pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan tentang hal ini juga diatur dalam UU nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan. Agar pengurangan pajak itu dapat dilaksanakan secara benar dan
menghindarkan penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, baik muzakki
maupun pengelola BAZ dan LAZ, maka perlu diatur mekanisme, validitasi formulir, dan
pelaporan pembayaran zakat kepada BAZ dan LAZ. Adapun pembayaran infaq, shodaqah,
hibah, wasiat dan kafarat, tidak dapat dipergunakan untuk pengurangan pajak, karena pada
dasarnya bukan merupakan kewajiban.
Sanksi bagi Pengelola
Pengelolaan zakat oleh Pengurus BAZ dan LAZ yang karena kelalaiannya tidak mencatat
dengan benar, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,00 (Tiga puluh juta rupiah). Sanksi tersebut karena
merupakan tindak pidana pelanggaran, sedangkan bagi pengelola yang melakukan tindak
pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan KUHP dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kelemahan UU ini
Kelamahan dari UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ini antara lain adalah :
Pertama, UU ini tidak mengatur tentang kewajiban dan sanksi bagi Muzakki. Undang-
Undang ini memang secara tersurat pada pasal 2 telah menyebutkan bahwa setiap warga
negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang
muslim berkewajiban menunaikan zakat, namun UU ini tidak menyebutkan sanksi yang akan
dikenakan kepada muzakki yang tidak membayar zakat.
Kedua, UU ini tidak memberikan hak kepada pengelola zakat untuk menghitung jumlah
kekayaan muzakki dan menetapkan jumlah zakat yang harus dibayarkan, akibatnya muzakki
mempunyai kebebasan untuk membayar atau tidak membayar zakatnya. Dengan demikian
maka zakat ini bersifat sukarela, padahal zakat ini adalah merupakan kewajiban.
Ketiga, Pembayaran zakat hanya dijadikan pengeluaran kena pajak, padahal zakat seharusnya
dapat dijadikan pengurangan pajak itu sendiri. Artinya, pembayaran zakat dapat dianggap
bagian dari pembayaran zakat.
Penutup
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat ini memiliki prospek dapat meningkatkan kesadaran muzakki
mengangkat derajat mustahik, dan meningkatnya profesionalisme pengelola zakat, yang pada
akhirnya insya Allah akan dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat dan rakyat Indonesia. Harapan ini akan lebih terwujud lagi dengan
diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 17
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Ketiga UU ini harus disinkronkan dalam rangka
kelancaran pelaksanaan pengelolaan zakat.***
tinjauan yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat terhadap keberlangsungan Lembaga Amil Zakat
Kasus Posisi :
Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit dengan adanya Undang-Undang Nomor
23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ)
Adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat
harus berubah dari bentuk yayasan menjadi bentuk Ormas islam
Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk pelanggaran di UUPZ
Dasar Hukum :
Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16
tahun 2001 tentang yayasan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat
Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan
Rekomendasi kami :
1. Sentralisasi pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh
BAZ. BAZ dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini
berperan sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak
mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas berhak
menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi, Kabupaten / kota).
Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup rumit. Di satu sisi sebagai
regulator, pembuat aturan main, di satu sisi sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada
aturan yang sepihak, yang lebih menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.
2. Pembebanan biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin
besar. Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten.
Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir pemerintah,
maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah kurang lebih
puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin berat. Dana yang
seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan adanya LAZ-LAZ maka tidak
membebani anggaran negara.
3. Sentralilsasi yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter.
Fungsi kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain Negara,
maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan mengontrol dana-
dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat
oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung akan memudahkan BAZ sebagai
operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta” yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ
dari BAZ. Salah satunya adalah proses pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam
format sebuat Ormas. Hal ini juga menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini
masih mengikuti dasar hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di
dalamnya tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan
hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis
perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan hukum,
justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan
Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap dipertahankan, karena di dalamnya
sudah ada mekanisme pengaturan pengurus, pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau
aset, yang seharusnya dari sisi kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan,
LAZ bisa dipersepsikan sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas
penyuka zakat” yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul” padahal sebagai LAZ ada
dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik baik melalui laporan rutin ataupun
melalui audit resmi, dan itu jika diatur dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit
pertanggungjawabanya.
4. Jika semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit
pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur birokrasi
yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap. Juga rawan
terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak terkontrol, rawan konflik, seperti
kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu
kemana dana-dana yang diperoleh ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang
cendrung justru akan membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau
“sarang baru Korupsi”.
5. Ancaman pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak
mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan denda.hal
ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun takmir-Tamir
masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir atau ketua LAZ akan masuk
penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau
menerima zakat dan selanjutnya Muzakki akan malas untuk berzakat. Kecenderungan
Muzakki di daerah, khususnya di jawa timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal.
Semangat berzakat yang 10 tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan
yang dibuat sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.
6. Jika semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang
sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu pintu dakwah
yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan pendekatan zakat,
diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas menengah, lebih mengena.
Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan juga dengan kelebihan dana yang
besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka zakat ini bisa mempersatukan berbagai
kelas yang ada di masyarakat, terutama dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam
hartanya dalam berzakat dan adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah
satu titik pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah
melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat. Semuanya
saling bersinergi.
7. Posisi LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan
??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan dari atas (Baz)
serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak berhak menyalurkan. Hal ini
secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap hak konstitusional suatu Lembaga
Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan
masyarakat dengan program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat
yang selama ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap
merugikan LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi
daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi serta
bisa di batalkan.
8. Penyempitan dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas
islam, maka hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi
legal formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di dapat
daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam, justru akan membuat
suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak. Pengaturan Ormas sendiri selama ini
lebih banyak untuk kepentingan pemerintah, dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak
terlalu ketat dibandingkan dengan yayasan.
9. Dengan semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja
LAZ nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang
gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat
kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian
semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.
10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat.
Dalam hal pengelolaan selama ini, khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan
kegiatan-kegiatan yang bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan
BAZ pun jauh tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah
peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10 peringkat
lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya nasional, masih
tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.
11. Kepentingan Politik yang sedemikian besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga
akan berghubungan dengan BAZ. Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup
berlebihan di BAZ, serta semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan
berapa dana yang masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga
yang berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk korupsi
atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi posisi BAZ, sebagai
regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang berhak membuat aturan main dari
semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti termasuk aturan mainyang mungkin
cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ sebagai pelaksana.
12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang
mengikuti aturan atau dalam posisi sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas
bagi zakat, seharusnya pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara
struktur terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat antara
BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan lembaga atau
badan pengawas sifatnya adalah regulator.
13. Perubahan bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara
legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang selama ini
masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang mempunyai kesamaan
hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk
mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada aturan main untuk pelaporan dana
yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme perubahan-perubahan susunan kepengurusan
maupun aturan-aturan. Yayasan juga langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih
detail dalam pendaftarannya. Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol
pertanggungjawaban. Mengingat yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban
terutama drai Muzakki, uang pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam
bentuk apa? Serta program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka
pertanggungjawab tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan
fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik. Sedangkan
dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.
14. Aspek hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang
selama ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan khas
“Hukum Progresif” dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau
Hukum untuk manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya,
memang diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang
“keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua amil zakat
dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru akan mematikan
semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas yang cepat dan mudah akan
sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk
bergerak karena dibatasi pasal yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500
juta. Dengan semakin sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk
berzakat akan turun.
15. Secara kelembagaan kami memang mendukung niat baik pemerintah untuk mengawasi
LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya ada fungsi pengawasan oleh negara.
Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung
otoriter, mutlak. Sehingga niat baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif,
dengan mengkerdilak gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.a
Perbedaan UU Zakat yang lama dengan yang baruOctober 25, 2012 by LiSEnSi UIN Jakarta
Penulis : Asep
Saepullah | http://www.facebook.com/saefullah30 (Ketua
Lingkar Studi Ekonomi Syariah UIN Jakarta | Content
Manager of Sharee)
A.Penjelasan
Mengingat undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup
untuk mengakomodir perkembangan potensi zakat di Indonesia,
maka Komisi VIII DPR RI merumuskan undang-undang tentang
pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang
Pengelolaan Zakat, kemudian disusul oleh undang-undang baru
yang telah sah diresmikan pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu,
malah menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi,
masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait
(stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya
LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri
masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.
Selain itu, hasil revisi UU zakat tersebut, telah menghambat kinerja
serta peran lembaga-lembaga zakat yang telah ada. Hal ini
disebabkan substansi yang terkandung dalam UU zakat tersebut
menyatakan bahwa: “…setiap Lembaga Amil Zakat yang ingin
mendapatkan izin untuk menyalurkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat setidaknya harus terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah dan sosial.” Dari sini telah jelas bahwa
pemerintah ingin menyaring lembaga zakat yang telah ada dengan
persyaratan keanggotaan “Ormas Islam”. Padahal, bagi lembaga
zakat seperti Dompet Dhu’afa persyaratan seperti itu agak berat
karena harus merevisi ulang struktur dasar dan mengubah
statusnya selama ini sebagai yayasan.
Pasal-pasal krusial dalam UU No 23 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,
Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
(a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat.
Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,
masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak
selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,
atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
B. Perbedaan UU Zakat Lama dengan yang Baru
UU zakat lama ( no 38 th 1999)
1. namanya adalah UU Tentang Pengelolaan Zakat
2. posisi pemerintah dan masyarakat sejajar dalam pengelolaan
zakat
3. masyarakat dibebaskan untuk mengelola zakat
4. pengaturan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya dalam dua pasal
5. LAZ dibentuk oleh masyarakat
UU zakat baru ( no 23 th 2011)
1. namanya adalah UU Zakat, Infak dan Sedekah
2.posisi pemerintah dan atau badan zakat pemerintah (BAZNAS)
lebih tinggi.
3. hanya yang diberi izin saja yang boleh mengelola zakat.
4. LAZ diatur dalam 13 pasal.
5. LAZ dibentuk oleh organisasi kemasyarakatan Islam.
6. Adanya otoritas tunggal pengelolaan zakat, yaitu pemerintah
(BAZNAS).
7.Adanya dualisme pengelolaan zakat (pemerintah dan masyarakat)
BAZNAS dan LAZ.
Selain terdapat perbedaan mendasar antara UU zakat yang baru
dan yang lama, UU zakat yang baru juga mendapat kritik keras dari
banyak LAZ dan sebagian masyarakat. Kritik tersebut ditujukan
kepada tiga masalah krusial yang ada di dalamnya, yaitu :
1.Syarat izin pendirian LAZ adalah harus didirikan oleh organisasi
kemasyarakatan Islam. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak
LAZ yang telah berdiri dan beroperasi namun tidak didirikan oleh
ormas Islam.
2.Tidak diatur dan dijelaskannya kedudukan dan posisi LAZ daerah,
baik LAZ propinsi maupun LAZ kabupaten/kota.
3.Tidak diperkenankannya kelompok masyarakat atau organisasi
untuk mengelola zakat, apabila kelompok masyarakat atau
organisasi tersebut tidak memiliki izin sebagai LAZ.
1. Dampak bagi pemerintah
-Pemerintah diberi kewenangan penuh, jadi pemerintah lebih leluasa
dalam penghimpunan maupun pendistribusian dana zakat
– Kas anggaran pemerintah menjadi bertambah akibat dari
himpunan dana zakat
– Bargaining power yang dimiliki pemerintah membuat
pendistribusian dana zakat bisa lebih baik dan tertata
– Meminimalisir penyimpangan yang terjadi akibat LAZ yang tak
berbadan hukum resmi
– Bisa lebih preventif lagi dalam pemungutan pajaknya
2. Dampak bagi perbankan syariah
-Dengan adanya persyaratan lembaga organisasi islam (berstatus
hukum resmi) tentu hal ini LAZ dan BAZNAS harus memiliki sistem
keuangan islam juga, tentunya menjadi pendapatan fee base
income bagi bank syariah
– Bertambahnya DPK bank syariah
– Bisa menambah angka market share dan asset bank syariah
– Bank syariah bisa membuat gerai pembayaran zakat dengan
sistem setor maupun ATM (UPZ)
Dana zakat yang begitu besar, bisa dikelola oleh bank syariah untuk
hal yang lebih produktif
3.Dampak bagi masyarakat
– Pemerataan distribusi masyarakat bisa merata, antara daerah
yang minus zakat dan daerah yang surplus dana zakat
– Zakat konsumtif yang biasanya dikelola oleh LAZ yang tradisional
bisa berkurang
– Pemberdayaan masyarakat melalui zakat yang produktif dan
terpusat
– Masyarakat yang biasa mengumpulkan dana zakat secara
tradisional menjadi terkerdilkan dan dapat diancam dengan 1 tahun
penjara dan denda sebesar 50 juta bila tanpa izin pejabat yang
berwenang.
– Dimungkinkan kurang terhimpunnya dengan baik dana zakat,
karena terbatas LAZ yang memiliki status non ormas islam-
Dompet Dhuafa Singgalang gelar Seminar Nasional (Semnas) bertajuk �Masa Depat Zakat Sumatera Barat; Kritikan terhadap Undang-Undang No.23 Th. 2011 tentang Zakat� di aula Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang hari ini, Rabu (30/5).
Seminar tersebut diangkatkan untuk mengenali lebih dalam UU No. 23 th. 2011, sehingga nantinya dapat memberikan masukan, gagasan dan kritik terhadap UU tersebut, menggagas fakta integritas dan sinergisitas Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA se-Sumatera Barat).
Hal tersebut diungkapkan Kepala Dompet Dhuafa Singgalang, Musfi Yendra, Selasa (29/5). �Yang akan mengisi materi Semnas ini di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Unand, Prof. Yaswirman, Pendiri Dompet Dhuafa Republika Eri Sudewo, Dosen Fakultas Hukum UI Dr. Hamid Khalid , dan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH, M.Ag,� kata Musfi.
Dilanjutkannya, mereka akan membedah masing-masing materi yang pas dengan kapasitas keilmuan mereka. Materi yang dibahas yakni celah hukum pelanggaran konstitusi dalam UU Zakat, pasang surut relasi zakat dan Negara, UU Zakat dan potensi pelemahan civil society dan yang terakhir Implementasi UU zakat ditinjau dari perspektif syariah dan perkembangan zakat di Sumbar.
Disahkannya UU No. 23 Th. 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menggantikan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 pada tanggal 16 November 2011 lalu telah membuka wacana baru bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia.
Dalam regulasi baru tersebut melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pemerintah memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola zakat secara syah yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ditunjuk dan atau dikukuhkan pemerintah setelah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.
Sikap pro dan kontra menyeruak di sebagian kalangan masyarakat setelah UU ini disahkan, terutama masyarakat pegiat zakat dalam hal ini lembaga-lembaga zakat
�swasta� yang boleh jadi eksistensinya merasa kurang mendapatkan jaminan dan apalagi perlindungan hu erita kum yang memadai dalam UU No. 23.
Pemerintah pun menyatakan bahwa kehadiran UU No. 23 Tahun 2011, tidak dimaksudkan untuk �menggusur� keberadaan Lembaga-Lembaga Zakat swasta bentukan masyarakat yang telah ada. Sarananya adalah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang sampai sekarang memang belum terbentuk. Karenanya, pelaksanaan zakat pasca pemberlakuan UU, dapat dikatakan masih relatif sama dengan sebelumnya. Polemik kian berkembang, karena banyak pihak menyangsikan peran dan kinerja Baznas dalam mengelola zakat di Indonesia.
�Adanya kewenangan luas yang yang diberikan pemerintah ke Baznas dalam UU tersebut bertujuan agar pengelolaan zakat lebih teroptimalisasi dan terintegrasi. Dana terkumpul pun lebih besar dari pada yang dihimpun oleh LAZ. Inilah yang kemudian membutuhkan konsentrasi penuh untuk merumuskan aturan Baznas agar tidak terjebak dalam konstelasi politik dalam pembuatan PP dan Keputusan Menteri Agama,� papar Musfi.
Adanya pasal-pasal dalam UU ini jugamemberikan batasan ruang gerak dan aturan yang sempit bagi perkembangan LAZ. Pengelolaan zakat hanya oleh lembaga yang berwenang pengelola zakat atas ijin pemerintah menjadikan tidak diakomodirnya LAZ yang ada di daerah.
Bagaimana pengelolaan zakat yang dikelola oleh masjid, pondok pesantren, yayasan panti asuhan dan lain-lain? Karena mengelola zakat tanpa ijin pemerintah dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.
UU No. 23 Th. 2011 tentang Pengelolaan Zakat akan berimplikasi sterhadap masa depan pengelolaan zakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia khususnya Sumbar. Perlu ada sebuah pembicaraan serius agar ada ruang Judicial Review terhadap UU ini kepada Mahkamah Konstitusi.
�Seminar ini merupakan salah satu gerak yang lahir dari pemikiran akan betapa pentingnya kita di Sumbar turut mengkaji dan memberikan perhatian terkait persoalan ini, demi masa depan pengelolaan zakat dan pengentasan kemiskinan di ranah minang juga Indonesia,� pungkasnya.
POLITIK HUKUM ISLAM di BALIK UU No. 38 TAHUN 1999 TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Politik hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ahmad rofiq, MA.
http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
Disusun oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Politik Hukum Islam di Balik UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
I. Pendahuluan
Seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima
titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak pemilik aslinya, yaitu Allah
SWT. Zakat sebagai ibadah ijtima’iyah, melalui pembayaran zakat berarti beramal terhadap
sesama, yang berarti melakukan ibadah sosial atau kewajiban sosial. Dengan ibadah sosial itu
berarti orang yang membayar zakat membantu sesama manusia yang berada dalam
kekurangan dan kemiskinan. Maka dibuatlah undang-undang zakat sebagai aturan atau
pedoman pengelolaan, maupun sanksi bagi masyarakat (islam) dalam suatu negara.[1]
Kita tahu bahwa suatu produk hukum yang lahir, seperti undang-undang zakat, pasti
dibaliknya terdapat campur tangan politik yang menginginkan bagaimana suatu aturan itu
berjalan, dan bagaimana hasil yang diharapkan ketika suatu aturan tersebut di terapkan dalam
masyarakat di dalam sebuah negara (khususnya masyarakat islam). Tentunya peran agama
(islam) sangat mempengaruhi tentang bagaimana (politik) aturan yang ada di belakang
peembuatan undang-undang zakat yang akan diberlakukan dalam sebuah negara. Khususnya
tentang pengelolaanya.
Dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk
politik yang ada di balik Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
II. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A. Peran Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dalam pengelolaan zakat !
B. Bentuk politik Islam di balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999 !
III. Pembahasan
A. Peran Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dalam pengelolaan zakat
Dalam rencana strategis kementrian agama tahun 2010-2014 telah mencamtumkan program
pembangunan dalam bidang agama, diantaranya disinggung soal optimalisasi pengelolaan
dana dan aset sosial keagamaan. Disana menjelaskan bahwa setiap agama mengajarkan
kepada pemeluknya agar mewujudkan ketaatan beragama mereka yang salah satunya dapat
diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial terhadap sesama manusia. Oleh karena itu
masing-masing agama memiliki instrumen untuk mewujudkan kepedulian sosial anatara lain
dalam bentuk dana dan aset sosial keagamaan, dan apabila hal ini di kelola dengan baik,
maka akan memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat memberi konstribusi bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam agama islam,
salah satu bentuk dana dan aset sosial keagamaan tersebut adalah zakat, guna meningkatkan
optimalisasi pengelolaan zakat, pemerintah telah mengeluarkan UU No 38 Tahun 1999 (yang
saat ini sudah diganti dengan UU No 23 Tahun 2011) tentang pengelolaan zakat.[2]
Konsekuensi manusia yang kepadanya dititipkan harta (berlebih) harus memenuhi aturan
Allah, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaanya, antara lain ada kewajiban
yang dibebankan kepada pemiliknya sebagai ibadah yang wajib, seperti mengeluarkan zakat
guna kesejahteraan masyarakat, dan juga ada yang berbentuk sunnah, seperti sedekah dan
infak. Dengan kewajiban zakat, nyatalah bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak. Tapi
didalam hak milik itu ada suatu tugas sosial yang wajib ditunaikan sebagai makhluk sosial.[3]
Zakat mampu menciptakan kecintaan, persaudaraan dan sikap tolong menolong antar sesama,
dengan kata lain zakat merupakan media untuk mendidik moralitas manusia, dan juga
mengembangkan aspek sosial dan ritual. Dalam aturan fiqih (hukum islam) telah menetapkan
gugurnya kewajiban zakat dalam keadaan tidak terpenuhinya syarat kewajiban zakat, seperti
nisab atau haul. Aturan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi pada diri seseorang, boleh jadi di masa mudanya ia adalah seorang yang kaya,
namun di masa tuanya ia berubah menjadi seorang yang miskin, dalam kondisi apapun juga,
sikap saling menolong adalah hal yang dianjurkan.[4]
Zakat diambil secara vertikal jika telah mencapai nisab, yaitu sebagai ketetapan dengan
batasan minimal wajibnya zakat yang di keluarkan. Begitu juga dnegan barang yang wajib
dikeluarkan zakat. Kelebihan harta yang di miliki dikeluarkan sesuai ketetapan yang
ditentukan oleh para ahli fiqh. Sedangkan pembgaian zakat di lakukan secara horizontal atau
merata kepada kelompok yang berhak menerima zakat.[5]
Persoalan kemiskinan bukan saja problema persoalan ekonomi kemasyarakatan di negara
berkembang, akan tetapi ia berpotensi menjadi momok yang menakutkan bagi
penyandangnya. Indonsia merupakan negara dengan tingkat angka kemiskinan relatif tinggi,
padahal potensi zakatnya cukup besar. Namun sayangnya potesni zakat tersebut masih belum
optimal. umat islam indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peluang dan potesni
besar untuk ikut dalam pembangunan bidang kesejahteraan rakyat guna meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu peluang dan potensi umat islam yang dapat
digali dan didayagunakan dalam penyediaan dana pembangunan dibidang kesejahteraan
rakyat dan merupakan alternatif pemecahan dalam memberantas kemiskinan. Pemberdayaan
ekonomi terhadap golongan miskin yang dapat berbentuk pemberian modal, pemberian
beasiswa dan sebagainya.[6]
Ketika indonesia merdeka, kesadaran membayar zakat telah dilakukan dengan lebih baik oleh
elemen-elemen masyarakat, dan kesadaran ini tentunya perlu diiringi dengan tindakan riil
oleh segenap masayarakat untuk saling mengingatkan dan menasehati tentang arti penting
zakat bagi keselarasan hidup. Dukungan riil pemerintah pun perlu sebagai justifikasi.[7]
Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama islam. Zakat merupakan
hal yang tidak asing pada masyarakat Indonesia, khususnya (salah satu bentuk zakat) pada
saat bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri. Penanganan zakat di indonesia bisa
dibilang belum begitu serius untuk kesejahteraan bersama. Terkadang hanya sebatas
berorientasi pada sisi konsumtif, yang mana hanya untuk keperluan kecukupan pada saat hari
raya itu tiba. Kemudian diundangkanlah UU No. 38 Tahun 1999 (namun saat ini sudah
diganti dengan UU No. 23 Tahun 2011) tentang pengelolaan zakat, dengan didirikanya
lembaga-lembaga pengelola zakat, baik ditingkat lokal maupun nasional. Dengan adanya
pengelolaan zakat diharapkan zakat dapat diwujudkan sebagai lembaga jaminan sosial untuk
kesejahteraan umat.[8]
sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 5 UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
zakat yang bertujuan :
1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan
tuntunan agama;
2. meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. meningkatya hasil guna dan daya guna zakat.[9]
Dalam UU No. 38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang untuk mengelola
zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Agar pengelolaan zakat berjalan dengan baik. Maka BAZ
dan LAZ harus menerapkan prinsip-prinsip good organization governance (tata kelola
organisai yang baik) yaitu seperti amanah, karena zakat merupakan salah satu rukun islam
yang berbicara tentang kemasyarakatan, dan kewajiban tentang berzakat tidak hanya ada
dalam Perundang-undangan tentang zakat yang ada dalam sebuah negara saja, namun Allah
juga telah lebih dahulu menyampaikanya. Seperti dalam Firman-Nya.
õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur�
öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
(Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka) dan mensucikan (Maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda)
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS At-Taubah:103).
Kemudian adanya ketransparanan, yaitu kewajiban LAZ atau BAZ selaku Amil untuk
mempertanggung jawabkan tugasnya, bentuk transparansi ini dapat dilakukan melalui
publikasi laporan di media cetak, atau sosialisasi. Dan juga profesional, amil harus
profesional, diantara cirinya adalah, bekerja full time, memiliki kompetensi, amanah, jujur,
dll. Dengan pengelolaan yang sedemikian rupa diharapkan agar pengelolaan zakat dapat
dioptimalkan, amanah muzaki tertunaikan, dan mustahiq diberdayakan.
Hal-hal tersebut dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip
operasionalnya, seperti; aspek kelembagaan, dari aspek kelembagaan, sebuah organisai
pengelola zakat seharusnya memperhatikan berbagai faktor; seperti visi dan misi, kedudukan
dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisai, aliansi strategi. Kemudian aspek sumber
daya manusia, yang merupakan aset paling berharga, sehingga pemilihan siapa yang akan
menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Dan juga sistem pengelolaannya yang
baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah; memiliki sistem dan prosedur yang jelas,
manajemen terbuka, dan adanya perbaikan secara terus menerus.[10]
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik
Indonesia, yang diamantakan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujuan
nasional tersebut, senantiasa dilaksanakanlah pembangunan yang bersifat fisik materil dan
mental spiritual, antara lain melalui pembangunan dibidang agama. Zakat merupakan
kewajiban bagi setiap muslim untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang
membutuhkan. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang
dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban
memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan
pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999 (yang saat ini sudah diganti
dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah
agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur pertimbangan dan unsur
pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan, masyarakat, dan pemerintah serta
adanya sanksi hukum terhadap bentuk penyelewengan-penyelewengan.[11]
B. Bentuk politik Islam di balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999
Tujuan dilaksanakanya pengelolaan zakat oleh pengelola zakat antara lain; meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan zakat. Kemudian meningkatkan fungsi
dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarkat dan
keadilan sosial.
Zakat merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan masyarakat serta mendorong terciptanya
keadilan distribusi harta, karena pada umumnya zakat di pungut dari orang-orang kaya dan
kemudian diberikan kepada orang-orang yang ekonominya kurang. Dalam hal ini akan terjadi
aliran dana dari para aghniya’ kepada dhu’afa dalam berbagai bentuknya mulai dari
kelompok konsumtif maupun produktif, maka secara sadar penunaian zakat akan
membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada giliranya akan
mengurangi derajat kejahatan ditengah masyarakat, karena dengan mulai adanya perubahan
kesejahteraan sedikit demi sedikit. dan juga meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Setiap lembaga zakat seharusnya memiliki database tentang muzaki dan mustahiq, profil
muzaki perlu di data, untuk mengeahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan
sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki, karena mereka merupakan nasabah, maka
perlu adanya pembinaan dan perhtaian yang memadai guna memupuk nilai kepercayaan.
Terhadap mustahiq pun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus di
arahkan sejuah mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Dan ini lah
peranan yang harus di pahami oleh lembaga-lembaga zakat yang turut andil dalam
pengelolaan zakat yang ada dalam sebuah negara.[12]
Dengan penglelolaan secara kelembagaan, pengumpulan dan pendistribusian atau
pendayagunaan zakat akan lebih optimal. Namun Dengan berbagai macam lembaga (yang
berdiri atas apresiasi masyarakat tertentu) untuk mengelola zakat yang mempunyai visi dan
misi yang berbeda-beda, dan terkadang dikelola oleh manajemen pihak tertentu yang tentu
tidak berorientasi kepada seluruh masyarakat yang memerlukan dana zakat, tetapi hanya
orang-orang yang segolongan mereka saja. Akibatnya, meskipun banyak lembaga yang
didirikan untuk pengelolaan dana zakat, namun fungsinya belum tercapai. Jadi campur tangan
politik yang dilakukan oleh oknum-oknum (seperti partai, lembaga gologan tertentu) yang
ada menyebabkan tujuan dari pengelolaan zakat itu sendiri belum lah trewujud secara
sempurna.[13]
Adanya perbedaan kepentingan merupakan salah satu penghalang bagi berjalanya basiz/lasiz
diberbagai daerah, hal ini disebabkan bahwa selama ini terdapat kelompok masyarakat atau
sebagian organisasi umat islam yang melaksanakan pengumpulan ZIS sendiri-sendiri guna
kepentinan organisasinya atau kelompoknya. Bahkan terdapat lembaga pendidikan atau
perorangan yang menghimpun dan atau menerima ZIS dari masyarakat untuk kepentingan
lingkunganya. Bahkan hambatan yang sangat dominan adalah kurangnya kesadaran para
muzakki secara penuh untuk melaksanakan kewajibanya setiap tahun. Padahal jika dikelola
secara baik, maka hasilnya dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat, sebab zakat
dapat dikatakan sebagai terapi atas masalah sosial yang cukup efektif dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. jika dilihat dari umat islam yang ada di indonesia, maka potensi
zakat sangat besar. Dan pada sisi lain ternyata msih terdapat beberapa pegurus bdan atau
lembaga pengelola zakat atau badan pelaksana belum dapat melaksanakan tugas secara
optimal. dismaping hal itu juga masih terdapat adanya berbagai faktor pengahambat yang
berasal dari kalangan masyarakat, yaitu kuragnya kesadaran untuk menyerahkan zakat
kepada lembaga pengelola zakat.
Zakat yang mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam
yang ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya kepada yang
lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat secara konsumtif,
namun diballik sisi konsumtif yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat, juga terdapat
tujuan untuk hal produktif, seperti menambah modal usaha, pengembangan dana, dll. Hal itu
berarti zakat dapt dijadikan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan menciptalan
kesejahteraan umat.[14]
Berbagai pendapat kini berkembang dikalangan masyarakat tentang persamaan zakat dan
pajak. Zakat dan pajak dilihat bahwa keduanya mempunyai tujuan yang relatif sama,
terutama dalam hal pembangunan pembiayaan negara untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat banyak. Mislanya dalam UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat BAB
IV pasal 14 ayat 3 bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan Amil Zakat atau
lembaga Amil Zakat dikurangi laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hal ini merupakan
suatu bentuk politik tersendiri yang bertujuan untuk mengakomodasi keinginan kaum muslim
di indonesia, agar pembayaran zakat di dahulukan daripada pajak, sekaligus zakat tersebut
dapat mengurangi biaya pembayaran pajak. Walaupun terdapat beberapa persamaan antara
zakat dan pajak, namun tetap saja keduanya berbeda.
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang
ditentukan, karena zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat fitrah, dan
kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal dan pendapatan seperti
halnya zakat mal pada umumnya. Zakat adalah sumber keuangan dalam islam yang terus
menerus. Karena fungsinya yang sangat banyak, seperti halnya dapat digunakan untuk
membebaskan orang (muslim) dari kesusahan dan menanggulangi kebutuhan mereka dalam
bidang ekonomi, dan zakat merupakan cara yang prakstis untuk mengumpulkan kekayaan
dan menjadikanya agar dapat berkembang. Secara filosofis sosial, zakat diartikan deengan
prinsip “keadilan sosial” dan dilihat dari segi kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang
berhubungan dengan distribusi pendapatan masyarakat, pemerataan kegiatan pembangunan
atau pengentasan kemiskinan. Dengan zakat disatu sisi terjadi proses transfer konsumsi dari
pemilikan sumber-sumber ekonomi, sementara disisi lain merupakan perluasan kegiatan
produktif ditingkat bawah. Zakat pada intinya adalah suatu sistem kegiatan politik, karena
pada dasarnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagianya terhadap sasaranya
dengan memperhatikan asas keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang
membutuhkan. dan hal itu semua dilakukan dengan menggunakan sarana yang kuat dan
terpercaya, yaitu Amil Zakat, sebagaimana juga sasaran (penerima) zakat itu sesuatu yang
menjadi urusan negara, seperti mualllaf dan sabilillah.[15]
Didalam negara islam zakat merupakan salah satu sumber pemasukan keuangan negara.
Berbeda dengan indonesia yang pada umumnya anggota masyarakat langsug menyerahkan
zakatnya kepada yang berhak, walupun sudah berjalan penyerahan zakat kepada BAZIS
(Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah). Namun Proses pengaturan zakat oleh lembaga-
lembaga tersebut masih belum jelas, padahal UU zakat sudah dilegalkan. Negara indonesia
merupakan negara yang tidak menangani langsung pengelolaan zakat, dan juga
pemerintahanya memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, namun
pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua atau sebgaian dari delapan ashnaf.
penggunaan zakat yang dapat kita diketahui lewat GBHN, pelita dan APBN nya, maka
apakah pembayaran pajaknya bisa diniati sebagai pembayaran zakatnya, atau dicarikan solusi
lain untuk menghindari kewajiban rangkap yang bisa memberatkan. Namun jika kita melihat
Sistem perpajakn sekarang ini memang sesuai dengan hukum-hukum syari’at islam, selama
pajak tersebut dikeluarkan dari orang yang wajib mengeluarkanya, serta berorientasi pada
kebaikan dan kemaslahatan bersama. Para ulama dan ilmuawan sepakat bahwa sebagian hak
orang-orang kaya wajib untuk dipungut pajak, namun pajak tersebut tidak dapat
menggantikan wajib zakatnya. Misal, seseorang telah membayar pajak 15% dari pengahsilan
neto 1 tahun, yang melebihi jumlah zakat yang hanya 2,5%, maka pembayaran pajak tersebut
tidak boleh serta diniati pembayaran zakatnya.
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya hal yang perlu
dikedepankan dalam kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep tentang
kemaslahatan dan keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya) harus
mengeluarkan zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan sebagai warga
negara dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban horizontalnya kepada negara.
[16]
Di samping berbagai politik yang ada di balik UU tentang zakat, yang perlu diketahui zakat
juga memperbaiki perasaan-perasaan yang buruk yang timbul diantara orang-orang yang kaya
dan miskin, dan memperbaiki hubungan antara mereka yang mengeluarkan zakat dengan
kelompok-kelompok yang menerima zakat, sehingga ketika mereka yang kaya tidak akan
khawatir ketika mengalami kerugian dan kendala dalam berdagang, karena mereka akan
mendapatkan bantuan dari orang lain. Zakat juga memperkuat keihklasan jiwa, dengan
keihlasan dan saling memahami, maka akan trejadi kerjasama soisal.[17]
Sebagai subjek pembahasan dalam keuangan publik islam, zakat tidak bisa dinilai hanya dari
aspkek politiknya saja, meskipun aspek zakat ini adalah aspek yang menunjukkan gambaran
karakteristiknya sebagai institusi keuangan publik dalam pemgertian konvensiuonal. Aspek
ritual zakat mempertahankan karakternya sebagai institusi khusus keuangan publik dari sudut
pandang islam, sebab zakat harus didistribusikan kepada publik. Karennaya, karakter khas
zakat terletak pada fakta aspek pendistribusianya lebih penting dari pengumpulanhya.[18]
IV. Kesimpulan
Dengan kewajiban zakat, nyatalah bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak tanpa
adanya ikatan-ikatan syari’at. Tapi didalam hak milik itu ada suatu tugas sosial yang wajib
ditunaikan sebagai makhluk sosial. Dalam UU No. 38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
“pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”.
Sedangkan yang berwenang untuk mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang
dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Dalam hal
ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada
muzakki, mustahiq dan pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999
(yang saat ini sudah diganti dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin
pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur
pertimbangan dan unsur pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan, masyarakat,
dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap penyelewengan-penyelewengan.
Zakat yang mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam
yang ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya kepada yang
lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat secara konsumtif,
namun diballik sisi konsumtif yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat, juga terdapat
tujuan untuk hal produktif, seperti menambah modal usaha, pengembangan dana, dll. Hal itu
berarti zakat dapt dijadikan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan menciptalan
kesejahteraan umat
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang
ditentukan, karena zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat fitrah, dan
kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal dan pendapatan seperti
halnya zakat mal pada umumnya. Zakat pada intinya adalah suatu sistem kegiatan politik,
karena pada dasarnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagianya terhadap
sasaranya dengan memperhatikan asas keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang
membutuhkan. Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya
hal yang perlu dikedepankan dalam kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep
tentang kemaslahatan dan keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya)
harus mengeluarkan zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan sebagai
warga negara dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban horizontalnya kepada
negara.
V. Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah
membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati,
pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan
saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu
senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang
benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ba’ly, Abdul Al Hamid Mahmud. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan
Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1.
Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. Cet 1.
Ali, Nurudin Mhd. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn Fiskal. Jakarta; Pt Raja
Grafindo Persada. Ed 1.
Hasan, Muhamad. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea
Press. 2011. Cet 1.
Mufraini, Arif. Akuntansi Dan Manajemen Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan
Membangun Jaringan. Jakarta; Kencana. 2006. Cet 1.
Sari, Elsi Kartika Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006
Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat Dan Pajak. Yogyakarta;
Pusat Studi Zakat. Cet 1
Sulaiman. AR, Dahlan. Dkk. 2010. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai
Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. Cet 1.
Supena, Ilyas. Darmu’in. 2009. Manajemen Zakat. Semarang; Walisongo Pers. Cet 1.
Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id.
tanggal 30 September 2014.
Zuhri, Saifudin. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.
2012. Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. Cet 1.
[1] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.
Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 10.
[2] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai
Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm V.
[3] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.
Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 2.
[4] Ilyas Supena, Darmu’in. Manajemen Zakat. Semarang;Walisongo Pers.2009. Cet 1. Hlm
62.
[5] Abdul Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan
Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 125.
[6] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai
Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm 1, 10.
[7] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea
Press. 2011. Cet 1. Hlm 15.
[8] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.
Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 112.
[9] Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id.
tanggal 30 September 2014.
[10] Arif Mufraini. Akuntansi Dan Manajemen Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan
Membangun Jaringan. Jakarta; Kencana. 2006. Cet 1. Hlm 191-192.
[11] Elsi Kartika Sari. Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006. Hlm 89.
[12] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta;
Idea Press. 2011. Cet 1. Hlm 38.
[13] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun
2011. Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 111.
[14] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai
Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm 5, 22.
[15] Nurudin Mhd.Ali. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn Fiskal. Jakarta; Pt Raja
Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 49 57 152 153.
[16] Kutbuddin Aibak. Kajian Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Cet 1. Hlm157 164 171
[17] Abdul Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan
Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 134.
[18] Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat Dan Pajak. Yogyakarta; Pusat
Studi Zakat. 2004. Cet 1. Hlm 200.