22
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki beragam etnis (suku), kebudayaan dan agama. Menurut Sumadi adanya keberagaman etnis (suku) tersebut, keberlangsungan dan perkembangannya memunculkan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya berbeda antara satu sama lainnya. Keberagaman tersebut menjadikan sebuah kemajemukan budaya atau multibudaya yang dalam pandangan posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme. Kemajemukan tersebut merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Ketetapan MPR, 2000). Kondisi dan situasi merupakan sebuah kewajaran sejauh perbedaan ini disadari dan diakui keberadaannya dan juga dihayati. Namun ketika perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup bermasyarakat, maka perbedaan tersebut akan menjadi sebuah masalah yang harus diselesaikan. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarat Indonesia saat ini, merupakan sebuah faktor yang sangat memungkinkan untuk terjadinya ketidakseimbangan perbedaan tersebut, bahkan dapat pula menjadi sebuah konflik antar masyarakat. Walaupun sebenarnya secara laten konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi. Oleh karena itu, dengan masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras, multi etnis, dan multi agama, memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik. Sebagaimana dijelaskan oleh Hermansyah et al (2008) bahwa hal tersebut dapat diukur atau dilihat dari beberapa konflik horisontal yang disertai dengan tindakan- tindakan kekerasan diseluruh wilayah Indonesia. Seperti konfik di Sampit yang melibatkan etnis lokal dengan etnis Madura, kasus Ambon, kasus Papua, kasus Poso dan masih banyak kasus yang lainnya.

Bagian Inti

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bagian inti

Citation preview

Page 1: Bagian Inti

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki

beragam etnis (suku), kebudayaan dan agama. Menurut Sumadi adanya

keberagaman etnis (suku) tersebut, keberlangsungan dan perkembangannya

memunculkan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak

budaya berbeda antara satu sama lainnya. Keberagaman tersebut menjadikan

sebuah kemajemukan budaya atau multibudaya yang dalam pandangan

posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.

Kemajemukan tersebut merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus

menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat terasa terutama

ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam

menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik

yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Ketetapan MPR, 2000). Kondisi dan

situasi merupakan sebuah kewajaran sejauh perbedaan ini disadari dan diakui

keberadaannya dan juga dihayati. Namun ketika perbedaan tersebut mengemuka

dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup bermasyarakat,

maka perbedaan tersebut akan menjadi sebuah masalah yang harus diselesaikan.

Perubahan sosial yang terjadi pada masyarat Indonesia saat ini, merupakan

sebuah faktor yang sangat memungkinkan untuk terjadinya ketidakseimbangan

perbedaan tersebut, bahkan dapat pula menjadi sebuah konflik antar masyarakat.

Walaupun sebenarnya secara laten konflik tersebut telah ada jauh sebelum era

reformasi. Oleh karena itu, dengan masyarakat Indonesia yang multikultur, multi

ras, multi etnis, dan multi agama, memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Hermansyah et al (2008) bahwa hal tersebut dapat

diukur atau dilihat dari beberapa konflik horisontal yang disertai dengan tindakan-

tindakan kekerasan diseluruh wilayah Indonesia. Seperti konfik di Sampit yang

melibatkan etnis lokal dengan etnis Madura, kasus Ambon, kasus Papua, kasus

Poso dan masih banyak kasus yang lainnya.

Page 2: Bagian Inti

2

Konflik-konflik tersebut di atas sering kali disebabkan oleh setiap

golongan memiliki kecenderungan fanatik kepada golongannya sendiri dan

menganggap rendah golongan lain, karena terbawa oleh kebudayaan, adat dan

letak geografis. Oleh karena itu, hubungan antar warga dari berbagai golongan

suku bangsa yang berlainan cenderung tegang, saling curiga dan mendasarkan

pada stereotip etnis (Anonymous, 2010). Ketegangan antara suku bangsa di

Indonesia sering terjadi dikarenakan oleh lingkungan dan sosial budaya yang

berbeda. Begitu juga dengan perbedaan berbagai karakteristik, tidak

mengherankan jika kontak di antara mereka tidak akan mencapai sukses

interpersonal dan kurang saling menghargai.

Najwan (2009) menyatakan bahwa fenomena konflik dapat muncul

dikarenakan adanya konflik nilai, konflik norma dan juga konflik kepentingan

antar komunitas etnis, agama dan golongan dalam masyarakat. Selain itu, konflik

yang terjadi juga dapat disebabkan sebagai akibat dari diskriminasi peraturan dan

perlakuan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah dengan mengabaikan,

menghapuskan dan melemahkan nilai-nilai dan norma-norma hukum adat

termasuk norma agama dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah tersebut melalui

dominasi dan pemberlakuan hukum negara.

Pada tahun 2008 saja di Indonesia telah terjadi 1.136 konflik dan

kekerasan yang meliputi konflik etnis/agama 28 insiden (2%), politik 180 insiden

(16%), tawuran 240 insiden (21%), konflik antar aparat negara 15 insiden (1%),

konflik perebutan sumberdaya alam 109 insiden (10%), Perebutan SDE 123

insiden (11%), penghakiman massa 338 insiden (30%), pengeroyokan 47 (4%),

dan konflik yang lainnya 56 insiden (5%) (Saputra et al, 2009).

Contoh kongkrit konflik sosial yang terjadi di Indonesia beberapa tahun

terakhir ini menurut Suharli (2012) adalah: (1) Konflik sosial yang bernuansa

saparatisme: terjadi di Aceh, Maluku dan Papua. (2) Konflik sosial yang

bernuansa etnis: terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggah dan Ambon.

(3) Konflik sosial bernuansa idiologi: isu paham Komunis dan paham radikal. (4)

Konflik sosial bernuansa politis: konflik akibat kecurangan Pilkada, isu

pemekaran wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan. (5) Konflik

Page 3: Bagian Inti

3

sosial bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar

kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok Pedagang. (6)

Konflik sosial lainnya: konflik antar anak sekolah dan mahasiswa. (7) Konflik

bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar supporter sepak bola. (8)

Konflik sosial isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan aliran

Akhmaddiyah, isu aliran sesat. (9) Konflik isu kebijakan pemerintah: Bahan

Bakar Minyak (BBM), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Liquefied Petroleum

Gas (LPG).

Dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi dalam masyarakat

yang berbentuk multi budaya. Selain itu, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat

dihindari dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah

bagaimana konflik itu dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana,

agar tidak menimbulkan dis-integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat

(Najwan, 2009). Selain itu, untuk meminimalisasi semua konflik yang tersebut di

atas, maka sangat perlu dilakukan pembenahan kepada Sumber Daya Manusianya.

Artinya harus dilakukan pembentukan karakter kebinekaan kepada generasi

penerus bangsa ini, yang salah satunya dapat dilakukan melalui Galeri Photo-

Cliping Voices sebagai pendidikan karakter kebinekaan.

Perumusan Masalah

1. Apakah Galeri Photo-Cliping Voices dapat digunakan sebagai pendidikan

karakter untuk mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa

kebinekaan?

2. Apakah Galeri Photo-Cliping Voices dapat digunakan sebagai media

pengakuan dan pemersatu keberagaman masyarakat di dalam masyarakat

multikultur?

3. Bagaimanakah teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices dalam

rangka menjadi pendidikan karakter dan media pengakuan dan pemersatu

masyarakat multikultur?

Page 4: Bagian Inti

4

Tujuan

1. Mengetahui potensi Galeri Photo-Cliping Voices sebagai pendidikan karakter

untuk mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kebinekaan.

2. Mengetahui potensi Galeri Photo-Cliping Voices sebagai media pengakuan

dan pemersatu keberagaman masyarakat di dalam masyarakat multikultur.

3. Mengetahui dan memahami teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices

sebagai pendidikan karakter dan media pengakuan dan pemersatu masyarakat

multikultur yang tepat.

Manfaat

1. Praktisi Pendidikan (Guru)

Memberikan informasi dan juga gagasan yang logis untuk menerapkan

pendidikan karakter, terutama untuk meningkatkan kepedulian, pemahaman

dan kecintaan siswa terhadap kebinekaan bangsa Indonesia. Agar para

praktisi pendidikan dapat menerapkan dan minimal dapat mengarahkan anak

didiknya untuk dapat memahami, menghormati, menjaga, dan yang paling

penting adalah mengakui adanya perbedaan yang di dalam masyarakat yang

harus benar-benar dipahami dan dihargai.

2. Masyarakat

Memberikan pandangan, pemahaman serta informasi tentang cara

alternatif untuk menjaga kerukunan di dalam perbedaan masyarakat dengan

langsung menyentuh sumber daya manusia yaitu generasi muda penerus

bangsa melalui bidang pendidikan, agar masyarakat secara serentak untuk

ikut serta berperan aktif membimbing dan mengarahkan anak-anaknya untuk

saling menghargai, memahami, menghormati, menjaga, dan yang paling

penting adalah mengakui adanya perbedaan yang di dalam masyarakat.

3. Pemerintah

Memberikan gagasan yang logis dan solusi yang tepat guna untuk

meminimalisasi konflik di Indonesia serta menjaga kerukunan di dalam

masyarakay yang multikultur dengan melalui pendidikan karakter untuk

menyiapkan generasi muda penerus bangsa yang memiliki karakter

kebinekaan.

Page 5: Bagian Inti

5

TELAAH PUSTAKA

Konflik yang Terjadi di Indonesia

Konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau yang

bersifat antagonistik (Alexander, 2005). Sedangkan menurut Mitchell (1981)

dalam Suharno (2006) konflik dapat diartikan sebagai hubungan antar dua pihak

atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki

sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Pengertian ini harus dibedakan dengan

kekerasan, yaitu sesuatu yang meliputi tindakan, perkataan, sikap atau berbagai

struktur dan sistem yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan

lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensinya secara penuh.

Konflik sering kali terjadi karena adanya perbedaan, kesenjangan dan

kelangkaan kekuasaan, kelangkaan posisi sosial, dan juga perbedaan penilaian.

Perspektif konflik tersebut umumnya didasarkan pada beberapa pemikiran,

seperti: (1) masyarakat terdiri dari kelompok yang berbeda-beda, (2) terdapat

perbedaan terhadap suatu hal yang dianggap benar/baik dan salah, (3) adanya

pertentangan oleh kelompok-kelompok sosial (Alexander, 2005).

Konflik-konflik tersebut seringkali akan menjadi konflik sosial karena

sudah mencakup wilayah sosial. Konflik sosial itu sendiri menurut Robbins

(1991) merupakan suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak

lain yang memberikan pengaruh negatif, atau saat kepentingannya memberikan

pengaruh negatif terhadap pihak lain.

Sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi begitu banyak konflik sosial.

Bahkan negara ini meraih kemerdekaanpun melalui berbagai konflik yang sangat

lama dan panjang. Pada tahun 2008 saja di Indonesia telah terjadi 1.136 konflik

dan kekerasan yang meliputi konflik etnis/agama, politik, tawuran hingga konflik

antar aparat negara (Saputra et al, 2009). Berikut ini beberapa konflik yang telah

terjadi di Indonesia.

Page 6: Bagian Inti

6

1. Konflik berdasarkan Etnis

Konflik bernuansa etnis ini merupakan konflik yang sudah sering

terjadi di Indonesia bahkan di dunia internasional. Salah satu contoh konflik

etnis yang terjadi di Indonesia adalah yang terjadi di Kalimantan Barat.

Setidaknya ada 3 insiden konflik etnis disana yang meliputi: (1) tahun 1967

etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok masyarakat

Cina. (2) tahun 1997 etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap etnis

Madura. (3) tahun 1999 etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap

etnis Madura (Abas, 2008). Dan apabila di cermati lebih jauh lagi masih

banyak konflik-konflik yang bernuansa Agama di Indonesia.

2. Konflik berdasarkan Agama

Konflik keagamaan yang berujung kepada kekerasan di Indonesia mulai

tahun 1990 – 2008 telah terjadi pada 20 provinsi, dari total 33 provinsi di

Indonesia (Fauzi et al, 2009).

Tabel 1. Persebaran Insiden Konflik Keagamaan (1990 – 2008)

Sumber: Fauzi et al, 2009

Salah satu contoh konflik keagaman yang terjadi adalah bentrok

yang terjadi di Maluku Tenggah pada tahun 2008 yang

memusnahkan 67 rumah warga (Anonymous, 2008).

Page 7: Bagian Inti

7

3. Konflik Berdasarkan Politik

Konflik bernuansa politik ini pun sangat sering terjadi di Indonesia

apalagi saat menjelang Pemilu. Sebagaimana menurut LSI (2008) bahwa

pemilu yang diadakan di Kalimantan Baran, Sulawesi Selatan, dan Bangka

Belitung mengalami kerusuhan. Dan sebenarnya hampir disemua derah

seringkali terjadi konflik yang semacam ini.

Pendidikan Untuk Membangun Karakter

Persoalan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan

itu mengenai berbagai aspek kehidupan, yang tertuang dalam berbagai tulisan di

media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di

media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan dan

pengamat sosial berbicara mengenai persoalan karakter bangsa di berbagai forum

seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang

muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,

perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang

tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media

massa, seminar, dan di berbagai kesempatan (Kementrian Pendidikan Nasional,

2010).

Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-

undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.

sedangkan alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak

mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah

pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena

pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik (Kementrian

Pendidikan Nasional, 2010).

Pengertian Karakter

Karakter itu sendiri adalah watak/tabiat/pembawaan/kebiasaan (Partanto &

Barry, 1994). Secara lebih luas, Kementrian Pendidikan Nasional (2010)

menjelaskan karakter merupakan kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil

internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai

Page 8: Bagian Inti

8

landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri

atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat

dipercaya, dan hormat kepada orang lain.

Karakter seorang individu terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh

genetik dan lingkungan sekitar. Proses pembentukan karakter, baik disadari

maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan

lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari (Chrisiana,

2005). Sedangkan menurut Budimansyah, et al. (2010) menjelaskan bahwa

karakter itu dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai kebajikan (tahu nilai kebajikan,

mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang tertanam dalam diri dan

terjawantahkan dalam perilaku.

Lickona dalam Budimansyah, et al. (2010) menyatakan bahwa secara

substantif terdapat tiga unjuk perilaku (operatives values, values in action) yang

satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, and moral

behavior. Sedangkan karakter yang baik atau good charakter terdiri atas proses

psikologis knowing the good, desiring the good, and doing the good habit of the

mind, habit of the heart, and habit of action.

Menumbuhkan Karakter

Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah

rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas

moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Secara

psikologis, karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian,

yakni olah hati, olah pikir, olah raga, dan perpaduan olah rasa dan karsa

(Budimansyah, et al., 2010). Kementrian Pendidikan Nasional (2011)

menjelaskan bahwa:

1. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan atau keimanan

menghasilkan karakter jujur dan bertanggung jawab.

2. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan

pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas.

Page 9: Bagian Inti

9

3. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi,

dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan karakter

tangguh.

4. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan yang tercermin dalam

kepedulian. Dengan demikian, terdapat enam karakter utama dari seorang

individu, yakni jujur dan bertanggung jawab, cerdas, kreatif, tangguh, dan

peduli.

Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam

mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan juga suatu usaha masyarakat

dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan

kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan, yang ditandai

oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa

(Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat lepas dari

kehidupan. Dengan pendidikan, dapat memajukan kebudayaan dan mengankat

derajat bangsa di mata dunia internasional. Pendidikan akan terasa gersang apabila

tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas baik dari segi

spiritual, intelegensi dan skill (Susilo, 2007).

Secara filosofis Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara,

menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan

tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan

kesempurnaan hidup anak-anak kita. Hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan

nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan

peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan

spiritual, emosional, sosial, intelektual, maupun kecerdasan kinestetika. Oleh

karena itu, pendidikan nasional mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap

individu peserta didik. Salah satu misi mulianya adalah mencerdaskan kehidupan

bangsa (Budimansyah, et al., 2010).

Page 10: Bagian Inti

10

Pendidikan Karakter

Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat

Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan

kebangsaan yang berkembang saat ini. Oleh karena itu, Pemerintah menjadikan

pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan

nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter

ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional,

yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,

dan beradab berdasarkan falsafah pancasila (Kementrian Pendidikan Nasional,

2011).

Lebih jauh Kementrian Pendidikan Nasional (2011) menjelaskan bahwa

pendidikan karakterpun sebenarnya telah tertuang dalam fungsi dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional -

UUSPN).

Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara

apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan

sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan

mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi lebih dari itu, pendidikan karakter

menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga

peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah,

mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).

Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan hanya

Page 11: Bagian Inti

11

aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan

dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan

karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan

dan dilakukan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011).

Pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para

personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan

anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau

memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab (Wangid, 2010).

Proses implementasi pendidikan karakter didasarkan pada totalitas

psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,

psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam

keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat (Kementrian Pendidikan Nasional,

2011).

Nilai-Nilai Pembentukan Karakter

Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan

melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan

pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter

pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18

nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values)

yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun (Kementrian

Pendidikan Nasional, 2011).

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah

teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)

Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)

Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli

Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Kementrian

Pendidikan Nasional, 2011).

Page 12: Bagian Inti

12

METODE PENULISAN

Sifat Penulisan

Karya tulis ini bersifat memaparkan tentang kondisi dari suatu

permasalahan kerukunan di dalam masyarakat yang multikultur di Indonesia yaitu

konflik-konflik sosial yang sering kali terjadi di dalam masyarakat. Serta

menawarkan solusi alternatif penenganan permasalahan tersebut dengan

menggunakan Galeri Photo-Cliping Voices sebagai pendidikan karakter untuk

mencetak generasi penerus bangsa yang mencintai, mau menjaga, menghargai,

menghormati dan mengakui adanya keberagaman di dalam masyarakat yang

multikultur di Indonesia.

Metode Pengumpulan Data

Penulisan karya tulis ini adalah dengan menggunakan metode pengumpulan data

yang berupa studi pustaka melalui beberapa sumber di bawah ini:

1. Jurnal-jurnal penelitian

2. Buku-buku referensi

3. Makalah dan karya ilmiah

4. Internet

Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan dua metode, yaitu:

1. Metode memaparkan data serta fakta yang ada, sehingga data-data yang ada

dapat dikorelasikan.

2. Metode yang berupa proses analisis dengan penyampaian argumen melalui

berfikir logis dan sistematis.

Page 13: Bagian Inti

13

Kerangka Berfikir

kekayaan

kekuatan

Masyarakat Multikultur

Berbagai SARA

di Indonesia

tantangan

Perubahan social,

fanatik golongan,

perbedaan karakter

kelompok KONFLIK

Pendidikan Karakter sejak

Dini yang berkelanjutan

Solusi / dapat

diatasi dengan

GALERI PHOTO –

CLIPING VOICES

Solidaritas liar

Separatisme

Konflik etnis

Konflik agama

dan ideologi

Konflik politis

Kebijakan

pemerintah

Gambar 1. Kerangka Beripiki Penulisan

Page 14: Bagian Inti

14

ANALISIS DAN SINTESIS

Masyarakat Multikultur dan Konflik Sosial

Suatu realitas yang tak terbantahkan, bahwa tidak satu negara pun di dunia

yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni

hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana pun di dunia sekarang selalu didukung

oleh pluralitas penduduk dari segi etnis. Implikasi dari pluralitas etnis ini adalah

lahirnya pluralitas dalam aspek lain, seperti budaya, bahasa, agama, bahkan kelas

sosial dalam satu negara (Imron, 2006).

Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang tersebar di Nusantara,

memiliki ratusan etnis, budaya, agama, ras, bahasa bahkan kelas sosial. Hal

tersebutlah yang menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki

masyarakat multikultur. Menurut Imron (2006) karakteristik pluralitas Indonesia

tersebut merupakan kompleksitasnya di dalam hal etnis dan agama. Di Indonesia

terdapat tidak hanya puluhan etnis, melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan

budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai

etnis itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan

lainnya berbeda. Karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa sesuai

dengan kondisi bangsa Indonesia yang demikian majemuk dan heterogen.

Kemajemukan tersebut merupakan potensi budaya yang dapat

mencerminkan jati diri bangsa. Secara historis, kemajemukan tersebut telah dapat

menjadi salah satu unsur yang menentukan dalam pembentukan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Selain itu, kemajemukan juga menjadi modal budaya

(cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan

dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi dari sisi lain,

kemajemukan tersebut menurut Najwa (2009) juga berpotensi untuk menimbulkan

konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa. Hal serupa juga dinyatakan di

dalam Ketetapan MPR (2000) bahwa kemajemukan tersebut merupakan kekayaan

dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan

itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan

Page 15: Bagian Inti

15

dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Konflik antar budaya di dalam kemajemukan tersebut menurut Najwan

(2009) dapat menimbulkan pertikaian antar etnis, antar penganut agama, ras

maupun antar golongan yang bersifat sangat sensitif dan rapuh terhadap suatu

keadaan yang menjurus ke arah dis-integrasi bangsa. Fenomena ini dapat terjadi,

apabila konflik tersebut tidak dikendalikan dan diselesaikan secara arif dan

bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.

Telah banyak konflik yang terjadi di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat

dari catatan sejarah bahwa di Kalimantan Barat khususnya telah terjadi konflik

mulai tahun 1950 tepatnya di Samalantan Kabupaten Sambas (1950 – 1977),

Terap-Toho Kabupaten Pontianak (1969), Bodok Kabupaten Sanggau (1976),

sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak (1978), Siadoreng Samalantan Kabupaten

Sambas (1979), Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak (1983), Kotamadya

Pontianak (1993), Tumbang Titi Kabupaten Ketapang (1994), Sanggau Ledo

Kabupaten Sambas (1996/1997), dan di Siantan Tengah, Kotamadya Pontianak

(1997) (Tiras, 1997; Hermansyah et al, 2008).

Selain yang tersebut di atas, masih banyak lagi konflik-konflik yang terjadi

di wilayah Indonesia. Sejak berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 konflik di

Indonesia semakin menjadi-jadi. Beberapa konflik besar yang telah terjadi seperti

konflik di Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Aceh, dan

Papua. Konflik tersebut bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga

kerugian jiwa. Tercatat hingga tahun 2001 saja, jumlah korban jiwa akibat konflik

sebanyak 11.160 jiwa (Saputra et al, 2009)

Saputra et al (2009) lebih jauh menjelaskan bahwa pada tahun 2008 saja di

Indonesia telah terjadi 1.136 konflik dan kekerasan yang meliputi konflik

etnis/agama 28 insiden (2%), politik 180 insiden (16%), tawuran 240 insiden

(21%), konflik antar aparat negara 15 insiden (1%), konflik perebutan sumberdaya

alam 109 insiden (10%), Perebutan SDE 123 insiden (11%), penghakiman massa

338 insiden (30%), pengeroyokan 47 (4%), dan konflik yang lainnya 56 insiden

(5%).

Page 16: Bagian Inti

16

Tabel 2. Jumlah Konflik Kekerasan Komunal di Seluruh Provinsi di

Indonesia tahun 2008

Sumber: Saputra et al, 2009

Apabila dilihat dari data yang tersaji di atas, maka hal tersebut

menunjukkkan bahwa konflik di Indonesia penyebabnya adalah sangat beragam

mulai dari yang bernuansa etnis, agama, politik, SDA, SDE, tawurah hingga antar

aparat negara. Menurut Saputra et al (2009) konflik etnis/agama memang hanya

2% yaitu tergolong ke dalam angka yang kecil. Namun, konflik ini cukup

berbahaya karena cenderung meningkat pada bulan-bulan tertentu dan kembali

meningkat pada akhir tahun. Sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Grafik Konflik Etnis/Agama tahun 2008 di Indonesia

Page 17: Bagian Inti

17

Meminimalisasi Konflik Sosial Melalui Galeri Photo-Cliping Voices Serta

Relevansinya sebagai Media Pembelajaran Karakter dan Media pengakuan

dan Pemersatu Masyarakat Multikultur

Keanekaragaman kebudayaan Indonesia yang didukung oleh 931 etnis,

600-an bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural (Mulyana, 2005; Sumadi), maka

dalam proses interaksi sebagai bagian dari negara kesatuan antar etnis tersebut

diperlukan sebuah toleransi yang tinggi terhadap keberadaan kebudayaan satu

etnis dengan etnis yang lainnya dalam kerangka nasionalisme kebangsaan, sebuah

ideologi transetnis yang menjadi cita-cita bersama. Toleransi inilah yang nantinya

bermuara pada konsep adaptasi budaya sebagai sebuah out put yang bijaksana dan

bebas konflik.

Galeri Photo-Cliping Voices Sebagai Pendidikan Karakter

Selama ini isu konflik sosial masyarakat terutama di Indonesia telah

menjadi pembahasan yang panjang dan telah menyita perhatian banyak pihak.

Beberapa penyelesaian untuk mengatasi konflik-konflik sosial ini telah banyak

dilakukan, mulai dari perundingan, diproses lewat hukum hingga diselesaikan

lewat multikulturalisme.

Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah pendidikan

multikultural sebagai strategi jangka panjang meskipun konsep ini mengundang

banyak kontroversi pendapat. Salah satu kritiknya adalah bahwa pendidikan

multikultural itu bersifat memecah-belah karena pengakuan terhadap hakikat

hidup setiap kebudayaan akan melahirkan bentuk-bentuk yang khas pendidikan

multikultural yang belum tentu berujung pada kepentingan integrasi kebudayaan

secara nasional. Pendidikan mulkultural ini belum tentu sejalan dengan

terpeliharanya nasionalisme (Watson, 2000; Purwanto).

Pada dasarnya dengan cara langsung menyentuh kepada Sumber Daya

Manusianya merupakan cara yang sangat tepat untuk menyelesaikan segala

bentuk konflik sosial yang ada di dalam masyarakat multikultur, dan melalui

pendidikan yang paling tepat untuk hal ini. Namun perlu adanya pengayoman

menyeluruh untuk keberagaman masyarakat yang ada dan tidak memisah-

Page 18: Bagian Inti

18

misahkan budaya satu dengan yang lain atau bahkan etnis satu dengan yang

lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Sumadi bahwa sangat perlu kejelian melihat

bagaimana reaksi dan kreasi masyarakat dalam kemajemukan budaya, sehingga

persinggungan budaya etnis ini tidak mengarah pada bentuk konflik etnis, tetapi

menuju sebuah peleburan yang berbentuk adaptasi dan mencegah disharmoni

dalam hubungan antaretnis. Pemahaman estetika kultural dalam hal ini menjadi

sangat penting.

Atas dasar hal tersebut di atas sangat diperlukan sebuah bentuk pendidikan

yang dapat menanamkan pemahaman untuk saling menghargai kemajemukan

yang ada. Terlebih lagi untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang mampu

menjaga, menghargai menghormati dan mengakui adanya perbedaan yang hidup

secara bersama dan bersatu di dalam unsur kehidupan bermasyarakat. Untuk

itulah Galeri Photo-Cliping Voices hadir untuk membentuk karakter penerus

bangsa ini menjadi berwawasan kebinekaan.

Teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices di dalam dunia

pendidikan tidak dimasukkan ke dalam proses pembelajaran, tetapi dilakukan

diluar kegiatan belajar mengajar. Secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Dalam Implementasinya, setiap kelas akan dibentuk pengurus Galeri Photo-

Cliping Voices yang berfungsi untuk mengatur, mengoordinir teman-temannya

di dalam kelas, dan dibimbing oleh satu guru pembimbing.

2. Semua siswa dibentuk kelompok (jumlah sesuai dengan kesepakatan kelas) dan

masing-masing kelompok diharuskan untuk mencari informasi apapun tentang

kemajemukan masyarakat Indonesia, konflik-konflik sosial, hingga

keharmonisan yang telah terjadi di masyarakat Indonesia.

3. Dalam rangka mencari informasi tersebut, siswa harus benar-benar

memperoleh data yang lengkap dan diuraikan secara fakta yang disusun baik

dalam bentuk foto maupun kliping yang menceritan suatu keadaan (photo-

cliping voices).

4. Foto maupun Kliping tersebut akan dibuat di dalam ukuran yang besar minimal

ukuran kertas A3 dan akan dilakukan pameran serta presentasi di dalam galeri.

Page 19: Bagian Inti

19

5. Galeri itu sendiri berfungsi untuk menghimpun semua kreasi siswa yang telah

dibuat.

6. Dalam pembuatan photo-cliping voices tidak ada aturan yang pasti karena

memang untuk memberikan wadah kepada semua siswa mengembangkan

kreatifitasnya. Dan yang paling penting adalah pesan yang disampaikan dapat

bersifat komunikatif dan menarik.

7. Dan setiap satu semester akan diadakan kompetisi photo-cliping voices yang

terbaik. Hal ini ditujukan agar semua siswa dapat memberikan karya

terbaiknya dan memiliki karakter mampu bersaing secara berkualitas dan

baik/benar.

8. Masing-masing siswa bertanggung jawab penuh terhadap informasi yang

dibuat dan diberikan di dalam Photo-cliping Voices tersebut.

9. Setiap minggunya siswa tersebut akan memperoleh pemahan materi dari guru-

guru pembimbing tentang kebinekaan di Indonesia dan semua yang berkaitan

tentang dinamika masyarakat di Indonesia.

Mulai dari dibentuknya pengurus Galeri Photo-Cliping Voices tersebut,

sebenarnya telah mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai karakter diri seperti

tanggung jawab, peduli sosial, komunikatif, dan jujur. Sedangkan siswa

dikelompokkan bertujuan untuk membangun karakter komunikatif, mampu

bekerjasama, saling tolong menolong dan menghargai serta menghormati. Saat

siswa membuat photo-cliping voices pada dasarnya itu mengajarkan kepada

mereka untuk dapat mempelajari semua bentuk dinamika masyarakat atau

kemajemukan masyarakat Indonesia. Selain itu mengajarkan bagaimana

mengembangkan kreativitas siswa untuk berkarya. Dilakukannya kompetisi

photo-cliping voices diharapkan dapat menanamkan karakter kepada siswa untuk

mampu bersaing secara berkualitas, jujur, dan mampu menghargai orang yang

lebih unggul.

Maka dengan adanya Galeri Photo-Cliping Voices ini tentunya dapat

memberikan pemahaman tentang kemajemukan masyarakat dan membangun

wawasan kebinekaan serta dapat menanamkan nilai-nilai karakter diri

sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2011)

Page 20: Bagian Inti

20

bahwa pelaksanaan pendidikan karakter teridentifikasi dari 18 nilai yang

bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:

(1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7)

mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta

tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta

damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18)

tanggung jawab.

Galeri Photo-Cliping Voices Sebagai Media Pengakuan dan Pemersatu

Masyarakat Multikultur

Koflik seringkali terjadi karena adanya salah satu pihak merasakan adanya

pengaruh negatif dari pihak lain. Begitu pula apabila salah satu pihak ingin

memberikan pengaruh negatif kepada pihak yang lain. Hal tersebut pada dasarnya

kembali kepada pemahaman masing-masing kelompok masyarakat, yaitu mampu

memaknai keberagaman itu sebagai kekayaan yang dapat dibanggakan atau malah

menjadi sebuah ancaman bagai kelompok lain. Oleh karena itu, sangat perlu

dilakukan pembenahan dari tataran sumber daya manusianya agar memiliki

wawasan kebinekaan yang diwujudkan dalam bentuk mau menghormati, menjaga

dan mengakui adanya keberagaman tersebut.

Hermansyah et al (2008) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang

plural dan multikultur, seyogyanya pengakuan terhadap etnis dan budaya dengan

segala bentuk kearifannya, tidak terjebak pada absolutisme, mengakui relativisme,

serta terbukannya ruang komunikasi dan dialog merupakan suatu keniscayaan.

Bukan sebaliknya, ikatan premordialisme yang mengarah pada kuatnya kesadaran

etnis menjadikan pemahaman akan keberadaan suatu etnis meniscayakan etnis

yang lain. Dalam kondisi demikian, maka kesadaran etnis menjadi hal yang paling

utama.

Pengakuan tentang keberadaan bahkan identitas merupakan hal yang

penting untuk dipahami dan dilakukan. Oleh karena itulah, dengan adanya Galeri

Photo-Cliping Voices diharapkan mampu menjadi media untuk menanamkan pada

generasi penerus bangsa untuk memiliki kemampuan menyikapi dan pemahaman

Page 21: Bagian Inti

21

tentang pentingnya pengakuan terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia.

Maka dengan demikian persatuan masyarakat yang multikultur dapat tetap terjaga,

terbingkai dalam satu semboyan bangsa yaitu Bhinneka Tunggal Ika dan dapat

terimpelmentasikan dalam keberlangsungan kehidupan bermasyarakat.

Page 22: Bagian Inti

22

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Galeri Photo-Cliping Voices berpotensi besar digunakan sebagai salah satu

cara mengurangi konflik sosial di dalam kemajemukan bangsa, karena

langsung memperbaiki dari sumber daya manusianya (SDM) yaitu generasi

muda penerus bangsa dengan menanamkan karakter mampu memahami,

menyikapi, menjaga, menghormati, toleransi dan mampu mengakui

kemajemukan masyarakat Indonesia sehingga tetap terjaga kerukunan dan

persatuan di dalam kelangsungan kehidupan bermasyarakat.

2. Galeri Photo-Cliping Voices ini secara spesifik diimplementasikan pada

bidang pendidikan, dan menjadi pendidikan karakter yang berwawasan

kebinekaan.

Saran dan Rekomendasi

Dengan adanya Galeri Photo-Cliping Voices ini, diharapkan dapat menjadi

pendidikan karakter bagi penerus bangsa agar memiliki wawasan dan pemahaman

yang mendalam tentang kebinekaan serta media pengakuan serta pemersatu

masyarakat multikultur. Dan diharapkan ada yang dapat menjadi sekolah

percontohan untuk mengaplikasikan konsep Galeri Photo-Cliping Voices ini.