82
Wahyu Wibowo, Hukum HAM HUKUM HAK ASASI MANUSIA Sejarah HAM Dibentuknya PBB dan Deklarasi Universal HAM dianggap sebagai permulaan perjuangan modern untuk melindungi HAM, namun sebenarnya tidak demikian halnya karena jauh sebelumnya terdapat konsep “hukum alam” atau “hukum kodrat” yaitu suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Pada teori ini manusia telah membawa hak-hak asasi tertentu sejak lahir yang tidak dapat dihilangkan. 1 Standar minimum keadlian internasional dikembangkan dalam upaya melindungi kelompok minoritas agama yang bermula dari reformasi Protestan dan perang agama pada abad 16-17, dimana perjanjian perdamaian juga menggarap ketentuan perlindungan terhadap kelompok minoritas agama. Dengan dalih perlindungan kelompok minoritas ini membuka intervensi militer maupun diplomatik dari negara-negara lain. Sebagai contoh intervensi militer Inggris, Perancis dan Rusia terhadap Imperium Usman (Ottoman) pada tahun 1827 untuk menghentikan penindasan Turki terhadap penduduk Yunaninya. 2 Pada abad ke-19 seiring dengan perkembangan Hukum Internasional lebih menonjolkan negara sebagai subyek hukum bukan individu, namun demikian pada masa ini telah mengisyaratkan adanya perlindungan modern terhadap hak asasi manusia secara internasional. Perlindungan orang asing yang tumbuh dalam konsep kedaulatan negara sehingga suatu bangsa dapat menuntut agar hak warga negaranya diluar negeri dihormati. Hal ini tercermin dengan terbentuknya ICRC ( dengan Konvensi Jenewa 1863 & 1864 dan Konvensi Den Haag 1899 & 1907) yang berupaya memberikan perlindungan kemanusiaan pada konflik beresenjata dan terbentuknya ILO sebagai upaya menghapuskan perbudakan serta adanya kodifikasi perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi- konstitusi nasional. 1 Peter Davis Editor, Hak-hak Asasi Manusia, Penterjemah A. Rahman Zainudin, Yayasan Obor, Jakarta, 1994, Halaman 2. 2 Op. cit., Halaman 4. 1

Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hukum ham

Citation preview

Page 1: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

Sejarah HAM

Dibentuknya PBB dan Deklarasi Universal HAM dianggap sebagai permulaan perjuangan modern untuk melindungi HAM, namun sebenarnya tidak demikian halnya karena jauh sebelumnya terdapat konsep “hukum alam” atau “hukum kodrat” yaitu suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Pada teori ini manusia telah membawa hak-hak asasi tertentu sejak lahir yang tidak dapat dihilangkan. 1

Standar minimum keadlian internasional dikembangkan dalam upaya melindungi kelompok minoritas agama yang bermula dari reformasi Protestan dan perang agama pada abad 16-17, dimana perjanjian perdamaian juga menggarap ketentuan perlindungan terhadap kelompok minoritas agama. Dengan dalih perlindungan kelompok minoritas ini membuka intervensi militer maupun diplomatik dari negara-negara lain. Sebagai contoh intervensi militer Inggris, Perancis dan Rusia terhadap Imperium Usman (Ottoman) pada tahun 1827 untuk menghentikan penindasan Turki terhadap penduduk Yunaninya. 2

Pada abad ke-19 seiring dengan perkembangan Hukum Internasional lebih menonjolkan negara sebagai subyek hukum bukan individu, namun demikian pada masa ini telah mengisyaratkan adanya perlindungan modern terhadap hak asasi manusia secara internasional. Perlindungan orang asing yang tumbuh dalam konsep kedaulatan negara sehingga suatu bangsa dapat menuntut agar hak warga negaranya diluar negeri dihormati. Hal ini tercermin dengan terbentuknya ICRC ( dengan Konvensi Jenewa 1863 & 1864 dan Konvensi Den Haag 1899 & 1907) yang berupaya memberikan perlindungan kemanusiaan pada konflik beresenjata dan terbentuknya ILO sebagai upaya menghapuskan perbudakan serta adanya kodifikasi perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi-konstitusi nasional.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 menyatakan bahwa hak individu pada hakekatnya otonom, ketika bergabung kedalam masyarakat membentuk kedaulatan rakyat maka secara prinsip hak rakyat tidak dapat dihapuskan. Revolusi Perancis menghasilkan Declaration of the Rights of Man and of the Citizen yang diikuti dalam konstitusi tertulis Belanda (1798), Swedia (1809), Spanyol (1812), Norwegia (1814), Beligia (1831), Liberia (1847), Sardinia (1848), Denmark (1848), dan Prusia (1850). 3

Perjanjian Perdamaian Paris 1814 antara Perancis dengan Inggris untuk pertama kalinya mengutuk perdaganga budak, dan Akta Umum Konferensi Berlin 1885 tentang Afrika Tengah menegaskan bahwa “perdagangan budak dilarang sesuai dengan dasar-dasar hukum internasional.” Berlanjut pada tahun 1926 dikodifikasikan kedalam The Heague of Nations Conventions to Suppres the

1 Peter Davis Editor, Hak-hak Asasi Manusia, Penterjemah A. Rahman Zainudin, Yayasan Obor, Jakarta, 1994, Halaman 2.2 Op. cit., Halaman 4.3 Op. cit., Halaman 8.

1

Page 2: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Slave Trade and Slavery dan LBB mengeluarkan larangan perbudakan bagi bekasa jajahan Turki dan Jerman pada tahun 1918. 4

Perkembangan sosialisme abad ke-19 telah memperluas konsep hak asasi manusia untuk bebas dari campur tangan negara, dilain pihak negara diharuskan memperbaiki persamaan tingkat ekonomi. Hak Ekonomi, sosial-budaya pertama kali dimasukan dalam konstitusi oleh Meksiko (1917) dan Rusia (1918). 5

Abad ke-20 dengan berdirinya PBB dimana setiap anggotanya diwajibkan untuk “menghormati secara universal dan dilaksanakannya hak-hak asasi dan kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama” sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB. Pada tahun 1948 PBB melakukan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditindak lanjuti dengan kodifikasi-kodifikasi perjanjian internasional tentang HAM.

Tahun 1919 terbentuk ILO (Organisasi Buruh Internasional) telah menelurkan berbagai konvensi dan rekomendasi bagi perlindungan buruh dan hak-hak buruh di seluruh dunia. Tahun 1949 terbit Konvensi Jenewa yang memberikan perlindungan bagi sipil maupun mereka yang luka dan sakit serta tawanan perang. Konvensi dimutakhirkan dengan Protokol 1977 yang berisi penggabungan antara Konvensi Den Haag dan Jenewa sehingga terbentuk hukum kemanusiaan internasional.6

Pelanggaran hak asasi dalam Perang Dunia II mempertegas perlunya kodifikasi standar minimum internasional untuk melindungi hak asasi manusia, dengan terbentuknya PBB maka dikodifikasikan Bill of Rights dengan menembus kepada negara yang menolak dan melanggar HAM dengan cara menggunakan sarana bantuan keuangan dan teknik. Kodifikasi dengan mengimplementasikan satandar minimum perlindungan HAM oleh PBB telah menginternasionalkan HAM dan memanusiawikan Hukum Internasional. PBB mempertegas kewajiban dunia internasional untuk menghormati HAM dengan Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 . 7

Komisi PBB tentang HAM telah merancang The International Convenant on Civil and Political Rights, The International Convenant on Economic Social, and Cultural Rights dan The Optional Protocol to the Civil and The Political Convenant, yang mengikat secara hukum dan memberikan jabaran secara rinci mengenai hak-hak asasi yang dilindungi serta tata cara yang harus dilaksanakan negara-negara anggota. Selain Pasal 55 dan 56 Piagam, PBB menggaris bawahi hak menentukan nasib sendiri dengan menghapuskan dominasi kolonial terhadap dunia ketiga. 8

Dari perkembangan mekanisme prosedur penyelesaian pelanggaran HAM oleh PBB secara prinsip dalam hukum internasional individu tidak dipandang sebagai subyek, namun Hukum HAM Internasional membuat sejumlah prosedur yang memberikan kemungkinan kemungkinan bagi individu untuk menuntut penyelesian pelanggaran HAM yang menimpa dirinya dari pihak lain. Seperti

4 Op. cit., Halaman 3-6.5 Op. cit., Halaman 9.6 Op. cit., Halaman 3-8.7 Op. cit., Halaman 11 .8 Op. cit., Halaman 12 - 14.

2

Page 3: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

misalnya pada Optional Protocol to the International Convenant on Civil and Political Rights setuju untuk memperbolehkan warga negaranya melakukan pengaduan individual jika hak-hak asasi mereka dilanggar. 9

Ecosoc dengan resolusi 728F pada tahun 1956 menerima komunikasi pelanggaran HAM individu yang akan diteruskan kepada pemerintahnya dan mekanisme resolusi 1235 (tahun 1967) untuk tuduhan pelanggaran berat dan meluas HAM sebagai materi pembahasan Komisi HAM PBB. Tahun 1970 Ecosoc membuat prosedur dibawah resolusi 1503 dimana pengaduan berdasar resolusi 728F dinilai akan menimbulkan situasi dimana terdapat pola sistematis yang konsisten tentang pelanggaran berat HAM yang kemudian akan diumumkan oleh Komisi HAM PBB. 10

PBB juga akan mengkaitkan bantuan dana dan teknis dengan kondisi apakah negara yang bersangkutan sudah menerapkan standar minimum internasional perlindungan HAM. Disamping oleh PBB mekanisme HAM juga dilaksanakan pula secara regional diberbagai belahan dunia. 11

Sejarah Hukum HAM.

Awal mula hukum antar bangsa modern dikenal pada tahun 1648 yakni ditandatanganinya Perjanjian West Phalia and Pengakhiran Perang Tiga Puluh Tahun. Berdirinya negara-negara pecahan dari Kekaisaran Romawi merupakan faktor esensial perkembangan Hukum Internasional. Konsep utama dari awal Hukum Internasional adalah hukum bagi negara bukan individu. Faktor lain pendorong tumbuhnya Hukum Internasional adalah perdagangan dan hubungan diplomatik antar negara, dimana semula dijadikan kebiasaan selanjutnya praktek tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian internasional. 12

Tumbuhnya perjanjian dan kebiasaan internasional mendorong pemikiran yang menghasilkan teori-teori Hukum Internasional. Pertama-tama adalah hukum alam (jus naturale) yang dipelopori Hugo Grotius, Fransisco de Vitoria, Fransisco Suarez dan Samuel Pufendorf. Vitoria dan Suarez dilatar belakangi Hukum Tuhan sedangkan Grotius didasari pemikiran universal. Dalam buku Grotius “De Jure Belli Ac Pacis /The Law of war and Peace” dibedakan antara hukum alam dan kebiasaan internasional (jus gentium) yang direfleksikan dalam perjanjian dan kebiasaan internasional. Disampaikan argumentasi penting hukum alam yaitu (1) restitusi dibuat berdasarkan kesalahan yang dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lainnya; (2) janji harus ditepati (pacta sunt servanda). Prinsip-prinsip ini masih digunakan sampai dengan saat ini dalam Hukum Internasional. 13

Positivisme dipelopori oleh Richard Zouche, Emerich de Vattel. Munculnya poistivisme ada pada teori ploitik dan hukum barat, khususnya pada abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20 konsep ini menjadi kokoh dengan

9 Op. cit., Halaman 16.10 Op. cit., Halaman 17.11 Op. cit., Halaman 19.12 Fransisco Forrest Martin Cs, Internatnional Human Rights Law and Practise, Cases, Teraties and Materials, Kluwer Law International, Page 113 Op. cit., Halaman 2.

3

Page 4: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

timbulnya negara nasional dan adanya tuntutan hukum terhadap supremasi politik. Berbeda dengan hukum alam bahwa kebiasaan dan perjanjian internasional merupakan bukti dari niat baik suatu negara. 14

Lokasi awal dari sejarah dan konsep Hukum Ham Internasional dan HAM adalah bersamaan. Secara jelas diawali dengan hukum yang mengatur peperangan (ius in bello) tepatnya tahun 1474 ketika 27 (dua puluh tujuh) hakim dari kekaisaran Romawi mengadili dan dan menjatuhkan hukuman kepada Peter von Haganbach atas tindakan kriminal pasukannya dan melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Konsep Hukum HAM Internasional juga terdapat pada teori hukum alam, menurut Prof Henkin :

“ Individual rights as a political idea draws on natural laws and its offspring, natural rights. In its modern manifestation that idea is traced to John Locke, to famous articulations in American Declaration of Independence and in the French Declaration of Rights of man of the Citizen, and to realizations of the idea in United States Constitution and its Bill of Rights and in the constitutions and laws of modern states”

Konsep awal Hukum HAM Internasional juga berada pada jus gentium yang mengatur transaksi perdagangan secara berhimpitan dengan Hukum Internasional yakni mengatur perlindungan kepentingan komersial individu dan organisasi perdagangan. 15

Pada abad ke-19 telah dapat direflleksikan dan diintegrasikan pemikiran Hukum HAM Internasional, sebagai contoh pelarangan perdagangan budak. Deklarasi St. Petersburg 1868 larangan penggunaan peluru “dum dum” dalam perang serta dikodifikasikannya hukum perang di darat (Konvensi Den Haag I), selanjutnya pengaturan bagi orang asing dan kelompok minoritas.

Pada tahun 1945 dengan digelarnya International Militery Tribunal di Nuremberg (IMT) dan International Military Tribunal for the Far East di Tokyo (IMTFE) bukanlah peradilan kejahatan perang (war crimes) semata, tetapi juga mengadili perorangan yang melakukan kejahatan terhadap perdamaian (penyimpangan dari jus ad bellum). Hal yang sangat penting dari IMT dan IMTFE memiliki jurisdiksi mengadili orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Pasal 6 London Charter yang membentuk IMT mendifinisikan crimes against humanity :

“….. murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts commited against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of domestic law of thre country where perpetrated.”

14 Loc. cit.15 Loc. cit.

4

Page 5: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Hal tersebut menandakan sebuah batasan konsep dan kelembagaan pengembangan Hukum HAM Internasional. Hukum perjanjian yang mengatur IMT dan IMTFE secara bersamaan membedakan dan memisahkan dengan Hukum Humaniter dengan Hukum HAM. Ius in bello, subyek individu (dan pertanggunjawaban), arbitrase internasional tentang orang asing, hukum internasional yang mengatur tentang diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hukum kebiasaan pelarangan perbudakan, perjanjian tentang genocide dan kejahatan internasional yang tidak diatur dalam hukum kebiasaan. 16

Pasca perang dunia ke-2 terbentuk organisasi antar negara yaitu PBB (1945), Dewan Eropa (1949) dan Organisasi Negara-negara Amerika (1948) ketiganya mengembangkan standar HAM dan membentuk perjanjian meknisme perlindungan HAM. Kadangkala organisasi regional lebih sukses dalam perlindungan HAM daripada PBB sebab AS dan Uni Soviet menggunakan pelanggaran HAM sebagai alat untuk saling mendiskreditkan diantara mereka. 17

Teori dan Pengertian HAM

Prof. Louis Henkin menyampaikan bahwa hak-hak individu sebagai cita-cita politik digambarkan pada hukum alam dan perkembangannya, yaitu sebagai hal yang natural. Perwujudan secara modern sebagaimana disampaikan John Locke, dikenal sebagai apa yang disuarakan dalam American Declaration of Independece, French Declaration of Rigts of Man and Citizen, direalisasikan pada Konstitusi Amerika dan Bill of Rights maupun pada konstitusi serta hukum negara-negara modern.18

Pemikiran John Locke terhadap HAM merupakan reaksi terhadap sistem pemerintahan kerajaan yang cenderung absolutis, bahwa pada hakekatnya HAM bersifat pra negara artinya HAM yang melekat pada manusia ada jauh sebelum munculnya negara. HAM lahir sebagai kodrat sejak manusia lahir dan bersifat abadi serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk negara. Dengan adanya kontrak sosial dari individu-individu yang memunculkan negara sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara. John Locke mengibaratkan negara sebagai “penjaga malam” bagi rakyatnya, hal ini dimanifestasikan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776 :

“ ….. bahwa manusia dikaruniai oleh Tuhan dengan hak-hak absolut ….. Bahwa untuk menjamin hak-hak ini pemerintahan dibentuk dikalangan umat manusia ….. .”

Ditegaskan kembali oleh John F Kennedy pada pelantikan Presiden AS tanggal 3 Januari 1961 yang menyatakan “ … that the rights of men come not from the generosity of state, but from the hand of God …. .” Konsistensi terhadap tersebut menjadi suatu kebijakan internal AS yang diwujudkan dalam pemberian

16 Op. cit., Page 3.17 Op. cit., Page 4.18 Fransisco Forrest Martin Cs, Internatnional Human Rights Law and Practise, Cases, Teraties and Materials, Kluwer Law International, Page 21.

5

Page 6: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

bantuan luar negerinya selalu dikaitkan dengan kondisi HAM negara penerima bantuan. 19

Prof Henkin selanjutnya mengatakan bahwa konsep HAM saat ini telah diterima secara umum dan universal diterima walaupun terdapat perbedaan dan kekhususan. Salah satu versi terkadang tidak melandasi atau membenarkan konsep hukum alam dengan kontrak sosialnya, atau dimasukan sebagi teori politik dilain pihak. Pada lembaga internasional perwakilan negara-negara menyatakan dan mengakui HAM serta menerapkan kedalam sistem politik sosial negaranya. Konsep HAM antara lain :

HAM adalah adalah hak individu dalam tatanan masyarakat, setiap manusia memiliki dimana hak tersebut legitimate, valid dan dibenarkan oleh masyarakatnya.

HAM adalah universal dimiliki oleh semua umat manusia pada setiap tatanan masyarakat, tidak dibedakan secara geografis, sejarah, budaya atau ideology, potik atai system ekonomi maupun tingkat pertumbuhan masyarakatnya.

HAM adalah Hak, bukan semata-mata aspirasi atau pemberian dari Tuhan. Konsep HAM merupakan implikasi pada sebuah moral dibawah hukum moral, yang diterjemahkan dan dimasukan kedalam hukum mengikat pada tatanan politik masyarakat. Ketika suatu tatanan masyarakat mengakui bahwa seseorang memiliki hak, artinya legitimasi, dibenarkan, dilembagakan dan ditegakan pada system nilai kemasyarakatan, memberikan bobot nilai diantara nilai-nilai kemasyarakatan yang lain . Negara harus mengembangkan intitusi dan prosedur, merencanakan, menggerakan sumber – sumber untuk kepentingan HAM.20

Konsep lain tentang HAM adalah dari aliran positivisme yang dipelopori George Jellinek memandang HAM sebagai hak yang diperoleh dan daya berlakunya tergantung pada negara dan tata hukum positifnya. Sedangkan pandangan sosiologis memandang HAM sebagai fungsi sosial yang diakibatkan adanya system pembagian kerja dan kerjasama yang berkembang dalam masyarakat. Realisasi HAM dikaitkan dengan pelaksanaan kewajiban sosial yang secara inheren terkandung dalam hak-hak itu. 21

Muladi menyampaikan bahwa konsepsi HAM dapat dikelompokan sebagai berikut :

a. Universal absolut, yang memandang HAM sebagai nilai universal semata-mata tanpa memandang profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju dan bagi negara berkembang seringkali dipandang eksploitatif (sebagai alat penekan) dan instrumen penilai (tools of judgement).

19 ASS Tambunan, Implementasi HAM dilingkungan ABRI, 1994, Halaman 5.20 Op. Cit, Page 22.21 ASS Tambunan, Loc. cit.

6

Page 7: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

b. Universal relatif, bahwa persoalan HAM sebagai persoalan universal dengan pengecualian asas-asas Hukum Internasional.

c. Partikularistik-absolut, bahwa persoalan HAM adalah persoalan bangsa semata-mata, tanpa argumentasi mendasar khususnya penolakan terhadap dokumen-dokumen HAM Internasional.

d. Partikularistik relatif, memandang bahwa disamping persoalan HAM adalah masalah universal juga merupakan masalah nasional bangsa. Pemberlakuan dokumen internasional HAM harus diselaraskan dengan budaya bangsa. 22

Pengertian HAM

a. PBB memberikan pengertian dalam Deklarasi Universal HAM sebagai berikut : “ Hak asasi manusia adalah hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia apabila tidak ada mustahil kita akan hidup sebagai manusia.” 23

b. TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM menyatakan : “ Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun”.

c. Dewan Hamkamnas memberikan pengertian HAM : “ Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada jatidiri manusia secara kodrati dan secara universal, berfungsi menjaga integritas keberdaannya, berkaitan dengan hak atas hidup dan kehidupan, keselamatan, keamanan, kemerdekaan, keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan social sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.” 24

d. UU No 39 Tahun 1999 (Pasal 1 butir 1) dan UU No 26 tahun 2000 (Pasal 1 butir 1)memberikan definisi HAM sebagai berikut :“ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

22 Dwi Jaka Susanta, Perlindungan dan Penegakkan HAM atas Rakyat pada lingkungan ABRI, Thesis, Jakarta, 1999, Halaman 32 – 33.23 UN, Human Rihgts, Question and Answer, NY, 1987, Page 4.24 Dewan Hankamnas, Pemikiran tentang HAM Sudut Pandang Bangsa Indonesia, 1993.

7

Page 8: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

HAM dalam Islam

Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini HAM sebagai nilai universal lebih diasumsikan sebagai nilai yang berasal dari dunia “barat” yang bersumber dari konsep individualisme. Kondisi seperti ini dapat dimengerti karena nilai HAM banyak dicetuskan oleh dunia “barat” seperti misalnya Magna Charta, Deklarasi Perancis, Deklarasi Amerika termasuk Bill of Rights yang diprakarsai oleh pihak barat.

Islam yang tumbuh pada abad ke-7 sebagai agama terakhir memiliki kriteria universalitas dan saat ini merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia sebenarnya telah melahirkan nilai-nilai HAM yang dipedomani seluruh umat Islam diseluruh dunia. Bahkan sangat dimungkinkan apabila nilai-nilai HAM Islam sebenarnya telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan HAM hingga pada kondisi seperti saat ini.

DR. Abdul Kariem Ustman menyampaikan bahwa Islam memiliki tiga unsur penting berkaitan dengan harkat manusia yaitu kebebasan, persamaan dan keadilan.

a. Kebebasan.

Kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam karena kebebasan merupakan fitrah Allah yang lazim diberikan kepada manusia sebagai watak yang lazim. Kebebasan kehendak dan cita-cita adalah hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain dan merupakan tiang globalisasi perilaku Islam baik dari segi aqidah, asas individu dan sosial yang mempunyai vitalitas yang sehat. Islam menjamin kebebasan dari tekanan baik dari aspek agama, politik dan ideologi.

1) Kebebasan beragama, diwujudkan dengan tidak ada paksaan memeluk Islam (Al Baqarah:256); membiarkan agama lain beraktivitas (Yunus : 99-101); kehormatan dan kebebasan berargumentasi, berlogika dan menjamin masalah etika (An-Nahl:125).

2) Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (Al Baqarah: 219-220) didudukan pada posisi yang tinggi dalam mengangkat akal dan ilmu pengetahuan. Sabda Rasullulah mengatakan “Orang yang diam dari kebenaran adalah laksana setan bisu”. Kebebasan yang diharamkan adalah propaganda yang melemahkan demoralisasi dan melemahkan agama.

3) Kebebasan sipil dan politik, diwujudkan dalam solidaritas pemerintahan dan pemilihan calon pemimpin; meneliti hasil

8

Page 9: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

kerja pemerintah, memberikan kritik serta menyampaikan saran yang membangun.25

b. Persamaan.

Islam menetapkan dasar persamaan antar manusia dan menghapus struktur etnis, klas dan suku (An Nisa :1, Al Hujarat:13) karena Islam menjelaskan asal-usul manusia yang berasal dari satu sumber (Al Mursalat :20-23, At Thariq: 5-7, Faathir: 11). Persamaan ini dimanifestasikan dalam bentuk sebagaimana dicontohkan Rasullullah saw antara lain :

1) Persamaan derajat tanpa memandang suku, warna kulit, etnis, golongan atau status dan lain sebagainya ( Al-Anaam:52-54) dan Sabda Rasullullah saw “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah Satu, bapakmu adalah satu, semua, kalian adalah keturunan Adam as, sedang Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang bermulia adalah yang paling taqwa di sisi Allah. Orang Arab bukannya lebih mulia daripada non Arab, sebaliknya non Arab juga tidak lebih mulia daripada Arab. Bukan pula yang berkulit merah lebih mulia dibanding yang putih, demikian juga kulit putih bukan lebih utama dibandingkan dengan kulit merah, kecuali hanya taqwa (yang lebih utama)”.

2) Penghapusan perbudakan dilakukan Rasullulah pada saat menjalankan kersulannya dimana saat itu banyak sekali membebaskan budak dan tidak pernah membedakan asal-usulnya maupun warna kulit.

3) Adanya hak dan kewajiban yang seimbang terutama dihadapan hukum.26

c. Keadilan.

Keadilan merupakan cita-cita dasar Islam dalam rangka penegakkan kehormatan manusia dan penyampaian hak asasi umat manusia menuju ketentraman, keamanan, harmonisasi dan persaudaraan. Hal ini diwujdkan dengan ;

1) Menegakkan keadilan (An-Nahl:90, Al-Hadid:25, Ar-Rahman 7-8, As-Syuura: 15, An-Nisa:58 ).

25 M. Luqman Hakiem, Editor, Deklarasi Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993, Halaman 15-31.26 Ibid., Halaman 15-36.

9

Page 10: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

2) Menghapuskan kezaliman (Ghafir: 31, Al-Maidah:8) karena kezaliman merupakan penyebab ditinggalkannya keadilan.

3) Keadilan individual dan kolektif, dimana tingkat individual adalah memberikan hak seseorang sedangkan kolektif adalah masyarakat dengan tata aturan perundang-undangannya memudahkan tercapainya hak individual dan hubungan individu dengan masyarakatnya.

Adapun keadilan itu sendiri memiliki aspek yang mencakup bidang-bidang sebagai berikut :

1) Keadilan bidang hukum, dicontohkan Rasullullah saw dengan Sabdanya yang terkenal “Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya”. Hukum tanpa pandang bulu, tidak bersandar pada kezaliman dan tinggalkan hukum jahilliyah.

2) Keadilan dalam Pengadilan, hal ini dimaksudkan agar dengan ketegasan dan keadilan para Hakim maka orang-orang yang lemah tidak putus asa dan orang terhormat tidak menjadi tamak. Bagi para Hakim memutus suatu perkara adalah bersifat wajib (fardlu)

3) Keadilan dalam Penetapan Hak Asasi dan Kewajiban, serta Menegakkan Keadilan Sosial, bahwa manusia memiliki harkat yang sama ketika dilahirkan, dijamin memiiliki kesempatan yang sama tanpa perbedaan dan dijamin hak serta kewajibannya berdasarkan syariat sesuai hukum Islam, bebas berfikir dan menyampaikan pendapat sepanjang tidak menyimpang dari dasar-dasar agama.27

Pengertian Hukum HAM (Internasional)

Mencermati sejarah perkembangan HAM dari dekade menuju dekade lain bahwa HAM bukan saja sebagai sebagi “hak” yang dapat diterima secara umum (universal), tetapi didalam implementasinya dilandasi oleh hukum yang berlaku mengikat bagi penghormatan dan perlindungan HAM. Kondisi ini makin nampak jelas terutama pada pasca Perang Dunia II dengan diawali Deklarasi Universal HAM berkembang menjadi 50 lebih perjanjian multilateral HAM lain. Juga telah dikembangkannya Hukum HAM Internasional oleh organisasi regional dengan membuat perjanjian tentang HAM dan mekanisme penegakkannya ditingkat regional. 28

27 Ibid., Halaman 36-46.28 Peter Davies, Ed., Hak-hak Asasi Manusia, Penterjemah A. Rahman Zainudin, Yayasan Obor, Jakarta, 1994, Halaman 29.

10

Page 11: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Seperti disampaikan Prof Henkin “… bahwa HAM adalah Hak, bukan semata-mata aspirasi atau pemberian dari Tuhan. Konsep HAM merupakan implikasi pada sebuah moral dibawah hukum moral…..” Kondisi demikian akan memiliki kekuatan legitimasi yang berbeda sebagai norma moral, artiya apabila terjadi penyimpangan maka sanksi yang diberikan berupa sanksi moral tergantung bagaimana masyarakat memandang kualitas nilai moral tersebut.

Untuk mengimplementasikan penghormatan dan perlindungan HAM diperlukan piranti lunak (soft ware) berupa peraturan yang dikeluarkan suatu otoritas yang berwenang (legitimate) dan piranti keras (hard ware) berupa lembaga dan mekanisme pelaksanaannya Dengan dua piranti tersebut penghormatan dan penegakan HAM akan memiliki legitimasi dan berlaku mengikat (law enfocement).

Hal tersebut sebagaimana dimaksudkan Prof Henkin bahwa HAM sebagai nilai moral “…diterjemahkan dan dimasukan kedalam hukum mengikat pada tatanan politik masyarakat. Ketika suatu tatanan masyarakat mengakui bahwa seseorang memiliki hak, artinya legitimasi, dibenarkan, dilembagakan dan ditegakan pada system nilai kemasyarakatan, memberikan bobot nilai diantara nilai-nilai kemasyarakatan yang lain . Negara harus mengembangkan intitusi dan prosedur, merencanakan, menggerakan sumber – sumber untuk kepentingan HAM.”

Jadi nampak jelas bahwa HAM sebagai norma moral yang diterima umum (universal) dan sebagai hak akan mempunyai kekuatan hukumi apabila sudah berada didalam suatu bentuk hukum baik dalam perjanjian internasional maupun konstitusi nasional. Hal ini akan memiliki kekuatan mengikat secara hukum karena akan berkait dengan mekanisme dan intitusi penghormatan dan penegakkan HAM yang benar-benar mengikat hak dan kewajiban baik negara maupun individu.

“ Laws, however, give moral claims legal force. In countries where rights have been made into law, we still need to know if these laws are being fully put into practise. Yet, making moral claims into legal rights is an important first step.” 29

Prof.Louis Henkin memberikan gambaran korelasi antara HAM dengan hukum sebagai berikut :

“ international human rigths, that is, human rights as a subyect of International Law and politics, are to be distinguished from individual in national society under national legal systems, but two are not unrelated in law or in politics….”30

29 United Nations, Human Rights, Practical activities for Primary and Secondary School, 1989, Page 38.30 Fransisco Forrest Martin Cs, Ed, International Human Rights Law and Practise, Cases, Treaties and Materials, Kluwer Law International, Page 22.

11

Page 12: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Dari pengertian tersebut terdapat dua pemahaman tentang HAM sebagai sebagai suatu hak. Pertama didalam politik dan hukum internasional HAM dijadikan sebagai sebuah subyek. Kedua merupakan penghormatan individu oleh masyarakatnya dalam bentuk sistem hukum nasional. Selanjutnya penjelasan Prof Henkin :

“ The international movements accepts human rights as rights that, according in agreed upon moral principles.”

Pendapat tersebut menekankan bahwa HAM sebagai sebuah hak yang nilainya diatas “prinsip moral” yang diterima umum (universal) sehingga dapat dijadikan sebagai subyek didalam Hukum International.

Tujuan HAM sebagai sebuah nilai moral kemudian dilembagakan kedalam sebuah format hukum tidak lain sebagai pagar atau standar tentang perlindungan dan penghormatan terhadap HAM itu sendiri yang harus dipatuhi oleh suatu negara. Oppenhein mengatakan :

“ Then is an implied recognition of the protection, by International Law, of the fundamental rights of the individual in so far as it prohibits and penalizes crimes against humanity, conceived as of fences of the gravest character against the life and liberty of the individual, irrespective of whether acts of the nature have been perpetrated in obedience the law of the state.” 31

Sampai dengan saat ini dari beberapa referensi dari para ahli tidak merumuskan definisi tentang hukum HAM (internasional), namun dari pendapat-pendapat para ahli hukum dapat disimpulkan bahwa Hukum HAM memiliki beberapa unsur antara lain sebagai berikut:

a. Hukum HAM merupakan cabang hukum yang membidangi masalah perlindungan dan penghormatan HAM

b. Wujud Hukum HAM dalam kerangka Hukum Internasional adalah perjanjian internasional dan kebiasaan internasional serta adanya mekanisme internasional bagi penyelesaian pelanggaran HAM

c. Hukum HAM dalam kerangka Hukum Internasional memiliki substansi yang mewajibkan negara peserta untuk melaksanakan dan menjamin perlindungan dan penghormatan HAM didalam konstitusinya.

d. Wujud Hukum HAM dalam kerangka Hukum Nasional adalah merupakan sub sistem ketatanegaraan berupa peraturan perundang-undangan yang melindungi dan memberikan

31 L. Oppenheim, MA, LLD, International Law, A Treatise, 8th Ed, Longmans, Green and Co, London, 1955, Page 752.

12

Page 13: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

penghormatan terhadap HAM, tata cara aparat dan warga negara memberikan perlindungan dan penghormatan HAM serta mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM.

Mendasari hal tersebut diatas Hukum HAM memiliki spesifikasi tersendiri dibandingkan cabang hukum lain, yakni yang bersumber pada universalitas HAM yang berkait dengan jurisdiksi universal. Selalu terdapat keterkaitan antara perlindungan HAM nasional dengan instrumen dan mekanisme internasional tentang HAM.

Pembatasan Hak Asasi Manusia

Penerapan HAM seseorang di dalam kehidupan ketatanegaraan tidaklah dilaksanakan secara absolut hal ini sesuai dengan teori kontrak sosial masyarakat dalam membentuk sebuah negara. Ketika negara telah terbentuk maka rakyat menyerahkan sebagian haknya (HAM) kepada negara untuk mengatur dalam rangka penciptaan ketertiban. Negara diberikan kewenangan untuk membuat pembatasan-pembatasan HAM guna menuju terciptanya ketertiban masyarakat dan pada saat negara dalam keadaan darurat. Sebaliknya masyarakat dalam melaksanakan hak dan kebebasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan sebagai koridor agar tidak terjadi benturan aspirasi hak maupun kebebasannya.

Pembatasan pelaksanaan hak dan kebebasan tersebut diatas diatur oleh peraturan perundang-undangan guna mencegah benturan hak dan kebebasan sesama individu, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 :

“ Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Atau didalam Pasal 29 ayat (2) UDHR yang menyatakan :

“ In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject to such limitation as are determined by law solely for the pupose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of other and of meeting the just requirements of morality, public order and general welfare in a democratic society.”

Selanjutnya didalam penjelasan Pasal 29 ayat (2) UDHR disebutkan :

13

Page 14: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

“ Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan 9. Yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.”

Non-derogable rights

Merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dikesampingkan dalam keadaan apapun termasuk apabila negara dalam keadaan darurat, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagai berikut :

“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Penjelasan Pasal tersebut menyatakan :

“ Yang dimaksud dengan “keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat.Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkang ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Pengecualian non derogable rights lain adalah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999, sebagai berikut :

“ Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasrkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.”

Non Derogable Rights dan Negara dalam Keadaan Darurat

14

Page 15: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Negara dalam keadaan darurat seperti misalnya terjadi konflik bersenjata internal atau kerusuhan, maka masalah perlindungan HAM menjadi permasalahan tersendiri dan harus diperhatikan khusus. Pelanggaran berat HAM dalam situasi keadaan darurat dapat dilakukan baik oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat (non aparat negara) seperti pemberontak bersenjata dan gerombolan bersenjata dan lain sebagainya. Berkaitan dengan kondisi tersebut beberapa perjanjian internasional tentang HAM telah mengatur baik perlindungan HAM individu maupun keadaan darurat suatu negara.

Beberapa prinsip hukum internasional tentang keadaan darurat negara dapat ditemukan dalam perjanjian internasional dan kasus hukum. Pertama sebuah negara harus menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat seperti termuat dalam Pasal 4 ICCPR :

“.. in time of public emergency which threatens the life of the nation and existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Convenant may take measures derogating from their obligations under the present Convenant …”

Dengan adanya pernyataan keadaan darurat oleh negara tersebut maka keadaannya menjadi legitimate. Kedua bahwa negara yang bersangkutan menjamin non derogable rights. Ketiga bahwa pembatasan tidak dilakukan secara diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau suku, dengan kata lain bahwa prinsip non diskriminasi adalah non derogable rights. Keempat bahwa pembatasan tidak bertentangan dengan kewajiban hukum internasional. Kelima bahwa pembatasan non derogable rights harus proporsional.

Dalam keadaan darurat yang ditujukan kepada eksistensi sebuah negara maka non derogable rights dapat dibatasi dengan persyaratan sebagaimana tersebut diatas bahkan terdapat pendapat tambahan yang menyatakan bahwa lembaga peradilan dan profesi hukum harus tetap berjalan.32

Pelanggaran HAM

Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa implementasi hukum hak asasi manusia didalam suatu ketata negaraan dalam kerangka melindungi dan menghormati HAM dituangkan didalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh di Indonesia masalah perlindungan HAM sudah diatur didalam UUD 1945 (amandemen), KUHP, KUHAP, KUHPerdata dan lain sebagainya termasuk beberapa peraturan perundang-undangan khusus yang memuat materi perindungan dan penghormatan HAM.

Pengertian pelanggaran HAM itu sendiri dilihat dari sudut pandang korban dapat dilihat pada Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of

32 Francisco Forrest matin Cs, International Human Rights Law and Practise, Cases, Treaties and Materials, Kluwer Law International, Page 58-60.

15

Page 16: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Crime and Abuse of Power menyampaikan dua rumusan pelanggaran HAM. Pertama adalah “ a violation of criminal law operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power”. 33 Dengan kata lain pelanggaran HAMdalamkategori sebagai pelanggaran hukum pidana dengan fokus perhatian adalah kerugian (fisik dan mental), penderitaan individual/kolektif yang timbul atau pelemahan substansial hak-hak dasar karena tindakan atau kelalaian yang dapat dipersalahkan kepada negara. 34

Kedua didefinisikan “ acts and omissions (imputable to the State) that do not yet constitue violatios of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rigths.” Kriteria kedua bukanlah pelanggaran hukum pidana tetapi secara internasional diakui kaitannya dengan HAM. Kata “recognized” artinya mengacu kepada norma yang tercantum pada perjanjian internasional tentang HAM, norma-norma yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional, atau norma-norma yang merupakan bagian prinsip hukum yang telah diakui oleh bangsa-bangsa beradab. 35

Pelangaran HAM

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) bentuk yakni pelanggaran HAM (biasa) dan pelanggaran berat HAM (gross violation). Pengertian pelanggaran HAM sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 butir 2 UU 39 Tahun 1999, sbb :

“ Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”

Mencermati pengertian tersebut diatas dapat diartikan bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi secara horizontal yaitu dimana subyek adalah anggota masyarakat (non aparat) terhadap obyek juga anggota masyarakat (non aparat). Kedua bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi secara vertikal dimana subyek adalah aparat negara terhadap obyek anggota masyarakat (non aparat).

Untuk mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM (biasa) menggunakan mekanisme yang ada seperti KUHAP, KUHP (KUHP Militer), KUH Perdata sedangkan instrumen yang digunakan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer. Spesifikasi didalam proses penyelesaian pelanggaran HAM (biasa) hanya apabila subyek (pelaku) adalah aparat maka akan dikenakan pemberatan dalam penjatuhan hukuman.

33 C. de Rover, To serve and Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces, ICRC, Geneva, 1998, Page 381-382.34 Loc., cit.35 Loc., cit.

16

Page 17: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Pelanggaran Berat HAM

Disamping pelanggaran HAM (biasa) terdapat jenis pelanggaran berat HAM, yaitu merupakan pelanggaran khusus HAM sehingga proses penyelesaiannya menggunakan mekanisme dan instrumen yang khusus.

Pengertian pelanggaran berat HAM dapat dilihat dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang merupakan hasil adopsi Statuta Roma (Aticle 1 dan 7), sebagai berikut :

Pasal 7 menyebutkan:

“ Pelanggaran HAM yang berat meliputi :

a. kejahatan genosida;b. kejahatan terhadap kemanusiaan. “

Pasal 8 menyebutkan :

“ Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

a. membunuh anggota kelompok;b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat

terhadap anggota-anggota kelompok;c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok, atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Pasal 8 merupakan penjelasan dari pengertian kejahatan genosida (genocide) yang dicantumkan dalam Pasal 7.

Pasal 9 merumuskan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagai berikut :

“ Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diamksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

17

Page 18: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

a. pembunuhan;b. pemusnahan;c. perbudakan;d. pengusiaran atau pemindahan penduduk secara paksa;e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;f. penyiksaan;g. perkosa, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekrasan seksual lain yang setara;h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan pemahaman politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;i. penghilangan secara paksa;j. kejahatan aphartheid.”

Dari Pasal 8 dan Pasal 9 jelas nampak perbedaan antar subyek kejahatan genosida dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan subyek adalah “aparat negara” sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep kejahatan terhadap kemanusian terjadi didalam suatu konflik yang bersifat vertikal. Demikian pula dalam hal perencanaan tindakan terdapat sifat spesifik yaitu “serangan yang meluas atau sistematik” diamana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 9 sbb :

“ Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”

Namun demikian pelanggaran berat HAM bukanlah dominasi aparat negara sebagai subyek tetapi tidak tertutup kemungkinan non aparat negara dapat menjadi subyek karena kewenangan dan kedudukannya, sebagai contoh kasus Rwanda, Eks Yugloslavia dan G 30 S/PKI di Indonesia.

Pelanggaran HAM dalam Hukum Internasional

Hukum Internasional memberikan pemahaman bahwa suatu negara dikatakan melakukan pelanggaran HAM apabila sebuah kebijakan negara, tindakan negara, mendorong atau membiarkan terjadinya :

a. genosida;b. perbudakan atau perdagangan budak;

18

Page 19: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

c. pembunuhan atau yang menyebabkan hilangnya individu-individu;d. penyiksaan, penghukuman atau kekejaman lain yang tidak

berperikemanusiaan, pembedaan derajat;e. penahanan dan penghukuman dengan kesewenang-wewnangan;f. diskriminasi rasial sistematik;g. sebuah pola konsisten dari gross violation HAM yang diakui secara

internasional.36

Gross violation berdasarkan hukum kebiasaan internasional antara lain adalah sebagai berikut :

a. systematic harassment (ancaman sistematik);b. invasi;c. kesewenangan putusan atau penghukuman;d. penyangkalan dari peradilan terbuka dalam kasus-kasus kriminal;e. penghukuman yang tidak sepadan;f. pelarangan kebebasan meninggalkan negara;g. pelarangan untuk kembali ke negrinya;h. pengambilan masal penduduk;i. pelarangan kebebasan bersuara dan beragama;j. pembatasan dihadapan hukum;k. pelarangan kepribadian dasar seperti menikah dsb;l. diskriminasi individu, rasial dan agama. 37

Gross violation dalam hukum internasional dikatakan dalam Convenant on Civil and Political Rights bahwa peserta convenant bertanggung jawab atas penyimpangan dari hak-hak tersebut ( yang tersebut didalam convenant) dan setiap negara bertanggung jawab berdasarkan hukum kebiasaan internasional atas sebuah pola konsisten terhadap penyimpangan hak-hak tersebut sebagai kebijakan negara. 38

Sebuah pola konsisten dari gross violation HAM adalah :

a. penyimpangan dari hukum kebiasaan internasional (tentang HAM);b. tindakan yang termasuk pelanggaran yang diakui sebagai

pelanggaran HAM.

Dalam aspek perbuatan dari subyek atau pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu :

a. Abuse of power (kesewenangan), yaitu tindakan penguasa atau aparatur negara terhadap masyarakat diluar atau melebihi batas-

36 Fransisco Forrest Martin, Cs, International Human Rights Law and Practise, Case, Treaties and Material, Kluwer Law International, Halaman 37.

37 Loc., cit.38 Loc. Cit.

19

Page 20: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

batas kekuasaan dan kewenangannya yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

b. Violence by omission (kelalaian melaksanakan tugas), yaitu penguasa atau aparatur negara dalam menghadapi keadaan tertentu tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai batas-batas kekuasaan dan wewenangnya yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

c. Gross violation of Human Rights (pelanggaran berat HAM), yaitu tindakan penguasa atau aparatur negara yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental ataupun kerugian material atau immaterial serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat. 39

Jurisdiksi Universal (Universal Jurisdiction)

Pada perekembangan saat ini dikenal jurisdiksi universal bagi pelanggaran-pelanggaran tertentu atau khusus. Terhadap kejahatan yang menjadi kepentingan universal atau kejahatan yang bersifat melanggar norma universal pada perkembangan saat ini telah menjadi jurisdiksi universal.

Pengertian jurisdiksi universal itu sendiri adalah :

“Universal Jurisdiction to Define and Punish Certain Offenses mean, A state has jurisdiction to define and prescribe punishment for certain offenses recognized by the community of nations as of universal concern, such as piracy, slave trade, attackson or hijacking aircraft, genocide, war crimes, and perhaps certain acts of terrorism.” 40

Mendasari pengertian diatas bahwa jurisdiksi universal memiliki spesifikasi terhadap jenis kejahatan yang berkarakter universal seperti perompakan, pembajakan pesawat udara, perdagangan budak, genosida, kejahatan perang dan perkembangan terakhir adalah terorisme. Dengan kata lain bahwa jurisdiksi universal memiliki otoritas untuk memproses kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), dan jurisdiksi ini dapat dilakukan oleh sebuah negara untuk melakukan proses litigasi apabila perangkat (hardware dan soft ware) memadai untuk melaksanakannya.

“International law permits any state to apply its law to punish certain offenses although the state has no links of territory with offense, or of nationality with offender (or even the victim). Universal jurisdiction over the specified offenses is a result of universal condemnation of those activities and general interest in cooperating to suppress them, as reflected in

39 Buku Saku Pedoman Prajurit TNI AD dalam Penerapan HAM, Tahun 2000, Halaman 7.40 Henry J. Steiner and Philip Alston, International Human Rights in Context, Law, Politic, Morals, Oxford University Press, New York, 2000, Page 1133.

20

Page 21: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

widely-accepted international agrrements and resolutions of international organizations. These offenses are subject to universal jurisdiction as a matter of customary law. Universal jurisdiction for additional offenses is provided by international agreements, but it remain to be determined whether universal jurisdiction over a particular offense has become customary law for states not party to such agreement.”41

Sebuah negara diperboleh menurut hukum internasional untuk meproses hukum terhadap pelaku international crimes walaupun tidak ada hubungan dengan tempat kejadian perkara (TKP), korban maupun kewarganegaraan pelaku. Dasar dilaksanakannya proses peradilan pelaku adalah perjanjian internasional dan resolusi yang telah menetapkan bahwa pelaku merupakan lingkup dari jurisdiksi internsional. Bagi negara yang bukan peserta perjanjian internasional dapat memberlakukan dengan dasar hukum kebiasaan internasional.

Adapun landasan sebauah kejahatan termasuk didalam kategori international crimes adalah :

a. adanya pernyataan internasional atau “opinio juris” yang merupakan refleksi pengakuan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan yang bersifat umum;

b. Pengaturan dalam perjanjian yang diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut yang mengindikasikan status lebih tinggi tingkat kejahatan tersebut didalam hukum internasional;

c. Sebagian besar negara-negara telah meratifikasi perjanjian tentang kejahatan-kejahatan tersebut;

d. Telah dilakukannya investigasi dan penuntutan internasional secara ad hoc terhadap para pelaku kejahatan tersebut.42

Kewenangan sebuah negara untuk menggelar pengadilan bagi pelanggar international crimes menjadi bergantung terhadap “willingness and ability”.43

Willingness dimaksudkan adanya political will untuk memperadilankan pelaku interational crimes, sedangkan ability berkaitan dengan ada tidaknya piranti lunak (mekanisme peraturan perundang-undangan) dan perangkat keras (instrumen lembaga peradilan khusus) yang tersedia untuk melaksanakannya.

International Military Tribunal (Nuremberg) merupakan tonggak sejarah perkembangan Hukum Internasional menjangkau terhadap individu-individu yang melakukan international crimes di proses pada peradilan internasional dengan menggunakan instrumen internasional.

41 Loc., cit.42 Prof.DR. Muladi, SH, Tantangan, Prospek dan Masa Depan Pengadilan HAM, Diskusi Panel Tanggung Jawab Lembaga Peradilan Terhadap Pelanggaran Berat HAM di Indonesia, MA RI-Danish Institue of Human Rights, Jakarta, 2005, Halaman 3.43 Op., cit., Halaman 6.

21

Page 22: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

“That international law imposes duties and liabilities upon individuals as well as upon States has long been recognized …. Crimes against international law are committed by men, not abstract entities, and only by punishing individuals who commit such crimes can provisions of international law be enforced.”44

Dari IMT dan IMTFE bahwa individu dapat menjadi subyek hukum internasional dan dikenalnya pemberlakuan surut hukum pidana (ex post facto criminalization) yang tumbuh berkembang menjadi cutomary international law. Penerapan universal jurisdiction diterapkan dengan Hybrid Model (peradilan nasional dengan menggunakan elemen internasional) seperti di Sierra Leone, SCU Timor Leste dan diadopsi oleh beberapa negara seperti Belgia dan Indonesia dengan UU No. 26 Tahun 2000 (Pengadilan Nasional Murni dengan standar internasional). Selain itu dengan mendasari putusan IMT memungkinkan dibentuknya pengadilan nasional untuk memproses peradilan terhadap penjahat perang NAZI. 45

Evolusi war crimes sebagai salah satu international crimes dituangkan di dalam Konvensi Jenewa 1949 dalam rangka melindungi korban perang dengan istilah “grave breaches” yang selanjutnya dikembangkan dalam Protokol 1977 menjadi beberapa jenis kejahatan perang dalam armed conflict.

Perluasan jurisdiksi universal juga dituangkan pada Bab VII Piagam PBB sebagai landasan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam rangka “to maintain or to restore international peace and security”. 46

Sampai dengan saat ini jurisdiksi universal menjangkau terhadap perkembangan international crimes yang memiliki kategori :

a. International crimes yang didasarkan pada perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional seperti war crimes, genocide, crimes against humanity;

b. Tindak kriminal yang tumbuh dari Hukum Humaniter Internasional yaitu kejahatan-kejahatan dalam konflik senjata;

c. Tindak kriminal yang memerlukan penanganan kerjasama internasioanl seperti pembajakan pesawat udara dan perdagangan obat-obatan terlarang ilegal (drugs trafficking);

d. Untuk pertanggung jawaban international crimes adalah individu tidak harus terkait sebagai aparat negara;

44 Henry J. Steiner, op., cit., Page 1134.45 Prof. DR. Muladi, SH, op., cit., Halaman 2.46 Loc., cit.

22

Page 23: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

e. International crimes tidak harus merupakan bagian dari kebijakan atau rencana negara yang dapat dilakukan oleh individu atau masyarakat secara sistematis. 47

INSTRUMEN HAM NASIONAL

1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

- Ps.1 ayat (1) Pengertian HAM- Ps.1 ayat (6) Pelanggaran HAM- Ps.2, 8, Bab V Penghormatan dan perlindungan HAM oleh

Pemerintah - Ps.4 Hak-hak yang dilindungi- Ps 7 Mekanisme penuntutan oleh individu- Bab III Penjelasan HAM- Bab IV Kewajiban warga negara- Bab VI Pembatasan dan Larangan thd HAM- Bab VII Komnas HAM- Bab VII Partisipasi Masyarakat dalam perlindungan dan penghormatan

HAM- Bab IX Pengadilan HAM

2. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

- Bab II Kedudukan dan Tempat kedudukan Pengadilan HAM- Bab III Yurusdiksi, kriteria Gar HAM- Bab IV Hukum Acara yaitu KUHAP- Bab V Perlindungan Korban dan Saksi- Bab VI Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi- Bab VII Ketentuan Pidana, minimum dan maksimum pemidanaan- Bab VIII Pengadilan Ad Hoc (perhatikan Ps 43)- Bab IX Ketentuan Peralihan- Bab X Ketentuan Penutup

- Ps 46 Daluarsa- Ps 47 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi- Ps. 49 Ketentuan Ankum dan Papera tidak berlaku

3. UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia

- Ratifikasi dengan deklarasi Pasal 20 dan reservasi Pasal 30 ayat (1) Konvensi

47 Henry J Steiner, op., cit., Page 1137.

23

Page 24: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

a. menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Konvensi.

b. Menyatakan tidak terikta pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan diantara negara pihak kepada Mahkamah Internasional berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi.

- mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atas hasutan atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak atas jabatanya.

- kewajiban negara peserta untuk mengambil langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindakan penyiksaan didalam wilayah yurisdiksinya tanpa pengecualian termasuk didalam situasi darurat

- negara peserta wajib mengatur bahwa tidak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undanganya

- pelaku tindak penyiksaan dapat diekstradisikan sedangkan korban dilarang diusir tanpa alasan yang kuat

- kerjasama proses peradilan dan deseminasi- ganti rugi dan kompensasi terhadap korban- implementasi konvensi tentang mekanisme konvensi

4. UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

- pembedaan, pengelompokan atau pembatasan yang didasarkan jenis kelamin dilarang

- negara dilarang membuat kebijakan tentang diskriminasi terhadap wanita

- negara menjamin pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar sebagai dasar emansipasi

- negara peserta membuat legislasi larangan perdagangan wanita- kedudkan yang sama bagi wanita dibidang politik dan pemerintahan,

pendidikan, profesi dan pekerjaan, bidang pelayanan dan kesehatan, bidang keuangan dan perbankan, perlindungan wanita di pedesaan, persamaan dibidang kontrak, persamaan dalam perkawinan

5. UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965

- Ratifikasi dengan reservasi Pasal 22 Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional

24

Page 25: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

- Tujuan Konvensi untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna pengahpusan diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan manifestasi serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek rasis

- Bab I setiap negara peserta mengambil langkah guna menyusun kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras

- Bab II tugas dan yurisdiksi Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial

6. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum

- Ps 1 bahwa menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara baik secara lisan atau tertulis secara bebas dan bertanggung jawab

- Ps 2 ayat (1) pendapat dapat disampaikan secara perorangan atau kelompok sebagai bentuk perwujudan hak dan demokrasi

- Ps 2 ayat (2) penyampaian pendapat dimuka umum sesuai dengan UU- Ps 6 kewajiban dan tanggung jawab penyampaian pendapat

a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lainb. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umumc. mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlakud. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umume. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa

- Ps 7 kewajiban pemerintah :a. melindungi HAMb. menghargai asas legalitasc. menghargai prinsip praduga tak bersalahd. menyelenggarakan pengamanan

- Ps 9 ayat (2) pengecualian tempat dan waktu- Ps 10 ayat (1) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Polri- Ps 11 tenggang waktu pemberitahuan

7. Keppres RI Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM

- Bab I Nama, Asas, Sifat dan Tujuan- Bab II Kegiatan- Bab III Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Eksistensi, fungsi, kewenangan Komnas HAM disempurnakan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Bab VII dan UU Nomor 26 Tahun 2000.

25

Page 26: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

8. Keppres RI Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia.

- Ps.1 ayat (2) Hakekat dan Tujuan utk menjamin peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia

- Ps.1 ayat (3) RANHAM sebagai program yang kontinyu- Ps.2 Panitia Nasional RANHAM sebagai pelaksana- Ps.2 ayat (2) program RANHAM mencakup :

a. Persiapan pengesahan perangkat internasional dibidang HAMb. Diseminasi informasi dan pendidikan dibidang HAMc. Penentuan prioritas pelaksanaan HAMd. Pelaksanaan isi perangkat internasional dibidang HAM yang telah

disahkan

9. Keppres RI Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

- Bab II Tujuan dan Kegiatan

Tujuan (Ps 4)a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan

terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesiab. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala

bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesiac. peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala

bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan

Kegiatan

a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan upaya- upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan

b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan HAM perempuan dan peraturan perundand-undangan yang berlaku, serta menyampaikan berbagai saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat dalam rangka penyusunan dan penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan penegakan HAM bagi perempuan

c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah

26

Page 27: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat

e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dalam rangka mewujudkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan

10. Inpres RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

- menghentikan istilah pribumi dan non pribumi- perlakuan dan pelayanan yang sama kepada seluruh warga negara- meninjau kembali peraturan perundang-undangan, kebijakan, program

dan kegiatan sesuai Inpres

INSTRUMEN HAM INTERNASIONAL

Sampai dengan saat ini telah terbentuk kurang lebih 25 buah perjanjian internasional tentang HAM, diantaranya adalah sebagai berikut dibawah ini :

1. Bill of Rights terdiri :

- Deklarasi Universal HAM 1948- The International Convenant on Civil and Political Rights

1976(ICCPR)- The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights

(CESCR)

- Convention Against Toture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1975 (CAT)

- First Optional Protocol to the ICCPR- merupakan stadar internasional tentang HAM- kodifikasi HAM kedalam konstitusi nasional- kewajiban negara untuk membentuk institusi penegakan HAM

2. International Convention on The Elimination of all Forms of Racial Discrimination 1965 (CERD)

- secara prinsip bahwa negara peserta konvensi harus melarang dan menghapuskan diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan menjamin hak setiap orang, tanpa membedakan ras, warna, bangsa, etnis dihadapan hukum

27

Page 28: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

a. hak diperlakukan sama dihadapan peradilan dan badan administrasi hukum lain

b. hak pengamanan dan perlindungan oleh negara dari kekerasan atau kekerasan fisik yang dilakukan pejabat pemerintah atau kelompok atau lembaga lain

c. hak politik, partisipasi dalam pemilu, di pemerintahan diperlakukan adil dalam pelayanan publik

3. Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against Women 1979.

4. Convention on the Prevention and Punishment of Crime of Genocide 1948

5. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965

6. Convention on the Rights of the Child 1989

7. Rome Statute of the International Criminal Court 1998

- merupakan pelengkap yurisdiksi hukum pidana nasional (Ps.1)- merupakan salah satu mekanisme penegakan HAM internasional- kejahatan genosida (Ps.1)- kejahatan terhadap kemanusiaan (Ps.7)- kejahatan perang (Ps.8)- tanggung jawab individu (Ps.25)

Mekanisme Penegakkan HAM

1. Mekanisme Nasional (UU Nomor 26 Tahun 2000)

Sampai dengan perkembangan saat ini terhadap pelanggaran HAM di Indonesia telah diundangkan piranti lunak sebagai jalur mekanisme hukum proses penyelesaian pelanggaran berat HAM yaitu dengan diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai revisi Perpu No. 1 tahun 1999.

Terlepas dari kontroversi terbitnya undang-undang tersebut dari kacamata politik maka secara yuridis hal ini merupakan langkah nyata bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan perlindungan dan penegakkan HAM. Secara hukum bagi setiap pelanggaran HAM dapat dilakukan proses penyelesaian melalui sebuah lembaga peradilan. Garis besar UU No. 26 Tahun 2000 mengatur beberapa hal sebagai berikut :

a. Kedudukan Pengadilan.

28

Page 29: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Pengadilan HAM merupakan “pengadilan khusus” yang berada dilingkungan Pengadilan Umum dan memiliki yurisdiksi sebagaimana Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 2 dan 3). Kedudukan Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus maka memiliki kedudukan sama dengan pengadilan khusus lain yang berada dilingkungan Pengadilan Umum seperti misalnya Pengadilan Korupsi, Narkotika, Ekonomi.

b. Lingkup Kewenangan.

Pengadilan HAM memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM (Pasal 4) dan dalam melaksanakan fungsinya UU No. 26 Tahun 2000 menganut asas personalitas (Pasal 5). Sedangkan untuk subyek hukum yang dapat dikenakan pertanggung jawaban adalah orang dengan usia minimum 18 (delapan belas) tahun (Pasal 6), sedangkan untuk kriteria pelanggaran HAM (pelanggaran berat HAM) diatur pada Pasal 7,8,9 (dibahas tersendiri).

c. Hukum Acara.

Proses penyelesaian hukum bagi pelanggaran HAM pada Pengadilan HAM menggunkan Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU No. 26 Tahun 2000 (Pasal 10).

d. Penyelidikan.

Terhadap perkara pelanggaran berat HAM penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM ) yang dalam pelaksanaannya Komnas HAM dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri dari anggota Komnas HAM ditambah unsur masyarakat (Pasal 18)

Apabila Komnas HAM berpendapat dan terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran berat HAM, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada Penyidik (Jaksa Agung) sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (1)

Sebaliknya apabila Penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan masih kurang lengkap (belum memenuhi unsur pelanggaran berat HAM) maka hasil penyelidikan dikembalikan disertai petunjuk kepada Penyelidik (Pasal 20 ayat (3)).

Asas praduga tidak bersalah tetap dihormati dalam proses penyelidikan sehingga hasil penyelidikan adalah “bersifat tertutup” sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melakukan pelanggaran berat Ham.

e. Penyidikan.

29

Page 30: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Penyidik dalam peristiwa pelanggaran berat HAM adalah Jaksa Agung (Pasal 21 ayat (1)), dan dalam hal ini Jaksa Agung dapat mengangkat Penyidik Ad Hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat (Pasal 21 ayat (3)). Unsur masyarakat dimaksud adalah terdiri dari organisasi politik, LSM, lembaga kemasyarakatan lain seperti Perguruan Tinggi. Pengangkatan Penyidik Ad Hoc oleh Jaksa Agung adalah sesuai dengan kebutuhan.

Apabila tidak ditemukan bukti yang cukup dalam penyidikan maka Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan sebagai dasar penuntutan.

Apabila korban atau keluarganya (sedarah atau semenda garis lurus keatas/kebawah sampai derajat ketiga) tidak menerima SP3 dapat mengajukan Praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai yurisdiksinya.

Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran berat HAM (Pasal 25).

f. Penuntutan.

Pasal 23 menyatakan bahwa Penuntut dalam perkara pelanggaran berat HAM adalah Jaksa Agung yang dalam pelaksanaannya dapat diangkat Penuntut Umum Ad Hoc (unsur masyarakat diutamakan mantan penuntut umum atau oditur militer).

g. Sidang Pengadilan HAM.

Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 5 (lima) orang terdiri dari 2 (dua) orang hakim Pengadilan HAM dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc dengan diketuai oleh Hakim Pengadilan HAM(Pasal 27).

Majelis hakim memeriksa dan memutus perkara menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung (Pasal 28), dengan jumlah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan (Pasal 28).

h. Acara Pemeriksaan.

Perkara pelanggaran berat HAM diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh hari) sesuai Pasal 31 dan

30

Page 31: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi (Pasal 32) serta dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 33).

i. Perlindungan Korban dan Saksi.

Korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun yang dilakukan aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma (Pasal 34).

j. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Korban pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM (Pasal 35).

Kompensasi, adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.

Restitusi, adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa :

1) pengembalian harta milik;2) pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau3) penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Rehabilitasi, adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.

k. Ketentuan Pidana.

Pada UU Nomor 26 Tahun 2000 sistem pemidanaannya berbeda dengan KUHP yaitu dikenal adanya sistem pemidanaan minimum dan maksimum bagi pelaku pelanggaran berat HAM.

Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku pelanggar berat HAM adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun paling singkat 10 (sepuluh) tahun untuk pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 9 a,b,d,e atau j (Pasal 37). Sedangkan untuk pelanggaran Pasal 9 c dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Untuk pelanggaran Pasal 9 f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 42 menyebutkan:

“ Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap tindak

31

Page 32: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

pidana yang berada didalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut (pasal 42).”

a. komandan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui;b. komandan tersebut tidak melakukan tindakan pencegahan atau menghentikan perbuatan pelanggaran atau menyerahkan kepada penyelidik, penyidik dan penuntutan.

Pasal 42 ayat (2), Seorang atasan baik sipil maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran berat HAM yang dilakukan bawahannya padahal atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi atau tidak mengambil tindakan yang layak untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut.

l. Pengadilan HAM Ad Hoc.

UU No. 26 Tahun 2000 menganut asas retroaktif atau berlaku surut sebagaima terumuskan pada Pasal 43 yaitu dapat diperiksa atau diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc bagi perkara pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum UU ini diundangkan.

Pengadilan Ad Hoc dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Dasar usul pembentukan Pengadilan Ad Hoc tersebut oleh DPR RI didasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran berat HAM yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu sebelum pengundangan UU No. 26 tahun 2000.

Mekanisme nasional lain

Guna mengefektifkan perlindungan dan pengembangan HAM pada tingkat nasional terdapat dua lembaga yang pantas memberikan pertimbangan-pertimbangan yaitu national ombudsman dan national human rights commission.

a. Ombudsman Nasional.

Lembaga ombudsman pada umumnya merupakan sebuah lembaga yang ditunjuk oleh parlemen nasional yang fungsi utamanya adalah untuk melindungi hak-hak individu dimana mereka menjadi korban ketidak adilan dari administrasi publik, dan terkadang digunakan sebagai mediator antara pihak yang dirugikan dengan pemerintah.

Pengertian ombudsman adalah :

32

Page 33: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

“ An official or semi official or person to which people may come with grievances connected with government. The ombudsman stand between, and represents, the citizen before government.” 48

Dalam melaksanakan fungsinya ombudsman melakukan investigasi yang pada umumnya mengarah pada dokumen-dokumen yang relevan kepada kewenangan publik, dan memberikan rekomendasi dari hasil yang ditemukan. Dari rekomendasi tersebut yang dijadikan dasar seseorang mengajukan komplain.

Rekomendasi ombudsman tidak dapat ditindak lanjuti bilamana ombudsman sudah menyampaikan laporan permasalahan tersebut kepada parlemen.

Penyampaian komplain melalui lembaga ombudsman tidak selalu sama antara negara satu dengan yang lain. Pola pertama, adalah dimana seseorang dapat mengajukan komplain secara langsung. Pola kedua, kompalin disampaikan melalui perantara yang biasanya melalui anggota parlemen. Komplain seseorang bersifat konfidensial dan identitas penyampai komplain dirahasiakan kecuali pihak tersebut mengijinkan.

Terhadap putusan ombudsman secara prinsip putusannya tidak berlaku mengikat secara hukum bagi para pihak, namun dapat dijadikan pedoman dalam proses penyelesaian permasalahan. 49

Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta menjamin perlindungan hak-hak masyarakat (Pasal 1). Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang independen berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan (Pasal 2).

Salah satu tujuan Ombudsman Nasional adalah meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik (Pasal 3). Adapun hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti (Pasal 9).

Mendasari tujuan Ombudsman Nasional seperti tersebut diatas maka dapat digunakan sebagai alternatif solusi penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.

b. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

48 Henry Campbell Black MA, Black’s Law Dictionary, 6th Ed, West Publishing, St Paul Minn, 1990, Page 1086.49 C de Rover, To Serve and Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces, ICRC, 1998, Page 388 – 399.

33

Page 34: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Pada beberapa negara komisi khusus (Komisi Nasional HAM) telah didirikan dengan tujuan untuk menjamin penerapan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan HAM dapat berlaku secara efektif. Komisi ini berdiri secara independen bukan sebagai organ pemerintah dan biasanya menyampaikan laporannya kepada parlemen.

Dasar hukum tentang fungsi dan kewenangan komisi khusus HAM diputuskan atau melalui sebuah ketetapan parleman (di Indonesia menggunakan Keppres). Undang-undang juga memberikan yurisdiksi bagi komisi khusus HAM dimana diberikan kewenangan untuk melakukan investigasi (UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 18) tentang dugaan kuat telah terjadinya penyimpangan beberapa hak yang diakui konstitusi, juga terhadap kasus-kasus diskriminasi.

Fungsi penting komisi khusus HAM adalah menerima komplain dari individu (atau kelompok) korban kesewenang-wenangan HAM, dimana komplain tersebut dapat juga ditujukan kepada para penegak hukum atau pejabat publik secara individual. 50

c. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Alternatif solusi lain terhadap pelanggaran HAM yang ada di Indonesia adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 menyebutkan :

a. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

b. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.

Selanjutnya dalam penjelasan disampaikan :

“ Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat di luar Pengadilan HAM.”

UU No.26 Tahun 2000 membenarkan adanya penyelesaian pelanggaran berat HAM diluar jalur Pengadilan HAM melalui lembaga yang disebut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dapat digambarkan bahwa lembaga ini merupakan semacam lembaga arbitrase yang menangani permasalahan pelanggaran berat HAM.

Keberadaan lembaga ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi penyelesaian pelanggaran berat HAM yang lebih efektif dan

50 Ibid, Page 389 – 390.

34

Page 35: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

efisien dari pada jalur proses Pengadilan HAM serta dapat “memuaskan” para pihak, khususnya untuk pelanggaran HAM berat sebelum dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000. Untuk mencegah terjadinya friksi diantara bangsa karena permasalahan pelanggaran berat HAM pra UU No. 26 Tahun 2000 maka dikeluarkan UU No. 27 Tahun 2004 sebagai salah satu solusinya.51

Sebagai tindak lanjut Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000 dibentuk UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan tujuan (Pasal 3) :

a. menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan

b. mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian.

Berkait dengan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur masalah asas retroaktif, dengan adanya UU No. 27 Tahun 2004 ini menjadi sebuah alternatif solusi permasalahan. Bahkan dapat pula diartikan dengan adanya UU No. 27 Tahun 2004 maka pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 menjadi tidak berfungsi.

Fungsi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diatur pada Pasal 5 sebagai suatu lembaga publik untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

Pasal 6 menjabarkan tugas dari KKR adalah sebagai berikut:

a. menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;b. melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat;c. memberikan rekomendasi kepada Presidendalam hal permohonan Amnesti;d. menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi;e. menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

51 Lihat Penjelasan Umum UU No. 27 Tahun 2004.

35

Page 36: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Didalam penjelasannya bahwa tindakan penyelidikan dimaksud adalah berberda dengan tindakan penyidik pro yutisia sebagaimana diatur dalah KUHAP.

Kewenangan KKR sebagaimana diatur dalam Pasal 7 disebutkan sebagai berikut :

Pasal 7 Ayat (1)

1. melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;2. meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku, dan/atau pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri;3. meminta dan mendapatkan dokumen resmi dari instansi sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;4. melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik di di dalam maupun di luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku, dan barang bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan;5. memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;6. memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi; dan 7. menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesty, apabila perkara sudah didaftarkan ke pengadilan hak asasi manusia.

Pasal 7 ayat (2)

Dalam hal tertentu untuk melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, Komisi dapat meminta penetapan pengdilan untuk melakukan upaya paksa.

Untuk alat kelengkapan KKR diatur pada Bab IV, tugas dan wewenang pada Sub Komisi Bab V. Tatacara penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti diatur pada Bab VI

Hal menarik pada Pasal 25 yakni tentang bentuk keputusan KKR sebagai berikut :

(1) Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat berupa :

36

Page 37: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

1. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi; atau

2. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti.

UU No. 27 Tahun 2004 mengatur bahwa KKR tidak hanya “melayani” permohonan pihak korban tetapi juga terhadap pelaku yang terhukum karena pelanggaran berat HAM yaitu dalam bentuk amnesti. Pelayanan amnesti ini adalah berupa pertimbangan hukum (rekomendasi) permohonan amnesti kepada Presiden (Pasal 22). Karena sesuai dengan UUD 1945 bahwa amnesti adalah hak perogratif Presiden (sebagai kepala negara). Selanjutnya pada Pasal 25 ayat (2) disebutkan :

(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi wajib mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh masyarakat kepada Komisi.

Hal yang memerlukan batasan adalah pengertian “masyarakat” yang boleh memberikan saran, karena sangatlah mustahil KKR akan mempertimbangkan saran seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga perlu dijelaskan batasannya apakah masyarakat yang ada di MPR, DPR, LSM atau yang lain dan perlu juga diatur mekanisme penyampaian saran tersebut. 52

Pasal 44 menyatakan :

“ Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc”.

Pada penjelasan Pasal 44 disebutkan cukup jelas, namun pada penjelasan umum diuraikan sebagai berikut :

“ Apabila terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diputus oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka pengadilan hak asasi manusia ad hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diberi putusan oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang memutuskan. Dengan demikian, putusan Komisi

52 Penjelasan Pasal 25 adalah cukup jelas.

37

Page 38: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan mengikat ”. 53

Kalimat terakhir penjelasan tersebut diatas mengkaburkan, karena untuk pengadilan ham ad hoc putusannya masih dapat dilakukan upaya hukum. 54 Apabila kita bandingkan maka KKR merupakan institusi pelanggaran berat ham yang mekanismenya sama dengan arbitrase, yakni putusannya bersifat final tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Hal lain yang patut dipertimbangkan bahwa masalah kekuatan hukum putusan KKR terhadap para pihak yang melakukan “wanprestasi” apakah upaya paksa pada Pasal 7 berlaku juga terhadap putusan KKR ? Untuk menyiasatinya agar kekputusan KKR benar-benar mengikat secara hukum seyogyanya dimintakan fiat eksekusi dari lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung , dengan demikian putusan benar-benar final dan keabsahan secara hukum tidak perlu diragukan.

d. Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).

Komisi Kebenaran dan Persahabatan atau “The Commission of Truth and Friendship” dibentuk berdasarkan persetujuan antara Pemerintah RI dengan Timor Leste yang disebut Joint Declaration (JD) tanggal 9 Maret 2005, dimana terdapat hal penting didalam kesepakatan tersebut bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan proses penuntutan atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur pasca jajak pendapat.

KKP merupakan suatu wadah penyelesaian dugaan pelanggaran berat HAM Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 dengan tujuan terciptanya menyelesaikan masalah menuju rekonsiliasi kedua belah pihak. Pendekatan KKP adalah :

“ True justice cen be served with truth and acknowledgment of responsibility. The prosecutrial system of justice can sertainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and promote reconsiliation.”

Kedua belah pihak menyatakan bahwa kebenaran dan pengakuan atas tanggung jawab merupakan prasyarat menemukan kebenaran sejati, sistem penghukuman hanyalah bertujuan penghukuman semata yang tidak dapat menuju kepada kebenaran dan rekonsiliasi. Kedua pihak juga

53 Lihat Penjelasan Umum UU No. 27 Tahun 2004 alinea terakhir.54 Lihat Pasal 32 UU No. 26 Tahun 2000 dan seterusnya mengenai banding, kasasi dan upaya hukum lainnya.

38

Page 39: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

sepakat untuk menghentikan proses penuntutan kasus pelanggaran berat HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999.55

Untuk peradilan yang sedang berjalan tidak dihentikan namun kedua belah pihak sepakat tidak akan membentuk peradilan baru untuk kasus-kasus bersangkutan.

“e. Based on the spirit of a forward looking and reconciliatory approach, the CTF process will not lead to presecution and will emprasize institutional responsibilities.”

d. Does not prejudice against on going judicial process with regard to reported cases og human rigfts violations in Timor Leste in 1999, nor does it recommend the establishment of any other judicial body.”

Hal penting lain yang dituangkan dalam deklarasi tersebut bahwa terdapat prisnip “institutional responbilities” antara Pemerintah Republik Indonesia dan Timor Leste sepakat mengambil alih tanggung jawab individual para pelaku pelanggaran berat HAM sebagai tanggung jawab negara. 56

2. Mekanisme Penegakkan HAM Internasional

Kurang lebih 50 tahun pasca IMT dan IMTFE beberapa mekanisme penegakan HAM didirikan pada tingkat internasional. Beberapa mekanisme yang didirikan memiliki karakter peradilan sedangkan yang lainnya lebih bersifat lembaga investigasi. Organisasi regional seperti MEE dan Organisasi negara-negara Amerika berhasil membentuk lembaga peradilan HAM. Mekanisme penegakkan PBB menunjukkan keberhasilan sebab mereka memiliki daya kekuatan yang mengikat (negara-negara anggotanya) dan juga berjalan secara efektif.57

a. Mekanisme Penegakkan HAM PBB

Mekanisme penegakkan HAM PBB didasari pada perjanjian internasonal atau Piagam PBB. Majelis Umum PBB bertanggung jawab atas penyelenggaraan mekanisme berkenaan dengan perjanjian internasional ataupun resolusi. Mekanisme perjanjian internasional dan Piagam PBB memiliki perbedaan, yaitu pada Piagam PBB akan didukung

55 Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH, LLM., Tantangan dan Prospek dan Masa Depan Pengadilan HAM, Panel Discusion on Judicial Accountability for Serious Violations of Human Rights in Indonesia, Cooperation between the Supreme Court of RI and DIHR supported by the Royal Danish Embassy, Jakarta 16 Juni 2005.

56 Ibid.57 Francisco Forrest Martin Cs, International Human Rights Law and Practise, Kluwer Law International, Page 4

39

Page 40: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

oleh anggota-anggota PBB, sedangkan yang didasari perjanjian internasioanl hanya didukung negara-negera peserta perjanjian internasional yang bersangkutan.

Dalam mekanisme penegakkan HAM PBB terdapat dibeberapa organ seperti misalnya Courts/Tribunal, Committees, prosedur mekanisme khusus, working groups, reporter, perwakilan-perwakilan dan para ahli.

Courts atau Tribunal yang telah berjalan antara lain :

- ICJ (International Courts of Justice/ The Hague);- ICT (International Court Tribunal) for Former Yugoslavia;- ICT for Rwanda

ICJ merupakan mekanisme untuk kasus/perkara antar negara dan organisasi antar pemerintah, sedangkan ICT merupakan lembaga bagi pertanggungjawaban individu dimana klaim diajukan oleh negara, lembaga-lembaga non pemerintah (NGO’s) lain.

Bentuk lain yaitu quasi yudisial yang dibentuk oleh perjanjian internasional sebagai contoh antara lain :

- Komisi HAM PBB- Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial (Eliminate Racial

Discrimination);- Komisi Anti Kekerasan (Against Torture)

Dalam quasi yudisial tersebut individu dapat menyampaikan klaimnya melawan negara kepada lembaga-lembaga tersebut. 58

a. Mekanisme PBB berdasarkan Perjanjian Internasional

Dari sejumlah deklarasi dan konvensi tentang HAM, hanya beberapa konvensi internasional yang mengatur quasi yudisial untuk memeriksa kasus-kasus pelanggaran HAM, yaitu Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan Optional Protocol yang dibentuk oleh UN Human Rights Commitee. Kedua adalah UN Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang dibentuk oleh UN Committee Against Torture. Ketiga, adalah UN Convention to Eliminate All Forms or Racial Discrimination (CERD) yang dibentuk oleh UN Committee to Eliminate Racial Descrimination. Ketiga ketentuan tersebut mengatur prosedur individu melakukan penuntutan.

4) Komisi HAM PBB (UN Human Rights Committee).

58 Ibid, Page 5.

40

Page 41: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Didirikan melalui ICCPR pada tahun 1976 yang secara umum berfungsi menginterpretasikan perbedaan HAM. Disamping mempelajari kondisi HAM diberbagai negara, komisi juga menerima “komunikasi” dari individu dibawah Optional Protocol ICCPR. 18 Anggota komite bertemu 3 kali setahun, 2 kali di Jenewa dan 1 kali di New York.

Merupakan bentuk lain dari sistem ajudisial internasional dimana komplain harus mengutamakan penyelesaian peradilan nasional dan apabila tidak ditanggapi maka dilakukan investigasi menggunakan prosedur internasional.

ika ditemukan sebuah “pengaduan” maka Komisi akan meneliti kebenaran kasus yang bersangkutan, selanjutnya dibuat sebuah kesimpulan fakta dan hukum.

Apabila ditemukan pelanggaran terhadap kewajiban ICCPR Komisi akan membuat “rekomendasi” kepada negara peserta bersangkutan untuk mengkoreksi kondisi tersebut. Pandangan-pandangan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi disusun dalam laporan tahunan yang disampaikan kepada Majelis Umum PBB.

Kedudukan penting ICCPR dalam kerangka intrumen HAM internasional adalah memberikan pendapat yang esenisial bagi perkembangan hukum kebiasaan HAM internasional. Efektifitas Komisi telah terbukti yaitu beberapa negara telah merubah hukumnya sesuai dengan rekomendasi Komisi.59

5) Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB ( UN Committee to Eliminate Racial Discrimination)

Reaksi yang luas dari dunia ketiga menentang kebijakan apatrheid Afrika Selatan menjadikan Majelis Umum PBB menerima the Declaration on racial Discrimination pada tahun 1963 dan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD) pada tanggal 21 Desember 1965 yang berlaku mengikat pada tanggal 4 Januari 1969.

Negara peserta konvensi menyepakati untuk bertanggung jawab mengembangkan saling pengertian sesama ras dan membuat sebuah kebijakan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial. Ditambahkan bahwa negara peserta sepakat untuk menjamin kesetaraan ras dihadapan hukum dan hak asasi manusia seperti politik, ekonomi, budaya, hak sosial, hak pengamanan dan hak perlindungan dari kekerasan serta ancaman fisik dari negara (penguasa).

Komisi mengawasi implementasi konvensi oleh negara peserta. Sebuah komisi ad hoc dapat ditunjuk Ketua UN CERD

59 Ibid, Page 7.

41

Page 42: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

untuk memfasilitasi sebuah solusi damai terhadap sengketa (diskrimnasi) antar negara.

Komisi menerima pengaduan dari perorangan atau kelompok namun diutamakan penyelesaian peradilan nasional. Setelah memandang informasi relevan cukup UN CERD membuat sebuah temuan penyimpangan konvensi didapat maka dibuat rekomendasi terhadap negara peserta bersangkutan.60

6) Komisi Anti Penyiksaan PBB (UN Committee Against Torture)

UN CAT atau Komisi Anti Penyiksaan PBB dibentuk berdasarkan Pasal 17 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment. Konvensi diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984 dan berlaku mengikat pada tanggal 26 Juni 1987.

Seluruh negara peserta sepakat untuk bertanggung jawab mengefektifkan lembaga legislatif, adiminisntratif dan peradilan untuk mencegah tindak penyiksaan diiwilayahnya dan dibawah yurisdiksinya serta melaporkan kepada UN CAT mengenai langkah-langkah yang ditempuh guna memenuhi tanggung jawabnya.

Komisi meneliti dan membahas laporan penyimpangan CAT dan pada Pasal 22 mengatur prosedur pengaduan individu. UN CAT menyampaikan laporan baik kepada negera peserta maupun Majelis Umum PBB.

Pasal 20 Konvensi memperbolehkan sebuah negara peserta atau lebih diundang untuk membentuk sebuah penyelidikan konfidensial dan laporan segara kepada UN CAT terhadap kasus-kasus yang “ recieves reliable information which appears to it to contain well-founded indications that torture is being systematically praticed in the territory of the State Party ”.

Disamping itu UN CAT memiliki prosedur tuntutan antar negara yang secara bersama-sama atau secara khusus tersendiri sebagaimana diatur Pasal 41.61

b. Mekanisme berdasar Piagam PBB (UN Charter-Based Mechanisms)

Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Tinggi PBB ( UN The High Commissioner) dibentuk tahun 1994 sebagai organ PBB berada dibawah Sekretaris Jenderal PBB. Komisi berperan mengeluarkan kebijakan dan

60 Ibid, Page 7-8.61 Ibid, Page 8.

42

Page 43: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

mengorganisir kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penyebar luasan standar HAM diseluruh dunia. Disamping itu Komisi merupakan supervisi dari Pusat HAM PBB ( UN Centre of Human Rights) di Geneva dan lembaga-lembaga perlindungan HAM PBB. Komisi dibentuk berlandaskan deklarasi dan konvensi-konvensi HAM PBB dan membawahi organ-organ sebagai berikut :

I. Special Thematic Procedures.

A. DisappereancesB. Arbitrary DetentionC. Summary or Arbitrary ExecutionsD. TortureE. Religious IntoleranceF. MercenariesG. Sale of ChlidrenH. Racism and XenophobiaI. Freedom of ExpressionJ. Internally Displaced PersonsK. Missing Persons (Yugoslavia)L. Violence Against WomenM. Toxic and Dangerous ProductsN. Independence of Judiciary and Lawyers

II. Special Country ProceduresIII. Sub Commission on Prevention of Discrimination and

Protection of Minorities

A. Working Groups1. Communications on Gross Violations (1503 Procedures)2. Minority Rights3. Indegenous Populations4. Slavery

B. Special Rapportteurs and Studies

IV. Advissory services/technical assistance

a. Prosedur Resolusi ECOSOC No. 1503 (Procedure under ECOSOC Resolution No. 1505)

Prosedur 1503 dikeluarkan oleh Resolusi ECOSOC No. 1503 pada tahun 1970 merupakan adopsi dari prosedur 1235, dan dikembangkan sebuah mekanisme investigasi dari masalah khusus

43

Page 44: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

mengenai pelanggaran hak sipil dan politik. Prosedur 1503 memperbolehkan individu menyampaikan laporan tentang penyimpangan HAM, dan merupakan prosedur yang paling populer karena pada tahun 1993 saja menerima 125.000 komplain.

Prosedur 1503 menjadi sangat penting sejak dikeluarkannya sebagai bukti historis langkah pertama PBB dalam perlindungan HAM, dan diantara mekanisme yang lain maka prosedur 1503 merupakan mekanisme yang paling efektif.

Prosedur 1503 bukan merupakan resolusi pemecahan masalah dan sejak dioperasionalkan terlihat kurang transparan karena pelapor tidak dapat mengikuti jalan keluar dari laporannya.62

b. Prosedur Resolusi ECOSOC No. 1235 ( Procedure under ECOSOC Resolution No. 1235).

Dikeluarkan pada tahun 1967 merupakan prosedur yang menjadikan dasar bagi UN Commission on Human Rights membuat jurnal tahunan dengan fokus pembahasan tentang pelanggaran berat HAM dan kebebasan dasar yang dilakukan sejumlah negara; termasuk kebijakan rasial, pembedaan dan apartheid di beberapa negara.

Komisi berwenag mengkaji informasi yang relevan dengan pelanggaran berat HAM dan kebebasan dasar. Kedua, komisi dimungkinkan membuat sebuah penelitian situasi yang mengungkap pola konsisten dari pelanggaran HAM. Komisi diperbolehkan untuk mempelajari dan menginvestigasi situasi khusus (kasus individual) yang diterbitkan pada bahasan jurnal. Juga terhadap kerusuhan besar dan pertumpahan darah. Prosedur 1235 memiliki kriteria dan dimplementasikan pada kasus-kasus khusus yang berbeda dengan Prosedur 1503.63

C. Mekanisme Thematis dan Negara (Thematic and Country Mechanisms)

Disamping mekanisme 1503 dan 1235, terdapat sejumlah mekanisme yang didasarkan pada Piagam PBB dalam perlindungan HAM. Mekanisme dapat digolongkan kedalam kategori “thematis atau negara”. Prosedur negara merupakan mekanisme khusus ( biasa disebut kelompok kerja, reportase, kelompok ahli) yang terdiri dari para ahli independen yang mempelajari kondisi HAM sebuah negara. Mekanisme thematis (disebut juga reprtase dan kelompok kerja) mengkaji jenis khusus pelanggaran HAM diseluruh dunia.

62 Ibid, Page 9-10.

63 Ibid, Page 11.

44

Page 45: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Secara umum baik mekanisme thematis maupun negara dilakukan dengan kunjungan individu yang mengumpulkan informasi dari hasil observasi tentang pelanggaran atau penerapan (perlindungan) HAM; menerima atau menyampaikan komplain dari individu atau organisasi kepada pemerintah bersangkutan, melaporkan penyimpangan dan memformulasi kebijakan atau rekomendasi.64

d. Mekanisme Pra PBB (Pre UN Mechanisms)

Mekanisme pra PBB adalah ICJ (International Court of Justice) dan ILO (International Labour Organization). ICJ dibentuk oleh Liga Bangsa-bangsa (LBB) pada tahun 1921 berperan memberikan pendapat kasus atau advisory opinion berkenaan dengan HAM seperti genosida, hak kemerdekaan dan senjata nuklir.

ILO dibentuk pada tahun 1929 merupakan mitra LBB bertujuan mengembangkan dan memperbaiki kondisi buruh. ILO telah mengeluarkan kurang lebih 250 rekomendasi dan konvensi. Setiap negara yang meratifikasi harus membuat laporan kepada ILO dan ILO bertindak sebagai supervisor. Komplain dapat disampaikan oleh negara, para pekerja atau serikat pekerja kepada ILO (ILO Commission of Inquiry ) dan The Governing Body akan membuat rekomendasi yang diserahkan kepada General Conference.65

e. ICTY dan ICTR

International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTFY) dan International Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan peradilan kriminal internasional tidak permananen. Keduanya merupakan pengadilan ad hoc yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah genosida yang terjadi di Eks Yugoslavia dan Rwanda.66

f. Komisi Tinggi PBB bagi Pengungsi (UN High Commissioner for Refuges)

Dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1950 yang bertujuan mengembangkan perlindungan bagi hak-hak pengungsi dan selaku supervisi bagi negara peserta the UN Convention Relating to the Status of Refugees (1951) dan Protokol 1967.

64 Loc., cit.65 Ibid, Page 12.

66 Ibid, Page 13.

45

Page 46: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

UNHCR juga melakukan bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, mengadakan penampungan pengungsi termasuk juga pengembalian pengungsi.67

2. Mekanisme Regional.

a. Komisi dan Peradilan HAM Eropa (European Commission and Court of Human Rights)

Dibentuk sebagai akibat ketakutan terhadap genosida yang terjadi pada Perang Dunia II sehingga masyarakat Eropa membutuhkan sebuah sistem perlindungan HAM.

Tahun 1950, Dewan Eropa membentuk the Covention for Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (EHCR) dan tahun 1953 membentuk European Commission and Court of Human Rights berkedudukan di Strasbourg, Perancis. Komisi ini menerima komplain baik yang datang dari negara peserta maupun individu, termasuk pelanggaran terhadap negara peserta oleh negara lain.

EHCR menerapkan prinsip exhaust domestic legal remedies atau mengutamakan penyelesaian domestik bagi pelanggaran HAM yang apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak ada penanganan maka akan ditarik pada forum internasional.

Komisi bukanlah lembaga peradilan tetapi bertugas mengkaji kasus yang terjadi dan hasilnya dilaporkan kepada Dewan Eropa.

Peradilan Eropa berfungsi sebagaimana ICJ namun putusan tidak hanya terbatas dari segi hukum saja, tetapi dapat juga memerintahkan negara pelanggar HAM untuk memberikan kompensasi dan hal lain yang khusus.68

b. Komisi dan Peradlian HAM Negara-negara Amerika (Inter American Commission and Court of Human Rights)

Merupakan mekanisme perlindungan HAM bagi negara-negara anggota Organization of American States (OAS), dibentuk tahun 1959 dan berkedudukan di Washington DC.

Komisi berkompetensi untuk mengkaji kasus-kasus (pelanggaran HAM) yang terjadi pada seluruh negara Amerika dan apabila mereka menemukan terjadinya penlanggaran HAM maka Komisi akan membuat rekomendasi.

Komisi juge menrima komplain dari perorangan atau kelompok apabila komplain mereka tidak disampaikan oleh perwakilan negara mereka. Sebagaimana EHCR maka ACHR

67 Loc., cit.68 Ibid, Page 13-15.

46

Page 47: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

menerapkan prinsip exhaust domestic legal remedies. Komisi dapat melakukan invenstigasi dan bagi pemohon komplain indentitasnya dirahasiakan bahkan dilindungi. Hasil investigasi dilaporkan kepada Sekjen OAS termasuk rekomendasi penyelesaian masalah.

Peran lain Komisi adalah melakukan upaya penyelesaian permusuhan dan memberikan saran (advisory opinion) serta melakukan negosiasi-negosiasi.

Peradilan Amerika sebagaimana halnya Peradilan Eropa kekuatan hukum putusannya hanya mengikat negara-negara peserta (OAS) dan dapat memerintahkan dilakukan kompensasi atau perintah-perintah khusus lainnya.69

3. Komisi HAM dan Hak Rakyat Afrika (African Commission on Human and Peoples Rights)

Organisasi Persatuan Negara-negara Afrika menyepakati African Charter on Human and People Rights atau dikenal dengan African Charter atau Banjul Charter pada tahun 1981 di Banjul, Gambia. Piagam ini merefleksikan sebuah keinginan untuk melindungi hak kolektif termasuk kewajiban individual.

Dari African Charter ini dibentuk Komisi Hak Asasi Manusia dan rakyat Afrika yang bertanggun jawab menyebarkan pengertian HAM. Kedua memberikan saran dan pandangan terhadap permasalahan (HAM) dan ketiga melakukan investigasi baik terhadap individu maupun negara.

Prinsip exhaust domestic legal remedies dijadikan dasar penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan hanya untuk kasus-kasus “reveal(s) the existence of seriuos or massive violation” yang dilaporkan Komisi kepada Majelis Umum OAU.70

4. International Criminal Court.

Setelah melalui proses yang panjang dan memakan waktu lama terbentuk Statuta Rome ( Rome Statute ) pada tahun 1998, yang melahirkan mahkamah pidana internasional permanen (ICC) pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma. ICC merupakan peradilan independen dan permanen tetapi memiliki hubungan dengan sistem yang ada di PBB. Walaupun ICC telah terbentuk tetapi Tribunal Ad hoc PBB (Ad hoc International Criminal Tribunal ) masih dimungkinkan untuk dibentuk, khususnya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma (berlaku surut).

Pada Preamble dan Article 1 dikatakan bahwa ICC merupakan ”complementory to national criminal jurisdiction“ artinya apabila terjadi concurent jurisdiction maka pengadilan nasional diberlakukan terlebih

69 Ibid, Page 15-17.70 Loc., cit.

47

Page 48: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

dahulu sebagai “primary forum”, pengadilan internasional tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengadilan nasional. Prinsip ini mengkedepankan penghormatan terhadap kedaulatan negara. 71

Pengadilan internasional dikatakan “inadmissible (inacceptable for trial)” apabila :

a. kasus sedang diinventigasi atau dituntut oleh suatu negara yang memiliki jurisdiksi;

b. kasus tersebut telah diinvestigasi oleh suatu negara yang memiliki jurisdiksi dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut seseorang yang berkaitan;

c. orang tersebut telah dituntut dan diadili oleh suatu pengadilan terhadap perbuatan yang dituduhkan dan pengadilan telah menjatuhkan pidana atau membebaskan;

d. kasus yang bersangkutan tidak cukup gawat untuk ditindak lanjuti.

Pengecualian hal tersebut diatas apabila pengadilan nasional mendemonstrasikan “ unwillingness “ dalam bentuk :

a. pengadilan memang didisain untuk melindungi pelaku dari pertanggungjawaban pidana;

b. terjadi penundaan yang tidak dapat dibenarkan (Unjustified delay);

c. proses peradilan dilakukan tidak independen atau fair.

Pengadilan internasional difungsikan apabila terbukti pengadilan nasional “ unable” sebagai akbiat kelumpuhan sistem peradilan nasional atau negara yang bersangkutan tidak mampu untuk menunutut atau memperoleh bukti-bukti yang diperlukan dan kesaksian atau sama sekali tidak mampu menyelenggarakan pengadilan.72

Kategori pelanggaran yang menjadi kewenangan dari ICC adalah sebagai berikut :

a. Genosida ( Article 6 );b. Crimes against humanity ( Article 7);c. War crimes (Article 8);

71 Prof. DR. Muladi, SH, Tantangan, Prospek dan Masa depan Pengadilan HAM, Diskusi panel tanggung Jawab Peradilan Terhadap Pelanggaran Berat HAM di Indonesia, MA RI – Danish Institute of Human Rights, Jakarta 16 Juni 2005, Halaman 9.72 Ibid.

48

Page 49: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

d. Crime of agression, sampai dengan saat ini Statuta belum merumuskan tentang tidak kejahatan agresi namun pada Bab VII Piagam PBB (Article 13) menyebutkan, action with respect to threats to the peace; breaches od the peace; and acts of agression.

Statuta Roma menganut sistem pertanggungjawaban individu (individual criminal responsibility) yang melakuan kejahatan, memerintahkan (menyuruh, membujuk), membantu terjadinya kejahatan, memberikan kontribusi atau perbuatan percobaan kejahatan yang menjadi kewenagan ICC, serta jurisdiksi ICC hanya berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma (Jurisdiction ratioe temporis).

Adapun prinsip umum hukum pidana umum yang dianut oleh Statuta Roma sebagai berikut :

a. Nullum crimen sine lege (Article 22), kejahatan terjadi setelah diberlakukan Statuta Roma dan tidak digunakan analogi untuk penafsiran kejahatan;

b. Nulla poena sine lege (Article 23), seorang hanya dapat dihukum hanya dengan Statuta Roma;

c. Non retroactivity ratione personae (Article 24), tidak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan menggunakan Statuta Roma untuk kejahatan yang terjadi sebelum diberlakukannya Statuta Roma;

d. Individual criminal responsibilty (Article 25).

Tanggung jawab komando diatur pada Article 28 yaitu untuk komandan atau atasan yang memiliki komando efektif terhadap pasukan dibawah komandonya dipertanggungjawabkan secara pidana dalam hal :

a. mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa bawahannya melakukan kejahatan;

b. komandan gagal melakukan tindakan yang tepat untuk mencegah, menghentikan atau melakukan tindakan hukum terhadap pelaku kejahatan.

49

Page 50: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

TANGGUNG JAWAB KOMANDAN

Beberapa peristiwa pelanggaran kemanusiaan atau HAM berat yang pernah terjadi selalu berkait dengan masalah tanggung jawab (pidana) seorang komandan, atasan ataupun pejabat negara berwenang atas timbulnya kasus pelanggaran yang terjadi. Tangung jawab yang demikian tersebut tentunya harus berkait dengan tindakan pelanggaran bawahan sebagai pelaksana dilapangan, sehingga adanya sebuah korelasi antara tindak pelanggaran dengan perintah atasan selaku pemegang komando.

50

Page 51: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Berdasar hukum kebiasaan (custom) atau menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa seorang komandan secara hukum diberikan wewenang dan tanggung jawab terhadap bawahannya, khususnya yang berada di bawah wewenangan komando langsung. Seseorang menjadi komandan, atasan atau pejabat negara adalah berdasarkan hukum, artinya diangkat oleh negara untuk menjabat sebagai pemegang komando sebuah satuan militer atau menjabat jabatan publik tertentu.

Tanggung jawab seorang komandan antara lain membuat perencanaan, keputusan, kebijakan dan perintah juga pengawasan serta pengendalian terhadap bawahan sebagai unsur pelaksana. Namun demikian tidak secara otomatis seorang komandan atau atasan dapat secara otomatis dipersalahkan apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan bawahannya. Seorang komandan dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum bawahannya apabila membiarkan terjadinya kejahatan dan kejahatan tersebut dilakukan secara sistematis. Seorang komandan dapat dipertanggungjawabkan yaitu apabila tidak melakukan upaya yang tepat untuk mencegah, menghentikan dan menindak bawahannya yang melakukan kejahatan.

Tanggung jawab komandan berkaitan dengan kekuasaannya untuk memberikan perintah kepada bawahannya di kesatuannya. Perintah bukan haja ekspresi kehendak tetapi seorang komandan tetapi juga merupakan mekanisme pengendalian atas bawahan yang berada dibawah wewenang komandonya.73

Perintah seorang komandan yang dimaksud adalah perintah yang tidak bertentangan dengan hukum, apabila perintah tersebut (eksplisit maupun implisit) bertentangan dengan hukum maka komandan (atasan) dan bawahan harus bertanggung jawab secara hukum. Hal lain dapat terjadi perintah seorang komandan, atasan atau pejabat berwenang substansinya di luar kewenangannya, sehingga dikatakan sebagai penyimpangan kekuasaan (abuse of power) sebagai salah satu sumber pelanggaran hukum bawahan.74

Dalam perkembangan sejarah bahwa tanggung jawab komandan terdapat perubahan yang signifikan dari doktrin komando. Sebelum perang dunia II terdapat doktrin bahwa perintah atasan merupakan alasan pemaaf bagi bawahan sebagai pelaku kejahatan (menghapuskan kesalahan pelaku). Namun pada pasca perang dunia II doktrin menyatakan bahwa perintah komandan (atasan) tidak menghapuskan kesalahan (the rights of the soldier to disobey unlawful order).75

Terdapat suatu korelasi yang sangat erat didalam pertanggungjawaban komandan yaitu antara perintah kepada bawahan sebagai pelaku kejahatan. Kejahatan bawahan harus dibuktikan terlebih dahulu dan selanjutnya dilakukan proses pertanggung jawaban pidana komandan atau atasannya selaku pemberi perintah.

73 Kolonel Chk Natsri Anshari, SH, LLM, Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter, FH Trisakti, Volume 1 No. 1, Juli 2005, Halaman 46.74 Ibid..75 Brigjen TNI (Purn) PLT Sihombing, SH., LLM, Materi Kursus Kepala Hukum TNI AD 2005, Pusdikkum Kodiklat TNI AD.

51

Page 52: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Secara prinsip komandan atau atasan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam dua kategori. Pertama, tanggung jawab muncul karena adanya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan komandan dalam merespon sebuah situasi. Dalam hal ini berupa keterlibatan komandan atas perintah dan perencanaannya yang mengakibatkan bawahan melakukan pelanggaran hukum. Kategori pertama yang dikenal dengan tanggung jawab komando secara langsung (vicariuos atau direct command liability).

Kedua seorang komandan atau atas bertanggung jawab secara pidana karena tidak melakukan tindakan apapun sesuai dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya. Komandan membiarkan terjadinya pelanggaran hukum (omission) bawahannya atau tidak mengambil upaya yang tepat untuk menghentikan dan menindak bawahannya sebagai pelaku kejahatan. Tanggung jawab komandan dalam hal ini adalah tanggung jawab komando yang bersifat tidak langsung (indirect command responsibility atau imputed liability).76

Doktrin Tanggung Jawab Komando

Seorang komandan satuan militer dapat dipertangungjawabkan secara pidana atas kejahatan bawahannya, tanggung jawab tersebut merupakan bukan merupakan tanggung jawab secara pribadi. Hal diminta untuk dipertanggung jawabkan seorang komandan adalah keputusan, perencanaan, perintah yang dilaksanakan bawahannya dan berakibat terhadap pihak lain.

Ilias Bantekas menyatakan

“ The doctrine of superior responsibility prescribes the criminal liability of those persons who being in positions of command, have failed to either prevent or punish the crimes of their subordinates”.

“People who fail to prevent or punish their subordinates illegal acts are liable under the doctrine of command responsibility. Accordingly, the doctrine does not address action but omission. Most system of criminal law punish unlawful positive conduct, thus requiring the comission of an act. Exeptionally common law jurisdictions only where a specific duty is prescribe either by statute or by the common law.”77

Pertanggungjawaban seorang komandan harus terdapat unsur keterlibatan (involvement), hubungan (conection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intent) yang menyebabkan bawahannya melakukan kejahatan. 78

Untuk dapat dipertanggungjawabkan maka seorang komandan atau atasan memiliki hubungan dengan bawahan sebagai pelaku kejahatan dengan kriteria: adanya hubungan subordinasi secara hirarkhis; status dapat militer atau sipil; memilki superior power (memerintah dan menghukum); atasan atau

76 Kolonel Chk Natsri A, SH.,LLM., op. cit, Halaman 47-48.Prof. KGPH. Haryomataram, SH, Hukum Humaniter Trimatra, FH Trisakti, 2003,

Halaman 5-6.77 Prof. KGPH Haryomataram, SH, Ibid.78 Kolonel Chk Natsri A, SH, LLM, Op.cit., Halaman 49.

52

Page 53: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

komandan tersebut adalah pejabat secara de jure dan de facto (pada saat kejahatan terjadi).

“ where a person has the material ability to prevent or punish crimes commited by others, that persons must be considered as a superior as a person exiting effective control over this subordinates…” 79

Komandan atau atasan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty) yang menyebabkan terjadinya kejahatan.

Pada perkembangannya subyek yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya komandan militer tetapi juga terhadap atasan (superior responsibility) atau penguasa sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando atau perintah kepada pejabat militer atau satuan militer. Tanggung jawab komando ini tidak hanya berlaku dalam situasi perang saja tetapi juga dimasa damai yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat HAM.

Landasan Tanggung Jawab Komandan

1. Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Den Haag 1907 merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur tentang tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan bawahan. Pasal 1 menyebutkan bahwa para milisi dan korps sukarelawan hanya dipandang sebagai kombatan yang sah apabila mereka dibawah seorang komandan yang bertanggung jawab terhadap bawahannya.

“ The laws, rights and duties of war not only to armies, but also to militia and voulenteer corps fulfililng the folowing conditions :

1. To be commanded by a person responsible for his subordinates. ……..”

Ketentuan tersebut diperkuat dengan Pasal 3 yang menyatakan :

“ Suatu pihak yang berperang yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut (Lampiran Konvensi), jika kasusnya memenuhi, bertanggung jawab untuk membayar kompensasi. Pihak yang berperang harus bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari angkatan bersenjatanya.”

79 Brigjen TNI (Purn) PLT Sihombing, SH, LLM, Ibid..

53

Page 54: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur secara jelas tentang tanggung jawab komando, namun terdapat Pasal-pasal yang meletakkan tugas dan tanggung jawab pada seorang komandan militer. Pasal 1 menyatakan bahwa negara penandatangan konvensi melaksanakan penghormatan (respect) dan menjamin penghormatan (ensure respect) atas konvensi. Hal ini mencakup penghormatan oleh aparat negara termasuk para komandan militer.Pasal 45 Konvensi I dan Pasal 46 Konvensi II Jenewa bahwa para pihak yang terlibat sengketa melalui panglimanya (commander in chief) harus menjamin pelaksanaan pasal-pasal terdahulu dan kasus-kasus yang timbul sesuai prinsip-prinsip umum Konvensi Jenewa. Panglima angkatan bersenjata adalah pejabat negara dimana tanggung jawabnya akan mengalir kepada para komandan dibawahnya secara hirarkhis. 80

Sedangkan pada Konvensi Jenewa III dan IV terdapat ketentuan yang mewajibkan para komandan untuk bertanggung jawab dalam perlindungan tawanan perang dan melaksanakan deseminasi hukum perang kepada para prajuritnya. Konvensi juga menentukan agar negara peserta memberlakukan didalam konstitusi nasionalnya untuk menghukum pelaku dan orang yang mengeluarkan perintah untuk dilakukannya pelanggaran berat (grave breaches). 81

2. Protokol Tambahan I 1977

Masalah tanggung jawab komandan dalam Protokol I 1977 disebutkan pada Pasal 43 ayat (1) sebagai berikut :

“ The armed forces of a party to conflict consist of all organized armed forces, groups and units which are under a command responsible to that Party for conduct of its subordinates, even if that Party is represented by a government or an authority not recognized by an adverse Party. Susch armed forces shall be subject to an internal diciplinary system which, inter alia, shall enforce compliance with the rules of international law applicable in armed conflict.”

Pasal 86 secara tegas menyatakan tentang tanggung jawab komando sebagai berikut :

“ (1) The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall repress grave breaches, and take measures necessary to suppress all other breaches, of the Conventions or of this Protocol which result from a failure to act when under a duty to do so.

80 Kolonel Chk Natsri A, SH, LLM, Op. cit, Halaman 70.81 Ibid..

54

Page 55: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

(2) The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a subordinate does not absolve his superiors from penal or diciplinary responsibility as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled the to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was to commit such a breach and if they did not take all feasible measures within their power to prevent or repress the breach.”

Seorang komandan dipertanggungjawabkan karena tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan membiarkan kejahatan berlangsung, dimana seharusnya ia mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan menindak kejahatan tersebut.82

Unsur-unsur tanggung jawab komando pada Protokol I 1977 dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Unsur Komando dan pengendalian (command and control).

Hal ini mencakup komando dan pengendalian oleh seorang atasan atau komandan terhadap tindakan prajurit maupun orang lain dibawah komandonya.

b) Unsur kesengajaan (knowledge)

Unsur ini akan terpenuhi apabila seorang komandan mengetahui (knew) atau memiliki informasi yang memungkinkan seorang komandan menarik kesimpulan situasi ketika itu (kejahatan terjadi) bahwa bawahannya sedang melakukan kejahatan. Dalam unsur ini niat merupakan hal penting dalam pembuktian.

c) Unsur kejahatan (crime)

Pasal 87 ayat (1) dan (3) bahwa kriteria yang menjadi tanggung jawab komandan adalah pelanggaran yang terjadi atau resiko atau akibat dari pelanggaran tersebut terhadap konvensi dan protokol I yang dilakukan bawahan atau orang lain yang dibawah komandonya.

d) Unsur kewajiban komandan untuk melakukan intervensi (duty to intervene)

Komandan wajib mengambil langkah yang memungkinkan sesuai kewenangannya untuk mencegah, atau menindak pelanggaran hukum yang terjadi (Pasal 86 ayat (2)). Melakukan

82 Op. cit., Halaman 72.

55

Page 56: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

upaya pencegahan terjadinya pelanggaran, dan jika dipandang tepat, mengadakan tindakan disiplin atau pidana terhadap pelaku pelanggaran (Pasal 87 ayat (3)).

Rumusan Protokol I merupakan standar pertanggung jawaban komando terbatas dan tidak lagi menganut pertanggung jawaban luas sebagaimana diterapkan pada IMTFE. 83

Untuk menuntut suatu tanggung jawab komando diperlukan adanya pengetahuan aktual (actual knowledge) dan kesalahan yang dilakukan seorang komandan, tidak hanya adanya hubungan tasan dan bawahan semata.

3. Statuta ICTY dan ICTR

Pasal 7 ayat (3) ICTY atau Pasal 6 ayat (3) ICTR menyatakan bahwa seorang komandan dapat dikenakan tanggung jawab mengenai kejahatan yang dilakukan prajurit di bawah komandonya, jika ia memerintahkan kejahatan tersebut, atau menyadari (aware), atau memiliki alasan untuk mengetahui (had reason to know) bahwa bawahannya melakukan kejahatan dan gagal mengambil langkah yang diperlukan dan pantas guna mencegah kejahatan tersebut. Tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab secara individu.

Pasal 6 menyebutkan :

“ Neither the official position, at any time,of an accused, nor the fact that an accused acted pursuant to order of his Government or of a superior shall, of itself, be sufficient to free such accused from responsibility for any crime with which he is charged, but such circumstances may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires.”

Pasal 7 menyebutkan :

“ (1) The official position of any accused person, whether as Head of State or Government, or as a responsible government official, shall not relieve such person of criminal responsibilty nor mitigate punishment.

(2) The fact that any of the acts referred to in art 2 to 5 of the present statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or reason to know that the subordinate was about to commit such ar has done so and

83 Op. cit., Halaman 73-74.

56

Page 57: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perperators thereof.

(3) The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of a superior shall not relieve him of criminal responsibilities but may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires.”

Unsur tanggung jawab komando mencakup :

a. Hubungan atasan dan bawahanb. Unsur kesengajaan, terdiri atas mengetahui (knew) atau

memiliki alasan untuk mengetahui (had reason to know)c. Atasan tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan

dan tepat untukmencegah kejahatan atau menghukum pelakunya.

Seorang atasan yang mengabaikan informasi yang dapat dipercaya bahwa bawahannya tengah melakukan kejahatan, dipandang telah melakukan pengabaian tugas (dereliction of duty) sehingga harus bertanggung jawab secara pidana.84

Istilah “superior” atau atasan dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk menuntut tidak hanya komandan militer tetapi juga atasan sipil karena kewenangannya dipertanggungjawabkan atas kejahatan bawahannya.

4. Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)

Disebutkan pada Pasal 28 huruf (a ) Statuta ICC bahwa seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan bawahan yang berada dibawah komando dan pengendalian efektifnya. Hal ini merupakan kegagalan dalam pelaksanaan fungsi komando dan pengendalian semestinya terhadap bawahan yang berada dibawah komandonya.

a. Atasan mengetahui, secara sadar mengabaikan informasi valid yang mengindikasikan bawahannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan

b. Kejahatan tersebut berkaitan dengan kegiatan yang berada di dalam tanggung jawab dan pengendalian atasan secara efektif

c. Kegagalan atasan mengambil langkah yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah dan

84 Op.cit., Halaman 76-77.

57

Page 58: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

menindak terjadinya kejahatan atau menyerahkan pelaku kepada aparat penyidikan dan penuntutan.

Pasal 30 Statuta ICC menjelaskan mengenai mental element yang diperlukan untuk menentukan tanggung jawab adalah :

a. Terkecuali ditentukan sebaliknya, seorang bertanggung jawab secara pidana dan dikenakan hukuman atas suatu kejahatan hanya jika elemen-elemen material dilakukan dengan sengaja (intent) dan dengan sepengetahuannya(knowledge)

b. Merupakan kesengajaan (intent) apabila :

1) Adanya keterlibatan dengan tindak kejahatan tersebut2) Menyebakan terjadinya tindak kejahatan atau

menyadari bahwa akibat tersebut akan timbul dalam rangkaian kejadian yang normal

3) Adanya kesadaran akan terjadinya akibat atau suatu akibat akan terjadi dalam rangkaian kejadian normal

Pasal 28 Statuta ICC memang membedakan antara komandan militer dengan atasan lainnya (penguasa sipil dan pemimpin politik) namun keduanya memiliki kesetaraan dalam pertanggung jawaban pidananya. 85

Sedangkan untuk pertanggungjawaban “ superior order “ disampaikan pada Pasal 33 :

“(1) The fact that a crime within the jurisdiction of the court has been committed by a person to an order of a Government or of a superior, whether military or civilian, shall not relieve that person of criminal responsibilty unless:

(a) The person was under a legal obligation to obey orders of the Government or superior in question;(b) The person did not know that the order was unlawful,(c) The order was not manifestly unlawful.

(2) For the purpose of this article, orders to commit genocide or crimes against humanity are manifestly unlawful. “

5. Tanggung jawab Komandan dalam Hukum Nasional.

Menjadi suatu kekhasan dalam dunia kemiliteran yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya yakni rantai komando dan

85 Op. cit., Halaman 79-81.

58

Page 59: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

kedisiplinan. Kekhasan ini memang dituntut dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya. Disiplin adalah loyalitas dari unsur bawahan kepada atasan secara hirarkhis, sehingga pada pra perang dunia II masalah tanggung jawab sepenuhnya berada pada seorang komandan. Secara prinsip bawahan hanya melaksanakan suatu perintah tanpa harus menyadari akibat dari pelaksanaan perintah komandan.

Namun pada perkembangan pasca perang dunia II berkembang doktrin yang baru bahwa perintah seorang komandan tidak menghapuskan kejahatan bawahan. Hal ini disebabkan bahwa terdapat pandangan bahwa bawahan tidak harus mematuhi perintah yang melanggar hukum dari komandan.

KUHP belum mengatur secara tegas tentang tanggung jawab komandan atau atasan apabila bawahannya melakukan kejahatan. Tanggung jawab pidana seorang komandan atau atasan dapat diterapkan dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan :

“ Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”

Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) untuk pertanggung jawaban komandan dapat diterapkan Pasal 132 :

“ Militer, yang sengaja mengijinkan seseorang bawahan melakukan suatu kejahatan, atau yang menjadi saksi dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bawahan dengan sengaja tidak mengambil sesuatu tindakan (maatregel) kekerasan yang diharuskan sesuai dengan kemampuannya terhadap pelaku tersebut, demi kepentingan perkara itu, diancam dengan pidana yang sama dengan pada pembantuannya.”

Sedangkan untuk tindakan pembiaran dapat diterapkan Pasal 129 KUHPM :

“ Militer, yang dengan sengaja baik dengan melampaui haknya, maupun dalam suatu keadaan yang asing bagi kepentingan dinas, memerintahkan seseorang bawahan untuk melakukan, tidak

59

Page 60: Bahan Ajaran - Hukum HAM STHM

Wahyu Wibowo, Hukum HAM

melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.” 86

Untuk pelanggaran berat HAM UU No. 26 Tahun 2000 sudah mengatur tentang tanggung jawab komandan termasuk delik omisi (pembiaran) yakni pada Pasal 42 yang merupakan adopsi dari stauta ICC.

Unsur-unsur tanggung jawab komandan militer pada Pasal 42 ayat (1) adalah :

a. seorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer

b. pelaku adalah pasukan yang dibawah komando dan pengendaliannya secara efektif

c. komandan tidak melakukan pengendalian secara patut :

1) Komandan mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berat HAM

2) Komandan tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan sesuai kekuasaannya untuk mencegah, menghentikan perbuatan pasukannya dan menyerahkan pelaku kepada pejabat berwenang untuk penyeldikan, penyidikan dan penuntutan

Unsur-unsur tersebut berlaku terhadap atasan non militer (polisi atau sipil) sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2).

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengenal adanya delik pembiaran (omision) yaitu apabila seorang komandan atau atasan tidak melakukan pengendalian secara efektif dan tidak mencegah, menghentikan serta menindak pelaku. 87

Hal lain dalam aplikasi sidang pengadilan ad hoc pasca jajak pendapat Timor Timur terdapat penafsiran pengadilan bahwa kejahatan pelaku pelanggaran berat HAM bukan saja dalam arti ofensif tetapi juga sikap pasif otoritas dan pasukan yang ada melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran berat HAM. 88

86 Op..cit., Halaman 82-83.87 Op..cit., Halaman 84-85.88 Op..cit., Halaman 86.

60